Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Disampaikan di Hadapan Rapat Senat Terbuka
Institut Agama Islam Negeri Salatiga
16 Oktober 2019
Oleh:
Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan
IAIN Salatiga
IAIN SALATIGA
2019
1
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang saya hormati
1. Ketua, Sekretaris, para Guru Besar, dan semua anggota Senat
2. Rektor
3. Para Wakil Rektor, para Dekan, dan Direktur Pascasarjana
4. Para Ketua Lembaga, dosen, dan pegawai
5. Para tamu undangan yang berbahagia
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan nikmat-Nya kepada kita, sehingga kita dapat bertemu di acara
Sidang Terbuka Senat dalam rangka Pengukuhan Guru Besar IAIN Salatiga. Saya
sadari dalam perasaan dan pikiran bahwa hari ini merupakan salah satu hari
bersejarah dalam hidup saya. Saya berdiri di hadapan Sidang Terbuka Senat dan
menyampaikan pidato Pengukuhan Guru Besar dengan judul “Dari Dominasi ke
Pluralisme Konfesional: Menelisik Model Kebijakan Pendidikan Agama di
Indonesia”.
Pidato ini, saya maksudkan untuk melihat sejenak bagaimana pendidikan
agama di Indonesia menapaki sejarahnya dari periode ke periode hingga
menemukan modelnya seperti sekarang ini, tentu berikut beberapa sisa masalah
dan pekerjaan rumah terkait dengan kebijakan dan implementasinya.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan agama di Indonesia diakui
publik sebagai kebutuhan mendasar, namun di sisi lain masih sering dijadikan
polemik di “musim-musim” tertentu, seperti terjadi di bulan Juli 2019 ini.1
Polemik yang muncul tidak lagi terbatas pada aspek teknis operasionalnya,
tetapi sering menyentuh aspek kebijakan dan landasan filosofisnya.
1
Misalnya, wacana Setyono Djuandi Darmono tentang penghapusan pendidikan agama di
sekolah. https:// www.kompasiana.com/ ramadhanhadysyahputratambunan/
5d1fc3f4097f363efe15dd12/ penghapusan-pelajaran-agama-di-sekolah-ide-ke-bhinekaan-atau-
sekularisme?page=all, diakses tanggl 7 Juli 2019. Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama
Indonesia(MUI), Sudarnoto Abdul Hakim, mengkritik keras ide menghapus pendidikan agama di
sekolah, https://suarapalu.com/mui-pandangan-pendidikan-islam-lahirkan-radikalisme-itu-sangat-
menyesatkan/ diakses tanggl 7 Juli 2019.
2
Mengawali bagian inti pidato ini, perkenankan saya mengutip ungkapan
Prof. S. Nasution bahwa “masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang
masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil
perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa
Indonesia pada masa yang telah lewat”.2 Ungkapan tersebut masih relevan
digunakan untuk melihat secara bijak sistem pendidikan agama yang berlaku di
Indonesia era sekarang. Pendidikan agama yang sedang berlaku sekarang ini
adalah hasil perkembangan pendidikan agama yang tumbuh dalam sejarah bangsa
Indonesia di masa yang telah lalu.
Pidato pengukuhan ini sebagian memang berisi tentang masa lalu
pendidikan agama di Indonesia. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membangun
kembali kepentingan masa lalu (antikuaranisme), tetapi untuk turut membangun
masa depan pendidikan agama di Indonesia supaya lebih berkemajuan3 atau lebih
baik dan lebih baik lagi.4
Prof. Kuntowijoyo pernah mengingatkan tentang arti penting sejarah bagi
suatu bangsa. Sejarah tidak hanya berguna secara intrinsik, tetapi juga berguna
secara ekstrinsik. Sejarah berguna secara intrinsik tidak hanya untuk mengetahui
masa lampau, tetapi juga sebagai ekspresi pernyataan pendapat. Sejarah berguna
secara ekstrinsik tidak hanya untuk pendidikan moral, pendidikan penalaran, dan
pendidikan politik, tetapi juga sebagai pendidikan kebijakan. 5
2
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. v)
3
Meminjam tema Mu’tamar Muhamadiyah ke-47 di Makassar 18-22 Syawal 1436 H/ 3-7
Agustus 2015. Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor 01/ 2015-2020/ Zulhijah 1436 H/ September
2015.
4
Meminjam tema Konfercab NU Kab. Semarang tanggal 4 November 2018 (Panitia
Konferensi Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Semarang, Undangan , 17 Oktober 2018).
5
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2001), hlm. 20-29.
3
hasil diskusi yang agak panjang dengan Allahu yarham Prof. Dr. Noeng Muhadjir
dan Nonkonfesional”.8
dilakukan oleh kelompok agama atau keyakinan yang secara kuantitatif mayoritas,
tetapi dominasi dapat dilakukan oleh kelompok yang secara kuantitatif minoritas.
Dengan ungkapan lain, kelompok agama atau keyakinan yang secara kuantitatif
6
Ada dua tawaran kepada kelompok minoritas atas nilai kelompok dominan, yaitu
dirangkul dengan model asimilasi atau model pluralisme kultural, atau mereka diisolasi dengan
model isolasi tersosialisasi atau model kolonialisme. Frederick M. Wirt, “The Stranger Within My
Gate: Ethnic Minorities and School Policy in Europe”, dalam Philip G. Altbach, Robert F. Arnove
& Gail P Kelly (eds.), Comparative Education, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc,
1982), hlm. 119-133.
7
Ada enam tipe kebijakan yang disebut dengan Six Theories of Communal Living, yaitu
Melting Pot I, Melting Pot II, Sparasi Rasial, Pluralisme Kultural, Segregasi, Desegregasi-
Integrasi. Ricardo L. Garcia, Teaching in a Pluralistic Society: Concept, Models, Strategies (New
York: Harper & Row, 1982), hlm. 37-58.
8
Ada dua model Pendidikan Agama, yaitu Pendidikan Agama Konfesional (Pendidikan
agama yang memiliki misi agar peserta didik meyakini agamanya dan menghormati orang lain
yang berbeda agama atas dasar keyakinannya) dan Pendidikan Agama Nonkofesional (pendidikan
agama yang hanya punya misi agar peserta didik menghormati orang lain yang berbeda agama
atau keyakinan). Basil Moore “The Nature of Religious Education”, dalam Graham R. Rossiter
(ed.), Religious Education in Australian School (Canberra: Curriculum Development Centre,
1981), hlm. 160.
4
abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-17. Penguasa Portugis menerapkan
sistem padroado. Raja adalah pelindung gereja di wilayah koloni. Sistem ini
juga untuk kepentingan gerejawi. Gereja tidak berada di atas negara tetapi
menyeberang laut ke Asia. Mereka tidak menganggap ganjil bila jalan untuk misi
dibuka dengan cara perang. Mereka juga menganggap wajar bila “pengatolikan”
menerima bila raja memimpin pengkabaran injil. Mereka juga bersedia bergabung
terlibat secara langsung dalam proses konversi agama seorang pemimpin Mamuya
9
Th. Van den End, Ragi Cerita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 (th. 1500-th. 1860),
(Jakarta: Gunung Mulia, t.t.), hlm. 29.
10
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan
Berubah, terjemahan Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1997), hlm. 355.
11
Th. Van den End, Ragi Cerita, hlm.29-30.
5
Mamuya secara politis, tetapi juga melakukan penyambutan yang antusias serta
untuk pemimpin Mamuya. Setelah dibabtis, ia diberi nama baru Don Joao sebagai
membaca dan menulis. Pastor Fernao Vinagre mengirim anak-anak dari Moro
Maluku ke kolese itu. Kalangan putra bangsawan dan kepala desa banyak yang
Model dominasi merambah pula pada nasib masjid sebagai tempat ibadah
kembali wilayah Ternate, Tidore, dan sebagian pulau Halmahera. Beberapa orang
Jatuh, Gubernur Spanyol segera memerintahkan agar gereja St. Paulus dengan
mendiaminya. Gereja yang dibangun dari batu itu diperbaiki dan digunakan lagi.
menjadi gereja, biara, dan sebagian yang lain dijadikan rumah sakit.14
12
Muskens pr. (ed.), Sejarah Gereja Katolik Indonesia I, (Jakarta: KWI, 1974), hlm. 59-
60.
13
Ibid., hlm. 61.
14
Ibid., hlm. 267.
6
Peristiwa-peristiwa sejarah di atas memberi pelajaran bahwa kelompok
menjadikan mereka pemeluk Katolik”. Ricklefs menulis bahwa pada tahun 1560
yang sebesar-besarnya. Mereka mengarungi lautan luas dengan kapal layar untuk
berdagang bagi mereka ternyata tidak cukup di kapal yang berlabuh di laut.
Mereka menyadari bahwa tidak mungkin mengusir Portugis tanpa tempat berpijak
yang kuat di darat, maka mereka mendirikan benteng di titik pertemuan navigasi
15
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terjemahan Satrio Wahono, dkk.,
(Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 67.
7
yang semula dagang bermetamorfosis secara pelan-pelan menjadi “pedagang
penguasa”.16
terhadap agama dan kelompok keyakinan lain, tetapi mereka tidak punya cara lain
pengaruh Portugis, termasuk dalam aspek agama. Penguasa VOC memaksa para
dengan sukarela atau terpaksa. VOC memberi stimulus kepada siapa pun yang
bersedia menjadi Kristen dengan status sosial yang lebih tinggi. VOC juga
percaturan politik dan ekonomi.17 Sikap dominatif VOC juga dilakukan terhadap
keamanan.18
sebab anak-anak Belanda belum ada di sana. Tujuan utama sekolah VOC adalah
Kurikulum sekolah yang didirikan VOC berkaitan erat dengan gereja. Instruksi
badan tertinggi VOC (heeren XVII) di Belanda tahun 1617 menyebutkan bahwa
sekolah. Tahun 1632 telah berdiri 16 sekolah di Ambon. Tiga belas tahun
jumlah murid 1.300 orang. Tugas guru menurut peraturan sekolah tahun 1643
16
J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, terjemahan Samsudin
Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 27-29.
17
Parakitri T. Simbolon, Akar-akar Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kompas, 1995),
hlm. 40-41
18
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 17-20.
8
adalah memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama
Kristen, mengajari anak berdoa, menyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua,
datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bimbingan individual.
Pelajaran menyanyi lagu gerejani dan resitasi teks Injil menjadi menu siswa di
diangkat oleh gereja Reformasi di Amsterdam. Para calon guru diuji sebelum
menyanyikan lagu-lagu gerejani. Sebagian besar calon guru juga belum memiliki
beragam, seperti pembuat peti mati, tentara, bekas Pastor Katolik, penjahat, dan
Rabbi Yahudi.20 Latar belakang calon guru tersebut paralel dengan kondisi
personil VOC yang datang ke Asia, terutama pada masa tahun-tahun akhir
kekuasaannya. Sebagian besar dari mereka bukan orang Belanda, melainkan para
tanah jajahan Hindia Belanda, J.P. Coen, memperkenalkan metode baru dengan
dalam jumlah tertentu kepada pemeluk Kristen yang baru. Mereka yang memeluk
19
S Nasution, Sejarah Pendidikan, hlm. 4-5.
20
Ibid., hlm. 6
21
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 72.
9
Kristen memperoleh status istimewa karena kualifikasi pendidikannya yang
cukup. Bekal pendidikan membuka peluang bagi mereka untuk mengisi berbagai
menurun pada abad ke-18. Di antara sebabnya adalah VOC sudah menganggap
ketiadaan guru agama atau pendeta. Bangunan gereja sudah banyak yang
penduduk Jakarta pada waktu itu 16.000 jiwa. Sejumlah uang yang akan
disumbangkan di Jakarta pada tahun 1800 tidak diketahui sasarannya, sebab sudah
tidak ada seorang guru Belanda pun di sana. VOC pada saat itu juga sudah
dibubarkan. 24
Model Pluralisme
22
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
Terjemahan Misbah Zulfa Ellizabet, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 156.
23
Mona Lohanda, “Unsur non -Pribumi di Batavia pada Abad ketujuh belas”, dalam L. Z.
Leirissa (ed.), Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur, Sutra (Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997), hlm.
78.
24
Nasution, Sejarah Pendidikan, hlm. 6-7
10
Setelah VOC bangkrut di akhir abad ke 18 dan ambruk di awal abad ke 19, model
hidup sesuai dengan agama dan keyakinannya. Negara tidak mencampuri urusan
agama dan keyakinan warga negaranya. Sikap politik pemerintah Belanda yang
ingin netral pada agama berpengaruh secara signifikan pada kebijakan pendidikan
di Hindia Belanda. Tujuan pendidikan tidak lagi untuk memupuk rasa takut
kepada Tuhan seperti di zaman VOC. Orientasi belajar juga tidak lagi pada kitab
tidak dicapai melalui kitab Injil, tetapi melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita
moral.26
Kristen (antara sekte-sekte Protestan dan antara Protestan dan Katolik). Sikap
politik itu juga dimaksudkan untuk menghindarkan perlawanan dari umat Islam.
25
H. Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 15, 27.
26
S. Nasution, Sejarah, hlm. 11.
11
Semua didorong oleh kepentingan politik.27 Kelompok agama dan keyakinan apa
dan keamanan. Nasib agama dan keyakinan, akan hidup berkembang atau mati
pluralisme.
Model Pengabaian
Di Belanda pada dasawarsa akhir abad ke-19 hingga selesai Perang Dunia
kedua terjadi kompetisi politik yang hebat antara kelompok Partai Agama dan
tetapi juga mempertimbangkan dasar agama dan tanggung jawab moral. Bagi
mereka, politik tidak murni duniawi, tetapi korelatif dengan nilai-nilai akhirati.
Prinsip Partai Agama seperti itu ditentang oleh kelompok non-agama yang terdiri
atas partai liberal, komunis, dan sosialis. Bagi mereka, siapa yang
12
pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap agama di negeri
jajahannya.29
Bidang agama yang semula diusahakan benar-benar netral dan bebas dari
yang “netral terhadap agama” berbeda antara teori dan praktik. Sikap “netral
terhadap agama” hanya bertahan kurang lebih 28 tahun, sebab pada tahun 1882,
ordonansi guru tahun 1905. Ordonansi ini menjadi salah satu bukti bahwa sikap
netral pemerintah mulai luntur dan memihak. Pemerintah tidak lagi membiarkan
yang diterimamya lebih sedikit dibandingkan dengan dana yang diberikan kepada
29
Ibid., 21 .
30
H. Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 49-63.
31
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Semarang: Rasail, 2009), hlm. 142.
Sebagai bahan perbandingan adalah tulisan; Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Karisidenan
di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, terjemahan Maurits Simatupang, (Jakarta: Kepustakaan Pupuler
Gramedia,2001), hlm. 79-85.
13
pihak Kriten.32 Pemerintah tidak memperhatikan aspek kuantitatif pemeluk Islam
aspek pembinaan, sebab ada kelompok tertentu yang dibina secara intensif,
Dasar Negara Republik Indonesia bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
32
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam di Indonesia, (Jajasan Nida: Yogyjakarta, 1969),
hlm. 25. Ditulis pula oleh Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 32-33.
33
Tim Redaksi Pustaka Mahadika, 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (T.tp:
Pustaka Mahadika, T.th), hlm. 2.
14
Founding fathers Indonesia juga tidak mengarahkan negara bermodel
Pluralisme hanya sampai pada batas usaha saling memahami dan menghormati
agama dan keyakinan orang lain. Pluralisme sebagai model kebijakan yang pernah
pengabaian.
dan keyakinan warga negaranya, tetapi mendorong warga negara agar; (1)
dalam kelompok agama dan keyakinan agar saling menghormati atas dasar
secara proporsional.
dasar negara menjadikan Indonesia ini neither secular nor theocracy. Indonesia
bukan negara sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan urusan agama.
Indonesia juga bukan negara teokrasi yang menyatukan urusan negara dan urusan
agama. Dalam ungkapan lain, Indonesia tidak identik dengan agama dan
keyakinan tertentu, tetapi negara juga tidak melepaskan agama dan keyakinan dari
15
urusan negara. Negara memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan agama-
agama.34
terhadap agama.
mana pun tidak sakadar bertugas untuk mendorong peserta didik mengenal
berbagai agama dan keyakinan secara objektif supaya mereka dapat hidup saling
pengetahuan, dan melatih keterampilan peserta didik agar (1) mengamalkan ajaran
agama dan keyakinannya masing-masing secara benar, (2) membina peserta didik
kepentingan peserta didik dari kelompok agama dan keyakinan minoritas dalam
16
Hadirin yang saya hormati.
Kita baca dalam sejarah bahwa pemerintah pada tahun 1945-1950 hanya
pada keputusan orang tuanya. Nilai mata pelajaran agama juga tidak
mengubah diktum TAP MPRS No. II/ MPRS/ 1960 dengan TAP MPRS-RI No.
XXVII/ MPRS/ 1966 tanggal 5 Juli 1966, sehingga pendidikan agama ditetapkan
dan perguruan tinggi negeri untuk memberikan pendidikan agama kepada peserta
didiknya, tetapi mewajibkan pendidikan agama kepada setiap siswa di jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan tanpa pandang negeri atau swasta. Bukan hanya itu, guru
agama juga harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama
35
Karen A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, terjemahan Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 86-87.
36
Tilaar, H.A.R. 50 Tahun Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 1995), 744.
17
peserta didik yang bersangkutan.37 Komentar dan kritik tentu terjadi dalam proses
mengurangi hak untuk agama dan kehidupan beragama.38 Kritik yang lebih keras
menyatakan bahwa “orang yang masih suka menitipkan syi’ar atau dakwah agama
melalui sekolah formal adalah pewaris Orde Baru ...”.39 Pada Tahun 2003-2007,
dasar, menengah, dan tinggi untuk memberikan pendidikan agama dengan guru
agama dan ajarannya sesuai dengan agama peserta didik, tetapi memosisikan
pendidikan agama sebagai hak peserta didik. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
pasal 12 ayat a menyatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; ...”. 40 Kehendak Undang-
Undang Pendidikan Nasional yang terakhir ini dalam tataran normatif menjadi
37
Penjelasan pasal 28 Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Tim Redaksi Tugu Muda, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989:
Sistem Pendidikan Nasional. Semarang: Tugu Muda, 1989, hlm. 52.
38
Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara: Hubungan Gereja Katolik Indonesia dengan
Negara Pancasila, (Malang: Averroes Press, 2002), hlm. 8.
39
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. 117.
40
Tim Redaksi Wacana Intelektual, Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005:Guru dan
Dosen & Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas. (T.tp.: Wacana Intelektual, 2006),
hlm. 61.
18
Indonesia dari model kebijakan yang semula dominatif menuju model yang lebih
agama dengan model pluralisme konfesional itu akan semakin kokoh atau
Bergantung pada semangat para eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Oleh karena
itu, founding fathers negara ini sudah mengingatkan sejak awal dalam penjelasan
sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya negara ialah semangat,
negara kuat ke arah model pluralisme konfesional, maka model tersebut akan
41
Tim Redaksi Penerbit Citra Umbara, Piagam Jakarta Undang-Undang Dasar 1945,
(Bandung: Citra Umbara 2005), hlm. 19.
19
mendapat perhatian yang kuat. Sebaliknya, jika mereka cenderung pada semangat
dominasi, pluralisme, atau pengabaian, maka model yang sudah ada ini sangat
mungkin akan digeser atau diganti secara evolutif atau revolutif dengan model
melalui sejarah panjang, bukan hanya dalam ukuran tahun dan windu, melainkan
beratus-ratus abad dengan cucuran keringat dan air mata. Oleh karena itu, sangat
ironis bila saat ini atau suatu saat nanti ada penyelenggara negara Indonesia yang
berkehendak untuk memundurkan jarum jam sejarah dengan cara menganti model
pengabaian.
Sebagai penutup pidato ini, saya sekali lagi menyampaikan rasa syukur ke hadirat
Allah Swt. Atas perkenan Allah Swt., saya mampu berdiri di sini. Saya juga
kedua orang tua saya, Allahu yarham “simak” Sugiyati Ahmad dan Allahu
yarham bapak saya Saeri Samsuddin Marto Kasban, yang telah mendidik dan
menyertai perjalanan hidup saya dengan usaha dan doa-doa malamnya. Terima
kasih dan rasa hornat juga saya sampaikan kepada ibunda dan ayahanda moro
sepuh, Hj. Fatimah dan Allahu yarham bapak Masyhudi, yang selalu memberi
dukungan dalam kondisi senang dan susah. Rasa terima kasih juga saya
42
Meminjam tesis Ahmad Sukardja, Piagam Madinah, , hlm. 146.
20
sampaikan kepada para kakak dan adik yang selalu memahami kelebihan dan
Terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada para kyai saya di
beberapa pesantren, ustadz-ustadzah dan guru saya di madrasah dan sekolah sejak
pendidikan dasar hingga menengah. Terima kasih yang sama, saya sampaikan
kepada para dosen dan pembimbing saya di IAIN Walisongo Semarang, IAIN
Ucapan terima kasih, saya aturkan kepada para pembimbing skripsi, tesis,
dan disertasi saya Allahu yarham bapak Prof. H. Achmadi, Allahu yarham bapak
Chudori, M.A., Allahu yarham bapak Kyai Haji Zubair, Allahu yarham bapak
Kyai Tamam Qoulani, Allahu yarham bapak Kyai Mahfudz Ridwan, Allahu
yarham bapak Prof. Imam Barnadib, bapak Prof. Martin Van Bruinessen (Utrech
Malaysia), Allahu yarham bapak Prof. Abdul Halim bin Madiyah (Akademi Islam
Indonesian Islam, redaktur Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, redaktur
Jurnal Inferensi, redaktur Jurnal Miqot, redaktur Jurnal Ijtihad, dan pimpinan penerbit
Tiara Wacana Yogyakarta. Para redaktur ini sangat berjasa mendukung saya menyiapkan
syarat-syarat akademik di saat persyaratan untuk meraih jabatan Guru Besar “amat
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor IAIN Salatiga, para
wakil rektor, para dekan, dan para anggota senat. Para Ketua dan para Pembantu Ketua
21
STAIN Salatiga di masa lalu, Ketua Jurusan Tarbiyah. Atas profesionalitas “beliau-
beliau”, saya terdukung hingga menduduki jabatan fungsional guru besar ini. Rasa terima
kasih yang sama, saya sampaikan kepada para kolega dosen dan karyawan di IAIN
Salatiga yang telah berkenan menjadi kawan baik dalam berjuang bersama di almamater
IAIN Salatiga. Ucapan terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada jajaran
Bagian Kepegawaian IAIN Salatiga dan jajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Islam Kementerian Agama RI yang telah memfasilitasi secara gigih, sabar, dan telaten
pengurusan Guru Besar saya ke Kemenristek Dikti. Saya tentu juga mengucapkan terima
kasih kepada jajaran Kementristek Dikti yang kokoh konsisten dengan prinsip
regulasinya.
Last but not least, saya berterima kasih kepada kawan-kawan dari berbagai
instansi dan organisasi. Saya merasakan adanya dukungan moral hingga saya sampai ke
puncak karir akademik seorang dosen. Antara lain; Jajaran Pusat Perbukuan
Kab. Semarang, Pimpinan DPRD Kab. Semarang, Yayasan Istiqomah Kab. Semarang.
Yayasan Wiyata Widya Praja Kab. Semarang, Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama
(PCNU) Kab. Semarang, Dewan Riset Daerah (DRD) Kab. Semarang, Forum Kerukunan
(LK3) Kab. Semarang, dan Barisan Anti Narkoba (BAN) Kab. Semarang.
Tidak lupa secara khusus saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada istri saya, Hj. Umi Salamah, atas segala kesederhanaan, ketulusan, perhatian,
dukungan, dan pengorbanan luar biasa kepada saya selama ini, sehingga saya dapat
meniti karir akademik di kampus dengan baik dan berkiprah di luar kampus sepenuh hati.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada tiga buah hati kami, Mas Rikza Firdaus,
Mbak Dinda Tiara Firdaus, dan Dik Palestin Aqsha Firdaus. Dari istri dan tiga buah hati
22
ini, saya memperoleh oase dalam kehidupan keluarga dan sekaligus pencerahan dalam
Rektor, Ketua dan Anggota Senat, serta Hadirin sekalian yang saya hormati.
Kepada semua yang telah berjasa, baik yang telah saya sebutkan maupun yang tidak saya
sebutkan satu per satu, saya panjatkan doa “semoga Allah Subhanahu wa ta’ala
memberikan pahala yang berlibat ganda atas semua kebaikan mereka, dan mudah-
mudahan kita semua senantiasa memperoleh limpahan anugrah, kasih sayang, dan
petunjuk dalam mengarungi tugas-tugas dalam hidup ini”. Aamiin ya mujib al-sailin.
23
DAFTAR PUSTAKA
Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang
Mengubah dan Berubah, terjemahan Stephen Suleeman, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997).
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, Cet. Ke-8 (Jakarta:
LP3ES, 1996).
Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara: Hubungan Gereja Katolik Indonesia
dengan Negara Pancasila, (Malang: Averroes Press, 2002).
24
Mona Lohanda, “Unsur non -Pribumi di Batavia pada Abad ketujuh belas”, dalam
L. Z. Leirissa (ed.), Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur, Sutra
(Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997).
Muskens pr. (ed.), Sejarah Gereja Katolik Indonesia I, (Jakarta: KWI, 1974).
Th. Van den End, Ragi Cerita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 (th. 1500-th. 1860),
(Jakarta: Gunung Mulia, t.t.).
Wirt, Frederick M. “The Stranger Within My Gate: Ethnic Minorities and School
Policy in Europe”, dalam Philip G. Altbach, Robert F. Arnove & Gail P
25
Kelly (eds.), Comparative Education, (New York: Macmillan Publishing
Co., Inc, 1982).
26
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. PENDIDIKAN
No. Pendidikan
1. Fakultas Tarbiyah IAIN Semarang di Salatiga. Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Lulus Tahun 1990.
2. Program Magister IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Konsentrasi:
Studi Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Lulus Tahun 1994.
3 Program Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Konsentrasi: Studi
Politik Pendidikan Agama di Indonesia. Lulus Tahun 2003.
No. Pekerjaan
1. Dosen tetap di IAIN Salatiga. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
1991-sekarang.
2 Kepala Pusat Ilmiah dan Penerbitan STAIN Salatiga. 2002-2006.
3 Pembantu Ketua STAIN Salatiga (Bidang Akademik). 2006-2010.
4 Tim Pengembang Bahan Ajar di Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Teknis Keagamaan Kementerian Agama RI. Ad hoc. 2006-
2013.
5 Tim Penilai Buku Nonteks Pelajaran di Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ad hoc.
2010-2018
6 Penelaah buku teks pelajaran di di Pusat Kurikulum dan Perbukuan
27
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ad.hoc. 2013-2016.
7 Dosen tidak tetap di Program Magister Pendidikan Islam, Unissula
Semarang, 2013-sekarang
8 Asesor di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT),
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI. 2014-
sekarang.
9 Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan
IAIN Salatiga, 2019-2023.
28
2011.
29
No. KEGIATAN
1 Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Istiqomah Kab. Semarang,
2001-sekarang.
2 Pengawas Yayasan Wiyata Widya Praja Ungaran, 2001-2016.
3 Ketua Yayasan Wiyata Widya Praja Ungaran Kab. Semarang.
2016-sekarang.
4 Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Semarang, 2010-
sekarang
5 Wakil Ketua 1 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab.
Semarang 2007-Sekarang
6 Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga Kab.
Semarang, 2013-sekarang.
7 Wakil Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kab. Semarang 2017-
sekarang.
8 Tim Seleksi Pejabat Tinggi Pratama Kab. Semarang. Ad.hoc.
2015-2019
9 Panitia Seleksi Direktur Utama PDAM Kab. Semarang Unsur
Akademisi. Ad. Hoc. 2018.
10 Penasihat Barisan Anti Narkoba Kab. Semarang, 2018-sekarang.
30