Disusun oleh:
Herfina 1610711026
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan kenikmatan
yang diberikan, terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul “Snake Bite” ini dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan makalah ini berdasarkan beberapa referensi, dari pustaka buku maupun
internet. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
menyediakan berbagai referensi demi kesmpurnaan makalah ini.
Penulis sadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan yang bersifat deskriptif
maupun tehnik penulisan. Maka dari itu saran dan kritik dari pembaca sangat dinantikan oleh
penulis demi perbaikan makalah ini secara berkala, semoga makalah ini dapat berguna bagi
orang banyak khususnya mahasiswa Jurusan S1 Keperawatan Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jakarta 2019.
Tim
2
DAFTAR ISI
A. Definisi ……………………………………….……………………………….. 5
B. Jenis Ular Dan Cara Mengidentifikasinya ………………………...…………... 5
C. Bisa Ular ……………………………………….…………………………….... 7
D. Patofisiologi Gigitan Ular Berbisa …………………………………………….. 9
E. Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular ……………………… 9
F. Diagnosa Klinik ……………………………………………………………….. 10
G. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular ……………………………... 14
H. Indikasi Pemberian Serum Anti Bisa ………………………………………….. 19
I. Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………………….. 21
J. Tindak Lanjut …………………………………………………………………. 21
K. Observasi Dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Antibisa Ular ………… 22
L. Diagram Penanganan Gigitan Ular ……………………………………………. 24
M. Cara Penyuntikan Serum Antibisa Ular ……………………………………….. 27
N. Komplikasi Gigitan Ular ………………………………………………………. 30
O. Prognosis Gigitan Ular ………………………………………………………… 30
P. Pencegahan Gigitan Ular ………………………………………………………. 31
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….… 32
3
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia
dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of
Poison Control Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake
bites) per tahun nya, dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa.
Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa
pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan
beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik
terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ.
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun ular berbisa hanya
dikenal 250 jenis. Setiap tahunnya di seluruh dunia, ribuan orang meninggal akibat gigitan
ular berbisa. Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular,
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat
pada daerah ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk
menuju sarana kesehatan.
Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika- melumpuhkan
mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung
racun ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi berongga khusus. Ular
juga menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan menggigit mereka yang
mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang disebabkan oleh famili
Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan kobra) adalah yang
utama berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular manapun adalah
membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang
menetralkan bisa) dapat diberikan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami menulis mengenai gigitan ular, agar
dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan terhadap
gigitan ular, khususnya ular berbisa.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus
untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala
dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang
beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan
dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik)
atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya.
Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular
kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia
(Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
6
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi
merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk
enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat
pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian
besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan
terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat
menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
7
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan
transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang
mirip seperti paralisis kuraonium.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim
ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan
hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.
8
D. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung
pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada
bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan
status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler
dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal.
PATHWAY SNAKE BITE
9
E. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR
Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake, mambas,
kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara,
susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan
urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti
jantung
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis:
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan
ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit
adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau
russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila
terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air
payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa
bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan
ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau
mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan
ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur
atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
11
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa
ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan
yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran,
bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012).
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat
menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi
pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang
menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda
tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis
jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
12
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
13
lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau
atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot
pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda
dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah
gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea,
atrofi testis, hipotiroidism
1 2
3 4
5 6
15
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk
membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu,
atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring
(recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
18
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan
dan amati lagi selama 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan
dan amati lagi paling sedikit 30 menit.
19
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin
(hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik urin
atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri
otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.
Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena gigitan
(tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah tergigit pada
jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang meluas ( misalnya di
bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan
kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang
terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di
bawah ini :
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik,
25cm/12 jam mual, pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
20
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa
hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih.
Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati
persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi,
namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti
bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit
J. TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
21
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien
dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU
untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120
menit. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu
pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa
ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat
terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
22
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari ‘depot’ pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab’)2 80-100 jam;
Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.
23
L. DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
LIHAT RESPON
RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI RAWAT
DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)
Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : RUJUK ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005
24
KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%
25
DERAJAT PARRISH
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat
diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk
anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga
menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler
atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus
diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
M. CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR
injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)
Amati 30 menit
27
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan
waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak
tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,
seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
28
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
29
N. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena
ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari
envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi
oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
31
DAFTAR PUSTAKA
Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept Bites
Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002.
WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al.
2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on
Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From Gulu
Regional Hospital Uganda.
32