Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus

Pasien dengan Emboli Paru Akibat


Trombosis Vena Dalam
Muhammad Muqsith
Muhammad Soetomo

Departemen/SMF Kardiologi & Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga


RSUD Dr. Soetomo-Surabaya
ABSTRACT

Pulmonary emboli (PE) is still a major health problem of the world with high morbidity and mortality
rate. Deep vein thrombosis (DVT) is also a major cause of preventable death globally. Both DVT and PE
are the clinical manifestation of venous thromboembolism (VTE). Due to the non-specific nature of signs
and symptoms of PE, the best evidence-based approach to diagnose VTE thoroughly is to employ the
clinical pretest probability (e.g. Wells score) combined with specialized diagnostic algorithms using
primarily D-dimer assay, echocardiography, vascular ultrasonography and CT angiography.
Furthermore, PE is classified as non-high- and high-risk; anticoagulant is indicated for the former,
thrombolysis or embolectomy the latter. This is a case report of a 56 years old female diagnosed with
DVT and complicated by PE.

Keywords: deep vein thrombosis, pulmonary emboli, CT angiography, Wells score

PENDAHULUAN

Emboli Paru (PE) merupakan masalah besar kesehatan dunia dengan angka kesakitan dan kematian yang
cukup tinggi mencapai 30% jika tidak diobati. Diperkirakan didapatkan lebih dari 250.000 pasien setiap
tahunnya di US, mengakibatkan 50.000 kematian dan menduduki urutan ketiga penyebab kematian
diantara pasien rawat inap. Di literatur lain diperkirakan kematian akibat PE mencapai 100,000 hingga
180,000 kematian per tahunnya di AS dan kematian akibat PE adalah penyebab kematian yang
seharusnya paling dapat dihindari pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit. Selanjutnya, Trombosis
Vena Dalam (DVT) juga merupakan penyebab kematian mayor dan umum di dunia yang sebenarnya
dapat ditangkal. DVT mempengaruhi kira-kira 0.1% jiwa per tahun. Insidens DVT pada populasi usia
rata-rata adalah 48 per 100,000 jiwa per tahun. 1-3

Dalam laporan kasus berikut akan dijabarkan tentang PE pada seorang perempuan dewasa yang
merupakan komplikasi dari DVT.

1
KASUS

Seorang pasien perempuan berumur 56 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Haji Surabaya (RSUHS)
dengan keluhan utama sesak. Sesak nafas dialami sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul
tiba-tiba setelah pasien mencoba bergerak (menggerakkan kaki) dan menetap bahkan saat istirahat.
Kendati demikian, pasien dapat berbaring tanpa bantal namun napas lebih lega jika tidur ke sisi kanan.
Batuk sangat minimal, tidak disertai lendir maupun darah. Pasien juga mengeluhkan tungkai kanannya
membesar sejak sebulan sebelumnya. Nyeri tungkai tidak ada. Pasien dirawat inap karena sesak napasnya
di RSUHS selama 7 hari dengan diagnosis edema paru akut. Namun di hari ke-8 perawatan ujung jari-jari
kaki kanannya membiru, teraba dingin tanpa mati rasa, sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Umum Dr.
Soetomo (RSUDS) dengan diagnosis tambahan iskemia tungkai akut karena trombosis arteri poplitea
kanan untuk direncanakan trombektomi.

Beberapa tahun sebelum perawatan di RSUHS pasien pernah mengalami fraktur di tibia kiri dan telah
dipasang pelat. Namun pasien baru menjalani operasi pengambilan pelat tersebut 2 bulan terakhir, dan
sejak itu karena nyeri pasien jarang bergerak dan hampir selalu berbaring di atas tempat tidur. Pasien
diketahui mengidap diabetes mellitus dan hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, namun kontrol dan minum
obat tidak teratur.

Pemeriksaan fisik di unit gawat darurat RSUDS menunjukkan pasien obese dengan keadaan umum lemah
dan agak gelisah. Sejak dari RSUHS pasien sudah terpasang masker O 2 10 lpm dengan reservoir, kateter
vena sentral dengan tekanan RA 17 cmH 2O, dan dopamin IV 7 mcg/kg/menit. Tekanan darah 80/50
mmHg, nadi 120 kali/menit reguler, napas 32 kali/menit dan suhu aksila 36.5ºC. Pada pemeriksaan
kepala/leher tidak didapatkan anemia, sianosis, atau peningkatan tekanan vena jugularis. Pada
pemeriksaan dada didapatkan iktus kordis teraba pada ruang antar-iga V lateral garis midklavikula kiri
dengan suara jantung S1S2 tunggal, tanpa bising jantung. Tidak terdengar friction rub. Pada auskultasi
paru suara napas vesikuler tanpa rhonki maupun wheezing. Pemeriksaan abdomen supel, hepar dan lien
tidak teraba, bising usus normal. Pemeriksaan ekstremitas tungkai kiri didapatkan akral hangat tanpa
edema. Tungkai kanan tampak edema pitting mulai dari regio femoralis hingga pedis, lingkar betis kanan
5 cm lebih besar daripada kiri, regio metatarsofalangeal I-IV sianotik dan dingin. Pada pemeriksaan
pulsasi arteri, di tungkai kanan masih teraba pulsasi hingga sejauh arteri tibialis posterior namun arteri
dorsalis pedis sulit diraba.

Sambil pasien menunggu hasil pemeriksaan laboratorium dan foto, pasien dikonsulkan ke Bagian Bedah
Thoraks Kardiovaskuler (BTKV) untuk evaluasi terkait rujukan rencana trombektominya. Hasil evaluasi
menunjukkan iskemia kaki kanan akibat mikrotrombus di arteri perifer kaki kanan. Bagian BTKV

2
memutuskan pasien tidak memerlukan trombektomi dan menyarankan untuk dirawat secara konservatif
dengan enoxaparin SC 1 × 60 mg.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 13.9 gr/dl, leukosit 14300/µL (granulosit 72.6%), Trombosit
214000/µL, BUN 25.8 mg/dl, kreatinin serum 0.8 mg/dl, SGOT 36 U/L, SGPT 27 U/L, albumin 3.3
mg/dl, gula darah acak 204 mg/dl, kalium 4.2 mEq/L, natrium 139 mEq/L. Pemeriksaan D-dimer tidak

dilakukan. Analisis gas darah arteri: pH 7.52, pCO 2 27.1 mmHg, pO2 46.7 mmHg, HCO3 22.5 mmol/L,

BE -0.5 mmol/L, satO2 87.6%. Foto thoraks menunjukkan kardiomegali dengan CTR 63%, dengan batas
jantung kanan melebar dan pinggang jantung masih tampak. EKG adalah irama sinus 115 kali/menit,
deviasi aksis frontal ke kanan, dan blok cabang berkas kanan (RBBB) komplet. Ekokardiografi
menunjukkan (a) Katup-katup: TR berat [TR maxPG 70.46 mmHg]. (b) Dimensi ruang-ruang jantung:
RA dilatasi [RA Major 5.7 cm, RA minor 4.0 cm] dengan estimasi RAP 15 mmHg, RV dilatasi [RVDB
3.3 cm] dengan PHT berat [85.46 mmHg], tidak tampak vegetasi atau trombus intrakardiak. (c) Fungsi
sistolik LV normal [EF 78% (Teicholz), 72% (Biplane)], fungsi diastolik LV pseudonormal, fungsi
sistolik RV menurun [TAPSE 1.3 cm]. (d) Analisis segmental LV IVS paradoksal. (e) Tidak terdapat
LVH. USG Doppler vaskuler menunjukkan aliran trifasik normal hingga arteri dorsalis pedis kanan dan
arteri tibialis posterior kanan; trombus setinggi vena femoralis kanan [CUS (-), Augmentasi (-), Refluks
(-)]. Pemeriksaan angiografi CT Thoraks (Gambar 1) menunjukkan trombus multipel di arteri pulmonalis
dan percabangannya, dengan ukuran bagian trombus terbesar 1.91 × 2.23 × 6.49 cm di arteri pulmonalis
kanan utama. Di arteri pulmonalis kiri tampak trombus yang lebih kecil.

Gambar 1. Angiografi CT thoraks pasien. Tampak trombus di arteri pulmonalis kanan dan kiri (*). Trombus kanan (panah besar)
memenuhi hampir seluruh lumen arteri pulmonalis kanan utama dibandingkan trombus di kiri (panah kecil).

Pasien didiagnosis dengan emboli paru, syok kardiogenik, trombosis vena dalam. Tambahan diagnosis
lainnya adalah iskemia tungkai akut kanan Stadium IIa, DM tipe II dan obesitas. Mempertimbangkan

3
ukuran emboli yang besar, pasien dikonsulkan kembali ke BTKV untuk embolektomi, namun karena
keterbatasan ruang operasi pasien direncanakan tindakan 12 jam kemudian. Sementara menunggu
trombolisis dijalankan. Pasien dimasukkan ke ruang perawatan kardiak intensif (ICCU). Terapi yang
diberikan adalah masker O2 reservoir 10 lpm, infus NaCl 0.9% 500 cc/24 jam, minum maksimum 500
cc/24 jam, streptokinase IV 250.000 IU bolus dalam 30 menit dilanjutkan 250.000 IU/jam selama 12 jam,
dopamin 7mcg/kg/menit, enoxaparin SC 2 × 60 mg, ASA PO 1 × 100 mg dan simvastatin PO 0–0–20 mg.
Saat di ICCU Bagian BTKV merevisi saran; embolektomi dilakukan jika trombolitik tidak berhasil.

Pasien menunjukkan perbaikan hemodinamik minimal sejak trombolitik dimulai. Tekanan darah naik
sedikit hingga 90/60 mmHg, dan nadi 110 kali/menit. Tidak tampak tanda perdarahan. Dalam
perjalanannya, 14 jam setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami perburukan keadaan; pasien tiba-tiba
sesak napas hebat dengan tekanan darah tiba-tiba menurun hingga 70/50 mmHg dengan nadi 130
kali/menit reguler dan napas 34 kali/menit. Pasien lalu disedasi dan dipasang ventilator sambil
dipersiapkan untuk operasi embolektomi darurat dengan dugaan emboli masif yang baru. Terapi ditambah
norepinefrin IV hingga 300 ng/kg/menit. Ekokardiografi evaluasi hemodinamik menunjukkan PCWP 14

mmHg, PVR 1071 dyn·s/cm5, SVR 1006 dyn·s/cm5, CI 1.8 L/menit/m2. Selain itu tampak perburukan
fungsi sistolik RV [TAPSE 0.6 cm]. Beberapa jam kemudian pasien mengalami henti jantung. Resusitasi
jantung paru otak dilakukan namun sirkulasi spontan tidak kembali. Pasien dinyatakan meninggal yang
diduga akibat emboli paru masif.

DISKUSI

Rudolph Virchow telah mendeskripsikan tiga kondisi yang mencetuskan trombus, yaitu jejas endotel,
stasis atau turbulensi aliran darah, dan hiperkoagulabilitas darah. Stasis dan jejas endotel adalah penting
dalam hal DVT setelah trauma atau operasi sedangkan hiperkoagulabilitas berperan utama pada sebagian
besar kasus DVT spontan. Setidaknya 96% pasien yang diobati karena VTE mendapat setidaknya satu
faktor risiko. Pada orang dewasa, kondisi klinis yang menjadi predisposisi VTE adalah usia lanjut, kanker
dan pengobatannya, imobilitas yang lama, stroke atau paralisis, VTE sebelumnya, gagal jantung
kongestif, infeksi akut, kehamilan atau nifas, dehidrasi, terapi hormonal, kontrasepsi oral (terutama yang
mengandung progestin generasi ketiga), varises, perjalanan udara jauh, acute inflammatory bowel disease,
penyakit sendi dan sindroma nefrotik. Faktor didapat yang lain yang telah diasosiasikan dengan kenaikan
risiko VTE adalah elevasi D-dimer persisten dan penyakit aterosklerotik. Faktor genetik yang berperan

kuat adalah defisiensi antitrombin, protein C dan protein S. 2,4

4
Pasien pernah mengalami fraktur di tibia kiri, dipasang pelat, namun baru menjalani operasi
pengambilan pelat tersebut 2 bulan terakhir, dan sejak itu jarang bergerak dan hampir selalu berbaring
di atas tempat tidur. Faktor risiko pasien adalah riwayat operasi ortopedik dan imobilisasi lama.

Pendekatan umum yang sesuai dengan bukti-bukti ilmiah untuk mendiagnosis VTE adalah menggunakan
sistem skor CPTP (clinical pretest probability) yang menggabungkan faktor risiko, tanda dan gejala, lalu
distratifikasi. Namun sifatnya hanya estimasi yang tidak menjamin akurasi diagnosis pada pasien yang
dicurigai DVT. Model yang paling sering digunakan adalah yang disusun oleh Wells dkk pada Tabel 1.
Berdasarkan presentasi klinis faktor risiko, model ini awalnya membagi pasien menjadi kelompok
probabilitas rendah, menengah dan tinggi dengan risiko DVT masing-masing kelompok 5%, 33% dan
85%. Selanjutnya Wells dkk merevisi sistem skornya menjadi hanya dua kategori: “DVT hampir tidak

mungkin” jika skor ≤1 dan “DVT mungkin” jika skor >1.4-6

5,7
Tabel 1. Skor Wells untuk CPTP pada DVT.
Variabel Poin
Kanker aktif (dalam pengobatan dalam 6 bulan ini atau paliatif) +1
Paralisis, paresis, atau imobilisasi plaster ekstremitas bawah +1
Imobilisasi 4 hari terakhir atau operasi mayor dalam 4 minggu +1
Nyeri terlokalisasi sesuai distribusi sistem vena dalam +1
Seluruh tungkai bengkak +1
Betis bengkak lebih dari 3 cm dibanding dengan sisi yang lebih sehat (10 cm di bawah tuberositas tibialis) +1
Edema pitting terbatas pada tungkai simtomatik +1
Vena kolateral superfisial (nonvarises) +1
DVT sebelumnya +1
Diagnosis alternatif lebih tidak mungkin dibandingkan DVT –2
1. DVT sangat tidak mungkin: ≤1; DVT mungkin: >1
2. Risiko DVT rendah: <1; menengah: 1–2; tinggi: ≥3

Pasien imobilisasi sejak 2 bulan terakhir (+1), betis kanan 5 cm lebih besar daripada kiri (+1) dengan
seluruh tungkai kanan bengkak (+1) disertai edema pitting (+1). Dengan demikian skor DVT Wells untuk
pasien ini adalah 4 (DVT mungkin, risiko tinggi)

PE adalah penyumbatan arteri pulmonalis oleh suatu embolus yang terjadi secara tiba-tiba yang relatif
sering pada kegawatan kardiovaskuler. Spektrum penyakit PE sangat luas; mulai dari yang asimtomatik,
trombus subsegmental yang tidak sengaja terdeteksi pada CT-Scan thoraks, hingga PE yang tergantung
obat-obat pressor dengan komplikasi syok kardiogenik dan kegagalan multiorgan. Di antara dua nilai

ekstrim ini adalah pasien simtomatik risiko rendah atau menengah. 1,8

DVT dan PE adalah dua manifestasi klinis penyakit tromboembolisme vena (VTE). Karena PE pada
sebagian besar kasus adalah konsekuensi dari DVT, maka dalam perjalanan penyakit VTE harus diamati
secara keseluruhan ketimbang mengkotakkan PE dan DVT secara terpisah. Perjalanan alamiah VTE
mulai dipelajari sejak 1960-an pada pasien ortopedik, dimana bukti-bukti ilmiah lanjutan menunjukkan

5
bahwa DVT muncul lebih jarang pada operasi umum dibandingkan dengan operasi ortopedik. Risiko
VTE paling tinggi pada 2 minggu pasca operasi tapi tetap tinggi hingga 2 – 3 bulan selanjutnya. 1,2,9

Pasien menjalani operasi pengambilan pelat ortopedik di tibia kiri 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Sejak itu pasien jarang bergerak dan hampir selalu berbaring di atas tempat tidur.

Algoritma diagnostik DVT terdapat pada Skema 1. Sebagian besar pasien dengan DVT simtomatik
menderita trombus proksimal, dan pada 40–50% kasus berkomplikasi PE walaupun asimtomatik. Pada
pasien PE, 70% didapatkan DVT pada ekstremitas bawah jika metode diagnostik yang sensitif digunakan.
PE terjadi 3–7 hari setelah awitan DVT, dan dapat menjadi fatal dalam 1 jam sejak muncul gejala pada
10% kasus, dimana kasus fatal biasanya sering tidak terdiagnosis. PE berpresentasi dengan syok atau
hipotensi pada 5 – 10% kasus; dan hingga 50% pada kasus tanpa syok tapi dengan tanda-tanda disfungsi
ventrikel kanan (RV), yang menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Setelah PE, resolusi defek perfusi
komplet terjadi pada kira-kira dua pertiga kasus. Sebagian besar kematian terjadi pada pasien yang tidak
tertangani karena PE tidak terdiagnosis. Hipertensi pulmonal tromboembolik kronik (CTEPH) terjadi

pada 0.5 – 5% pasien PE yang diterapi.1,2

2,7
Skema 1. Algoritma diagnosis DVT.

Nilai CPTP pasien adalah 4, yaitu masuk risiko DVT tinggi, maka selanjutnya pasien menjalani USG
vaskuler Doppler. Karena tampak adanya trombus setinggi vena femoralis kanan, maka diagnosis DVT
ditegakkan. Pasien tidak perlu lagi diperiksakan D-dimer.

6
Konsekuensi utama dari PE adalah gangguan hemodinamik, yang mana akan muncul bila >30 – 50%
jejaring arteri pulmonalis teroklusi oleh tromboemboli. Emboli multipel yang besar dapat meningkatkan
secara tiba-tiba resistensi vaskuler paru sehingga tidak sempat dikompensasi oleh RV. Kegagalan RV
dapat mengakibatkan hipotensi sistemik dan menyebabkan syok dan kematian. Jika pasien dapat bertahan
pada fase akut episode PE, sistem simpatis akan diaktivasi. Rangsangan kronotropik dan mekanisme
Frank-Starling meningkatkan tekanan arteri pulmonalis untuk meningkatkan curah jantung. Bersama
dengan meningkatnya resistensi sistemik perifer, tekanan darah akan naik kembali. Namun tanpa
prekondisi, RV tidak mampu menghasilkan tekanan lebih dari 40 mmHg, sehingga destabilisasi
hemodinamik sekunder akan terjadi, biasanya dalam 24 – 48 jam pertama akibat emboli rekuren dan atau
perburukan fungsi RV. Hal ini akan menyebabkan iskemia RV dan penurunan fungsi RV lebih jauh yang

akhirnya menjadi lingkaran setan dengan akhir yang fatal. 1

Insufisiensi pernapasan pada PE pada dasarnya adalah konsekuensi dari gangguan hemodinamik.
Beberapa faktor dapat menyebabkan hipoksia pada PE. Curah jantung yang rendah menyebabkan
desaturasi darah vena yang masuk ke paru. Area paru yang mengalami penurunan aliran dan area lain
yang menerima kelebihan aliran darah akan menyebabkan mengganggu keseimbangan ventilasi-perfusi
sehingga terjadi hipoksemia. Pada sepertiga kasus, pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale karena lebih

tingginya tekanan sisi kanan akan menyebabkan hipoksemia berat dan embolisasi paradoksal. 1

Pasien menunjukkan tanda-tanda hipoksemia (takipnea, pO 2 46.7 mmHg, saturasi 87.6%) namun tanpa
edema paru (tidak ada ortopnea, suara napas vesikuler tanpa rhonki maupun wheezing). Tidak tampak
gambaran edema paru pada foto thoraks.

Derajat berat PE sebaiknya tidak selalu dihubungkan dengan distribusi, bentuk maupun berapa besar
embolinya (anatomical burden) namun harus dipandang dari segi risiko mortalitas dini (Tabel 2). Dengan
demikian, istilah subjektif “masif”, submasif” dan “non-masif” sebaiknya diganti dengan taksiran angka
kematian terkait-PE. Stratifikasi PE ke dalam beberapa level risiko kematian dini (mortalitas in-hospital
atau 30-hari) berdasarkan pada tiga kelompok penanda risiko: 1. klinis (syok atau hipotensi); 2. disfungsi
RV (dilatasi RV, hipokinesis atau overload tekanan, kenaikan BNP [brain natriuretic peptide] atau NT-

proBNP [N-terminal proBNP]); dan 3. Jejas miokard (troponin kardiak).1,10

Pasien mengalami syok kardiogenik yang terstabilisasi dengan dopamin intravena. Dengan demikian,
sesuai Tabel 2 pasien otomatis masuk kategori PE risiko tinggi. Pasien direncanakan trombolisis atau
embolektomi.

7
Tabel 2. Stratifikasi risiko kematian pada PE.
1,10
Risiko mortalitas dini terkait-PE Penanda risiko Rencana terapi
Klinis Disfungsi RV Jejas miokard
Tinggi >15% + +* +* Trombolisis atau embolektomi
Non-tinggi Menengah 3 – 15% – +/– +/– Rawat inap
Rendah <1% – – – Rawat jalan
*jika tanda klinis sudah ada, tidak penting menentukan ada tidaknya disfungsi RV dan jejas miokard

Evaluasi derajat kemungkinan PE berdasarkan presentasi klinis adalah yang terpenting. PE harus
dicurigai pada semua pasien yang datang dengan dispnea baru atau memburuk, nyeri dada, atau hipotensi
berkepanjangan tanpa sebab yang jelas. PE masif harus dipertimbangkan jika ditemukan instabilitas
hemodinamik (termasuk tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau terdapat penurunan lebih dari 40
mmHg), sinkope, hipoksemia dan respiratory distress. Sinkope jarang ditemukan namun penting sebagai
tanda cadangan hemodinamik yang habis. Nyeri dada pleuritik dengan atau tanpa dispnea adalah gejala
PE yang paling sering. Nyeri ini disebabkan oleh iritasi pleura oleh emboli-emboli kecil di pembuluh
darah distal yang menyebabkan infark paru dan perdarahan alveolar, kadang-kadang diikuti dengan
hemoptisis. Jika hanya dispnea yang muncul secara tiba-tiba, maka PE sentral harus dicurigai, dimana
terjadi penyumbatan cabang-cabang utama arteri pulmonalis yang lebih membahayakan hemodinamik
pasien. Nyeri dada retrosternal mirip angina dapat berhubungan dengan iskemia ventrikel kanan (RV)

akibat beban tekanan sisi kanan.1,4,7,9,11

Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada apapun, hanya dispnea yang muncul tiba-tiba tanpa batuk darah.
Napas lebih lega jika tidur ke sisi kanan, menandakan terdapat gangguan respirasi terutama di paru
kanan. Tekanan darah sistolik tercatat 80 mmHg walaupun sudah dengan inotropik, disertai dengan
takipnea dan hipoksemia. Pasien diduga mengalami PE masif yang menyumbat cabang-cabang arteri
pulmonalis utama dengan sisi kanan lebih berat.

Gejala, tanda dan uji-uji umum memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang rendah jika digunakan secara
individual. Namun jika digabungkan menjadi suatu sistem skor, maka kekuatan prediktifnya menjadi
bertambah (Tabel 3). Sistem skor untuk CPTP yang paling sering digunakan adalah kriteria Wells dkk.
Sistem ini telah divalidasi secara luas dengan skema tiga-kategori (probabilitas klinis tinggi, sedang,
rendah) dan dua-kategori (PE mungkin atau sangat tidak mungkin), namun salah satu poin kriteria Wells
sangat subjektif (“diagnosis alternatif lebih tidak mungkin dibandingkan PE”). Di lain hal, kriteria
Revised Geneva juga digunakan di Eropa; sistem ini sederhana, mudah digunakan, sepenuhnya variabel
klinis, terstandardisasi dan telah tervalidasi. Untuk kedua sistem skor tersebut, proporsi pasien dengan PE
adalah mendekati 10%, 30% dan 65% untuk masing-masing kategori probabilitas rendah, sedang dan

tinggi. 1,12,13

8
12,13
Tabel 3. CPTP yang sering digunakan untuk diagnosis PE.
Revised Geneva (RG) Skor Wells untuk PE (WPE)
Variabel Poin Variabel Poin
Faktor predisposisi Faktor predisposisi
Umur > 65 tahun +1
DVT atau PE sebelumnya +3 DVT atau PE sebelumnya +1.5
Operasi atau fraktur dalam 1 bulan terakhir +2 Operasi atau imobilisasi baru-baru ini +1.5
Keganasan aktif +2 Kanker +1
Gejala Gejala
Nyeri tungkai bawah unilateral +3
Hemoptisis +2 Hemoptisis +1
Tanda klinis Tanda klinis
Denyut nadi Denyut nadi
75 – 94 kali/menit +3 >100 kali/menit +1.5
≥95 kali/menit +5
Nyeri vena profundus tungkai pada palpasi dan +4 Tanda klinis DVT +3
edema unilateral
Penilaian klinis
Diagnosis alternatif lebih tidak mungkin +3
dibandingkan PE

Probabilitas klinis Total Probabilitas klinis (3 level) Total


Rendah 0–3 Rendah 0–1
Sedang 4 – 10 Sedang 2–6
Tinggi ≥11 Tinggi ≥7
Probabilitas klinis (2 level) Total
PE sangat tidak mungkin 0–4
PE mungkin >4

Pasien riwayat operasi ortopedik (+1.5 WPE), denyut nadi 120 kali/menit reguler (+5 RG/ +1.5 WPE)
dan terdapat tanda klinis DVT (+3 WPE). Skor Wells untuk PE pasien ini adalah 6 dan masuk ke dalam
kriteria probabilitas sedang atau “PE mungkin”

Langkah evaluasi diagnostik PE (Skema 2 dan Skema 3) harus disesuaikan dengan beratnya manifestasi
klinis, yaitu apakah pasiennya stabil atau tidak. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, diagnosis PE
harus mengikuti pemeriksaan yang berjenjang yang terdiri dari penilaian CPTP; uji D-dimer; dan jika
diperlukan, computed tomography (CT) multidetektor atau pindai ventilasi-perfusi. Penggunaan D-dimer

pada pasien dengan probabilitas PE tinggi tidak banyak bermanfaat. 11

Pasien mengalami syok kardiogenik tetapi telah relatif terstabilisasi. Pada awalnya CT belum
operasional, sehingga pasien menjalani ekokardiografi. Ditemukan regurgitasi trikuspid berat, dengan
RV dilatasi dan fungsi sistolik RV menurun sehingga disimpulkan terdapat overload RV. Setelah itu CT
sudah operasional sehingga pasien menjalani angiografi CT thoraks. Tampak trombus besar di arteri
pulmonalis kanan utama dan trombus yang lebih kecil di kiri yang mengkonfirmasi PE.

D-dimer adalah produk uraian dari fibrin cross-linked yang terbentuk setelah fibrin yang terbentuk oleh
trombin dipecah oleh plasmin. Zat ini menggambarkan aktivasi global sistem koagulasi dan fibrinolisis
dan berguna untuk penilaian awal pada kasus yang dicurigai VTE. Kombinasi CPTP dan uji D-dimer

9
1,11
Skema 2. Algoritma diagnosis dan tatalaksana PE dengan risiko kematian tinggi.

dapat menyingkirkan VTE pada lebih dari 25 – 30% pasien dengan gejala mirip VTE tanpa pemeriksaan
lain. Ada beberapa metode pengukuran D-dimer, tetapi yang paling sensitif adalah metode ELISA
(enzyme-linked immunosorbent assay). Uji D-dimer sangat sensitif–mencapai 95%–namun spesifitasnya
rendah sekali untuk membuktikan VTE. Nilai NPV (negative predictive value) pasien dengan D-dimer
negatif mencapai hampir 100%, dimana artinya adalah D-dimer negatif dapat menyingkirkan VTE secara
aman. Nilai positif palsu ditemukan pada inflamasi, kehamilan dan keganasan. Selain itu makna klinis D-
dimer menurun seiring dengan bertambahnya usia hingga <10% pada usia 80 tahun. Nilai negatif palsu
ditemukan pada pasien yang mendapat heparin, pasien yang datang terlambat (gejala sudah lebih dari dua

minggu), dan DVT kecil di bawah batas lutut.1,2,10,14

Ultrasonografi (USG) vena adalah alat diagnostik pilihan pada pasien yang sangat mungkin menderita
DVT. Terdapat tiga pemeriksaan: USG kompresi (CUS, B-mode), USG dupleks (B-mode dan Doppler),
dan color Doppler. Pada USG dupleks, aliran darah dalam vena adalah spontan, berfase dengan
pernapasan dan dapat diaugmentasi dengan tekanan manual. USG kompresi biasanya dilakukan pada
vena profundus proksimal, misalnya vena femoralis komunis, femoralis dan poplitealis; sedangkan
kombinasi USG dupleks dan color Doppler lebih sering pada vena iliaka atau pada betis. Kriteria USG
utama pada trombosis vena adalah tidak bisanya lumen vena dikompresi eksternal. Selain itu adalah
hilangnya sifat berfase dari aliran darah (tidak respons dengan valsalva atau augmentasi), atau hilangnya
sinyal spectral atau color Doppler dari lumen vena, namun kriteria aliran ini tidak selalu dapat
diandalkan. Pencitraan USG kompresi dengan atau tanpa color dupleks memiliki sensitivitas 95% dan

10
1,11
Skema 3. Algoritma diagnosis dan tatalaksana PE dengan risiko kematian rendah/sedang.

spesifisitas 96% untuk DVT proksimal yang bergejala. Untuk DVT yang lebih distal, misalnya di betis,
sensitivitasnya turun menjadi 73%.1,2,15

Dilatasi RV ditemukan pada setidaknya 25% pasien dengan PE. Deteksi PE dengan ekokardiografi atau
CT sangat berguna untuk stratifikasi risiko. Parameter yang dicari utamanya adalah jet velocity
insufisiensi trikuspid dan dimensi RV, di samping tanda-tanda lain seperti gerakan paradoksal septum.
Ekokardiografi memiliki sensitivitas sekitar 60 – 70%, sehingga hasil negatif tidak dapat menyingkirkan
PE. Selain itu, disfungsi RV juga dapat disebabkan penyakit selain PE. Tanda-tanda lain yang mengarah
ke overload tekanan RV seperti tanda McConnell atau 60–60 memberikan nilai prediktif positif (PPV)
lebih baik namun data masih sedikit. Semua keterbatasan ini menjadikan ekokardiografi tidak menjadi
elemen diagnostik elektif pada pasien tercuriga PE yang normotensif dan hemodinamik stabil, namun
hanya untuk memilah pasien ke dalam kategori mennengah atau rendah. Namun pada pasien tercuriga PE
dengan risiko tinggi, yaitu dengan syok dan hipotensi, tidak adanya tanda-tanda ekokardiografik overload
atau disfungsi RV jelas menyingkirkan PE sebagai penyebab ketidakstabilan hemodinamik. Bersama
dengan ekokardiografi transthorakal, eksplorasi vena proksimal untuk mencari trombus dengan CUS dan
mencari emboli di arteri pulmonalis dengan ekokardiografi transesofageal dapat dilakukan. Pada pasien

11
tercuriga PE yang kritis, ekokardiografi bedside dapat membantu dalam mengambil keputusan
pengelolaan yang cepat.1,10,16

Ekokardiografi menunjukkan TR berat [TR maxPG 70.46 mmHg], RV dilatasi [RVDB 3.3 cm], PHT
berat [85.46 mmHg], fungsi sistolik RV menurun [TAPSE 1.3 cm], dan IVS paradoksal sesuai dengan
tanda-tanda overload RV. USG Doppler vaskuler pasien menunjukkan gagal kompresi dengan probe
USG pada vena femoralis kanan. Maka disimpulkan terdapat trombosis proksimal setinggi vena
femoralis kanan yang diduga menyebabkan PE.

Nilai klinis angiografi CT untuk pengambilan keputusan pada kasus tercuriga PE telah sangat
berkembang dengan kemajuan teknologi. Sensitivitas dan spesifisitas CT detektor tunggal (SDCT)
dilaporkan masing-masing sekitar 53–100% dan 73–100%. Artefak gerakan atau kurangnya opasifikasi
vaskuler paru adalah sekitar 5–8% sehingga SDCT negatif tidak cukup aman untuk menyingkirkan PE,
kecuali jika dikombinasi dengan CUS negatif. Sejak dikenalkannya CT multidetektor (MDCT) dengan
resolusi spasial dan temporal yang tinggi, angiografi CT menjadi teknik pencitraan pilihan untuk
vaskulatur paru pada PE karena visualisasi adekuat hingga tingkat segmental. Sensitivitas dan spesifisitas
MDCT dilaporkan mencapai 83% dan 96%. Hasil negatif pada MDCT cukup untuk menyingkirkan PE
pada pasien probabilitas non-tinggi. Evaluasi lanjut dengan CUS atau sintigrafi V/Q atau angiografi

pulmonal pada pasien probabilitas PE tinggi dengan CT negatif masih kontroversial. 1,6,17-19

Angiografi CT Thoraks (Gambar 1) menunjukkan trombus multipel di arteri pulmonalis dan


percabangannya, dengan ukuran bagian trombus terbesar 1.91 × 2.23 × 6.49 cm di arteri pulmonalis
kanan utama. Di arteri pulmonalis kiri tampak trombus yang lebih kecil.

Pemeriksaan lain berupa angiografi pulmonal dan sintigrafi V/Q. Angiografi pulmonal telah
disempurnakan dan menjadi standar sejak 1960-an. Kriteria diagnostik yang digunakan adalah bukti
langsung adanya tromboembolus berupa filling defect atau amputasi cabang-cabang arteri paru. Tanda
indirek lainnya adalah slow flow, hipoperfusi regional dan tundaan aliran vena pulmonalis, namun tiga hal
ini belum tervalidasi sehingga non-diagnostik. Manfaat lainnya adalah pengukuran hemodinamik secara
langsung. Tindakan ini bersifat invasif dan telah menjadi standar baku diagnosis atau eksklusi PE, namun
saat ini telah digantikan oleh pemeriksaan lain yang non-invasif dan lebih informatif seperti angiografi
CT dan ekokardiografi. Selanjutnya, pada fasilitas yang memiliki sintigrafi V/Q, pemeriksaan ini dapat
digunakan jika pasien menunjukkan kenaikan D-dimer dan terdapat kontraindikasi untuk CT. Sintigrafi
V/Q bernilai diagnostik pada 30–50% pasien tercuriga PE. Pasien dengan hasil inkonklusif dapat disaring

lebih lanjut dengan menilai probabilitas klinis.1,9,11

12
Terapi suportif hemodinamik sangat penting pada pasien PE dengan gagal RV. Belum ada data efek
norepinefrin pada PE sehingga penggunaannya hanya terbatas pada keadaan hipotensi saja. Dobutamin
dan atau dopamin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PE, indeks kardiak (CI) rendah dan tekanan
darah normal. Namun, menaikkan CI dapat memperburuk ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akibat
tambahan redistribusi aliran darah di paru karena obstruksi. Epinefrin tampaknya memberikan efek
menguntungkan pada PE dengan syok karena menggabungkan efek norepinefrin dan dobutamin tanpa
efek vasodilatasi dobutamin. Vasodilator dapat menurunkan resistensi pulmonal namun kurang spesifik
pada pemberian intravena, tetapi pemberian secara inhalasi cukup menjanjikan, khususnya nitrit oksida.
Antagonis endotelin dan penghambat fosfodiesterase-5 masih dalam tahap percobaan. Data awal
menunjukkan efek positif levosimendan dalam mengembalikan coupling RV-arteri pulmonalis melalui

efek vasodilatasi pulmonal dan peningkatan kontraktilitas RV. 1,20

Pasien awalnya mendapatkan dopamin intravena hingga 7 mcg/kg/menit. Di saat kondisi memburuk
pasien mendapat tambahan norepinefrin hingga 300 ng/kg/menit, namun beberapa waktu selanjutnya
pasien mengalami henti jantung yang gagal diresusitasi.

Hipoksemia dan hipokapnia sering ditemukan pada pasien PE. Adanya foramen ovale paten
memperburuk hipoksemia karena pirau kanan ke kiri. Hipoksemia biasanya dapat diperbaiki oksigen
nasal, tetapi kalau kerja napas sangat berat ventilasi mekanik mungkin diperlukan dengan tetap
mengawasi efeknya terhadap hemodinamik. Tekanan intrathoraks yang tinggi dapat mengurangi aliran
balik vena dan memperburuk gagal RV pada PE masif. Tekanan akhir-ekspirasi positif (PEEP) harus
diperhatikan. Volum tidal rendah (6 ml/kg berat ideal) disarankan untuk mempertahankan tekanan akhir-

inspirasi di bawah 30 cmH2O.1

Terapi trombolitik sebagai terapi lini pertama pada PE risiko tinggi dengan syok kardiogenik dengan
cepat mengatasi obstruksi tromboemboli dan memperbaiki parameter hemodinamik. Regimen trombolitik
yang telah terbukti adalah: 1. Streptokinase 250000 UI loading dose selama 30 menit, diikuti 100000
UI/jam selama 12 – 24 jam, atau regimen percepatan 1.5 juta UI selama 2 jam; 2. Urokinase 4400 UI/kg
loading dose selama 10 menit, diikuti 4400 UI/kg/jam selama 12 – 24 jam, atau regimen percepatan 3 juta
UI selama 2 jam; 3. Aktivator plasminogen jaringan rekombinan (rtPA) 100 mg selama 2 jam atau o.6
mg/kg selama 15 menit (dosis maksimum 50 mg). Heparin tidak boleh diberikan bersama streptokinase
atau urokinase. Pasien dianggap respon terhadap trombolitik jika terdapat perbaikan klinis dan
ekokardiografis dalam 36 jam pertama terapi. Manfaat terbesar didapatkan jika trombolitik diberikan
dalam 48 jam sejak awitan gejala, namun tetap masih berguna jika diberikan setelah 6 – 14 hari.
Walaupun efeknya cepat, manfaat trombolisis lebih besar dibandingkan heparin pada hari-hari awal.

13
Namun 7 hari sejak terapi, trombolisis dan heparin tidak lagi berbeda dalam hal obstruksi vaskuler dan
perbaikan fungsi RV. Penelitian trombolisis pada PE belum banyak, sehingga kontraindikasi trombolitik
yang absolut pada infark miokard akut belum tentu berlaku pada PE risiko tinggi. 1,4,9-11

Embolektomi dapat dilakukan melalui operasi atau perkutan. Operasi embolektomi dilakukan jika
terdapat kontraindikasi atau gagal respon terhadap trombolitik, dan pada pasien dengan foramen ovale
paten dan trombus intrakardiak. Operasi dapat dilakukan tanpa crossclamping aorta dan kardioplegia.
Trombolisis preoperatif bukan kontraindikasi operasi, namun perdarahan dapat menjadi masalah.
Tindakan perkutan adalah berupa fragmentasi embolus dengan kateter khusus, misalnya kateter
Greenfield. Penggunaan kateter hanya terbatas pada embolus di cabang utama arteri pulmonalis dan harus
dihentikan bila terdapat perbaikan hemodinamik yang dapat muncul tiba-tiba, tanpa memperhatikan
angiogram akhirnya. Pendekatan perkutan dapat dianggap sebagai alternatif operasi dengan angka

keberhasilan mencapai 86% dan komplikasi hanya 2.4%. 1,21,22

Terapi antikoagulan awal diberikan pada kasus PE dan DVT berupa heparin low-molecular weight
(LMWH) atau fondaparinux subkutan atau heparin unfractionated (UFH) intravena. Enoxaparin 2 × 1
mg/kg dan tinzaparin 2 × 175 IU/kg adalah LMWH yang sering digunakan pada PE. Fondaparinux
diberikan sekali sehari 5, 7.5, dan 10 mg untuk masing-masing berat badan 50, 50 – 100, dan >100 kg.
UFH diberikan intravena dengan dosis bolus awal 80 IU/kg (maksimum 5000 IU) dilanjutkan dengan
rumatan 18 IU/kg/jam, disesuaikan hingga target APTT 1.5 – 2.5 kali normal. Jika fungsi ginjal baik,
LMWH lebih disarankan karena kemudahan pemakaian, sedangkan fondaparinux karena sama efektifnya
dengan UFH. Namun hanya UFH yang pernah teruji diberikan bersama dengan trombolitik pada PE,
sehingga antikoagulan awal yang disarankan pada trombolitik adalah UFH. Selanjutnya, antagonis
vitamin K sebaiknya diinisiasi secepat mungkin–kalau memungkinkan mulai hari pertama perawatan–dan
dilanjutkan sebagai terapi jangka panjang (≥ 3 bulan). Heparin dihentikan setelah INR (international
normalized ratio) target tercapai (2.5, rentang 2.0 – 3.0) selama minimal 24 jam. Di sisi lain, filter vena

kava dapat dipertimbangkan jika ada kontraindikasi terhadap antikoagulan. 1,2,4,11,23,24

Pasien mendapatkan trombolitik berupa streptokinase intravena 250.000 IU bolus loading selama 30
menit. Lalu dilanjutkan dosis rumatan 250.000 IU/jam selama 12 jam. Terapi antikoagulan awal yang
diberikan adalah enoxaparin subkutan 2 × 60 mg. Terapi tidak sempat dilanjutkan karena pasien
mengalami perburukan kondisi. Pasien direncanakan embolektomi darurat karena trombolisis dianggap
tidak berhasil namun pasien mengalami henti jantung dan gagal diresusitasi. Pasien dinyatakan
meninggal yang diduga akibat emboli paru masif.

14
RINGKASAN

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan usia 56 tahun dengan emboli paru (PE) sebagai komplikasi
dari trombosis vena femoralis (DVT), dengan presentasi klinis sesak napas tanpa rhonki, pembesaran
tungkai kanan dan syok kardiogenik. CPTP mendukung ke arah DVT dan PE. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hipoksia. Foto thoraks menunjukkan kardiomegali. EKG menunjukkan RBBB komplet.
Pada ekokardiografi tampak tanda-tanda overload RV. USG Doppler vaskuler mengkonfirmasi trombus
vena femoralis kanan. Angiografi CT thoraks mengkonfirmasi adanya emboli paru masif di arteri
pulmonalis kanan utama. Pasien mendapat streptokinase dan enoxaparin namun mengalami episode
emboli paru masif baru yang fatal. Hal ini menunjukkan bahwa PE memiliki gejala dan tanda yang tidak
khas dan membawa risiko kematian yang tinggi, tetapi bila dinilai dengan sistem skor dan algoritma
khusus diagnosis dapat dikonfirmasi sehingga dapat diterapi dengan cepat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S, Agnelli G, Galiè N, Pruszczyk P, Bengel F, Brady AJ, Ferreira D, Janssens U,
Klepetko W, Mayer E, Remy-Jardin M, Bassand JP; ESC Committee for Practice Guidelines (CPG). Guidelines on the
diagnosis and management of acute pulmonary embolism: the Task Force for the Diagnosis and Management of Acute
Pulmonary Embolism of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J 2008;29:2276–315
2. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Dongo A. Deep vein thrombosis: a clinical review. J Blood Med
2011;2:59–69.
3. Merrigan JM, Piazza G, Lynm C, Livingston EH. Pulmonary Embolism. JAMA 2013;309(5):504.
4. Lavorini F, Di Bello V, De Rimini ML, Lucignani G, Marconi L, Palareti G, et al. Diagnosis and treatment of
pulmonary embolism: a multidisciplinary approach. Multidiscip Respir Med 2013;8(1):75. [cited from
http://www.mrmjournal.com/content/8/1/75].
5. Wells PS, Anderson DR, Bormanis J, et al. Value of assessment of pretest probability of deep-vein thrombosis in
clinical management. Lancet. 1997;350:1795–8.
6. van Belle A, Buller HR, Huisman MV, Huisman PM, Kaasjager K, Kamphuisen PW et al. Effectiveness of managing
suspected pulmonary embolism using an algorithm combining clinical probability, D-dimer testing, and computed
tomography. JAMA 2006;295:172–9.
7. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansen C, Johnson T, Lim K, Maddali S, Marshall P, Messner P, Skeik N. Institute for
Clinical Systems Improvement. Venous Thromboembolism Diagnosis and Treatment. http://bit.ly/VTE0113. Updated
January 2013.
8. Konstantinides S, Goldhaber SZ. Pulmonary embolism: risk assessment and management. Eur Heart J
2012;33(24):3014–22.
9. Hwang HG, Schulman S. Respiratory review of 2013: pulmonary thromboembolism. Tuberc Respir Dis
2013;75(3):89–94.
10. Vyas PA, Donato AA. Thrombolysis in acute pulmonary thromboembolism. South Med J 2012;105(10):560–70.
11. Agnelli G, Becattini C. Acute Pulmonary Embolism. N Engl J Med 2010;363:266-74.
12. Wells PS, Anderson DR, Rodger M, Ginsberg JS, Kearon C, Gent M et al. Derivation of a simple clinical model to
categorize patients probability of pulmonary embolism: increasing the models utility with the SimpliRED D-dimer.
Thromb Haemost 2000;83:416–20
13. Le Gal G, Righini M, Roy PM, Sanchez O, Aujesky D, Bounameaux H et al. Prediction of pulmonary embolism in the
emergency department: the revised Geneva score. Ann Intern Med 2006;144:165–71.
14. Righini M, Goehring C, Bounameaux H, Perrier A. Effects of age on the performance of common diagnostic tests for
pulmonary embolism. [Abstract]. Am J Med 2000;109:357–61.
15. Kearon C, Julian JA, Newman TE, Ginsberg JS. Noninvasive diagnosis of deep vein thrombosis. McMaster Diagnostic
Imaging Practice Guidelines Initiative. Ann Intern Med. 1998;128(8):663–77. [Erratum, Ann Intern Med
1998;129(5):425].

15
16. McConnell MV, Solomon SD, Rayan ME, Come PC, Goldhaber SZ, Lee RT. Regional right ventricular dysfunction
detected by echocardiography in acute pulmonary embolism. Am J Cardiol 1996;78:469–73.
17. Ghaye B, Szapiro D, Mastora I, Delannoy V, Duhamel A, Remy J et al. Peripheral pulmonary arteries: how far in the
lung does multi-detector row spiral CT allow analysis? Radiology 2001;219:629–36.
18. Anderson DR, Kahn SR, Rodger MA, Kovacs MJ, Morris T, Hirsch A et al. Computed tomographic pulmonary
angiography vs ventilation-perfusion lung scanning in patients with suspected pulmonary embolism: a randomized
controlled trial. JAMA 2007;298:2743–53.
19. Righini M, Le Gal G, Aujesky D, Roy PM, Sanchez O, Verschuren F et al. Diagnosis of pulmonary embolism by
multidetector CT alone or combined with venous ultrasonography of the leg: a randomised non-inferiority trial.
[Abstract]. Lancet 2008;371:1343–52.
20. Capellier G, Jacques T, Balvay P, Blasco G, Belle E, Barale F. Inhaled nitric oxide in patients with pulmonary
embolism. [Abstract]. Intensive Care Med 1997;23:1089–92.
21. Greenfield LJ, Kimmell GO, McCurdy WC III. Transvenous removal of pulmonary emboli by vacuum-cup catheter
technique. [Abstract]. J Surg Res 1969;9:347–52.
22. Kuo WT, Gould MK, Louie JD, Rosenberg JK, Sze DY, Hofmann LV. Catheter-directed therapy for the treatment of
massive pulmonary embolism: systematic review and meta-analysis of modern techniques. [Abstract]. J Vasc Interv
Radiol 2009;20:1431-40.
23. The Matisse Investigators. Subcutaneous fondaparinux versus intravenous unfractionated heparin in the initial
treatment of pulmonary embolism. N Engl J Med 2003;349:1695-702. [Erratum, N Engl J Med 2004;350:423.]
24. Quinlan DJ, McQuillan A, Eikelboom JW. Low-molecular-weight heparin compared with intravenous unfractionated
heparin for treatment of pulmonary embolism: a meta-analysis of randomized, controlled trials. [Abstract]. Ann Intern
Med 2004; 140:175–83.

16

Anda mungkin juga menyukai