Anda di halaman 1dari 3

Solidaritas Perempuan

Women’s Solidarity for Human Rights


Jl. Siaga II Rt 2/5 No: 36 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan – Indonesia
Telp: (62-21) 79183108, 79181260 Fax : (62-21) 7981479
E-mail : soliper@centrin.net.id – Website : www.solidaritasperempuan.org

Siaran Pers
Seruan Solidaritas Perempuan Kepada Calon Pemimpin Bangsa
“Selamatkan Bumi, Stop Komodifikasi Alam Indonesia”

Jakarta, 22 April 2014. Memperingati Hari Bumi Internasional, Solidaritas Perempuan menyerukan
kepada rakyat Indonesia untuk memilih Pemimpin Bangsa yang berani mengambil langkah tegas
menghentikan komodifikasi alam Indonesia untuk kepentingan global dan mengembalikan
kedaulatan pengelolaan sumber daya bumi ke tangan negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, baik perempuan, maupun laki-laki. Lebih lanjut, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada
rakyat Indonesia untuk memilih Pemimpin Bangsa yang memajukan penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam, serta
mendorong keadilan gender.
Industrialisasi atas nama pembangunan telah memberikan dampak luar biasa terhadap aspek
lingkungan, baik terhadap air, mineral, tanah, organisme kehidupan, atmosfer, iklim, dan seluruh
proses kehidupan termasuk kehidupan perempuan. Berkembangnya industri dan pembangunan
berbanding lurus dengan banyaknya perusakan lingkungan dan pengurasan sumber daya alam (SDA)
guna memenuhi kebutuhan pembangunan dan industrialisasi, melalui perusahaan tambang atau
operator transnasional coorporation (TNC) maupun multinasional cooperation (MNC) yang telah di
tempatkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Paradigma pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing ternyata tidak menjadikan kondisi
masyarakat Indonesia semakin membaik, bahkan sebaliknya pemiskinan masih terlihat jelas di setiap
sudut Indonesia. Terlebih bagi perempuan, yang terus terpinggirkan akses dan kontrolnya atas
pengelolaan sumber daya alam, padahal tanah, air dan hutan sangat dekat dengan kehidupan
perempuan akibat peran gendernya. Ketika akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber
daya alam dicerabut, maka tercerabutlah sumber-sumber penghidupan perempuan dan
ketidakadilan gender akan semakin langgeng di bumi Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 2011, Pemimpin Indonesia, Presiden SBY malah memunculkan program yang
berpotensi semakin mengkomodifikasi alam Indonesia, melalui Program Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam proyek ini, bumi dan alam Indonesia
justru menjadi komoditas dan dikapling-kapling menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua, yang antara lain terfokus pada
pertambangan, migas, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Total nilai investasi proyek MP3EI di
seluruh koridor ekonomi mencapai Rp. 4.335 Triliun, yang terdiri atas investasi sektor riil sebesar Rp.
2.447,3 Triliun, sektor infrastruktur sebesar Rp. 1.888,6 Triliun dan SDM-Ipteksebesar Rp. 18,6
Triliun..1 Proyek-proyek investasi ini, akan berdampak pada semakin rusaknya lingkungan, dan
semakin berkurangnya hutan di Indonesia. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia
2
kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya . Bahkan sepanjang Januari 2014 saja, Menteri
Kehutanan mengeluarkan 6 SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan kelapa sawit, seluas
3
total 83.694,81 hektar di wilayah Kalteng, Sumsel dan Papua Barat.

1
Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (s.d. Maret 2013), Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, 2013, hlm. i.
2
Realisasi Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, Data Kementerian Kehutanan Februari 2014.
3
Hutan dan Perubahan Iklim, http://www.redd-indonesia.org/tentang-redd/hutan-dan-perubahan-iklim
Berbagai proyek investasi tersebut akan semakin melanggengkan pemiskinan rakyat Indonesia,
khususnya perempuan apabila tidak ada penyelesaian yang dilakukan terhadap berbagai
permasalahan yang selama ini terjadi akibat aktivitas industri, mulai dari kerusakan lingkungan,
konflik agraria, pelanggaran HAM, kriminalisasi hingga penghilangan akses dan kontrol rakyat,
khususnya perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. Belum selesai permasalahan konflik
lahan dan pelanggaran HAM, Pemerintah Indonesia dengan komitmen penurunan emisinya justru
mengkomodifikasi kekayaan hutan dan menyediakan bumi Indonesia untuk dijadikan ladang uji coba
proyek iklim. Padahal, di kala Indonesia berkomitmen untuk menjaga hutannya dengan berbagai
upaya, Negara-negara penghasil emisi terus menjalankan business as usual, dan terus mendapatkan
justifikasi untuk mengeluarkan emisi dengan memberikan sebagian kecil keuntungannya melalui
pendanaan untuk program mitigasi di Negara berkembang.
Proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) semakin tahun semakin
massif dikembangkan di Indonesia. Proyek atas nama penyelamatan lingkungan ternyata tidak
berjalan semulus yang diharapkan. Berbagai masalah timbul bahkan baru sampai pengembangan
demonstration activitiesnya, belum sampai pada implementasi REDD+. Kegagalan proyek REDD+
yang paling terkenal didengar adalah Kalimantan Forest and Climate Partnership yang didanai oleh
Australia sebesar 30 juta dollar Australia. Alih-alih melindungi dan memperbaiki kerusakan hutan,
proyek seluas 120.000 hektar, yang mulai di tahun 2010 ini berjalan stagnan selama kurang lebih 4
tahun, menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, bahkan tidak mampu mencegah kebakaran
hutan di wilayah proyeknya. Masyarakat, khususnya perempuan tidak mendapatkan informasi yang
jelas, benar dan lengkap mengenai proyek. Pembatasan akses dan kontrol warga atas pengelolaan
hutan berujung pada konflik.
Berbagai permasalahan yang muncul pun tidak mengurungkan niat Pemerintah untuk meneruskan
implementasi REDD+. Dalam Siaran Pers Badan Pelaksana REDD+ tanggal 2 April lalu menyatakan 11
Provinsi siap memulai implementasi REDD+, memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca. Kesebelas provinsi mitra BP REDD+ adalah Aceh, Riau, Sumatra
Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah, Papua dan Papua Barat. Padahal wilayah tersebut, selama ini memiliki sejarah bahkan
sampai saat ini konflik agraria belum terselesaikan. Implementasi REDD+ semakin menguatkan
Perempuan akan semakin terpinggirkan dan termajinalisasi, ketidakadilan gender akan terus terjadi
selama tidak ada perlindungan terhadap perempuan.
Pada Hari Bumi ini dan menjelang Pemilu Presiden 2014, Solidaritas Perempuan kembali
menyerukan kepada Calon Pemimpin Bangsa ini untuk:
1. Memastikan aturan perlindungan perempuan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam,
2. Menghentikan produk-produk kebijakan yang mengancam sumber daya alam dan sumber
kehidupan perempuan.
3. Menghentikan ekspansi pertambangan dan perkebunan skala besar
4. Menyelesaikan konflik agrarian dengan memajukan perlindungan hak perempuan
5. Menjalankan reforma agraria berkeadilan gender.
6. Mendesak Negara industry untuk bertanggung jawab mengurangi emisi
7. Memprioritaskan pendanaan iklim untuk program adaptasi perubahan iklim, dengan alokasi
dana khusus untuk perempuan mengatasi kerentanannya dalam menghadapi perubahan
iklim, dan tidak bersumber dari dana utang.
8. Menghentikan dan menindak tegas pelaku pengrusak lingkungan, pelanggaran HAM dan
HAP, serta menghentikan berbagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat, terutama
perempuan pembela HAM, yang memperjuangkan haknya atas pengelolaan sumber daya
alam.

Jakarta, 22 April 2014


Wahidah Rustam
Ketua Solidaritas Perempuan
CP: Aliza (0818129770)

Anda mungkin juga menyukai