Anda di halaman 1dari 7

Gerimis Itu Kembali Hadir

Malam minggu, Maghrib 11/01/2020. Gerimis itu hadir disela kebingungan saya tentang perasaan ini.
Saya ajak Jalal untuk menghantarkan saya ke rumah, sembari membereskan baju yang jarang saya pakai
untuk diletakkan di rumah.

Setelah shalat maghrib saya pun sepakat untuk pulang dengan alasan ada acara pernikahan sepupu. Di
perjalanan saya nyetir motor, helem saya hilang. Terpaksa tidak menggunakan helem, jas hujan pun tak
punya. Waktu itu gerimis dimulai sebelum maghrib tiba, hingga di perjalanan tak kunjung reda.

Jalanan licin tidak menghambat saya untuk tetap berani memantapkan hati kepada aba ummi,
mengungkapkan perasaan yang telah lama bersemi. Gerimis itu mengiringi air mata yang hadir.

Tibalah di rumah. Jalal memilih langsung pulang, episode naruto yang ia tonton belum selesai. Saya
persilahkan, hati-hati pesan saya ke Jalal. Saya pun bertemu aba ummi. Bersalaman penuh hormat,
untuk ummi spesial saya cium pipi lembut beliau.

Saya yang sedari awal kebingungan semakin canggung untuk menghadap beliau yang sedang berduaan
dengan aba di meja makan. Saya pun bergabung sembari tersenyum. Saya awali dengan bercerita
tentang kuliah, lomba karya tulis ilmiah yang lolos 20 besar terbaik, tentang masa depan pendidikan
adek dan banyak hal lain yang dihias dengan canda dan tawa.

Setelah saya bercerita banyak hal, saya pun mengungkapkan kalau kedatangan saya tidak hanya ingin
menghadiri acara pernikahan sepupu saja.

Aba yang mulai keheranan dengan raut wajah penasaran pun bertanya, kenapa nak?

Diikuti ummi yang juga mengerutkan dahi bertanda curiga. Saya pun kembali tersenyum. Mereka berdua
nampak keheranan dalam memahami ekspresi wajah saya yang mulai tidak jelas.
Saya ungkapkan kalau saya di pondok mengalami kebingungan yang sangat. Namun saya belum berani
mengungkapkan latar belakang kebingungan saya itu dikarenakan apa. Saya belum berani
mengungkapkan, saya kaku sekali saat itu.

Pada akhirnya aba ummi beranjak meninggalkan meja makan, tinggal lah saya sendirian di meja makan
itu. Sembari tertunduk.

"Mbok (sapaan nenek dari ummi) jatuh di kamar mandi nak, keadaannya sangat memprihatinkan, kamu
gak mau menjenguk?" Pelan ummi berkata setelah sempurna dari dapur.

"Iya mi, saya mau ke rumah mbok bentar lagi" Jarak yang begitu dekat mengharuskan saya untuk
menjenguk mbok.

"Apa yang kamu pikirkan?" Tanya ummi sambil berjalan menuju rumah mbok. Saya hanya
menggelengkan kepala.

Saya pun kembali ke kamar, lagi-lagi saya belum berani mengungkapkan perasaan saya.

Di kamar saya pun memantapkan diri untuk berani meluapkan isi hati saya. Hingga pada akhirnya saya
pun memutuskan menjenguk mbok yang sedang bersama ummi.

Sesampainya di rumah mbok, saya pun menangis melihat keadaan mbok yang hanya berbaring lemas
tak berdaya, terlentang tanpa gerakan.

Tak seperti dulu yang rajin memberikan saya uang jajan saat berangkat ke madrasah, tidur bersama saat
malam, hingga lupa pada rumah sendiri karena lebih nyaman tidur bersama mbok.

Saya juga ingat saat saya dipaksa mandi setelah seharian bermain hingga tak segan mbok yang
memandikan saya, dimarahi mbok, makan bareng mbok. Dan semua kenangan indah bersama mbok,
kini hanya tinggal tubuh yang mulai rapuh dimakan usia.
Tangisan saya semakin menjadi, gak kuat melihat beliau seperti itu, saya cium tangan beliau berkali-kali,
pipi beliau. Kembali air mata ini menetes semakin deras. Mbok hanya berkata.

"Kapan nyampek rumah, nak?"

Saya pun menjawab "Barusan mbok" Sambil menghapus air mata.

Keadaan hening seketika

Tangan saya memijat pelan lengan mbok.

Mungkin sekarang waktu yang pas untuk mengungkapkan harapan ku selama ini kepada ummi.

Berat hati ini untuk mengungkapkan perasaan kepada ummi yang sedang menulis tugas dari sekolah TK
yang sudah puluhan tahun beliau mengabdi di TK Muslimat NU III.

Kebingungan kembali hadir, bagaimana saya mengungkapkan sedangkan keadaan mbok seperti ini.
Kembali saya tertunduk.

"Kamu kenapa?" Deg, seketika ummi memecahkan keheningan.

"Gak papa mi," Jawabku sambil geleng-geleng kepala.

"Orang tua lebih paham dengan keadaan anaknya, ummi tahu nak, kamu sedang mengalami
kebingungan, cerita ke ummi"

Keadaan kembali sunyi, saya terdiam. Hingga akhirnya saya pun menjawab pertanyaan ummi.

'Bismillahirrahmanirrahim' ucapku lirih diikuti hati yang bergetar.

"Saya ingin bertunangan mi" Jawabku sambil menatap ummi.


Mendengar kalimat itu, ummi kaget. Seketika menghentikan kegiatan menulis beliau. Dengan raut wajah
heran ummi berkata.

"Benar apa yang ada dalam pikiran ummi, nak. Kamu pasti akan bilang seperti itu." Sontak ummi berkata
dengan nada tinggi tanpa senyuman lagi.

Ummi tidak suka akan kalimat saya. Ummi mengerutkan dahi, bertanda benci atas kalimat itu.

"Nak, tunggu sukses dulu, sarjana dulu, belum waktunya kamu memikirkan hal ini. Lagian Mbok juga lagi
sakit, uang juga gak ada, kamu mau nyuruh ummi ngutang, gitu ya? Udah tahu keadaan ekonomi
keluarga kayak gini. Ayo dong nak fokus pendidikan dulu" Tutur ummi tegas.

Aku yang tak tahan, akhirnya mengelak.

"Mi, sampean mengukur kesuksesan cuma dengan banyak uang ya kan? Coba seandainya kita punya
uang banyak, pasti jawaban nya tidak seperti itu. Apa-apa diukur dengan uang uang dan uang. Toh, saya
keinginan seperti ini bukan berarti ingin menghabiskan uang sampean. Kalau sampean merestui, justru
saya lebih fokus tanpa memikirkan hal-hal yang gak jelas. Saya cuma ingin restu dari sampean mi.
Kenapa sampean langsung merespon seperti itu? Kenapa sampean gak menghargai keinginan saya, baik
dengan menanyakan siapa dia dari mana asal nya? Lagian saya dengan dia masih sama-sama fokus
pendidikan, saya kuliah dia pun kuliah. Jadi tidak mungkin kami tidak fokus pendidikan, karena kami
sama-sama berada di dunia pendidikan." Tegasku sambil lalu memijat lengan mbok.

Suasana kembali sunyi.

Begitulah ummi semuanya diukur dengan uang.

Seketika keadaan diam. Ummi melanjutkan tugas menulisnya. Saya tetap memijat lengan mbok, sembari
membenarkan selimut mbok yang mulai gak karuan.

"Terserah kamu, sana bilang ke aba saja. Ummi bukan gak setuju, nak. Ummi memikirkan masa depan
mu, lagian ummi juga belum punya uang untuk itu, mbok juga masih seperti ini keadaan nya."
"Iya mi, saya paham. Saya cuma ingin tahu bagaimana sampean menanggapi keinginan saya ini, ternyata
sampean tidak menghargai. Keinginan saya tetap, tidak mau kalo dijodohkan"

Ummi hanya mengulang kalimat nya untuk menanyakan langsung ke aba.

Begitulah respon ummi tanpa kejelasan. Yang saya ingat hanya 'ummi bukan tidak setuju, ummi masih
memikirkan keadaan ekonomi keluarga nak', saya hanya berkesimpulan ummi merestui keinginan saya
walaupun masih belum valid.

Saya pun pamit ke mbok untuk kembali ke rumah. Sesampainya di kamar, saya pun rebahan, hati mulai
lega. Walaupun kebingungan masih melanda. Saya pun tetap teringat dengan jawaban ummi yang masih
bimbang.

Dalam sejarah kehidupan saya, hanya pertama kali saya mencurahkan isi hati ini tentang tunangan.
Sebelumnya tidak pernah dan bahkan tidak berani. Keberanian ini saya ambil atas dasar kasih sayang
yang besar terhadap seorang yang sudah saya kenal selama satu tahun ini.

Tidak ada yang bisa saya renungkan kecuali perasaan ini, malam itu. Saya hanya berharap aba ummi
merestui.

Wanita yang selama ini saya kagumi, hingga akhirnya saya berani mengungkapkan kepada orang tua
untuk menjalin hubungan serius yaitu mahasiswi yang sedang berjuang di Universitas Paterongan Darul
Ulum Jombang (UNIPDU) Prodi kebidanan D3 dan alhamdulillah dia sekarang sudah menjalani proses
pendidikan di semester 5, sebentar lagi dia akan menjalani proses praktek kebidanan baik di puskesmas,
RSUD, Praktek Komunitas, dan praktek-praktek lainnya, 2021 dia akan wisuda D3.

Dan saya gak ingin mengganggu praktek dia dengan hubungan yang tidak jelas ini, oleh karena itu saya
gak ingin kehilangan dia. Saya ingin menemani perjuangan dia hingga dia sukses menjadi bidan yang dia
cita-citakan.

***
Posisiku tetap di kasur merenung dan teringat akan kalimat ummi. Sejam rebahan di kasur sambil
mendengarkan alunan shalawat di YouTube, diusik kedatangan aba, yang tiba-tiba masuk kamar dan
berkata.

"Jangan terburu-buru, nunggu semester 7" Setelah aba membuang kalimat itu, diam sejenak mungkin
nunggu jawaban dariku. Saya diam pura-pura tidak mendengar kalimat itu. Namun akhirnya beberapa
detik kemudian beliau pergi dari kamar begitu saja dan saya yang hanya diam tanpa menatap aba yang
menutup pintu kamar.

Aku hanya berkata dalam hati 'ya akhirnya ummi menceritakan keinginan ku ke aba'.

Tak ada cara lagi malam itu, semuanya aku luapkan dengan melihat foto dia yang tersenyum manis di
layar android ku.

Gerimis malam itu kembali hadir.

Semua masih fokus pendidikan, jangan khawatir jawaban aba ummi pasti berlanjut dengan kepastian
yang sesungguhnya.

Hingga saya selesai nulis cerita ini, ummi tak lagi saling sapa denganku, sikap dingin yang sama pun ada
pada diri aba. Saya hanya berbaring di kasur, tidur dan scroll up medsos gak jelas. Ngajak makan pun tak
pernah saya dengar dari lisan ummi.

Hanya saja setelah saya bangun tidur pasti ada sebungkus nasi tanpa air di dekat kasurku dan itu setiap
saya bangun tidur selalu ada sebungkus nasi itu.

SEKIAN

Ummi mulai enggan masuk kamarku saat aku tak terlelap, dua hari ini beliau tidak menyapaku, begitu
pun aba. Keharmonisan keluarga seketika hilang.
By: Ahmad Imron

Kangenan, Senin 13 Januari 2020

Terakhir ditulis jam 12:20 Wib

Anda mungkin juga menyukai