Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN
Bronkopneumonia hingga saat ini merupakan salah satu masalah
kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Bronkopneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun
(balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih
kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat bronkopneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara.
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas bronkopneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan
terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).
Bronkopneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang
dapat disebabkan baik oleh bakteri, virus, jamur maupun benda asing lainnya.
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting
adalah penyebab dari bronkopneumonia (bakteri atau virus). Bronkopneumonia
seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan
bronkopneumonia bakterial dengan bronkopneumonia viral. Namun sebagai
pedoman dapat disebutkan bahwa bronkopneumonia bakterial awitannya cepat,
batuk produktif, pasien tampak toksik, dan leukositosis.
Pola bakteri penyebab bronkopneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam
bronkopneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia dan
mikoplasma. Walaupun bronkopneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa
antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi
bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.
Di negara berkembang, bronkopneumonia pada anak terutama disebabkan
oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan bronkopneumonia adalah

1
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus.
Bronkopneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini umumnya responsif
terhadap pengobatan dengan antibiotik betalaktam. Di lain pihak, terdapat
bronkopneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik betalaktam dan dikenal
sebagai bronkopneumonia atipik. Bronkopneumonia atipik terutama disebabkan
oleh Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae. Oleh kerana
tingginya mortalitas dan morbiditas bronkopneumonia pada anak, diharapkan
dengan pembuatan makalah ini dapat membantu untuk dapat mengenali gejala
bronkopneumonia serta penangananya dengan harapan angka mortalitas dan
morbiditasnya dapat menurun.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa (Bradley et.al., 2011).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang


melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).

2.2 Etiologi

Berdasarkan pembagian menurut faktor infeksinya, penyebab


bronkopneumonia yang biasa dijumpai, yaitu:

a. Faktor Infeksi :
Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
Pada bayi : Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,
Pneumocytis.

3
Pada anak-anak yaitu virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus,
RSV. Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia. Bakteri:
Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosi.
Pada anak besar – dewasa muda, Organisme atipikal: Mycoplasma
pneumonia, C. trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis,
M. tuberculosis.
b. Faktor Non Infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks
esophagus meliputi:
Bronkopneumonia hidrokarbon yang terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur,
minyak tanah dan bensin).
Bronkopneumonia lipoid biasa terjadi akibat pemasukan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum.
Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor resiko
tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah,
tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi,
defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring,
dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang
pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
(Rahajoe dkk., 2013)

Tabel 1. Etiologi pneumonia menurut umur


Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri an aerob

4
Streptococcus grup B Haemophillus influenza
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyctims
Virus
3 minggu -3 bulan Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza
tipe B
Virus Moraxella cathralis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyctims
Respiratory syncytial Virus
virus
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus sitomegalo
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza
tipe B
Streptococcus pneumonia Moraxella cathralis
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varisela-Zoster
Respiratory syncytial
virus
Virus rinovirus
parainfluenza
5 tahun- remaja Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza
tipe B
Streptococcus pneumonia Legionella
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial
virus
Virus rinovirus
parainfluenza
Virus Epstein-Barr
Virus Varisela Zoster

2.3 Epidemiologi

5
Bronkopneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah
kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Bronkopneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun
(balita). Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-
anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).

2.4 Patofisiologi
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis
dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal
berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011)
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus (Bennete,
2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,


2011):
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-

6
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

7
Gambar 1. Patofisiologi

8
Gambar 2 Algoritma Patofisiologi Bronkhopneomonia

2.5 Manifestasi klinis


Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-40 °C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai
pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana
pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).

2.6 Diagnosis
Bronkopneumonia pada anak umunya didiagnosis berdasarkan gambaran
klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, gambaran radiologis, dan
pemeriksaan darah untuk menunjukkan tingkat infeksi dan jenis bakteri yang
menginfeksi. Prediktor paling kuat pada klinis adalah demam, sianosis, dan lebih

9
dari satu gejala respiratori berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi,
ronki dan suara nafas melemah. Tanda bahaya pada anak (Rahajoe dkk., 2013):
1. Usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, dan gizi buruk
2. Tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa
dingin.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,


2011):
1.   Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
2.  Panas badan
3.  Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4.  Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya


bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,


interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping
hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan
intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi
tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah
terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,
dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang
interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang
semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana

10
jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak
yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan
fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling
dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi
otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas
ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area
suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada
“head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan
napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.    
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.

11
2.7 Diagnosis banding

1. Bronkiolitis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk
yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing,
sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel,
dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik pada anak yang
mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan
peningkatan suhu diatas 38,5 derajad celcius. Selain itu, dapat juga
ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran
respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang
dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas
cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. sianosis dapat terjadi dan bila
gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia 6
minggu. (Meadow, 2005)
Pada rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi
gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia
viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran
atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur
sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar dan
peningkatan diameter antero-posterior. (Meadow, 2005)
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan
kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah
digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral
seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV
immunoglobuline, atau humanized RSV monoclonal antibody
(palivizumab). (Meadow, 2005)

12
2. Bronkitis
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea,
bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta
biasanya akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Pemeriksaan
auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring
perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam
ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu
kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan
peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala akan menghilang
dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3 minggu,
perlu dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi infeksi
bakteri sekunder. (Meadow, 2005)
3. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe
kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar
hidung dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang
terkena. Pada foto rontgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau
beberapa lobus.

2.8 Pemeriksaan penunjang

1. Darah perifer lengkap


Pada infeksi virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi, pada infeksi
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3
dengan predominan PMN. Leukopenia ( >5.000/mm3) menunjukan
prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (< 3.000/ mm 3) hampir selalu
menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan
bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi
Chalmydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofiilia. Efusi
pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-
100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada

13
glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap
darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan
infeksi bakteri secara pasti.
2. C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama inteleukin (IL) -6, IL-1, dan TNF.
Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan
dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk
evaluasi respon terapi antibiotik.
3. Uji serologi
Uji serologi untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi,
diagnosis infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen
4. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. kecuali pada masa neonatus, kejadian
bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif.
Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih
dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pemebesaran kecil.

14
5. Rontgen toraks
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 3. Rongent Thorax Bronkopneumonia

2.9 Tatalaksana

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana
pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai,
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit
dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang mungkin
terjadi harus dipantau dan diatasi.
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI,
2012; Bradley et.al., 2011)

15
1.    Penatalaksaan Umum

a.    Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang.

b.    Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

c.    Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2.    Penatalaksanaan Khusus

a.  Obat penurun panas diberikan bila suhu tinggi, takikardi, atau penderita
kelainan jantung

b. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan


pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme
penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikroniologis cepat.
Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya
pemilihan antibiotik empiris didarkan pada kemungkinan etiologi penyebab
dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologis (tabel 2). (Rahajoe dkk., 2013)

Tabel 2. Tatalaksana pneumonia menurut etiologinya

Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternative

Streptococcus
Seftriakson, Sefuroksimaxetil,
pneumonia
sefoktaksim, penisilin eritromisin, klindamisin, atau
G atau penisilin V vaksomisin.

Streptococcus grup A
Penisilin G Sefuroksimaxetil,
eritromisin, sefuroksim

Streptococcus grup B
Penisilin G

Haemophilus
Seftriekson, Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
influenza tipe B
sefotaksim, ampisilin-
sulbaktam, atau

16
ampisilin

Bakteri aerob gram Sefotaksim dengan Piperacilin-tazobactam


negatif ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosid

p. aeroginosa Seftazidim dengan Piperacillin-tazobactam


ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosida

Staphylococcus aureus Nafsilin, sefazolin, Vankomisin (untuk MRSA)


klindamisin (untuk
MRSA)

Chel,ydophilis Eritromisin, Doksisiklin (<9 tahun),


pneumonia azitromisin atau florokuinolon (>18 tahun)
klaritomisin

Chalmydia Eritromisin,
trachomatis azitromisin, atau
klaritomisin

Herpes simplex virus asiklovir

2.10 Komplikasi

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis


purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis
purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri. Ilten F dkk. Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis
yang cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena
miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan
deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan
enzim. (Rahajoe dkk., 2013)

17
2.11 Prognosis

Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8
minggu sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia
dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti
ini kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus dinvestigasi lebih
lanjut, seperti dengan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk
penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan determinasi sub
kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelaianan anatomis atau mencari benda
asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroeusofageal. (Marcdante
et al., 2014)

2.12 Pencegahan

Vaksin influenza yang diberikan tiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak
berusia 6 bulan- 18 tahun. Bayi 6 bulan sampai dengan anak usia 5 tahun
memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi dari influenza yang dilemahkan dapat
diberikan pada pasien 2-49 tahun. Beberapa vaksin trivalen telah memiliki lisensi
untuk digunakan sejak berusia 6 bulan. vaksinasi universal sejak masa kanak-
kanak dengan vaksinasi H. Influenza tipe B terkonjungasi dan S.pneumonia telah
menurunkan insidens terjadinya pneumonia secara bermakna. Keparahan suatu
infeksi RSV dapat dikurangi dengan menggunakan palivisumab pada pasien yang
beresiko tinggi. (Marcdante et al., 2014)

Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik


dengan bijaksana dapat menurunkan pneumonia akibat ventilator. Tempat tidur
pada bagian kepala harus dinaikan setinggi 30-45 derajad pada pasien terintubasi
untuk meminimalisasi risiko aspirasi dan semua instrumen penghisap lendir dan
cairan saline harus steril. Cuci tangan baik sebelum dan setelah kontak dengan
setiap pasien dan menggunakan sarung tangan steril ketika menggunakan prosedur
invasif sangat penting untuk mencegah terjadinya penularan infeksi nosokomial.
Staf rumah sakit yang mengalami penyakit respiratori atau menjadi pembawa
penyakit tertentu seperti MRSA (methicillin-resisten S.aureus) harus mematuhi

18
kebijakan pengendalian infeksi untuk mencegah transmisi penyakit kepada pasien.
Sterilisasi peralatan sumber aerosol (misalnya alat pendingin udara) dapat
mencegah terjadinya pneumonia Legionella. (Marcdante et al., 2014)

Untuk mencegah bronkopneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat


atau keluarga terutama ibu rumah tangga, karena bronkopneumonia sangat
dipengaruhi oleh kebersihan di dalam dan di luar rumah. Pencegahannya
bertujuan untuk menghindari terjadinya penyakit bronkopneumonia pada balita.
Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit bronkopneumonia

1. Perawatan selama masa kehamilan


Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan
terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
2. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena
malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal
sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi
dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah bronkopneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9
bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada
umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai
dengan napas cepat/sesak napas.
5. Mengurangi polusi didalam dan diluar rumah

19
Untuk mencegah bronkopneumonia disarankan agar kadar debu dan asap
diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa
balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap
rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca
dan dan masuk angin sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk
terkena penyakit bronkopneumonia.
6. Menjauhkan balita dari penderita batuk.
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran
pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit
batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan
bronkopneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar
dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan
menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak
yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada
hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi bronkopneumonia karena
malnutrisi. (Rahajoe dkk., 2013; Marcdante et al, 2014)

20
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
 Nama : By. Z
 Tanggal Lahir : 3 Maret 2019
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 BBL : 1800 gram
 PB : 41 cm
 Alamat : Kalijereng - Tembelang
 RM : 414000
 Ayah:
o Nama : Tn. A
o Usia : 26 tahun
o Pekerjaan : Karyawan Swasta
o Pendidikan : SMA
 Ibu:
o Nama : Ny. P
o Usia : 24 tahun
o Pekerjaan : IRT
o Pendidikan : SMA

Summary of data base


Keluhan utama:
Batuk dan Sesak

21
RPS
GII PIOOI UK 34-35 minggu THIU Letkep SptB lahir di RSUD Jombang
tanggal 3-3-2019, bayi lahir langsung menangis, lalu MRS di Anggrek selama 14
hari (Pulang sembuh) tanggal 15-3-2019. Selama di rumah bayi minum susu ASI
dan Sufor (Infentrini), hari minggu tgl 31-03-2019 bayi batuk dan pilek, pada hari
selasa malam bayi di periksakan ke bidan. Pada hari rabu kondisi bayi tidak
membaik dan badan berwarna kuning, dari bidan mendapatkan 2 macam obat
yaitu obat sirup dan caplet. Bayi lalu di bawa ke pkm hari kamis tgl 4-4-2019 lalu
di rujuk ke rsud jombang. Sebelumnya bayi juga merasa sesak dan muntah.
Keluarga ada yang batuk.
Kondisi bayi saat di NiCU : BB 2330gram. Kondisi bayi nafas sesak (+)
Batuk (+), sianosis (-), pernapasan cuping hidung (+), retraksi (+).
Riwayat kehamilan ibu :
 GII PIOOI Uk 34/35 mgg THIU Letkep SptB
 Aktivitas selama kehamilan tidak melakukan pekerjaan yang berat, hanya
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak menyapu dan
mencuci, malam hari berhubungan badan.
 Selama kehamilan,trimester I sebanyak 1x kontrol dokter , trimester II
tidak kontrol dan pada trimester III 3x ke dokter
 Riwayat diabetes mellitus (-), hipertensi (-), keputihan (-), keguguran (-)
Keputihan (+)
Riwayat persalinan :
 Ibu melahirkan di KBER RSUD Jombang
 Usia kehamilan 34/35 minggu
 Bayi lahir Spt B langsung menangis
 Ketuban jernih
 Sudah diberikan Inj. Vitamin K 1 mg i.m dan gentamycin eye drop 1 tetes
OD/OS
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum : gerak tangis lemah
Tanda-tanda Vital :
- HR : 160 kali/menit

22
- RR : 60 kali/menit
- Suhu : 37,1°C
- CRT : >2 detik
Antropometri:
- BBL : 1800 gram
- Panjang Badan : 41 cm
- Lingkar kepala : 30 cm
- Lingkar Dada : 27 cm
- Lingkar abdomen : 28 cm

Ballard Score
Maturitas fisik
Total ballard score: 15+13 = 28 = 34 minggu

23
Sistem Neurologis
- Kesadaran : Letargi
- Aktivitas : Bangun
- Pergerakan : Tidak Spontan
- Tonus : Hipotoni
- Kejang : (-)

24
Kepala dan Leher
- Tidak ada cephal hematoma, tidak ada Caput succadenum
- Anemis (-), ikterus (-)
- Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
- Mukosa mulut dan bibir basah, sianosis (-)
Sistem Pernafasan :
- Warna Kulit : putih pucat
- Kecepatan nafas : 60x/menit, ireguler
- Pernafasan : grunting (+), pergerakan simetris,
retraksi(+)
- SuaraNafas : vesikuler, tidak ada ronchi maupun
wheezing
Down score :
o Frekuensi nafas : 60x
o Sianosis : menghilang dengan oksigen
o Retraksi /PCH : Berat

25
o Air entry : Udara masuk bilateral baik
o Merintih : tidak merintih
o Total : 2 (Tidak ada gawat napas)
Sistem cardiovaskular:
- Suara jantung : reguler, HR 151 x/menit
- Auskultasi : dengar dengan mudah, S1 S2 tunggal
- Murmur : tidak
- Denyut nadi perifer : normal
- CRT : >2 detik
Sistem gastrointestinal:
- Inspeksi : flat
- Bising usus : (+) normal
- Palpasi abdomen : soefl, turgor kulit baik
- Umbilicus : tidak ada tanda-tanda infeksi, pus tidak ada
- Anus : ada
Pemeriksaan Laboratorium :
Clue and Cue :
 Bayi perempuan usia 30 hari
 GHHIU+ letkep + 33/34 mgg
 Gerak tangis lemah
 Batuk
 Pilek
 Dyspnea (+)
 Pernapasan cuping hidung (+)
 Retraksi dinding dada (+)
 Skor down 2
 Ballard score 34 minggu

Problem List :
- Batuk
- Sesak

26
Initial Diagnosis :
 Bronkopneumonia
Planing Diagnosis : DL, Foto Babygram
Planing Therapy :
 Inf. D10% 100 cc/24 jam
 Minum 8x30cc
 Vicc SX 3x150mg
 Gentamicin 1x10mg
 Epexol 3x0.3cc
 Latmin 8x30
Planing Monitoring
- Saturasi oksigen dan gerak napas
- Tanda-tanda distress napas
- Tanda bahaya dan infeksi
- Tanda-tanda vital
Planing Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang keadaan pasien
 Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan
 Menjelaskan tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien
 Menjelaskan tentang komplikasi dan prognosis yang mungkin akan terjadi
 Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi.
Hasil Laboratorium:
DL(4/4/2019)
Hb : 10.0
Leukosit : 10.530
Hct : 29.3
Eritrosit : 3.250.000
Trombosit : 387.000
Eosinofil : 1
Basofil : 1
Batang : -

27
Segmen : 36
Limfosit : 47
Monosit : 16
I/T Ratio : 3,81
CRP : 5
KIMIA DARAH
GDA : 76
Natrium : 123
Kalium : 4.87
Klorida Darah : 89
Kalium :4,49
TGL/ SUBJEK OBJEK Assesement Planning
JAM
Sejak Minggu GT BB HR RR S Bronkopneu -Inf. D10% 100
4/4 batuk pilek (+) H5 lemah 2330 151 60 37,2
Mutah (+) demam
monia cc/24 jam
20
19 (-) Warna kulit -Minum 8x30cc
sempat kuning
pada hari rabu 1 -ViccSX
hari yll. 3x150mg
-Gentamicin
1x10mg
-Epexol
3x0.3cc
-Latmin 8x30

K/L : a/i/c/d -/-/+/+ PCH (+)


Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh +/+ wh -/-,
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abd : soefl, BU (+)
Ext : HKM, CRT > 2’’

5/4 Batuk Pilek (+) GT BB HR RR S Bronkopneu -Inf. D10% 100


Cukup 2345 132 44 37,0
Sesak (+)
Retraksi (+)
monia cc/24 jam
-Minum 8x30cc
-ViccSX

28
3x150mg
-Gentamicin
1x10mg
-Epexol
3x0.3cc
-Latmin 8x30

K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+)


Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh +/+ wh -/-,
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abd : soefl, BU (+)
Ext : HKM, CRT < 2’’

6/4 Sesak (+) GT BB HR RR S Bronkopneu Inf. D10% 100


Cukup 2375 139 44 36,9
Batuk (+)
Retraksi (+)
monia cc/24 jam
BAK (+) -Minum 8x30cc
-ViccSX
3x150mg
-Gentamicin
1x10mg
-Epexol
3x0.3cc
-Latmin 8x30
K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+)
Th : simetris, retraksi (+) ves +/+ rh +/+ wh -/-,
S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abd : soefl, BU (+)
Ext : HKM, CRT < 2’’

29
7/4 Batuk(+) GT BB HR RR S Bronkopneu KRS
Cukup 2390 130 40 37,0
berkurang
monia
Sesak (-)
K/L : a/i/c/d -/-/-/+ PCH (+)
Th : simetris, retraksi (-) ringan, ves +/+ rh +/+
wh -/-, S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abd : soefl, BU (+)
Ext : HKM, CRT < 2’’

BAB 4

KESIMPULAN

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai

30
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa. Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal
setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Etiologinya dibagi berdasakan 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan non
infeksi. Penanganan bronkopneumonia yaitu pemberian oksigen, antibiotik serta
pengobatan simptomatis. Bronkopneumonia pada umumnya dapat sembuh
sempurna jika cepat terdiagnosa serta mendapatkan terapi yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-

31
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age :
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630.

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.


medscape.com/article/967822-overview. (9 Maret 2018)

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI.

Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. 2014. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Elsevier.

Meadow R, Newell S. 2005. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta:


Erlangga.

Rahajoe N, Supriyanto B, setyanto D. 2013. Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta:


IDAI.
Santoso M, Kurniadhi D, Tandean M, Oktavia E, Ciulianto R. 2009. Panduan
kepanitraan klinik pendidikan dokter. Jakarta: FK Ukrida.

32

Anda mungkin juga menyukai