ABSES HEPAR
Pembimbing :
dr. Hanafi
Disusun Oleh :
201820401011153
2019
DAFTAR ISI
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................................................21
A.PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal
yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial
hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status
ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan
bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses
hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik.
Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya.
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 %
berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra,
epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu
kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis
kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan
hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati
dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel
endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu
memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki
suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui
arteria hepatika. (2,3,4)
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu: (3,4,5,6)
Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu penting untuk
pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus.
Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi fibrinogen,
protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya.
Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan
faktor VII, IX, dan X.
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya
1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand
berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15%
pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1
sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal
dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan
rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun
terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi
yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi
serta gizi yang buruk.
B. ETIOLOGI
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-
patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)
C. PATOGENESIS
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan
higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun
anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit
invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk
kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus
halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi
lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh
organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa
memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati
E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk
abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik.
Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering
adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan
berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang
dicerna. (2,8,12,13)
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di
Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi
dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke
hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena
portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan
distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik
sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi
AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi
pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal
ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)
D. GAMBARAN KLINIS
F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)
Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan
dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari
abses hati amuba.
Keluhan :
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua
tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
E. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba.
Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu
bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang
tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi.
Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969),
kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah
diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan
abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa
gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan
air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya
dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval
tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 %
berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras
tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus.
Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan
kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis
basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus
tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik
abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada
subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses
lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan :
apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari
mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu
kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak
besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim
enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah
abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses
akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai
reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta,
dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada
infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan
VIII.(8)
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras
yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin
penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG
antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular.
Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik
(debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal.
(16)
G. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal
maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual,
mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah
35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang
dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari,
untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300
mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3
minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3
minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila
terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu
dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter
abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan
permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu,
drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan
aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang
jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur
abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi
sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi
perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik
yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor
dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti
pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis
bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga
seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob
terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan
saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal
dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
H. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat
terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah
komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi
serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan
empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula
hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung
amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya
dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian.
Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus
pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
I. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole
dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun
tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang
kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi
mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%.
Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan
renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis
penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta
jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan
infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik
perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan
mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial
dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke
rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam
abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit
polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika
yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk
apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan
dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis
dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia,
efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2)