Anda di halaman 1dari 4

Rumah Para Pejuang

-ratna juita-

Aku menatap lamat-lamat ruangan itu. Ini persis kali pertama aku memerhatikan sudut depannya.
Kemarin lusa, ruangan itu hanya kulewati sesekali saja. Lokasinya di belakang Auditorium kampus-
sebelum datang alat berat meratakannya dengan tanah. Ada jalan kecil bila hendak kesana, jelas bukan
jalan utama. Urusan-urusan tertentu saja yang membuatku melewatinya. Ada beberapa ruangan
berjajar disebelahnya. Tidak besar perhatianku pada ruangan itu, sampai tiba hari dimana aku duduk
termangu menunggu penghuni satu-satunya datang setelah membalas pesanku.

Ruangan itu, pintunya terkunci. Terasnya lumayan luas, cukup untuk memarkirkan 3-4 motor bebek di
depannya. Lantainya dari keramik berwarna putih, tidak terang. Sekarang lebih mirip lukisan jejak
sepatu berwarna coklat. Abstrak. Nampak beberapa goresan memanjang, kadang-kadang lebih pendek.
Boleh jadi itu dilukis oleh kaki kucing, atau tikus dan hewan lainnya. Kampus ini terbuka untuk siapa saja,
anak SD, penjual rujak, termasuk kucing dan tikus got yang mungkin ingin cicipi rasanya ngampus.
Kampus ini bebas betul, bukan tidak mungkin ada tikus berdasi lalu lalang disini. Tikus yang satu itu,
entah hanya lewat atau menetap, tidak pernah ada yang bisa memastikan.

Itu sore pertama aku duduk lama disana. Ditemani rekan sekelas. Aku masih punya waktu melihat
sekitar. Beberapa pot bunga disulap jadi pagar di depan teras. Tidak banyak, tapi baik sekali untuk
menjaga keseimbangan. Bila tiba saatnya penghuni ruangan ini tinggal lebih lama, mereka akan melepas
banyak gas karbondioksida. Kehadiran tanaman disana berguna sekali untuk mempercepat gas-gas itu
dihirup kembali.

Sudut kampus ini ada saja yang melewati. Sejak aku duduk disana, beberapa mahasiswa berlalu dengan
wajah riang, bergegas hendak pulang. Tapi seperti aku sebelumnya, lewat hanya lewat saja. Pada
bangunan ini, siapa peduli? Tidak banyak yang tertarik mampir mengetuk pintu, betapapun jelas saat itu
ada spanduk berlatar ungu tertempel menutup dua daun jendela di sebelah pintu, bertuliskan “Badan
Eksekutif Mahasiswa”. Lumayan besar. Cukup untuk menerangkan identitas penghuninya. Tapi
kebanyakan mahasiswa yang mampir, hanya menumpang parkir sepatu, berteduh kalau hujan tiba-tiba
datang.

Pemandangan sekitarku terbatas sekali. Lantai teras yang kotor. Pintu yang lebih sering tertutup. Sikap
acuh orang-orang. Biarlah, aku tetap menunggu. Sudah berkirim pesan pada seseorang yang nama dan
nomor teleponnya tertera pada selembar kertas yang ditempel di daun pintu. Orang itu yang akan
menerima lembar data diriku. Satu-satunya yang menghuni tempat ini dan membutuhkan orang lain
untuk menghuninya bersama-sama. Dia punya visi besar, kata orang-orang. Maka aku datang hendak
melamar. Eh? Tentu saja bukan melamar Mas Mas itu.

Aku hendak melamar untuk mengontrak lebih kurang satu tahun. Aku butuh tempat baru untuk
menghabiskan tahun terkahir di kampus ini. Lebih dari dua tahun aku menghuni ruang UKM, jadi rumah
keduaku. Aku hendak mencari dinding kamar yang baru, yang bisa aku ajak bicara tentang persoalan-
persoalan hidup yang membelenggu. Soal apa, kenapa dan bagaimana, itu bagian cerita yang lain. Aku
hanya harus memastikan pada bagian ini bahwa aku bisa menghuni ruangan ini, dan menjalankan visi
sederhana tapi sebetulnya besar. Apa sulit? Aku rasa tidak. Lantai teras ini kotor. Perlu dipel bukan? Aku
bisa melakukannya. Mas Mas itu tidak akan melewatkan keahlianku.

Aku masuk ruangan itu. Aku tidak tahu aroma apa yang tercium oleh inderaku. Bukan bau pesing. Bukan
aroma kotoran kucing. Entahlah. Aku menatap sekitar. Mencuri-curi saat sedang berbincang sebentar.
Lebih kurang 3x4 meter persegi luas ruangan dalamnya, termasuk sebuah kamar mandi. Yaaa, kamar
mandi. Di kampus ini, bahkan satu fakultas berlantai tiga seperti FMIPA misalnya, hanya memiliki tiga
kamar mandi di lantai dasarnya. Satu untuk dosen, terkunci. Dua lagi untuk mahasiswa, itupun dipakai
bersama pria dan wanita. Di gedung sebelah, hanya ada satu closet diantara keduanya. Terkenang sekali
saat praktikum di lantai tiga, kalau-kalau perasaan ingin pipis datang, kami harus naik turun anak tangga
yang jumlahnya lumayan buat ngos-ngosan. Ini ruangan hebat, kecil, tapi punya kamar mandi.

Lantai keramik ukuran 30x30 cm melekat diatas tanahnya, sama dengan teras di depan, warnanya putih.
Yang ini beda, tidak dilukis jejak sepatu, lantai itu dialasi karpet warna abu abu, berdebu. Tiap ujungnya
menempel pada dinding yang bertemu dengan ujung lantai, diberi perekat, lakban warna hitam. Kalau
duduk diatasnya kadang aku berpikir, malang sekali, pasti dia lama tidak masuk kamar laundry. Aku tidak
memerhatikan jelas atapnya, hanya suatu hari, mengalir menganak sungai di dinding-dinding ruangnya.

Mudah sekali untuk menghafal isi ruangan ini. Tidak banyak barang. Hanya ada peralatan rumah tangga
semodel sapu, kain pel, magic jar, karpet, berserakan di depan kamar mandi. Sebuah perangkat
komputer berdiri sendirian, CPU, lemari kayu yang lebih mirip rak buku berusia tua, rak plastik untuk
ATK, kotak surat dari kayu, dan sebuah papan tulis berwarna putih, whiteboard. Oiya, papan tulis itu,
salah satu bagian paling aku suka. Ada goresan tinta dengan tulisan yang terkenang sekali diingatanku
sejak pertama kali melihatnya, “DIAM DITINDAS, BANGKIT MELAWAN”. Ngeri! Tapi itu menjadi bagian
favorite-ku sejak resmi menghuni ruangan ini.

Kecepatanku menghafal isi ruangan ini tentu saja sebuah kabar. Kabar, betapa (maaf) menyedihkan
sekali lembaga ini. Pada tataran paling kejam, aku ingin katakan, miskin sekali. Ini adalah era millennia.
Hampir semua mahasiswa memiliki perangkat elektonik untuk memudahkan urusan pribadinya. Mulai
membayar tagihan dengan e-banking misalnya, berkirim tugas via e-mail, diskusi online dengan dosen,
dan sebagainya. Tapi ruangan ini? Untuk sebuah lembaga tingkat universitas. Ohhhh… unbelievableI!

Aku mendapati 14 lainnya tertarik mengisi kekosongan ruang ini, kekosongan lembaga ini. Sejak saat itu
aku punya keluarga baru. Ditambah satu dengan Mas Mas yang lebih dulu mengajak kami sama-sama
berjuang disini. Berjuang? Ya, aku ingat kalimat itu, selalu.

Dulu saat awal-awal proses screening, senior-senior lembaga ini juga selalu bicara tentang perjuangan.
Mereka benar. Setiap tahap itu adalah juang. Termasuk memulai tahap juang disini. Di ruang
kelembagaan tingkat universitas ini, kami rapat, kami makan, istirahat sampai buang hajat. Kalau hujan,
airnya tampias. Kalau panas, harus legowo hanya berkipas kertas. Tidak ada kipas angin, apalagi
terpasang perangkan Air Conditioner. Kamu harus terlebih dulu menjabat sebagai pimpinan untuk punya
ruangan semacam itu.

Fase perjuangan di ruangan itu cukup panjang. Kami melewatkan banyak moment disana. Dari
ramadahan hingga lebaran. Mulai urus mengurus SK Organisasi, berkirim surat sana sini. Malangnya
tidak ada perangkat komputer. Aku mengerjakan bagian ini. Mengetik surat di ruang lembaga, bergegas
mencetak ke rental, atau sesekali menumpang di lembaga jurusan. Sudahlah biaya mandiri, bila salah
harus bolak balik memperbaiki. Urusun surat menyurat memang kaku sekali. Meminta monitor
pengganti misalnya, tidak bisa datang merengek ke ruang pimpinan seperti yang berlaku manja pura-
pura menderita agar mamamu membelikan smart phone baru.

Beberapa kali aku melewatkan buka puasa bersama. Di ruangan yang semakin lama semakin gelap.
Sekali waktu melalui saat-saat shalat tarawih di kampus. Pernah sampai menunggu sebuah pertemuan
disana. Duduk dengan pak wakil dan bendahara, menunggu sebuah rapat rahasia selesai bersamaan
dengan usainya shalat tarawih didirikan.

Beberapa potongan kisah yang tertinggal disana amat istimewa, terkenang sekali, dan sisanya hanya
rapat kerja, rapat dewan harian, atau kementerian, itu juga jarang sekali. Jelang lebaran, rekan-rekan
sudah banyak bertolak meninggalkan perantauan. Hanya yang menetap di kota ini yang larut berjuang
diantara syahdu alunan tilawatil qu’an seorang Ahmad Saud yang diputar melalui pengeras suara Masjid
Al-Kautsar.

Ruangan itu menyimpan sisa-sisa juang kami. Salah satu yang terkenang dalam adalah saat lembaga
tinggi ini tidak punya dana, bahkan untuk sekedar membeli amplop. Aku dan rekan-rekan
mengumpulkan kertas bekas, menggaris membuat pola dan melipatnya menjadi amplop. Tentu saja
tidak semata karena dana, kami bisa saja sementara kumpulkan uang untuk menalanginya. Kami bercita-
cita besar untuk hal itu.

Peristiwa lainnya, saat jelang tujuh belas agustus, Rekan-rekan sadar bahwa lembaga ini juga tidak
punya bendera ukuran tanggung. Satu-satunya yang ada adalah bendera berukuran besar sekali, aku
lupa persis ukurannya. Kami dalam kondisi yang tidak lapang untuk berbelanja. Ide-ide kreatif selalu
hadir saat-saat terjepit begini. Kalau tidak bisa membeli, maka kita bisa membuatnya sendiri. Tidak
menjahit seperti Bunda Fatmawati. Kami hanya menggunting bendera yang ada menjadi beberapa
bagian dan menitipkannya untuk dijahit oleh Ibu dari Presiden kami, Mas Mas yang lebih dulu menghuni
tempat ini.

Kejadian-kejadian itu masih sangat pekat. Aku masih bisa membayangkan saat-saat mengukurnya,
menggunting tiap bagiannya. Saat itu terasa betul, ruangan yang lantainya sudah lebih bersih ini, sudah
seperti rumah sendiri. Tapi justru saat-saat aku menikmati getirnya berjuang, aku harus rela melepasnya
sebagai kenangan. Bagian ini kadang membuat orang-orang mengira aku terlalu perasa.

Waktu memang cepat sekali. Belum jauh dari sore saat pertama kali aku duduk di teras ini. Jalan di
depan ruangan kelembagaan paling pojok ini masih lengang. Auditorium masih berdiri. Hingga beberapa
waktu ke depan, audiotorium dirobohkan. Kampus hendak membangun, melalukan perbaikan. Sampai
kabar berhembus, tempat ini akan segera menyusul nasib auditorium.

Entah siapa yang lebih dulu mendengar. Aku diberi kabar bahwa tempat ini akan segera diratakan
dengan tanah. Kami harus berkemas? Tidak! Kami tahu auditorium akan disulap jadi bangunan 10 lantai,
kami bahkan mengkaji landscape-nya. Kami juga tahu, ruangan ini akan menyusul, tapi pimpinan tidak
bicara bahwa ini akan terjadi segera. Kami belum melihat tanda-tanda bagunan pengganti. Periode itu
panas sekali. Maka sejak kabar itu datang, kami bukan hanya berjuang di tempat ini, tapi
memperjuangkan tempat ini. Perbaikan memang diperlukan, tapi tidak dengan kesewenang-wenangan…

Besok lusa, atas peluh yang tidak lagi terhitung jumlahnya. Sebuah ruangan berukuran 6x2 meter
persegi dengan pintu dan jendela kaca, tertulis di depannya, “Ruangan Ini untuk Para Pejuang”. Lengkap
dengan inventaris yang lebih baik. Ke dalamnya dibawa semangat yang sama untuk tetap berkata tidak
pada kesewenang-wenangan. Setidaknya, kalimat di atas whiteboard itu tetap menyala sebagaimana
mulanya.

Anda mungkin juga menyukai