Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

DISUSUN OLEH :

GALUH NILA MELINDA

2019040718

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS AN NUUR PURWODADI

2019/2020
KONSEP DASAR PENYAKIT FRAKTUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada
tulang (Price 1985). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
(Purnawan junadi 1982).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih
punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang
kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu
korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid
dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap
sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari
matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae
(didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran
yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya
terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa
metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem
Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini
terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat
bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua
macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses
hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam
proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah
osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang
dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat
oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang
berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara
tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium
organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah
dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang
(Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
2. Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering
menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis,
tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan
tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan
menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang
rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang
memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang
panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang
selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula
(marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
C. FUNGSI TULANG
Menurut Ignatavicius, Donna D, (1993) :
1. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2. Tempat mlekatnya otot.
3. Melindungi organ penting.
4. Tempat pembuatan sel darah.
5. Tempat penyimpanan garam mineral.
D. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah
tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya
gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan
otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh
darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka
terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi
menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu
dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolic, patologik yang terjadi
itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah
dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya pembuluh
darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon dini terhadap
kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit,
otot dan sirkulasi visceral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah
yang akut adalah peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal
ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse
pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain
yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk
histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain.
Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada
syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian
darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik.
Cara yng paling efektif untuk memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi
dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi
dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laknat dan
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian
substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka membrane
sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang.
Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural pertama dari
hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan
melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah pembengkakan sel . juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini
berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas astoeblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia
jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2005).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan
Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan
diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF)
fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma
pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

F. TANDA KLASIK FRAKTUR :


1. Nyeri
2. Perubahan bentuk
3. Bengkak
4. Peningkatan temperatur lokal
5. Pergerakan abnormal.
6. Krepitasi
7. Kehilangan fungsi
G. KLASIFIKASI FRAKTUR
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur.
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
7. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
8. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
H. FISIOLOGI PENYEMBUHAN TULANG
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam
dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa
hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi
dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan
atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan
tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya (Black, J.M, et
al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993).

I. KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan
suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Radiologi
a. X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray: Bayangan jaringan lunak. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
e. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

K. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif. Kriteria
untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya
tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
1. Cara konservatif:
a. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
b. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
c. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
d. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
1) Pemasangan Gips.
2) Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin traksi
adalah 5 Kg.
2. Cara operatif di lakukan apabila:
a. Bila reposisi mengalami kegagalan.
b. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi  akibat yang lebih buruk).
c. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
d. Fraktur patologik.
e. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
1) Reposisi.
2) Fiksasi.Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”).
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup,
traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau
batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3) Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau
di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator
eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan
sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trokhanterik 10-12 minggu,
batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
4) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
b. Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
c. Memantau status neurologi.
d. Mengontrol kecemasan dan nyeri
e. Latihan isometrik dan setting otot
f. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
g. Kembali keaktivitas secara bertahap.
L. PATHWAY

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot
lebih tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tekanan


Melepaskan katekolamin
kapiler
Gangguan fungsi Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak
ekstremitas
Protein plasma hilang Bergabung dengan
Hambatan mobilitas Fisik
trombosit
Edema
Emboli
Penekanan pembuluh
darah Menyumbat pembuluh
darah

Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer

Perdarahan Resiko infeksi

Kehilangan volume cairan

Resiko syok (hipovolemik)


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Kasus
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pengkajian Primer
1) Airway
2) Breathing
3) Circulation
4) Disability
5) Exposure
6) Folley catheter
7) Gastric tube
8) Hearth monitor
c. Pengkajian Sekunder
1) Pemeriksaan head to toe
2) Vital sign
3) Finger in every orifice
4) Anamnesa KOMPAK
5) Pemeriksaan penunjang
6) Persiapan rujuk ke RS atau ruangan
2. Diagnosa Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tanggal Teratasi TTD


1 Nyeri Akut (00132) GALUH
2 Hambatan Mobilitas Fisik (00085) GALUH
3. Intervensi Keperawatan

NO. TUJUAN & KRITERIA HASIL NIC RASIONAL TTD

MAYOR DISARANKAN

1 Setelah dilakukan asuhan Pain Control Pain Management : 1. Untuk mengetahui tipe GALUH
keperawatan selama 1 x 8 jam Pain Level 1. Kaji tipe dan sumber dan sumber nyeri
diharapkan masalah keperawatan nyeri untuk menentukan 2. Agar klien dapat
Nyeri Akut klien dapat berkurang intervensi mengurangi nyeri dengan
dengan kriteria hasil :
2. Ajarkan teknik non teknik non farmakologi
1. Mampu mengntrol nyeri
farmakologi 3. Untuk mengurangi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri
3. Berikan analgesik untuk dengan pemberian obat
berkurang
mengurangi nyeri pereda nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
4. Monitor vital sign 4. Untuk mengetahui vital
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri) sign klien
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang

2 Setelah dilakukan asuhan 1. Join Exercise theraphy : 1. Untuk mengetahui vital GALUH
keperawatan selama 1x8 jam
Movement 1. Monitor vital sign sebelum sign klien
diharapkan masalah keperawatan
Resiko Infeksi klien dapat teratasi : active dan sesudah latihan 2. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil :
2. Kaji kemampuan ambulansi kemampuan ambulansi
1. Klien meningkat dalam
aktifitas fisik klien klien
2. Mengerti tujuan dari
3. Ajarkan klien merubah 3. Agar klien mampu
peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan posisi merubah posisi
dalam meningkatkan
4. Konsultasikan dengan terapi 4. Agar klien mendapat
kekuatan dari kemampuan
berpindah
fisik terapi fisik yang tepat
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Jakarta:
EGC.

Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th
Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder
Company, 1995.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta,
2000.

NANDA, 2005 – 2006, Nursing Diagnosis : Definitions and Classifications, Philedelphia, USA

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Anda mungkin juga menyukai