PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), serta rekomenasi atau alternatif terapi. PTO harus dilakukan
secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. PTO merupakan bagian dari tugas
pokok dan fungsi pelayanan kefarmasian RS dalam Permenkes 1197/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Cephalgia adalah istilah medis dari nyeri kepala atau sakit kepala. Cephalgia berasal
dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu cephalo dan algos. Cephalo memiliki arti
kepala, sedangkan algos memiliki arti nyeri. Cephalgia dapat menimbulkan gangguan pada
pola tidur, pola makan, menyebabkan depresi sampai kecemasan pada penderitanya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Paiva dkk mengidentifikasi adanya gangguan tidur yang
spesifik pada 55% populasi penderita nyeri kepala dengan gangguan tidur pada malam hari
(Hidayati, 2016). Nyeri kepala merupakan suatu penyakit yang sangat umum terjadi di
Indonesia bahkan di dunia. Menurut WHO (2012), sekitar 47% populasi dewasa di dunia
setidaknya pernah mengalami satu kali nyeri kepala dalam satu tahun. Nyeri kepala juga
merupakan salah satu gejala yang paling sering dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan hingga saat ini nyeri kepala masih menjadi masalah yang sering terjadi.
Berdasarkan data prevalensi diketahui bahwa nyeri kepala menempati peringkat teratas
dengan persentase sebanyak 42% dari semua keluhan pasien neurologi (Sjahrir, 2009).
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik seharihari dan telah
dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari semua gejala yang
berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai dieksklusinya gejala refluks hingga ke definisi
terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III.1 Infeksi Helicobacter pylori (Hp) saat ini
dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik
maupun fungsional, sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan
penanganan infeksi Hp. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara
infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan/gejala dyspepsia
(Marsellus, Dkk 2014). Pada kasus ini penderita mengeluh adanya nyeri kepala dan nyeri ulu
hati sehingga berdasarkan data pasien didiagnosa cephalgia dan dyspepsia. Sehingga selama
pasien di rawat akan dilakukan pemantauan terapi obat (PTO) guna pasien mendapatkan
terapi yang efektif dan tepat selama perawatan dan menghindari reaksi obat yang tidak
diinginkan selama pengobatan.
1.1 Tujuan
Tugas khusus ini bertujuan untuk mengkaji profil pengobatan pasien rawat inap di
Rumah Sakit Bhayangkara Brimob untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan mengevaluasi
adanya Drug Related Problem (DRP) serta menilai pengobatan rasional yang ditinjau dari
adanya Drug Related Problem (DRP) serta mengedukasi kepada pasien dalam
pengobatannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang
dapat dijabarkan sebagai berikut : Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi);
Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri); Menghambat
progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal); Mencegah kondisi yang tidak
diinginkan (contoh: stroke). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan
terapi antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan
terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya,
regimen yang mudah dipatuhi.
E. Rencana Pemantauan
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang
tidak dikehendaki.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective
Objective Assessment Planning (SOAP).
1. S : Subjective Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh :
pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
2. : Objective Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.
Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi,
kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
3. A : Assessment Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk
menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan
kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
4. P : Plans Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana
yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
F. Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga
kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari
dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi
yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan
untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.
2.2 Cephalgia
2.2.1 Definisi
Nyeri kepala atau cephalgia adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau
merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala (Goadsby, 2002).
Nyeri kepala umumnya diklasifikasikan sebagai nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder, kemudian dibagi menjadi beberapa jenis nyeri kepala tertentu. Gangguan nyeri
kepala primer adalah nyeri kepala yang sifatnya “idiopatik”, nyeri kepala yang tidak terkait
dengan kondisi patologi atau penyebab lain yang mendasari. Berdasarkan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan biasanya normal, tidak peduli seberapa parah gejala. Kejadian
nyeri kepala primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
sekunder adalah nyeri kepala yang dikaitkan dengan kondisi patologis yang mendasari,
seperti adanya tumor otak, aneurisma, penyakit inflamasi. Dengan pemeriksaan neurologis
dan tes pencitraan telah terbukti membantu dalam diagnostik nyeri kepala sekunder.
2.2.2 Klasifikasi
Menurut PERDOSSI, nyeri kepala dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu nyeri kepala
primer dan nyeri kepala sekunder. Sebanyak 90% dari keseluruhan keluhan nyeri kepala
adalah nyeri kepala primer dan 10% sisanya merupakan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
dikategorikan sebagai nyeri kepala primer jika tidak ditemukan adanya kerusakan struktural
maupun metabolik yang mendasari nyeri kepala. Dikategorikan sebagai nyeri kepala
sekunder apabila nyeri kepala didasari oleh adanya kerusakan struktural atau sistemik dan
biasanya disertai dengan gangguan saraf seperti kejang-kejang, mata juling, penglihatan
ganda, dan kelemahan di salah satu alat gerak. Nyeri kepala primer meliputi tension-type
headache, migrain, dan cluster headache.
2.2.3 Etiologi
Sakit kepala yang sering terjadi mungkin disebabkan karena konsumsi kafein,
demikian hasil sebuah penelitian dari Israel. Penelitian yang dimuat dalam jurnal Cephalgia
tahun 2003 ini melibatkan 36 anak dan remaja berusia antara 6 dan 18 tahun yang sering
mengeluhkan sakit kepala. Dari ke-36 subyek penelitian, 33 di antaranya tidak lagi
mengeluhkan sakit kepala 24 minggu kemudian. 24 minggu adalah jangka waktu setelah
mereka menghentikan kebiasaan minum minuman kola. Kenapa kola dan bukan kopi
dikarenakan tidak ada satupun di antara peserta penelitian yang minum kopi, tapi mereka
umumnya mengkonsumsi paling sedikit 1,5 liter minuman kola per hari (atau rata-rata 11 liter
per minggu) dan itu setara dengan 34 gelas besar kopi seminggu.
2.2.4 Patofisiologi
Menurut Arif Mansjoer (2000), pada nyeri kepala atau cephalgia struktur diwajah
yang peka terhadap rasa nyeri adalah kulit, fasia, otot-otot, arteri ekstra serebral dan intra
serebral, meningen, dasar fosa anterior, fosa posterior, tentorium serebri, sinus venosus,
nervus V, VII, IX, X, radiks posterior C2, C3, bola mata, rongga hidung, rongga sinus, dentin
dan pulpa gigi. Sedangkan otak tidak sensitif terhadap nyeri.
Pada struktur yang disebutkan sebelumnya terdapat ujung saraf nyeri yang mudah
dirangsang atau etiologinya oleh :
1. Traksi atau pergeseran sinus venosus dan cabang-cabang kortikal.
2. Traksi, dilatasi atau inflamasi pada arteri intrakranial dan ekstrakranial.
3. Traksi, pergeseran atau penyakit yang mengenai saraf kranial dan servikal.
4. Perubahan tekanan intrakranial.
5. Penyakit jaringan kulit kepala, wajah, mata, hidung, telinga dan leher.
2.2.6 Penatalaksaan
A. Tension-Type Headache (nyeri kepala tegang)
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis dalam batas normal
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: darah rutin, elektrolit, kadar gula darah,dll (atas indikasi untuk
menyingkirkan penyebab sekunder)
b. Radiologi : atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab sekunder).
B. Migrain
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal,
pemeriksaan neurologis normal. Temuan-temuan yang abnormal menunjukkan sebab-
sebab sekunder, yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas indikasi, untuk
menyingkirkan penyebab sekunder)
b. CT scan kepala / MRI kepala (untuk menyingkirkan penyebab
sekunder) Neuroimaging diindikasikan pada :
• Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup
penderita.
• Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada
migren.
• Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
• Sakit kepala yang progresif atau persisten.
• Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren
tanpa aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
• Defisit neurologis yang persisten.
• Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan
dengan gejala-gejala neurologis yang kontralateral.
• Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
• Gejala klinis yang tidak biasa.
B. Migrain
1. Terapi abortif :
a. Abortif non spesifik : analgetik, obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)
b. Abortif spesifik : triptan, dihidroergotamin, ergotamin, diberikan jika analgetik
atau OAINS tidak ada respon.
2. Analgetik dan OAINS
a. Aspirin 500 - 1000 mg per 4-6 jam (Level of evidence : A).
b. Ibuprofen 400 – 800 mg per 6 jam (A).
c. Parasetamol 500 -1000 mg per 6-8 jam untuk terapi migrain akut ringan sampai
sedang (B).
d. Kalium diklofenak (powder) 50 -100 mg per hari dosis tunggal.
3. Antimuntah
a. Antimuntah oral atau per rektal dapat digunakan untuk mengurangi gejala mual
dan muntah dan meningkatkan pengosongan lambung (B)
b. Metokloperamid 10mg atau domperidone 10mg oral dan 30mg rektal.
C. Cluster Headache (nyeri kepala klaster)
1. Terapi Akut :
a. Inhalasi oksigen (masker muka): oksigen 100% 7 liter/menit selama 15 menit
(level of evidence A)
b. Dihidroergotamin (DHE ) 0,5–1,5 mg i.v. akan mengurangi nyeri dalam 10
menit; pemberian i.m. dan nasal lebih lama.
c. Sumatriptan injeksi subkutan 6 mg, akan mengurangi nyeri dalam waktu 5-15
menit; dapat diulang setelah 24 jam. Kontraindikasi: penyakit jantung iskemik,
hipertensi tidak terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20 mg (kurang efektif
dibanding subkutan). Efek samping: pusing, letih, parestesia, kelemahan di muka.
(A)
d. Zolmitriptan 5 mg atau 10 mg per oral. (B)
e. Anestesi lokal: 1 ml Lidokain intranasal 4%. (B) • Indometasin (rectal
suppositoria).
f. Opioids (rektal, Stadol nasal spray) hindari pemakaian jangka lama.
g. Ergotamine aerosol 0,36–1,08 mg (1–3 inhalasi) efektif 80%.
h. Gabapentin atau Topiramat.
2. Supresi Periodik Klaster
a. Prednison 40–75 mg/hari untuk 3 hari à reduksi dosis dengan interval tiap 3
hari tappering off dalam 11 hari jika nyeri kepala klaster muncul lagi stabilisasi
dosis.
b. Ergotamine tartrate tab 1 mg dosis: 1–2 tab ½–1 jam sebelum prediksi serangan
(Efektif pada 1–2 periode klaster pertama)
c. Dihidroergotamin; Injeksi 1 mg i.m. à 2 kali/hari ½–1 jam sebelum prediksi
serangan
d. Capsaicin o Suspensi capsaicin intranasal; 2 tetes di 2 nostril sensasi burning &
rhinorrhoea diulang tiap hari untuk 5 harià serangan nyeri kepala klaster:
reduksi 67%. o Perlu evaluasi lanjut
e. Methysergide
Aman bila durasi periode klaster < 3 bulan
Efek samping: fibrosis
Dosis: 1–2 mg, 2–3 kali/ hari
o Chlorpromazine: 75–700 mg/hari
2.3 Dyspepsia
2.3.1 Definisi
Menurut Grace & Borley (2006), dispepsia merupakan perasaan tidak nyaman atau
nyeri pada abdomen bagian atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin
digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus.
Dispepsia berasal dari bahasa yunani yaitu duis bad dan peptein to digest yang berarti
gangguan pencernaan (Rani, 2011).
Dispepsia umumnya terjadi karena terdapat suatu masalah pada bagian lambung dan
duodenum. Keluhan refluks gastroesofageal berupa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, tidak lagi dimasukkan ke dalam sindrom dispepsia tetapi langsung
dimasukkan dalam alur atau algoritme dari penyakit gastroesofageal refluks disease (GERD).
Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dan spesivitas dari keluhan tersebut yang tinggi untuk
adanya proses refluks gastroesofageal (Djojoningrat, 2009).
Dispepsia dapat terjadi meskipun tidak ada perubahan struktural pada saluran
pencernaan yang biasanya dikenal sebagai dispepsia fungsional. Gejalanya dapat berasal dari
psikologis atau akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Dispepsia juga dapat merupakan
gejala dari gangguan organik pada saluran pencernaan dan juga dapat disebabkan oleh
gangguan di sekitar saluran (Davidson, 1975)
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan
dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien
Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia
fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien
dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional.5 Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada
550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April
2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus
dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus (Marcellus. DKK, 2014)
2.3.3 Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis
terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas
gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan,
psikologis (Djojoningrat, 2009).
B. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan
akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini
dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan
seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan
merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan
pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien
dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional 26
dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional
memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).
C. Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai
ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada distensi
mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres, paparan asam, kimia atau
rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan glucagon-like peptide.
Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi
dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi
balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri
pada populasi kontrol (Djojoningrat, 2009).
E. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia
fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan
untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang
gagal dengan pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2009).
F. Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional.
Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya
intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan berlemak yang telah dikaitkan
dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40%
termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan
(Chan & Burakoff, 2010). 28 g) Faktor psikologis Berdasarkan studi epidemiologi menduga
bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres
akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang
sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah
stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom
dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).
2.3.5 Penatalaksanaan
Menurut Marcellus Dkk, 2014 Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk
identifikasi patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin.11 Terapi dispepsia sudah
dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan
dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
HEMATOLOGI
Hematokrit 37 40 - 48
TANGGAL
N NAMA RUT
REGIMEN 2/2/2020 3/2/2020 4/2/2020 5/2/2020
O OBAT E
P S M P S M P S M P S
RL
1 +Ketorolac injeksi 14 tpm
500cc/12ja
2 RL injeksi m
3 Ondansentron injeksi 3x 4mg/2ml
4 Omeprazole injeksi 1x 40mg
3x 1sdm
5 Sucralfate sirup (15ml)
kapsul Racik Kapsu
6 nyeri l 3x 1kapsul
kapsul Racik Kapsu
7 batuk l 3x 1 kapsul
8 Eperison Tablet 2x 50mg
Kapsu
9 Cefixime l 2x 200mg
10 Alprazolam Tablet 1x 0,5mg
11 Alpara Tablet 1x 1 tab
12 Ondansentron Tablet 3x 8mg
Keterangan:
P: Pagi S: Siang M: Malam
3.4.2 Obat Diberikan saat Pasien Pulang
NO NAMA OBAT ATURAN PAKAI
1 CEFIXIM 200MG 2X 200MG
KAPSUL RACIKAN BATUK
-Methylprednisolone 2mg
-loratadine ½ tab
-ambroxol 1 tab
-codein 10mg
Mf da in caps no.XXI
3 3X 1 KAPSUL
4 ALPRAZOLAM 0,5MG 1X 1 TAB PRN MALAM HARI
Aturan pakai
Dewasa
kemoterapi dan radioterapi yang menyebabkan muntah tingkat sedang: oral: 8
mg, 1-2 jam sebelum terapi atau injeksi intravena lambat, 8 mg sesaat sebelum
terapi, dilannjutkan dengan 8 mg oral tiap 12 jam sampai dengan 5 hari,
muntah berat karena kemoterapi: oral: 24 mg, 1-2 jam sebelum terapi atau
injeksi intravena lambat, 8 mg sebelum terapi, diikuti dengan 8 mg dengan
interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya (atau diikuti dengan infus intravena 1
mg/jam sampai 24 jam) kemudian diikuti 8 mg oral tiap 12 jam sampai 5 hari.
Sebagai alternatif, infus intravena lebih dari 15 menit, 16 mg sesaat menjelang
terapi, diikuti dengan 8 mg dengan interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya,
kemudian diikuti 8 mg oral tiap 12 jam sampai 5 hari, pencegahan mual dan
muntah setelah pembedahan: oral: 8 mg 1 jam sebelum anestesi diikuti dengan
8 mg interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya atau injeksi injeksi intravena
lambat atau intramuskular 4 mg induksi pada anestesi, pengobatan mual dan
muntah setelah pembedahan: injeksi intramuskular atau intravena lambat: 4
mg dosis tunggal sewaktu induksi anestesi;
Anak
2. OMEPRAZOLE
Indikasi
Tukak lambung, tukak duodenum, GERD, hipersekresi patologis
Kontra indikasi
Penderita yang hipersensitiv dengan omeprazole
Efek samping
Urtikaria, mual muntah, konstipasi, nyeri abdomen, lesu, paraesthesia, vertigo,
alopesia, ginekomastia, impotensi, stomatitis, ensefalopati pada penyakit hati
yang parah, hiponatremia, bingung (sementara), agitasi dan halusinasi pada
sakit yang berat, gangguan penglihatan dilaporkan pada pemberian injeksi
dosis tinggi.
Aturan pakai
Tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi terapi
AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4 minggu pada tukak duodenum
atau 8 minggu pada tukak lambung; pada kasus yang berat atau
kambuh tingkatkan menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan untuk tukak
duodenum yang kambuh, 20 mg sehari; pencegahan kambuh tukak
duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai 20 mg sehari bila
gejala muncul kembali.
Injeksi intravena diberikan selama 5 menit atau melalui infus
intravena; profilaksis aspirasi asam, 40 mg harus telah diberikan
seluruhnya, 1 jam sebelum operasi. Refluks gastroesofagal, tukak
duodenum dan tukak lambung, 40 mg sekali sehari hingga pemberian
oral dimungkinkan.
3. SUKRALFAT
indikasi
tukak lambung dan tukak duodenum
efek samping
konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut
kering, ruam, reaksi hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala,
vertigo, dan mengantuk, pembentukan bezoar
aturan pakai
tukak lambung dan duodenum serta gastritis kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan
sebelum tidur malam) atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum makan dan sebelum
tidur malam, diberikan selama 4-6 minggu atau pada kasus yang resisten, bisa
hingga 12 minggu; maksimal 8 g sehari; Profilaksis tukak akibat stres
(suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Anak di bawah 15 tahun,
tidak dianjurkan.
Interaksi Obat
Menurunnya absorpsi ciprofloxacin, warfarin, ofloxacin, tetrasiklin,
phenytoin, ketoconazole dan tiroxin. Berikan sukralfat 2 jam setelah
pemberian obat tersebut.
o Ambroxol tablet
indikasi
sekretolitik pada gangguan saluran napas akut dan kronis
kontra indikasi
hipersensitif terhadap ambroxol
Efek samping
Reaksi intoleran setelah pemberian ambroksol pernah dilaporkan tetapi
jarang; efek samping yang ringan pada saluran saluran cerna pernah
dilaporkan pada beberapa pasien; reaksi alergi (jarang); reaksi alergi
yang ditemukan: reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea,
demam; tidak diketahui efeknya terhadap kemampuan mengendarai
atau menjalankan mesin.
Aturan pakai
Dewasa:
kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah makan.
Dewasa dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg) 2-3 kali sehari;
Anak 6-12 tahun: 1/2 tablet 2-3 kali sehari. Sirup tetes (drops): 15
mg/ml drops (1 mL= 20 tetes):
Anak s/d 2 tahun:
0,5 mL (10 tetes) 2 kali sehari; Ambroksol drops dapat dicampur
bersama dengan sari buah, susu atau air.Sirup 15 mg/5 mL (1 sendok
takar = 5 mL):
Anak usia 6-12 tahun:
2-3 kali sehari 1 sendok takar; 2-6 tahun: 3 kali sehari 1/2 sendok
takar; di bawah 2 tahun: 2 kali sehari 1/2 sendok takar
o Codein HCL 10 mg
Indikasi
batuk kering atau batuk dengan nyeri.
Kontra indikasi
batuk berdahak, penyakit hepar, gangguan ventilasi.
Efek samping
Konstipasi, depresi pernapasan pada pasien yang sensitive atau pada
dosis besar
Aturan pakai
Dewasa:
10-20 mg tiap 4-6 jam maksimal 120 mg/hari; jarang diberikan sebagai
obat batuk pada anak-anak.
Anak:
6-12 tahun 5-10 mg atau 0,5-1,5 mg/kg bb tiap 4-6 jam maksimal 60
mg/hari; 2-6 tahun 0,5-1 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 4-6
jam maksimal 30 mg/hari.
6. CEFIXIME 200 mg
Indikasi :
Infeksi saluran kemih ringan (uncomplicated) yang disebabkan oleh Escherichia coli
dan Proteus mirabilis, otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenza (strain
dan tonsilitis yang disebabkan Streptococcus pyogenes; bronkitis akut dan bronkitis
kronik dari eksaserbasi akut, yang disebabkan oleh Streptococcus pneuoniae dan
Kontra indikasi:
Hipersensitivitas terhadap cephalosporin
Aturan Pakai:
o Dewasa & anak > 12 tahun atau berat ≥ 30 kg : 2x 50-100 mg sehari. Untuk
infeksi berat dosis dapat ditingkatkan hingga 2x 200mg sehari
o Gonorea : 400mg dosis tunggal
o Anak BB <30 kg : 2x 1,5 – 3 mg/kgBB sehari
o Deman thipoid pada anak-anak, 10-15 mg/kgBB sehari
Efek samping:
diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena penggunaan dosis
tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi
alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam,
demam dan artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal
toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik jaundice; eosinofil,
gangguan darah (trombositopenia, leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik,
anemia hemolitik); nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
Interaksi obat:
Penggunaan cefixime bersamaan dengan obat-obatan pengencer darah atau
antikoagulan tidak direkomendasikan. Obat-obatan antibiotik, termasuk cefixime,
berpotensi meningkatkan risiko pendarahan pada pasien yang menjalani pengobatan
dengan warfarin, salah satu jenis obat pengencer darah.
7. ALPARA
Indikasi
Alpara memiliki kandungan Paracetamol 500 mg, Phenylpropanolamine HCl
12.5 mg, Chlorpheniramine Maleate 2 mg, dan Dextromethorphan HBr 15 mg.
Sedangkan untuk Alpara sirup, setiap satu sendok takar atau 5 ml mengandung
Paracetamol 125 mg, Phenylpropanolamine HCl 3.125 mg, Chlorpheniramine
Maleate 0.5 mg, dan Dextromethorphan HBr 3.75 diindikasikan untuk
mengatasi gejala flu dan batuk. Gejala yang umumnya muncul ketika flu
antara lain seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat, hidung gatal,
hidung berair, mata berair, bersin-bersin, dan juga batuk.
Efek samping
Menyebabkan kantuk, Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, hingga
radang lambung, Gangguan psikomotor, Gangguan irama jantung berupa
takikardia, Retensi urine, Mulut kering
Aturan pakai
Dewasa:
1-2 kaplet diberikan 3 kali sehari.
Anak-anak 6-12 tahun:
½ kaplet atau 2 sendon takar sirup, diberikan sebanyak 3 kali sehari.
8. ALPRAZOLAM
Indikasi
ansietas (pemakaian jangka pendek)
Kontra indikasi
depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi
pulmoner akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik, glaukoma sudut
sempit akut, serangan asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi prematur;
tidak boleh digunakan sendirian pada depresi atau ansietas dengan depres
Efek samping
mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksikal dalam agresi,
gangguan mental, amnesia, ketergantungan, depresi pernapasan, kepala terasa
ringan hari berikutnya, bingung. Kadang-kadang terjadi: nyeri kepala, vertigo,
hipotensi, perubahan salivasi, gangguan saluran cerna, ruam, gangguan
penglihatan, perubahan libido, retensi urin, dilaporkan juga kelainan darah dan
sakit kuning, pada injeksi intravena terjadi: nyeri, tromboflebitis dan jarang
apneu atau hipotensi
Aturan pakai
Untuk ansietas: dosis dimulai dengan 0,75-1,5 mg sehari, diberikan dalam
dosis terbagi. Untuk gangguan panik: 0,5-1 mg diberikan menjelang tidur atau
0,5 mg 3x sehari. Pada pasien usia lanjut: 0,5 sampai 0,75 mg sehari diberikan
dalam dosis terbagi. Anak tidak direkomendasikan.
02/02/2020
(IGD)
S Nyeri kepala sMRS dengan skala nyeri 7-8, demam, sulit tidur, mual, dan nyeri ulu
hati
O TD: 140/80 mmHg
RR: 20x
Nadi: 90x
Suhu: 36,8°C
Problem Terapi DRP
medis
A Nyeri kepala rL infus + ketorolac -
injeksi 14 tpm
eperison Hcl 2x
50mg
Dispepsia Omeprazole inj 1x -
40mg
Sukralfat 3x 15ml
(500mg/5ml)
Sulit tidur Alprazolam 0,5 mg -
malam hari
1 tablet
Rekomendasi: Terapi intervensi dilanjutkan
P Monitoring : Keadaan nyeri, bila demam observasi H2TL
Target : Nyeri berkurang
02/02/2020
(R.inap)
4.1 PEMBAHASAN
Pasien Ny. I berumur 41 tahun masuk di Rumah Sakit Bhayangkara
Brimob pada tanggal 02 Februari 2020 melalui instalasi gawat darurat (IGD).
Pasien mendaftar dengan menggunakan jaminan BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan). Pasien datang dengan keluhan utama nyeri hebat sejak
masuk rumah sakit dengan skala nyeri 7-8 disertai rasa demam, pusing, mual,
lemas seluruh badan, dan nyeri ulu hati.
Pada saat masuk rumah sakit, di IGD pasien di cek tanda-tanda vitalnya
dengan data suhu tubuh 36,8°C, tekanan darah 140/80 mmHg, denyut jantung
90x/ menit, dan pernapasan 20x/ menit. Sebelumnya pasien telah melakukan
pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan hematologi diantaranya
leukosit dengan nilai 6.190 (normal), hematokrit 37 (rendah), hemoglobin 12,3
(rendah) dan trombosit 250.000 (normal).
Di instalasi gawat darurat pasien di tangani oleh dr. D dengan diagnose
utama cephalgia primer dan dyspepsia. Cephalgia Primer (nyeri kepala primer)
merupakan nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam,
karakteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan
atau fotofobia dan fonofobia. Sedangkan dyspepsia merupakan perasaan tidak
nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau dada bagian bawah. Dispepsia
umumnya terjadi karena terdapat suatu masalah pada bagian lambung dan
duodenum. Keluhan refluks gastroesofageal berupa panas di dada (heartburn) dan
regurgitasi asam lambung, tidak lagi dimasukkan ke dalam sindrom dispepsia
tetapi langsung dimasukkan dalam alur atau algoritme dari penyakit
gastroesofageal refluks disease (GERD).
Berdasarkan diagnosa, pasien di berikan obat untuk terapi pengobatan
yaitu infusan rl dan ketorolac untuk membantu menhilangkan nyeri kepala dan
lemas pada pasien, selanjutnya untuk dispepsi pasien di berikan terapi pompa
proton inhibitor yaitu omeprazole injeksi 1x 40 mg dan sukralfat 3x sehari
1sendok makan, eperison tab;et 2x 50mg dan pasien mengeluhkan susah tidur
diberikan alprazolam 0,5mg 1 tablet pada malam hari. Pasien mengatakan demam
tetapi suhu badan masi dalam keadaan normal sehingga tidak diberikan obat untuk
demam hanya dengan melakukan observasi H2TL atau hematology blood test
memastikan nilai rujukan pasien normal atau masih dalam ambang batas sehingga
dapat disesuaikan dengan terapi pengobatan.
Pada hari yang sama, tanggal 02 februari 2020 pasien disarankan oleh
dokter untuk di pindahkan ke ruangan rawat inap dewasa untuk selanjutnya
dilakukan perawatan sampai pasien sembuh. Selama perawatan di ruanagan
rawat inap dewasa pasien di tangani oleh dr. T dan pasien tetap di berikan obat
sesuai intervensi awal pengobatan dari IGD yaitu infusan rl+ketorolac 14tpm,
omeprazole injeksi 1x 40mg, sukralfat 3x 1 sdm, dan eperison tab 2x 50mg tetapi
pada malam hari pasien mengeluhkan adanya batuk dan pilek sehingga
ditambahkan dalam regimen pengobatan pasien Alpara tablet 3x sehari 1 tablet.
Selanjutnya pada tanggal 03 februari 2020 pada saat visite dokter pasien
mengeluhkan demam, pusing, mual, dan batuk pilek dengan tanda-tanda vital
tekanan darah 110/70 mmHg, suhu badan 36°C, denyut nadi 81x/ menit, dan
pernapasan 22x/ menit maka dokter membuat assessment terbaru untuk pasein
yaitu cephalgia primer dan tonsilo pharyngitis dengan membuat regimen terapi
pengobatan terbaru pasien dengan penambahan antibiotic cefixime 200mg 2x
sehari untuk infeksi tonsilo pharyngitis, infusan rl tiap 12jam, omeprazole injeksi
1x 40mg, sukralfat 3x 1sdm, kapsul nyeri (paracetamol 300mg + eperison 2/3
tablet) 3x 1 kapsul, alpara diganti dengan kapsul racikan batuk
(Methylprednisolone 2mg, loratadine 5 mg, ambroxol 30mg, codein 10mg) 3x
sehari 1 kapsul, dan jika susah tidur diberikan alprazolam 0,5mg pada malam hari
dan untuk mual diberikan ondansentron 8mg injeksi hanya untuk 1x penggunaan.
Pada tanggal 04 februari 2020, pasien mengeluhkan batuk berdahak
dengan tanda-tanda vital tekanan darah 110/80 mmHg, suhu badan 36°C, denyut
nadi 80x/ menit, dan pernapasan 20x/ menit. Intervensi pengobatan tetap
dilanjutkan seperti biasa. Selanjutnya pada tanggal 05 februari 2020 dr. G
melakukan visite pasien dengan keluhan pasien batuk sedikit tetapi mual dna
nyeri kepala sudah hilang. Pasien Ny. I diperbolehkan untuk rawat jalan dengan
catatan kontrol kembali 1 mggu kemudian. Pasien mendapatkan obat pulang
yaitu cefixime 200mg 2x1 kapsul, kapsul racikan nyeri (paracetamol 300mg +
eperison2/3 tab) 3x 1 kapsul, kapsul racikan batuk (Methylprednisolone 2mg,
loratadine 5 mg, ambroxol 30mg, codein 10mg)3x 1 kapsul, dan jika susah tidur
diberikan alprazolam 0,5mg pada malam hari. Selama terapi pengobatan
diberikan pada pasien hasil Analisa DRP tidak ditemukan sehingga terapi pada
pasien efektif dan tepat untuk meningkatkan kesembuhan. Obat- obat yang
diberikan pada pasien tepat dan tidak memberikan reaksi obat yang merugikan
sehingga terapi pasien dalam pengobatan maksimal.
a. Memberikan informasi secara jelas dan lengkap tentang obat yang akan
digunakan oleh pasien mengenai fungsi obat, cara penggunaan, frekuensi
penggunaan, dan waktu penggunaan obat.
b. Menyarankan kepada pasien agar obat yang diberikan dikonsumsi tepat
waktu agar tujuan terapi tercapai.
c. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang
bergizi.
d. Istirahat yang cukup
e. Setelah obat habis, dianjurkan kontrol kembali ke dokter.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Pasien atas nama Ny. I di diagnosa menderita Cephalgia primer dan dyspepsia atau
lebih dikenal nyeri kepala dan nyeri ulu hati.
2. Pasien Ny.I mendapatkan perawatan mulai dari tanggal 02 februari 2020 hingga 05
februari 2020.
3. Pasien Ny. I mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang tepat.
4. Obat-obat yang diterima pasien Ny. I sesuai dosis dan tidak adanya interaksi obat dan
reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD)
5.2 Saran
Rumah Sakit Bhayangkara Brimob Kelapa dua, Depok senantiasa mampu
mempertahankan ketepatan perawatan bagi pasien untuk mempertahankan kualitas
rumah sakit yang baik.