Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

PEMBAHASAN

Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) merupakan salah satu unit penunjang di
BPOM RI yang dipimpin oleh seorang Kepala. PROM mempunyai tugas dan fungsi
untuk melakukan riset dibidang pengawasan Obat dan Makanan. Riset yang
dilakukan tersebutlah yang kemudian digunakan oleh Deputi atau bidang lain untuk
menjalankan fungsinya. Salah satu tugas pokok dan fungsi dari PROM sendiri adalah
riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan. Riset yang
dilakukan oleh PROM merupakan permintaan dari kedeputian/ unit pusat/ Balai
besar, atau Balai POM. PROM memiliki 3 (tiga) Bidang Kegiatan Riset yaitu,
Bidang Produk Terapetik, Bidang Keamanan Pangan dan Bidang Toksikologi.
Mahasiswa PKPA melaksanakan PKPA bidang-bidang tersebut untuk mengetahui
peran apoteker dimasing-masing bidang.

A. BIDANG PRODUK TERAPETIK PROM


Bidang Produk Terapetik mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana
dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan riset produk terapetik antara
lain riset pengembangan metode analisis produk terapetik; riset bahan kimia obat
dalam obat tradisional jamu; riset profil kromatogram obat bahan alam; riset
pengembangan metode analisis bahan bahaya dalam produk kosmetik serta uji
cepat/rapid test terhadap bahan berbahaya atau bahan yang dilarang digunakan
dalam produk obat, kosmetik dan obat bahan alam.
Bidang Produk Terapetik dalam kegiatannya melakukan pengembangan
metode analisis dan validasi metode analisis terhadap produk-produk yang
beredar di pasaran. Pada tahun ini riset yang dilakukan dibidang produk
terapetik adalah pengembangan metode analisis obat baru sebelum metode
analisis tersebut dimuat didalam Farmakope Indonesia oleh karena itu harus
divalidasi sesuai dengan pedoman parameter validasi yang diacu. Riset yang

33
34

juga sedang dilakukan dibidang terapetik yaitu pembuatan prosedur tetap


(protap) uji cepat/rapid test terhadap bahan berbahaya atau bahan yang dilarang
digunakan dalam produk obat, maupun kosmetik, dan pelaksanaan validasi
metode analisis beberapa sediaan obat.
Perkembangan penggunaan produk obat maupun kosmetik di Indonesia
sering kali disalahgunakan oleh kalangan industri baik kecil maupun besar
dengan berbagai motif dan tujuan. Sesuai Kep. DIRJEN POM No.
00386/C/SK/II/90 tentang Bahan Berbahaya dalam Obat, Makanan dan
Kosmetik, maka pengawasan terhadap peredaran obat, makanan, maupun
kosmetik sejak saat itu berada dalam pantauan yang cukup ketat. Tahun 2016,
BPOM RI juga telah mengeluarkan Press Release terbaru mengenai Bahan
Berbahaya yang Dilarang Digunakan pada Kosmetik tepatnya pada tanggal 30
Juni 2016. Release tersebut mempertegas larangan penggunaan bahan berbahaya
pada kosmetik, sekaligus memberi informasi kepada masyarakat untuk lebih
aware terhadap produk yang digunakan. Terkait dengan hal tersebut, maka
tindakan antisipasi dalam menjamin mutu dan keamanan produk obat maupun
kosmetik mutlak diperlukan.
Alur kerja dalam riset yang dilakukan PROM meliputi pembuatan kajian
keamanan (studi literatur), pembuatan prosedur tetap (protap) terkait analisis
yang dilakukan, pengujian laboratorium, validasi, metode analsis, dan
pembuatan laporan hasil kerja.
1. Studi Literatur Uji Cepat Bahan Bebahaya dalam Kosmetik
Saat ini Bidang Produk Terapetik sedang mengembangkan metode analisis
bahan berbahaya dalam kosmetik dengan teknik uji cepat/rapid test. Terdapat
beberapa bahan berbahaya yang sedang dalam proses pengerjaan pada tahap
studi literatur, yaitu Asam Retinoat, Merah K3, sedangkan bahan lainnya
seperti Rhodamin B, dan Merkuri sudah pada tahap penyelesaian protap dan
siap untuk dilakukan pengujian laboratorium.
Berdasarkan Press Release yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2016
dan dari berbagai penelitian, Asam Retinoat sering disalahgunakan sebagai
pengelupas kulit dalam produk kosmetik. Pada penggunaan jangka panjang,
35

sedangkan asam retinoat memiliki efek teratogenik. Apabila tetap diizinkan


dalam kosmetik, maka dikhawatirkan penggunaannya menjadi tidak
terkontrol karena perilaku masyarakat yang cenderung menggunakan
kosmetik secara sesuka hati. Hal ini menyebabkan sulitnya pengawasan oleh
tenaga kesehatan, padahal efek sampingnya begitu besar. Oleh sebab itulah
BPOM RI melarang penggunaan asam retinoat pada kosmetik namun tetap
mengizinkan pada produk obat keras. Selama ini pengujian pada asam
retinoat hanya terbatas pada pengujian di laboratorium sedangkan dalam
pelaksanaan kebijakan BPOM RI terkait bahan berbahaya membutuhkan uji
cepat sebagai upaya skrining awal terhadap produk-produk kosmetik yang
diduga mengandung asam retinoat.
Pembuatan uji cepat dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu,
penelusuran pustaka untuk membuat kajian, pembuatan prosedur teteap,
pengujian laboratorium, validasi metode, dan pembuatan laporan hasil riset.
Hasil penelusuran pustaka menunjukkan, menurut British Pharmacopoeia
(2009), identifikasi asam retinoat dengan indikator perubahan warna
dilakukan dengan penambahan reagen antimoni triklorida (Sb2Cl3) yang
menghasilkan warna merah yang akan berubah menjadi keunguan. Pemisahan
asam retinoat dalam bentuk sediaannya dilakukan dengan cara fisika ataupun
ekstraksi cair-cair tergolong mudah dan sehingga metode ini dianggap cocok
dalam uji cepat asam retinoat.
Merah K3, atau nama lainnya C.I Pigmenr Red 53, D&C Red No. 8,
disalahgunakan sebagai pewarna dalam kosmetik seperti lipstik, eye shadow,
dan blush on. Merah K3 telah terbukti memiliki aktivitas karsinogenik bila
digunakan pada manusia. Pengujian yang berkembang dalam analisis Merah
K3 umumnya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan pelarut
atau fase gerak campuran Benzene-Toluene, atau Benzene-Toluene-
Sikloheksan. Bidang Terapetik PROM saat ini dalam proses pengkajian atau
studi literatur untuk melakukan uji cepat melalui reaksi warna terhadap
Merah K3.
36

2. Validasi Metode Analisis


PROM dengan bidang riset yang dimilikinya, dalam melaksanakan fungsi
sebagai lembaga riset yang bertanggung jawab kepada Kepala BPOM RI,
melakukan suatu validasi metode analisis atau modifikasi untuk
menghasilkan metode yang efektif dan efisien. Validasi yang dilakukan oleh
PROM meliputi validasi metode analisis sediaan yang berada di pasaran
dengan metode yang tercantum pada Farmakope Indonesia. Validasi metode
analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter
tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).
Menurut Harvey (2000), validasi merupakan suatu proses evaluasi
kecermatan dan keseksamaan yang dihasilkan oleh suatu prosedur dengan
nilai yang dapat diterima. Sebagai tambahan, validasi memastikan bahwa
suatu prosedur tertulis memiliki detail yang cukup jelas sehingga dapat
dilaksanakan oleh analis atau laboratorium yang berbeda dengan hasil yang
sebanding. Validasi metode analsis merupakan hal penting untuk menunjang
pengujian-pengujian yang dilakukan untuk menjamin bahwa hasil yang
dihasilkan dapat dipercaya.Pelaksanaan pengujian yang dilakuan bidang
produk terapetik adalah untuk memudahkan identifikasi terhadap kandungan
suatu bahan berbahaya, dan validasi kesesuaian kandungan zat dalam produk
obat, dan kosmetik yang beredar di pasaran. Hasil riset yang dilakukan akan
menjadi acuan untuk lembaga-lembaga pengujian obat, dan kosmetik.
Dengan perkembangan obat yang begitu cepat, maka tidak jarang
banyak obat-obat baru baik dalam bentuk sediaan, zat dalam campuran baru,
atau zat aktif yang terus muncul di pasaran. Untuk mengimbangi hal tersebut
maka BPOM melalui PROM-nya sudah sewajarnya melakukan validasi dan
pengembangan metode analisis agar metode pengujian yang dihasilkan tetap
termutakhirkan dan dapat dipercayai hasilnya.
Metode analisis yang divalidasi berupa penentapan kadar sediaan
campuran Ipratropium Bromida dan Salbutamol Sulfat dalam sediaan
Inhalasi. Parameter validasi metode analisis mengikuti petunjuk yang tertera
37

pada farmakope Indonesia dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja


Tinggi (KCKT). Validasi diawali dengan pembuatan larutan uji, larutan baku,
dan larutan dapar fosfat pH 2,8. Sistem KCKT yang sudah diatur diuji
kesesuaiannya dengan melihat parameter konsistensi dari waktu retensi,
HETP, tailing faktor, dan resolusi dari pengujian yang sama sebanyak 5 kali.
Analisis KCKT dilakukan dengan kondisi, kolom C18 ancapped ID 4,6 x
250 mm (5 um), detector UV-Vis, laju alir 1,5 mL per menit, panjang
gelombang 220 nm dengan fase gerak Natrium heptansulfonat;Kalium
dihidrogen ortofosfat;Dapar Fosfat pH 2,8. Hasil dari pengujian kesesuaian
sistem menunjukkan sistem telah sesuai. Setelah itu dilakukan validasi
dengan parameter akurasi, linieritas, dan presisi. Hasil ketiga parameter
tersebut memenuhi syarat validasi. Pengujian sampel campuran ipratropium
dan salbutamol menghasilkan dua puncak pada menit ke 4 dan menit ke 9.
Berdasarkan pengujian pada baku, puncak pada menit ke-4 adalah salbutamol
sedangkan pada menit ke-9 adalah ipratropium (Lampiran 3, 4 dan 5). Nilai
presentase salbutamol pada sampel uji sebesar 97,17% dari label yang tertera
pada etiket obat. Hal ini berada pada persyaratan yang akan dicantumkan
dalam farmakope Indonesia sebesar 98-102%. Dengan parameter validasi
yang memenuhi standar tersebut maka dapat disimpulkan metode analisis
campuran Ipratropium dan Salbutamol dalam sediaan Inhalasi telah
tervalidasi dan dapat digunakan sebagai metode pengujian sediaan dengan
kandungan serupa yang berada di pasaran.

B. BIDANG KEAMANAN PANGAN PROM


Bidang Keamanan Pangan melaksanakan riset secara kimia, mikrobilogi,
bioteknologi, dan non laboratorium dalam rangka melindungi masyarakat dari
risiko penggunaan, peredaran pangan yang tidak aman dan atau tidak layak
dikonsumsi termasuk penyalahgunaan bahan berbahaya untuk pangan. Salah
satu produk baru yang dihasilkan dari pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah produk rekayasa genetika. Produk rekayasa genetika
merupakan produk yang dihasilkan dari teknologi memanipulasi sifat baka atau
gen (DNA) suatu organisme tanpa melalui seksual (tanpa melalui perkawinan)
38

untuk menghasilkan organisme dengan sifat-sifat sesuai dengan yang ditentukan.


Metode ini dipakai salah satunya untuk menciptakan tanaman-tanaman rekayasa
genetika yang kemudian digunakan sebagai teknik pertanian pangan yang
meliputi bidang: peningkatan produksi, peningkatan kualitas, perbaikan pasca
panen, dan perbaikan processing. Dengan demikian produk pertanian yang
menggunakan teknik rekayasa genetika ini panen yang dihasilkan menjadi lebih
banyak, lebih besar dan tahan lama, dengan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan produk pertanian konvensional.
GMO atau Genetically Modifide Organism adalah merupakan organisme
yang telah mengalami modifikasi bahan genetik, sehingga secara sederhana
semua organisme merupakan GMO karena dalam proses reproduksinya terjadi
pencampuran bahan genetik kedua inangnya. Organisme yang berreproduksi
dengan membelah diri juga mengalami modifikasi terutama dari proses mutasi
dan transfer gen. Saat ini pengertian GMO telah bergeser menjadi organisme
yang telah mengalami modifikasi bahan genetik dengan menggunakan teknologi
DNA.
Deteksi dan identifikasi pangan yang mengandung GMO atau produk
pangan rekayasa genetika (PRG) secara kualitatif sebelum dilakukan kuantitatif
sangat penting dirasakan oleh lembaga pengawasan obat dan makanan
pemerintah seperti BPOM RI. Berdasarkan kebutuhan tersebut, Pusat Riset Obat
dan Makanan melakukan kegiatan pengembangan metode deteksi PRG, karena
berdasarkan Pasal 35 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,
masyarakat berhak mengetahui apakah pangan yang dikonsumsi mengandung
PRG. Skrining terhadap promoter dan terminator pada umumnya merupakan
langkah pertama untuk analisis PRG, kemudian dilanjutkan dengan analisis PRG
event spesifik secara kualitatif dan kuantitatif terhadap sampel positif PRG
untuk memastikan bahwa PRG yang terdeteksi bukan berasal dari hasil
kontaminasi. Bidang Keamanan Pangan PROM melakukan riset terhadap
pangan olahan kedelai dan jagung dengan menggunakan Polymerase Chain
Reaction (PCR) Real Time untuk mendeteksi adanya promoter dan terminator.
39

Metode yang sedang dikembangkan saat ini adalah metode menggunakan


PCR Real Time. Prinsip kerja PCR umumnya adalah teknik atau metode
perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme.
Real time PCR atau yang bisa disebut dengan quantitative real time PCR adalah
teknik pengeraan di laboratorium untuk mengamplifikasi sekaligs menghitung
(kuantitatif) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut. Real Time
PCR memungkinkan dilakukannya deteksi dan kuantifikasi sekaligus terhadap
spesifikasi dari sampel DNA yang dianalisa.
Cara kerja Real Time PCR utamanya adalah DNA yang telah diamplifikasi
dihitung setelah diakumulasi dalam reaksi real time sesudah setiap siklus
amplifikasi selesai. Terdapat dua metode :
1. Zat pewarna flouresensi yang akan terinterkalasi denga DNA rantai ganda
misal SyBr Green.
2. Probe (penanda) yang berasal dari hai modifikasi DNA digonukleotida yang
akan berpendar (flouresensi) ketika terhibridisasi dengan DNA komplemen,
misal probe FRFT (hybridasi) dan probe Taqman . dalam setiap pengamatan
PCR , sinyal flouresensi yangdipancarkan meningkat secara proporsional
setiap siklus PCR telah berhasil dilakukan sejalan dengan bertambahnya
produk DNA yang dihasilkan
Kegiatan riset yang dilakukan oleh mahasiswa PKPA di PROM adalah
Kajian dan Pengembangan Metode Deteksi Pangan Pangan Rekayasa Genetika
yaitu pemilihan metode ekstraksi yang paling optimal. Metode ekstraksi yang
dipilih yaitu Metode CTAB, Metode Kit Qia Gen dan Metode Kit MO Bio.
Metode dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Ekstrasi menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium
Bromide) :
a. Ditimbang sampel sebanyak 200mg dalam microsentrifuge steril 1,5 mL.
b. Ditambahkan 300 µL water biotechgrade.
c. Ditambahkan 500 µL CTAB buffer
d. Ditambahkan 20 µL Proteinase K (20mg/mL), kocok dan inkubasi pada
suhu 65ºC selama 30-90 menit
40

e. Ditambahkan 20 µL Rnase A (10mg/mL), kocok dan inkubasi pada suhu


65ºC selama 5 – 10 menit
f. Disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 16.000 xg (12.146 ~
12.150 rpm)
g. Ditransfer supernatan ke tabumg microcentrifuge yang berisi 500 µL
kloroform, kocok selama 30 detik.
h. Disentrifugasi selama 10 menit pada 16.000 xg (12.146 ~ 12.150 rpm)
sampai terbentuk 2 fase.
i. Ditransfer 500 µL lapisan teratas ke dalam microsentrifuge baru yang
berisi 500 µL kloroform, kocok.
j. Disentrifugasi selama 5 menit pada 12.150 rpm
k. Ditransfer lapisan teratas ke tabung microsentrifuge baru
l. Ditambahkan 2 volume larutan CTAB precipitatin , campur dengan
memipet.
m. Diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan
n. Disentrifugasi selama 5 menit pada 12.150 rpm
o. Dibuang supernatan, larutkan endapan dalam 350 µL NaCl (1,2M)
p. Ditambahkan 350 µLkloroform dan kocok selama 30 detik
q. Disentrifugasi selama 10 menit pada 12.150 rpm sampai terbentuk fase
terpisah
r. Ditransfer lapisan teratas ke tabung microsentrifuge baru
s. Ditambahkan 0,6 volume isopropanol (2-propanol), kocok
t. Disentrifugasi selama 10 menit pada 12.150 rpm, buang supernatan
u. Ditambahkan 500 µL ethanol 70% kocok perlahan
v. Disentrifugasi selama 10 menit pada 12.150 rpm , buang supernatan
w. Dikeringkan pellet dan dilarutkan kembali DNA dalam 100 µL water
biotechgrade.
x. Dilarutan DNA dapat disimpan dalam lemari pendingin maksimal 2
minggu, atau dalam freezer pada suhu -20ºC untuk jangka waktu yang
lama.
41

Konsentrasi DNA dihitung menggunakan Biodrop®. Setiap sampel pipet sekitar


1 – 2 µL. Hasil terlampir dalam Lampiran 6.

2. Ekstraksi menggunakan metode Kit Qia Gen :


a. Sampel yang sudah disiapkan, ditambahkan 1 mL buffer Food Lysis +
Proteinase K 30 µL, vortex 5 – 10 detik.
b. Diinkubasi dalam termomikser 1000 rpm selama 30 menit, 60ºC
c. Sampel didinginkan dalam es sampai mencapai suhu ruang (15 - 25ºC),
sentrifugasi 5000 rpm selama 5 menit.
d. Sejumlah 700 µL supernatan yang jernih telah didapatkan, dipindahkan ke
dalam tabung mikrosentifus baru tanpa menggunakan endapan inhibitor.
e. Dipipet 500µL kloroform ke dalam tabung mikrosentifus yang berisi
supernatan, vorteks selama 5 – 10 detik.
f. Disentrifugasi 11.400 rpm selama 15 menit, lalu pipet 1 Ml buffer PB ke
dalam tabung 2 µL.
g. Ditambahkan 250 µL fase atas (air) dari langkah diatas, korteks selama 5 –
10 detik.
h. Dipipet 600 µL campuran larutan diatas ke dalam kolom QIA quick spin
yang ditempatkan pada tabung penampung 2 mL. Kemudian disentrifugasi
13.000rpm selama 1 menit. Lalu dibuang cairan pada penampung dan
gunakan kembali penampung.
i. Diulangi langkah “h” sekali lagi.
j. Ditambahkan buffer AW2 500 µL dalam kolom QIA quick spin.
Disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit
k. Diulangi sentrifus 13.000 rpm selama 1 menit untuk mengeringkan
membran.
l. Dipindahkan kolom QIAquick spin ledalam tabung 1,5 mL.
m. Dipipet Buffer EB 100 µL ke bagian tengah membran QIA quick, inkubasi
selama 1 menit pada suhu ruang (15 – 25 ºC)
n. Disentrifus 13.000 rpm selama 1 menit untuk megelusi, kolom mini
dibuang.
o. DNA hasi isolat disimpan pada -20ºC.
42

Konsentrasi DNA dihitung menggunakan Biodrop®, satu sampel pipet


sekitar 1 – 2 µL. Hasil terlampir dalam Lampiran 7.

3. Ekstraksi menggunakan metode Kit Mo Bio


a. Sampel sebanyak 21 buah dengan masing – masing ditimbang 250mg,
kemudian dimasukkan ke dalam steril mikrotube 2 mL.
b. Dimasukkan kit kedalam mikrotube yang sudah berisi sampel, kemudian
masing-masing di vorteks selama 1 menit.
c. Disentrifuge selama 3 menit sehingga sampel terpisah dari supranatannya,
kemudian buang supranatannya.
d. Dimasukkan kit yang berbeda kedalam mikrotube yang ada sampel
tersebut, vortex selama 1 menit.
e. Sampel tadi dipindahkan kedalam MO Bio mikrotube, yaitu sejenis
mikrotube biasa tetapi berbeda karena di dalam terdapat bahan yang
sudah siap untuk sebagai pencampurannya.
f. Sampel yang sudah dimasukkan kedalam MO Bio mikrotube diaduk
sampai tercampur rata.
g. Disentrifuge lagi selama 5 menit untuk mendapatkan DNA nya dari MO
Bio mikrotube ,setelah itu ditarik menggunakan mikropipet dan masukkan
kedalam mikrotube biasa.
h. Kemudian dimasukkan kit yang berbeda kedalam mikrotube.
i. Dihitung konsentrasi DNA menggunakan Biodrop®. Hasil terlampir
dalam Lampiran 8.
Pada dasarnya teknik ekstraksi DNA yang dilakuan adalah sama, yang
membedakan hanyalah reagen yang digunakan dan hasil konsentrasi yang
didapatkan. DNA dapat diisolasi atau dipisahkan dari zat – zat lain selain
DNA. Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengisolasi DNA yaitu
pelisisan, ekstraksi, pengendapan, dan pemurnian. Pelisisan yang
dimaksud yaitu menghancurkan dinding sel atau membran sel sehingga
DNA di dalam sel tersebut dapat keluar dari sel. Pelisisan tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan NLS maupun melalui pemanasan.
Ekstraksi merupakan penghancuran sel. Ekstraksi dapat dilakukan secara
43

mekanik yaitu dengan menumbuk sel tersebut. Prinsip selanjutnya yaitu


pengendapan. Pengendapan atau presipitasi bertujuan untuk memisahkan
supernatant dengan pellet. Pengendapan tersebut dapat menggunakan
sentrifugator.
Hasil perbandingan dari ketiga metode yang dilakukan dilihat dari
perhitungan konsentrasi DNA-nya adalah metode dengan Kit Qia Gen
lebih baik daripada menggunakan metode CTAB dan Kit MO Bio. Hal ini
karena metode Qia Gen memperlihatkan hasil yang lebih dominan
daripada kedua metode lainnya, namun pada sampel kedelai (K15) dengan
metode MO Bio memperlihatkan hasil yang lebih dominan daripada
metode Qia Gen dan CTAB. Hasil masing – masing dapat dilihat pada
Lampiran 6, Lampiran 7, dan Lampiran 8.

C. BIDANG TOKSIKOLOGI PROM


Bidang Toksikologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan
program serta evaluasi dan penyusunan laporan riset toksikologi. Kegiatan di
Bidang Toksikologi melaksanakan riset toksisitas umum dan toksisitas khusus,
untuk mendapatkan data keamanan suatu bahan atau produk. Salah satu kegiatan
yang tengah dilakukan di Bidang Toksikologi adalah Riset Kajian Keamanan
dan Kontrol Kualitas Produk Darah dan Produk Nano Teknologi.
Kajian yang dilakukan oleh Bidang Toksikologi PROM dalam
menentukan keamanan, kontrol kualitas produk darah maupun produk nano
teknologi meliputi proses berikut :
1. Penelusuran Pustaka
Penelusuran pustaka diawali dengan mengumpulkan bahan-bahan bacaan
seperti buku literatur, jurnal ilmiah dan farmakope
2. Mempelajari Pustaka
Bahan pustaka yang telah terkumpul kemudian dipelajari, untuk materi yang
berbahasa asing (bahasa Inggris) terlebih dahulu diterjemahkan bila perlu,
baru kemudian disusun dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami.
44

3. Membuat Outline / Bentuk Kajian


Dibuat outline Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas Produk Darah dan
Produk Nanoteknologi
4. Peyusunan Draft Proposal Kajian Keamanan dan kontrol kualitas
Penyusunan draft dilakukan sesuai dengan bentuk outline yang telah dibuat,
khususnya pada tinjauan pustaka mengikuti format proposal yang disesuaikan
dengan aturan di PROM
5. Pembahasan Proposal
Pembahasan Draft Proposal Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas produk
darah dilakukan bersama narasumber yang kompeten dan peserta rapat. Hal-
hal yang dibahas terutama pada materi kajian agar sesuai dengan persyaratan
dan guideline dari WHO dan Farmakope terbaru, hasil pembahasan akan
digunakan untuk finalisasi proposal.
6. Pelaksanaan/Penulisan Kajian
Setelah mendapatkan arahan dan masukan dari narasumber, seluruh materi
kajian akan disusun dan ditulis dalam bentuk Draft Laporan Kajian
Keamanan dan Kontrol Kualitas Produk tertentu.
7. Pembahasan Draft Laporan Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas.
Sebelum laporan kajian diterbitkan, untuk memastikan kebenaran isi/materi
kajian, perlu pembahasan kembali dengan nara sumber yang kompeten
sehingga Laporan Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas produk yang
dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan.
8. Revisi dan Finalisasi Laporan
Arahan dan masukan dari narasumber dan peserta rapat pembahasan menjadi
dasar untuk revisi dan finalisasi Draft Laporan Kajian Keamanan dan Kontrol
Kualitas produk siap diterbitkan menjadi Laporan Kajian Keamanan Produk
dan Kontrol Kualitas produk tertentu
Saat ini, Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas Produk Darah, maupun
Produk Nanoteknologi tengah dalam proses pelaksanaan / penulisan kajian.
45

1. Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas Produk Darah


Saat ini terdapat desakan atas kebutuhan produk darah secara global yang
dapat memicu industri untuk berinvestasi di Indonesia, untuk itu diperlukan
perkuatan sistem jaminan mutu pengawasan dan keamanan produk darah.
Terkait dengan hal tersebut, maka tindakan antisipasi dalam menjamin mutu
dan keamanan produk darah mutlak diperlukan. Masalah yang mungkin
muncul adalah darah dan produk darah yang tidak aman akan berisiko
menularkan penyakit sehingga berpotensi menambah beban biaya kesehatan
di masa mendatang, oleh karena itu diperlukan fasilitasi akses produk darah
yang tepat dan sesuai WHO International Reference dari laboratorium kontrol
atau laboratorium yang ditunjuk.
Salah satu Tugas Pokok dan Fungsi Pusat Riset Obat dan Makanan
khususnya Bidang Toksikologi adalah melakukan evaluasi keamanan melalui
kajian keamanan terhadap produk Obat dan Makanan termasuk produk darah
yang diperolh dari turunan plasma seperti albumin, konsentrat faktor
koagulasi (alfa-1 protein inhibitor, antitrombin III, anti inhibitor koagulasi
kompleks, faktor IX dan VIII, immunoglobulin).
Albumin manusia telah digunakan sebagai agen terapi selama lebih dari
50 tahun. Indikasi utamanya adalah untuk pemulihan dan pemeliharaan
volume darah yang disirkulasi dalam situasi-situasi seperti trauma, operasi
dan kehilangan darah, manajemen luka bakar dan pertukaran plasma. Produk
ideal untuk tujuan ini akan menjadi albumin monomer dengan kemurnian
yang sangat tinggi, bebas dari kontaminasi protein plasma lain, endotoksin,
ion logam, agregat albumin dan aktivator prekallikrein/Prekallikreain
Activator (PKA), sebagaimana pengotor untuk mempengaruhi tolerabilitas
infus albumin.
Berdasarkan pengalaman pada produk albumin dari generasi terdahulu
menunjukkan bahwa konsentrasi endotoksin yang tinggi dapat mengakibatkan
reaksi demam, sedangkan konsentrasi tinggi dari PKA dapat menyebabkan
hipotensi. Konsentrasi Aluminium perlu dijaga pada kondisi yang sangat
rendah untuk menghindari akumulasi pada neonatus dan pasien dengan
46

gangguan fungsi ginjal. Kontaminasi dengan cemaran protein dapat


mengakibatkan agregasi yang tidak diinginkan ketika albumin sedang
dipasteurisasi. Oleh karena itu, tujuan bagi produsen dalam beberapa dekade
terakhir adalah dengan meminimalkan atau menghilangkan kotoran tersebut.
Faktor VIII adalah suatu glikoprotein yang dibentuk di sel sinusoidal
hati. Produksi F VIII dikode oleh gen yang terletak pada kromosom X. Di
dalam sirkulasi F VIII akan membentuk kompleks dengan faktor von
Willebrand. Faktor von Willebrand adalah protein dengan berat molekul
besar yang dibentuk di sel endotel dan megakariosit. Fungsinya sebagai
protein pembawa F VIII dan melindunginya dari degradasi proteolisis. Di
samping itu faktor von Willebrand juga berperan pada proses adhesi
trombosit. Faktor VIII berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu
sebagai kofaktor untuk F IXa dalam proses aktivasi F X. Pada orang normal
aktivitas faktor VIII berkisar antara 50-150%. Pada hemofilia A, aktivitas F
VIII rendah. Faktor VIII termasuk protein fase akut yaitu protein yang
kadarnya meningkat jika terdapat kerusakkan jaringan, peradangan, dan
infeksi. Kadar F VIII yang tinggi merupakan faktor resiko thrombosis.
Faktor IX adalah faktor pembekuan yang dibentuk di hati dan
memerlukan vitamin K untuk proses pembuatannya. Jika tidak tersedia cukup
vitamin K atau ada antagonis vitamin K, maka yang terbentuk adalah protein
yang mirip F IX tetapi tidak dapat berfungsi. Gen yang mengatur sintesis F
IX juga terletak pada kromosom X. Faktor IX berfungsi pada jalur intrinsik
sistem koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi Xa (lihat skema
koagulasi). Nilai rujukan aktivitas F IX berkisar antara 50-150%. Aktivitas F
VIII yang rendah bisa dijumpai pada hemofilia A, sedangkan aktivitas F IX
yang rendah bisa dijumpai pada hemofilia B, defisiensi vitamin K, pemberian
antikoagulan oral dan penyakit hati. Mekanisme aktivitas F VIII maupun F IX
dapat dilihat dari proses pembekuan darah pada pasien hemofilia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang
diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik
mekanisme hemostasis herediter, di mana terjadi defisiensi atau defek dari
47

faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Biasanya


bermanifestasi pada anak laki-laki namun, walaupun jarang, hemofilia pada
wanita juga telah dilaporkan. Wanita umumnya bertindak sebagai karier
hemofilia.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami suatu trauma atau luka
pada pembuluh darah besar atau pembuluh darah halus/kapiler yang ada pada
jaringan lunak maka sistem pembekuan darah/koagulation cascade akan
berkerja dengan mengaktifkan seluruh faktor koagulasi secara beruntun
sehingga akhirnya terbentuk gumpalan darah berupa benang-benang fibrin
yang kuat dan akan menutup luka atau perdarahan, proses ini berlangsung
tanpa pernah disadari oleh manusia itu sendiri dan ini berlangsung selama
hidup manusia. Sebaliknya pada penderita hemofilia akibat terjadinya
kekurangan F VIII dan F IX akan menyebabkan pembentukan bekuan darah
memerlukan waktu yang cukup lama dan sering bekuan darah yang terbentuk
tersebut mempunyai sifat yang kurang baik, lembek, dan lunak sehingga tidak
efektif menyumbat pembuluh darah yang mengalami trauma, hal ini dikenal
sebagai prinsip dasar hemostasis.
Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan
sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita
hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal. Ia akan lebih
banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.
Manifestasi klinik hemofilia A dan B sama yaitu berupa perdarahan
yang dapat terjadi setelah trauma maupun spontan. Perdarahan setelah trauma
bersifat “delayed bleeding“, karena timbulnya perdarahan terlambat. Jadi
mula-mula luka dapat ditutup oleh sumbat trombosit, tetapi karena defisiensi
F VIII atau IX maka pembentukan fibrin terganggu sehingga timbul
perdarahan. Gambaran yang khas adalah hematoma dan hemartrosis atau
perdarahan dalam rongga sendi. Perdarahan yang berulang-ulang pada rongga
sendi dapat mengakibatkan cacat yang menetap dan perdarahan pada organ
tubuh yang penting seperti otak dapat membahayakan jiwa. Beratnya
penyakit tergantung aktivitas F VIII dan IX. Hemofilia berat jika aktivitas F
48

VIII atau F IX kurang dari 1%, hemofilia sedang jika aktivitasnya 1-5% dan
hemofilia ringan jika aktivitasnya 5-25%.
Pengobatan penderita hemofilia memerlukan pemberian F VIII dan F
IX yang adekuat, seumur hidup dan secara periodik sehingga mereka dapat
mencapai harapan hidup yang normal dan berkehidupan seperti layaknya
orang yang normal. Penderita hemofilia membutuhkan terapi pengganti faktor
pembekuan seperti Konsentrat F VIII/F IX.
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode
perdarahan yang serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan
kadar yang tinggi yang harus diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah
dilemahkan virusnya. Faktor IX tersedia dalam 2 bentuk, yaitu prothrombin
complex concentrates (PCC) yang berisi F II, VII, IX, dan purified F IX
concentrates yang berisi sejumlah F IX tanpa faktor yang lain. PCC dapat
menyebabkan trombosis paradoksikal dan koagulasi intravena tersebar yang
disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor pembekuan lain.
Selain Konsentrat F VIII/F IX, digunakan pula Kriopresipitat AHF.
Kriopresipitat yaitu komponen darah non seluler yang mengandung banyak F
VIII, fibrinogen, faktor von Willebrand. Dapat diberikan pada hemofilia A,
per kantong darah mengandung F VIII 60 – 80 IU, dosis pemakaian F VIII
berkisar antara 20 – 40 IU/kg BB/kali sehingga jumlah kriopresipitat yang
dibutuhkan bisa berkisar antara 5 – 20 kantong.
Pentingnya produk faktor pembekuan darah dalam terapi penyakit
membutuhkan jaminan bahwa produk darah yang digunakan dari proses
pabrikasi memiliki nilai keamanan dan kualitas yang tinggi. Pada tahapan ini
PROM melakukan upaya untuk memberi jaminan keamanan pada masyarakat
dalam menggunakan produk darah seperti faktor pembekuan.
Albumin dan Faktor VIII adalah beberapa contoh produk darah yang
saat ini penggunaannya sedang banyak digunakan dalam terapi. Produk darah
yang telah diproduksi harus murni, bebas dari cemaran bakteri, virus dan lain
sebagainya. Meski demikian, faktor resiko terjadinya kontaminasi pada
produk-produk darah memiliki nilai yang cukup besar dan bila terjadi maka
49

akan memberi dampak negatif/buruk pada tubuh. Oleh karena itu, fungsi
pengawasan produk darah pasca pabrikasi mutlak harus dilakukan. Tujuan
dilakukannya pengkajian ini untuk mendapatkan kajian sebagai dasar
pengambilan kebijakan dalam menjamin keamanan dan kontrol kualitas
produk darah pasca pabrikasi.

2. Kajian Keamanan dan Kontrol Kualitas Produk Nanoteknologi


Nanoteknologi di bidang iptek menghasilkan material dengan aplikasi luas,
termasuk di bidang Obat dan Makanan. Material berstruktur nano memiliki
kelebihan terkait dengan peningkatan sifat fungsionalnya yang berujung pada
efisiensi, baik efisiensi proses, efisiensi perlindungan maupun efisiensi
khasiat. Namun demikian, partikel berskala nano bersifat lebih reaktif, mudah
berpindah dan berpotensi menimbulkan risiko keamanan bagi manusia dan
lingkungan. Secara umum, kajian efek toksik partikel nano masih belum
banyak dilakukan, dan regulasi khusus untuk melindung publik dan
lingkungan dari risiko penggunaan nanoteknologi juga belum tersedia.
Kajian yang komprehensif sangat diperlukan untuk memberikan
informasi keamanan produk nano yang memadai, yang meliputi;
a. Identifikasi karakteristik fisik
b. Kajian stabilitas jangka pendek dan panjang
c. Mekanisme paparan nanopartikel pada tubuh
d. Identifikasi degradasi nanopartikel dan akumulasinya pada lingkungan
e. Risiko kesehatan
f. Metode Analisis kualitas.
Selain itu, belum tersedia panduan kontrol kualitas produk yang
mengandung partrikel berukuran nano. Edukasi masyarakat yang memadai
akan persepsi terhadap produk nano juga perlu digiatkan untuk meningkatkan
awareness masyarakat akan benefit dan risiko produk nanoteknologi.
Kemajuan pesat dalam bidang nanoteknologi tersebut meningkatkan
kekhawatiran akan keamanan produk-produk yang mengandung partikel
berukuran nano seperti pada produk kosmetika dan pangan, sehingga perlu
dievaluasi kembali keamanannya.
50

Keamanan partikel berukuran nano pada kosmetika perlu dikaji karena


ketika partikel menjadi berukuran sangat kecil cenderung terjadi perubahan
sifat kimia. Nanopartikel dapat berpenetrasi melalui lapisan kulit dan
berpotensi dapat berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh dan aliran darah
dan mungkin menjadi jaringan beracun dan kerusakan. Suatu produk
kosmetika yang mengandung partikel nano untuk penggunaan jangka pendek
dapat berfungsi mengurangi keriput dan mengangkat sel-sel mati, tapi pada
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker atau gangguan sistem
kekebalan. Jika partikel nano dalam produk kosmetik adalah senyawa alami
seperti teh hijau atau ekstrak biji anggur mungkin tidak membahayakan,
namun perlu dipertimbangkan bila partikel nano tersebut bahan kimia yang
akan masuk aliran darah dalam jangka panjang.
Nanopartikel yang banyak digunakan dalam produk kosmetik dan
pangan antara lain Titanium dioksida (TiO2), yaitu suatu partikel alami,
sangat larut, termal stabil dan tidak mudah terbakar, non-silikat oksida
mineral yang ditemukan terutama dalam bentuk mineral. Nanopartikel (NP)
TiO2 diproduksi dalam jumlah besar di dunia dan digunakan dalam berbagai
aplikasi. NP TiO2 memiliki sifat fisikokimia yang berbeda dibandingkan
dengan partikel berukuran mikro, yang mungkin dapat mengubah
bioaktivitasnya. Beberapa literatur menyatakan bahwa paparan NP TiO2 pada
sistem pernapasan dengan rute inhalasi dapat memasuki sistemik melalui
organ paru-paru meskipun tingkat translokasi yang muncul rendah. Beberapa
penelitian tersebut melaporkan bahwa paparan NP TiO2 inhalasi pada jangka
panjang pada tikus menyebabkan tumor paru-paru.
Hasil penelitian lain yaitu paparan NP TiO2 pada kulit, baik in vivo
atau in vitro, bahwa TiO2 NP tidak menembus stratum korneum (SC), sedang
injeksi intravena terhadap produk yang mengandung NP TiO2 yang langsung
ke dalam tubuh manusia dapat menginduksi lesi patologis hati, limpa, ginjal,
dan otak. Hal tersebut kemungkinan karena penggunaan dosis yang sangat
tinggi dari NP TiO2.
51

Pelaksanaan riset yang dilakukan oleh PROM merupakan sebuah pencapaian


yang baik dalam meningkatkan pengawasan obat dan makanan. Profesionalisme
PROM sebagai lembaga riset tidak dapat terwujud tanpa dukungan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memiliki pengetahuan dan kemampuan kerja yang memadai.
Hal ini membuat PROM berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan SDMnya
secara terus menerus yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja BPOM RI
dalam melindungi masyarakat terhadap obat dan makanan yang berisiko terhadap
kesehatan. Upaya tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan terstruktur
berbasis kompetensi bagi SDM PROM sesuai dengan perencanaan dan kebutuhan
organisasi.
Kualitas SDM ditingkatkan secara berkesinambungan untuk mencapai target
kinerja yang diharapkan. Sumber daya ini secara umum belum memadai untuk
melaksanakan kegiatan Riset yang diperlukan dalam menunjang kebijakan BPOM
RI. Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan riset kebijakan masih harus
ditunjang dengan pengetahuan yang mendalam tentang tugas dan fungsi BPOM RI
dibandingkan dengan tugas dan kebijakan pada institusi sejenis di negara lain.
Pelatihan secara berjenjang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi serta
meningkatkan kualitas hasil riset yang dilakukan.
Riset yang dilakukan oleh PROM selain memerlukan SDM yang memadai juga
memerlukan infrastruktur dan fasilitas penunjang yang mutakhir. Kelengkapan
fasilitas laboratorium dengan instrumen terkini, akan menentukan kualitas hasil riset
yang dilakukan. Kebutuhan infrastruktur juga berkembang seiring dengan kemajuan
ilmu dan teknologi. Riset yang dapat menjawab tantangan perkembangan IPTEK
membutuhkan dukungan infrastruktur yang sesuai. Dukungan infrastruktur juga
terkait dengan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) laboratorium,
mengingat bahaya kerja di laboratorium terhadap kesehatan pegawai.

Anda mungkin juga menyukai