Anda di halaman 1dari 9

BAGIAN SATU

SIMBIOSIS UNSUR POLITIK DAN PENDIDIKAN

OLEH: MUH SAEROZI

Kata Unsur merupakan serapan dari bahasa Arab Al-‘unsur (ِ‫ العنصر‬. Kamus besar bahasa

Indonesia mengartikan unsur dengan “ bahan asal”.1 Kalau seseorang membuat roti, maka

ada bahan asal roti. Bahan asal roti berbeda dengan bahan asal cetakan roti. Bahan dasar roti

adalah gandum, sedangkan bahan asal cetakan rori adalah aluminium. Asal-usul gandum

berbeda dengan asal usul aluminium. Gandum termasuk biji-bijian, sedangkan aluminium

termasuk logam. Gandum sebagai unsur roti dan aluminium sebagai cetakan berdiri sendiri-

sendiri, tetapi aluminium sebagai cetakan roti dapat bermanfaat secara efektif untuk proses

pembuatan roti. Berkat cetakan tersebut, bentuk roti menjadi teratur, rapi, dan artistik.

Efektifitas cetakan terhadap bentuk roti dapat dibuktikan secara empiris.

Ilustrasi tersebut sengaja ditampilkan untuk mempermudah dalam memahami

perbedaan unsur pendidikan dan politik. Unsur pendidikan adalah “pengembangan potensi

manusia”,2 sedangkan unsur inti politik adalah “kekuasaan”. 3


Dua unsur tersebut berbeda

secara etimologis dan terminologis. Istilah Pengembangan dari kata dasar kembang yang

berarti “usaha menjadikan manusia bertambah sempurna sikap, pengetahuan, dan

keterampilannya”,4 sedangkan istilah kekuasaan berasal dari kata dasar kuasa yang berarti

kekuatan atau wewenang. Kekuasaan merupakan kemampuan orang atau golongan untuk

menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau

1
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai
Pustaka, 2007 , hlm. 1248
2
Baca definisi pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahin 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Bab 1, pasal 1, ayat 1).
3
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2001, hlm. 10, 35.
4
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai
Pustaka, 2007 , hlm. 538.
kekuatan fisik”.5 Miriam Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang

atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain

sedemikian rupa, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari

pelaku.6

Perbedaan bidang pendidikan dan politik bukan hanya tampak pada unsurnya, tetapi

juga dapat diperhatikan pada ciri fisik dan simboliknya. Noeng Muhadjir menyebutkan

bahwa ciri fisik pendidikan antara lain sekolah, madrasah, laboratorium, dan perpustakaan.

Ciri simbolik pendidikan adalah ijazah dan gelar.7 Lalu, ciri fisik politik itu dapat dilihat

berupa Gedung DPR RI, Istana Presiden, Kantor Gubernur, Kantor bupati, Kantor walikota.

Ciri simbolik politik antara lain undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan

Presiden, Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah, dan Peraturan Bupati..

Pengembangan potensi manusia sebagai unsur pendidikan dan kekuasaan sebagai

unsur politik berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana gandum dan alumunium tadi, tetapi

kekuasaan dapat dimanfaatkan untuk mendukung visi tertentu dari pendidikan. Bila

kekuasaan bekerja positif terhadap visi tertentu dalam pengembangan sikap, pengetahuan,

dan keterampilan manusia, maka proses pendidikan menjadi efektif, tetapi bila kekuasaan

bekerja sebaliknya, maka proses pendidikan menuju visi tertentu dapat terhambat.

Hubungan simbiotik politik dan pendidikan pernah digambarkan oleh Kneller dalam

pendapatnya yang sudah lama:

A nation’s political and educational system are mutually reinforcing. Any polititical
system not only regulates the activities of citizens but also provides, through
education, the means by which individuals may fulfill themselves within limits
sanctioned by system itself. Likewise, education contribute to politics...8

5
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai
Pustaka, 2007 , hlm. 538.
6
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2001, hlm. 35.
7
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta, Rake Sarasin,
2009, hlm. 1993, hlm. 7.
8
George F Kneller, “Political Ideologies”, dalam George F Kneller (ed.), Foundations of Education (New York:
John Wiley and sons, 1983), hlm. 128.
(Sistem politik dan pendidikan suatu bangsa saling menguatkan. Sistem politik tidak hanya

mengatur aktivitas masyarakat, namun juga menyediakan, melalui pendidikan, sarana bagi

setiap invidu agar dapat memenuhi kebutuhan mereka dalam batasan yang dibuat oleh sistem

tersebut. Begitu juga pendidikan berkontribusi dalam dunia politik...)

Contoh-contoh simbiosis antara politik dan pendidikan dapat ditemukan sepanjang

sejarah pendidikan di Indonesia. Misalnya, era delapan puluhan muncul paradigma “belajar-

mengajar” dalam dunia pendidikan. Paradigma tersebut disambut penguasa dengan cara

meligimitasinya dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tetang Sistem Pendidikan

Nasional. Konsep “belajar-mengajar” akhirnya digunakan dalam mendefinisikan kurikulum

di Indonesia.9 Apa dampak berikutnya? peraturan-peraturan turunan dari Undang-undang

menggunakan istilah “belajar-mengajar” dengan seluruh makna teoretik dan implikasi

praktiknya. Istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) menjadi sangat populer dan mentradisi di

kalangan pemangku kebijakan, guru, murid, dan masyarakat luas. Lembaga-lembaga

pendidikan juga menerapkan konsep PMB secara masif dalam strategi, metode, dan

perangkatnya. Penyelenggara pendidikan formal harus mengikuti pola PBM, sehingga

seolah-olah tidak ada pilihan lain.

Di tengah penerapan konsep “belajar-mengajar”, sesungguhnya di Indonesia telah

muncul pemikiran yang mengkritik praktik pendidikan yang telah dan sedang berlangsung .

Kritik datang, di antaranya, dari para pengagum Paulo Freire. Mereka menyuarakan idenya

melalui buku Pedagogy of the Oppossed. Buku tersebut sesungguhnya ditulis tahun 1972,

tetapi Lp3ES menerbitkan versi terjemahan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas pada

tahun 1985. Konsep “Belajar-mengajar” dikritik karena pola dan semangatnya bergaya bank.

9
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Tim Redaksi Tugu Muda, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989(Semarang: Tugu Muda, 1989), hlm. 4.
Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung. Para murid diibaratkan sebagai celengan dan

guru sebagai penabungnya. Pendidikan bukan menjadi proses komunikasi, tetapi guru

menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan dalam diri murid. Ruang gerak

yang disediakan untuk para murid hanya terbatas pada menerima, mengulangi, mencatat, dan

menyimpan. Murid dengan gaya ini memang memiliki kesempatan untuk menjadi pengumpul

barang-barang simpanan, tetapi miskin daya cipta dan daya ubah. yang menindas. Ada 10

kritik terhadap praktik pendidikan, antara lain Guru Mengajar, murid belajar. Guru adalah

subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.10 Kritik yang bertubi-tubi

menjadikan adanya inovasi terhadap konsep “Belajar-Mengajar”, seperti konsep Cara Belajar

Siswa Aktif (SBSA). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan menjadi fasilitator pelatihan-

pelatihan untuk mensukseskan konsep CBSA.

Kritikpun berlanjut sampai akhir tahun sembilan puluhan. Pada September tahun

1999, para pengagum Paulo Freire kembali muncul dengan mendesiminasikan semangatnya

melalui buku berjudul The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Buku yang

semula berbahasa Brasil itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Politik

Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.11 Selain kritik yang datang dari

pengagum Paulo Freire, ada pula kritik dari sumber lain melalui buku. misalnya Francis

Wahono menulis buku berjudul Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan.12

Benny Susetyo menulis buku berjudul Politik Pendidikan Penguasa.13

Indonesia di era sembilan puluhan masih hiruk-pikuk dengan situasi politik sebagai

dampak reformasi. Suasana masih belum stabil dengan munculnya tampuk kepemimpinan

10
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terjemahan Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan: Utomo
Danandaya, dkk., Jakarta, Lp3ES, 1985, 51-52.
11
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terjemahan
Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
12
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta:
Insist, 2001).
13
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta, LkiS, 2005. Membaca isinya,
Buku ini mendeskrpsikan ide-ide yang dimulai sejak sebelum tahun 2005.
baru setelah lengsernya Presiden Soeharto. Eforia untuk mengubah paradigma teoretis dan

struktur kelembagaan di negeri ini demikian kuat hingga sampai ke jantung pendidikan.

Undang-undang pendidikan nasional yang sudah berusia 14 tahun turut menjadi target seiring

dengan amandemen UUD 1945.

Perubahan undang-undang pendidikan pun dilakukan dengan menyerap geliat aspirasi

rakyat dan suara kritikus pendidikan di era sebelumnya. Salah satu dari perubahan itu adalah

penggantian istilah “belajar mengajar” dengan “pembelajaran” dalam Undang-undang Nomor

20 tahun 2003. Istilah pembejaran ditampilkan secara eksplisit dalam rumusan definisi

pendidikan,14 kurikulum,15 dan ayat tersendiri.16 Berbeda dengan undang-undang sebelumnya

yang tidak menyantumkan definisi “belajar-mengajar”, Undang-undang No. 20 tahun 2003

menyantumkan definisi “pembelajaran” dalam ayat tersendiri. Pembelajaran dedefisikan

sebagai “proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar”. 17

Setelah istilah “pembelajaran” dilegitimasi Undang-undang, maka peraturan-

peraturan turunan dari Undang-undang menggunakan istilah “pembelajaran” dengan makna

teoretik dan implikasi praktiknya. Istilah Proses Pembelajaran berangsur menjadi populer di

kalangan pemangku kebijakan, guru, murid, dan masyarakat luas. Lembaga-lembaga

pendidikan juga menerapkan konsep pembelajaran secara masif dalam strategi, metode, dan

perangkatnya. Pelatihan dan workshop diselenggarakan untuk implementasi konsep

pembelajaran tersebut. Konsep pembelajaran merupakan ranah pendidikan. Legitimasi istilah

14
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara ((pasal 1 ayat 1).
15
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. (Pasal 1 ayat 19)
16
Pasal 1 ayat 20.
17
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar (pasal 1 ayat 19).
pembelajaran merupakan produk kekuasaan legeslatif dan eksekutif di jaman Ketua MPR RI

Prof. Amien Rais dan Presiden RI ibu Megawati Soekarnoputri.

Contoh lain adalah pergeseran dalam konsep isi kompetensi. Semula urutan

kompetensi yang populer di Indonesia adalah “pengetahuan, sikap, dan keterampilan” seperti

teori Benjamin Samuel Bloom tahun 1956.18 Para guru sering menggunakan padanan istilah

kognitif, afektif, dan psikomotorik. Urutan kompetensi tersebut dipegang kuat dalam proses

pendidikan di Indonesia. Bukan hanya digunakan para guru, tetapi juga para dosen di fakultas

kependidikan.

Konsep “kognitif, efektif, dan psikomotorik” yang telah bertahun-tahun dipegang kuat

akhirnya digeser di Indonesia dengan konsep baru yang mendahulukan sikap disusul

kemudian pengetahuan, dan diakhiiri keterampilan (sikap, pengetahuan, dan keterampilan).

Perubahan urutan kompetensi tersebut secara intensif bukan tanpa makna dan implikasi

sebagaimana urutan kompetensi sebelumnya. Posisioning aspek sikap di awal urutan

kompetensi sekurang-kurangnya merupakan respon konseptual dari maraknya “orang pandai”

di negeri ini yang terjerat korupsi dan dekadensi moral yang lain. Ada yang membuat

ungkapan bahwa banyak orang pinter di Indonesia ini, tetapi banyak pula yang keblinger.

Indonesia membutuhkan orang bener yang pener. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka

proses “pembelajaran” sebagaimana telah digariskan dalam undang-undang harus diikuti

dengan perangkat konseptual yang mendukung terpenuhinya kebutuhan bangsa tersebut.

Pemikiran konseptual yang baru tentang urutan kompetensi (sikap, pengetahuan, dan

keterampilan) pada awalnya dilegitimasi oleh pemerintahan SBY di tahun 2005 melalui

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Namun, Peraturan Pemerintah ini hanya menyebut sekilas di pasal pasal 1 ayat 4 dan pasal

25, sehingga Menteri Pendidikan Nasional yang baru memperjelas konsep dengan pasal-pasal

18
yang lebih sistemik dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang

Standar Nasional Pendidikan.19 Menteri pendidikan nasional waktu itu, Prof. M. Nuh

sangat gigih mendukung implementasinya dengan menyebut-nyebut kehidupan pesantren

sebagai contoh.

Sejak Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 ditetapkan tanggal 7 Mei 2013, maka

konsep kompetensi yang baru ini berangsur populer dan implementatif dalam proses

pendidikan di Indonesia. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman

penilaian dalam penentuan kelulusan Peserta Didik dari satuan pendidikan. Semua bahan

ajar dan perangkat pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kompetensi tersebut.

Contoh lain adalah amandemen ke-4 terhadap Bab XIII pasal 31 Undang-

undang Dasar 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan sehingga muncul ayat (1)

tiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti

pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur

dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan

nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang

tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan

umat manusia.

Butir-butir ayat dalam amandemen pasal 31 UUD 1945 tersebut dipahami

sangat mendukung proses pendidikan dibandingkan dengan butir-butir ayat dalam


19
Kompetensi didefinisikan sebagai seperangkat sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh Peserta Didik setelah mempelajari suatu muatan pembelajaran, menamatkan suatu
program, atau menyelesaikan satuan pendidikan tertentu (Pasal 1 ayat 19)
UD 1945 sebelumnya. Dukungan bukan hanya dapat dilihat dari misi umum yang

terkandung dalam pasal 31, seperti jaminan hak pendidikan bagi warga negara,

jaminan biaya atas pendidikan dasar, dan jaminan terhadap porsi anggaran

pendidikan, tetapi juga pilihan tepat terhadap istilah yang digunakannnya. Misalnya,

istilah “pengajaran” sudah tidak digunakan lagi dalam pasal 31, tetapi konsisten

menggunakan istilah pendidikan, sebab istilah “pendidikan” dan “pengajaran”

memiliki perbedaan makna yang mendasar.

Amandemen terhadap pasal 31 merupakan produk dari proses politik sidang-

sidang MPR tahun 2002. Sidang yang melibatkan fraksi-fraksi Majelis untuk

menyampaikan pengantar dan penyampaian pemandangan umum dari fraksi-fraksi

sebelum diambil keputusan. Di sana ada Fraksi-PDIP, Fraksi Utusan Golongan,

Fraksi Utusan Daerah, Fraksi Partai Golkar, Fraksi TNI/ Polri, Fraksi-PKB, Fraksi

PPP, Fraksi PDKB, Fraksi KKI.20 Dalam proses sidang di Majelis, fraksi-fraksi

tersebut tentu menampakkkan taring kekuaasaan sebagai watak politik aslinya.

Masih banyak contoh tentang unsur pendidikan dan unsur politik yang

sesunggunya berbeda, tetapi dalam praktik kependidkkan dapat bersimbiosis. Namun

simbiosis itu tidak selamanya mutualistik. M. Sirozi mengingatkan bahwa

pendidikan sering dianggap sebagai komoditi politik yang sangat penting dalam

masyarakat modern, sehingga nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan

menjadikan berbagai faktor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan

turut memengaruhi kontrol terhadap pendidikan dan pembuatan kebijakannya.

Pendidikan juga sering “dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif

umum dan norma-norma yang berlaku, sehinga proses pendidikan menjadi lebih

20
Ambar Susatyo Murti, “Dilema Putusan Pengujian UU APBN TA 2005”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 8 No. 1,
Februari 2006, hlm. 55-85.
sulit.21 Pendidikan juga sering dijadikan ajang sosialisasi politik, sehingga banyak

pihak yang mengangap pendidikan sebagai tunggangan stratagis. Misalnya, ketika

eforia demokratisasi muncul di negeri ini, maka OSIS menjadi ajang latihan. Ketika

korupsi marak di negeri ini, maka kantin-kantin sekolah menjadi sasaran uji coba.

21
M. Sirozi, Politik Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005, hlm. 17.

Anda mungkin juga menyukai