I. Latar Belakang
Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tewas1. Sedangkan secara akumulatif sepanjang
tanah di Indonesia memicu berbagai konflik empat tahun (2015–2018) pemerintahan
tanah di Indonesia. Masifnya alih fungsi lahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1771 letusan
untuk kebutuhan industri seperti perkebunan konflik agraria di Indonesia2 yang menyebabkan
skala besar, pertambangan, dan pembangunan terjadinya kekerasan, kriminalisasi, maupun
infrastruktur membuat masyarakat, terutama kematian. Dari rentetan korban konflik agraria,
perempuan terancam kehilangan hak mereka setidaknya 71 perempuan teraniaya atau
untuk akses dan mengelola tanah. Berbagai cara mengalami kekerasan dan 18 perempuan
dilakukan oleh para investor untuk menda- dikriminalisasi. Sayangnya data terpilah gender
patkan tanah, salah satu yang dilakukan adalah yang tersedia hanya mencakup Tahun 2017–
dengan cara merampas, dan menguasai wilayah 2018. Data korban perempuan yang mengalami
kelola masyarakat. Ketimpangan penguasaan kekerasan akibat konflik tanah, hingga kini
dan kepemilikan tanah bukan hanya terjadi masih sulit teridentifikasi. Hal ini disebabkan
antara investor dan masyarakat, tapi juga ter- karena sistem data terpilah untuk korban
jadi antara perempuan dan laki-laki. Jumlah konflik dan sengketa tanah belum menjadi
perempuan yang menguasai tanah atau memi- standar di Indonesia, terutama di tingkat
liki tanah lebih sedikit dibandingkan laki-laki. pemerintahan. Tidak adanya data terpilah ini
menyebabkan persoalan perempuan menjadi
Ketimpangan penguasaan tanah ini, sering tersembunyi dan tidak dilihat sebagai persoalan
menimbulkan gesekan dan memicu konflik- serius baik oleh negara maupun pejuang
konflik agraria di Indonesia. Investor meng- agraria.
ambil alih wilayah kelola masyarakat dengan
bantuan militer, sehingga memicu tindak Kondisi perempuan tanpa tanah berdampak
represif. Dalam situasi ini, perempuan sangat kepada semakin langgengnya ketidakadilan
rentan menjadi korban. Sepanjang kekuasaan gender yang dialami perempuan. Perempuan
Jokowi-JK sejak tahun 2014, sederet konflik dengan peran gendernya yang dianggap sebagai
agraria yang disertai kekerasan dan kri- “perawat dan penjaga” keluarga terpaksa harus
minalisasi semakin masif terjadi. Konsorsium bekerja keras agar perekonomian keluarga
Pembaruan Agraria mencatat, konflik agraria di tetap dapat bergerak. Hilangnya wilayah kelola
seluruh wilayah meliputi areal seluas masyarakat berdampak pula pada hilangnya
2.399.314,49 hektar, lebih dari 731.342 KK kedaulatan perempuan atas pangan, serta
menghadapi ketidakadilan dan konflik ber- kearifan lokal mereka, baik dalam pemuliaan
kepanjangan. Dari konflik tersebut sebanyak benih, maupun ritual yang dilakukan pasca
954 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63
orang mengalami luka serius dan 44 orang 1
http://kabarindiependen.com/2013/04/konflik-agraria-
makinparah/
2
Disarikan dari Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan
Agraria 2015-2018.
panen. Di wilayah perkotaan, masifnya proyek Indonesia. Seringkali perempuan tidak men-
infrastruktur berdampak kepada digusurnya dapatkan hak atas tanah karena terhalang
rumah-rumah warga. Penggusuran warga ini sistem adat. Seperti yang terjadi di Kabupaten
berbuntut pada proses relokasi yang tidak Pariaman Sumatera Barat, meskipun secara
manusiawi, kompensasi yang tidak adil, dan adat perempuan dikatakan sebagai pemilik
tidak dilibatkannya perempuan dalam proses tanah pusaka, namun pada kenyataannya yang
negosiasi maupun diskusi menentukan jumlah terjadi adalah hak atas tanah tersebut tidak
kompensasi. dengan mudah mereka peroleh, karena dalam
praktiknya yang mengatur dan memutuskan
II. Fakta Permasalahan mengenai tanah tersebut diambil alih oleh laki-
laki sebagai Ninik Mamak (Kumpulan Mamak
Tanpa didukung kebijakan pertanahan yang
atau saudara laki-laki)5. Sedangkan tanah
berperspektif adil gender, maka akan sulit bagi
sebagai warisan dalam budaya adat tertentu
perempuan untuk dapat berdaulat atas tanah.
seringkali hanya jatuh ke tangan laki-laki,
Perempuan masih terdiskriminasi dan termarji-
seperti yang terjadi di Lombok Nusa Tenggara
nalisasi dalam penguasaan, pemilikan maupun
Barat, di mana hak atas tanah yang bersumber
pengelolaan tanah. Selain itu, perempuan meng-
dari waris terhalang oleh Adat Lombok yang
alami dampak yang berlapis akibat konflik
menyatakan bahwa hanya laki-laki yang berhak
agraria, terutama yang disertai dengan kekera-
atas waris tanah.
san dan kriminalisasi oleh aparat terhadap
masyarakat yang berjuang. Beberapa fakta per- Hal serupa terjadi di Suku Batak Toba, karena
masalahan yang dialami perempuan dalam kai- laki-laki dianggap menerus keturunan dan
tannya dengan tanah antara lain sebagai marga, maka saat orang tua meninggal, warisan
berikut: diberikan semua untuk anak laki-laki.
Sedangkan untuk istri yang ditinggal meninggal
a. Perempuan terdiskriminasi dan termar-
oleh suami, maupun bercerai tidak mendapat
jinalisasi dalam pemilikan, penguasaan
warisan. Warisan jatuh ke tangan anak laki-
dan pengelolaan tanah
lakinya, namun bila tidak memiliki anak, maka
Berdasarkan data BPN, 56% aset berupa warisan akan jatuh ke tangan saudara laki-laki
properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya suami. Jadi perempuan sama sekali tidak
oleh 0,2% penduduk Indonesia. Ketimpangan memiliki akses atas tanah sebagai warisan, baik
tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan sebagai anak, istri yang bercerai, maupun
masyarakat, tapi juga antara perempuan dan ditinggal mati suami.
laki-laki. Ketimpangan pemilikan dan atau
penguasaan tanah antara laki-laki dan perem- Budaya patriarki inilah yang kemudian
puan yang terjadi antara lain di Desa Barati, membuat perempuan kehilangan haknya atas
Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, tanah. Perempuan yang dalam peran gendernya
Sulawesi Tengah, di mana perbandingan diposisikan berada di ranah domestik, dianggap
penguasaan tanah di Barati sendiri masih tidak mampu untuk mengelola aset, atau
didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan properti keluarga. Sedangkan laki-laki yang
90:103. Situasi serupa juga terjadi di Desa Seri terbiasa dan diposisikan di ruang publik,
Bandung, Kabupaten Ogan Ilir - Sumatera pencari nafkah utama keluarga diyakini mampu
Selatan, di mana surat keterangan hak usaha mengelola aset dan properti keluarga tersebut.
atas tanah atas nama perempuan hanya 15,7%, Hal ini dapat berdampak semakin ter-
sedangkan atas nama laki-laki 84,3%4. gantungnya perempuan terhadap laki-laki, dan
membuat hak mereka atas tanah semakin
Sistem adat di Indonesia menjadi salah satu diabaikan.
faktor yang menyebabkan terjadinya ketim-
pangan penguasaan atau kepemilikan tanah di
3
Data SP Poso 2016.
4 5
Data SP Palembang, 2015. Data SCN, 2010.
Selain kekerasan yang dilakukan aparat, tindak a. UUD 1945 Pasal 28H (2) yang menyatakan
kekerasan lain juga rawan dialami perempuan bahwa Setiap orang mendapat kemudahan
pasca konflik, khususnya dalam kasus peng- dan perlakuan khusus untuk memperoleh
gusuran, seperti yang terjadi di Parangkusumo, kesempatan dan manfaat yang sama guna
8 10
Data investigasi Konflik Tanah Sukamulya, 2016. Data Investigasi SP “Konflik Tanah Parangkusumo”, 2016.
9 11
Data SP Palembang 2012. Ibid.
Selain prinsip keadilan gender, perlu juga Dengan posisi perempuan sebagai subjek atas
dipastikan bahwa hukum adat tidak tanah, membuat mereka wajib mendapat
menghilangkan hak perempuan atas tanah, informasi apapun mengenai wilayah kelola
terutama terkait warisan. Perlu ditegaskan mereka dan terlibat dalam ruang-ruang
dalam RUU ini, bahwa perempuan dan laki-laki pengambilan keputusan. Untuk menjamin hak
memiliki hak yang setara atas tanah warisan. tersebut maka dalam bukti kepemilikan, seperti
sertifikat wajib mencantumkan nama laki-laki
2. Penegasan perempuan sebagai subjek dan perempuan. Selain itu, dapat dituliskan
atas tanah secara tegas dalam ketentuan umum, bahwa
RUU Pertanahan harus dapat menjamin hak masyarakat adalah perempuan dan laki-laki.
perempuan atas tanah, termasuk melindungi
3. Pelaksanaan reforma agraria yang adil
kepemilikan dan penguasaan perempuan
gender
terhadap tanah saat berhadapan dengan
kepentingan pihak lain yang memiliki Pelaksanaan reforma agraria wajib memastikan
penguasaan atas akses terhadap tanah melalui perempuan sebagai subjek, yang terlibat dalam
relasi kuasa yang mereka miliki, baik ditingkat tahapan pelaksanaan reforma agraria. Reforma
keluarga (ayah, suami, paman) maupun di agraria atau penataan kembali penguasaan,
tingkat komunitasnya (tokoh masyarayat, tokoh pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
adat) yang mayoritas dikuasai oleh laki-laki. sumber daya agraria, dilaksanakan dalam