Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bagi sebagian masyarakat, sunat perempuan merupakan tradisi yang juga seringkali dikaitkan dengan agama. Hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra. Dilakukan oleh penganut Islam, Kristen, Katolik, animisme, dinamisme, salah satu sekte Yahudi, dan juga atheis. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa latar belakang tradisi lebih dominan, bukan perintah agama. Praktik sunat perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi. Praktik sunat perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada tindakan simbolik, tanpa pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin. Walaupun ada juga dukun bayi di Madura yang berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetap harus ada darah dari klitoris atau labia minora. Di Yogyakarta, sunat perempuan yang di kenal dengan istilah tetesan sebagian dilakukan oleh dukun bayi dengan cara menempelkan/menggosokkan kunyit klitoris, kemudian kunyit tersebut dipotong sedikit ujungnya, dan potongan tersebut dibuang ke laut atau dipendam di tanah. Kadang juga hanya dengan mengusap atau membersihkan bagian klitoris dan sekitarnya. Secara umum, di Jawa dan Madura memotong sedikit ujung klitoris adalah cara yang paling banyak dilakukan, selain cara simbolik. Menurut WHO, sunat perempuan termasuk bentuk penyiksaan (torture) sehingga dimasukkan dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap sunat perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengan tidak adanya inform consent, tekanan patriakal, dan kekerasan pada wanita berkaitan dengan penderitaan serta dampak yang timbul. Hasil penelitian di enam provinsi, yaitu Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo selam 18 bulan (Oktober 2001 sampai Maret 2003) yang dilakukan oleh Population Council bekerja sama dengan kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, di dapatkan temuan bahwa dalam praktik FGM, tenaga kesehatan ternyata menggunakan peralatan seperti jarum, pisau, dan gunting untuk melakukan irisan (22%) dan eksisi/pengupasan (72%). Temuan Program Kajian Perempuan dari Universitas Indonesia dan Yayasan Kesehatan Perempuan Atmajaya yang melakukan penelitian serupa juga tak jauh beda. Diungkapkan juga bahwa medikalisasi (terutama oleh bidan) cenderung

melakukan sunat dengan cara yang lebih invasive (68-88% kasus), dengan insisi atau eksisi yang lebih luas dibandingkan dengan yang dilakukan oleh tenaga tradisional 43-67% kasus.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk menganalisis hukum pada kasus sunat perempuan

1.2.2.Tujuan Khusus Mengetahui definisi hukum kesehatan Mengetahui definisi sunat perempuan Mengetahui alasan sunat perempuan Mengetahui komplikasi sunat perempuan Mengetahui keterkaitan kasus sunat perempuan dengan hukum kesehatan di Indonesia dan praktik bidan

1.3 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Sistematika BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi Hukum Kesehatan 2.2 Definisi Sunat Perempuan 2.3 Alasan Sunat Perempuan 2.4 Komplikasi Sunat Perempuan 2.5 Keterkaitan Kasus Sunat Perempuan dengan Hukum Kesehatan di Indonesia dan Praktik Bidan BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Kasus 3.2 Pembahasan BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan 4.2 Saran

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Hukum Kesehatan Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Pehimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukun yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban bak dari peroranagn dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan mauapun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Sunat Perempuan Sunat perempuan, dikenal juga dengan istilah sirkumsisi atau khitan perempuan. Sedangkan istilah secara internasional sunat perempuan adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Penggunaan istilah sendiri masih seringkali diperdebatkan. WHO mendefinisikan FGC sebagai semua tindakan/prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ geneti Italia perempuan dengan alasan budaya, atau alasan nonmedis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini.

WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu : Tipe I Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah hoodectomy. Tipe II Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora, tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula. Tipe III Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan Ala Firaun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut

vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGC. Tipe IV Tidak terklasifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan atau labia; meregankan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit; serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGC di atas.

Gambar 1 Tipe sunat perempuan

Pelaksanaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis (baik perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi, maupun dukun/tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional (pisau, sembilu, bamboo, jarum, kaca, kuku) hingga alat moderen (gunting, scapula). Pelaksanaan bisa dengan atau tanpa anestesi.

Infibulasi sebagai tipe terberat dari FGC digambarkan dilaksanakan dengan cara eksisi vulva dengan dinding musculus dari pubis ke anus. Setelah eksisi, kedua sisi labia mayora dijahit disatukan, dengan meninggalkan lubang kecil di vulva. Penyembuhan luka dan pembentukan scar akan menyatukan kedua permukaan labia. Kedua kaki wanita diikat selama sekitar dua minggu untuk mempercepat proses penyembuhan. Semua tindakan itu dilakukan tanpa anastesi.

2.3 Alasan Sunat Perempuan WHO membedakan alasan pelaksanaan FGC menjadi 5 kelompok, yaitu : 1. Psikoseksual Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan,

mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami. 2. Sosiologi Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial, lebih terhormat. 3. Hygiene dan estetik Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan. 4. Mitos Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak. 5. Agama Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima.

2.4 Komplikasi Sunat Perempuan Dampaknya terhadap kesehatan fisik dan psikis diantaranya ialah: Komplikasi yang bisa segera terjadi adalah nyeri berat, syok (kesakitan karena tanpa anestesi atau perdarahan), perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang yang dilaporkan terjadi adalah kista dan abses, keloid, kerusakan uretra yang mengakibatkan inkontinentia urine, dispareni, disfungsi seksual, dan cronic morbidity (antara lain fistula vesico vaginal). Disfungsi seksual dapat diakibatkan oleh dipaureni serta penurunan sensitivitas permanent akibat klitoridektomi dan infibulasi. Kauterisasi elektrik klitoris bisa berpengaruh pada psikis yang menghilangkan keinginan untuk masturbasi. Infibulasi bisa mengakibatkan bentuk scar yang berat, kesulitan dan gangguan miksi, menstruasi, recurrent bladder, infeksi saluran kemih, serta infertilitas. Infibulasi seringkali menimbulkan kesulitan dalam hubungan seksual sehingga dibutuhkan pembukaan jaitan untuk melebarkan introitus vagina. Episotomi yang luas dan dalam diperlukan pada waktu melahirkan pervaginam. Selama melahirkan, risiko infeksi dan perdarahan meningkat secara bermakna, dan sebagian besar wanita dengan infibulasi membutuhkan section Caesaria untuk melahirkan dengan aman.

2.5 Keterkaitan Kasus Sunat Perempuan dengan Hukum Kesehatan di Indonesia dan Praktik Bidan Terdapat Permenkes yang mengatur tentang sunat perempuan ini, yaitu Permenkes 1636 tahun 2010 (lihat dilampiran). Dalam Permenkes ini disebutkan bahwa: Sunat permpuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris (pasal 1 ayat 1). Sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu (pasal 2 ayat 1).

Tenaga kesehatan tertentu yang dapat memberikan pelayanan sunat perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja (pasal 2 ayat 2).

Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal (2) diutamakan berjenis kelamin perempuan (pasal 2 ayat 3). Setiap pelaksanaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya (pasal 3 ayat 1). Setiap pelaksanaan sunat perempuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus diinformasikan kemungkinan terjadi perdarahan, infeksi dan rasa nyeri (pasal 3 ayat 2). Persetujuan prempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 3 ayat 3).

Sunat perempuan tidak dapat dilakukan padaperempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna dan/atau infeksi umum (pasal 5 ayat 1). Sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara mengkauterisasi klitoris, memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya dan memotong atau merusak labia minora, labia minora, hymen atau selaput dara dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya (pasal 5 ayat 2). Dalam permenkes ini telah jelas bahwa bidan yang telah memiliki surat izin praktik

atau surat izin kerja boleh melakukan sunat perempuan atas dasar permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang, dengan sebelumnya memberikan informasi kemungkinan terjadi perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. Namun, pada Kepmenkes 369 tahun 2007 tidak terdapat kompetensi bidan yang berhubungan dengan sunat perempuan. Terutama pada Kompetensi ke 6 dan 7 (asuhan bayi dan balita) tidak disebutkan bahwa bidan mempunyai wewenang untuk melakukan sunat pada bayi atau balita perempuan.

ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.

Pengetahuan Dasar 1. Adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan di luar uterus. 2. Kebutuhan dasar bayi baru lahir: kebersihan jalan napas, perawatan tali pusat, kehangatan, nutrisi, bonding & attachment. 3. Indikator pengkajian bayi baru lahir, misalnya dari APGAR. 4. Penampilan dan perilaku bayi baru lahir. 5. Tumbuh kembang yang normal pada bayi baru lahir selama 1 bulan. 6. Memberikan immunisasi pada bayi. 7. Masalah yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti: caput, molding, mongolian spot, hemangioma. 8. Komplikasi yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti: hypoglikemia, hypotermi, dehidrasi, diare dan infeksi, ikterus. 9. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi baru lahir sampai 1 bulan. 10. Keuntungan dan resiko immunisasi pada bayi. 11. Pertumbuhan dan perkembangan bayi prematur. 12. Komplikasi tertentu pada bayi baru lahir, seperti trauma intra-cranial, fraktur clavicula, kematian mendadak, hematoma. Keterampilan Dasar 1. Membersihkan jalan nafas dan memelihara kelancaran pernafasan, dan merawat tali pusat. 2. Menjaga kehangatan dan menghindari panas yang berlebihan. 3. Menilai segera bayi baru lahir seperti nilai APGAR. 4. Membersihkan badan bayi dan memberikan identitas. 5. Melakukan pemeriksaan fisik yang terfokus pada bayi baru lahir dan screening untuk menemukan adanya tanda kelainan-kelainan pada bayi baru lahir yang tidak memungkinkan untuk hidup. 6. Mengatur posisi bayi pada waktu menyusu. 7. Memberikan immunisasi pada bayi. 8. Mengajarkan pada orang tua tentang tanda-tanda bahaya dan kapan harus membawa bayi untuk minta pertolongan medik. 9. Melakukan tindakan pertolongan kegawatdaruratan pada bayi baru lahir, seperti: kesulitan bernafas/asphyksia, hypotermia, hypoglycemi. 10. Memindahkan secara aman bayi baru lahir ke fasilitas kegawatdaruratan apabila dimungkinkan.

11. Mendokumentasikan temuan-temuan dan intervensi yang dilakukan. Keterampilan Tambahan 1. Melakukan penilaian masa gestasi. 2. Mengajarkan pada orang tua tentang pertumbuhan dan perkembangan bayi yang normal dan asuhannya. 3. Membantu orang tua dan keluarga untuk memperoleh sumber daya yang tersedia di masyarakat. 1. Memberikan dukungan kepada orang tua selama masa berduka cita 2. sebagai akibat bayi dengan cacat bawaan, keguguran, atau kematian 3. bayi. 4. Memberikan dukungan kepada orang tua selama bayinya dalam 5. perjalanan rujukan diakibatkan ke fasilitas perawatan kegawatdaruratan. 6. Memberikan dukungan kepada orang tua dengan kelahiran ganda.

ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan 5 tahun). Pengetahuan Dasar 1. Keadaan kesehatan bayi dan anak di Indonesia, meliputi: angka kesakitan, angka kematian, penyebab kesakitan dan kematian.Peran dan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaan bayi dan anak. 2. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak normal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Kebutuhan fisik dan psikososial anak. 4. Prinsip dan standar nutrisi pada bayi dan anak. Prinsip-prinsip komunikasi pada bayi dan anak. 5. Prinsip keselamatan untuk bayi dan anak. 6. Upaya pencegahan penyakit pada bayi dan anak misalnya pemberian immunisasi. 7. Masalah-masalah yang lazim terjadi pada bayi normal seperti: gumoh/regurgitasi, diaper rash dll serta penatalaksanaannya. 8. Penyakit-penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak. 9. Penyimpangan tumbuh kembang bayi dan anak serta penatalaksanaannya.

10. Bahaya-bahaya yang sering terjadi pada bayi dan anak di dalam dan luar rumah serta upaya pencegahannya. 11. Kegawat daruratan pada bayi dan anak serta penatalaksanaannya. Keterampilan Dasar 1. Melaksanakan pemantauan dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak 2. Melaksanakan penyuluhan pada orang tua tentang pencegahan bahayabahaya pada bayi dan anak sesuai dengan usia. 3. Melaksanakan pemberian immunisasi pada bayi dan anak. 4. Mengumpulkan data tentang riwayat kesehatan pada bayi dan anak yang terfokus pada gejala. 5. Melakukan pemeriksaan fisik yang berfokus. 6. Mengidentifikasi penyakit berdasarkan data dan pemeriksaan fisik. 7. Melakukan pengobatan sesuai kewenangan, kolaborasi atau merujuk dengan cepat dan tepat sesuai dengan keadaan bayi dan anak. 8. Menjelaskan kepada orang tua tentang tindakan yang dilakukan. 9. Melakukan pemeriksaan secara berkala pda bayi dan anak sesuai dengan standar yang berlaku. 10. Melaksanakan penyuluhan pada orang tua tentang pemeliharaan bayi. 11. Tepat sesuai keadaan bayi dan anak yang mengalami cidera dari kecelakaan. 12. Mendokumentasikan temuan-temuan dan intervensi yang dilakukan.

Peran dan fungsi Bidan dalam asuhan neonatal Bayi baru lahir dapat dikategorikan menjadi bayi normal (sehat) yang hanya memerlukan perawatan biasa dan bayi berisiko tinggi (high risk baby) yang memerlukan penanggulangan khusus. Pada kedua keadaan bayi yang berbeda tersebut, Bidan harus tetap menerapkan asuhan yang mengacu pada standar asuhan bayi baru lahir yang memenuhi hak-hak asasi bayi baru lahir. Dalam kegiatan praktik, kode etik harus ditegakan sebagai aturan professional yang sejalan dengan hukum yang berlaku. Perlakuan yang tidak sesuai, seperti menalungkupkan bayi saat rewel, membiarkan bayi kotor, atau member obat penenang pada malam hari merupakan suatu kegagalan dalam menegakan kode etik yang akan menyebabkan tuntutan dari masyarakat. Bidan harus mempertimbangkan dan memasukan unsure etik pada seluruh kegiatan asuhan yang diberikannya. Jika tidak, kewajibannya dalam memberi asuhan sama sekali dianggap

gagal. Walaupun mungkin hanya kasus kelalaian, bidan harus bertanggung jawab pada seluruh aspek asuhan. Pada dasarnya, etik dalam asuhan neonatal sama dengan etik dalam member asuhan pada orang dewasa, yaitu dengan memegang prinsip menghargai otonomi, melakukan tindakan yang benar, mencegah tindakan yang merugikan, memperlakukan manusia secara adil, menjelaskan informasi dengan benar, menepati janji yang telah disepakati dan menjaga kerahasiaan. Hanya saja bedanya, seorang bayi baru lahir belum dapat mengungkapkan secara langsung perasaan, kebutuhan, dan hal yang paling diinginkannya. Oleh karena itu, untuk menentukan jenis asuhan yang akan diberikan pada bayi baru lahir, diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan tersebut dibagi kedalam 4 hal yaitu : 1. Nilai penting kehidupan. Suatu prinsip yang menyatakan bahwa kehidupan adalah pemberian tuhan, karena itu, factor seperti kurangnya biaya perawatan atau mutu kehidupan yang akan dijalani bayi tersebut tidak menjadi penghalang untuk terus menmberi pelayanan terbaik untuk bayi tersebut. 2. Hak autonomi orang tua. Prinsip ini memandang orang tua sebagai pihak yang paling berhak membuat keputusan atas bayinya. Akan tetapi, ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan tersebut, khususnya kondisi psikologis dan emosional orang tua dan apakah keputusan yang daimbil akan membahayakan bayi tersebut atau tidak. 3. Hal terbaik yang diinginkan bayi. Pendekatan ini hanya bisa digunakan secara terbatas karena bagaimanapun sangat sulit menentukan apa yang dirasakan, dan apa yang paling diinginkan oleh bayi tersebut. 4. Lingkungan masyarakat. Inti pendekatan ini adalah setiap bayi baru lahir berpotensi untuk meningkatkan kemampuan di lingkungan masyarakat, sehingga ia berhak mendapatkan perawatan yang sesuai.

BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Tinjauan Kasus Kasus 1 Rabu, 11 Oktober 2006 | 00:12 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Kenangan traumatis itu masih membekas dalam diri Sarah (bukan nama sebenarnya), 36 tahun. Usianya baru menginjak 4 tahun ketika sang ayah mengajaknya ke rumah sakit untuk menemui seorang bidan. Di ruang periksa, ia diminta duduk dan melihat ke langit-langit. Si bidan lalu menyuntikkan obat bius, sebelum menorehkan peralatan ke celah di pangkal pahanya. Obat bius itu tak bekerja optimal. Sarah pun menjerit dan meronta. "Waduh, sakitnya bukan main," ujar wanita yang tinggal di Sawangan, Depok, itu kepada Tempo, Sabtu lalu. Berhari-hari rasa sakit itu tak kunjung sirna. Buang air kecil pun kerap kali ditahannya karena dia takut. Begitu menginjak bangku sekolah menengah atas, Sarah mulai mencari-cari literatur tentang dasar hukum sunat. Ternyata tak ada fatwa yang cukup sahih, selain alasan tradisi. "Itu kan sama dengan kanibalisme, lalu manfaatnya apa?" katanya geram. Kini ia memutuskan tidak akan menyunat dan menindik dua anak perempuannya. Kasus 2 Isu soal sunat perempuan mengemuka dalam lokakarya bertajuk "Menggunakan HAM untuk Kesehatan Maternal (Ibu) dan Neonatal (Anak)" di Departemen Kesehatan, 22 September lalu. Pada acara itu, dibeberkan kembali hasil penelitian sejumlah lembaga swadaya perempuan dan internasional yang disponsori Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Penelitian tentang female genital mutilation atau sunat perempuan dilakukan selama tiga tahun, Oktober 2001-Maret 2003, di sejumlah daerah, seperti Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, Makassar, Bone, dan Maluku.

Hasilnya menunjukkan 28 persen sunat yang dilakukan di Indonesia hanya sebagai kegiatan "simbolis". Artinya, tak ada sayatan dan goresan atau cuma tusukan sedikit saja. Sisanya, 72 persen, dilakukan dengan cara-cara berbahaya, seperti sayatan, goresan, dan pemotongan sebagian ataupun seluruh ujung klitoris. Tindakan berbahaya itu 68 persen dilakukan oleh dukun atau bidan tradisional, dan hanya 32 persen dilakukan tenaga medis.

Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak pada Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Sri Hermianti, mengaku telah mengeluarkan imbauan kepada tenaga kesehatan untuk tidak melakukan medikalisasi atau tindakan memotong, mengiris, melukai, atau merusak organ genital perempuan/klitoris. Imbauan ini disampaikan melalui organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia. "Medikalisasi itu sudah masuk tindakan medis yang dilarang," ujarnya. Namun, karena masalah ini masih sangat sensitif dan menyangkut tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat, ia mengakui tak bisa begitu saja melarang masyarakat. Dalam waktu dekat, Departemen Kesehatan akan mengadakan pembahasan serius dengan Departemen Agama, organisasi keagamaan, serta organisasi pemuka adat guna menetapkan standar prosedur sunat perempuan yang diperbolehkan secara medis dan agama.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengungkapkan, dalam mazhab Maliki dan Hambali, khitan dianggap sebagai tindakan kemuliaan asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafii, yang umumnya dirujuk masyarakat Indonesia, mewajibkan sunat perempuan. "Jadi asalkan tidak berlebihan karena malah menjadi haram dan sama dengan mengebiri," katanya.

Sebaiknya tenaga kesehatan tidak menolak jika ada keluarga yang ingin mengkhitankan bayi perempuannya. Sebab, akan lebih berisiko jika masyarakat lari ke bidan kampung yang belum tahu tata cara kebersihan dan sebagainya. Amidhan menyarankan sunat dilakukan saat anak masih bayi dan secara simbolis. Kalau anak sudah besar atau baru masuk Islam ketika sudah dewasa, kata dia, sunat tidak perlu dilakukan, "Karena bisa menimbulkan ketakutan." Sumnber: www.tempointeraktif.com/hg/ragam/2006/10/11/brk,20061011-85780,id.html

3.2 Pembahasan Pada kasus 1 diketahui bahwa seorang perempuan yang semasa kecilnya pernah dilakukan sunat perempuan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pengalaman yang traumatis dalam hidupnya. Hal ini menunjukan bahwa sunat perempuan memberikan dampak negatif terhadap psikologis perempuan yang disunat. Sedangkan pada kasus yang ke 2 sunat perempuan merupakan tuntutan dari adat yang harus dilakukan. Sunat perempuan boleh dilakukan asalkan tidak melukai klitoris dan tidak dilakukan pada anak perempuan yang sudah dewasa. Cara seperti ini dilakukan oleh petugas kesehatan, sedangkan cara sunat yang melukai bagian klitoris lebih banyak dilakukan oleh tenaga non kesehatan. Dari kedua kasus diatas terdapat pro dan kontra mengenai sunat perempuan. Bidan sebagai tenaga kesehatan terdepan di masyarakat harus dapat memutuskan tindakan yang seharusnya dibuat dalam menyikapi kasus ini. Bidan harus dapat mempertimbangkan tindakan tersebut boleh dilakukan atau tidak. Mengacu pada Kepmenkes 369 tahun 2007, bidan tidak mempunyai kompetensi dalam melakukan sunat baik pada perempuan maupun laki-laki. Namun, pada Permenkes 1636 tahun 2010 disebutkan bahwa yang melakukan sunat perempuan ialah tenaga kesehatan termasuk bidan. Hal ini menjadi dilema bagi seorang bidan. Namun pada dasarnya, bidan dalam melakukan sunat perempuan harus mengacu pada kewenangan, hukum, dan etika yang berlaku di Indonesia. Bila dilihat dari hukum dan wewenang, bidan boleh melakukan sunat perempuan. Namun apabila dilihat dari etika kebidanan, bidan tidak boleh melakukan sunat perempuan karena tindakn melakukan sunat pada bayi perempuan merupakan hal yang bertentangan dengan hak bayi baru lahir yaitu hak atas kehidupan tanpa risiko yang berkaitan dengan alasan budaya,politik dan agama dan bertentangan dengan salah satu prinsip etik, yaitu mencegah tindakan yang merugikan. Oleh Karena itu, Bidan harus memberikan penjelasan pada keluarga bayi bahwa sirkumsisi pada bayi perempuan tidak bermanfaat. Dikarenakan adanya pro dan kontra tersebut, jadi bidan harus dapat mengambil keputusan yang tepat. Jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan dari sunat perempuan ternyata banyak terdapat dampak negatifnya dibandingkan dengan dampak positifnya jika dilakukan dengan cara memotong klitoris perempuan tersebut. Dan jelas bila bidan melakukan sunat perempuan

dengan cara seperti ini dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Namun apabila bidan melakukan sunat perempuan dengan cara yang telah ditetapkan oleh undang-undang maka ini bukan merupakan suatu pelanggaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa bidan yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja boleh melakukan sunat perempuan atas dasar permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang, dengan sebelumnya memberikan informasi kemungkinan terjadi perdarahan, infeksi dan rasa nyeri. Sehingga tuntutan masyarakat, adat istiadat dan agama akan sunat perempuan dapat terpenuhi tanpa melukai atau menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan yang disunat tersebut.

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan Pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia tidak sama dengan gambaran pelaksanaan di Negara lain, terutama Afrika, Sudan, Mesir, dan sebagainya, yang banyak didapatkan bentuk berat, yaitu tipe 2 dan 3 FGM yang meliputi sebagian besar dari organ genitalia eksternal wanita. Di Indonesia, banyak dijumpai bentuk simbolik sunat perempuan (tanpa pemotongan sesungguhnya) atau dengan pemotongan tipe 1 atau 4 FGM. Kedua bentuk tersebut dilakukan baik oleh tenaga tradisional maupun tenaga kesehatan. Fakta bahwa hampir tidak pernah dijumpai laporan komplikasi akibat sunat perempuan di Indonesia, mempersulit usaha meyakinkan masyarakat untuk meniadakan sunat perempuan di Indonesia. Walaupun demikian, sebenarnya ketiadaan laporan bisa disebabkan minimnya pengetahuan mengungkapkan. Yang perlu menjadi pertimbangan adalah bagaimana jika sunat perempuan di Indonesia diyakini sebagai salah satu bentuk ibadah atau perintah agama, tentu tidak mudah untuk dihapuskan dan bisa menimbulkan polemik yang kuat. Perintah agama sering merupakan suatu dogma, terlepas dari pertimbangan manfaat ataupun kerugiannya berdasarkan akal manusia. Hal yang sama juga terhadap masyarakat yang masih memegang kuat tradisi sunat perempuan sebagai budaya atau bahkan kombinasi antara agama dan budaya. Jika faktanya tetap ada masyarakat yang tetap mempunyai keyakinan untuk harus melaksanakan sunat perempuan dan mereka pergi ke tenaga kesehatan dengan harapan bisa dilaksanakan dengan lebih higienis dan aman dibandingkan oleh tenaga tradisional, hal ini akan menjadi dilema bagi tenaga kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Namun, tenaga kesehatan/bidan yang telah memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja boleh melakukan sunat perempuan atas dasar permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang. Sehingga tuntutan masyarakat, adat istiadat dan agama akan sunat perempuan dapat terpenuhi tanpa melukai atau menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan yang disunat tersebut. reproduksi wanita, atau budaya malu dan takut untuk

4.2 Saran Kebijakan tentang sunat perempuan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dua arah, Baik ke tenaga kesehatan maupun masyarakat secara luas, Sehingga bisa membatasi perbedaan yang ada secara lebih bijak. Bidan dapat melakukan sunat perempuan dengan cara yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Bidan harus memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan, kompetensi, standar dan wewenang yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA 1. Soepardan, Suryani, Dra,Dipl.M,MM. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC, 2008. 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NO

1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan 3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan 4. Declaration of Barcelona, UENPS 2010 5. http://duniakeperawatan.wordpress.com/2009/04/18/sunat-perempuan-prokontratradisi-atau-agama/

Anda mungkin juga menyukai