Anda di halaman 1dari 30

DARI DOMINASI KE PLURALISME KONFESIONAL

MENELISIK MODEL KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA


DI INDONESIA

Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Disampaikan di Hadapan Rapat Senat Terbuka
Institut Agama Islam Negeri Salatiga
16 Oktober 2019

Oleh:
Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan
IAIN Salatiga

IAIN SALATIGA
2019

1
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang saya hormati
1. Ketua, Sekretaris, para Guru Besar, dan semua anggota Senat
2. Rektor
3. Para Wakil Rektor, para Dekan, dan Direktur Pascasarjana
4. Para Ketua Lembaga, dosen, dan pegawai
5. Para tamu undangan yang berbahagia

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan nikmat-Nya kepada kita, sehingga kita dapat bertemu di acara
Sidang Terbuka Senat dalam rangka Pengukuhan Guru Besar IAIN Salatiga. Saya
sadari dalam perasaan dan pikiran bahwa hari ini merupakan salah satu hari
bersejarah dalam hidup saya. Saya berdiri di hadapan Sidang Terbuka Senat dan
menyampaikan pidato Pengukuhan Guru Besar dengan judul “Dari Dominasi ke
Pluralisme Konfesional: Menelisik Model Kebijakan Pendidikan Agama di
Indonesia”.
Pidato ini, saya maksudkan untuk melihat sejenak bagaimana pendidikan
agama di Indonesia menapaki sejarahnya dari periode ke periode hingga
menemukan modelnya seperti sekarang ini, tentu berikut beberapa sisa masalah
dan pekerjaan rumah terkait dengan kebijakan dan implementasinya.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan agama di Indonesia diakui
publik sebagai kebutuhan mendasar, namun di sisi lain masih sering dijadikan
polemik di “musim-musim” tertentu, seperti terjadi di bulan Juli 2019 ini.1
Polemik yang muncul tidak lagi terbatas pada aspek teknis operasionalnya,
tetapi sering menyentuh aspek kebijakan dan landasan filosofisnya.

Hadirin yang saya hormati.

1
Misalnya, wacana Setyono Djuandi Darmono tentang penghapusan pendidikan agama di
sekolah. https:// www.kompasiana.com/ ramadhanhadysyahputratambunan/
5d1fc3f4097f363efe15dd12/ penghapusan-pelajaran-agama-di-sekolah-ide-ke-bhinekaan-atau-
sekularisme?page=all, diakses tanggl 7 Juli 2019. Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama
Indonesia(MUI), Sudarnoto Abdul Hakim, mengkritik keras ide menghapus pendidikan agama di
sekolah, https://suarapalu.com/mui-pandangan-pendidikan-islam-lahirkan-radikalisme-itu-sangat-
menyesatkan/ diakses tanggl 7 Juli 2019.

2
Mengawali bagian inti pidato ini, perkenankan saya mengutip ungkapan
Prof. S. Nasution bahwa “masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang
masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil
perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa
Indonesia pada masa yang telah lewat”.2 Ungkapan tersebut masih relevan
digunakan untuk melihat secara bijak sistem pendidikan agama yang berlaku di
Indonesia era sekarang. Pendidikan agama yang sedang berlaku sekarang ini
adalah hasil perkembangan pendidikan agama yang tumbuh dalam sejarah bangsa
Indonesia di masa yang telah lalu.
Pidato pengukuhan ini sebagian memang berisi tentang masa lalu
pendidikan agama di Indonesia. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membangun
kembali kepentingan masa lalu (antikuaranisme), tetapi untuk turut membangun
masa depan pendidikan agama di Indonesia supaya lebih berkemajuan3 atau lebih
baik dan lebih baik lagi.4
Prof. Kuntowijoyo pernah mengingatkan tentang arti penting sejarah bagi
suatu bangsa. Sejarah tidak hanya berguna secara intrinsik, tetapi juga berguna
secara ekstrinsik. Sejarah berguna secara intrinsik tidak hanya untuk mengetahui
masa lampau, tetapi juga sebagai ekspresi pernyataan pendapat. Sejarah berguna
secara ekstrinsik tidak hanya untuk pendidikan moral, pendidikan penalaran, dan
pendidikan politik, tetapi juga sebagai pendidikan kebijakan. 5

Hadirin yang saya hormati.

Indonesia sebagai wilayah bekas jajahan memiliki beberapa pengalaman

model kebijakan pendidikan agama. Model itu berkembang dari dominasi, ke

pluralisme, berlanjut ke penerlantaran hingga akhirnya sampai ke pluralisme

konfesional. Kategorisasi model kebijakan pendidikan agama tersebut merupakan

2
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. v)
3
Meminjam tema Mu’tamar Muhamadiyah ke-47 di Makassar 18-22 Syawal 1436 H/ 3-7
Agustus 2015. Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor 01/ 2015-2020/ Zulhijah 1436 H/ September
2015.
4
Meminjam tema Konfercab NU Kab. Semarang tanggal 4 November 2018 (Panitia
Konferensi Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Semarang, Undangan , 17 Oktober 2018).
5
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2001), hlm. 20-29.

3
hasil diskusi yang agak panjang dengan Allahu yarham Prof. Dr. Noeng Muhadjir

setelah bersama-sama membaca teori Wirt mengenai ”Tipologi Kebijakan

Nasional tentang Sosialisasi dan Kontrol Kelembagaan terhadap Minoritas”,6

teori Garcia tentang ”Tipologi Kebijakan Nasional terhadap Kemajemukan di

Amerika”,7 dan pendapat Moore tentang “Jenis Pendidikan Agama Konfesional

dan Nonkonfesional”.8

Hadirin yang saya hormati.

Model Dominasi Portugis

Dominasi terjadi ketika suatu kelompok agama atau keyakinan

mengharuskan kelompok yang lain untuk mengikutinya. Dominasi tidak selalu

dilakukan oleh kelompok agama atau keyakinan yang secara kuantitatif mayoritas,

tetapi dominasi dapat dilakukan oleh kelompok yang secara kuantitatif minoritas.

Dengan ungkapan lain, kelompok agama atau keyakinan yang secara kuantitatif

minoritas dapat mendominasi kelompok yang secara kuantitatif mayoritas.

Dominasi terhadap kelompok agama dan keyakinan pernah ditampilkan

Portugis semasa menjejakkan kakinya di sebagian wilayah Nusantara pada awal

6
Ada dua tawaran kepada kelompok minoritas atas nilai kelompok dominan, yaitu
dirangkul dengan model asimilasi atau model pluralisme kultural, atau mereka diisolasi dengan
model isolasi tersosialisasi atau model kolonialisme. Frederick M. Wirt, “The Stranger Within My
Gate: Ethnic Minorities and School Policy in Europe”, dalam Philip G. Altbach, Robert F. Arnove
& Gail P Kelly (eds.), Comparative Education, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc,
1982), hlm. 119-133.
7
Ada enam tipe kebijakan yang disebut dengan Six Theories of Communal Living, yaitu
Melting Pot I, Melting Pot II, Sparasi Rasial, Pluralisme Kultural, Segregasi, Desegregasi-
Integrasi. Ricardo L. Garcia, Teaching in a Pluralistic Society: Concept, Models, Strategies (New
York: Harper & Row, 1982), hlm. 37-58.
8
Ada dua model Pendidikan Agama, yaitu Pendidikan Agama Konfesional (Pendidikan
agama yang memiliki misi agar peserta didik meyakini agamanya dan menghormati orang lain
yang berbeda agama atas dasar keyakinannya) dan Pendidikan Agama Nonkofesional (pendidikan
agama yang hanya punya misi agar peserta didik menghormati orang lain yang berbeda agama
atau keyakinan). Basil Moore “The Nature of Religious Education”, dalam Graham R. Rossiter
(ed.), Religious Education in Australian School (Canberra: Curriculum Development Centre,
1981), hlm. 160.

4
abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-17. Penguasa Portugis menerapkan

sistem padroado. Raja adalah pelindung gereja di wilayah koloni. Sistem ini

mengarahkan penguasa menggabungkan antara perluasan wilayah dan

penginjilan. Mereka berupaya agar semua orang di wilayahnya menganut

Katolik.9 Kekuasaan diposisikan tidak hanya untuk kepentingan politik, tetapi

juga untuk kepentingan gerejawi. Gereja tidak berada di atas negara tetapi

keduanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Kolonialisme dan misi

katolik saling bergantung, sehingga usaha untuk memperluas koloni bersimbiosis

dengan tugas untuk menjadikan bangsa-bangsa jajahannya memeluk Katolik.10

Orang-orang Portugis abad ke-15 dan ke-16 tidak menganggap aneh

terhadap pencampuradukan alasan ekonomi, politis, dan agama untuk

menyeberang laut ke Asia. Mereka tidak menganggap ganjil bila jalan untuk misi

dibuka dengan cara perang. Mereka juga menganggap wajar bila “pengatolikan”

digunakan sebagai alat untuk menjamin monopoli perdagangan. Mereka juga

menerima bila raja memimpin pengkabaran injil. Mereka juga bersedia bergabung

dengan penguasa yang satu untuk melawan penguasa yang lain. 11

Di wilayah Indonesia Timur, misalnya, panglima benteng Portugis

kebanyakan adalah orang-orang yang ditugasi untuk menyebarkan agama Katolik

secara intensif. Mereka terlibat dalam penyebaran agama Katolik. Misalnya,

Tristao d’Atayde, seorang panglima benteng Sao Paulo di Ternate (1536-1540),

terlibat secara langsung dalam proses konversi agama seorang pemimpin Mamuya

ke agama Katolik. Panglima tidak hanya berjanji akan membantu pemimpin

9
Th. Van den End, Ragi Cerita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 (th. 1500-th. 1860),
(Jakarta: Gunung Mulia, t.t.), hlm. 29.
10
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan
Berubah, terjemahan Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1997), hlm. 355.
11
Th. Van den End, Ragi Cerita, hlm.29-30.

5
Mamuya secara politis, tetapi juga melakukan penyambutan yang antusias serta

memberi pelajaran agama Katolik kepadanya. Pesta pemandian diselenggarakan

untuk pemimpin Mamuya. Setelah dibabtis, ia diberi nama baru Don Joao sebagai

gelar kebangsawanan Portugis.12

Contoh lain adalah Antonio Galvao, seorang panglima Portugis di Ternate

tahun 1536-1540. Ia mendirikan sekolah seminari (kolese) untuk anak-anak

pemuka pribumi. Mereka diberi pelajaran agama Katolik, selain pelajaran

membaca dan menulis. Pastor Fernao Vinagre mengirim anak-anak dari Moro

Maluku ke kolese itu. Kalangan putra bangsawan dan kepala desa banyak yang

dipermandikan untuk menjadi Katolik. Galvao juga membantu misi Katolik di

Ambon, sehingga beberapa kampung di Leitimor menjadi Katolik. 13

Model dominasi merambah pula pada nasib masjid sebagai tempat ibadah

dan pusat pendidikan agama di Ternate. Pada Maret-April 1606, pasukan

Spanyol-Portugis di bawah komando Gubernur baru Manila berhasil menguasai

kembali wilayah Ternate, Tidore, dan sebagian pulau Halmahera. Beberapa orang

misionaris ikut menumpang kapal-kapal Spanyol dari Manila. Setelah Ternate

Jatuh, Gubernur Spanyol segera memerintahkan agar gereja St. Paulus dengan

pastorannya diserahkan kembali kepada imam-imam Yesuit yang dulu

mendiaminya. Gereja yang dibangun dari batu itu diperbaiki dan digunakan lagi.

Para pater Fransiskan dipersilakan untuk menempati bangunan masjid dan

bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bangunan-bangunan tersebut diubah

menjadi gereja, biara, dan sebagian yang lain dijadikan rumah sakit.14

12
Muskens pr. (ed.), Sejarah Gereja Katolik Indonesia I, (Jakarta: KWI, 1974), hlm. 59-
60.
13
Ibid., hlm. 61.
14
Ibid., hlm. 267.

6
Peristiwa-peristiwa sejarah di atas memberi pelajaran bahwa kelompok

agama atau keyakinan yang secara kuantitatif minoritas dapat mendominasi

kelompok keyakinan yang secara kuantitatif mayoritas. Portugis yang secara

kuantitatif minoritas telah “memortugiskan penduduk di sekelilingnya dan

menjadikan mereka pemeluk Katolik”. Ricklefs menulis bahwa pada tahun 1560

terdapat sekitar 10.000 orang Katolik di Maluku, sebagian berdomisili di Ambon.

Pada tahun 1590-an terdapat 50.000 sampai 60.000 orang.15

Hadirin yang saya hormati.

Model Dominasi VOC

Portugis semakin lemah pada awal abad ke-17, maka Verenigde

Oostindische Compagnie (VOC) sebagai kompeni dagang swasta Belanda

berlomba datang memperbesar kekuatan di Nusantara. Orang-orang Belanda itu

datang ke Nusantara dengan motivasi awal untuk mengeruk keuntungan ekonomi

yang sebesar-besarnya. Mereka mengarungi lautan luas dengan kapal layar untuk

memperoleh rempah-rempah dari sudut-sudut pulau di Nusantara. Namun,

berdagang bagi mereka ternyata tidak cukup di kapal yang berlabuh di laut.

Mereka memerlukan daratan yang aman sebagai pangkalan (Rendez-vouz).

Mereka menyadari bahwa tidak mungkin mengusir Portugis tanpa tempat berpijak

yang kuat di darat, maka mereka mendirikan benteng di titik pertemuan navigasi

VOC di Hindia. Pangkalan diperkuat dan dipersenjatai hingga berfungsi sebagai

basis politik dan teritori. Mereka menaklukkan daerah di sekitar dan

menjadikannya sebagai negara-negara pelapis yang harus membayar upeti. VOC

15
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terjemahan Satrio Wahono, dkk.,
(Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 67.

7
yang semula dagang bermetamorfosis secara pelan-pelan menjadi “pedagang

penguasa”.16

VOC tidak setuju dengan cara-cara politis Portugis yang dominatif

terhadap agama dan kelompok keyakinan lain, tetapi mereka tidak punya cara lain

kecuali meniru strategi Portugis dan Spanyol. VOC berusaha menghilangkan

pengaruh Portugis, termasuk dalam aspek agama. Penguasa VOC memaksa para

pemeluk Katolik berkonversi ke Kristen Protestan Belanda (Hervormde Kerk)

dengan sukarela atau terpaksa. VOC memberi stimulus kepada siapa pun yang

bersedia menjadi Kristen dengan status sosial yang lebih tinggi. VOC juga

menerapkan strategi pendidikan dan pemerdekaan budak untuk memenangkan

percaturan politik dan ekonomi.17 Sikap dominatif VOC juga dilakukan terhadap

pemeluk Islam, tetapi caranya berbeda sebab pertimbangan politik dan

keamanan.18

VOC pada tahun 1607 mendirikan sekolah untuk anak-anak di Ambon,

sebab anak-anak Belanda belum ada di sana. Tujuan utama sekolah VOC adalah

menghapus agama Katolik dengan menyebarkan agama Protestan Calvinisme.

Kurikulum sekolah yang didirikan VOC berkaitan erat dengan gereja. Instruksi

badan tertinggi VOC (heeren XVII) di Belanda tahun 1617 menyebutkan bahwa

gubernur di Indonesia harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan

sekolah. Tahun 1632 telah berdiri 16 sekolah di Ambon. Tiga belas tahun

kemudian (1645), jumlah sekolah telah bertambah menjadi 33 buah dengan

jumlah murid 1.300 orang. Tugas guru menurut peraturan sekolah tahun 1643

16
J.S. Furnivall, Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk, terjemahan Samsudin
Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 27-29.
17
Parakitri T. Simbolon, Akar-akar Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kompas, 1995),
hlm. 40-41
18
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 17-20.

8
adalah memupuk rasa takut kepada Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama

Kristen, mengajari anak berdoa, menyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua,

penguasa, dan guru-guru. Pengajaran dilakukan secara individual. Para siswa

datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bimbingan individual.

Pelajaran menyanyi lagu gerejani dan resitasi teks Injil menjadi menu siswa di

kelas secara bersama-sama. 19

Sekolah-sekolah berada di bawah pengawasan pendeta. Para guru

diangkat oleh gereja Reformasi di Amsterdam. Para calon guru diuji sebelum

dikirim ke “tanah jajahan”. Materi ujian meliputi kemampuan membaca dan

menyanyikan lagu-lagu gerejani. Sebagian besar calon guru juga belum memiliki

pengalaman pedagogik, sebab mereka memiliki pengalaman kehidupan yang

beragam, seperti pembuat peti mati, tentara, bekas Pastor Katolik, penjahat, dan

Rabbi Yahudi.20 Latar belakang calon guru tersebut paralel dengan kondisi

personil VOC yang datang ke Asia, terutama pada masa tahun-tahun akhir

kekuasaannya. Sebagian besar dari mereka bukan orang Belanda, melainkan para

petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang yang bernasib jelek di Eropa.21

Sekolah-sekolah yang didirikan VOC pada waktu itu, menurut Wertheim,

lebih tradisional dibandingkan dengan pondok pesantren di masa yang sama.

Untuk menarik minat masyarakat belajar ke sekolah Kristen, maka Gubernur

tanah jajahan Hindia Belanda, J.P. Coen, memperkenalkan metode baru dengan

membagi-bagikan beras kepada anak yang masuk ke sekolah Kristen secara

sungguh-sungguh. Peraturan Kompeni Tahun 1635 mengizinkan pemberian beras

dalam jumlah tertentu kepada pemeluk Kristen yang baru. Mereka yang memeluk
19
S Nasution, Sejarah Pendidikan, hlm. 4-5.
20
Ibid., hlm. 6
21
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 72.

9
Kristen memperoleh status istimewa karena kualifikasi pendidikannya yang

cukup. Bekal pendidikan membuka peluang bagi mereka untuk mengisi berbagai

pos pegawai. Meskipun demikian, persamaan status di antara pemeluk Kristen

tidak ditemukan di masyarakat, begitu pun di dalam gereja.22 VOC membatasi

pribumi dalam jabatan, berpakaian, pergaulan, aktualisasi keagamaan, dan tempat

tinggal meskipun mereka telah menjadi Kristen. 23

Perkembangan sekolah yang cepat meningkat pada masa VOC berangsur

menurun pada abad ke-18. Di antara sebabnya adalah VOC sudah menganggap

berhasil “melenyapkan” agama Katolik. Mereka kurang berhasrat untuk

mempengaruhi orang Islam menjadi Kristen karena alasan tertentu. Gereja-gereja

di Ambon pada tahun 1890 tidak memberikan khutbah-khutbah lagi karena

ketiadaan guru agama atau pendeta. Bangunan gereja sudah banyak yang

dialihfungsikan menjadi gudang. Keadaan di Jakarta juga tidak lebih bagus.

Sekolah-sekolah di Jakarta hanya memiliki total murid 270 orang, sedangkan

penduduk Jakarta pada waktu itu 16.000 jiwa. Sejumlah uang yang akan

disumbangkan di Jakarta pada tahun 1800 tidak diketahui sasarannya, sebab sudah

tidak ada seorang guru Belanda pun di sana. VOC pada saat itu juga sudah

dibubarkan. 24

Hadirin yang saya Hormati.

Model Pluralisme

22
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
Terjemahan Misbah Zulfa Ellizabet, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 156.
23
Mona Lohanda, “Unsur non -Pribumi di Batavia pada Abad ketujuh belas”, dalam L. Z.
Leirissa (ed.), Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur, Sutra (Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997), hlm.
78.
24
Nasution, Sejarah Pendidikan, hlm. 6-7

10
Setelah VOC bangkrut di akhir abad ke 18 dan ambruk di awal abad ke 19, model

dominasi terhadap kelompok agama dan keyakinan juga berubah. Perubahan

revolusioner terjadi hingga akhirnya tersusun Peraturan Pemerintah Belanda

(Regeeringsreglement artikel 119) tahun 1854. Menurut peraturan tersebut,

“Pemerintah mengakui kemerdekaan beragama dan menyatakan netral dalam

masalah agama, kecuali bila aktivitas agama tersebut dinilai mengganggu

ketertiban dan keamanan”.25

Pemerintah membiarkan tiap-tiap kelompok agama dan keyakinan untuk

hidup sesuai dengan agama dan keyakinannya. Negara tidak mencampuri urusan

agama dan keyakinan warga negaranya. Sikap politik pemerintah Belanda yang

ingin netral pada agama berpengaruh secara signifikan pada kebijakan pendidikan

di Hindia Belanda. Tujuan pendidikan tidak lagi untuk memupuk rasa takut

kepada Tuhan seperti di zaman VOC. Orientasi belajar juga tidak lagi pada kitab

Injil. Pendidikan diorientasikan untuk mengembangkan kemampuan intelektual,

nilai-nilai rasional, sosial, dan mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya. Moralitas

tidak dicapai melalui kitab Injil, tetapi melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita

moral.26

Sikap politik netral terhadap agama tidak semata-mata untuk menjaga

stabilitas negara, tetapi dimaksudkan pula untuk mengurangi persaingan di tubuh

Kristen (antara sekte-sekte Protestan dan antara Protestan dan Katolik). Sikap

politik itu juga dimaksudkan untuk menghindarkan perlawanan dari umat Islam.

25
H. Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 15, 27.
26
S. Nasution, Sejarah, hlm. 11.

11
Semua didorong oleh kepentingan politik.27 Kelompok agama dan keyakinan apa

pun dibiarkan hidup dan berkompetisi sepanjang tidak mengganggu ketertiban

dan keamanan. Nasib agama dan keyakinan, akan hidup berkembang atau mati

perlahan, berada di tangan lembaga-lembaga agama. Negara berusaha berdiri

terpisah dengan lembaga-lembaga agama. Model ini dikategorikan ke dalam

pluralisme.

Hadirin yang saya hormati.

Model Pengabaian

Di Belanda pada dasawarsa akhir abad ke-19 hingga selesai Perang Dunia

kedua terjadi kompetisi politik yang hebat antara kelompok Partai Agama dan

Non-Agama. Kelompok Partai Agama menyuarakan misi Katolik dan Protestan.

Mereka tidak sekadar menggunakan politik sebagai alternatif solusi masalah,

tetapi juga mempertimbangkan dasar agama dan tanggung jawab moral. Bagi

mereka, politik tidak murni duniawi, tetapi korelatif dengan nilai-nilai akhirati.

Prinsip Partai Agama seperti itu ditentang oleh kelompok non-agama yang terdiri

atas partai liberal, komunis, dan sosialis. Bagi mereka, siapa yang

menghubungkan agama dan politik berarti merusak tatanan masing-masing, sebab

agama akan terseret pada nafsu politik yang sementara.28

Pada awal abad ke-20, kekuatan kelompok partai agama meningkat di

Parlemen. Partai liberal yang telah berkuasa selama 50 tahun kehilangan

kekuatan, sedangkan golongan agama semakin kuat dan mengarahkan pemerintah

pada prinsip Kristen. Situasi politik di Parlemen Belanda berpengaruh signifikan


27
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, Cet. Ke-8 (Jakarta:
LP3ES, 1996), hlm. 184-185.
28
H. Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 20.

12
pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap agama di negeri

jajahannya.29

Bidang agama yang semula diusahakan benar-benar netral dan bebas dari

campur tangan pemerintah kolonial semakin menyempit. Pernyataan pemerintah

yang “netral terhadap agama” berbeda antara teori dan praktik. Sikap “netral

terhadap agama” hanya bertahan kurang lebih 28 tahun, sebab pada tahun 1882,

pemerintah kolonal mulai secara terang-terangan menyampuri urusan-urusan

agama Islam terutama di bidang pendidikan. Misalnya muncul kebijakan

ordonansi guru tahun 1905. Ordonansi ini menjadi salah satu bukti bahwa sikap

netral pemerintah mulai luntur dan memihak. Pemerintah tidak lagi membiarkan

guru agama Islam beraktivitas seperti waktu-waktu sebelumnya, tetapi mereka

diwajibkan meminta izin kepada pemerintah.30

Sikap netral pemerintah yang sudah luntur menjadi pangkal terjadinya

sikap dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok agama dan

keyakinan. Pemeluk Kristen memperoleh berbagai keuntungan dari pemerintah

dalam memasuki sekolah pemerintah, mencari lapangan kerja, dan kenaikan

pangkat. Akses terhadap kekuasaan lebih mudah diperoleh kalangan Kristen

dibandingkan dengan penduduk yang beragama lain dan berkeyakinan lain. 31

Kelompok Islam memperoleh bantuan dari pemerintah, tetapi jumlah dana

yang diterimamya lebih sedikit dibandingkan dengan dana yang diberikan kepada

29
Ibid., 21 .
30
H. Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 49-63.
31
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, Semarang: Rasail, 2009), hlm. 142.
Sebagai bahan perbandingan adalah tulisan; Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Karisidenan
di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, terjemahan Maurits Simatupang, (Jakarta: Kepustakaan Pupuler
Gramedia,2001), hlm. 79-85.

13
pihak Kriten.32 Pemerintah tidak memperhatikan aspek kuantitatif pemeluk Islam

yang lebih banyak. Fenomena diskriminasi tersebut dapat dikategorikan sebagai

bentuk pengabaian. Pemerintah memihak pada kelompok Kristen yang secara

kuantitatif minoritas sehingga mereka menjadi dominan, sedangkan umat Islam

yang secara kuantitatif mayoritas diberi bantuan lebih sedikit.

Model pengabaian yang dilakukan pemerintah kolonial secara sekilas

memang tidak mengusik aktivitas beragama masyarakat, sebab mereka

memperoleh bantuan semua, tetapi sesungguhnya mereka didiskriminasi dalam

aspek pembinaan, sebab ada kelompok tertentu yang dibina secara intensif,

sehingga lebih berdaya dibandingkan dengan kelompok yang lain.

Hadirin yang saya hormati.

Model Pluralisme Konfesional

Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sesungguhnya memiliki misi untuk

mengakhiri pengabaian terhadap warga negara dalam segala aspek kehidupannya.

Pengabaian merupakan ekspresi kolonialisme yang tidak hanya mengganggu hak

kemerdekaan warga negara, tetapi juga dapat menafikannya. Para pendiri

(founding fathers) Indonesia menegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala

bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,

karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.33

32
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam di Indonesia, (Jajasan Nida: Yogyjakarta, 1969),
hlm. 25. Ditulis pula oleh Aqib Suminto, Politik Islam, hlm. 32-33.
33
Tim Redaksi Pustaka Mahadika, 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, (T.tp:
Pustaka Mahadika, T.th), hlm. 2.

14
Founding fathers Indonesia juga tidak mengarahkan negara bermodel

pluralisme, sebab model tersebut dalam pengalaman sejarah telah mengarahkan

negara tidak campur tangan terhadap kehidupan beragama warga negaranya.

Pluralisme hanya sampai pada batas usaha saling memahami dan menghormati

agama dan keyakinan orang lain. Pluralisme sebagai model kebijakan yang pernah

diterapkan di Hindia Belanda terbukti tidak bertahan, bahkan berujung pada

pengabaian.

Founding fathers Indonesia mengarahkan negara pada model “pluralisme

konfesional”. Berbeda dengan pluralisme, model pluralisme konfesional

mengarahkan negara agar tidak sekadar mengakui keberadaan kelompok agama

dan keyakinan warga negaranya, tetapi mendorong warga negara agar; (1)

mengamalkan ajaran agama dan keyakinannya, (2) membina tiap-tiap individu

dalam kelompok agama dan keyakinan agar saling menghormati atas dasar

kedalaman imannya, (3) membuka pintu akses partisipasi kepada kelompok

agama dan keyakinan minoritas dalam pengambilan keputusan-keputusan

masyarakat, dan (5) memberdayakan kelompok agama dan keyakinan minoritas

secara proporsional.

Pluralisme konfesional sesungguhnya merupakan model yang relevan

dengan kehendak Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai

dasar negara menjadikan Indonesia ini neither secular nor theocracy. Indonesia

bukan negara sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan urusan agama.

Indonesia juga bukan negara teokrasi yang menyatukan urusan negara dan urusan

agama. Dalam ungkapan lain, Indonesia tidak identik dengan agama dan

keyakinan tertentu, tetapi negara juga tidak melepaskan agama dan keyakinan dari

15
urusan negara. Negara memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan agama-

agama.34

Hadirin yang saya hormati.

Pendidikan Agama Konfesional

Salah satu bentuk tanggung jawab strategis negara terhadap kehidupan

agama adalah kebijakannya terhadap pendidikan agama. Model kebijakan

pendidikan agama di Indonesia harus relevan dengan model kebijakan negara

terhadap agama.

Ketika negara menggunakan model pluralisme konfesional, maka

pendidikan agama harus didesain secara konsisten dengan model pluralisme

konfesional itu. Di sinilah kebijakan pendidikan agama perlu selalu diperhatikan

arahnya. Pendidikan agama di lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi

mana pun tidak sakadar bertugas untuk mendorong peserta didik mengenal

berbagai agama dan keyakinan secara objektif supaya mereka dapat hidup saling

menghormati, tetapi pendidikan agama bertugas membentuk sikap, mencerahkan

pengetahuan, dan melatih keterampilan peserta didik agar (1) mengamalkan ajaran

agama dan keyakinannya masing-masing secara benar, (2) membina peserta didik

dalam kelompok agama dan keyakinan agar saling menghormati terhadap

kelompok agama lain atas dasar kedalaman imannya, (3) memperhatikan

kepentingan peserta didik dari kelompok agama dan keyakinan minoritas dalam

pengambilan keputusan-keputusan penting, dan (5) memberdayakan kelompok

keyakinan minoritas di suatu lembaga pendidikan secara proporsional.


34
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar-Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta:
UI Press, 1995), hlm. 146.

16
Hadirin yang saya hormati.

Implementasi model kebijakan pluralisme konfesional dalam pendidikan

agama di Indonesia ternyata memerlukan waktu yang panjang. Kebijakan

pemerintah terhadap pendidikan agama di suatu rejim menjadi evaluasi rejim

berikutnya. Setiap rejim ternyata menjadi penyempurna kebijakan pendidikan

agama dari rejim sebelumnya.

Kita baca dalam sejarah bahwa pemerintah pada tahun 1945-1950 hanya

sebatas “mengizinkan“ pengajaran agama” di sekolah negeri.;35 Tahun 1950-1966,

pemerintah “menyediakan” pendidikan agama di sekolah negeri. Namun,

keikutsertaan peserta didik dalam pembelajaran pendidikan agama bergantung

pada keputusan orang tuanya. Nilai mata pelajaran agama juga tidak

mempengaruhi kenaikan siswa. Tahun 1966-1988, pemerintah mulai

“mewajibkan” peserta didik untuk mengikuti pendidikan agama. Pemerintah

mengubah diktum TAP MPRS No. II/ MPRS/ 1960 dengan TAP MPRS-RI No.

XXVII/ MPRS/ 1966 tanggal 5 Juli 1966, sehingga pendidikan agama ditetapkan

sebagai pelajaran wajib di jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi

negeri.36 Tahun 1989-2002, pemerintah tidak hanya mewajibkan sekolah negeri

dan perguruan tinggi negeri untuk memberikan pendidikan agama kepada peserta

didiknya, tetapi mewajibkan pendidikan agama kepada setiap siswa di jenis, jalur,

dan jenjang pendidikan tanpa pandang negeri atau swasta. Bukan hanya itu, guru

agama juga harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama

35
Karen A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, terjemahan Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 86-87.
36
Tilaar, H.A.R. 50 Tahun Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 1995), 744.

17
peserta didik yang bersangkutan.37 Komentar dan kritik tentu terjadi dalam proses

implementasi kebijakan. Ada yang mengkritik bahwa kebijakan tersebut berakibat

mengurangi hak untuk agama dan kehidupan beragama.38 Kritik yang lebih keras

menyatakan bahwa “orang yang masih suka menitipkan syi’ar atau dakwah agama

melalui sekolah formal adalah pewaris Orde Baru ...”.39 Pada Tahun 2003-2007,

pemerintah atas amanat konstitusi tidak hanya mewajibkan lembaga pendidikan

dasar, menengah, dan tinggi untuk memberikan pendidikan agama dengan guru

agama dan ajarannya sesuai dengan agama peserta didik, tetapi memosisikan

pendidikan agama sebagai hak peserta didik. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

pasal 12 ayat a menyatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan

pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang

dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; ...”. 40 Kehendak Undang-

Undang Pendidikan Nasional yang terakhir ini dalam tataran normatif menjadi

puncak dari model pluralisme konfesional di bidang pendidikan agama. Pada

tahun Tahun 2007, pemerintah mengimplementasikan amanat konstitusi dengan

menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama

dan keagamaan. Peraturan pemerintah ini meskipun masih memuat beberapa

kelemahan, tetapi diakui sebagai bentuk progresifitas sejarah pendidikan agama di

37
Penjelasan pasal 28 Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Tim Redaksi Tugu Muda, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989:
Sistem Pendidikan Nasional. Semarang: Tugu Muda, 1989, hlm. 52.
38
Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara: Hubungan Gereja Katolik Indonesia dengan
Negara Pancasila, (Malang: Averroes Press, 2002), hlm. 8.
39
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. 117.
40
Tim Redaksi Wacana Intelektual, Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005:Guru dan
Dosen & Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas. (T.tp.: Wacana Intelektual, 2006),
hlm. 61.

18
Indonesia dari model kebijakan yang semula dominatif menuju model yang lebih

tepat, yaitu pluralisme konfesional.

Hadirin yang saya hormati.

Uraian tadi memberi gambaran tentang perkembangan kebijakan pendidikan

agama di Indonesia sejak zaman Portugis hingga sekarang. Model kebijakan

terhadap pendidikan agama berkembang dari model dominasi Portugis dan

dominasi VOC ke model pluralisme (Belanda) dan berubah ke model pengabaian

(Belanda). Setelah Indonesia merdeka, kebijakan pengabaian berubah secara

berangsur-angsur ke model pluralisme konfesional.

Kebijakan pendidikan agama dengan model pluralisme konfesional itu

akan terimplementasi secara konsisten atau tidak di lembaga-lembaga pendidikan

bergantung pada semangat penyelenggara negaranya. Kebijakan pendidikan

agama dengan model pluralisme konfesional itu akan semakin kokoh atau

bergeser ke model lain juga bergantung pada semangat penyelenggara negaranya.

Bergantung pada semangat para eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Oleh karena

itu, founding fathers negara ini sudah mengingatkan sejak awal dalam penjelasan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “yang

sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya negara ialah semangat,

semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan”.41

Termasuk di dalam semangat itu adalah pandangan keagamaan para

penyelenggara negara. Jika rasa dan aspirasi keagamaan para penyelenggara

negara kuat ke arah model pluralisme konfesional, maka model tersebut akan
41
Tim Redaksi Penerbit Citra Umbara, Piagam Jakarta Undang-Undang Dasar 1945,
(Bandung: Citra Umbara 2005), hlm. 19.

19
mendapat perhatian yang kuat. Sebaliknya, jika mereka cenderung pada semangat

dominasi, pluralisme, atau pengabaian, maka model yang sudah ada ini sangat

mungkin akan digeser atau diganti secara evolutif atau revolutif dengan model

lain sesuai dengan semangatnya.42

Pendidikan Agama bermodel pluralisme konfesional ini dicapai setelah

melalui sejarah panjang, bukan hanya dalam ukuran tahun dan windu, melainkan

beratus-ratus abad dengan cucuran keringat dan air mata. Oleh karena itu, sangat

ironis bila saat ini atau suatu saat nanti ada penyelenggara negara Indonesia yang

berkehendak untuk memundurkan jarum jam sejarah dengan cara menganti model

pluralisme konfesional menjadi model dominasi, pluralisme atau bahkan

pengabaian.

Hadirin yang saya hormati.

Sebagai penutup pidato ini, saya sekali lagi menyampaikan rasa syukur ke hadirat

Allah Swt. Atas perkenan Allah Swt., saya mampu berdiri di sini. Saya juga

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada

kedua orang tua saya, Allahu yarham “simak” Sugiyati Ahmad dan Allahu

yarham bapak saya Saeri Samsuddin Marto Kasban, yang telah mendidik dan

menyertai perjalanan hidup saya dengan usaha dan doa-doa malamnya. Terima

kasih dan rasa hornat juga saya sampaikan kepada ibunda dan ayahanda moro

sepuh, Hj. Fatimah dan Allahu yarham bapak Masyhudi, yang selalu memberi

dukungan dalam kondisi senang dan susah. Rasa terima kasih juga saya

42
Meminjam tesis Ahmad Sukardja, Piagam Madinah, , hlm. 146.

20
sampaikan kepada para kakak dan adik yang selalu memahami kelebihan dan

kekurangan saya sebagai saudara.

Terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada para kyai saya di

beberapa pesantren, ustadz-ustadzah dan guru saya di madrasah dan sekolah sejak

pendidikan dasar hingga menengah. Terima kasih yang sama, saya sampaikan

kepada para dosen dan pembimbing saya di IAIN Walisongo Semarang, IAIN

Walisongo di Salatiga, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan

Akademi Islam University Malaya Malaysia.

Ucapan terima kasih, saya aturkan kepada para pembimbing skripsi, tesis,

dan disertasi saya Allahu yarham bapak Prof. H. Achmadi, Allahu yarham bapak

Chudori, M.A., Allahu yarham bapak Kyai Haji Zubair, Allahu yarham bapak

Kyai Tamam Qoulani, Allahu yarham bapak Kyai Mahfudz Ridwan, Allahu

yarham bapak Prof. Imam Barnadib, bapak Prof. Martin Van Bruinessen (Utrech

University), Allahu yarham bapak Wan Muhamamd Shoghir Abdullah (sastrawan

Malaysia), Allahu yarham bapak Prof. Abdul Halim bin Madiyah (Akademi Islam

UM Malaysia), Allahu yarham bapak Prof. Burhanuddin Daya, Allahu yarham

bapakm Prof. Noeng Muhadjir.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada redaktur Journal of

Indonesian Islam, redaktur Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, redaktur

Jurnal Inferensi, redaktur Jurnal Miqot, redaktur Jurnal Ijtihad, dan pimpinan penerbit

Tiara Wacana Yogyakarta. Para redaktur ini sangat berjasa mendukung saya menyiapkan

syarat-syarat akademik di saat persyaratan untuk meraih jabatan Guru Besar “amat

sangat mahal” dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor IAIN Salatiga, para

wakil rektor, para dekan, dan para anggota senat. Para Ketua dan para Pembantu Ketua

21
STAIN Salatiga di masa lalu, Ketua Jurusan Tarbiyah. Atas profesionalitas “beliau-

beliau”, saya terdukung hingga menduduki jabatan fungsional guru besar ini. Rasa terima

kasih yang sama, saya sampaikan kepada para kolega dosen dan karyawan di IAIN

Salatiga yang telah berkenan menjadi kawan baik dalam berjuang bersama di almamater

IAIN Salatiga. Ucapan terima kasih yang tulus juga saya sampaikan kepada jajaran

Bagian Kepegawaian IAIN Salatiga dan jajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Islam Kementerian Agama RI yang telah memfasilitasi secara gigih, sabar, dan telaten

pengurusan Guru Besar saya ke Kemenristek Dikti. Saya tentu juga mengucapkan terima

kasih kepada jajaran Kementristek Dikti yang kokoh konsisten dengan prinsip

regulasinya.

Last but not least, saya berterima kasih kepada kawan-kawan dari berbagai

instansi dan organisasi. Saya merasakan adanya dukungan moral hingga saya sampai ke

puncak karir akademik seorang dosen. Antara lain; Jajaran Pusat Perbukuan

Kemendikbud RI, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Kemenristek

Dikti, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa

Tengah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Semarang, Pimpinan Pemerintah Daerah

Kab. Semarang, Pimpinan DPRD Kab. Semarang, Yayasan Istiqomah Kab. Semarang.

Yayasan Wiyata Widya Praja Kab. Semarang, Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama

(PCNU) Kab. Semarang, Dewan Riset Daerah (DRD) Kab. Semarang, Forum Kerukunan

Umat Beragama (FKUB) Kab. Semarang, Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga

(LK3) Kab. Semarang, dan Barisan Anti Narkoba (BAN) Kab. Semarang.

Tidak lupa secara khusus saya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga

kepada istri saya, Hj. Umi Salamah, atas segala kesederhanaan, ketulusan, perhatian,

dukungan, dan pengorbanan luar biasa kepada saya selama ini, sehingga saya dapat

meniti karir akademik di kampus dengan baik dan berkiprah di luar kampus sepenuh hati.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada tiga buah hati kami, Mas Rikza Firdaus,

Mbak Dinda Tiara Firdaus, dan Dik Palestin Aqsha Firdaus. Dari istri dan tiga buah hati

22
ini, saya memperoleh oase dalam kehidupan keluarga dan sekaligus pencerahan dalam

memberi makna hidup.

Rektor, Ketua dan Anggota Senat, serta Hadirin sekalian yang saya hormati.

Kepada semua yang telah berjasa, baik yang telah saya sebutkan maupun yang tidak saya

sebutkan satu per satu, saya panjatkan doa “semoga Allah Subhanahu wa ta’ala

memberikan pahala yang berlibat ganda atas semua kebaikan mereka, dan mudah-

mudahan kita semua senantiasa memperoleh limpahan anugrah, kasih sayang, dan

petunjuk dalam mengarungi tugas-tugas dalam hidup ini”. Aamiin ya mujib al-sailin.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian


Perbandingan tentang Dasar-Dasar Hidup Bersama dalam
Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995).

A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam di Indonesia, (Yogyjakarta: Jajasan Nida,


1969).

Bosch, David J., Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang
Mengubah dan Berubah, terjemahan Stephen Suleeman, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997).

Castles, Lance, Kehidupan Politik Suatu Karisidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-


1940, terjemahan Maurits Simatupang, (Jakarta: Kepustakaan
Pupuler Gramedia, 2001).

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, Cet. Ke-8 (Jakarta:
LP3ES, 1996).

Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara: Hubungan Gereja Katolik Indonesia
dengan Negara Pancasila, (Malang: Averroes Press, 2002).

Furnivall, J.S., Hindia Belanda Studi tentang Ekonimi Majemuk, terjemahan


Samsudin Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2009)

Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan,


(Yogyakarta: Insist Press, 2001).

Garcia, Ricardo L., Teaching in a Pluralistic Society: Concept, Models, Strategies


(New York: Harper & Row, 1982).

H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).

H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo, 1995).

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 2001).

Moore, Basil, “The Nature of Religious Education”, dalam Graham R. Rossiter


(ed.), Religious Education in Australian School (Canberra:
Curriculum Development Centre, 1981).

24
Mona Lohanda, “Unsur non -Pribumi di Batavia pada Abad ketujuh belas”, dalam
L. Z. Leirissa (ed.), Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur, Sutra
(Jakarta: Putra Sejati Raya, 1997).

Muskens pr. (ed.), Sejarah Gereja Katolik Indonesia I, (Jakarta: KWI, 1974).

Panitia Konferensi Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Semarang, Undangan ,


17 Oktober 2018).

Parakitri T. Simbolon, Akar-akar Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kompas,


1995)..

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor 01/


2015-2020/ Zulhijah 1436 H/ September 2015.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terjemahan Satrio Wahono,


dkk., (Jakarta: Serambi, 2008).

S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).

Steenbrink, Karen A., Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam


Kurun Modern, terjemahan Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman,
(Jakarta: LP3ES, 1986).

Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, (Semarang: Rasail, 2009).

Th. Van den End, Ragi Cerita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 (th. 1500-th. 1860),
(Jakarta: Gunung Mulia, t.t.).

Tim Redaksi Pustaka Mahadika, 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,


(T.tp:Pustaka Mahadika, T.th),

Tim Redaksi Wacana Intelektual, Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005:Guru


dan Dosen & Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas.
(T.tp.: Wacana Intelektual, 2006).

Tim Redaksi Penerbit Citra Umbara, Piagam Jakarta Undang-Undang Dasar


1945, (Bandung: Citra Umbara 2005),.

Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,


Terjemahan Misbah Zulfa Ellizabet, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999).

Wirt, Frederick M. “The Stranger Within My Gate: Ethnic Minorities and School
Policy in Europe”, dalam Philip G. Altbach, Robert F. Arnove & Gail P

25
Kelly (eds.), Comparative Education, (New York: Macmillan Publishing
Co., Inc, 1982).

26
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muh Saerozi.


Tempat dan Tanggal Lahir : Semarang, 15 Februari 1966
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : Genuk Rt 02/ RW III Ungaran Kab.
Semarang
E-mail : saerozi2010@yahoo.com
muhsaerozi@iainsalatiga.ac.id

I. PENDIDIKAN

No. Pendidikan
1. Fakultas Tarbiyah IAIN Semarang di Salatiga. Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Lulus Tahun 1990.
2. Program Magister IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Konsentrasi:
Studi Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Lulus Tahun 1994.
3 Program Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Konsentrasi: Studi
Politik Pendidikan Agama di Indonesia. Lulus Tahun 2003.

II. PENGALAMAN PROFESIONAL

No. Pekerjaan
1. Dosen tetap di IAIN Salatiga. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
1991-sekarang.
2 Kepala Pusat Ilmiah dan Penerbitan STAIN Salatiga. 2002-2006.
3 Pembantu Ketua STAIN Salatiga (Bidang Akademik). 2006-2010.
4 Tim Pengembang Bahan Ajar di Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Teknis Keagamaan Kementerian Agama RI. Ad hoc. 2006-
2013.
5 Tim Penilai Buku Nonteks Pelajaran di Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ad hoc.
2010-2018
6 Penelaah buku teks pelajaran di di Pusat Kurikulum dan Perbukuan

27
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ad.hoc. 2013-2016.
7 Dosen tidak tetap di Program Magister Pendidikan Islam, Unissula
Semarang, 2013-sekarang
8 Asesor di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT),
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI. 2014-
sekarang.
9 Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan
IAIN Salatiga, 2019-2023.

III. PUBLIKASI ILMIAH

No. Karya Keterangan

1 Politik Pendidikan Agama di Era Tiara Wacana Yogyakarta,


Pluralisme 2004.
2 Sketsa Haji (Serba-Serbi Tiara Wacana Yogyakarta.
Perjalanan Haji Orang Indonesia 2004.
3 Restropeksi Termonologi Raudatul Jurnal Attarbiyah, No. 21
Athfal dalam Perundang- Tahun XVI 2005.
Undangan di Indonesia
4 Reduksi Pluralitas Agama (Studi Jurnal Attarbiyah, No. 1
terhadap Buku Ajar TK/ RA) Tahun XVII. 2006.
5 Catatan Pinggir Seorang Guru Mitra Cendekia Yogyakarta
bekerja sama dengan
STAIN Salatiga Press.
2007.
6 Kebijakan Pendirian Masjid dan Jurnal Miqot, Vol. XXXI,
Gereja di Indonesia (1511-2007) No. 2. 2007.
7 Politik Pendidikan Anak Usia Dini Jurnal Miqot, Vol. XXXI,
di Indonesia No. 2. 2008.
8 Buku: Orang Indonesia Naik Haji Tiara Wacana Yogyakarta
(Tuntunan Perjalanan) Bekerjasama dengan
STAINsalatiga Press. 2009.
9 Politik Pendidikan Anak Usia Dini Analytica Islamica, Vol.10.
di Indonesia No.1. 2008.
10 Pasang Surut Komposisi Jurnal Mukaddimah, Vol.
Pluralitas Pendidikan Agama di XIV, No. 25. 2009.
Indonesia (1945-2008)

11 Buku: Khutbah Nikah Perspektif Buku. Penerbit Tiara


Teoretis Wacana, Yogyakarta,

28
2011.

12 Jihadisme Salafi versus Pemikiran Jurnal ijtihad Vol. 12, No.


Mubaligh dan Guru Agama 1, Juni 2012.
13 Pergeseran Posisi Agama dalam Jurnal MIQOT ( Ilmu-Ilmu
Undang-Undang Pendidikan di Keislaman) Vol. XXXVII No.
Indonesia 1 Januari-Juni 2013.
14 Buku: Pembaruan Pendidikan Buku. Penerbit Tiara
Islam : Studi Historis Indonesia Wacana, Yogyakarta,
dan Malaysia 1900 – 1942. 2013.

15 Teknik Pembelajaran Kolaboratif Jurnal Inferensi Vol. 8 No,


untuk Memandirikan Calon 1 Juni 2014.
Jamaah Haji pada Kelompok Haji
Masjid Istiqomah Ungaran

16 Historical Study on the Changes of Journal of Indonesia Islam,


Religious and Moral Education in Vol. 8, number 01, Juni
Indonesia 2014.

17 Model of Strategies in Developing Indonesian Journal of


Islamic Thoght Through Islam and Muslim
Curriculum: a Study of Sumatra Societies, Vo. 4 Number 2
Thawalib 1900-1942 December 2014.

18 Student Policy in Indonesia The 16th annual


(1945-2016) international Conference
on Islamic Studies (AICIS),
November 1-4, 2016.

19 Confusion of Educator Policy in Jurnal Miqot, Vol. 41, No.


Ministry of Religious Affair 1945- 2. 2017.
2016.
20 From Controversy to Tolerance: Journal of Indonesia Islam,
Dynamics of the Development of Vol. 11, number 02, Juni
Istiqomah Mosque in front of a 2017.
Church in Ungaran Central Java
21 Islamisasi Pusat Pemerintahan Laporan Penelitian LP2M
Kota Salatiga (Studi Historis 1985- IAIN Salatiga
2018)

IV. PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

29
No. KEGIATAN
1 Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Istiqomah Kab. Semarang,
2001-sekarang.
2 Pengawas Yayasan Wiyata Widya Praja Ungaran, 2001-2016.
3 Ketua Yayasan Wiyata Widya Praja Ungaran Kab. Semarang.
2016-sekarang.
4 Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Semarang, 2010-
sekarang
5 Wakil Ketua 1 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab.
Semarang 2007-Sekarang
6 Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga Kab.
Semarang, 2013-sekarang.
7 Wakil Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kab. Semarang 2017-
sekarang.
8 Tim Seleksi Pejabat Tinggi Pratama Kab. Semarang. Ad.hoc.
2015-2019
9 Panitia Seleksi Direktur Utama PDAM Kab. Semarang Unsur
Akademisi. Ad. Hoc. 2018.
10 Penasihat Barisan Anti Narkoba Kab. Semarang, 2018-sekarang.

Salatiga, Mei 2019

Prof. Dr. Muh Saerozi, M.Ag.

30

Anda mungkin juga menyukai