Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara bahasa, kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latin circum berarti memutar
dan caedere berarti memotong. Sirkumsisi atau sunat adalah bedah minor yang paling
luas di dunia, baik yang dilakukan oleh dokter, paramedis, atau oleh tradisional (ahli
sunat). Budaya sirkumsisi tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, namu juga pada
wanita. Berdasarkan dari data WHO, terdapat lebih dari 200 juta perempuan di 30
negara di dunia melakukan sunat pada wanita. Di Indonesia sendiri tindakan
sirkumsisi biasa disebut dengan sunat atau khitan.
Pada alat kelamin pria sendiri sering disebut dengan Penis, yang merupakan bagian
dari organ tubuler yang dilewati oleh uretra (saluran kemih dari kandung kemih ke
luar tubuh). Berbeda dengan alat kelamin pria, pada alat kelamin wanita disebut
sebagai vagina. Dan untuk alat kelamin wanita pada bagian luar disebut dengan vulva.
Pada ujung depan alat kelamin wanita terdapat sebuah clirotis yang bersifat sangat
peka dan sensitive, dibagian belakang terdapat saluran urine atau yang disebut dengan
urethera yang pada seorang wanita ukurannya sangat pendek antara 2-3 cm yang
kemudian sangat mudah untuk wanita terinfeksi bakteri jika kebersihan sekitar vulva
tidak dalam keadaan baik atau di bilas dengan air yang kurang bersih.
Pada wanita tindakan sirkumsisi atau sunat tersebut mengakibatkan perbedaan
pendapat. Masyarakat memandang bahwa tindakan sirkumsisi atau sunat pada lakilaki
ataupun wanita adalah sebuah suatu yang dipercayai sebagai tuntutan agama dan juga
sebuah tradisi turun menurun. Sebagian masyarakat lainnya berpendapat bahwa
tindakan sirkumsisi pada wanita dianggap sebagai wujud dari kekerasan dan
pembatasan bagi wanita.
Sirkumsisi merupakan salah satu dari lima fitrah yang di syari’atkan oleh agama
Islam. Pensyariatan Sirkumsisi bertujuan untuk menjaga kebersihan diri, serta sebagai
bentuk keimanan atas Rasul dan syariat yang dibawanya. Sirkumsisi disyari’atkan
dalam agama bukanlah tanpa alasan, melainkan untuk menjaga kesucian diri,
kesehatan dan dalam masalah seksualitas. Bagi laki-laki, khitan dilakukan agar tidak
terjadi penumpukan kotoran, dapat menahan kencing, dan memberikan kenikmatan
pada saat bersenggama. Sedangkan bagi wanita, khitan bertujuan menormalkan
tabiat,untuk menyeimbangkan libido, menenangkan emosi, dan mengendalikan
nafsu.Oleh karena itu, khitan tidak disyariatkan tanpa ada tujuan dan maksudnya.
Pelaksanaannya erat dikaitkan dengan upaya pensucian diri manusia.
Dalam tataran hukum, ulama berbeda pendapat mengenai hukum pelaksanaan
Sirkumsisi, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Secara umum, pandangan fuqaha
terbagi menjadi dua. Pendapat pertama mengatakan bahwa khitan bagi laki-laki wajib
hukumnya, dan bagi perempuan disunnahkan. Ini merupakan pendapat Imam Hanafi
dan Imam Malik. Pendapat kedua menyatakan bahwa Sirkumsisi itu wajib bagi laki-
laki dan perempuan. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Terkait dengan permasalahan Sirkumsisi perempuan, umumnya dipahami sebagai
isu klasik, yang pembahasan dan kajian tentangnya telah dimuat dalam berbagai
literatur keislaman. Namun, isu atau masalah ini kembali mencuat ke permukaan.
Sebagaimana isu Sirkumsisi perempuan menjadi isu publik, dan sangat terkait dengan
setidaknya dua hal. Pertama, kampanye sistemik dari lembaga donor terkait dengan
upaya perlindungan hak asasi manusia dan hak anak. Termasuk hak perempuan dalam
melakukan reproduksi. Kedua, sajian atas penyelewengan praktik Sirkumsisi
perempuan yang berdampak pada timbulnya berbagai ekses negatif yang
membahayakan masalah Sirkumsisi perempuan menjadi perdebatan seru di salah satu
negara Islam, hingga dikeluarkan keputusan larangan Sirkumsisi bagi perempuan.
Masalah Sirkumsisi terhadap perempuan menjadi isu publik setelah adanya
berbagai penelitian, baik yang dilakukan secara independen maupun karena ada
sponsor, yang menemukan adanya berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari
penyimpangan pelaksanaan Sirkumsisi terhadap perempuan di beberapa negara. Atas
dasar fakta tersebut, muncul rencana aksi pelarangan Sirkumsisi terhadap perempuan.
Bahkan, muncul desakan agar pelarangan tersebut dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan disertai hukuman bagi pelakunya.
Berkorelasi dengan hal tersebut, dalam konteks Indonesia, pada pertengahan tahun
2006 muncul Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang Larangan
Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Singkatnya, atas
dikeluarkannya surat edaran tersebut menjadi salah satu latar belakang MUI
mengeluarkan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan
Khitan/Sirkumsisi Terhadap Perempuan. Fatwa ini secara tegas menjelaskan bahwa
pelarangan Sirkumsisi terhadap perempuan adalah bertentangan dengan hukum Islam.
Berangkat dari paparan di atas, jelas bahwa Sirkumsisi perempuan masih menjadi
polemik tersendiri di Indonesia. Aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
dalam Permenkes Nomor 1636/Menkes/Per/2010 masih diperoleh beberapa aturan
yang belum mengakomodasi teknis khitan perempuan yang ditetapkan dalam hukum
Islam.
Di Indonesia sirkumsisi perempuan dilakukan pada usia 0-18 tahun, tergantung
pada budaya setempat. Umumnya sirkumsisi perempuan dilakukan pada bayi setelah
dilahirkan, di Jawa dan Madura sunat perempuan mencapai 70%, sedangkan di
Sumatera Utara 78% dan Sumatera Barat 64% dilaksanakan pada usia kurang dari 1
tahun dan sebagian pada usia 7-9 tahun.
Dari banyaknya masalah yang muncul akibat ketidak jelasan informasi dan
pengetahuan yang minim akibat belum banyaknya penelitian tentang hal ini, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “Hubungan Pengetahuan
dan Sikap Ibu terhadap Tindakan Sirkumsisi Pada Perempuan di Kelurahan Air Pacah
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Sumatra Barat Tahun 2021”. Dengan
penelitian ini penulis mengharapkan dapat berkontribusi dalam ilmu kesehatan pada
umumnya dan tema sirkumsisi pada khususnya.
1.2 Rumusn Masalah
Banyaknya masalah yang muncul, maka permasalahan yang penulis ajukan yaitu :
Bagaimana Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Tindakan Sirkumsisi Pada
Perempuan di Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Sumatra
Barat Tahun 2021.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum.
Mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap tindakan sirkumsisi
pada perempuan di Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang,
Sumatra Barat Tahun 2021
2. Tujuan khusus. Adapun tujuan khusus pada penelitian ini yaitu :
a. Mengetahui gambaran tindakan sirkumsisi yang dilakukan pada
perempuan di Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang,
Sumatra Barat Tahun 2021
b. Mengetahui pengetahuan ibu terhadap tindakan sirkumsisi pada perempuan
di Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Sumatra
Barat Tahun 2021
c. Mengetahui sikap ibu terhadap tindakan sirkumsisi pada perempuan di
Kelurahan Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Sumatra
Barat Tahun 2021
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu :
1. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan berarti bagi
perkembangan ilmu Kesehatan Masyarakat, khususnya bidang kesehatan
reproduksi, dan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
2. Dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi para pembuat keputusan,
khususnya Kementerian Kesehatan dan pihak berwajib lainnya dalam membuat
peraturan yang jelas tentang sirkumsisi perempuan.
3. Dapat menjadi bahan tinjauan awal bagi penelitian selanjutnya khususnya ilmu
Kedokteran, Kebidanan dan Kesehatan Masyarakat untuk mengembangkan dan
memperdalam penelitian lanjutan tentang tindakan sirkumsisi pada perempuan.
4. Mengedukasi ibu tentang tindakan sirkumsisi pada perempuan di Kelurahan Air
Pacah Kecamatan Koto Tangah Kota Padang, Sumatra Barat
Tinjauan Pustaka

Definisi Sirkumsisi pada Perempuan

Sirkumsisi pada perempuan adalah sebuah tindakan bedah minor pada

genitalia perempuan. Menurut WHO (2017), sirkumsisi perempuan termasuk ke

dalam apa yang mereka sebut dengan mutilasi genital perempuan/female genital

mutilation (FGM). Segala tindakan yang meliputi prosedur yang sengaja

mengubah atau menyebabkan cedera pada organ genital perempuan untuk alasan

non-medis.

Menurut Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 dalam Permenkes No.

1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan menyebutkan, sunat (sirkumsisi)

perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris,

tanpa melukai klitoris.

Menurut Bahraen (2011) sirkumsisi pada perempuan adalah sebuah

tindakan medis untuk mengangkat (eksisi) preputium klitoris (kulit yang menutupi

klitoris), sehingga membuat glans klitoris terekspos/terbuka tanpa ada kulit yang

menutupi.

Menurut Hindi (2008), sirkumsisi perempuan yang benar adalah tindakan

pemotongan kulup (preputium) klitoris agar klitoris terbuka/terekspos; atau

tindakan pemotongan sedikit bagian klitoris dan labia minora.

Sirkumsisi Perempuan di Indonesia

Indonesia sempat melarang sirkumsisi perempuan pada tahun 2006

melalui surat edaran tentang Larangan Medikalisasi Sirkumsisi perempuan Bagi

Petugas Kesehatan nomor HK.00.07.1.3.1047a tanggal 20 April 2006 (Kartika,

7
8

2013). Kemenkes RI kemudian mengeluarkan Permenkes No.1636 Tahun 2010

tentang Sirkumsisi perempuan, yang membolehkan adanya praktik sirkumsisi

pada perempuan dengan ketentuan khusus yang menyertakan definisi dan

prosedur standarnya. Akan tetapi, pada tahun 2014 Pemerintah mencabut kembali

peraturan ini dengan alasan sirkumsisi perempuan belum diakui sebagai sebuah

tindakan medis dan belum terbukti manfaatnya, sehingga kembali membuat

Indonesia tidak mempunyai standar resmi (Kemenkes, 2014).

Alasan Melakukan Sirkumsisi Pada Perempuan

Menurut WHO (2017) bahwa penyebab sirkumsisi perempuan mencakup

campuran faktor budaya, agama dan sosial dalam keluarga dan masyarakat,

diantaranya:

1. Sirkumsisi perempuan adalah konvensi sosial, tekanan sosial untuk

menyesuaikan diri dengan apa yang orang lain lakukan dan untuk

melakukannya ada sebuah motivasi yang kuat untuk mengabadikan resiko

praktik.

2. Sirkumsisi perempuan seringkali dianggap sebagai bagian penting dari

membesarkan seorang gadis baik, dan cara untuk mempersiapkan dirinya

sampai dewasa dan menikah.

3. Sirkumsisi perempuan sering termotivasi oleh keyakinan tentang apa

yang dianggap perilaku seksual yang tepat, prosedur untuk

menghubungkan keperawanan pranikah dan kesetiaan perkawinan.

Sirkumsisi perempuan di banyak masyarakat diyakini mengurangi libido

seks perempuan, karena


9

itu diyakini membantunya melawan godaan tindakan seksual yang

berlebihan.

4. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya meyakini bahwa perempuan

yang disirkumsisi meningkatkan kemungkinan untuk dinikahi.

5. Sirkumsisi perempuan dikaitkan dengan cita-cita budaya feminitas dan

kerendahan hati, yang mencakup gagasan bahwa anak perempuan

"bersih" dan "indah" setelah pengangkatan bagian tubuh yang dianggap

laki-laki sebagai bagian yang tidak baik.

6. Meskipun tidak ada aturan agama tentang praktik sirkumsisi perempuan,

namun masyarakat sering percaya bahwa praktik sirkumsisi perempuan

merupakan perintah agama.

7. Para pemimpin agama mengambil posisi yang berbeda-beda berkaitan

dengan sirkumsisi perempuan, beberapa memperbolehkan praktik

tersebut, sedangkan yang lain beranggapan bahwa sirkumsisi perempuan

tidak relevan dengan agama, dan yang lainnya berperan terhadap

penghapusannya.

8. Struktur kekuasaan lokal dan otoritas, seperti tokoh masyarakat, tokoh

agama, penyunatan, dan bahkan beberapa tenaga medis dapat

berkontribusi untuk menegakkan praktik.

9. Sebagian besar masyarakat, sirkumsisi perempuan dianggap sebagai

tradisi budaya, yang sering digunakan sebagai alasan untuk

kelanjutannya.

10. Pada beberapa masyarakat, mula-mulanya praktik ini terkait dengan

menyambung tradisi pada masyarakat sebelumnya.


10

11. Pada beberapa masyarakat, sirkumsisi perempuan dilakukan oleh

kelompok-kelompok baru ketika mereka pindah ke daerah di mana

penduduk setempat melakukan praktik sirkumsisi perempuan.

Sedangkan menurut Irianto (2006) bahwa alasan-alasan dilakukannya

sirkumsisi perempuan dapat dikelompokkan ke dalam 4 alasan utama, yaitu:

Identitas budaya. Budaya dan tradisi merupakan alasan utama

dilakukannya sirkumsisi perempuan, karena sirkumsisi perempuan menentukan

siapa sajakah yang dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sehingga

dianggap sebagai tahap inisiasi bagi seorang wanita untuk memasuki tahap

kedewasaan. Masyarakat yang mempraktikkan sirkumsisi perempuan, hal ini

dianggap sebagai sebuah kejadian yang biasa dan seorang wanita tidak akan

dianggap dewasa sebelum melakukan sirkumsisi perempuan.

Identitas gender. Sirkumsisi perempuan dianggap penting bagi seorang

gadis bila ia ingin menjadi wanita seutuhnya, praktik ini memberikan suatu

perbedaan jenis kelamin dikaitkan dengan peran mereka di masa depan dalam

kehidupan perkawinan. Pengangkatan bagian klitoris dianggap sebagai

penghilangan organ pria di tubuh wanita sehingga feminitas wanita akan utuh dan

sempurna, hal ini juga sering disamakan dengan kelemahan dan kepatuhan

seorang wanita, karena trauma yang didapatkan setelah proses ini berlangsung

akan mempengaruhi wanita. Sirkumsisi perempuan juga dianggap sebagai

pemberi pembelajaran kepada wanita mengenai perannya dalam masyarakat.

Mengontrol seksualitas wanita serta fungsi reproduksinya. Sirkumsisi

perempuan dipercaya dapat mengurangi hasrat seksual wanita akan seks,

sehingga
11

dapat mengurai terjadinya praktik seks di luar nikah. Kesetiaan seorang wanita

yang tidak dimutilasi terhadap pasangannya akan sangat diragukan oleh

masyarakat. Bagi masyarakat yang memperaktikkan sirkumsisi perempuan,

seorang wanita yang tidak disirkumsisi tidak akan mungkin mendapatkan jodoh.

Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan. Alasan ini merupakan

alasan yang dipakai oleh masyarakat dunia untuk melakukan sirkumsisi

perempuan. Praktik sirkumsisi sering dikaitkan dengan penyucian atau

pembersihan dalam masyarakat yang memperaktikkan sirkumsisi perempuan.

Sirkumsisi perempuan sering sekali dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan

wanita serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa wanita yang melakukan

sirkumsisi akan lebih subur dan mudah melahirkan.

Dalam Sartika (2011) terdapat juga beberapa alasan untuk melakukan

sirkumsisi perempuan, adalah sebagai berikut:

Psikoseksual. Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung

penis. Organ ini juga bisa ereksi, mampu meningkatkan libido dan nafsu birahi.

Sirkumsisi yang dilakukan pada perempuan diyakini dapat mengendalikan gejolak

nafsu seksual, terutama pada masa pubertas yang merupakan fase usia paling

berbahaya dalam kehidupan anak gadis (Hindi, 2008).

Dalam tradisi masyarakat, laki- laki tidak akan menikahi wanita yang

belum disirkumsisi dan menganggap wanita tersebut akan gemar bersetubuh

dengan siapa saja, tidak bersih dan tidak layak dipercaya secara seksual

(Koblinsky, 1997).
12

Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat

sirkumsisi perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif

dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas

perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah,

kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual laki- laki.

Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah ( Gani, 2007).

Menurut Ilyas (2009) dorongan seksual seorang perempuan tidak

ditentukan oleh disirkumsisi atau tidaknya seorang perempuan, tetapi karena

faktor- faktor psikologis dan hormonal.

Menurut Rathmann (1959), manfaat sirkumsisi perempuan adalah untuk

meningkatkan kemampuan untuk mencapai orgasme pada perempuan; dan juga

untuk koreksi anatomi, seperti pada kasus phimosis preputium klitoris dan juga

kelebihan preputium klitoris.

Sosiologi. Secara sosiologis sirkumsisi pada perempuan merupakan bagian

dari identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa

kedewasaan, integrasi sosial dan memeliharaan kohesi sosial (Gani, 2007).

Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya sirkumsisi

perempuan. Sirkumsisi menentukan siapa saja yang dapat dianggap sebagai

bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi perempuan

untuk memasuki tahap dewasa. Dalam masyarakat yang mempraktekkan

sirkumsisi, tindakan sirkumsisi dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang

perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan sirkumsisi (Irianto,

2006).
13

Saadawi (2001) berpendapat Seorang gadis yang tidak disirkumsisi akan

menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat, mendapat anggapan negatif sebagai

perempuan yang memiliki tingkah laku buruk, dan akan mengejar laki- laki. Bila

datang saatnya menikah, tidak ada laki- laki yang datang untuk meminang.

Saat ini sirkumsisi perempuan sebagai suatu kegiatan yang menjadi tradisi

di masyarakat tentunya harus memiliki dasar yang kuat, bukan sekedar tradisi

masa lalu. Sebagian masyarakat sejak zaman Nabi Ibrahim hingga saat ini masih

melakukan tradisi sirkumsisi perempuan dengan berlandaskan keagamaan dan

taqwa kepada Sang Khaliq (Gani, 2007).

Higiene dan estetika. Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan

merupakan alasan yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sirkumsisi

perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkan dengan tindakan penyucian dan

pembersihan oleh masyarakat yang mempraktekkan sirkumsisi perempuan.

Seorang perempuan yang tidak disirkumsisi dianggap tidak bersih dan tidak

diperkenankan menyentuh makanan atau air ( Lubis, 2006).

Dalam beberapa budaya menganggap alat kelamin perempuan yang tidak

disirkumsisi di pandang jelek dan najis. Sirkumsisi diyakini sebagai prosedur

membersihkan alat kelamin perempuan dan meningkatkan kondisi estetikanya.

Sirkumsisi perempuan juga menjadi alasan kesehatan, kebersihan, dan keindahan

alat kelamin perempuan.

Sirkumsisi perempuan melahirkan kebersihan dan kesucian. Kebersihan

dan kesucian di balik sirkumsisi, mencegah menumpuknya cairan lemak

(smegma) yang menjadi penyebab peradangan pada daerah sensitif, uretra dan
14

pada sistem reproduksi, juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit- penyakit

mematikan (Hindi, 2008).

Agama. Dalam Islam sirkumsisi perempuan lazim menggunakan kata

khitan yang diambil dari kata khatana yang berarti memotong, maksudnya adalah

memotong kulit yang menutup bagian ujung kemaluan dengan tujuan bersih dari

najis (Umar, 2010).

Masyarakat mengganggap bahwa sirkumsisi pada perempuan adalah

bagian dari ajaran Islam, sama seperti laki- laki. Dalam Al-Quran tidak ada

ketegasan hukum mengenai sirkumsisi perempuan, tetapi terdapat dalam hadits.

Beberapa kitab hadits dan fiqih memuat hadits- hadits yang berkaitan dengan

sirkumsisi perempuan, diantara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal:

“Khitan itu dianjurkan untuk laki- laki (sunnah), dan kehormatan bagi

perempuan”. Hadits lain yaitu dari Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit kulit

atas dan jangan potong terlalu dalam agar wajahnya lebih bercahaya dan lebih

disukai oleh suaminya”. Namun hadits- hadits tersebut sanadnya tidak ada yang

mencapai derajat shahih (Gani, 2007)

Beberapa ulama berpendapat, bahwa khitan (sirkumsisi) perempuan

sebagai kehormatan. Artinya, sebagai perbuatan mulia yang sangat baik untuk

dikerjakan dan meninggalkannya sama dengan mengundang penyakit dan

keburukan. Mengikuti ajaran Islam dalam perkara kecil maupun besar adalah

satu-satunya jalan untuk mendapat keselamatan dari kehinaan dunia dan azab

akhirat (Hindi, 2010).


15

Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada

perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat, di

antaranya adalah adanya kewajiban dalam Islam walaupun sejarah menemukan

sirkumsisi perempuan sudah ada sebelum adanya Islam dan sebagai bagian dari

proses mengislamkan, jika tidak dikhitan tidak diperkenankan membaca Al-Quran

dan melakukan shalat lima waktu (Gani, 2007).

Pelaksana Sirkumsisi pada Perempuan

Menurut Permenkes No. 1636 Tahun 2010 tentang Sirkumsisi perempuan

yang pernah diberlakukan di Indonesia, sirkumsisi perempuan hanya dapat

dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan, dan perawat yang

telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.

Menurut Hindi (2008) sirkumsisi pada perempuan seharusnya dilakukan

oleh tenaga medis profesional yang berkompeten, sehingga pelaksanaan

sirkumsisi dapat dilakukan dengan benar, baik sebelum, saat, dan setelah

pelaksanaan sirkumsisi.

Komplikasi Sirkumsisi Perempuan

WHO (2017), menyatakan bahwa sirkumsisi perempuan (sebagai bagian

dari female genital mutilation/FGM) dapat menyebabkan komplikasi langsung

yang dapat mencakup :

1) Nyeri parah

2) Perdarahan

3) Pembengkakan jaringan genital

4) Demam
16

5) Infeksi

6) Gangguan perkemihan

7) Gangguan penyembuhan luka

8) Luka pada jaringan sekitar genital

9) Syok

10) Kematian

Sedangkan konsekuensi jangka panjang dapat mencakup:

1) Gangguan perkemihan (buang air kecil sakit, infeksi saluran kemih);

2) Masalah pada vagina (discharge, gatal-gatal, vaginosis bakteri dan infeksi lainnya);

3) Gangguan haid (menstruasi yang menyakitkan, darah haid sukar mengalir, dll);

4) Jaringan parut dan keloid;

5) Masalah seksual (nyeri selama hubungan seksual, kepuasan seksual menurun, dll);

6) Peningkatan risiko komplikasi persalinan (persalinan yang sulit, perdarahan yang

berlebihan, dll) dan kematian bayi baru lahir;

7) Kebutuhan untuk operasi selanjutnya: misalnya, prosedur FGM yang menjahit labia

(tipe 3) kemudian harus disayat untuk membuka kembali (deinfibulasi) untuk

memungkinkan hubungan seksual dan persalinan

8) Masalah psikologis (depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, dll);

9) Komplikasi kesehatan lainnya.


17

Beberapa Pandangan Terhadap Sirkumsisi Perempuan

Pandangan medis dan kesehatan. Pada tahun 1959, W. G. Rathmann

mendefinisikan sirkumsisi perempuan sebagai eksisi dari preputium klitoris atas

indikasi dari ketidakmampuan atau kesulitan mencapai orgasme; kondisi

preputium klitoris yang terlalu menutupi klitoris; dan kondisi phimosis pada

klitoris yaitu suatu kondisi dimana preputium klitoris sangat sempit. Manfaat yang

didapatkan setelah melakukan prosedur sirkumsisi ini adalah lebih mudahnya

mendapatkan orgasme, dan pada penelitiannya, Rathmann menemukan bahwa

sebagian besar pasien (>80%) merasa puas setelah mendapatkan terapi dari

prosedur ini.

Secara global, menurut WHO (2017), sirkumsisi perempuan termasuk ke

dalam apa yang mereka sebut dengan mutilasi genital perempuan/female genital

mutilation (FGM). Yaitu segala tindakan yang meliputi prosedur yang sengaja

mengubah atau menyebabkan cedera pada organ genital perempuan untuk alasan

non-medis.

FGM menurut WHO, diklasifikasikan menjadi 4 jenis utama, yaitu:

1) Tipe 1 : Sering disebut sebagai klitoridektomi, ini adalah pengangkatan

sebagian atau seluruh klitoris, dan dalam kasus yang sangat jarang, hanya

preputium (lipatan kulit yang menutupi klitoris);

2) Tipe 2 : Sering disebut sebagai eksisi, ini adalah pengangkatan sebagian atau

seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa eksisi labia majora;

3) Tipe 3 : Sering disebut sebagai infibulasi, ini adalah penyempitan lubang

vagina melalui pembuatan segel penutup. Segel ini dibentuk dengan


18

memotong dan reposisi labia minora, atau labia majora, kadang-kadang

melalui jahitan, dengan atau tanpa pengangkatan klitoris;

4) Tipe 4 : Ini mencakup semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin

perempuan untuk tujuan non-medis, misalnya menusuk, menindik, mengiris,

menggores dan kauterisasi pada area genital.

Menurut WHO, FGM tidak memiliki manfaat kesehatan, dan itu

merugikan anak perempuan dan perempuan dalam banyak cara. Karena

memotong dan merusak jaringan genital wanita yang sehat dan normal, dan

mengganggu fungsi alami tubuh perempuan.

Secara nasional, menurut Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 dalam

Permenkes No. 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan menyebutkan, sunat

(sirkumsisi) perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian

depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Peraturan ini dibuat untuk mengatur

prosedur sirkumsisi perempuan di Indonesia yang sebelumnya dilakukan tanpa

prosedur tetap. Walaupun pada tahun 2014, Pemerintah mencabut kembali

peraturan ini dengan alasan sirkumsisi perempuan belum diakui sebagai sebuah

tindakan medis dan belum terbukti manfaatnya (Kemenkes, 2014).

Pandangan agama. Menurut Mianoki (2013), terdapat silang pendapat di

kalangan para ulama tentang hukum khitan (sirkumsisi) bagi wanita. Sebagian

mengatakan khitan bagi wanita hukumnya wajib, sebagian lagi mengatakan

hukumnya sunnah (dianjurkan).

Ulama yang mewajibkan khitan bagi wanita, mereka beralasan dengan

dalil-dalil berikut :
19

1) Mianoki (2013) yang mengutip H.R. Abu Dawud, menyatakan hukum wanita

sama dengan laki-laki kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagaimana

sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wanita itu saudara kandung

laki-laki.”

2) Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah saw. menyebutkan

khitan bagi wanita, di antaranya sabda beliau yang diriwayatkan Tirmidzi dan

dikutip Mianoki (2013), “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi”.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa

wanita juga dikhitan”.

3) Mianoki (2013) yang mengutip H.R. Bukhari yang menyatakan : dari ‘Aisyah

radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang

laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan

khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi”.

4) Mianoki (2013) yang mengutip H.R. Al Khatib yang menyatakan : Dari Anas

bin Malik, Rasulullah saw. bersabda kepada ‘Ummu ‘Athiyah

radhiyallahu‘anha, “Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit

dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah

dan lebih disenangi oleh suami”.

5) Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para

salaf sebagaimana tersebut di atas.

Adapun ulama yang berpendapat khitan wanita hukumnya sunnah, mereka

beralasan sebagai berikut :

1) Tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan wajibnya khitan bagi wanita.
20

2) Mianoki (2013) mengutip Syarhul Mumti’ menyatakan : Khitan bagi laki-laki

tujuannya untuk membersihkan sisa air kencing yang najis pada kulup kepala

penis, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya shalat. Sedangkan

khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, yang ini

hanyalah untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah

kewajiban.

3) Mianoki (2013) mengutip Majmu’ Fatawa menulis bahwa Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah rahimahullah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan?” Beliau

menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong

daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah

saw. bersabda, “Biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu

lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami.” Hal ini karena

tujuan khitan laki-laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam

penutup kulit kepala penis. Sedangkan tujuan khitan wanita adalah untuk

menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tidak dikhitan maka

syahwatnya akan sangat besar.”

4) Mianoki (2013) mengutip H.R Muslim mengatakan juga bahwa terdapat

perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang khitan bagi wanita.

Namun yang jelas khitan merupakan bagian syariat bagi wanita, terlepas

hukumnya wajib ataupun sunnah. Barangsiapa yang melaksanakannya tentu

lebih utama. Dan ini termasuk bagian menghidupkan sunnah nabi yang

hampir hilang, sehingga orang yang melakukannya termasuk orang yang

disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau, “Barangsiapa yang

membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan
21

pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari pahala

mereka sedikitpun.”

5) Mianoki (2013) juga menuliskan : para ulama menjelaskan bahwa bagian

yang dipotong pada khitan wanita adalah kulit yang mengelilingi bagian yang

berbentuk seperti jengger ayam yang terletak dia atas tempat keluarnya

kencing. Yang benar menurut sunnah adalah tidak memotong seluruhnya,

namun hanya sebagian kecil saja. Hal ini berdasarkan hadits Ummu

‘Athiyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan Abu Dawud bahwa dahulu

para wanita di Madinah dikhitan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda : “Jangan berlebihan dalam mengkhitan, karena akan lebih nikmat

(ketika berhubungan seksual) dan lebih disukai suami.”

6) Imam Al Mawardi rahimahulluah berkata, “Adapun khitan bagi wanita

adalah memotong kulit pada kemaluan yang berada di atas lubang kemaluan

tempat masuknya penis dan tempat keluarnya kencing, di atas pangkal yang

berbentuk seperti biji. Pada bagian tersebut, kulit yang menutupinya

diangkat, bukan pada bagian pangkal yang berbentuk biji.” (Mianoki, 2013)

7) Menurut penjelasan Imam Al Mawardi rahimahullah yang dimaksud dengan

bagian pangkal yang berbentuk biji adalah klitoris. Sedangkan yng diangkat

adalah kulit penutup klitoris, sedangkan klitorisnya tetap dibiarkan. Sehingga

khitan bagi wanita adalah dengan memotong sebagian kulit yang menutupi

klitoris saja tanpa disertai pengangkatan klitoris. (Mianoki, 2013)


22

Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2008 telah mengeluarkan

Fatwa Nomor 9A tentang khitan perempuan. Diktum fatwa MUI selengkapnya

adalah sebagai berikut.

Status hukum khitan perempuan. Statusnya yaitu :

1) Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar

Islam,

2) Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai

salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

Hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. Hukumnya yaitu

Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan

syari’ah, karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah

dan syiar Islam.

Batas dan cara khitan perempuan. Dalam pelaksanaannya, khitan

terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1) Khitan perempuan cukup dengan hanya menghilangkan selaput

(jaldah/colum/preputium) yang menutupi klitoris,

2) Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti

memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan

bahaya dan merugikan.

Rekomendasi. Rekomendasinya yaitu :

1) Meminta kepada Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan untuk

menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi

tentang masalah khitan perempuan;


23

2) Menganjurkan kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan

untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk

melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.

Pandangan budaya. Beberapa kebudayaan menganggap sirkumsisi

berguna untuk mengurangi libido seksual pada perempuan, agar perempuan tidak

mengumbar nafsunya. Ada juga yang menganggap agar perempuan terhindar dari

nafsu dan dosa, seorang perempuan yang disunat dapat menjaga kesucian dan

keperawanan sebelum menikah. Dan ada juga yang menganggap segumpal daging

sebesar butiran beras pada klitoris perempuan disebut sebagai titipan setan maka

harus disunat (Putri, 2009).

Sebahagian masyarakat meyakini perempuan memiliki nafsu seksual lebih

tinggi dibanding laki–laki, maka menurut mereka cara efektif untuk mereduksi

nafsu seksual perempuan ini adalah dengan melakukan tindakan sunat (Putri,

2009).

Alasan lain masyarakat melaksanakan sunat pada perempuan adalah

melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan, perekat sosial, lebih

terhormat, meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak. Diharapkan

pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi

masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah (Putri, 2009).

Survei epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan

sirkumsisi pada perempuan. Seperti identitas kesukuan, tahapan menuju wanita

dewasa, pra-syarat sebelum menikah, juga pemahaman bahwa klitoris merupakan


24

organ yang kotor, mengeluarkan sekret berbau, mencegah kesuburan atau

menghilangkan (menyebabkan) impotensi bagi pasangannya (Putri, 2009).

Di beberapa komunitas ada anggapan, perempuan tidak berhak menikmati

kepuasan seksual, sebab wanita dianggap sebagai pelengkap kepuasan seksual

laki-laki. Diluar masalah kultur, jika tindakan ini dilakukan dengan tidak tepat dan

hati-hati, justru akan menimbulkan komplikasi baik akut maupun kronis (Putri,

2009).

Pandangan sosial. Sirkumsisi menentukan siapa saja yang dapat dianggap

sebagai bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi

perempuan untuk memasuki tahap dewasa. Dalam masyarakat yang

mempraktekkan sirkumsisi, tindakan sirkumsisi dianggap sebagai hal yang biasa

dan seorang perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan

sirkumsisi (Irianto, 2006). Saadawi (2001) berpendapat Seorang gadis yang tidak

disirkumsisi akan menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat, mendapat anggapan

negatif sebagai perempuan yang memiliki tingkah laku buruk, dan akan mengejar

laki- laki. Bila datang saatnya menikah, tidak ada laki- laki yang datang untuk

meminang.

Definisi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan

ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga.


25

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif. Pengetahuan yang

tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

Tahu. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari sebelumnya atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

Memahami. Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham

terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

Aplikasi. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini

dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi nyata.

Analisis. Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
26

ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan,

membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya

Sintesis. Sintesis menujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang sudah ada.

Evaluasi. Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat

disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap

secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih
27

merupakan reaksi yang tertutup. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Komponen pokok sikap. Dalam bagian lain Allport (1954) dalam

Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok.

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.

Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi

memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar

tentang penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan

sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha

supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi dan

keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya

untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap

tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio.

Tingkatan sikap. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri

dari berbagai tingkatan.

Menerima. Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap

gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-

ceramah tentang gizi.


28

Merespon. Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena

dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang

menerima ide tersebut.

Menghargai. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan

suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya, seorang ibu yang

mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke Posyandu, atau

mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah

mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

Bertanggung jawab. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah

dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Misalnya seorang ibu yang tetap mau menjadi akseptor KB meskipun mendapat

tentangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan begaimana pendapat atau pernyataan responden

terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-

pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.

Definisi Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk

mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas

dan faktor dukungan. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :


29

Respon terpimpin. Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang

benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat

pertama.

Mekanisme. Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mancapai praktik tingkat kedua.

Adopsi. Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari

atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni

dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran praktik

juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut. Misalnya perilaku higiene

perorangan dapat diukur dari kebersihan kulit, kuku, rambut, dan sebagainya.

Landasan Teori

Pamungkas (2015), mengutip pendapat Gollaher (2000) dan Sholikhin

(2010) menyatakan, dari sisi sejarah, sirkumsisi telah dilakukan sejak ribuan tahun

sebelum Masehi. Sirkumsisi berasal dari ajaran Nabi Ibrahim as. dan dilaksanakan

oleh para pengikutnya. Di Mesir, sebuah informasi menunjukkan bahwa

sirkumsisi telah dipraktikkan sejak ribuan tahun yang lalu, saat peradaban kuno

Mesir berlangsung. Tradisi sirkumsisi, secara umum sudah setua sejarah manusia

itu sendiri, sebab ia banyak ditemukan dalam sejarah agama–agama sebelum


30

Islam, misalnya Yahudi dan sebagian Kristen. Seiring dengan itu, para pemeluk agama

ini meneruskan ritual itu hingga sekarang. Kendati tak semua pemeluk agama

melakukannya, karena sirkumsisi sendiri mengandung perdebatan di dalamnya, tetap

saja agama menjadi satu dorongan kuat untuk melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai