OLEH :
D. Kegunaan
Mengetahui dan memahami tentang hukum operasi selaput dara bagi wanita yang belum
menikah yang pecah karena kecelakaan atau ketidak sengajaan.
E. Data
- Sumber data
Sumber data kami peroleh dari buku yang kami baca.
- Kategori data
Kategori data yang digunakan ialah data sekunder.
F. Metode
a. Diskriptif
Operasi selaput dara (hymen) memang kerap dilakukan di dunia kedokteran, misalkan
yang baru saja muncul dilayar televisi bahwa artis dewi persik telah melakukan operasi selaput
dara keperawanan di singapura. Dewi persik yang merupakan seorang janda telah melakukan
operasi keperawanan, namun beda masalah dengan pembahasan makalah ini, yakni operasi
selaput dara keperawanan (hymen) yang dilakukan oleh wanita yang belum menikah
dikarenakan kecelakaan atau ketidak sengajaan.
Tujuan orang yang sudah pernah menikah dan melakukan operasi keperawanan
mungkin saja karena beberapa hal misalkan untuk mencari sensasi, untuk membuat sejarah
hidup yang fenomenal bagi dirinya karena tidak ada yang melakukan ini selain dirinya.
Berbeda dengan tujuan yang dilakukan oleh orang yang belum menikah, mereka
melakukan operasi keperawanan karena tidak ingin membuat suaminya kelak kecewa karena
tidak mendapati darah ketika berhubungan suami istri. Juga untuk menghindari tuduhan
suaminya kelak yang mengira bahwa istrinya tersebut pernah berzina sebelum menikah. Ini
merupakan permasalahan yang perlu dibahas tentang hukumnya, dan untuk menemukan
solusi terbaik bagi wanita yang telah pecah selaput dara keperawanannya, agar tidak takut
dalam menghadapi permasalahan tersebut.
b. Verifikatif
Setelah mendeskripsikan permasalahan, maka selanjutnya yang perlu dilakukan ialah
memverifikasinya, yakni bagaimana hukum daripada permasalahan tersebut.
Hukum bagi wanita yang sudah menikah untuk melakukan operasi keperawanan jelas
hukumnya yakni haram. Apalagi hanya berniat mencari sensasi, ini hal yang tidak
diperbolehkan, namun bagaimana jika yang melakukan operasi keperawanan adalah wanita
yang belum menikah dimana pecahnya selaput dara keperawanan disebabkan karena
kecelakaan, yang ia takut jika kelak akan mengecewakan suaminya
G. Sistematika
Sistematika penulisan ialah pada bab satu, tentang pendahuluan dimana ada latar belakang
masalah yang memuat akan pentingnya untuk dibahas. Kemudian ada masalah yang memuat
identifikasi, pembatasan, dan rumusan masalah. Selanjutnya ada tujuan, kegunaan, data, dan
metode, serta sistematika penulisan.
Pada bab dua memuat deskripsi, yakni pembahasan tentang operasi selaput dara
keperawanan, Manfaat dan Mudharat yang Timbulkan Akibat Oprasi Selaput Dara, Selaput
Dara Menurut Ilmu Kesehatan, Bentuk Selaput dara, dan lain sebagainya.
Pada bab tiga memuat tentang banhaj yang digunakan dalam menentukan hukum, sedang
pada bab ke empat memuat tentang istinmbathnya. Dan disusul oleh bab yang kelima yakni
penutup yang memuat ringkasan dan kesimpulan. Dan yang terakhir terdapat daftat pustaka.
BAB II
DESKRIPSI
a) Pertama : Hilang selaput dara karena sesuatu yang tidak dikatagorikan maksiat .
Seorang gadis mungkin saja kehilangan selaput daranya ( keperawanannya ) akibat
kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu berat, atau karena terlalu banyak
bergerak dan lain-lainnya . Begitu juga jika ia masih kecil dan diperkosa seseorang ketika
dalam keadaan tidur atau karena ditipu.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing
satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
5) Mendidik masyarakat
Pengaruh yang mendidik secara umum adalah bahwa sebuah kemaksiatan jika
ditutupi, bahayanya akan terbatas di wilayah yang sempit sekali. Bisa jadi terbatas pada sang
pelaku jika ia tidak bertaubat dan jika ia bertaubat maka hilanglah pengaruhnya . tetapi apabila
hal tersebut tersebar dalam masyarakat, maka pengaruh buruknya akan bertambah dan akan
berkuranglah rasa segan terhadap orang yang melakukannya.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik. Yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”.
(An-Nuur : 3)
َ شنَا فَلَي
. (ْس ِمنَّا )رواه مسلم وأحمد َّ غ
َ َم ْن
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR.Muslim dan Ahmad)
c. Membuka aurat
Tersingkapnya aurat yang paling vital milik perempuan di hadapan dokter. Pada
dasarnya, selain suami dan istri, tidak ada yang boleh melihat kemaluan orang lain. Baik itu
sama jenisnya, ataupun (apalagi) yang berbeda jenis kelamin. Di lain pihak, dalam ilmu
kedokteran tidak ditemukan adanya manfaat keperawanan dari sisi kesehatan. Maka, hanya
alasan yang sangat darurat dan mendesaklah yang dapat membolehkan operasi selaput dara
ini.
BAB III
MANHAJ
A. Diskripsi Al-Maslaha Al- Mursalah
1. Pengertian al-Maslaha al-Mursalah
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yang bentuk keduanya dalam bentuk sifat-
maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia bagian dari al-mashlahah.
Maslahah ( )مصلحةberasal dari kata shalaha ( )صلحdengan penambahan “alif” di awalnya yang
secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata”buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan
arti kata shalah ()صالح, yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan.
Pengertian maslahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
kesenangan atau keuntungan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemudaratan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah.
Dengan begitu maslahah mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkangkan
kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemadaratan.
Al-Mursalah ( )المرسلةadalah isim maf’ul (obyek) dari fiil madhi (kata dasar) dalam
bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu رسل, dengan penambahan huruf “alif” di
pangkalnya, sehibgga menjadi ارسل. Secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas” dan
“bebas” disini bila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas” atau
bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.
Maslahah mursalah ialah sesuatu yang mendorong adanya hukum, yang hukum tadi
sesuai menurut pandangan akal, sedangkan hukum tadi tidak terdapat dalam pokok syari’.
(Irsyadul Fuhul).
Begitulah kata Imam al Ghazali, beliau menamakannya dengan istilah :
) والمرادبالمصلحة المحافظةعلى مقصودالشرع بدفع المفاسدفى الخلق (الخوارزمى: قال الخوارزمئ
Dan berkatalah imam Al Chawarizmy yang dimaksud dengan mashlahah (mashalih)
ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan melenyapkan mafsadah (kerusakan) atau madharat
dari makhluk1[1].
1[1] Jafar Amir, Ushul Fiqih 2, ( Semarang: Cv. Toha Putra, 1972), h. 13
Beliau memandang juga bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’
sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia karena kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan pada kehendak syara’ tetapi sering didasarkan pada kehendak hawa nafsu.2[2]
Dan tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada 5 bentuk, yakni memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan untuk memelihara
ke lima aspek tujuan syara’ tersebut maka dinamakan maslahah.
Jadi mashlahah mursalah itu menetapkan hukum berdasarkan kemashlahatan umum,
untuk menghindarkan kerusakan yang akan menimpa kepada umat manusia. Memang akal
dapat menetapkan hukum itu, hanya saja jika dicari pokok syari’nya tidak akan menunjukkan
adanya hukum tersebut.
Misalnya dalam peperangan orang-orang kafir mempergunakan tawanan orang islam
dijadikan perisai dalam menghadapi kaum muslimin. Kalau kaum muslimin tidak menyerang
mereka, tentu akan dikalahkan dan dimusnahkan, atau akan dijajah segala-galanya.
Maka demi menjaga kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya wajiblah kaum muslimin
menyerang kepada musuh, guna menghindarkan diri dari kerusakan dan tidak berdosa apabila
dalam penyerangan itu, hingga mungkin juga akan terbunuh tawanan islam yang dijadikan
perisai oleh musuh tadi.
Soal membunuh muslim yang tidak berdosa karena dijadikan perisai oleh musuh itu,
tidak ada pokok syari’ yang jelas yang menunjukkan boleh.
Tetapi karena kemaslahatan yang lebih besar dan keadaan yang memaksa untuk
kepentingan umum yang meliputi kaum muslimin seluruhnya, maka membunuh tadi tidak
berdosa3[3].
Oleh kerena itu, Maslahah dalam pengertian istilah adalah manfaat yang dikemukakan
oleh syar’i dalam menetapkan hukum untuk hambanya dalam usaha pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Macam-Macam Al Maslahah
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan para ahli ushul fiqih membaginya
pada 3 macam, yaitu:
2[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, ( Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 144
3[3] Jafar Amir, Ushul Fiqih 2, ( Semarang: Cv. Toha Putra, 1972), h. 13-14
a. Maslahah Al Dharuriyyah
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia
dan akhirat, kemaslahatan tersebt terdiri dari 5, yakni memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Kelima kemaslahatan tersebut disebut dengan al mashalih al khamsah.
b. Maslahah Al Hajiyah
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau
dasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah, diberi keringanan untuk
meringkas sholat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, semuanya ini
disyariatkan Allah untuk mendukung kebutuhan dasar , al mashalih al khamsah di atas.
c. Maslahah Al Tahsiniyyah
Yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap, berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya, misalnya dianjurkan untuk memakan yang bergisi,
berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tamabahan.
Ketiga kemaslahatan diatas perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat
menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslhatan dharuriyah harus
lebih didahulukan dari pada kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih
didahulukan dari pada kemaslahatan tahsiniyyah4[4].
4[4] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, ( Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 144
5[5] Syarifuddin amir, Ushul Fiqh Jilid II, Kencana, (Jakarta:2008) hal. 359
2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan
maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan
bagi umat manusia.
3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada,
baik dalam bentuk nash Al-Qur’an dan sunnah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
4. Maslahah mursalah itu di amalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya
masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini maka umat akan berada dalam kesempitan
hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindari umat dari kesulitan.
Dari persyaratan di atas terlihat bahwa ulama yang menggunakan maslahah mursalah
dalam berijtihad sangat berhati-hati dalam menggunakannya karena meski bagaimana juga
apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan hal-hal yang pada waktu itu tidak
ditemukan petunjuk hukum.
Untuk menguatkan pendapatnya atas bolehnya menggunakan maslahah mursalah,
kelompok ulama yang setuju ini mengemukakan argumentasi, yang kebanyakan berbentuk
argumen rasional. Dalam hal ini sulit menggunakan argumen nash secara langsung, karena
seandainya ada dalil untuk itu tentu metode ini pun tidak akan ada, karena maslahah mursalah
itu baru diamalkan dalam keadaan tidak ada nash.
Argumen kalangan ulama yang menggunakan maslahah mursalah, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Adanya takrir (pengakuan) nabi atas penjelasan mu’adz bin jabal yang akan menggunakan
ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi untuk menyelesaikan
suatu masalah hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada daya nalar atau suatu yang
dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan
nash.
2. Adanya amaliah dan praktek yang begitu meluas di kalangan sahabat nabi tentang
penggunaan maslahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para
sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya : pemilihan Abu Bakar sebagai kholifah yang
dilakukan oleh para sahabat nabi; pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang di
masa Umar bin Khatab; penyatuan cara baca Al-Qur’an (qiraat) pada masa Ustman, dan
lainnya. Bahkan banyak maslahah yang digunakan para sahabat itu berlainan (membentur)
dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang tidak mau membayar zakat pada waktu
Abu Bakar; keputusan tidak memberikan hak zakat untuk mualaf pada masa Umar; dan
diberlakukannya azan dua kali pada waktu Ustman bin Affan.
3. Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat
hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i,
meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya. Sebaliknya bila tidak digunakan untuk
menetapkan suatu kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum berarti melalaikan tujuan yang
dimaksud oleh syar’i (Pembuat Hukum). Melalaikan tujuan syar’i adalah suatu perbuatan
yang batal. Karena itu dalam menggunakan maslahah itu sendiri tidak keluar dari prinsip-
prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode
maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah swt
sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan menjauhkan kesulitan, seperti
ditegaskan dalam surat Al Baqarah (2): 185 dan Nabi pun menghendaki umatnya menempuh
cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Ulama yang menggunakan maslahah mursalah ternyata tidak menerimanya secara
mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Ulama juga menetapkan batasan
wilayah penggunaan maslahah mursalah yaitu hanya untuk masalah di luar wilayah ibadah,
seperti muamalat dam adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali masalah
tidak dapat digunakan secara keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu di dasarkan pada
pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan
hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan ibadah bersifat ta’abbudi ( )تعبديdan tawqifi ) (توقيفىartinya kita
hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash dan akal sama
sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Umpamanya mengenai sholat dzuhur empat
rakaat dan dilakukan sesudah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau
buruk.
Di luar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan
hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli ) (تعقليatau rasional dan oleh karenanya
dapat dinilai baik buruknya oleh akal. Umpamanya minuman khamer itu adalah buruk karena
merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat
bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.
BAB IV
ISTINBATH
A. Penerapan Al-Maslahah Al-Mursalah Pada Hukum Operasi Selaput Dara bagi Wanita
Belum Menikah yang Pecah Akibat Kecelakaan
Dalam menentukan hukum operasi selaput dara, ulama berbeda pendapat, dikarenakan
perbedaan pandangan dan manhaj yang digunakan. Fungsi operasi selaput dara antara lain
untuk menutupi aib, melindungi keluarga, mewujudkan keadilan antara pria dan wanita, dan
menghindarkan diri dari prasangka buruk suaminya.
Diantara pengaruh-pengaruh positif operasi selaput dara, terdapat juga sisi negatifnya,
yakni adanya ketidakjujuran si wanita kepada suaminya kelak tentang apa yang pernah terjadi
pada dirinya.
Jika permasalahan operasi selaput dara ditarik dalam objek kajian tertentu yang berbeda
sisi dan arahnya, maka dalam menentukan hukum juga berbeda. Oleh karena itu kami
mencoba untuk mengambil istinbat hukum dengan beberapa langkah:
1. Menjelaskan konsep maslahah dalam operasi selaput dara.
2. Mengidentifikasi kemaslahatan operasi selaput dara dan menentukan hukumnya.
Dari beberapa ke dua langkah diatas, kami akan mencoba melakukan istinbat hukum
operasi selaput dara bagi wanita belum menikah yang pecah akibat kecelakaan sebagai upaya
menutupi aib. Uraian penjelasan diatas akan kami kupas satu persatu untuk lebih
mempermudah dalam pengambilan hukumnya.
Secara bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Bentuk jamaaknya ialah
uyub.Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab, disebut ma`ib.
Imam al-Qadhi berkata “Dalam hadits diatas dapat memberi kesan atas dua pengertian:
1. Menutupi maksiat-maksiat, aib-aib yang telah dilakukan saudara muslim lainnya dan tidak
membeberkannya pada orang lain.
2. Tidak mencari-cari, meneliti kesalahan orang lain serta tidak menuturkannya
Syarh an-nawaawi ala Muslim 16/143
firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”(QS. An-Nuur: 19)
Begitulah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh saudara sesama muslim. Mereka
Allah tutupi aibnya di akhirat, kalau mereka menutupi aib saudaranya di dunia. Begitu pula
dengan aibnya sendiri, janganlah gemar menceritakannya kepada orang lain. Atau bahkan
merasa berbangga diri dengan membuka aibnya sendiri di depan orang lain, dengan
mengatakan ini dan itu.
Perbuatan demikian sangat dilarang dan dikecam keras dalam Islam. Sebagaimana
dijelaskan di dalam hadits Rasulullah saw, yang bersumber dari Abu Hurairah ra, ia berkata,
saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Semua umatku akan diampuni, kecuali
orang yang terang-terangan berbuat dosa. Salah satu contohnya ialah seseorang yang
melakukan suatu pekerjaan (buruk) dimalam yang ditutupi oleh Allah, tetapi kemudian pagi
harinya ia justru mengatakan, ‘Semalam aku melakukan ini dan ini.’ Ketika tidur malam
aibnya sudah ditutupi oleh Tuhannya, tetapi pagi hari ia justru membukanya sendiri.’” (HR.
Bukhari dan Muslim)6[6]
Firman Allah SWT :
6[6]Imam An-Nawawi, Riyadhush Shaalihiin , Takhrij Hadits: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
Ta’liq: Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, Terbitan AKBARMEDIA, Bab menutupi aib kaum muslimin.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia dilarang berprasangka atau curiga
kepada orang lain, apalagi mencari keburukan orang lain serta menggunjingnya, semua itu
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Dalam operasi selaput dara bagi wanita
belum menikah yang pecah akibat kecelakaan, pelaksanaan operasi dikarenakan untuk
menutupi aib sehingga suaminya kelak tidak kecewa karena anggapan kepada istri
bahwasannya ia sudah tidak perawan lagi.
Jika operasi selaput dara bagi wanita belum menikah yang pecah akibat kecelakaan
dilakukan dalam rangka menutup aib diri sendiri yang akan berakibat baik bagi dirinya sendiri
dan orang lain, maka hal itu dibenarkan.
Secara ringkasnya istimbath terhadap operasi selaput dara dengan al-Maslahah al-
Mursalah adalah:
Sedangkan نوعyang ( غير منصوصةtidak terdapat didalam Nash) adalah : operasi selaput
dara ( ) رتق غشي البكرdimana operasi selaput dara tersebut dilakukan oleh wanita yang belum
menikah yang pecah akibat kecelakaan.
Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kesama’an/kemiripan antara نوع
yang منصوصوصةdan نوعyang غير منصوصةyakni operasi selaput dara bagi wanita belum
menikah yang pecah akibat kecelakaan dan perintah menutub aib.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ciri khas wanita antara lain bisa haid, mengandung, melahirkan, menyusui, bahkan
memiliki tanda apa ia masih perawan atau ia sudah tidak perawan yang ditandai dengan
adanya selaput dara (hymen).
Operasi selaput dara adalah operasi untuk memperbaiki selaput dara yang rusak atau
mengembalikannya kepada tempat semula. Operasi pengembalian keperawanan wanita dalam
istilah bahasa Arab adalah ritqu ghisyya al-bikarah.
Untuk memudahkan pemahaman, maka pembahasaan ini, kita bagi menjadi beberapa
bagian, sesuai dengan penyebab hilangnya selaput dara.
Pertama : Hilang selaput dara karena sesuatu yang tidak dikatagorikan maksiat .
Kedua : Hilang selaput dara karena maksiat seperti berzina.
Dalam menentukan hukum operasi selaput dara bertujuan untuk menutup aib karena
hilangnya selaput akibat kecelakaan, selama didalamnya terdapat sebuah akibat yang baik
bagi dirinya maupun orang lain, maka perbuatan itu diperbolehkan.
2. Saran
Dalam penulisan tugas ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan
serta jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan tugas kami atas kritik dan
sarannya kami sampaikan terimakasih.
Daftar Pustaka
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta : Kalam Mulia, 1996) Cet. 2
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=179743