Laporan Penelitian
Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Memperlemah
Posisi Perempuan
Penulis:
Achmad Surambo
Elsa Susanti
Endang herdianti
Fatilda Hasibuan
Inda Fatinaware
Maya Safira
Puspa Dewy
Rahmawati Retno Winarni
Tini Sastra
ii
Kata Pengantar
Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Memperlemah
Posisi Perempuan
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar
iii
Bab 1
Pendahuluan
Bab 2
Sistem Perkebunan Kelapa Sawit
Bab 3
Gender Sebagai Sebuah Alat Analisis 25
Bab 4
Temuan-temuan dan Analisis
31
Bab 5
Kesimpulan dan Rekomendasi
69
Daftar Pustaka
72
vi
BAB 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin
meluas. Jika tahun 1980-an hingga tahun 1990-an perkebunan
kelapa sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan sebagian
Kalimantan, saat ini perkebunan kelapa sawit sudah memasuki
Sulawesi bahkan Papua. Luas perkebunan kelapa sawitpun meningkat
signifikan, jika Tahun 2005 telah mencapai 5,4 juta ha, tahun 2009
malah sudah mencapai 7,5 juta ha (kompas 4 Januari 2010). Data lain
menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
adalah 9,1 juta ha (Sawit Watch, 2010). Berkenaan dengan CPO-nya
telah dihasilkan lebih dari 20 juta ton CPO dimana hampir 60 %-nya
diekspor (orientasi pasar). Berkenaan dengan rencana pengembangan
perkebunan kelapa sawit terdata lebih dari 20 juta ha lahan yang
akan dialokasikan oleh beberapa Pemerintah Provinsi di Indonesia
(Sawit Watch, 2010).
Dari beberapa temuan terungkap bahwa pembangunan
perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan beberapa dampak
negatif (Marti, 2008) yakni
- Banyak masyarakat adat kehilangan tanah dan akses ke air serta
tidak mendapat penghidupan yang layak
- Komunitas-komunitas yang dulunya mandiri dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, sekarang terjerat hutang dan harus
berjuang keras untuk memperoleh akses ke pendidikan dan
memenuhi kebutuhan pangan mereka
- Tradisi dan budaya juga turut hancur oleh proses ekspansi
1
Metode Penelitian
Paradigma utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma teori kritis dan paradigma partisipatif yakni riset aksi
partisipatif dalam perspektif feminist (feminist partisipatory action
research, FPAR) dimana dalam penelitian ini perempuan merupakan
subjek utama bukan menjadi objek penelitian. Riset menggunakan
metode ini sebenarnya bukan sekedar mengumpulkan data atau
membuat buku tetapi lebih bagaimana perempuan mampu
mendokumentasikan pengalaman hidupnya dan mampu mengambil
4
BAB 2
Sistem Perkebunan
Kelapa Sawit
Pendahuluan
Sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang
termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara
berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan
dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan
melalui sistem perekonomian kolonial. Perkebunan pada awal
perkembangannya hadir sebagai sistem perkeonomian baru yang
semula belum dikenal yaitu sistem perekonomian pertanian komersial
yang bercorak kolonial. Sistem yang dibawa oleh pemerintah kolonial
atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya
adalah sistem perkebunan eropa, yang berbeda dengan sistem kebun
(garden sistem) yang telah lama berlaku di negara-negara berkembang
pada masa pra-kolonial (Kartodirdjo & Suryo (1991)).
Bila kita coba bandingkan dua model pengembangan perkebunan
tersebut jelas terdapat perbedaan yang nyata. Istilah sistem kebun
(garden sistem) agaknya bertumpang tindih dengan beberapa istilah
diantaranya sistem hutan kerakyatan (shk), agroforestry, wilayah
kelola rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan terdapat istilah lokal
yang sebenarnya mencerminkan tata kelola ala masyarakat adat atau
masyarakat tradisional. Beberapa istilah yang tumpang tindih dengan
garden system diantaranya repong damar, simpunk, tembawang, dan
lain sebagainya. Berbagai terminologi ditemukan untuk menyebut
pelaku garden system tersebut diantaranya perkebun mandiri,
masyarakat tradisional, masyarakat adat, dan sebagainya.
9
Luasan lahan
Orientasi
Perusahaan Perkebunan
Investor hanya sebagai
pemodal dan tidak ikut
menanam langsung
tanaman
Skala besar dimana
biasanya diatas 25 Ha
Capital
Tanaman yang
dikembangkan
Perkebunan Rakyat
Ikut bekerja menanam
langsung tanaman
tersebut
Tidak terlalu luas
dimana kebanyakan
kurang dari 10 Ha
Untuk mencukupi
kebutuhan keluarga
Tenaga kerja (Padat
tenaga kerja)
Tanaman yang sudah
dikenal dan dapat
memenuhi kebutuhan
rumah tangga
Fase
Soekarno
12
Aktor-aktor
berpengaruh
Perusahaan asing skala besar,
Pemerintahan
Soekarno diantaranya militer,
tokoh-tokoh
pergerakan
nasional
Fase Soeharto
orde reformasi
Fase inilah perkebunan massif dikembangkan. Dengan model pembangunan yang menggunakan tiga prinsip yakni stabilitas, pertumbuhan,
dan pemerataan. Salah satu kebijakan Pemerintahan Soeharto adalah
mengeluarkan undang-undang tentang penanaman modal asing. Salah
satu konsep yang dikembangkan oleh Pemerintahan Soeharto adalah
konsep kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang merupakan
bagian revolusi hijau, dimana dalam suatu perkebunan skala besar kita
akan mendapati inti dan plasma. Inti mempunyai kewajiban untuk menyediakan saprotan (sarana produksi tani), jaminan pasar, penjamin di
Bank; sedangkan plasma mempunyak kewajiban menyediakan lahan,
tenaga kerja, dan menyerahkan hasil-hasil perkebunan tersebut ke inti.
PIR-perkebunan dilakukan pertama menggunakan sumber keuangan
dari Bank Dunia tahun 1977 di dua lokasi yakni Alue Merah, Aceh dan
Tabenan, Sumatra Selatan. Proyek ini dikenal dengan NES (nucleus
estate smallholder), bahkan proyek ini dikembangkan sampai NES V.
Untuk wilayah Kalimantan, proyek PIR dikembangkan di dua wilayah
yakni Sanggau, Kalimantan Barat dan Paser, Kalimantan Timur pada
perangkatperangkatnya,
Perusahaan
perkebunan
skala besar,
NGO, serikatserikat Petani,
dan masyarakat adat, serta
serikat-serikat
buruh
13
Kolonial
Perusahaan-perusahaan
luar negri langsung (deli
mascapay, Lonsum)
Post-Kolonial
Perusahaan-perusahaan
dalam negri yang
dapat modal dari luar
negri (Astra, sinar mas,
lonsum)
jaman dikembangkan
Tanaman yang
dikembangkan
Jaman Kemerdekaan
dimana mulai massif
era Soeharto sampai
sekarang
Tanaman yang laku
keras di pasar (sawit,
kopi, dll)
Ijin operasionalnya
selalu mengakui
menggunakan tanah
negara dengan prinsip
domein varklaring
Yang dipekerjakan
Orang-orang bawahan
(buruh kasar) adalah
inlander, sedangkan
pimpinannya banyak
orang asing
selalu mengakui
menggunakan tanah
negara dengan
menggunakan prinsip
Hak Menguasai
Negara (HMN)
Orang-orang
indonesia sendiri tetapi
sudah larut untuk
kepentingan mencari
untung sendiri-sendiri
Pelaku
Konflik tanah,
perusahaan dibantui
oleh pemerintah,
15
NES
Pir-Khusus
Pir-Bantuan
Pir-Trans
2 ha
2 ha
2 ha
2 ha
0 ha
0,75 ha
0,75 ha
0,50 ha
Lahan
Pekarangan
0 ha
0,25 ha
0,25 ha
0,50 ha
Peserta
Penduduk
setempat
Transmigran
Penduduk
lokal
Rumah (m )
Tidak ada
36
36
Transmigran
penduduk
lokal
36
Lokasi
Sekitar
perkebunan
yang sudah
ada
Bukaan baru
Bukaan baru
Bukaan baru
Sumber Dana
Bank dunia
Swadana
Bantuan luar
negeri
Kredit khusus
19
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
23
24
BAB 3
Dari situasi dan kondisi tersebut dapat diindentifikasi bentukbentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat dimana perempuan
lebih dirugikan.
a. Dominasi/sub-ordinasi/marjinalisasi perempuan -- Dominasi
merupakan kekuatan atau cara yang dimiliki dan dilakukan
oleh individu atau seseorang atau kelompok tertentu untuk
menundukkan, menguasai atau melemahkan individu atau
kelompok lain. Dominasi membuat individu atau kelompok lain
menjadi tersub-ordinasi dan kemudian termarjinalisasi, sehingga
kepentingan kelompok tersebut menjadi tidak bisa terungkap
maupun menjadi perhatian dan menjadi keputusan. Hal inilah
yang terjadi terhadap perempuan dalam masyarakat, kepentingan
perempuan tidak bisa terungkap, menjadi perhatian dan menjadi
keputusan.
b. Diskriminasi -- Pembedaan perlakuan, pengucilan dan
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, ras, kelas,
agama, kepercayaan, ideologi, pilihan politik, pilihan seksual,
cacad, penyakit, dan lainnya, yang mempunyai pengaruh atau
mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan
mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
bidang apa pun lainnya.
c. Stereotyping (pelabelan)Sebuah cara pandang yang melekatkan
predikat atau identitas atau label atau sebutan tertentu dengan
tujuan melemahkan atau mengabaikan posisi dan keberadaan
orang atau kelompok yang bersangkutan. Stereotyping
merupakan cara paling halus untuk meminggirkan peran dan
posisi perempuan pada berbagai sektor dengan melabelkan
perempuan pada kerja-kerja yang sifatnya domestik. Akibatnya
antara lain kompensasi yang lebih rendah dimana perempuan
walaupun melakukan kerja-kerja sifatnya publik tetap dilabel
sebagai kerja-kerja sifatnya domestik.
d. Kekerasan Kekerasan dapat dijelaskan sebagai tindakan yang
membuat orang lain merasa tidak nyaman, takut, terluka secara
27
Buta Gender
Seseorang dapat dikatakan buta gender apabila tidak mengakui
bahwa ada konstruksi sosial/gender merupakan penentu penting
atas pilihan-pilihan hidup yang disediakan masyarakat untuk kita.
Baik perempuan maupun laki-laki bisa saja mengalami buta gender.
Seorang perempuan bisa dikatakan buta gender bila dirinya tidak
menyadari adanya ketidakadilan yang dia alami dalam keluarga,
masyarakat, tempat kerja dan negara yang disebabkan oleh
pembedaan peran dan tanbggung jawab berdasarkan seksual yang
telah menyebabkan akses dan kontrolnya tertutup.
Dalam konteks lebih luas, buta gender bisa terjadi dalam kebijakan
dan program-program pembanguan yang tidak memperhatikan
dan member prempuan akses dan kontrolnya sehingga permepuan
mendapat ketidakadilan yang teridentifikasi dalam bentuk-bentuk
ketidakadilan seperti dijelaskan di atas.
29
30
BAB 4
pada Konvensi CEDAW . Dan juga pasal 3 yang merupakan inti dari
kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak perempuan menyatakan:
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang
tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang,
khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya,untuk
menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya,
dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasanpokok atas dasar
persamaan dengan laki-laki.
Cakupan atau Area Ketidakadilan Gender
a. Pra keberangkatan Transmigrasi
Kebijakan pemerintah dalam program transmigrasi (Kepres
No.1 tahin 1986) kriteria peserta transmigrasi adalah keluarga
yang terdiri dari suami dan istri merupakan hambatan bagi
perempuan lajang atau janda untk berpeluang mendapatkan lahan
atas namanya sendiri. Peserta transmigrasi untuk perkebunan sawit
diwajibkan pasangan suami istri dengan otomatis kepemilikan tanah
adalah kepala keluarga atau suami. Posisi istri sebagai pendamping
suami yang diajarkan dalam prinsip-prinsip PKK tanpa sadar juga
diadopsi dalam program transmigrasi ini. Meskipun begitu, para istri
transmigran yang dianggap lemah karena keperempuanannya, tetap
saja terlibat dalam perkebunan, dari pembukaan lahan, pembibitan,
perawatan sampai pemanenan. Akan tetapi, karena konstruksi
yang terbangun bahwa istri hanya pendamping suami, maka posisi
istri hanya dianggap sebagai membantu saja di kebun. Meskipun
sebenarnya bila diberi kesempatan, perempuan bisa saja mempunyai
kebun sendiri, misalnya dua perempuan bersaudara yang tidak/
belum menikah atau Ibu dan anak perempuannya.
Kebijakan atau ketentuan peserta transmigrasi yang
diskriminatif ini, yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari suami istri,
telah memarginalkan perempuan-perempuan yang belum/tidak
menikah atau janda dari akses mendapatkan kesempatan memiliki
35
lahan kebun sawit sendiri. Bila dilihat dari Konvensi CEDAW dapat
dikatakan Kepres No. 1 Tahun 1986 ini belum mengacu pada
pemenuhan Hak-hak Ekosob perempua seperti yang tersebut pada
pasal 11 tentang Hak Bekerja dan pasal 14 tentang Hak Khusus
perempuan pedesaan dalam keterlibatan perempuan dalam perluasan
implementasi pembanguanan di segala tingkatan, dalam hal ini
Program transmigrasi waku itu.
Bahkan, persyaratan peserta transmigrasi yang harus sepasang
suami istri ini juga melahirkan kekerasan tarhadap istri salah seorang
calon transmigran yang tidak mau diajak mengikuti suaminya
menjadi tarnsmigran. Kekerasan yang dialaminya adalah harus
merelakan suaminya menikah lagi karena suaminya tetap harus
berangkat menjadi transmigran, seperti yang terjadi pada Sumarni
istri Mbah Prapto (desa Kendarom), salah satu peserta transmigrasi
asal Purwokerto. Meskipun pada akhirnya Sumarni menyusul
suaminya pada kemudian hari. Artinya Mbah Prapto memilki dua
istri di tempat transmigrasi
b. Di Lahan Kebun Sawit
Sebagai istri petani, para perempuan di keluarga petani sawit
PIR-Trans terlibat dalam proses pengelolaan kebun keluarga,
baik sejak dari pembukaan lahan, perawatan, pemupukan, hingga
pemanenan. Peran dan keterlibatan para istri petani sawit ini justru
menjadi boomerang bagi mereka sendiri. Pertama, mereka secara
tidak langsung telah menjadi buruh PTPN XIII dan sekaligus
menjadi petani tanpa lahan karena secara administrasi yang tercatat
sebagai petani adalah suaminya yang mendapat lahan 2 ha secara
kredit (yang dicicil saat panen). Akan tetapi, pada kenyataaannya,
para istri petani sawit transmigran ini juga bekerja di kebun sawit
dengan beban yang sama dengan suaminya. Peran para istri ini
sekilas atau seolah-olah perempuan sudah terlibat setara dengan
laki-laki dalam kebun mereka karena mereka berbagi tugas secara
merata, meski dalam berbagi tugas itu perempuan mendapat bagian
36
37
a.
Membabat
b.
c.
Menebas ranting
Menebang pohon besar
d.
Suami
keterangan
(Lelaki)
e. Menumpuk ranting
f. Membakar rumput
g. Membawa ranting pulang
Penanaman Bibit
a. Membeli bibit
b. Mengukur jarak pohon
c. Melubangi tanah
d. Menggali
e. Menanam bibit
Perawatan dan pemeliharaan
a. Membersihkan piringan
b. Memupuk
c. Langsir pupuk
d. Menyemprotkan pestisida
e. Membersihkan lahan kebun
Panen hasil kebun
a. Mendodos buah
b. Mengegrek buah
c. Memungut buah jatuh
(mbrondol)
d. Menggendong buah di
keranjang
e. Mendorong buah di troli
Penjualan
a. Menghitung hasil timbangan
b. Mencatat hasil timbangan
c. Menerima hasil penjualan
d. Mengatur keuangan keluarga
Jumlah
38
Istri
(Perempuan)
15
16
40
Jenis Pekerjaan
Pagi
a. Bangun duluan
b. Menyiapkan bekal di kebun
c. Memandikan anak
d. Mencuci pakaian
e. Membersihkan rumah
f. Menjaga anak
Sore
f. Memasak
g. Memandikan anak
h. Mencuci piring
i. Menyetrika
Malam
f. Menjaga anak
g. Merapikan tempat tidur
Jumlah
Istri
(Perempuan)
Suami
(Lelaki)
keterangan
12
44
kelompok simpan pinjam bagi petani, yang sampai saat ini masih
berjalan.
Sosial Ekonomi dan budaya perempuan di Desa
Olumokunde dan Desa Kamba.
Olumokunde dan Kamba adalah dua desa yang berada di
kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah.
Bertetangga dengan Desa Pancasila lokasi pembibitan kelapa sawit
milik perusahaan sawit Jaya Abadi anak atau group dari perusahaan
perkebunan sawit PT. Astra.
Masyarakat Olumokunde dan Kamba adalah anak suku Pamona
yang menganut Adat Pakambia. Mereka mengakui bahwa tidak ada
perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan baik di publik
maupun di ranah domestik, ini menurut pengakuan beberapa warga
ketika kami melakukan wawancara mendalam dan diskusi terfokus
dengan kelompok perempuan buruh pembibitan kelapa sawit,
kelompok perempuan non buruh dan tokoh agama (pendeta) serta
tokoh adat (tetua adat). Peran laki-laki dan perempuan memang
sama namun dalam menjalankan peran tersebut beban perempuan
lebih berat dibandingkan dengan laki-laki, utamanya dalam ranah
domestik, misalnya untuk kerja-kerja rumah tangga (menyiapkan
makanan, membersihkan rumah, mencuci dan mengasuh anak tetap
menjadi pekerjaan yang dominan dibebankan kepada perempuan.
Laki-laki atau suami hanya membantu ketika istri lagi berhalangan
atau sakit. Begitupun pekerjaan di luar rumah seperti kesawah dan
kebun laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di sawah dan
kebun namun perempuan terlebih dahulu harus memasak atau
menyiapkan makanan baik untuk bekal kesawah atau ke kebun
maupun makanan untuk anak-anak yang ditinggal di rumah sebelum
berangkat kerja ke sawah atau ke kebun. Beban ini bertambah ketika
perempuan bekerja di pembibitan karena harus bangun lebih cepat
dari biasanya. Penjelasan lebih lanjut pada bagian lain tulisan ini.
Rata-rata setiap warga di Desa Olumokunde dan Desa Kamba
49
Jadi pada saat awal bulan berikutnya saya ikut dan langsung tulis
nama dan langsung ditempatkan di bulbek, isi tanah. Dalam sehari
bisa isi tanah 100 biji koker. Kita bisa cepat pulang dan saya juga
biasa dibantu anak saya (buruh pembibitan)
Perusahaan lebih banyak memilih mempekerjakan buruh
perempuan dari pada laki-laki karena perusahaan menganggap
perempuan lebih teliti dibandingkan laki-laki, karena ini baru
bibitnya sehingga butuh perawatan intensif dan sangat hati-hati. Itu
alasan mengapa banyak mempekerjakan buruh perempuan dari pada
laki-laki, ujar mandor dari perusahaan.
kalian harus berhati-hati memperlakukan bibit sawit, sebagaimana
kalian memperlakukan atau merawat bayi kalian, demikian
ungkap Dona, ibu rumah tangga, eks buruh. Jenis pekerjaan
perempuan buruh adalah mulai dari isi polibag/ koker atau
isi tanah, isi baby, penyiangan, pemberian pupuk hingga
penyemprotan dengan upah yang sama untuk semua jenis
pekerjaan. kami harus angkat sendiri pupuk dalam 1 karung yang
kira-kira beratnya 50 60 kilo. Sehari biasanya dapat angkat 1020 karung(kesaksian Lintodipira, eks buruh pembibitan).
Di bagian penyemprotan, chemis dan pemupukan semua
dilakukan oleh buruh perempuan, tidak ada buruh laki-laki. Buruh
yang bekerja untuk penyemprotan bibit harus mengangkat sendiri
tangki semprot yang berisi air yang sudah dicampur dengan bahan
kimia yang akan disemprotkan ke bibit sawit. Buruh laki-laki hanya
bekerja memindahkan dan mengatur bibit yang sudah dimasukkan
dalam polybag.
54
Laki Laki
Buat parit
Menyemprot/ Chemis
Buat Jembatan untuk Arco
Buat got / Petak
Buat Atap untuk tempat bibit
Ecer Pupuk
Angkat bibit
Perempuan
Memilih bibit Untuk di tanam
Chemis/Penyemprotan
Isi Poly bek ( koker besar )
Isi baby (Koker kecil)
Menanam bibit Sawit
Cabut rumput
Angkat Tanah
Ayak tanah
Angkat pupuk
Menyemprot/Chemis
Memindahkan bibit ke Petak
Membersihkan Lar
Meluruskan bibit Kecambah
Perempuan
Terlibat dalam Organisasi Gereja
(Komisi Ibu)
Ikut Terlibat dalam Posintuvu
Duka dan Pesta Kawin di Desa
(memasak, menyiapkan makanan
untuk di makan bersama,
mengurusi mayat, membuat hiasan
untuk mayat ).
Ikut Terlibat budaya Mesale
(Gotong royong di Sawah dan
Kebun) Dalam Kampung.
Terlibat dalam Kepengurusan
Lembaga Adat di Desa sebagai
bendahara di lembaga adat
gereja saya terlambat berangkat kerja, jadi bapak bilang ambil saja motor
supaya bisa diantar kalau mau bekerja. Dengan uang muka 2,3 juta rupiah
dan angsuran selama tiga tahun. Itulah kenapa saya katakan sudah semakin
berat saat bekerja di sawit dibandingkan dulu ketika masih bertani, karena
sudah tinggi tingkat kebutuhan hidup (Ibu Pince, buruh sawit) bekerja
bertani adalah pekerjaan utama, bekerja sebagai buruh hanyalah
selingan atau mengisi waktu saja setelah selesai menanam dan panen
di sawah, daripada nganggur. Masyarakat Desa Olumokunde dan
Desa Kamba sadar bahwa menggarap sawah dan berkebun lebih
menguntungkan secara ekonomi dan tenaga, dari pada bekerja
sebagai buruh banyak tenaga terkuras dan tidak bisa mengatur
waktu karena terikat dengan perusahaan. Jika kerja di sawah dan di
kebun sendiri bisa mengatur waktu.
Bekerja di pembibitan menambah beban kerja perempuan karena
jam empat subuh sudah harus bangun memasak dan menyiapkan
makanan untuk bekal dan keluarga (suami dan anak). Bahkan
sebelum mereka dijemput oleh mobil perusahaan, mereka bahkan
harus bangun sebelum jam empat karena harus berjalan kaki ke lokasi
pembibitan. Enak punya usaha sendiri atau kerja di kebun dan di sawah
sendiri daripada kerja di perusahaan pembibitan kelapa sawit. Bekerja di
pereusahaan banyak bahayanya, bisa banyak penyakit atau bermasalah
dengan kesehatan. Jam 4 subuh sudah berangkat dan sore baru sampai
dirumah. Anak-anak juga tidak terurus. (Ibu Yosron (nama samaran),
buruh kebun). Kerja dilapangan setengah mati, pokoknya jadi buruh itu
susah. Kepanasan dan kehujanan harus diterima. Selain bertanggungjawab
pekerjaan rumah tangga, juga bertanggungjawab pekerjaan di luar rumah,
dari pagi sampai sore dan setiba dirumah juga masih harus menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga (Ny Diah (nama samaran), buruh kebun).
60
perempuan lebih panjang dan jam istirahat lebih singkat dari pada
laki-laki.
Pandangan Perempuan terhadap Buruh Perempuan di
Perusahaan Sawit
Bekerja di perkebunan/ pembibitan adalah pekerjaan yang setengah
mati. Karena kerja lapangan jadi panas-panasan. Pokoknya jadi
buruh itu susah mana kepanasan dibawah terik matahari dan kalau
hujanpun terpaksa harus hujan-hujanan. Makanya lebih enak punya
usaha sendiri atau kerja bisnis dari pada diperusahaan. Berjualan
kebutuhan sehari-hari dirumah selain dapat untung sekaligus bisa
memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Mana bekerja di perusahaan
bermasalah denga kesehatan. Bisa penyakitan. Berangkat jam 4
subuh tiba dilokasi jam setengah 7 dan langsung menyiapkan alat
kerja, jam 7 sudah muai kerja jam 2 baru pulang dan sampai
dirumah bisa jam lima sore bahkan kadang setengah enam sore.
Mana lagi kerja tidak menggunakan alat pengaman misalnya bagian
pemupukan dan racun, semakin berisiko terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja (Dian (nama samaran) buruh perkebunan).
Ada yang berpendapat bahwa adanya perusahaan yang
mempekerjakan buruh perempuan, memang ekonomi perempuan
sedikit terbantu. Ada peningkatan ekonomi bagi mereka yang
bisa mengatur keuangan. Dulu berkekurangan dan sekarang agak
mendingan. Namun banyak juga menjadi konsumtif, sehingga
tambahan pendapatan tidak signifikan atau sebenarnya tidak
memperoleh nilai tambah. Dengan mengandalkan gaji bulanan
jadi berani cicil barang berupa kursi, lemari, belanga, televisi
sampai kredit motor. Gaji bulanan bahkan tidak menutupi utang
di kios karena pengambilan barang melebihi dari hari kerja. Hal ini
terkadang melenceng dari prediksi. Bisanya tiba-tiba sakit dan tidak
bisa pergi kerja akibatnya hari kerja tidak penuh dalam sebulan dan
berimplikasi pada jumlah gaji yang diterima.
62
Orang yang kerja sawit akhirnya beli beras karena tidak menggarap
sawah. Ada yang setiap bulan kerjanya gali lobang tutup lobang
(mama Nona, petani dan ibu rumah tangga).
Masalah baru yang muncul tidak hanya terkait dengan
keuangan. Bagi ibu-ibu yang punya balita atau anak kecil setiap hari
dari subuh hingga sore meninggalkan anak-anak mereka. Pagi-pagi
buta ibunya sudah ke pembibitan, ayahnya juga harus ke sawah atau
ke kebun, neneknya juga kesawah. Akhirnya anak-anak mereka titip
di tetangga. Anak-anak tidak terurus, akhirnya tetangga yang urus
padahal mereka masih butuh perhatian kedua orang tua terutama
dari ibunya. Karena tidak mendapatkan bimbingan dari orang tua
berakibat anak tidak naik kelas. Ketika anak tidak naik kelas, kembali
perempuan yang disalahkan, karena dianggap menerlantarkan anak.
Ini juga merupakan beban ganda bagi perempuan.
Bersawah dan berkebun jauh lebih baik dan menguntungkan
karena bisa mengatur waktu kerja, orang yang kerja sebagai buruh,
dikejar-kejar waktu. Tidak leluasa lagi ikut kegiatan di kampung
termasuk jika terjadi duka, (Irnambasali, petani dan ibu rumah
tangga). Setelah dihitung-hitung, lebih untung kerja berkebun dan
bertani. Kalau urus sawah dan kebun adalah untuk jangka panjang,
sementara di sawit tidak pasti (Mama Intan, Ibu rumah tangga).
Saya lebih memilih buka warung kopi dari pada kerja jadi kuli.
Tidak ada yang perintah-perintah dan marah-marah (Sri-Pamona,
usaha warung kopi).
63
Bangun pagi
Minum Kopi
Sarapan
Berangkat ke
Sawah/kebun
Istirahat
Makan siang
Kerja
Pulang ke
rumah
Istirahat/
Minum kopi
Mandi
Menonton TV
Istirahat/Tidur
Istri
Bangun pagi
Cuci Piring
Masak Air
Masak Nasi
Buat Sarapan
Buat Teh/Kopi
Membersihkan
Rumah
Mandi
Mengurus anak
ke sekolah
Sarapan
Mencuci
Pakaian
Memasak
untuk makan
siang
Pergi ke Sawah
Bekerja di
Sawah
Mandi
Memasak
untuk makan
malam
Mengurus
anak/Suami
Istirahat/tidur
Bangun
Pagi
Mandi
Berangkat
ke sekolah
Pulang ke
rumah
Makan
Bermain
Mandi
Makan
Menonton
TV
Istirahat/
tidur
Bangun Pagi
Mencuci piring
Mandi
Sarapan
Berangkat ke
sekolah
Pulang sekolah
Bermain
Mandi
Membantu
membersihkan
rumah
Membantu
menyiapkan
makan malam
Menonton TV
Tidur/ Istirahat
68
BAB 5
Kesimpulan dan
Rekomendasi
Kesimpulan
Kebijakan Orde Baru yang mereduksi perempuan sebatas tiga
I (istri, ibu, dan istri rumah tangga) ikut berkontribusi cukup besar
bagi peran dan posisi perempuan di perkebunan kelapa sawit.
Perempuan dicitrakan sebagai bersifat lemah lembut, tidak berbicara
dengan keras, tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak
mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami, serta menjadi istri
yang penurut dan anak perempuan yang patuh. Lewat konstruksi
sosial yang terbangun diatas berdampak terhadap perempuan yang
kemudian dimanfaatkan dan dijinakkan. Hal ini yang semakin
menguatkan bentuk-bentuk ketidak adilan yang dialami perempuan
terutama dengan kehadirannya perkebunan kelapa sawit.
Temuan-temuan dilapangan baik di Kalimantan Timur dan
Sulawesi Tengah menunjukkan telah terjadi berbagai bentuk
ketidakadilan yang dialami perempuan seperti tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan, sampai beban ganda yang dialami
perempuan buruh perkebunan kelapa sawit. Tetapi peran dan posisi
perempuan tersebut umumnya tidak dirasakan sebagai suatu bentuk
ketidakadilan oleh masyarakat bahkan oleh negara dikarenakan
konstruksi sosial yang dilekatkan pada perempuan.
Rekomendasi Paser
1. Program transmigrasi mungkin tidak akan semassif, tetapi
pengalaman terkait kebijakan perempuan pendamping istri
telah menghambat perempuan untuk memilki lahan sendiri bisa
69
Rekomendasi Poso
1. Penyelesaian terhadap konflik lahan yang terjadi antara desa
Kamba (Kamba dan desa Olumokunde) dengan desa Pancasila
perlu melibatkan perempuan.
2. Negara memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi
buruh perempuan perkebunan kelapa sawit yang masih belum
terpenuhi, khususnya hak-hak perempuan seperti cuti melahirkan,
cuti haid.
3. Penguatan dan pemahaman terhadap perempuan di desa
Olumokunde dan desa Kamba tentang dampak dan proses
kehadiran kelapa sawit, hal ini terkait dengan adanya informasi
perluasan lahan perkebunan kelapa sawit di 12 desa tersebut.
4. Pemerintah melakukan monitoring terhadap perusahaan
perkebunan kelapa sawit, tidak hanya dari aspek manajemen
perusahaan tetapi juga dari aspek buruh/tenaga kerja.
5. Memastikan kebijakan perkebunan memperhatikan dan
memastikan aspek perlindungan dan pemenuhan buruh
perempuan.
6. Mulai mengkampanyekan dan advokasi kepada kementerian
pemberdayaan perempuan, departemen perkebunan dan
70
71
Daftar Pustaka
download di http://203.130.230.4/index2.php?option=com_
content&do_pdf=1&id=82 pada tanggal 18 Januari 2010.
Noer, F. 2002. Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria
dalam Dinamika Panggung Politik, dalam Endang Suhendar et.
Al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi.Bandung.
Akatiga
Wulan, T. R. 2008. Pemetaan Gerakan Perempuan di Indonesia dan
Implikasinya terhadap Penguatan Publik Sphere di Pedesaan.
Jurnal Studi Gender dan Anak Vol 3 No 1. Purwokerto. PSG STAIN
Purwokerto
Cedaw. 2008. Komentar Akhir Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan atas Laporan Ke 4 dan ke 5 Indonesia yang disampaikan
dalam sesi ke-39 Sidang Umum CEDAW tanggal 27 Juli 2007 New
York. Terjemahan. Jakarta. CWGI.
73
74