DISUSUN OLEH :
2019040718
2019/2020
KONSEP DASAR PENYAKIT FRAKTUR
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada
tulang (Price 1985). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
(Purnawan junadi 1982).
I. KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan
suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Radiologi
a. X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray: Bayangan jaringan lunak. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
e. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
K. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif. Kriteria
untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya
tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
1. Cara konservatif:
a. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
b. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
c. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
d. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
1) Pemasangan Gips.
2) Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin traksi
adalah 5 Kg.
2. Cara operatif di lakukan apabila:
a. Bila reposisi mengalami kegagalan.
b. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
c. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
d. Fraktur patologik.
e. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
1) Reposisi.
2) Fiksasi.Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”).
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup,
traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3) Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau
di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator
eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan
sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trokhanterik 10-12 minggu,
batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
4) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neurologi.
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometrik dan setting otot
f. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
g. Kembali keaktivitas secara bertahap.
L. PATHWAY
Fraktur
Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer
MAYOR DISARANKAN
1 Setelah dilakukan asuhan Pain Control Pain Management : 1. Untuk mengetahui tipe GALUH
keperawatan selama 1 x 8 jam Pain Level 1. Kaji tipe dan sumber dan sumber nyeri
diharapkan masalah keperawatan nyeri untuk menentukan 2. Agar klien dapat
Nyeri Akut klien dapat berkurang intervensi mengurangi nyeri dengan
dengan kriteria hasil :
2. Ajarkan teknik non teknik non farmakologi
1. Mampu mengntrol nyeri
farmakologi 3. Untuk mengurangi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri
3. Berikan analgesik untuk dengan pemberian obat
berkurang
mengurangi nyeri pereda nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
4. Monitor vital sign 4. Untuk mengetahui vital
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri) sign klien
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
2 Setelah dilakukan asuhan 1. Join Exercise theraphy : 1. Untuk mengetahui vital GALUH
keperawatan selama 1x8 jam
Movement 1. Monitor vital sign sebelum sign klien
diharapkan masalah keperawatan
Resiko Infeksi klien dapat teratasi : active dan sesudah latihan 2. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil :
2. Kaji kemampuan ambulansi kemampuan ambulansi
1. Klien meningkat dalam
aktifitas fisik klien klien
2. Mengerti tujuan dari
3. Ajarkan klien merubah 3. Agar klien mampu
peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan posisi merubah posisi
dalam meningkatkan
4. Konsultasikan dengan terapi 4. Agar klien mendapat
kekuatan dari kemampuan
berpindah
fisik terapi fisik yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Jakarta:
EGC.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th
Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, EGC, Jakarta
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder
Company, 1995.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta,
2000.
NANDA, 2005 – 2006, Nursing Diagnosis : Definitions and Classifications, Philedelphia, USA
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.