Anda di halaman 1dari 17

RESUME TRAUMA PERSALINAN

MATERNITAS II
Nama : Hilfi noer hafizha dewi
NIM : AK118074
Kelas : sgd J
A. Definisi trauma persalinan
Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena
trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan
oleh kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229)
Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma
lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang
diakibatkan kelainan fisiologis persalinan.
Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses
kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik
dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat
dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma
dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak
pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah
mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali
tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh.
Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi
intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi.
Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan
kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang
obstetri, khususnya pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya
kemungkinan kesulitan melahirkan bayi. Cara kelahiran bayi sangat erat
hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Angka kejadian trauma
lahir yang mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7 per seribu
kelahiran hidup. Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian
trauma lahir antara lain adalah makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda,
disproporsi sefala pelvik, kelahiran dengan tindakan persalinan lama,
persalinan presipitatus, bayi kurang bulan, distosia bahu, dan akhirnya faktor
manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat trauma lahir sangat erat
hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang dilakukan
penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian cara lahir
tertentu umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula.
Secara klinis trauma lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau
bersifat laten yang dapat meninggalkan gejala sisa.Selain trauma lahir yang
disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang bersifat
hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara
hipoksik selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per
intraventrikuler dalam otak.
B. Etiologi
Menurut A.H. Markum dkk (1991 : 266) penyebab terjadinya trauma
persalinan yaitu sebagai berikut:
1. Makrosomia(Berat bayi baru lahir lebih dari 400 gram)
2. Mal presentasi (bagian terendah janin yang tidak sesuai)
3. Presentasi ganda (bagian terendah janin lebih dari 1 bagian)
4. Disproporsi sephalo pelvik (ketidak sesuaian panggul dan kepala janin)
Kelahiran dan tindakan (proses persalinan yang tidak spontan tapi dengan
menggunakan alat)
5. Persalinan lama (persalinan yang lebih dari 24 jam)
6. Persalinan presipitatus (persalinan dimana gejala Kala I tidak dirasakan
sakit dan berakhir dengan lahirnya bayi)
7. Bayi kurang bulan (bayi lahir dengan usia kehamilan 22 – 26 minggu)
8. Distosia bahu (kemacetan bahu)
C. Macam-Macam Tauma persalinan
a. susunan saraf
      Paralis Pleksus Brakialis
      Paralisis Nervus Frenikus
      Kerusakan Medulla Spinalis
      Paralisis Pita Suara

b. Fraktur (Patah Tulang)


      Fraktur Tulang Tengkorak
      Fraktur Tulang Klavikula
      Fraktur Tulang Humerus
      Fraktur Tulang Femur
c. Jaringan lunak
      Kaput Suksedaneum
      Sefalohematoma
      Perdarahan Subafoneurosis
      Trauma Muskulus Sternokleido-Mastoideus
      Perdarahan Subkunjungtiva
      Nekrosis Jaringan Lemak Subkutis
D. Pengertian inkontinensia urine
inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
dan atau social higine dan ekonomi
E. Etiologi inkontinensia
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih
bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus
dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,
mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang
bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap
mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-
obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang tua. Jika
kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi,
antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan
alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya
kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas),
akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin
tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
F. Patofisiologi inkontinensia urin
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan
tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen
misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil
dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya
inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien
dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut
usia.
E. Manifestasi klinis
1.    Urgensi
2.    Retensi
3.    Kebocoran urine
4.    Frekuensi

F. Pemeriksaan fisik inkontinensia


Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal,
pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa
didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia
luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps
genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca
histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.
Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu
dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’),
merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati.
Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung.
Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari
kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual
menguatkan diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke
laboratorium.
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.
Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi,
dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun
divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri.
Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan
keadaan kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif.
Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang digunakan untuk
mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan anatomi
(ureter ektopik). Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik
yaitu ‘Pessary Pad Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk
mengisi kandung kemih. Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama
45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di
tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan
dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih
besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila
tidak didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pengkajian fungsi otot destrusor
2. Radiologi dan pemeriksaan fisik ( mengetahui tingkat keparahan /
kelainan dasar panggul )
3. Cystometrogram dan electromyogram
H. Penatalaksanaan inkontinensia
1. Penanganan konservatif
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan
terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non
operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan,
stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
2. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis.
Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul
membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan
urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan
berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal,
perubahan posisi dan pengisian kandug kemih.
Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan
abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan
tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder
training) telah menunjukan hasil yang efektif.Latihan kandung kemih
adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga
secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari
keadaannya yang abnormal.
3. Obat-obatan
a. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor
yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan
penutupan urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan
tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan..
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan
efektif pada inkotinensia stres.Efek samping menigkatkan tekanan
darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding
dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA
adalah komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan
antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek
samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres
mengalami perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan
efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra
dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya
diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan
untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan
urogential, walaupun belum ada data yang akurat.
4. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah
menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai
implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan
tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama
beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan
penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering
terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-
implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan
dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode
anal/vaginal.
5. Penanganan Operatif
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat
dilakukan dengan beberapa cara meliputi :
1. Kolporafi anterior
2. Uretropeksi retropubik
3. Prosedur jarum
4. Prosedur sling pubovaginal
5. Periuretral bulking agent 6. Tension vaginal tape (TVT)
Asuhan Keperawatan

Kasus

Seorang perempuan P3A0 usia 35 tahun datang ke klinik dengan keluhan

inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya. Klien

mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat

mengangkat benda. Hasil pengkajian klien 1 minggu post partum, TFU tidak

teraba, terdapat rupture perineum, dengan BB bayinya 3700 gram. Klien

mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien kelelahan dalam

mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan menggunakan forceps.

Riwayat persalinan sebelumnya normal pervaginam. Hasil pengkajian tidak

terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast, namun masih terdapat

nyeri pada luka perineum. Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat leukosit

pada urine. Perawat menyarankan klien untuk melakukan kegel exercise.

1. Pengkajian

A. Pengumpulan Data

1. Identitas Klien

Nama Klien : Ny. X

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Diagnosa Medis : Trauma Persalinan

B. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama

inkontinensia urin, merasa cemas dan malu.

b. Keluhan masuk rumah sakit

Klien dibawa ke RS karena keluhan inkontinensia urin, merasa

cemas dan malu dengan kondisinya. Klien mengatakan urine

keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat mengangkat

benda. Klien mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan

klien kelelahan dalam mengedan sehingga dilakukan persalinan

bantuan menggunakan forceps. Riwayat persalinan sebelumnya

normal pervaginam.

c. Keluhan saat dikaji

Klien cemas dan malu

C. Pemeriksaan Fisik

- Pemeriksaan Kehamilan : P3A0

- TFU tidak teraba

- Terdapat rupture perineum

- Pemeriksaan urinalisi: Tidak terdapat leukosit


2. Analisa Data

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1 DS: Pembesaran Gangguan

Klen mengatakan pada uterus Eliminasi Urin

inkontinensia urin. ↓

Kompresi pada

DO: saluran

- Disuria ↓

- Inkontinensia Obstruksi

- Retensi sebagian atau

total

Urin yang

keluar sedikit

karena ada

penyempitan

Gangguan

eliminasi urin
2 DS: Faktor Harga Diri

Klien mengatakan dirinya predisposisi Rendah

cemas dan malu ↓

Ideal diri tidak

DO: realistis

- Evaluasi diri bahwa ↓

individu tidak mampu Mengkritis diri

menghadapi situasi sendiri

- Ekspresi ↓

ketidakberdayaan Harga diri

rendah

3 DS: Trauma Resiko Infeksi

Klien terdapat rupture penetrasi

perineum ↓

Dioprasi bedah

DO: ringan

- Kerusakan intergitas ↓

kulit Terdapat luka

- Luka di perineum bekas penetrasi


Resiko Infeksi

3. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Eliminasi Urin b.d Inkontinensia Urin

2. Harga Diri Rendah b.d Malu

3. Resiko Infeksi b.d Rupture Perineum

4. Intervensi Keperawatan

NURSING NURSING
N DIAGNOSA OUTCOME INTERVENTION
O CLASSIFICATIO CLASSIFICATIO
N N
(NOK) (NIC)
1 Gangguan Eliminasi - Urinary - Lakukan

Urin b.d elimination penilaian yang

Inkontinensia Urin - Kantong kemih komprehensif

DS: kosong berfokus pada

Klen mengatakan secarapenuh inkontinensia

inkontinensia urin. - Tidak ada - Sediakan

residu urine > waktu yang

DO: 100-200 cc cukup untuk

- Disuria - Balance cairan pengosongan

- Inkontinensia seimbang kandung


- Retensi kemih

- Kateterisasi

- Memonitor

asupan dan

pengeluaran

2 Harga Diri Rendah - Body image, - Tunjukan rasa

b.d Malu disiturbed percaya diri

DS: - Komunikasi terhadap

Klien mengatakan terbuka kemampuan

dirinya cemas dan - Coping, pasien untuk

malu ineffective mengatasi

- Mengggunakan situasi

DO: strategi koping - Menggunakan

- Evaluasi diri efektif proses

bahwa individu pertolongan

tidak mampu interaktif yang

menghadapi berfokus

situasi kebutuhan,

- Ekspresi masalah, atau

ketidakberdayaa perasaan

n pasien,
meningkatan

koping

3 Resiko Infeksi b.d - Knowledgr : - Tingkatkan

Rupture Perineum Infection intake nutrisi

DS: control - Berikan terapi

Klien terdapat - Risk control antibiotic

rupture perineum - Klien bebas - Monitor tanda

dari tanda dan dan gejala

DO: gejala infeksi infeksi

- Kerusakan - Jumlah leukosit - Monitor

intergitas kulit dalam batas kerentanan

- Luka di normal terhadap

perineum - Menunjukan infeksi

perilaku hidup

sehat

DAFTAR PUSTAKA
Doenges,E.marlynn.1993.Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Jakarta.EGC
Daly.W Lloyd.1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta.ECG

Anda mungkin juga menyukai