Anda di halaman 1dari 80

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Laporan Penelitian

Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Memperlemah
Posisi Perempuan
Penulis:
Achmad Surambo
Elsa Susanti
Endang herdianti
Fatilda Hasibuan
Inda Fatinaware
Maya Safira
Puspa Dewy
Rahmawati Retno Winarni
Tini Sastra

Sawit Watch & Solidaritas Perempuan


2010
i

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

ii

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Kata Pengantar

Apa yang dirasakan perempuan di perkebunan kelapa sawit?, apa


yang dilihat perempuan di perkebunan kelapa sawit?, dan apa yang
didengar perempuan di perkebunan kelapa sawit? serta apa dialami
oleh perempuan di perkebunan kelapa sawit? Hal inilah yang ingin
didokumentasikan dalam buku ini. Buku ini secara garis besar
ingin menunjukkan betapa kebijakan Orde baru yang membatasi
perempuan sebatas tiga I (istri, ibu, dan istri rumah tangga)
terasa sangat kuat di perkebunan kelapa sawit, bahkan kehadiran
perkebunan kelapa sawit semakin menguatkan ketidak adilan yang
dialami perempuan. Bagaimana system tersebut menyebabkan
hal diatas, buku ini mencoba menceritakan pengalaman dan
pengetahuan perempuan baik yang menjadi buruh perkebunan
maupun perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan. Pastinya
buku ini masih terdapat berbagai kekurangan di sana-sini.
Hadirnya buku ini, kami sangat menyambut gembira, karena
melengkapi bagaimana dampak perkebunan besar kelapa sawit bagi
perempuan. Untuk hal itu, kami sangat berterima kasih terhadap
kawan-kawan peneliti baik dari Sawit Watch maupun Solidaritas
Perempuan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
masyarakat dan perempuan perempuan di wilayah penelitian.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca.
Bogor, 3 November 2010
Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan
iii

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Memperlemah
Posisi Perempuan

iv

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Daftar Isi

Kata Pengantar

iii

Bab 1
Pendahuluan

Bab 2
Sistem Perkebunan Kelapa Sawit

Bab 3
Gender Sebagai Sebuah Alat Analisis 25
Bab 4
Temuan-temuan dan Analisis

31

Bab 5
Kesimpulan dan Rekomendasi

69

Daftar Pustaka

72

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

vi

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

BAB 1

Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin
meluas. Jika tahun 1980-an hingga tahun 1990-an perkebunan
kelapa sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan sebagian
Kalimantan, saat ini perkebunan kelapa sawit sudah memasuki
Sulawesi bahkan Papua. Luas perkebunan kelapa sawitpun meningkat
signifikan, jika Tahun 2005 telah mencapai 5,4 juta ha, tahun 2009
malah sudah mencapai 7,5 juta ha (kompas 4 Januari 2010). Data lain
menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
adalah 9,1 juta ha (Sawit Watch, 2010). Berkenaan dengan CPO-nya
telah dihasilkan lebih dari 20 juta ton CPO dimana hampir 60 %-nya
diekspor (orientasi pasar). Berkenaan dengan rencana pengembangan
perkebunan kelapa sawit terdata lebih dari 20 juta ha lahan yang
akan dialokasikan oleh beberapa Pemerintah Provinsi di Indonesia
(Sawit Watch, 2010).
Dari beberapa temuan terungkap bahwa pembangunan
perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan beberapa dampak
negatif (Marti, 2008) yakni
- Banyak masyarakat adat kehilangan tanah dan akses ke air serta
tidak mendapat penghidupan yang layak
- Komunitas-komunitas yang dulunya mandiri dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, sekarang terjerat hutang dan harus
berjuang keras untuk memperoleh akses ke pendidikan dan
memenuhi kebutuhan pangan mereka
- Tradisi dan budaya juga turut hancur oleh proses ekspansi
1

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perkebunan kelapa sawit, sejalan dengan rusaknya hutan dan


satwa serta tumbuhan liar di Indonesia.
- Beberapa komunitas mengalami pelanggaran hak asasi manusia
dan hak-hak perempuan termasuk hak atas air, kesehatan,
pekerjaan, budaya, dan hak untuk dilindungi dari perlakuan
buruk dan kesewenang-wenangan.
Ketika perkebunan kelapa sawit hadir, kita dapat membedakan
kelompok masyarakat internal dan eksternal perkebunan. Dalam
kelompok internal perkebunan terdapat petani kelapa sawit dan
buruh kelapa sawit, dalam kelompok internal terdapat masyarakat
adat dan masyarakat lokal (Sawit Watch, 2008). Beberapa investigasi
dan penelitian banyak mengungkapkan berbagai kelompok didepan
dari kelompok internal sampai kelompok eksternal. Bagaimana
dengan perempuan dan anak, dimana kelompok ini melintas dari
kelompok internal dan kelompok eksternal? Perempuan dan anak di
perkebunan kelapa sawit adalah kelompok yang paling rentan, tetapi
belum ada upaya-upaya yang cukup optimal untuk mengadvokasi
kelompok ini dari praktek dan kebijakan di sektor perkebunan kelapa
sawit. Temuan-temuan awal Sawit Watch (2008) menunjukkan
beberapa hal diantaranya
- Dalam pembagian lahan dalam sistem perkebunan kelapa sawit
model perusahaan inti rakyat (PIR), perempuan hanya sebagai
pelengkap bagi suaminya, dimana kepemilikan lahan sering
dinamakan milik suami bukan kepemilikan berdua, walaupun
dalam mekanisme pembagian berdasarkan satu keluarga.
- Perempuan dan anak sering terlibat dan bekerja di perkebunan
kelapa sawit tetapi mereka hanyalah kelompok membantu suami
atau ayah mereka, artinya bekerja tanpa dibayar. Hal ini sering
kita temui bilamana suami atau ayah mereka adalah buruh
perkebunan kelapa sawit.
- Selain itu, beberapa pekerjaan yang sering identik dengan
pekerjaan perempuan adalah memupuk, memipil, menyemprot,
2

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dan lain sebagainya, dimana pekerjaan tersebut sangat rentan


terutama bagi kesehatan perempuan.
Dampak kehadiran perkebunan terhadap perempuan telah lama
ditemukan, namun belum dilakukan upaya-upaya penguatan dan
advokasi yang cukup optimal terutama bagi perempuan. Hal ini salah
satunya disebabkan minimnya pengetahuan dan wawasan tentang
perempuan, sehingga berbagai proses yang terkait perkebunan
kelapa sawit tidak melibatkan perempuan. Oleh karena itu, salah
satu kegiatan yang dianggap sebagai langkah awal mengupayakan
advokasi perempuan dan anak serta penguatan perempuan di
perkebunan kelapa sawit adalah pengumpulan data dan informasi
berkenaan dengan perempuan dan anak di perkebunan kelapa
sawit sehingga dapat menyusun langkah-langkah advokasinya ke
depan. Untuk hal ini, Sawit Watch bekerjasama dengan Solidaritas
Perempuan melakukan riset berkenaan dengan posisi perempuan dan
anak di sistem perkebunan kelapa sawit.

Tujuan dan Hasil Diharapkan


Penelitian ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi perempuan buruh
perkebunan kelapa sawit terkait dengan pemenuhan hak-hak mereka.
2. Untuk mengetahui pemahaman perempuan di perkebunan kelapa
sawit tentang hak-hak perempuan baik sebagai buruh maupun
petani.
3. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang system perkebunan
kelapa sawit di Indonesia bagi semua pihak yang terlibat dalam
penelitian ini terutama bagi perempuan yang menjadi focus
penelitian.
4. Mengembangkan strategi advokasi bagi buruh perempuan
diperkebunan kelapa sawit dan mengembangkan konsep untuk
mempengaruhi perubahan kebijakan system perkebunan kelapa
sawit yang berpihak kepada perlindungan hak-hak perempuan.
3

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah


1. adanya data dasar mengenai situasi perempuan di perkebunan
maupun di sekitar perkebunan.
2. Adanya pemahaman yang lebih baik tentang pemahaman
perempuan di perkebunan kelapa sawit tentang hak-hak
perempuan baik sebagai buruh maupun petani.
3. Adanya laporan mengenai sistem perkebunan kelapa sawit
khususnya dengan perspektif perempuan.
4. Adanya strategi advokasi bagi buruh perempuan di perkebunan
kelapa sawit dan mengembangkan konsep SW dan SP untuk
mempengaruhi perubahan kebijakan system perkebunan kelapa
sawit yang berpihak kepada perlindungan hak-hak perempuan.

Pentingnya Riset Perempuan dan Perkebunan Sawit


Riset ini menjadi penting, karena belum banyak literatur yang
komprehensif tentang studi perempuan di perkebunan indonesia
tentang peran dan dampak perkebunan sawit bagi perempuan.
Artinya, dalam riset ini sulit ditemukan rujukan pustaka sebelumnya
yang bisa dijadikan pijakan persoalan apa saja yang muncul terkait
keberadaan dan keterlibatan perempuan di perkebunan sawit. Untuk
itu, riset ini menjadi temuan penting untuk tujuan pengorganisasian
atau advokasi ke depan berkenaan posisi perempuan di perkebunan
kelapa sawit.

Metode Penelitian
Paradigma utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma teori kritis dan paradigma partisipatif yakni riset aksi
partisipatif dalam perspektif feminist (feminist partisipatory action
research, FPAR) dimana dalam penelitian ini perempuan merupakan
subjek utama bukan menjadi objek penelitian. Riset menggunakan
metode ini sebenarnya bukan sekedar mengumpulkan data atau
membuat buku tetapi lebih bagaimana perempuan mampu
mendokumentasikan pengalaman hidupnya dan mampu mengambil
4

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

inisiatif atas ketidakadilan yang mereka alami. Berbeda dengan riset


lainnya seperti riset akademis yang selalu menekankan obyektifitas,
metode FPAR merupakan salah satu riset yang berpihak, yaitu
berpihak pada kepentingan advokasi hak-hak perempuan. Artinya,
apa yang dilakukan oleh para peneliti dan perempuan di perkebunan
kelapa sawit serta keluarga petani sawit tidak akan berhenti pada
pengumpulan data, tetapi akan berlanjut dengan aksi-aksi atau
kegiatan lain yang bertujuan menguatkan perempuan di perkebuan
dan keluarga petani sawit.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi
data primer dan data sekunder. Model yang digunakan dalam
mengumpulkan data dan informasi adalah diskusi mendalam
dengan narasumber dan diskusi kelompok terfokus (FGD, focus
group discussion). FGD dilakukan dengan melibatkan perempuan
di lokasi penelitian untuk mengkaji bersama kebijakan-kebijakan
yang terkait dengan kehidupan mereka serta mendorong perempuan
mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan perempuan yang
bekerja atau tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit, sedangkan
wawancara mendalam dilakukan terhadap narasumber terpilih
berkenaan dengan sejarah desa, penguasaan-penguasaan agraria,
pengalaman serta dampak-dampak yang dialaminya dengan adanya
perkebunan kelapa sawit. Hal-hal yang menjadi fokus dalam FGD
dan wawancara mendalam adalah 5 ketidakadilan gender yaitu
diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, beban ganda dan
stereotype yang dialami perempuan dengan adanya perkebunan kelapa
sawit, serta menggunakan pendekatan interseksionalitas.
Metode pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah
Secondary Data Review (SDR). SDR merupakan cara mengumpulkan
sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang belum
disebarkan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data
manakah yang telah ada, sehingga tidak perlu lagi dikumpulkan.
Data-data sekunder yang bersumber dari dari dokumen Perkumpulan
Sawit Watch, Solidaritas Perempuan, lembaga perempuan atau institusi
lainnya, pemerintah desa, pemerintah daerah, dan perusahaan sawit,
5

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

serta hasil dokumentasi kebijakan (peraturan) dan publikasi (literatur)


terkait ini akan melengkapi dan mempertajam analisis (pembahasan)
hasil temuan dari penggalian data primer. Model analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis value chain kelapa
sawit, dimana industri kelapa sawit melibatkan banyak pihak
diantaranya lembaga finansial (bank internasional, nasional, dan
lokal), perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengolah,
retailer, dan lain sebagainya. Untuk lebih detail lihat Gambar 1.

Gambar 1. Jejaring industri kelapa sawit (Wakker, E., 2003)


6

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Industri kelapa sawit bukanlah hanya berbicara soal tanaman


kelapa sawit, tetapi suatu industri dari investasi (aliran kapital) dan
konsumsi (aliran barang (sumber daya alam). Dalam penelitian ini
dibatasi pada wilayah on-farm (wilayah perkebunan kelapa sawit),
dimana dalam fase-fase on farm yakni fase sebelum menghasilkan
(tanaman belum menghasilkan, 0 4 tahun, tbm) dan fase
menghasilkan (tanaman menghasilkan, > 4 tahun, tm). Dalam fase
tbm, kita akan menemukan fase pembukaan lahan, pembibitan,
dan penanaman bibit sawit, sampai pengelolaan tanaman sebelum
menghasilkan (biasanya sampai 4 tahun). Dalam fase tm, kita
akan menemukan fase pengelolaan tanaman berupa pemupukan,
perawatan tanaman, pemanenan, dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini, fokus yang diteliti adalah perempuan petani
kelapa sawit (petani plasma) dan perempuan buruh perkebunan
kelapa sawit. Selain entitas-entitas tersebut, sebenarnya di
Perkebunan kelapa sawit terdapat beberapa entitas lain, diantaranya
masyarakat adat, dan masyarakat lokal. Untuk lebih sederhananya
relasi berbagai entitas dalam perubahan hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit secara sederhana dapat digambarkan dalam gambar 2.

Gambar 2. Relasi Aktor di Perkebunan kelapa sawit


(Surambo, A., 2009)
7

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Unit analisis pada rumah tangga menekankan kondisi dan


permasalahan perempuan dalam rumah tangga, baik istri petani
maupun istri buruh, termasuk buruh perempuan dan anak perempuan
mereka. Untuk itu Analisis ini mengkaji sejauhmana atau seberapa
besar dampak perkebunan sawit terhadap ekonomi sosial sebuah
rumah tangga dan relasi kuasa yang terjadi.
Dalam penelitian ini terdapat dua lokasi penelitian, yakni
Dusun Pekasau; Desa Modang, Desa Trans Kuaro, dan Desa
Kendarom; Kecamatan Kuaro; Kabupaten Paser; Kalimantan
Timur. Wilayah ini adalah desa tujuan transmigrasi dalam proyek
PIR-Bun tahun 1980-an dengan perusahaan mitra adalah PTPN
XIII
Dusun Sukma, Dusun Toronggili, Dusun Ranomotali; Desa
Olumokunde dan Desa Kamba; Kecamatan Pamona Timur;
Kabupaten Poso; Sulawesi Tengah dengan perusahaan yang
beroperasi di wilayah tersebut adalah PT Sawit Jaya Abadi (PT
SJA), group Astra.

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

BAB 2

Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Pendahuluan
Sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang
termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara
berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan
dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan
melalui sistem perekonomian kolonial. Perkebunan pada awal
perkembangannya hadir sebagai sistem perkeonomian baru yang
semula belum dikenal yaitu sistem perekonomian pertanian komersial
yang bercorak kolonial. Sistem yang dibawa oleh pemerintah kolonial
atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya
adalah sistem perkebunan eropa, yang berbeda dengan sistem kebun
(garden sistem) yang telah lama berlaku di negara-negara berkembang
pada masa pra-kolonial (Kartodirdjo & Suryo (1991)).
Bila kita coba bandingkan dua model pengembangan perkebunan
tersebut jelas terdapat perbedaan yang nyata. Istilah sistem kebun
(garden sistem) agaknya bertumpang tindih dengan beberapa istilah
diantaranya sistem hutan kerakyatan (shk), agroforestry, wilayah
kelola rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan terdapat istilah lokal
yang sebenarnya mencerminkan tata kelola ala masyarakat adat atau
masyarakat tradisional. Beberapa istilah yang tumpang tindih dengan
garden system diantaranya repong damar, simpunk, tembawang, dan
lain sebagainya. Berbagai terminologi ditemukan untuk menyebut
pelaku garden system tersebut diantaranya perkebun mandiri,
masyarakat tradisional, masyarakat adat, dan sebagainya.
9

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Garden system menunjukkan bahwa usaha perkebunan dalam


usaha rumah tangga adalah usaha tambahan atau pelengkap dari
kegiatan kehidupan pertanian pokok terutama pertanian pangan
secara keseluruhan. Usaha ini biasanya kita temui dalam bentuk usaha
kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan tidak terlalu luas, sumber
tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi
kepada pasar, dan lebih fokus untuk melayani kebutuhan subsisten.
Hal ini berbeda dengan sistem perkebunan atau saat ini lebih dikenal
dengan perusahaan perkebunan besar yang merupakan bagian dari
sistem perekonomian pertanian komersial dan kapitalistik. Sistem
ini diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian dalam skala besar,
monokultur, bersifat padat modal, penggunaan areal pertanahan luas,
organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan
tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang kompleks dan
diajukan untuk memenuhi kebutuhan pasar (komoditi ekspor).
Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Perkebunan Skala Besar dengan
Perkebunan Rakyat
Item
Pelaku

Luasan lahan
Orientasi

Perusahaan Perkebunan
Investor hanya sebagai
pemodal dan tidak ikut
menanam langsung
tanaman
Skala besar dimana
biasanya diatas 25 Ha

Capital

Untuk kebutuhan pasar


dan keuntungan
Financial (padat modal)

Tanaman yang
dikembangkan

Tanaman yang laku


keras di pasar

Perkebunan Rakyat
Ikut bekerja menanam
langsung tanaman
tersebut
Tidak terlalu luas
dimana kebanyakan
kurang dari 10 Ha
Untuk mencukupi
kebutuhan keluarga
Tenaga kerja (Padat
tenaga kerja)
Tanaman yang sudah
dikenal dan dapat
memenuhi kebutuhan
rumah tangga

Sumber : Surambo, A. 2007. Sistem Kelola Rakyat Vs Sistem Kebun Besar.


Bogor. Perkumpulan Sawit Watch
10

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Seperti yang diungkapkan di depan, bahwa terdapat dua model


tata pengelolaan yakni sistem perusahaan perkebunan besar dan kebun
rakyat (garden system). Dua model tata kelola tersebut digambarkan
secara hitam dan putih (saling berdiameteral/berlawanan). Saat ini,
dua model kelola tersebut adalah suatu kontinum dimana satu titik
ekstrim di ujung kanan adalah kebun rakyat (garden system) dan satu
titik di ujung ekstrim kiri adalah sistem perusahaan perkebunan besar.
Jadi, selain dua model tata kelola yang ekstrim dapat kita temui,
kita juga dapat menemukan sistem tata kelola campuran karakter
dari dua tata kelola, yakni tanaman yang ditanam untuk subsisten
dan tanaman yang ditanam untuk perdagangan. Sistem tata kelola
campuran dua karakter tersebut dikenal dengan petty cultivation
(perkebunan campuran). Sistem tata kelola ini mengetengahkan
bahwa hasil-hasil pertanian bukan hanya dikonsumsi sendiri tetapi
terdapat sebagian hasil pertanian yang dijual ke pasar.

Kebun Sawit, dari Masa ke Masa


Kelapa sawit termasuk perkebunan yang dikembangkan dengan
sifat komersial dan melayani pasar atau kebun besar. Identifikasi
awal terhadap model pengembangan kebun besar dimulai ketika
pemerintah colonial Belanda mengenalkan kopi di bumi priangan
(Jawa Barat) (Fauzi, N, 2008). Hal ini terjadi sebelum masa liberal
(sebelum 1870). Pada masa inilah sebenarnya sedang dilakukan
semacam pilot project bagaimana membuat system perkebunan
besar untuk melayani pasar di eropa.
Berkenaan dengan asal usul tanaman kelapa sawit, beberapa
kalangan mempercayai bahwa tanaman kelapa sawit berasal
dari wilayah Afrika Barat, tetapi beberapa kalangan yang lain
mempercayainya bahwa kelapa sawit berasal dari wilayah Amerika
Selatan. Sampai dengan saat ini belum ada kesepakatan berkenaan
pendapat mana yang kuat, tetapi beberapa ahli menyatakan
sebenarnya wilayah Afrika dan Amerika dahulunya menjadi satu
sehingga cikal bakal kelapa sawit ditemukan di dua tempat tersebut.
11

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dimana


awalnya berupa empat pohon yang coba dibudidayakan di Kebun
Raya Bogor, dua pohon berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam dan
dua lagi berasal dari Mauritus sehingga diduga bahwa kelapa sawit
yang ada di Indonesia semuanya berasal dari Afrika tetapi melalui
jalan yang berbeda. Untuk tujuan memperluas turunan kelapa sawit
tersebut ditanam di Banyumas (Jawa), dan Palembang, dan tahun
1875 dibangun perkebunan kelapa sawit di wilayah Deli (Sumatra
Utara). Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit skala besar
dilakukan oleh Adrian Hallet tahun 1911 di Sungai Liput (Pantai
Timur Aceh) dan Pulo Raja (Asahan). Pada tahun yang sama juga
K.L.T. Schadt menanam juga kelapa sawit di Sungai Itam Ulu (Deli).
Tahun 1914 luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3.250 Ha.
Saat ini Indonesia muncul sebagai negara yang memiliki luas
kebun kelapa sawit terluas, yakni 9,1 juta Ha (Sawit Watch, 2010).
Indonesia mempunyai kebun yang luas lewat mengkonversi hutanhutan dan kebun-kebun rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal
ini dipicu oleh dua hal yakni pertama, adanya kebijakan pemerintah
Indonesia yang berkeinginan menjadi negara terluas sehingga
terdapat berbagai kemudahan seperti perijinan, upah buruh murah,
dan lain sebagainya. Kedua, adanya permintaan terhadap minyak
nabati khususnya minyak sawit yang tinggi. Berkenaan dengan fasefase dalam perluasan kebun kelapa sawit dan kebijakannya dapat
dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di masa
Pemerintah Indonesia
Fase
Keadaan

Fase
Soekarno

12

Fase ini ditandai dengan adanya kemerdekaan indonesia lepas dari


penjajahan dari Belanda ataupun Jepang secara fisik. Revolusi sosial
terjadi dimana-dimana setelah Kemerdekaan Indonesia diumumkan.
Di berbagai tempat rakyat Indonesia gegap gempita menyambut
kemerdekaan Indonesia ini. Salah satu praktek yang dilakukan dalam
menyambut Kemerdekaan Indonesia adalah mengusir penjajahan dalam

Aktor-aktor
berpengaruh
Perusahaan asing skala besar,
Pemerintahan
Soekarno diantaranya militer,

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

berbagai bentuk. Beberapa aset negara yang mencerminkan kepemilikan


penjajah diambil alih. Salah satunya adalah pendudukan perkebunan
oleh pemuda-pemudi bersama rakyat lainnya. Di perkebunan terjadi
pendudukan lahan secara sporadis. Bahkan Bung Hatta sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah perkebunan yang ada saat ini adalah hasil
merampok tanah-tanah rakyat. Berkaitan dengan pernyataan Bung
Hatta tersebut sepatutnya lah pendudukan tersebut dilakukan. Tetapi
jaman memang cepat berubah salah satu hasil dari Konferensi Meja
Bundar (KMB) adalah pengembalian kembali aset-aset perusahaan asing
kepada perusahaan tersebut diantaranya pengembalian kembali lahanlahan perkebunan yang sempat diduduki oleh rakyat kepada perusahaan
asing lama. Tragis sekali, Bung Hatta yang menyetujui, Bung Hatta pula
yang mencabutnya.

tokoh-tokoh
pergerakan
nasional

Salah satu hasil KMB lain adalah pengembalian Papua Barat ke


Indonesia setahun kemudian. Akibat berlarut-larutnya pengembalian
ini, Pemerintahan Soekarno melakukan beberapa langkah monumental.
Pertama, Pemerintahan Soekarno mengemplang semua hutang-hutang
kepada Penjajah Belanda. Selain itu, langkah fonumental lainnya adalah
Pemerintahan Soekarno melakukan nasionalisasi pada semua perusahaanperusahaan Belanda. Salah satu perusahaan yang dinasionalisasi adalah
lahan-lahan perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
Belanda. Hal yang menjadi kurang dalam nasionalisasi tersebut adalah
pengelolaan perkebunan tersebut dikarenakan kurangnya kaum profesional sewaktu itu sehingga mengakibatkan militer dilibatkan untuk
memegang beberapa perusahaan perkebunan.
Puncak dari kebijakan Pemerintah Soekarno yang populis adalah
rencana land reform dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok
Agraria No 5 tahun 1960, dimana salah satu obyek dari land reform
adalah lahan-lahan perkebunan skala besar. Akhir cerita ini adalah
agenda land reform tersebut belum sempat dilakukan Pemerintahan
Soekarno keburu jatuh. Perkembangan yang siginifikan di Perkebunan
dalam penguasaan lahan tidak terjadi lonjakan berarti bahkan beberapa
perkebunan besar sepertinya terlantar.

Fase Soeharto
orde reformasi

Fase inilah perkebunan massif dikembangkan. Dengan model pembangunan yang menggunakan tiga prinsip yakni stabilitas, pertumbuhan,
dan pemerataan. Salah satu kebijakan Pemerintahan Soeharto adalah
mengeluarkan undang-undang tentang penanaman modal asing. Salah
satu konsep yang dikembangkan oleh Pemerintahan Soeharto adalah
konsep kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang merupakan
bagian revolusi hijau, dimana dalam suatu perkebunan skala besar kita
akan mendapati inti dan plasma. Inti mempunyai kewajiban untuk menyediakan saprotan (sarana produksi tani), jaminan pasar, penjamin di
Bank; sedangkan plasma mempunyak kewajiban menyediakan lahan,
tenaga kerja, dan menyerahkan hasil-hasil perkebunan tersebut ke inti.
PIR-perkebunan dilakukan pertama menggunakan sumber keuangan
dari Bank Dunia tahun 1977 di dua lokasi yakni Alue Merah, Aceh dan
Tabenan, Sumatra Selatan. Proyek ini dikenal dengan NES (nucleus
estate smallholder), bahkan proyek ini dikembangkan sampai NES V.
Untuk wilayah Kalimantan, proyek PIR dikembangkan di dua wilayah
yakni Sanggau, Kalimantan Barat dan Paser, Kalimantan Timur pada

perangkatperangkatnya,
Perusahaan
perkebunan
skala besar,
NGO, serikatserikat Petani,
dan masyarakat adat, serta
serikat-serikat
buruh

13

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan


akhir tahun 80-an. Konsep PIR ini berkembang pesat bahkan diintegrasikan dengan proyek pemerintah lain yakni transmigrasi dengan
mengeluarkan Inpres No 1 tahun 1986 tentang PIR-Transmigrasi.
Beberapa konsep tentang PIR dapat dilihat dalam Tabel 4.Bila kita
coba bandingkan antara PIR dan kerja tanam paksa terlihat beberapa
kesamaan dan beberapa perbedaan, tabel 5 menunjukkan hal ini.
Salah satu hal yang masif dikembangkan dalam era Soeharto adalah
pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar. Pembangunan ini
dilakukan dengan cara melakukan konversi hutan menjadi perkebunan.
Indonesia saat ini menjadi negara dengan perkebunan kelapa sawit
terluas di dunia yakni 9,1 juta Ha (Perkumpulan Sawit Watch, 2010).
Pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar ini menimbulkan
dampak yang luar biasa baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Berbagai kerusakan lingkungan berupa kebakaran hutan, banjir, longsor,
dan limbahnya mencemari sungai. Di wilayah sosial, pembangunan
perkebunan ini menimbulkan beragam konflik dari konflik masyarakat
adat dengan perusahaan perkebunan sampai dengan konflik horizontal
antara buruh dengan petani/masyarakat adat. Data monitoring
Perkumpulan Sawit Watch (2010) terdapat 608 kasus konflik di perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan krisis politik juga di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan pemerintahan Soeharto yang
berkuasa kurang lebih 30 tahunan jatuh dan digantikan oleh orde
reformasi. Salah satu perubahan yang signifikan adalah digunakannya
tata pemerintahan desentralisasi bukan sentralisasi seperti jaman orde
baru. Beberapa kebijakan yang sifatnya dapat diurus di daerah maka
kewenangan tersebut diberikan kepada daerah. Salah satu kewenangan itu adalah pemberian ijin pembangunan perkebunan skala besar.
Akibatnya pembangunan perkebunan skala besar semakin massif
khususnya kelapa sawit. Cerita dampak perkebunan skala besar dalam
fase orde baru semakin menjadi-jadi. Bahkan pemerintahan SBY-JK ini
mengenalkan konsep revitalisasi pertanian. Jelas konsep ini berkeinginan meneguhkan sistem perkebunan yang lama, yang jelas-jelas kurang
memberi manfaat banyak kepada rakyat.
Hal yang signifikan dalam penguasaan lahan dalam fase ini adalah
munculnya perusahaan dengan konglomerasi penguasaan lahan,
lihat Gambar 2. Bila kita lihat lebih teliti kembali bahwa adanya
kemerdekaan Indonesia dengan cara revolusi tahun 1945 ternyata
tidak bisa merubah sistem perkebunan dimana sistem yang ada saat ini
adalah turunan dan pengembangan dari Fase Liberal semasa penjajah
kolonial Belanda.

Sumber: Surambo, A. 2008. Sejarah Singkat Perkebunan Kelapa Sawit


Indonesia. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch
Seperti yang diungkapkan didepan, bahwa perkebunan di
Indonesia tidak lepas dari kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi.
14

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perkebunan besar cepat beradaptif secara dinamis dengan kondisi


situasi zaman,lihat Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Kebun Besar
Masa Kolonial dan Post-Kolonial
Item

Kolonial
Perusahaan-perusahaan
luar negri langsung (deli
mascapay, Lonsum)

Post-Kolonial
Perusahaan-perusahaan
dalam negri yang
dapat modal dari luar
negri (Astra, sinar mas,
lonsum)

jaman dikembangkan

Era setelah politik liberal


(1875) setelah jaman
tanam paksa di Jawa

Tanaman yang
dikembangkan

Tanaman yang laku


keras di pasar (lada dan
rempah-rempah, tebu,
kopi, tembakau)

Jaman Kemerdekaan
dimana mulai massif
era Soeharto sampai
sekarang
Tanaman yang laku
keras di pasar (sawit,
kopi, dll)

Ijin operasionalnya

Hak erpacht, selama 75


tahun

HGU (hak guna usaha)


selama 30 tahun dan
dapat diperpanjang lagi

Tanah yang digunakan

selalu mengakui
menggunakan tanah
negara dengan prinsip
domein varklaring

Yang dipekerjakan

Orang-orang bawahan
(buruh kasar) adalah
inlander, sedangkan
pimpinannya banyak
orang asing

selalu mengakui
menggunakan tanah
negara dengan
menggunakan prinsip
Hak Menguasai
Negara (HMN)
Orang-orang
indonesia sendiri tetapi
sudah larut untuk
kepentingan mencari
untung sendiri-sendiri

Konflik yang sering


terjadi

Konflik tanah, kompeni


dibantui oleh pemerintah

Pelaku

Konflik tanah,
perusahaan dibantui
oleh pemerintah,

15

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Berbagai dinamika sosial politik menyertai bagaimana tumbuh


kembangnya kebun-kebun besar. Model operasi ini diawali oleh
datangnya berbagai perjalanan para penjelajah dari eropa ke
nusantara, dari penjelajahan inilah diketahui sumber-sumber pala,
lada, dan lain sebagainya dimana waktu itu sebagai komoditas yang
laku keras di pasar eropa. Belanda sebagai salah satu negara yang
memelopori penjelajahan tersebut memberikan mandate kepada
VOC (suatu perusahaan transnasional pertama di dunia) berkenaan
dengan perdagangan komoditas-komoditas tersebut.
VOC dalam operasinya awalnya sebagai pedagang, yakni
membeli di Nusantara, dan menjual di eropa, yang berbeda adalah
dengan sedikit-demi-sedikit VOC dapat menguasai distribusi dan
harga beberapa komoditas yang laku keras di pasar tersebut. Bahkan
kekuasaan VOC sampai berpengaruh terhadap tata pemerintahan
berbagai daerah di Nusantara. Ibaratkan sekarang VOC adalah
tengkulak besar. Di beberapa wilayah, Pemerintah Belanda mulai
mengenalkan komoditas kopi sebagai tanaman wajib di priangan
dan Maluku sehingga dikenallah preanger stelsel sebagai cikal bakal
model kebun besar (lihat Noer Fauzi, 2002).
Kemenangan kelompok liberal dalam menguasai parlemen
Pemerintahan Kerajaan Belanda, membawa perubahan dengan
lahirnya Agrarian Wet 1870 sehingga berbagai investor asing dapat
menanamkan modalnya secara langsung di Nusantara bahkan para
investor ini seperti layaknya penguasa local sehingga dikenalah
plantocrazy, tata pemerintahan yang berdasarkan birokrasi kebun
(Wiradi, 2006). Berbagai kebijakan yang lahir di masa ini, dalam
kerangka penjajahan dimana intinya memecah sekaligus juga
mengontrol (Margarito Kamis, 2007).
Akhir Perang Dunia ke-2, berbagai kelompok berhasil
memerdekakan dirinya dari colonial. Untuk Indonesia berakibat
banyak terlantar beberapa tanah-tanah perkebunan besar. Bahkan
beberapa tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi objek dari land
reform. Kebijakan yang fenomenal waktu ini adalah UUPA no 5 tahun
16

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

1960 (Wiradi, 2006). Lewat undang-undang inilah gerakan kaum


tani dan buruh menjadi sangat massif pengaruhnya di perkebunan.
Jatuhnya Pemerintahan Soekarno dan berdirinya Pemerintahan
Soeharto memberikan perubahan yang signifikan, dimana kebijakankebijakan yang ada sangat mendukung terhadap penanaman modal
asing diantaranya UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman
modal asing dimana bentuk turunan undang-undang ini adalah
Inpres no 1 tentang pedoman pengembangan perusahaan inti
rakyat. Memang para investor asing tidak dapat secara langsung
menanamkan modalnya tetapi dapat melakukan kerjasama dengan
para pengusaha local. Model operasi penanaman modal ini, saat
ini dikenal dengan model agribisnis. Glover (1984) menyatakan
Istilah ini pada umumnya mengacu kepada kegiatan Trans-national
corporation (TNC) di bidang pertanian sebagai produsen pengolah,
atau pedagang komoditas pertanian dan sebagai penjual berbagai
sarana produksi dan mesin-mesin
Susan George (1977) dalam Wiradi (2006) menyatakan bahwa
gerakan agribisnis lahir karena para pemilik modal raksasa (TNC)
tidak lagi dapat menanam modalnya di masing-masing negara maju
(sebab sudah jenuh) dan memalingkan perhatiannya kepada negara
berkembang. Namun karena bidang pertanian memerlukan tanah,
sedangkan negara-negara berkembang sesudah perang dunia kedua
telah menjadi negara nasional yang merdeka, maka masalah jangkauan
terhadap tanah ini dirasakan sebagai hambatan. Akibatnya, meraka
terpaksa nebeng pemerintah negara maju melalui program bantuan.
Negara maju sebagai donor dapat membujuk negara berkembang
agar, dalam rangka program bantuan di bidang pertanian, pemerintah
setempat menyediakan kemudahan dalam hal jangkauan terhadap
penguasaan tanah. Akan tetapi mengingat faktor di dalam negeri
pemerintah nasional negara berkembang tidak dapat begitu saja
menyediakan tanah bagi modal asing, seperti jaman kolonial. Bentuk
inti-satelit tampaknya merupakan jalan keluar. Berkenaan dengan
berbagai model PIR di perkebunan dapat dilihat dalam Tabel 4.
17

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Orde reformasi adalah kelanjutan dari pemerintahan Soeharto


di Indonesia. Beberapa kebijakan yang lahir di masa orde reformasi
ini adalah UU no 18 tahun 2004 tentang perkebunan, UU no. 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU no.25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Berbagai kebijakan ini lahir untuk memudahkan
para investor menanamkan modalnya di Indonesia, salah satunya
di sektor perkebunan. Undang-undang perkebunan lahir dengan
adanya kesadaran negara bahwa Pengamanan perkebunan dipandang
mendesak pengamanannya akibat maraknya aksi penjarahan, pencurian,
dan penggarapan lahan perkebunan. Hal inilah yang menjadi hasil
rapat koordinasi yang membahas penanganan pengamanan terpadu
perusahaan perkebunan. Rapat koordinasi itu dipimpin Menko Polkam
Susilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri Mentan, Kapolri, dan direksi
perusahaan perkebunan negara dan swasta se-Sumatera (Susilo Bambang
Yudhoyono belum tentukan pilihan politik, Gatra, 2002).
Tabel 4. Berbagai Macam Pola Kemitraan
Kriteria
Tanaman
Pokok
Tanaman
Pangan

NES

Pir-Khusus

Pir-Bantuan

Pir-Trans

2 ha

2 ha

2 ha

2 ha

0 ha

0,75 ha

0,75 ha

0,50 ha

Lahan
Pekarangan

0 ha

0,25 ha

0,25 ha

0,50 ha

Peserta

Penduduk
setempat

Transmigran

Penduduk
lokal

Rumah (m )

Tidak ada

36

36

Transmigran
penduduk
lokal
36

Lokasi

Sekitar
perkebunan
yang sudah
ada

Bukaan baru

Bukaan baru

Bukaan baru

Sumber Dana

Bank dunia

Swadana

Bantuan luar
negeri

Kredit khusus

Sumber: berbagai sumber


18

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Beberapa turunan dari undang-undang ini diantaranya


Permentan no 26 tahun 2007 dan Permentan no 14 tahun 2009
semakin mempermudah para investor untuk menanamkan modalnya
di sektor Perkebunan. Beberapa hal yang mempermudah para
investor diantaranya Permentan no 26 tahun 2007 menyatakan
cukup 20 % saja dari HGU pelibatan masyarakat dan luasan untuk
perusahaan perkebunan kelapa sawit boleh sampai 100.000 Ha, dan
permentan no 14 tahun 2009 menyatakan bolehnya menggunakan
lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dimana jelas-jelas
tidak layak secara lingkungan dan sosial.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan dalam orde reformasi ini
berakibat signifikan dimana terdapat ketidakseimbangan dalam
struktur penguasaan agrarian, khususnya wilayah-wilayah dimana
kebun-kebun besar menumpuk modalnya. Kalimantan Tengah
adalah salah satu wilayah dimana pertambangan, perkebunan besar,
dan wilayah-wilayah konservasi dapat ditemukan. Ternyata dari
12-an juta Ha hanya 2,5-an juta Ha adalah wilayah sisa dimana
wilayah ini di sepanjang sungai-sungai yang ada. Wilayah ini dapat
diintrepertasikan wilayah inilah dimana rakyat berada, lihat Gambar
1. Lewat kebijakan yang ada ini, ekspansi perkebunan kelapa sawit
diperkirakan tiap tahunnya mencapai 600 700 ribu Ha (Sawit
Watch, 2008). Bila berbagai kebijakan yang ada saat ini tidak
dirubah maka semakin memunculkan adanya ketimpangan dalam
penguasaan agrarian.

19

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Gambar 1. Overlapping antara perkebunan kelapa sawit,


pertambangan, wilayah konservasi, dan lain sebagainya di
Kalimantan Tengah 2009.
Secara sederhana, model operasi yang dilakukan para investor di
perkebunan kelapa sawit adalah sederhana inilah dari dulu hingga
sekarang belum berubah. Tanah dan tenaga kerja adalah modal
utama yang menggerakkan model ini. Dengan tanah yang luas dan
tenaga kerja yang murah, model perkebunan besar kelapa sawit
kokoh berdiri. Kondisi inilah yang cocok dengan kondisi Indonesia
selama ini. Indonesia mempunyai potensi lahan 18 juta Ha dengan
13,7 juta Ha adalah hutan konversi (Deptan, 2009). Praktekpraktek mungkin bisa berbeda dalam tiap jaman tetapi pengontrol
tetaplah yang mempunyai modal. Beberapa bank yang mendanai
bisnis perkebunan kelapa sawit adalah
- ABN AMRO Bank -Netherlands
- BNP Paribas - France
20

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-

CDC - United Kingdom


Citigroup - United States
Commerzbank - Germany
Crdit Suisse - Switzerland
Crdit Lyonnais - France
DEG - Germany
Deutsche Bank - Germany
HSBC Bank - United Kingdom
HypoVereinsbank - Germany
ING Bank - Netherlands
Mizuho Bank - Japan
Rabobank - Netherlands
Socit Gnrale - France
Sumitomo Mitsui Banking - Japan
UBS - Switzerland
UFJ Bank Japan (van Gelder, J. W. & Wakker, E. 2003)

Gambar 2. Adanya Pemusatan Kekuatan dalam


Industri Kelapa Sawit
21

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Kebijakan Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit


Untuk mengetahui berkenaan kebijakan-kebijakan perempuan di
perkebunan kelapa sawit, tidak secara eksplisit dapat dinyatakan. Kita
perlu mengetahui dalam konteks kapan dan dimana pembangunan
perkebunan kelapa sawit dilakukan. Seperti diungkapkan di depan,
bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit massif dilakukan
tahun 1970-an sewaktu era Soeharto (orde baru). Konteks inilah yang
dapat membaca kondisi dan kebijakan perempuan di perkebunan
kelapa sawit.
Kebijakan perempuan era orde baru melahirkan peran perempuan
dibatasi sebatas tiga I yakni istri, ibu, dan istri rumah tangga (Wulan
2008). Peran perempuan yang direduksi ini tanpa disadari telah
menyebabkan tidak adanya tempat bagi perempuan sebagai manusia
merdeka yang dapat mengekspresikan pikirannya bagi kemajuan
kaum perempuan dari sudut kepentingan perempuan. Keadaan
ini membuat berbagai persoalan kekerasan dan ketidakadilan yang
menimpa perempuan di masyarakat atau di luar lingkup keluarga
praktis diabaikan. Organisasi perempuan pada saat itu memainkan
peran subordinasi dan menyebarluaskan citra peran ideal perempuan
dalam konteks tiga I tersebut, dalam konotasi Kodrat. Dengan
kodrat ini perempuan ideal dicitrakan bersifat lemah lembut,
tidak berbicara dengan keras, tidak mementingkan kepentingan
pribadi, tidak mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami,
serta menjadi istri yang penurut dan anak perempuan yang patuh.
Lebih lanjut Hubies (2001) dalam Wulan (2008) menjelaskan
bahwa pada pemerintahan Orba praktis telah memobilisasi
perempuan dengan kekuatan politik organisasi untuk tujuan politik
tertentu. Orba telah memanfaatkan jaringan organisasi perempuan
untuk mendominasi kaum perempuan (PKK, Dharma Wanita, dan
lain-lain) untuk tunduk dan patuh pada negara yang pada waktu
itu ada pada dominasi kekuatan tunggal partai politik. Perempuan
mengalami titik nadir pada masa awal Orde Baru karena menerapkan
politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi
22

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perempuan dalam kegiatan politik maupun ruang publik. perempuan


diperlakukan seperti Ibu yang berperan sekunder dan selalu menjadi
penanggungjawab pendidikan anak, dan lain-lain. Oleh karena itu,
kemudian muncul program negara bagi perempuan seperti PKK,
Panca Dharma Wanita, dan sebagainya. Peran perempuan maupun
keluarga dalam konteks itu tidak dihapuskan oleh negara, namun
dijinakkan dan dimanfaatkan (Wulan, 2008).
Kondisi perempuan di perkebunan kelapa sawit saat ini seperti
dinyatakan Komisi Cedaw (penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan) pada sidang umum Cedaw pada tanggal 27 Juli
2007 di New York, bahwa komite prihatin mengenai meluasnya
kemiskinan kalangan perempuan dan kondisi kemiskinan sosial
ekonomi merupakan penyebab dilanggarnya HAM perempuan dan
diskriminasi terhadap perempuan. Komite secara khusus prihatin
mengenai situasi perempuan pedesaan termasuk tidak tersedianya
perlindungan hukum, perawatan kesehatan, dan pendidikan bagi
perempuan.
Untuk itu, Komite Cedaw memberikan rekomendasi agar
negara pihak memastikan bahwa peningkatan kesetaraan gender
dan sosialisasi persoalan-persoalan kesetaran gender merupakan
komponen yang eksplisit dari, dan sepenuhnya dilaksanakan dalam,
rencana, dan kebijakan pembangunan nasional, terutama ditujukan
pada pengurangan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan, dan
penanggulangan bencana alam.

23

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

24

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

BAB 3

Gender Sebagai Sebuah


Alat Analisis
Pendahuluan
Ketika mendengar kata gender maka yang terlintas dalam pikiran
banyak orang adalah hanyalah perempuan. Kesalahpahaman ini
adalah jamak terjadi karena diskursus-diskursus gender menempatkan
perempuan mendapatkan perhatian lebih dibanding laki-laki.
Perhatian lebih ini berangkat dari fakta kehidupan di masyarakat
patriarkhi bahwa perempuan mendapat perlakuan tidak adil baik
dari aspek peran, hak, akses, dan kontrol, baik di ranah keluarga,
masyarakat, tempat kerja, maupun negara. Karena gender lebih
banyak memberi perhatian terhadap perempuan, maka pemahaman
umum adalah gender urusan perempuan. Bahkan terdapat anggapan
bahwa gender kelamin perempuan.
Jadi apakah itu gender itu? Gender adalah peran dan tanggung
jawab antara perempuan dan laki-laki yang ditentukan atau
dikonstruksi secara social, yang kemudian menjadi kebiasan dan
budaya. Contohnya adalah mencuci, memasak, bersih-bersih rumah
atau pekerjaan domestic lainnya adalah pekerjaan yang biasa
diperankan oleh perempuan. Sedangkan mencari nafkah, ronda
malam, berburu, dan pekerjaan-pekerjaan publik lainnya diperankan
dan tanggung jawab laki-laki. Dari kebiasaan ini, tanpa sadar baik
perempuan mapupun laki-laki diharapkan untuk berpikir dan
bertindak sebagai perempuan dan laki-laki berdasarkan pengaturan
masyarakat. Sifat dan perilaku yang tidak sesuai dengan kebiasaan
dianggap menyimpang atau tidak normal, seperti laki-laki harus
pemberani, tidak boleh menangis, kuat, pelindung, dan lain-lain;
25

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

sementara perempuan harus lembut, merawat, melayani, penurut,


dan lain-lain.
Sebenarnya, perbedaan dan pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan
ketidakadilan. Misalnya dalam sistem pertanian tradisional di Jawa,
laki-laki membajak dan perempuan memanen dengan ani-ani;
dalam kehidupan rumah tangga, perempuan memegang pisau untuk
memasak dan laki-laki memegang parang untuk membelah kayu.
Namun hal ini menjadi masalah ketika peran dan tanggung jawab
itu membatasi hak-hak perempuan untuk mendapat akses dan
kontrolnya. Misalnya perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan, baik di ranah keluarga atau desanya karena pengambilan
keputusan dilakukan para laki-laki sebagai kepala keluarga, dan
rapat-rapat di desa hanya dihadiri oleh laki-laki sebagai kepala
keluarga. Harapan keluarga dan masyarakat terhadap anak gadis
untuk cepat menikah dan ibu yang baik seringkali juga membatasi
anak perempuan dalam mengakses pendidikan tinggi. Peran-peran
gender harapan masyarakat terhadap perempuan seperti inilah
menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan.

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender


Pembagian peran, kerja dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan di atas membentuk konstruksi sosial bahwa perempuan
ditempatkan dalam ruang privat dan bertanggung jawab pada
urusan-urusan yang sifatnya domestik, sedangkan
laki-laki
ditempatkan pada ruang publik tempat pengambilan keputusankeputusan sosial. Akibatnya peluang perempuan menjadi terbatas
dan perempuan tidak dapat menyuarakan atau mengartikulasikan
kepentingannya. Suara, kepentingan dan kebutuhan perempuan
tidak pernah terdengar. Dalam masyarakat patriarkhi suara laki-laki
atau kepala keluarga dianggap sudah mewakili suara perempuan.
Padahal anatara kebutuhan dan persoalan perempuan dan laki-laki
jelas berbeda.
26

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Dari situasi dan kondisi tersebut dapat diindentifikasi bentukbentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat dimana perempuan
lebih dirugikan.
a. Dominasi/sub-ordinasi/marjinalisasi perempuan -- Dominasi
merupakan kekuatan atau cara yang dimiliki dan dilakukan
oleh individu atau seseorang atau kelompok tertentu untuk
menundukkan, menguasai atau melemahkan individu atau
kelompok lain. Dominasi membuat individu atau kelompok lain
menjadi tersub-ordinasi dan kemudian termarjinalisasi, sehingga
kepentingan kelompok tersebut menjadi tidak bisa terungkap
maupun menjadi perhatian dan menjadi keputusan. Hal inilah
yang terjadi terhadap perempuan dalam masyarakat, kepentingan
perempuan tidak bisa terungkap, menjadi perhatian dan menjadi
keputusan.
b. Diskriminasi -- Pembedaan perlakuan, pengucilan dan
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, ras, kelas,
agama, kepercayaan, ideologi, pilihan politik, pilihan seksual,
cacad, penyakit, dan lainnya, yang mempunyai pengaruh atau
mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan
mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
bidang apa pun lainnya.
c. Stereotyping (pelabelan)Sebuah cara pandang yang melekatkan
predikat atau identitas atau label atau sebutan tertentu dengan
tujuan melemahkan atau mengabaikan posisi dan keberadaan
orang atau kelompok yang bersangkutan. Stereotyping
merupakan cara paling halus untuk meminggirkan peran dan
posisi perempuan pada berbagai sektor dengan melabelkan
perempuan pada kerja-kerja yang sifatnya domestik. Akibatnya
antara lain kompensasi yang lebih rendah dimana perempuan
walaupun melakukan kerja-kerja sifatnya publik tetap dilabel
sebagai kerja-kerja sifatnya domestik.
d. Kekerasan Kekerasan dapat dijelaskan sebagai tindakan yang
membuat orang lain merasa tidak nyaman, takut, terluka secara
27

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

fisik dan psikologis. Beberapa bentuk kekerasan lainnya, seperti


kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berupa kekerasan fisik,
psikologis, pelecehan seksual, perkosaan dalam perkawinan;
kekerasan ekonomi seperti melarang perempuan bekerja di
luar rumah, memaksa perempuan bekerja dan mengeksploitasi/
mengkontrol hasil kerjanya, dll; Kekerasan di wilayah publik:
kekerasan seksual dan non-seksual; serta kekerasan negara yang
bersumber dari politik negara dan yang dilakukan aparat negara
(selain seksual juga eksploitasi SDA/sumberdaya alam)
e. Beban ganda -- Status sekaligus beban nyata yang ditanggung
banyak perempuan terutama mereka yang juga beraktivitas/
bekerja di wilayah publik, di mana mereka juga tetap diwajibkan
melakukan kerja-kerja domestik setelah bekerja di luar rumah.

Analisis Berbasis Gender


Analisis berbasis gender merupakan sebuah cara yang sistematis
dalam melihat perbedaan dampak pembangunan terhadap lakilaki dan perempuan. Perbedaan yang dilihat di sini meliputi
bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam sebuah
program pembangunan, alokasi anggaran, manfaat bagi laki-laki
dan perempuan, dan lain-lain. Dalam melakukan analisis gender
juga dibutuhkan sebuah data terpisah berdasar jenis kelamin dan
pemahaman bagaimana terjadi pembagian dan penilaian kerja. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana beban kerja yang harus
dilakukan perempuan dan juga manfaat yang diterima oleh mereka.
Analisis gender harus dilakukan di semua tahap proses
pembangunan dan perencanaannya , keputusan, dan dampaknya.
Dari sini akan kelihatan apakah dalam sebuah program pembangunan
sudah memberikan peran, akses dan kontrol bagi perempuan, atau
sebaliknya terjadi ketidakadilan gender yang terindentifikasi adanya
domonasi-subordinasi-marginalisasi,
diskriminasi,
stereotype,
kekerasan dan beban ganda.
Untuk itu dalam melakukan analisis gender perlu diingat
28

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

beberapa komponen yang menjadi indikatornya:


a. Tidak menyatukan/menyamakan jenis kelamin--memisahkan data
sesuai dengan jenis kelaminbisa terlihat berapa peran dan
manfaat sebuah kegiatan/pembangunan
b. Konstruksi sosial memahami sejarah asal mula relasi subordinat
dan dominasi jenis kelamin(mis. Perempuan diciptakan dari
tulang rusuk, perempuan penggoda, perempuan haid kotor, dll)
c. Pembagian kerjamelihat bagimana masyarakat mentukan aturan
main tentang peran gender yang berdampak dalam pembagian
kerja antara perempuan dan laki-lakibisa berbeda menurut
waktu dan tempatartinya bukan kodrat
d. Akses dan Kontrol menekankan pentingnya perempuan
mempunyai akses dan kontrol terhadap fasilitas hiduptidak
cukup mendapat akses, tatapi juga harus mampu mengantrol
lewat pengambilan keputusan

Buta Gender
Seseorang dapat dikatakan buta gender apabila tidak mengakui
bahwa ada konstruksi sosial/gender merupakan penentu penting
atas pilihan-pilihan hidup yang disediakan masyarakat untuk kita.
Baik perempuan maupun laki-laki bisa saja mengalami buta gender.
Seorang perempuan bisa dikatakan buta gender bila dirinya tidak
menyadari adanya ketidakadilan yang dia alami dalam keluarga,
masyarakat, tempat kerja dan negara yang disebabkan oleh
pembedaan peran dan tanbggung jawab berdasarkan seksual yang
telah menyebabkan akses dan kontrolnya tertutup.
Dalam konteks lebih luas, buta gender bisa terjadi dalam kebijakan
dan program-program pembanguan yang tidak memperhatikan
dan member prempuan akses dan kontrolnya sehingga permepuan
mendapat ketidakadilan yang teridentifikasi dalam bentuk-bentuk
ketidakadilan seperti dijelaskan di atas.

29

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

30

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

BAB 4

Temuan-Temuan dan Analisis


1. Kabupaten Paser, Kalimantan Timur
Gambaran Umum
Luas Kecamatan Kuaro adalah 747,30 km atau 6.44% dari luas
Kabupaten Paser. Luas daratan 596,76 km dan lautan 150,54
km. Kecamatan Kuaro memiliki 11 kelurahan yaitu Lolo, Kuaro,
Pondong Baru, Rangan, Modang, Kendarom, Kerta Bumi, Air Mati,
padang Jaya, Pasir Mayang, dan Sandeley. Wilayah penelitian adalah
Kecamatan Kuaro tepatnya 3 desa yaitu Modang, Trans Kuaro, dan
Kendarom.
Kecamatan Kuaro merupakan wilayah penempatan transmigrasi
untuk dijadikan petani plasma dari perkebunan kelapa sawit PTPN
13. Transmigrans rata-rata berasal dari Jawa, Banjar, Bugis dan
transmigrans local dari wilayah kabubaten Paser lainnya. Mereka
ditempatkan di daerah Kuaro mulai tahun 1987 dan masing-masing
mendapat 1 kapling atau sekitar 2 hektar.
a. Desa Modang
Desa Modang berdiri lewat program transmigrasi. Pada tahun
1986 sekitar 40 kepala keluarga (KK) peserta transmigrasi datang ke
Provinsi Kalimantan Timur. Awalnya mereka diberitahukan bahwa
mereka akan mendapat lahan kebun, rumah dan pekarangan yang
siap digarap. Namun setelah mereka sampai di daerah tujuan, mereka
menemukan bahwa lahan kebun, rumah dan pekarangan belum
dibangun, mereka hanya menemukan hutan belantara yang luas.
31

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Setelah rombongan pertama datang, beberapa hari kemudian


disusul rombongan kedua yang berjumlah 40 KK. Dalam
perencanaanya pemerintah berharap terdapat keseimbangan antara
penduduk lokal dengan pendatang, ternyata hanya ada 1 KK
penduduk lokal dari 80 KK transmigran. Asal peserta transmigrasi di
desa modang sebagian besar berasal dari penduduk Jawa Tengah dan
DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) (Bantul, Wonosari, Purwokerto,
dan Sleman) sehingga Desa Modang disebut juga desa DIY.
Di awal-awal kedatangannya, para peserta transmigrasi dan
masyarakat lokal ini bekerja membuka lahan dimana mereka
diupah sebesar Rp 1500 rupiah per hari. Tiap peserta tranmigrasi
ini mendapatkan 2 ha untuk kebun sawit, ha untuk perumahan,
dan ha untuk lahan kebun pangan. Dalam mendapatkan berbagai
lahan tersebut lewat pengundian. Desa Modang terdiri dari 2 dusun
yaitu Dusun Modang dan Dusun Pekasau.
b. Desa Kendarom
Seperti Desa Modang, Desa Kendarom lahir karena adanya
program transmigrasi. Asal penduduk peserta transmigrasi Jawa
Tengah (Purwekerto, Kebumen, dan daerah sekitarnya). Desa
Kendarom tidak berbeda dengan Desa Modang, bahwa semua
rombongan peserta transmigrasi harus bekerja membuka lahan
perkebunan sebelum akhirnya bisa menggarapnya. Bedanya, Desa
Kendarom tidak ada satu pun penduduk lokal semuanya berasal dari
Pulau Jawa.
c. Desa Trans-Kuaro
Desa Kuaro merupakan salah satu wilayah transmigrasi. Tahun
1982, mulai dilakukan pembukaan lahan di kecamatan Kuaro
tepatnya 4 desa yaitu Desa Sendeley, Desa Kuaro, Desa Paser
Mayang, dan Desa Lolo. Pembukaan lahan melibatkan masyarakat
lokal berupa penebasan dan penebangan. Selain penduduk Desa
Kuaro, banyak juga masyarakat sekitar Desa Kuaro yang ikut
32

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

bekerja membuka lahan. Para pekerja tersebut mendapatkan upah


Rp 2500 per hari. Lahan seluas sekitar 204 ha berhasil dibuka dan
direncanakan untuk program transmigrasi khusus di Desa Kuaro.
Tahun 1986, peserta transmigrasi mulai berdatangan. Desa ini
dikenal dengan desa Trans-Kuaro dikarenakan banyak penduduk
lokal mengikuti program transmigrasi. Lahan yang dibuka untuk 80
KK penduduk asli Paser ternyata hanya 40 KK mengikuti program
transmigrasi. Kebanyakan mereka takut mengikuti program ini karena
mereka belum mengerti sesungguhnya yang terjadi. Untuk memenuhi
hal tersebut, pemerintah mendatangkan 40 KK lagi dari Pulau Jawa.
Setelah banyak orang Jawa yang datang, ketakutan penduduk lokal
berubah, mereka ingin pula bergabung dengan program ini, setahun
kemudian pemerintah akhirnya menambah 122 KK lagi dari penduduk
asli Paser, sehingga jumlah peserta transmigrasi menjadi 202 KK,
dengan lahan 404 ha. Dengan kedatangan peserta tahap berikut ini,
PTPN juga memperkerjakan peserta transmigrasi untuk membersihkan
lahan. Seelesainya program transmigrasi, sejak Juni 2010 Desa Trans
Kuaro berubah nama menjadi Desa Klempang Sari hingga saat ini.
Kondisi Sosial Ekonomi
Lebih dari 50% penduduk kabupaten Paser dari kecamatan Long Ikis
sampai Tanah Grogot adalah petani sawit baik Pir ataupun swadaya.
Awalnya, masyarakat Paser banyak menaruh curiga terhadap
program PIR-Bun. Lahan dibuka dan dibatasi dengan pagar tinggi
sehingga banyak masyarakat bertanya dan masyarakat yang ikut
bekerja didalam pagar, jarang sekali keluar karena mereka bekerja
didalam hutan menebas dan membabat. Setelah kedatangan para
peserta transmigrasi membuat perubahan yang cukup significant.
Karakter pendatang yang gigih bekerja memberikan pengaruh
positif bagi penduduk lokal. Pada tahun 1987, banyak penduduk
lokal mendaftar menjadi peserta transmigrasi.
Di akhir tahun 1999, hampir setiap rumah mempunyai lebih
dari satu sepeda motor, hampir setiap rumah memiliki parabola
33

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dan akhirnya merubah gaya hidup penduduk setempat menjadi


lebih konsumeris. Disisi lain, kota menjadi tambah ramai. Adanya
bangunan gedung-gedung pemerintahan, sekolah, dan rumah sakit
serta lancarnya jalan penghubung antara Kabupaten paser dengan
Kalimantan Selatan. Penduduk rata-rata memiliki keinginan untuk
menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Peran Perempuan di Perkebunan
Berdasar temuan lapangan di atas, maka perempuan berperan di
perkebunan plasma mulai dari pembukaan lahan sampai masa
pemanenan. Keterlibatan perempuan dalam perkebunan mulai dari
pembukaan lahan, pemibitan, pemupukan, penyiangan, pemanenan
dan penjualan bukan berarti perempuan serta merta tidak menerima
bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Sekilas dapat terlihat bahwa
meskipun perempuan terlibat dalam perkebunan, tetapi mereka tetap
melakukan pekerjaan domestic sebagai tugas utamnya. Sementara
itu, laki-laki pada umunya hanya mempunyai tugas di kebun dan
menganggap pekerjaan rumah itu tugas istri. Dan pekerjaan istri di
kebun sawit hanya membantu.
Untuk mengetahui dan mendalami lebih jauh peran perempuan
dan ketidakadilan gender yang terjadi di perkebunan sawit,
digunakan point-poin 5 ketidakadilan gender yaitu diskriminasi,
subordinasi, marginalisasi, kekerasan, beban ganda dan stereotype. Dari
sini akan diketahuai sejauh apa perempuan memiliki akses dan control
dalam kehidupan sehari-hari sebagai petani sawit atau istri petani
sawit. Selain itu, Adapun area yang dilihat mencakup proses sejak
keberangkatan sebagai transmigran, pembukaan lahan, pembibitan,
perawatan, pemanenan dan penjualan.
Selain itu, secara umum penting dilihat sejauh mana kebijakan
pemerintah menjamin hak-hak perempuan dalam perkebunan sawit
yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan terkait, seperti peraturan
tentang transmigrasi. Di sini digunakan Konvensi CEDAW yang
mencakup Hak Sipil Politik (asal 7-9) dan Hak hak Ekosob (pasal
10-14) untuk melihat apakah kebijakan pemrintah sudah mengacu
34

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

pada Konvensi CEDAW . Dan juga pasal 3 yang merupakan inti dari
kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak perempuan menyatakan:
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang
tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang,
khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya,untuk
menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya,
dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasanpokok atas dasar
persamaan dengan laki-laki.
Cakupan atau Area Ketidakadilan Gender
a. Pra keberangkatan Transmigrasi
Kebijakan pemerintah dalam program transmigrasi (Kepres
No.1 tahin 1986) kriteria peserta transmigrasi adalah keluarga
yang terdiri dari suami dan istri merupakan hambatan bagi
perempuan lajang atau janda untk berpeluang mendapatkan lahan
atas namanya sendiri. Peserta transmigrasi untuk perkebunan sawit
diwajibkan pasangan suami istri dengan otomatis kepemilikan tanah
adalah kepala keluarga atau suami. Posisi istri sebagai pendamping
suami yang diajarkan dalam prinsip-prinsip PKK tanpa sadar juga
diadopsi dalam program transmigrasi ini. Meskipun begitu, para istri
transmigran yang dianggap lemah karena keperempuanannya, tetap
saja terlibat dalam perkebunan, dari pembukaan lahan, pembibitan,
perawatan sampai pemanenan. Akan tetapi, karena konstruksi
yang terbangun bahwa istri hanya pendamping suami, maka posisi
istri hanya dianggap sebagai membantu saja di kebun. Meskipun
sebenarnya bila diberi kesempatan, perempuan bisa saja mempunyai
kebun sendiri, misalnya dua perempuan bersaudara yang tidak/
belum menikah atau Ibu dan anak perempuannya.
Kebijakan atau ketentuan peserta transmigrasi yang
diskriminatif ini, yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri,
telah memarginalkan perempuan-perempuan yang belum/tidak
menikah atau janda dari akses mendapatkan kesempatan memiliki
35

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

lahan kebun sawit sendiri. Bila dilihat dari Konvensi CEDAW dapat
dikatakan Kepres No. 1 Tahun 1986 ini belum mengacu pada
pemenuhan Hak-hak Ekosob perempua seperti yang tersebut pada
pasal 11 tentang Hak Bekerja dan pasal 14 tentang Hak Khusus
perempuan pedesaan dalam keterlibatan perempuan dalam perluasan
implementasi pembanguanan di segala tingkatan, dalam hal ini
Program transmigrasi waku itu.
Bahkan, persyaratan peserta transmigrasi yang harus sepasang
suami istri ini juga melahirkan kekerasan tarhadap istri salah seorang
calon transmigran yang tidak mau diajak mengikuti suaminya
menjadi tarnsmigran. Kekerasan yang dialaminya adalah harus
merelakan suaminya menikah lagi karena suaminya tetap harus
berangkat menjadi transmigran, seperti yang terjadi pada Sumarni
istri Mbah Prapto (desa Kendarom), salah satu peserta transmigrasi
asal Purwokerto. Meskipun pada akhirnya Sumarni menyusul
suaminya pada kemudian hari. Artinya Mbah Prapto memilki dua
istri di tempat transmigrasi
b. Di Lahan Kebun Sawit
Sebagai istri petani, para perempuan di keluarga petani sawit
PIR-Trans terlibat dalam proses pengelolaan kebun keluarga,
baik sejak dari pembukaan lahan, perawatan, pemupukan, hingga
pemanenan. Peran dan keterlibatan para istri petani sawit ini justru
menjadi boomerang bagi mereka sendiri. Pertama, mereka secara
tidak langsung telah menjadi buruh PTPN XIII dan sekaligus
menjadi petani tanpa lahan karena secara administrasi yang tercatat
sebagai petani adalah suaminya yang mendapat lahan 2 ha secara
kredit (yang dicicil saat panen). Akan tetapi, pada kenyataaannya,
para istri petani sawit transmigran ini juga bekerja di kebun sawit
dengan beban yang sama dengan suaminya. Peran para istri ini
sekilas atau seolah-olah perempuan sudah terlibat setara dengan
laki-laki dalam kebun mereka karena mereka berbagi tugas secara
merata, meski dalam berbagi tugas itu perempuan mendapat bagian
36

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

yang dianggap ringan. Misalnya, dalam memupuk perempuan yang


menabur ke tanaman dan suaminya yang mengangkut pupuk dalam
jumlah banyak; dan saat panen suaminya yang mendodos tandan
buah sawit, sementara istrinya mengumpulkan dan memunguti
brondolnya. Kedua, keikutsertaan mereka mengerjakan kebun sawit
sebenarnya justru menambah beban kerja mereka sebagai ibu rumah
tangga, bahkan bisa dikatakan eksploitasi terselubung sebagai
buruh tak dibayar. Ini perlu dicek dalam kontrak keberangkatan
sebagai PIR-Trans apakah ada ketentuan istri petani PIR-Trans juga
dianjurkan terlibat dalam pengerjaan kebun sawit. Atau juga dalam
Kepres No. 1 Tahun 1986, apakah ketentuan hyang mengarah pada
anjuran bahwa istri petani membantu suami juga dalam kebun sawit.
Dikhawatirkan bahwa ketentuan seorang peserta transmigran harus
mengajak istri ini memanfaatkan culture yang ada dalam masyarakat
yang dilegalkan dalam ajaran PKK bahwa istri adalah pendamping
suami, yang sekaligus akan membantu pekerjaan suami dalam
pengelolaan kebun sawit. Adanya stereotype atau pelabelan istri
pendamping suami ini pada gilirannya telah membawa perempuan
pada beban ganda karena harus membantu suami di ranah public.
Dalam hal ini sebagai istri petani harus membantu suami di kebun
sawit. Di sini juga menimbulkan kerancuan status bagi istri para
petani PIR-Trans, apakah mereka dapat dikatakan sebagai petani
sawit atau tidak. Secara fakta lapangan mereka bekerja di kebun
sawit, tetapi mereka tidak memiliki tanah sendiri.

37

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 1. Jenis pekerjaan keluarga Transmigrasi


di Perkebunan Kelapa sawit
Jenis Pekerjaan
Membuka lahan

a.

Membabat

b.
c.

Menebas ranting
Menebang pohon besar

d.

Memindahkan hasil babat

Suami
keterangan
(Lelaki)

e. Menumpuk ranting
f. Membakar rumput
g. Membawa ranting pulang
Penanaman Bibit
a. Membeli bibit
b. Mengukur jarak pohon
c. Melubangi tanah
d. Menggali
e. Menanam bibit
Perawatan dan pemeliharaan
a. Membersihkan piringan
b. Memupuk
c. Langsir pupuk
d. Menyemprotkan pestisida
e. Membersihkan lahan kebun
Panen hasil kebun
a. Mendodos buah
b. Mengegrek buah
c. Memungut buah jatuh
(mbrondol)
d. Menggendong buah di
keranjang
e. Mendorong buah di troli
Penjualan
a. Menghitung hasil timbangan
b. Mencatat hasil timbangan
c. Menerima hasil penjualan
d. Mengatur keuangan keluarga
Jumlah

38

Istri
(Perempuan)

15

16

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

c. Di ranah Keluarga Petani Sawit


Sebagai istri atau ibu rumah tangga, sebagian besar dari mereka
mengerjakan pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci,
mengurus anak, dan pekerjaan rumah lainnya. Relasi dalam
keluarga petani PIR-Trans dapat dikatakan sudah egaliter. Hal ini
dapat dilihat cara mereka berkomunikasi. Perempuan-perempuan di
Pekasau seperti Tukiyem (40) dan Tunem(55) menunjukkan percaya
diri mereka saat berkomunikasi di depan suami mereka, tidak
menunjukkan malu-malu, minder, atau takut salah omong. Ini juga
ditunjukkan oleh Maryatni (26) dan Kamsiah (45) dari Sungai Rie.
Artinya sudah ada kebebasan berpendapat di dalam keluarga. Rasa
percaya diri dalam berpendapat ini juga ditunjukkan selama dalam
forum FGD.
Bagi perempuan sendiri, keterlibatannya di kebun sawit tidak
dirasakan sebagai beban, tetapi lebih sebagai kerja sama dalam
berkeluarga. Berdasarkan pengakuan perempuan di Pekasau, saat
mereka mempunyai anak kecil mereka tidak ikut bekerja di kebun,
tetapi lebih mengurus anak. Artinya, keikutsertaan istri bekerja di
kebun merupakan sampingan saat mereka mempunayi waktu luang
saja. Akan tetapi, saat anak-anak mereka sudah bisa mengurus dirinya
sendiri, mereka kembali ikut ke kebun. Biasanya perempuan bangun
lebih pagi dari suaminya untuk menyiapkan bekal ke kebun, seperti
yang diungkapkan Kamsiah dari Sungai Rie. Sepulang dari kebun pun
mereka masih harus membereskan rumah, seperti mencuci peralatan
masak dan mencuci pakaian, serta menyiapkan untuk makan malam.
Dari sini bisa dilihat bahwa perempuan memang lebih panjang jam
kerjanya dari suami.
Baik di desa Pekasau, Trans-Kuaro atau Sungai Rie rata-rata
perempuan sudah memilki kebebasan untuk berorganisasi, istri
petai PIR-Trans rata-rata mereka mempunyai kegiatan dan aktif di
luar rumah, seperti pengajian atau kelompok Yasinan. Mereka juga
mempunyai ikut dalam kegiatan olah raga seperti bola volley, serta
kegiatan budaya seperti kelompok Jatilan.
39

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Dalam keluarga petani sawit sudah ada kesadaran tentang


kesetaraan hak pendidikan antara anak-laki-laki dan perempuan.
Mereka tidak membedakan peluang antara anak laki-laki dan
perempuan dalam menikmati pendidikan. Rata-rata keluarga petani
sawit berniat menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan
tinggi, baik laki-laki atau perempuan.
Beberapa petani sawit, seperti Arfansyah dari Trans-Kuaro, telah
memiliki kesadaran terkait hak waris perempuan tidak dibedakan
dengan anak laki-laki. Bahkan, salah satu responden dari Sungai Rie,
yaitu Kamsiah, telah mengolah kebun sawit atas namanya sendiri
yang merupakan warisan orang tuanya. Kamsiah ini merupakan
penduduk lokal. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan PIRBun yang berlaku, dimana hampir semua surat kepemilikan lahan
diatasnamakan nama suami bukan yang lain. Walaupun peserta
transmigrasi adalah suami istri.
Kekerasan yang terjadi dalam keluarga petani sawit sangat
kasusistik, jadi tidak terjadi secara umum. Rata-rata dalam relasi
keluarga, suami memandang istri sebagai partner yang dihormati. Ini
bisa dilihat dalam menemui tamu meraka duduk setara dan memberi
kesempatan istri untuk bicara, seperti pasangan Tukiyem-Kabit dan
Tunem-Karjo di Pekasau; Arfansyah-Jamiyem (Trans-Kuaro) dan
Maryatni-Awaludin di Sungai Rie. Sementara keluarga yang saat
wawancara tidak ada suaminya tetap menunjukkan percaya diri
yang tinggi dan terlihat runtut saat memberikan penjelasan, seperti
Kamsia (Sungai Rie); Salimah (Kendarom) dan Norma(Pekasau). Hal
ini menandakan mereka sudah terbiasa mengungkapkan pendapat
dalam keluarga. Namun begitu, ada juga keluarga yang saat
wawancara berlangsung, istri diam dan duduk menjauh dan tidak
diberi kesempatan oleh suaminya untuk memberikan pendapatnya.
Misalnya yang terlihat di keluarga Ketua Adat, Amin. Dalam
keluarga ini terlihat sekali bahwa suami sangat dominan dan istri
masih belum berani asertif mengungapkan pendapatnya.

40

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 2. Jenis Pekerjaan Domestik


1.

Jenis Pekerjaan
Pagi
a. Bangun duluan
b. Menyiapkan bekal di kebun
c. Memandikan anak
d. Mencuci pakaian

e. Membersihkan rumah
f. Menjaga anak
Sore
f. Memasak
g. Memandikan anak
h. Mencuci piring
i. Menyetrika
Malam
f. Menjaga anak
g. Merapikan tempat tidur
Jumlah

Istri
(Perempuan)

Suami
(Lelaki)

keterangan

12

Ketimpangan Peran Domestik dan Peran di Kebun


Melihat table 1 dan 2 di atas, terlihat ketimpangan yang menyolok
beban pekerjaan antara suami dan istri. Peran istri di kebun sawit
meski status meraka hanya membantu pekerjaan suami, tetapi secara
kuantitatif hampir sama jumlahnya dengan suami (15/16). Dapat
dikatakan apa yang bisa dikerjakan suami bisa dikerjakan oleh
istri. Ini terbalik ketika kita melihat bagaimana peran suami dalam
kerja-kerja domestic. Di sini terlihat bahwa peran suami dalam
kerja-kerja domestic sangat minim (12/2). Kalau boleh dijumlahkan
maka perbandingan anatar jumlah pekerjaan suami istri adalah 27
item untuk istri dan 18 untuk suami. Dari fakta inilah kita dapat
mengatakan terjadinya beban ganda untuk istri di keluarga petani
sawit Trans-PIR.
Selain itu, angka 15/16 kuantitatif jenis pekerjaan di kebun sawit
juga bisa membuktikan bahwa perempuan sebenarnya bisa manjadi
41

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

petani yang berstatus yang mampu memikul tanggung jawab


kepemilikan tanah, daripada sekedar petani sawit semu yang hanya
membantu suami. Berdasar temuan ini maka bisa dikatakan bahwa
paradigma perempuan pendamping suami merupakan simbolic
order yang telah membawa perempuan pada posisi subordinatif
dan tereksploitasi. Stereotype bahwa perempuan pendamping suami
telah menenggelamkan potensi perempuan yang sebenarnya mereka
punya. Situasi ini telah menghalangi perempuan mendapat akses
sumber-sumber produksi seperti tanah, kredit, dan akses program
pembangunan lainnya.
Inisiatif Perempuan untuk Memperbaiki Kehidupannya
Perempuan istri petani PIR-Trans rata-rata telah mempunyai inisiatif
untuk merubah atau memperbaiki kehidupannya, khususnya istri PIRTrans dari Jawa. Sebenarnya Inisiatif ini bisa dikategorikan menjadi
2 yaitu, inisiatif kolektif dalam semangat sebagai anggota keluarga
dan inisiatif individu. Inisiatif kolektif ini ditunjukkan sejak mereka
mempunyai keinginan mengikuti program transmigrasi. Beberapa
keluarga di Pekasau, seperti keluarga Tarjo dari Sleman dan istrinya
Tunem mengakui bahwa inisiatif mengikuti transmigrasi muncul
dari istrinya untuk memperbaiki kehidupnnya. Inisiatif kolektif
ini juga muncul setelah dilokasi PIR-Trans. Beberapa perempuan
istri petani sawit melakukan usaha kecil-kecilan untuk menambah
penghasilan keluarga, seperti membuka warung, berjualan keliling
desa, membuat makanan kecil, dll.
Sementara inisiatif individu ini terkait dengan ketidakdilan yang
menimpanya. Inisiatif ini diekspresikan dengan pemberontakan
seperti minggat dari rumah saat mendapat kekerasan dari suami.
Ada juga yang mengungkapkan dengan membalas dendam atas
perlakukan buruk suaminya(tidak dinafkai, dicemburui berlebihan,
dilarang beraktivitas) dengan mencari perhatian pada laki-laki di
luar. Terlepas apa yang dilakukan ini buruk, tetapi dari apa yang
mereka lakukan itu, tidak terlihat mereka adalah perempuan yang
42

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak berdaya dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpanya.


Akan tetapi, kesadaran untuk mengambil inisiatif saat menerima
ketidakadilan ini juga tercermin dari jawaban saat FGD. Dari FGD
ini terdapat beberapa jawaban yang menjelaskan bahwa ketika
mendapat ketidakadilan , misalnya dilarang keluar rumah untuk
berorganisasi mereka akan menjelaskan pada suaminya sebagai
anggota masyarakat mereka harus bergaul karena kalau ada masalah,
sebagai anggota masyarakat tidak bisa dihadapi sendirian. Ada juga
yang menjelaskan akan menempuh jalan bermusyawarah.
Petani Sawit di Mata non-petani
Status petani di mata warga non-petani seperti pedagang, aparat
desa, karyawan, dll dipandang sebagai pekerjaan yang prospek
atau tidak dipandang sebagai status yang rendah. Ini terlihat dari
keinginan mereka yang sebenarnya juga ingin mempunyai atau
membeli lahan untuk kebun sawit, seperti yang diungkapkan oleh
Nurul (40) pedagang Soto Lamongan di Kuaro asal Kediri. Fenomena
ini juga ditegaskan oleh informasi dari Jaka, salah satu aparat di
kecamatan Kuaro yang menyatakan bahwa sebenarnya di wilayah di
Long Ikis yang lahannya diperuntukkan untuk persawahan sebagai
cadangan pangan di Kabupaten Paser. Akan tetapi, dengan inisiatif
para pemilik sawah, di Long Ikis banyak lahan yang dikonversi
menjadi lahan sawit karena dianggap lebih menguntungkan secara
ekonomi. Kecendenrungan ini pada akhirnya akan berdampak pada
produksi pangan, khususnya beras di Kabupaten paser. Namun
begitu, penduduk lokal sebagian besar masih menanam padi ladang
sebagai cadangan pangan mereka sendiri, seperti yang dilakukan
oleh penduduk Trans Kuaro.
Relasi Petani PIR-Trans dan Trans-Lok
Relasi antara PIR-Trans pendatang dan PIR-Trans Lok cukup
harmonis. Tidak ada riwayat terjadi persengketaan. Berdasarkan
pengakuan Normah (warga Pekasau), bahkan dia yang lebih dulu
43

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

datang di lokasi desa DIY, ikut menyambut kedatangan transmigran


dari Jawa pada tahun 1987. Di mata petani sawit lokal,seperti yang
diungkapkan oleh warga Trans-Kuaro, petani pendatang dipandang
lebih ulet, bekerja keras atau pun lebih punya pengalaman. Mereka
juga tidak menunjukkan rasa kecemburuan, justru ada keinginana
untuk belajar kepada petani pendatang. Bahkan, beberapa mereka
sudah terjadi interaksi akulturisasi seperti berbaur dalam ikatan
perkawinan. Pak Dugau yang merupakan penduduk asli mempunyai
menantu orang Jawa.
Kenyataan lain ada pendangan yang kontroversi, misalnya yang
diungkapkan oleh Mutiara Manurung, seorang bidan puskesmas
pembantu yang juag memilki kebun sawit cukup luas. Dia menjadi
petani sawit lebih sebagai usaha bisnis yang dikelola secar professional
dengan kalkulasi yang terliti. Misalnya bibit harus berkualitas dan
pupuk juga harus memadai sehingga menghasilkan buah sawit yang
bagus dan melimpah. Menurut Mutiara, para petani sawit trans ratarata pemalas dan tidak merawat kebunnya dengan benar sehingga
tidak menghasikan buah yang maksimal.
Sawit di mata Tokoh Adat
Menurut pernyataan Pak Amin Sidar, keberadaan kebun sawit ada
dampak posisti negatifnya. Secara ekonomi memang ada kemajuan,
pertumbuhan jalan-jalan, took-toko, meskipun banyak warga
pendatang yang pempunyai usaha. Secara sosial, budaya konsumtif
sangat tinggi. Banyak masyarakat yang kredit motor dan banyak
yang ditarik kembali oleh dealer karena tidak bisa membayar
cicilan. Banyak pula berdatangan tukang kredit dari Jawa. Secara
lingkungan, sejak ada perkebunan sawit air mulai berkurang, bila
kemarau 1 bulan saja air sumur sudah kering dan harus mencari air
sejauh dua km.

44

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

2. Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah


Gambaran Umum
a. Sejarah Desa Olumokunde.
Dahulunya penduduk dari kampung tua Penggoli yang letaknya
lebih kurang 9 km arah selatan dari desa Olumokunde adalah
kampung asal penduduk desa Olumokunde. Awal pindahnya
penduduk kampung Penggoli adalah ketika datang Bangsa Belanda
ke kampung Penggoli. Selain mengajarkan kepercayaan mereka
yaitu agama Kristen, mereka juga mengajarkan cara bermasyarakat
yang baik serta menganjurkan untuk mencari tempat pemukiman
yang baik dan lokasi perkebunan atau pertanian/persawahan yang
baik pula.
Saat itu, nama kepala suku atau kepala kampung Penggoli adalah
Latempa alias Tagarupu alias Papa Mpoo, yang sangat menerima
tawaran dari orang Belanda tersebut, dan bersama masyarakat mulai
mencari tempat yang layak bagi pemukiman dan lokasi pertanian/
persawahan atau perkebunan. Kepala suku bersama anggota
masyarakatnya dalam pencarian lokasi yang dimaksud kemudian
menemukan dataran Sungai Kamba, yang selain cocok untuk
perkampungan juga dilihat bahwa areal persawahan cukup luas
dengan sungai Kamba sebagai jaminan mutlak untuk menunjang
irigasi/ pengairan persawahan.
Dengan waktu yang tidak begitu lama, masyarakat kembali
bermusyawarah untuk memulai membuka lahan baru yang akan
digunakan untuk pemukiman penduduk, dan mereka secara gotong
royong mulai membangun rumah-rumah penduduk. Setelah selesai
membangun perumahan secara gotong royong, masyarakat kembali
bermusyawarah untuk menentukan nama desa mereka. Dari hasil
musyawarah bersama disepakati untuk menamai desa tersebut
OLUMOKUNDE, dimana nama tersebut berasal dari dua kata
yaitu OLU yang artinya selesai atau usai, dan MOKUNDE yang
artinya naik. Sehingga ketika menggabungkan dua kata tersebut,
45

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

maka nama desa tersebut mempunyai arti sudah selesai dibangun


kampung baru, kemudian barulah ditempati atau naik ketempat
tersebut, demikianlah arti nama dari desa Olumokunde.
b. Demografi Desa Olumokunde
Desa Olumokunde merupakan desa yang terletak diujung timur
wilayah kecamatan Pamona Timur, Kab. Poso. Sulawesi Tengah,
dengan jarak 10 Km dari kota kecamatan dan 110 KM dari
kota kabupaten. Desa Olumokunde memiliki tiga dusun yaitu dusun
Sukma, dusun Toronggili dan dusun Ranomotali, dengan batas
wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara dengan Desa Kamba
Sebelah Timur dengan Desa Tamonjongi, Kab. Morowali
Sebelah Barat dengan Desa Matialemba
Sebelah Selatan dengan Desa Pancasila 1.
Desa Olumokunde merupakan desa yang dikelilingi oleh
pegunungan. Dengan jumlah penduduk 247 KK, diantaranya
237 KK laki-laki dan 10 KK perempuan, mayoritas penduduknya
adalah bertani dan berkebun. Secara keseluruhan penduduk desa
berjumlah 1024 jiwa, dimana 518 jiwa penduduk laki-laki dan 506
jiwa penduduk perempuan.
Luas wilayah desa Olumokunde adalah 4.166 ha, yang
diantaranya terbagi menjadi :
Pemukiman
: 120 ha
Persawahan
: 686 ha
Perkebunan (termasuk lahan baru) : 460 ha
Padang rumput
: 850 ha
Hutan
: 1.500 ha
Rawa (persiapan sawah baru)
: 500 ha.
Dilihat dari pembagian wilayah desa Olumokunde, terlihat
bahwa mata pencaharian masyarakat di desa tersebut mayoritas adalah
46

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

bertani/berkebun. Setiap keluarga rata-rata memiliki lahan pertanian/


perkebunan seluas 12 ha/KK. Desa Olumokunde ini juga memiliki
tanah adat seluas 800 ha, dimana tanah adat tersebut dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk berkebun dan bertani sebagai mata pencaharian
masyarakat di desa tersebut. Menurut informasi yang didapat dari
kepala desa Olumokunde, tanah di desa Olumokunde saat ini belum
ada yang memiliki sertifikat, dimana bukti kepemilikan tanah masih
berupa surat-surat berharga dengan tanda tangan dan saksi.
c. Infrastruktur dan sumberdaya alam yang dimiliki Desa.
Fasilitas di desa Olumokunde seperti balai desa, kantor desa,
sekolah dasar, puskesmas pembantu, transportasi umum, tempat
ibadah sudah cukup memadai, akan tetapi sampai hari ini, pasokan
listrik masih menjadi kendala, dimana Desa Olumokunde dan desa
disekitarnya hanya dapat menikmati listrik pada malam hari, dan
masih terjadi pemadaman bergilir. Listrik hanya hidup dari jam 18.00
00.00 malam, sementara dari pagi hingga petang, listrik tidak
berfungsi. Begitu pula untuk informasi dari media massa, kepala
desa Olumokunde mengatakan, sampai hari ini belum ada surat
kabar yang masuk secara rutin, sehingga informasi yang didapat oleh
masyarakat desa Olumokunde masih sangat terbatas.
Begitu pula dengan sarana pendidikan, dimana desa Olumokunde
hanya memiliki sekolah dasar, sehingga untuk bersekolah di SMP,
SMA atau perguruan tinggi harus menempuh jarak berpuluh-puluh
kilometer. Hal ini dapat kita lihat tingkat pendidikan masyarakat di
desa Olumokunde yang rata-rata hanya sampai tingkat SD atau SMP,
walaupun saat ini, sudah terdapat beberapa yang masih di perguruan
tinggi.
Secara bangunan pemukimam, bentuk bangunannya bervariasi,
dimana sebahagian kecil berbentuk tanah, sebahagian masih berlantai
tanah dan berdinding bambu, berlantai tanah dan berdinding papan,
dan sebahagian besar masih menggunakan atap dari rumbia. Desa
Olumokunde merupakan desa yang sangat kaya akan sumberdaya
47

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

alam, sehingga masyarakat di desa tersebut sangat bergantung pada


hasil alam, selain bertani/berkebun, untuk menambah penghasilan
masyarakat juga banyak yang mencari damar atau rotan di hutan.
Selain damar dan rotan, desa Olumokunde juga terdapat kebun
kakao, vanili dan buah-buahan lainnya. Akan tetapi, sebahagian
kecil masyarakat juga berdagang sebagai mata pencaharian mereka.
Walaupun hampir seluruh masyarakat di desa Olumokunde telah
memiliki lahan persawahan, akan tetapi masih terdapat masyarakat
yang bekerja sebagai buruh tani. ...upah buruh tani untuk menanam
bibit dihitung per are, 1 are diupah Rp.5.000,-. Minimal setiap
buruh menanam bibit 10 are, sehingga dalam satu hari buruh bisa
mendapatkan upah Rp. 50.000,-... ungkap ibu Yasmin.
Situasi tersebut semakin marak dilakukan setelah ada
perkebunan kelapa sawit, dimana pemilik sawah yang bekerja di
perkebunan kelapa sawit juga pada akhirnya membayar buruh tani
untuk mengurus sawahnya, karena mereka sudah terlanjur bekerja
di perkebunan kelapa sawit jadi tidak mempunyai waktu lagi untuk
mengurus sawah dan kebun mereka Ada juga yang sengaja bekerja
menjadi buruh pembibitan untuk mengumpulkan uang. Uang
yang terkumpul dari hasil bekerja di pembibitan tersebut kemudian
digunakan untuk membayar upah buruh tanam di sawah mereka.
Saat ini, masyarakat juga sudah mulai berkebunan kelapa
sawit melalui swadaya (baca : kebun mandiri), dilakukan secara
berkelompok, dimana anggota kelompok perkebunan sawit baru
berjumlah 9 orang. Pembentukan kelompok tersebut diinisiasi
oleh kepala desa. Lahan yang digunakan untuk pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit seluas 18 ha, dimana masing-masing
anggota memiliki lahan 1-2 ha untuk perkebunan kelapa sawit.
Kelompok perkebunan kelapa sawit ini terbentuk pada awal 2010.
Selain kelompok perkebunan kelapa sawit, di desa Olumokunde
juga terdapat kelompok petani sawah dan kebun yang terbentuk
pada 2008. Pembentukan kelompok tersebut difasilitasi oleh dinas
pertanian. Dinas juga memberikan sejumlah traktor dan membentuk
48

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

kelompok simpan pinjam bagi petani, yang sampai saat ini masih
berjalan.
Sosial Ekonomi dan budaya perempuan di Desa
Olumokunde dan Desa Kamba.
Olumokunde dan Kamba adalah dua desa yang berada di
kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah.
Bertetangga dengan Desa Pancasila lokasi pembibitan kelapa sawit
milik perusahaan sawit Jaya Abadi anak atau group dari perusahaan
perkebunan sawit PT. Astra.
Masyarakat Olumokunde dan Kamba adalah anak suku Pamona
yang menganut Adat Pakambia. Mereka mengakui bahwa tidak ada
perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan baik di publik
maupun di ranah domestik, ini menurut pengakuan beberapa warga
ketika kami melakukan wawancara mendalam dan diskusi terfokus
dengan kelompok perempuan buruh pembibitan kelapa sawit,
kelompok perempuan non buruh dan tokoh agama (pendeta) serta
tokoh adat (tetua adat). Peran laki-laki dan perempuan memang
sama namun dalam menjalankan peran tersebut beban perempuan
lebih berat dibandingkan dengan laki-laki, utamanya dalam ranah
domestik, misalnya untuk kerja-kerja rumah tangga (menyiapkan
makanan, membersihkan rumah, mencuci dan mengasuh anak tetap
menjadi pekerjaan yang dominan dibebankan kepada perempuan.
Laki-laki atau suami hanya membantu ketika istri lagi berhalangan
atau sakit. Begitupun pekerjaan di luar rumah seperti kesawah dan
kebun laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di sawah dan
kebun namun perempuan terlebih dahulu harus memasak atau
menyiapkan makanan baik untuk bekal kesawah atau ke kebun
maupun makanan untuk anak-anak yang ditinggal di rumah sebelum
berangkat kerja ke sawah atau ke kebun. Beban ini bertambah ketika
perempuan bekerja di pembibitan karena harus bangun lebih cepat
dari biasanya. Penjelasan lebih lanjut pada bagian lain tulisan ini.
Rata-rata setiap warga di Desa Olumokunde dan Desa Kamba
49

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

memiliki sedikitnya 1 ha sawah dan 1 ha kebun coklat per-keluarga.


Sumber pendapatan ekonomi mereka adalah dari hasil sawah dan
kebun. Sebelum adanya perusahaan sawit yang melakukan pembibitan
di Desa Pancasila yaitu sekitar 5 km dari Desa Olumokunde dan Desa
Kamba. Perempuan di kedua desa tersebut mayoritas adalah bertani
dan berkebun, selain bertani dan berkebun, juga memanfaatkan
hasil hutan berupa damar dan rotan. Selebihnya ada yang buka kios
menjual kebutuhan sehari-hari.
Setiap tahunnya mereka menggarap sawah dua kali dalam
setahun. Ketika musim tanam selesai maka mereka mengurus
kebun mereka (coklat, kacang mente dan manggis) atau ke hutan
mengambil rotan dan damar. Paroh waktu kadang mereka menyiangi
padi, nanti setelah padi siap dipanen maka mereka balik lagi ke
sawah untuk panen. Pendapatan dari mengolah sawah normalnya
dua kali setahun. Untuk 1 ha bisa menghasilkan 5-6 ton gabah satu
kali panen, jadi bisa dapat 15 juta, kadang juga terjadi gagal panen
karena terjadi kekeringan/puso pada musim kemarau atau banjir jika
curah hujan tinggi, menurut salah satu peserta FGD dari kelompok
buruh dan mantan buruh. Untuk kebun coklat, sekarang mereka
panen hanya dua bulan sekali karena terserang penyakit. Sedangkan
manggis berbuah sekali saja dalam setahun. Satu pohon manggis
yang besar bisa menghasilkan 50 kilogram satu kali musim. Kalau
pohon yang sudah tua bisa mencapai 100 kilogram per pohon per
musim. Tahun lalu satu kilo seharga lima sampai tujuh ribu kalau
langsung dibawa ke Poso.
Secara sosial ekonomi, mereka merasa berhasil ketika mereka
mandiri secara ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan pangan,
sandang dan papan atau dengan kata lain mereka tidak tergantung
pada orang lain. Memiliki tanah atau lahan yang luas, mampu
menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang perguruan tinggi atau
akademi adalah merupakan ukuran kesuksesan ekonomi. Biasanya
anak-anak mereka sekolahkan di Makassar atau Palu, minimal
di Kabupaten Poso. Saat ini kesuksesan ekonomi juga diukur dari
50

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

kemampuan memiliki sepeda motor. Kesuksesan lain ketika jadi


Pegawai Negeri Sipil/PNS atau pegawai di kantor.
Kehadiran PT Sawit Jaya Abadi
PT Sawit Jaya Abadi (PT SJA) group Astra masuk ke Desa
Pancasila pada akhir tahun 2007 dan memulai operasinya diawal
tahun 2008. Luas konsesi untuk pembibitan adalah 72 Ha diatas lahan
atau tanah yang disewa dari masyarakat di Desa Pancasila selama
3 tahun. Masyarakat berlomba-lomba mengontrakkan tanahnya ke
perusahaan. Ada 37 warga yang mengontrakkan tanahnya dengan
luas lahan yang disewa rata-rata 2-3 ha dengan nilai kontrak yang
ditetapkan oleh pereusahaan melalui calo adalah Rp 500.000/ ha
selama tiga tahun. Lahan yang dikontrakkan umumnya lahan tidur
yang umumnya tanah rawa dan perbukitan.
Menurut Kepala Desa Olumokunde, lahan yang ditempati oleh
PT Sawit Jaya Abadi merupakan lahan yang akan digunakan sebagai
program pencetakan sawah baru. Program tersebut merupakan
program recovery pemerintah pasca konflik Poso dengan jumlah dana
Rp 825 juta untuk luas lahan 125 Ha yang terbagi untuk di tiga desa,
yakni 40 Ha untuk Desa Pancasila, 40 Ha untuk Desa Olumokunde
dan 45 Ha untuk Desa Kamba. Data yang diperoleh dari Humas
PT. Astra, bahwa bibit yang disemai di Desa Pacasila diperuntukkan
bagi lokasi-lakasi yang telah disiapkan oleh PT Astra seluas 8.500
Ha di 12 desa. 5000 Ha berada di Pamona Timur, meliputi Desa
Pancasila, Masewe, Kancuu, Tiu, taripa, Pattiro, Matialemba dan
Olumokunde. Selebihnya 3.500 Ha lahan telah disediakan oleh PT.
Astra berada di Kalimantan dan Sulawesi Barat.
Selain PT. SJA di Desa Pancasila, juga terdapat beberapa
perusahaan perkebunan lainnya seperti PTPN XIV di Kabupaten
Morowali dengan luas 110 Ha lahan masyarakat yang sudah
dibebaskan dan mulai dilakukan penanaman seluas 80 ha. Selain
itu juga terdapat perusahaan PT. Sinar Mas yang juga melakukan
kegiatan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Morowali.
51

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perwakilan kantor PT Sawit Jaya Abadi bertempat di Matialemba.


Pilihan tempat di Matialemba, selain untuk memudahkan informasi
dan transportasi juga dikarenakan di Matialemba termasuk wilayah
yang akan ditanami sawit. Akan tetapi pembukaan lahan untuk
penanaman mengalami kendala, karena lahan yang akan digunakan
masih merupakan lahan transmigrasi. Hasil wawancara dengan
mandor PT. SJA, mengatakan bahwa lahan yang sekarang digunakan
untuk pembibitan sawit belum mendapat izin dari pemerintah daerah.
Karena lahan untuk penanaman sawit atau kebun belum siap maka
perusahaan menghadapi masalah penanaman kebun, makanya bibit
yang semestinya sudah harus ditanam di kebun menjadi tertunda.
Dari sejumlah 925.000 bibit yang tersedia diawal, hanya 822.000
bibit yang hidup atau layak tanam. Kemudian masalah lagi dengan
lahan hingga tidak bisa segera ditanam.. Dimana idealnya bibit
sudah harus mulai ditanam ketika sudah berumur Sembilan bulan
hingga lima belas bulan dan maksimal delapan belas bulan. Namun
saat ini bibit sudah melebihi dari 30 bulan, jadi bibit tersebut sudah
seharusnya ditanam dan kalaupun ditanam akan mempengaruhi
kwalitas buah dan tentu saja berdampak pada produktifitas.
PT. SJA merupakan perkebunan skala besar, dimana perusahaan
mengelola perkebunan yang luasnya lebih dari 10.000 ha. Perusahaan
menggunakan sistem buruh harian lepas (BHL) dan buruh borongan.
Sebelum perusahaan melakukan kegiatan pembibitan di Pancasila, kami
tidak pernah dapat informasi baik dari perusahaan maupun dari pemerintah
setempat, apalagi dimintai pendapat. Dapat Informasi dari teman ketika
diajak untuk bekerja di pembibitan sawit. Demikian ungkapan dari
perempuan di Desa Olumokunde dan Desa Kamba. Baik yang bekerja
sebagai buruh maupun yang tidak bekerja di pembibitan sawit.
Mereka (perempuan) baru tahu tentang pembibitan sawit di
Desa Pancasila ketika perusahaan sedang mencari buruh untuk
pembibitan. Informasi ini diperoleh dari mandor perusahaan yang
disampaikan kepada kepala desa dan selanjutnya disampaikan kepada
warga. Sebelumnya perempuan di desa Kamba dan Olumokunde
52

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak mengetahui akan adanya kegiatan pembibitan perkebunan


kelapa sawit di desa tetangga (Desa Pancasila). Namun akhir-akhir
ini, informasi tentang pekerjaan di perkebunan kelapa sawit didapat
dari teman mereka yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Jadi informasi tentang pembibitan kelapa sawit, memang
rata-rata mereka /buruh mendapatkan informasi dan diajak oleh
teman yang memang terlebih dulu sudah bekerja disana. Ada yang
dapat informasi dari iparnya yang kerja eskavator. Sosialisasi oleh
perusahaan hanya melibatkan Kepala Desa, Sekretaris Desa dan
perangkat Desa. Sedangkan dengan Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat,
Tokoh Agama serta beberapa masyarakat, sosialisasinya tentang harga
kontrak tanah dan kesempatan kerja bagi warga desa. Sosialisasi
tersebut hanya dilakukan di Desa Pancasila. Menurut Tokoh Adat
olumokunde dan Kamba, mereka tidak pernah diundang untuk
membicarakan rencana pembukaan lahan perkebunan sawit.Pada
sosialisasi tersebut, perusahaan berjanji untuk melakukan perbaikan
jalan yang ada di Pancasila dan sekitarnya sehingga akses ekonomi
dapat berjalan dengan baik.
Peran Perempuan di Pembibitan Kelapa Sawit
Sejak dibukanya pembibitan kelapa sawit di Desa Pancasila
pada akhir tahun 2007 . Perempuan dari Desa Olumokunde dan
Desa Kamba banyak yang menjadi buruh harian lepas atau sering
disingkat BHL di pembibitan sawit. Selain system BHL perusahaan
juga menggunakan system buruh borongan. Dengan hanya
menyetor foto copy KTP mereka bisa langsung bekerja sebagai buruh
tanpa harus membuat surat lamaran dan perusahaan juga tidak
memberikan kontrak kerja. Buruh borongan biasanya melibatkan
keluarga mereka dalam pekerjaan di pembibitan, biasanya yang
dilibatkan adalah anak untuk membantu mempercepat penyelesaian
pekerjaan mereka.
saya diajak teman, katanya marijo kita kerja di kelapa sawit,
disana bagus gajinya baik dan lancer, saya bilang nanti bulan baru.
53

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Jadi pada saat awal bulan berikutnya saya ikut dan langsung tulis
nama dan langsung ditempatkan di bulbek, isi tanah. Dalam sehari
bisa isi tanah 100 biji koker. Kita bisa cepat pulang dan saya juga
biasa dibantu anak saya (buruh pembibitan)
Perusahaan lebih banyak memilih mempekerjakan buruh
perempuan dari pada laki-laki karena perusahaan menganggap
perempuan lebih teliti dibandingkan laki-laki, karena ini baru
bibitnya sehingga butuh perawatan intensif dan sangat hati-hati. Itu
alasan mengapa banyak mempekerjakan buruh perempuan dari pada
laki-laki, ujar mandor dari perusahaan.
kalian harus berhati-hati memperlakukan bibit sawit, sebagaimana
kalian memperlakukan atau merawat bayi kalian, demikian
ungkap Dona, ibu rumah tangga, eks buruh. Jenis pekerjaan
perempuan buruh adalah mulai dari isi polibag/ koker atau
isi tanah, isi baby, penyiangan, pemberian pupuk hingga
penyemprotan dengan upah yang sama untuk semua jenis
pekerjaan. kami harus angkat sendiri pupuk dalam 1 karung yang
kira-kira beratnya 50 60 kilo. Sehari biasanya dapat angkat 1020 karung(kesaksian Lintodipira, eks buruh pembibitan).
Di bagian penyemprotan, chemis dan pemupukan semua
dilakukan oleh buruh perempuan, tidak ada buruh laki-laki. Buruh
yang bekerja untuk penyemprotan bibit harus mengangkat sendiri
tangki semprot yang berisi air yang sudah dicampur dengan bahan
kimia yang akan disemprotkan ke bibit sawit. Buruh laki-laki hanya
bekerja memindahkan dan mengatur bibit yang sudah dimasukkan
dalam polybag.

54

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 3. Perbandingan Pekerjaan laki-laki dan Perempuan di


Pembibitan PT SJA






Laki Laki
Buat parit
Menyemprot/ Chemis
Buat Jembatan untuk Arco
Buat got / Petak
Buat Atap untuk tempat bibit
Ecer Pupuk
Angkat bibit

Perempuan
Memilih bibit Untuk di tanam
Chemis/Penyemprotan
Isi Poly bek ( koker besar )
Isi baby (Koker kecil)
Menanam bibit Sawit
Cabut rumput
Angkat Tanah
Ayak tanah
Angkat pupuk
Menyemprot/Chemis
Memindahkan bibit ke Petak
Membersihkan Lar
Meluruskan bibit Kecambah

Dari tabel di depan, tergambar diskriminasi yang dialami buruh


perempuan, bahwa beban buruh perempuan dan laki-laki berbeda,
dimana beban berlebih dilakukan oleh perempuan, sementara upah
yang diberikan sama antara laki-laki dan perempuan. Selain itu
jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan juga sangat rentan
terhadap kesehatan termasuk kesehatan reproduksi perempuan,
seperti penyemprotan/chemis.
Kontrak kerja dan Upah buruh
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses untuk
menjadi buruh pembibitan tidak ada prosedur khusus. Cukup
memberikan KTP kepada mandor (untuk memastikan bahwa mereka
penduduk local), kita akan langsung dapat bekerja dan tidak ada
kontrak kerjasama. Informasi tentang upah dan jam kerja didapatkan
dari mandor, selain itu juga diberikan buku harian. Informasi ini
berbeda dari Mandor dimana perusahaan memberikan kontrak kerja
kepada buruh yang akan bekerja di pembibitan. Kontrak kerja yang
disiapkan sebanyak 2 copy, satu untuk buruh dan satunya untuk
perusahaan.
55

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Secara umum tidak ada yang membedakan antara upah buruh


perempuan dengan laki-laki. Dengan jam kerja perhari 7-8 jam dan
1 jam waktu untuk istirahat, mereka diupah Rp 31.600, per hari.
Ada kenaikan upah sejak 2010 mejadi Rp 32.800. upah dibayarkan
setiap bulan pada tanggal 25. Jika bekerja penuh dalam satu bulan,
buruh mendapatkan gaji sebesar Rp 786.800. Dalam pengupahan
ini tidak dibedakan antara buruh yang sudah lama bekerja dengan
baru bekerja.
Tunjangan untuk hari raya/THR diperoleh jika buruh sudah
mencapai 60 hari kerja secara kontiyu selama tiga bulan. Jika selama
tiga bulan berturut-turut tidak mencapai 60 hari kerja sampai hari
raya idul fitri maka buruh tidak mendapatkan THR. Sementara untuk
mandor, mereka mendapatkan beberapa tunjangan. Selain THR
mandor juga mendapat tunjangan beras, pengobatan, jamsostek dan
bonus akhir tahun.
Perlindungan dan Keselamatan Kerja
Selama menjadi buruh pembibitan, buruh perempuan tidak
mendapatkan perlindungan maupun keselamatan kerja. Bahkan
peralatan kerja tidak memadai. Akhirnya para buruh membawa
peralatan sendiri berupa parang, cangkul dan ember.
Pada awal kami bekerja, perusahaan tidak menyediakan peralatan
yang cukup. Kami Cuma dikasi kain untuk masker, baru beberapa bulan
terakhir perusahaan menyediakan masker dan peralatan lainnya (Ibu
Wiwik (nama samaran) buruh perempuan). Peralatan kerja dan
masker diberikan oleh perusahaan karena buruh perempuan sering
mengeluh dan minta langsung ke mandor. memang buruh yang minta,
karena kalau kami melakukan penyemprotan, itu kan kami menghirup obat
matadol, decis dan semua itu obat-obat beracun. Jadi kami menghadap
langsung ke mandor masing-masing. Waktu itu saya katakan kemandor pak
kalau bisa kami dibijaksanai masker karena selama ini kami sudah banyak
menghirup racun dan masuk ke paru-papru kemudian Mandor lapor ke
Asisten(ibu Pince, eks buruh pembibitan).
56

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Buruh yang bekerja untuk penyemprotan bibit, harus


mengangkat sendiri tangki semprot yang berisi air yang sudah
dicampur dengan bahan kimia yang akan disemprotkan ke bibit sawit.
Tiga bulan terakhir ini, khusus bagi buruh penyemprot sudah mulai
diberikan segelas susu putih setiap pagi sebelum bekerja. Menurut
pihak perusahaan susu tersebut sebagai penetral racun akibat bahan
kimia yang dihirup dari aktivitas penyemprotan tersebut.
Menurut perawat yang bertugas di puskesmas pembantu Desa
Olumokunde, dimana buruh perempuan banyak yang berobat dengan
mengeluh sakit pinggang, pegal-pegal dan gatal-gatal. Bahkan ada
yang mengalami alergi seluruh tubuh. Namun menurut informasi
yang didapatkan dari buruh bahwa perusahaan tidak memberikan
pengobatan jika ada buruh yang mengalami sakit sebagaimana
banyak dialami oleh perempuan semenjak bekerja di pembibitan
kelapa sawit.
...dahulu perusahaan pernah mengatakan akan memberikan
jamsostek kepada buruh, dengan mengajukan syarat-syarat. Akan
tetapi sampai saat ini, tidak pernah diberikan, walaupun sudah
terpenuhi syarat-syaratnya... (Ibu Yani (nama samaran) buruh
perempuan).
Dampak sawit terhadap perempuan dari tinjauan social
dan ekonomi
Sebelum perusahaan kelapa sawit beroperasi terdapat berbagai
aktivitas perempuan, tetapi setelah perusahaan kelapa sawit datang,
aktivitas perempuan dipenuhi kegiatan memenuhi ekonomi keluarga.
Beberapa kegiatan sebelum perkebunan kelapa sawit hadir diantara
kegiatan PKK, Dasawisma, dan kegiatan keagamaan. sebelum
perkebunan datang, kita belajar memasak, menjahit, informasi kesehatan
dan lain sebagainya ungkap ibu Jasmin dan Yosrin Peleli.
Sekarang hampir semua orang sudah bekerja menjadi buruh
di pembibitan sawit dan bahkan bekerja di perkebunan milik
Sinarmas di Morowali, maka kegiatan dasawisma dan PKK sudah
57

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

tidak berjalan. Malahan dulunya setiap perayaan kemerdekaan 17


Agustus, perempuan di kampung tersebut aktif dalam perlombaan
olah raga dan kesenian rakyat seperti vocal group,Torompio, Dero
asli, dan Volly. Sekarang tidak adalagi kegiatan tersebut karena semua
sudah sibuk bekerja menjadi buruh sawit. Dengan adanya sawit maka
mematikan kesenian rakyat khususnya bagi ibu-ibu. Buktinya sekarang
lagi perayaan 17 Agustus tidak ada perempuan dari Desa Olu dan Desa
Kamba yang ikut lomba, ungkap ibu Lian alias mama Yosua salah satu
peserta diskusi kelompok terfokus/FGD dari kelompok perempuan
non buruh. Kami tidak bisa lagi berpartisipasi atau ikut perlombaan 17
Agustus karena sudah tidak sempat, waktu habis untuk bekerja di sawit,
walupun Sabtu dan Minggu libur tapi kami gunakan untuk ibadah kegereja
dan juga istirahat, (Ibu Dona dan ibu Deice Romba).
Tabel 4. Peran laki-laki dan Perempuan di Masyarakat
Laki Laki
Terlibat dalam organisasi gereja
(Komisi Bapak)
Terlibat dalam Posintuvu Duka dan
Pesta Kawin di Desa (membuat
tenda, mencari kayu bakar,
membuat tempat memasak, ibada
duka, membuat peti mayat)
rapat-rapat di Desa (pengurus air
bersih)
Terlibat dalam kepengurusan
Lembaga Adat sebagai ketua
lembaga adat
Ikut Terlibat budaya Mesale
(Gotong royong di Sawah dan
Kebun) Dalam Kampung.

Perempuan
Terlibat dalam Organisasi Gereja
(Komisi Ibu)
Ikut Terlibat dalam Posintuvu
Duka dan Pesta Kawin di Desa
(memasak, menyiapkan makanan
untuk di makan bersama,
mengurusi mayat, membuat hiasan
untuk mayat ).
Ikut Terlibat budaya Mesale
(Gotong royong di Sawah dan
Kebun) Dalam Kampung.
Terlibat dalam Kepengurusan
Lembaga Adat di Desa sebagai
bendahara di lembaga adat

Tabel di depan menggambarkan peran perempuan di desa


Olumokunde diranah-ranah publik mulai diperhitungkan, dimana
perempuan terlibat di kegiatan-kegiatan keagamaan dan adat.
Walaupun peran perempuan didalam kegiatan-kegiatan tersebut
58

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

juga masih dalam ranah domestik, misalnya terlibat dalam posintuvu


duka dan pesta kawin, perempuan berperan sebagai memasak,
menyiapkan makanan untuk di makan bersama, mengurusi mayat,
membuat hiasan untuk mayat.
Motivasi ibu-ibu atau perempuan yang bekerja di pembibitan
sawit adalah ingin mendapat tambahan ekonomi atau pendapatan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak. karena
disini sulit untuk mencari pekerjaan, menambah keuangan. Anak-anak
sekolah, sedikit-sedikit minta uang sedangkan buah cokelat sekarang kurang
karena kena penyakit (Ibu Pince).
Sebelum adanya perkebunan sebahagian besar perempuan
di kampung ini bekerja di sawah dan ada juga yang mengerjakan
kebun coklat . dan setelah panen disawah maka perempuan hanya
menganggur. Namun setelah ada pembibitan sawit maka perempuan
bekerja sebagai buruh. Supaya ada tambahan pendapatan sambil
menunggu panen. Uang dari Upah bekerja buruh dipakai untuk membantu
kebutuhan keluarga. (Ibu Dahliana, pernah bekerja sebagai buruh
pembibitan di Pancasila selama kurang lebih dua tahun). Alasan lain
mengapa banyak perempuan mau menjadi buruh pembibitan adalah
dengan memperoleh gaji atau upah setiap bulan, selain menambah
pendapatan keluarga juga bisa kredit barang dengan sistem cicil
bayarnya setiap bulan setelah gajian.
Oleh karena itu, terjadi perubahan pola konsumsi yang cendrung
konsumtif. Sekarang mereka (buruh) berani berutang di warung
atau kios bahkan mengambil barang kredit dari pedagang keliling
dari luar kampung yang sengaja datang untuk menjajakan barang
dagangan mereka. Padahal dahulu sebelum bekerja di pembibitan
sawit, mereka tidak biasa berhutang. Tidak hanya sebatas kebutuhan
hari-hari dan alat-alat rumah tangga, bahkan banyak dari mereka
berani kredit motor. Walaupun pada akhirnya motor tersebut
tersebut ditarik oleh dialer karena tidak sanggup membayar cicilan.
Karena terbelit utang maka terpaksa harus bekerja terus jadi buruh.
Kami sepakat mencicil motor karena biasanya kalau ada pekerjaan di
59

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

gereja saya terlambat berangkat kerja, jadi bapak bilang ambil saja motor
supaya bisa diantar kalau mau bekerja. Dengan uang muka 2,3 juta rupiah
dan angsuran selama tiga tahun. Itulah kenapa saya katakan sudah semakin
berat saat bekerja di sawit dibandingkan dulu ketika masih bertani, karena
sudah tinggi tingkat kebutuhan hidup (Ibu Pince, buruh sawit) bekerja
bertani adalah pekerjaan utama, bekerja sebagai buruh hanyalah
selingan atau mengisi waktu saja setelah selesai menanam dan panen
di sawah, daripada nganggur. Masyarakat Desa Olumokunde dan
Desa Kamba sadar bahwa menggarap sawah dan berkebun lebih
menguntungkan secara ekonomi dan tenaga, dari pada bekerja
sebagai buruh banyak tenaga terkuras dan tidak bisa mengatur
waktu karena terikat dengan perusahaan. Jika kerja di sawah dan di
kebun sendiri bisa mengatur waktu.
Bekerja di pembibitan menambah beban kerja perempuan karena
jam empat subuh sudah harus bangun memasak dan menyiapkan
makanan untuk bekal dan keluarga (suami dan anak). Bahkan
sebelum mereka dijemput oleh mobil perusahaan, mereka bahkan
harus bangun sebelum jam empat karena harus berjalan kaki ke lokasi
pembibitan. Enak punya usaha sendiri atau kerja di kebun dan di sawah
sendiri daripada kerja di perusahaan pembibitan kelapa sawit. Bekerja di
pereusahaan banyak bahayanya, bisa banyak penyakit atau bermasalah
dengan kesehatan. Jam 4 subuh sudah berangkat dan sore baru sampai
dirumah. Anak-anak juga tidak terurus. (Ibu Yosron (nama samaran),
buruh kebun). Kerja dilapangan setengah mati, pokoknya jadi buruh itu
susah. Kepanasan dan kehujanan harus diterima. Selain bertanggungjawab
pekerjaan rumah tangga, juga bertanggungjawab pekerjaan di luar rumah,
dari pagi sampai sore dan setiba dirumah juga masih harus menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga (Ny Diah (nama samaran), buruh kebun).

60

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 5. Peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga


Rumah tangga non-buruh
Laki-laki
Perempuan
06.00 Minum 05.30
kopi sambil
Bangun pagi
bercerita
Mengurus anak
Jam 06.30
Menyelesaikan
Pergi ke
Pekerjaan Rumah
Sawah/kebun
Tangga
12.00 13.
memasak
00 Istirahat di 07.00
kebun /sawah Pergi Bekerja di
13.00 -16.00
Sawah/Kebun.
bekerja
1200 13.00
kembali
Istrahat makan
16.00 Mencari
siang di kebun
kayu bakar
13.00 16.00
17.00 Pulang Bekerja kembali
17.30 22.00 16.00
Istirahat sambil Pulang bersama
minum kopi
16.00 22.00
Makan malam Mengurus anak
Nonton
Menyiapkan
Televisi
makan malam.
Istrahat
Mengurus anak
Istirahat

Rumah tangga buruh


Laki-laki
Perempuan
6.00
3.30
Minum kopi
Bangun pagi
sambil bercerita Menyelesaikan
Jam 6.30
Pekerjaan
Pergi ke Sawah/
Rumah Tangga
kebun
memasak
12.00 13. 00 5.30
Istirahat di
Menunggu
kebun /sawah
jemputan
13.00 -16.00
di terminal
bekerja
penjemputan
kembali
buruh
16.00
7.00
Mencari kayu
Bekerja sebagai
bakar
buruh di
17.00
pembibitan
Pulang
1200 13.00
17.30 22.00 Istrahat makan
Istirahat sambil
siang di kebun
minum kopi
13.00 15.00
Makan malam Bekerja kembali
Nonton Televisi 16.00
Istrahat
Menunggu
mobil jemputan
untuk pulang
16.00 22.00
Mengurus anak
Menyiapkan
makan malam.
Mengurus anak
Istirahat

Tabel di depan menggambarkan bagaimana buruh perempuan


yang bekerja di perkebunan kelapa sawit memiliki beban ganda,
karena selain mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci dan
mengurus anak, perempuan juga harus bekerja di perkebunan kelapa
sawit. Beban yang dialami perempuan lebih berat dibandingkan lakilaki. Selain itu, tabel diatas juga menunjukkan jumlah jam kerja
61

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

perempuan lebih panjang dan jam istirahat lebih singkat dari pada
laki-laki.
Pandangan Perempuan terhadap Buruh Perempuan di
Perusahaan Sawit
Bekerja di perkebunan/ pembibitan adalah pekerjaan yang setengah
mati. Karena kerja lapangan jadi panas-panasan. Pokoknya jadi
buruh itu susah mana kepanasan dibawah terik matahari dan kalau
hujanpun terpaksa harus hujan-hujanan. Makanya lebih enak punya
usaha sendiri atau kerja bisnis dari pada diperusahaan. Berjualan
kebutuhan sehari-hari dirumah selain dapat untung sekaligus bisa
memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Mana bekerja di perusahaan
bermasalah denga kesehatan. Bisa penyakitan. Berangkat jam 4
subuh tiba dilokasi jam setengah 7 dan langsung menyiapkan alat
kerja, jam 7 sudah muai kerja jam 2 baru pulang dan sampai
dirumah bisa jam lima sore bahkan kadang setengah enam sore.
Mana lagi kerja tidak menggunakan alat pengaman misalnya bagian
pemupukan dan racun, semakin berisiko terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja (Dian (nama samaran) buruh perkebunan).
Ada yang berpendapat bahwa adanya perusahaan yang
mempekerjakan buruh perempuan, memang ekonomi perempuan
sedikit terbantu. Ada peningkatan ekonomi bagi mereka yang
bisa mengatur keuangan. Dulu berkekurangan dan sekarang agak
mendingan. Namun banyak juga menjadi konsumtif, sehingga
tambahan pendapatan tidak signifikan atau sebenarnya tidak
memperoleh nilai tambah. Dengan mengandalkan gaji bulanan
jadi berani cicil barang berupa kursi, lemari, belanga, televisi
sampai kredit motor. Gaji bulanan bahkan tidak menutupi utang
di kios karena pengambilan barang melebihi dari hari kerja. Hal ini
terkadang melenceng dari prediksi. Bisanya tiba-tiba sakit dan tidak
bisa pergi kerja akibatnya hari kerja tidak penuh dalam sebulan dan
berimplikasi pada jumlah gaji yang diterima.
62

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Orang yang kerja sawit akhirnya beli beras karena tidak menggarap
sawah. Ada yang setiap bulan kerjanya gali lobang tutup lobang
(mama Nona, petani dan ibu rumah tangga).
Masalah baru yang muncul tidak hanya terkait dengan
keuangan. Bagi ibu-ibu yang punya balita atau anak kecil setiap hari
dari subuh hingga sore meninggalkan anak-anak mereka. Pagi-pagi
buta ibunya sudah ke pembibitan, ayahnya juga harus ke sawah atau
ke kebun, neneknya juga kesawah. Akhirnya anak-anak mereka titip
di tetangga. Anak-anak tidak terurus, akhirnya tetangga yang urus
padahal mereka masih butuh perhatian kedua orang tua terutama
dari ibunya. Karena tidak mendapatkan bimbingan dari orang tua
berakibat anak tidak naik kelas. Ketika anak tidak naik kelas, kembali
perempuan yang disalahkan, karena dianggap menerlantarkan anak.
Ini juga merupakan beban ganda bagi perempuan.
Bersawah dan berkebun jauh lebih baik dan menguntungkan
karena bisa mengatur waktu kerja, orang yang kerja sebagai buruh,
dikejar-kejar waktu. Tidak leluasa lagi ikut kegiatan di kampung
termasuk jika terjadi duka, (Irnambasali, petani dan ibu rumah
tangga). Setelah dihitung-hitung, lebih untung kerja berkebun dan
bertani. Kalau urus sawah dan kebun adalah untuk jangka panjang,
sementara di sawit tidak pasti (Mama Intan, Ibu rumah tangga).
Saya lebih memilih buka warung kopi dari pada kerja jadi kuli.
Tidak ada yang perintah-perintah dan marah-marah (Sri-Pamona,
usaha warung kopi).

63

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Tabel 6. Berbagai aktivitas (Suami, Istri, Anak Perempuan dan


Anak Laki-laki ) Sejak Bangun sampai Istirahat Malam
Suami












Bangun pagi
Minum Kopi
Sarapan
Berangkat ke
Sawah/kebun
Istirahat
Makan siang
Kerja
Pulang ke
rumah
Istirahat/
Minum kopi
Mandi
Menonton TV
Istirahat/Tidur

Istri

















Bangun pagi
Cuci Piring
Masak Air
Masak Nasi
Buat Sarapan
Buat Teh/Kopi
Membersihkan
Rumah
Mandi
Mengurus anak
ke sekolah
Sarapan
Mencuci
Pakaian
Memasak
untuk makan
siang
Pergi ke Sawah
Bekerja di
Sawah
Mandi
Memasak
untuk makan
malam
Mengurus
anak/Suami
Istirahat/tidur

Anak Laki-laki AnakPerempuan











Bangun
Pagi
Mandi
Berangkat
ke sekolah
Pulang ke
rumah
Makan
Bermain
Mandi
Makan
Menonton
TV
Istirahat/
tidur

Bangun Pagi
Mencuci piring
Mandi
Sarapan
Berangkat ke
sekolah
Pulang sekolah
Bermain
Mandi
Membantu
membersihkan
rumah
Membantu
menyiapkan
makan malam
Menonton TV
Tidur/ Istirahat

Tersingkirnya Peran-Peran sosial perempuan


Kehadiran perkebunan kelapa sawit, juga sedikit demi sedikit
menghilangkan ruang-ruang sosial bagi perempuan. Seperti yang
diungkapkan perempuan di desa Olumokunde pada diskusi, dimana
sejak mereka bekerja menjadi buruh perkebunan kelapa sawit,
mereka tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
khusus perempuan di desa tersebut, seperti PKK, dan kegiatan
sosial lainnya. Hanya 1 -2 kegiatan sosial yang masih dilakukan oleh
perempuan, seperti kegiatan-kegiatan keagamaan.
Padahal ruang-ruang sosial tersebut sangat bermanfaat bagi
perempuan di desa Olumokunde. Seperti yang disampaikan oleh Ibu
64

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Yasmin, dimana ruang tersebut dipergunakan perempuan sebagai


ruang bertukar informasi dan pengetahuan perempuan. Bahkan
juga menghasilkan kreatifitas-kreatifitas bagi perempuan di desa
Olumokunde.
Hal tersebut menjadikan akses perempuan terhadap informasi
dan mendapatkan pengetahuan, secara tidak langsung dan perlahanlahan dihilangkan oleh kehadiran perusahaan perkebunan kelapa
sawit.
Minimnya Informasi bagi Perempuan.
Dari awal kehadiran perusahaan perkebunan tersebut, perempuan
tidak pernah terinformasikan, menurut perempuan, hal tersebut
mungkin karena pembibitan kelapa sawit tersebut tidak dilakukan
di desa mereka. Padahal jika dilihat dampak dan pengaruh yang juga
muncul dengan adanya perusahaan, perempuan di desa Olumokunde
seharusnya dilibatkan dalam proses awal kehadiran perusahaan, dan
diminta pendapatnya, seperti menjadi buruh perkebunan kelapa
sawit.
Banyaknya perempuan dari desa Olumokunde yang menjadi
buruh di perkebunan kelapa sawit, selain karena faktor ekonomi
keluarga, mereka juga belum terinformasi dengan jelas mengenai
dampak yang akan mereka terima dengan bekerja di perkebunan
kelapa sawit, terutama bagi buruh perempuan yang mendapatkan
bagian penyemprotan bibit kelapa sawit.
Bahkan ketika mereka-pun telah bekerja sebagai buruh
perkebunan kelapa sawit, hanya sebagaian perempuan yang
diinformasikan mengenai dampak yang akan mereka alami dengan
bekerja sebagai buruh diperkebunan, khususnya bagi mereka yang
bekerja sebagai penyemprot bibit, yang banyak bersentuhan dengan
bahan-bahan kimia dan pestisida.
Temuan diatas, menjelaskan bahwa perusahaan telah
mengabaikan hak-hak buruh perempuan, dalam hal informasi dan
terutama dalam perlindungan kerja. Walaupun saat ini, perusahaan
65

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

telah menyediakannya beberapa fasilitas perlindungan kerja seperti


masker, hal tersebut tidak terlepas dari desakan buruh perempuan,
bahkan perlindungan yang diberikan masih sangat minim, jika dilihat
dengan dampak yang mereka alami. Beban yang dipikul oleh buruh
perempuan juga lebih berat dan rentan dibandingkan buruh laki-laki
(dapat dilihat pada tabel 3 perbandingan pekerjaan buruh laki-laki
dan buruh perempuan di PT.SJA), akan tetapi secara upah tidak ada
perbedaan. Hal ini menjadi tidak adil bagi buruh perempuan, dimana
dengan memikul beban yang berat dan rentan terhadap gangguan
kesehatan, diperlakukan sama dengan buruh laki-laki yang beban
pekerjaannya sedikit ringan dari buruh perempuan.
Pengabaian tersebut dikarenakan, perusahaan masih menganggap
buruh perempuan lemah. Akan tetapi disatu sisi perusahaan
mengatakan, bahwa buruh perempuan sangat dibutuhkan, karena
dengan ketelitian mereka dalam merawat bibit kelapa sawit. Tenaga
yang digunakan oleh buruh perempuan dan beban yang harus dipikul
buruh perempuan dalam melakukan tugasnya, tidak sebanding
dengan upah yang mereka hasilkan setiap harinya.
Bertambahnya Beban Domestik
Ketidak adilan yang dialami perempuan, tidak hanya di
perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perempuan juga kembali
mengalami ketidak adilan di dalam rumah tangga mereka, dimana
konstruksi sosial masih menempatkan perempuan dalam kerja-kerja
domestik. Pengalaman perempuan di desa Olumokunde menjelaskan
bahwa sejak mereka bekerja menjadi buruh perkebunan, keluarga
dan anak-anak mereka menjadi terlantar. Ini menunjukkan bahwa
beban dalam mengurus anak dan rumah tangga masih berada di
pundak perempuan, sehingga ketika sesuatu yang kurang baik terjadi
terhadap keluarga mereka, maka perempuan kembali disalahkan.
Situasi tersebut, juga dikarenakan bahwa di dalam diri
perempuan tersebut masih terkungkung dengan konstruksi sosial
yang ada, padahal pekerjaan-pekerjaan domestik tidak hanya
66

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi juga menjadi tanggung


jawab laki-laki.
Bekerja diperkebunan kelapa sawit, membuat waktu istirahat
perempuan semakin sedikit. Dahulu dengan bekerja sebagai petani
disawah, perempuan masih dapat mengatur waktu istirahat bagi
mereka. Akan tetapi semenjak bekerja menjadi buruh diperkebunan
kelapa sawit yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka
( 1 jam), perempuan semakin sulit untuk menentukan waktu
istirahat bagi diri mereka, karena ketika pulang dari perkebunan,
mereka disibukkan dengan urusan domestik, seperti menyiapkan
makan malam keluarga, mengurus anak, dan sebagainya.
Terabaikan Perlindungan Hak Hak Perempuan
Didalam CEDAW yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia
menjadi UU No. 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, telah secara eksplisit menjelaskan
tentang hak-hak perempuan, baik hak sipil politik maupun hak
ekosob.
Namun, hak-hak perempuan tersebut belum diimplementasikan
dengan maksimal, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun dalam
program. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perkebunan
kelapa sawit, seperti UU Perkebunan, saat ini masih belum menyentuh
kepentingan perempuan, bahkan belum mengintegrasikan UU No.7
tahun 1984 tersebut. Kepentingan komoditas dan ekonomi lebih
diutamakan dibandingkan memperhatikan aspek perlindungan
dan keselamatan perempuan. Hal tersebut menjadikan perempuan,
sering menjadi korban dengan adanya kehadiran perkebunan kelapa
sawit.
Eksploitasi tenaga buruh perempuan secara terus menerus dan
sistematis terjadi di areal perkebunan kelapa sawit, bahkan juga
terjadi di ranah domestik. Seperti yang dijelaskan diatas, dimana
beban-beban domestik terus bertambah dan berimplikasi terhadap
eksploitasi tenaga perempuan.
67

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Perempuan, yang masih dilihat sebagai entitas ke-dua, telah


menimbulkan ketidak adilan terhadap mereka sampai saat ini, bahkan
semakin diperburuk dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit.
Dimana ruang-ruang perempuan untuk dapat mengekspresikan diri
mereka, semakin terbatas, bahkan kebiasaan-kebiasaan perempuan
mulai terkikis.
Hal tersebut, baru disadari perempuan, ketika perusahaan telah
ada, walaupun masih pada tahapan pembibitan dan dilakukan di
desa tetangga Olumokunde (desa Pancasila), karena dari awal proses
perempuan tidak pernah dilibatkan, sehingga informasi mengenai
dampak perkebunan kelapa sawit tidak pernah terinformasi dengan
mereka. Pandangan partiarkhi masih melihat bahwa pengetahuan dan
pengalaman perempuan tidak pernah didengar dan dipertimbangkan
dalam setiap rapat rapat pengambilan keputusan.

68

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

BAB 5

Kesimpulan dan
Rekomendasi
Kesimpulan
Kebijakan Orde Baru yang mereduksi perempuan sebatas tiga
I (istri, ibu, dan istri rumah tangga) ikut berkontribusi cukup besar
bagi peran dan posisi perempuan di perkebunan kelapa sawit.
Perempuan dicitrakan sebagai bersifat lemah lembut, tidak berbicara
dengan keras, tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak
mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami, serta menjadi istri
yang penurut dan anak perempuan yang patuh. Lewat konstruksi
sosial yang terbangun diatas berdampak terhadap perempuan yang
kemudian dimanfaatkan dan dijinakkan. Hal ini yang semakin
menguatkan bentuk-bentuk ketidak adilan yang dialami perempuan
terutama dengan kehadirannya perkebunan kelapa sawit.
Temuan-temuan dilapangan baik di Kalimantan Timur dan
Sulawesi Tengah menunjukkan telah terjadi berbagai bentuk
ketidakadilan yang dialami perempuan seperti tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan, sampai beban ganda yang dialami
perempuan buruh perkebunan kelapa sawit. Tetapi peran dan posisi
perempuan tersebut umumnya tidak dirasakan sebagai suatu bentuk
ketidakadilan oleh masyarakat bahkan oleh negara dikarenakan
konstruksi sosial yang dilekatkan pada perempuan.

Rekomendasi Paser
1. Program transmigrasi mungkin tidak akan semassif, tetapi
pengalaman terkait kebijakan perempuan pendamping istri
telah menghambat perempuan untuk memilki lahan sendiri bisa
69

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

dijadikan pelajaran pada program-program lainnnya yang sejenis,


seperti Reforma Agraria dalam konteks redistribusi tanah.
2. Perlu adanya peningkatan kapasitas bagi petani, khususnya
perempuan dalam pengelolaan kebun mereka agar berproduksi
lebih optimal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
produktivitas perkebunan kelapa sawit sangat tergantung
terhadap peran-peran perempuan.
3. Terkait dengan gaya hidup konsumtifisme dalam keluarga petani
sawit, maka perlu adanya pendidikan manajemen keluarga.
4. Perlu dibentuk kelompok-kelompok perempuan (istri petani
atau istri) yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan
perempuan.

Rekomendasi Poso
1. Penyelesaian terhadap konflik lahan yang terjadi antara desa
Kamba (Kamba dan desa Olumokunde) dengan desa Pancasila
perlu melibatkan perempuan.
2. Negara memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi
buruh perempuan perkebunan kelapa sawit yang masih belum
terpenuhi, khususnya hak-hak perempuan seperti cuti melahirkan,
cuti haid.
3. Penguatan dan pemahaman terhadap perempuan di desa
Olumokunde dan desa Kamba tentang dampak dan proses
kehadiran kelapa sawit, hal ini terkait dengan adanya informasi
perluasan lahan perkebunan kelapa sawit di 12 desa tersebut.
4. Pemerintah melakukan monitoring terhadap perusahaan
perkebunan kelapa sawit, tidak hanya dari aspek manajemen
perusahaan tetapi juga dari aspek buruh/tenaga kerja.
5. Memastikan kebijakan perkebunan memperhatikan dan
memastikan aspek perlindungan dan pemenuhan buruh
perempuan.
6. Mulai mengkampanyekan dan advokasi kepada kementerian
pemberdayaan perempuan, departemen perkebunan dan
70

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

departemen ketenaga kerjaan terkait dengan dampak perkebunan


kelapa sawit terhadap perempuan.
7. Pemerintah daerah seharusnya juga membuka solusi lain selain
perkebunan kelapa sawit yang bertumpu kepada sumber-sumber
lokal dan usah-usaha rakyat, termasuk sumber daya yang dimiliki
perempuan.

71

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

Daftar Pustaka

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta.


Pustaka Pelajar
Ritzer, G. & Goodman, D.J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan
Edisi Keenam. Jakarta. Prenada Media.
Reinharz, S. 2005. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial.
Terjemahan. Jakarta. Women Research Instute.
Yin, R. K. 2003. Studi Kasus: Desain dan Metode. Terjemahan. Jakarta.
PT Raja Grafindo Persada.
Gelder, J. W. & Wakker, E. 2003. The Risks Financial Forest Conversion.
Paris. Profundo & Aid Environment.
Kartodirdjo & Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Jogjakarta.
PT Indomedia.
Surambo, A. 2007. Sistem Kelola Rakyat Vs Sistem Kebun Besar. Bogor.
Perkumpulan Sawit Watch
Surambo, A. 2008. Sejarah Singkat Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.
Bogor. Perkumpulan Sawit Watch
Glover, R.J. 1984. Contract Farming and Smallholder Outgrower Schemes
in Lees Developed Countries. World Depelopment
George, Susan. 1977. How The Other Half Dies Harmondsworth
Penguin Books. I
Wiradi, G. 2006. Tinjauan Ringkas Masalah Perkebunan Model-PIR.
Bahan diskusi bulanan SW. Bogor. Perkumpulan Sawit Watch.
Breman, Jan. 1983.Control of land and Labour in Colanial Java.
Holland. Foris Publication.
Kamis, M. 2007. Jalan Panjang Konstitusionalisme di Indonesia. Di
72

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

download di http://203.130.230.4/index2.php?option=com_
content&do_pdf=1&id=82 pada tanggal 18 Januari 2010.
Noer, F. 2002. Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria
dalam Dinamika Panggung Politik, dalam Endang Suhendar et.
Al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi.Bandung.
Akatiga
Wulan, T. R. 2008. Pemetaan Gerakan Perempuan di Indonesia dan
Implikasinya terhadap Penguatan Publik Sphere di Pedesaan.
Jurnal Studi Gender dan Anak Vol 3 No 1. Purwokerto. PSG STAIN
Purwokerto
Cedaw. 2008. Komentar Akhir Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan atas Laporan Ke 4 dan ke 5 Indonesia yang disampaikan
dalam sesi ke-39 Sidang Umum CEDAW tanggal 27 Juli 2007 New
York. Terjemahan. Jakarta. CWGI.

73

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Memperlemah Posisi Perempuan

74

Anda mungkin juga menyukai