Anda di halaman 1dari 4

SUNAT PEREMPUAN DARI SISI MEDIS : TAHU ATAU

SEKADAR PERNAH DENGAR?

Sunat atau sirkumsisi telah luas diketahui oleh masyarakat. Namun, untuk sunat bagi
perempuan, banyak yang menganggapnya tabu dan hanya sedikit yang mengetahui detail
kebenarannya. Hal ini terjadi karena pengaruh budaya yang belum bisa melek kesehatan
reproduksi. Selain itu, adanya larangan sunat perempuan dari Organisasi Kesehatan Dunia
membuat sebagian orang langsung percaya bahwa sunat perempuan itu berbahaya. Padahal,
sunat perempuan yang dilakukan secara tepat oleh orang yang kompeten, dapat membawa
manfaat yang lumayan banyak.

Sunat atau sirkumsisi pada laki-laki adalah prosedur medis yang berupa pemotongan
bagian kulit penutup kepala penis. Sedangkan bagi perempuan, sunat dilakukan dalam
beberapa cara. Menurut klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia, sunat perempuan yang
dilakukan di seluruh dunia ada 4 tipe, yaitu :

Tipe I, pemotongan daerah klitoris dan/sekitarnya;

Tipe II, yaitu Tipe I ditambah pemotongan bibir kemaluan;

Tipe III, yaitu Tipe II ditambah penjahitan bibir kemaluan;

Dan Tipe IV, yaitu semua prosedur non-medis yang dilakukan untuk melukai organ
genital perempuan.

Dari semua prosedur diatas, yang terbukti tidak merugikan perempuan dan dapat
bermanfaat adalah yang Tipe I. Dimana area yang dilakukan sunat adalah klitoris perempuan.
Dalam dunia medis, ada suatu tindakan bedah minor yang bernama hoodectomy/clitoral
unhooding, yaitu tindakan memotong kulit yang menutupi klitoris sehingga membuat
kepala klitoris terekspos, sehingga dapat menambah sensitivitas dan kebersihan klitoris.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa inilah prosedur sunat perempuan yang benar.

Namun sayangnya, di seluruh dunia belum ada prosedur standar operasional medis
mengenai sunat perempuan. Hal inilah yang memancing adanya bermacam-macam jenis
sunat perempuan yang lain, selain hoodectomy. Dan kebanyakan prosedur lain ini
membahayakan pasien. Dan ini juga lah yang membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
melarang dilakukannya sunat perempuan di seluruh dunia.
Pada tahun 1959, seorang dokter Amerika, W.G. Rathmann, membuat tulisan di
majalah General Practitioner tentang sunat perempuan. Rathmann menulis bahwa ia
melakukan tindakan pengangkatan dan pemotongan kulit yang menutupi klitoris beberapa
pasiennya. Ia membagikan kuesioner pada pasien-pasiennya dan mendapatkan data bahwa,
dari 112 jawaban, ia menemukan bahwa terdapat 87% wanita yang sukses mendapatkan
orgasme setelah dilakukan prosedur sunat, padahal sebelumnya mereka belum pernah
merasakan orgasme. Tindakan ini diikuti oleh banyak dokter, dan sekarang, yang penulis
ketahui, dia Amerika Serikat dan Korea Selatan , sudah banyak dokter yang membuka jasa
untuk melakukan tindakan ini.

Menambah sensitivitas klitoris yang berujung pada tercapainya orgasme perempuan


adalah hanya salah satu dari manfaat sunat perempuan. Manfaat lainnya adalah dapat
membuat bagian klitoris perempuan menjadi lebih bersih. Karena penis dan klitoris bersifat
homolog (berstruktur dasar sama tapi berbeda fungsi), penis laki-laki dan klitoris perempuan
sama-sama memproduksi smegma (kotoran berwarna putih) di balik kulit yang menutupi
kepalamya. Nah, disinilah peran sunat perempuan, dengan memotong kulit yang menutupi
kepala klitoris, smegma ini tidak akan bisa menumpuk, dan mudah dibersihkan. Mirip dengan
sunat laki-laki, bukan?

Ditemukannya beberapa atau mungkin banyak kasus yang mengakibatkan kesakitan


dan kematian pada perempuan yang disunat, membuat Organisasi Kesehatan Dunia semakin
gencar melakukan pelarangan sunat perempuan. Kasus terbaru, seorang anak perempuan di
Mesir, meninggal karena disunat, lalu dokter dan orangtuanya menjadi tersangka oleh di
pengadilan Mesir. Ini terjadi karena mereka menggunakan prosedur yang salah, dan mungkin
saja di lingkungan yang tidak steril. Hal serupa juga ditemukan di negara-negara Afrika yang
lain seperti Sudan, Ethiopia, Sierra-Leone, Kenya, dan Somalia. Kebanyakan dari mereka
menggunakan prosedur yang berbahaya yang memotong kepala klitoris sehingga
mengakibatkan pendarahan dan infeksi yang parah, yang berujung kematian. Kebanyakan
kasus seperti ini tidak terungkap oleh media. Dalam hal ‘sunat’ dengan cara begini, penulis
berpendapat bahwa ini adalah tindakan yang berbahaya dan sudah seharusnya dilarang.

Di Indonesia, sunat perempuan kebanyakan dilakukan dengan Tipe I dan IV, dimana
setiap prosedurnya cenderung tidak invasif dan dilakukan oleh tenaga medis. Kebanyakan
dari mereka menggunakan jarum atau gunting kecil untuk menoreh sedikit pada permukaan
klitoris perempuan. Sebagian lagi hanya dengan menggunakan kassa untuk membersihkan
bagian klitoris. Di kalangan tenaga medis sunat dengan cara ini sering disebut ‘sunat
bohongan’ atau ‘sunat simbolis’ karena memang sejatinya, walaupun tidak berbahaya,
prosedur ini sama sekali tidak bermanfaat dan tidak etis. Karena terkesan menipu
pasien/orangtuanya.

Khusus di Indonesia, penulis menemukan kesalahan pada penyunatan perempuan


yang perlu diperbaiki. Pada salah beberapa klinik sunat waralaba yang melayani sunat untuk
anak perempuan dengan budget yang cukup mahal, mereka hanya menggunakan jarum untuk
menoreh kulit penutup klitoris dan tidak memotong apa pun. Dalihnya, mereka mengikuti
arahan Permenkes No. 1636 Tahun 2010. Padahal, Permenkes itu sudah tidak berlaku lagi
sejak tahun 2014. Dan yang terpenting adalah, sunat sejatinya adalah prosedur untuk
memotong bagian kemaluan. Jika tidak ada yang dipotong dan hanya dibersihkan, tindakan
itu tidak bisa disebut sunat.

Lain lagi kalau di Amerika Serikat dan Korea Selatan. Disana, sunat perempuan
dilakukan dengan benar dan oleh tenaga yang kompeten. Dengan harga yang juga dahsyat.
Mungkin pembaca bertanya-tanya, “kok bisa begitu?” Sebagian besar pembaca mungkin
belum tahu bahwa disana mereka menggunakan istilah hoodectomy/clitoral unhooding –
seperti yang saya tulis diatas—untuk tindakan sunat perempuan ini. Dan mereka mungkin
tidak menyadari bahwa inilah sunat perempuan yang benar. Dan disinilah ironinya, mereka
mengecam tindakan sunat perempuan yang dilakukan di negara-negera tertentu, namun
mereka melakukan hal yang serupa di negaranya dengan tenang! Hanya gara-gara mereka
mengganti namanya, sungguh konyol!

Menurut penulis polemik sunat perempuan di dunia terjadi karena ketidaktegasan


pemerintah dalam membuat peraturan. Seperti di Indonesia, sempat dibuat peraturan sunat
perempuan, tapi malah dicabut. Walaupun penulis berpendapat bahwa Peraturan Menteri
Kesehatan N0.1636 Tahun 2010 yang dicabut itu seyogyanya hanya perlu diperbaiki
kesalahan proseduralnya. Masalah lain datang dari Orgasnisasi Kesehatan Dunia yang
melarang sunat perempuan secara mutlak. Meskipun mereka organisasi kelas dunia dibawah
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidaklah pantas bagi mereka untuk mengatur-atur
budaya orang, apalagi sunat perempuan seringkali berhubungan dengan agama. Saran penulis
pada pemerintah dan Organisasi Kesehatan Dunia, daripada melakukan hal tidak adil dan
konyol seperti melarang sunat perempuan dan tarik-ulur peraturan, sebaiknya kalian
introspeksi dan mulai membuka hati dan pikiran. Pada orang-orang pintar dan berpengaruh di
pemerintahan dan Organisasi Kesehatan Dunia, penulis ajukan permohonan membuat
prosedur resmi sunat perempuan dengan teknik hoodectomy, sehingga jika ini sudah
dilakukan, diharapkan hoodectomy dapat dilakukan dan diterima masyarakat luas seperti
tindakan sirkumsisi.

Abdul Hafizh Siregar, SKM


Penulis adalah alumni dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
dan berkonsentrasi pada peminatan kesehatan reproduksi, khususnya pada topik sunat
perempuan, keadilan gender, dan kesehatan reproduksi remaja.

Anda mungkin juga menyukai