Anda di halaman 1dari 63

MENJADI DETEKTIF

Tidak lama setelah buku jilid pertama terbit, banyak surat yang dikirimkan
kepada saya yang intinya menanyakan kelanjutan kisah Winnetou. Tanggapan
positif ini ternyata di luar dugaan saya.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dengan berkuda, kami tiba
di muara Rio Boxo de Natchitoches. Di sana kami berharap bisa bertemu dengan
orang Apache yang ditinggalkan Winnetou. Sayang harapan kami itu tidak
terwujud. Kami memang menemukan jejak dari orang-orang yang sebelumnya
berada di tempat itu, tetapi yang kami lihat di sana sangat memilukan, yakni mayat
dua orang trader yang sebelumnya memberikan keterangan kepada kami tentang
perkampungan suku Kiowa. Keduanya ditembak. Belakangan saya tahu dari
Winnetou bahwa penembaknya adalah Santer.
Kedua pedagang itu sebenarnya telah meninggalkan perkemahan Tangua
lebih awal, tetapi kano yang dipakai Santer melaju sangat cepat sehingga mereka
tiba bersamaan di muara sungai. Santer, yang berkantong kosong karena gagal
mendapatkan nugget milik Winnetou, tergiur melihat barang bawaan kedua
pedagang itu. Untuk mendapatkannya, dia menembak mati kedua orang yang tak
menaruh syak wasangka itu, kemungkinan besar dari belakang. Lalu dia
menghilang tanpa jejak dengan membawa kuda bagal mereka. Winnetou
mengetahui rentetan kejadian ini setelah menyelidiki jejak di tempat itu.
Kelihatannya pembunuh itu tidak mudah menggiring kuda beban tersebut
melalui padang sabana yang luas, apalagi dia hanya seorang diri. Selain itu, dia
terpaksa bergegas karena tahu dirinya pasti akan dikejar.
Sial bagi Winnetou, selama beberapa hari hujan turun lebat sehingga
mengaburkan jejak di tanah. Karenanya, dia tak dapat mengandalkan matanya dan
terpaksa harus mereka-reka. Kemungkinan besar Santer pergi ke permukiman
terdekat untuk menjual hasil rampasannya sehingga sang kepala suku Apache itu
tidak mempunyai pilihan selain mendatangi permukiman-permukiman itu satu
persatu.
Setelah kehilangan waktu beberapa hari, Winnetou akhirnya berhasil
menemukan kembali jejak Santer di pos perdagangan Gater. Santer sempat
mampir di sana. Dia menjual semua barang rampasannya lalu membeli seekor
kuda dan pergi ke arah timur menyusuri tepi Sungai Red River.
Winnetou lalu berpamitan kepada orang Apache yang telah menyertainya
dalam perjalanan. Dia menyuruh mereka pulang ke rumah, karena mereka bisa
menghalangi perjalanannya, dan bertekad mengejar pembunuh itu seorang diri. Dia
membawa cukup banyak bijih emas sebagai bekal untuk bertahan dalam waktu
yang lama di daerah Timur.
Di Natchitoches dia tidak meninggalkan pesan buat kami, karena itu kami
tidak tahu keberadaannya dan tidak bisa mengikutinya. Lalu kami berbalik menuju
sungai Arkansas dan mengambil jalan darat menuju St. Louis. Saya merasa sangat
kecewa karena tidak bisa bertemu lagi dengan sahabat baik saya ini. Tetapi saya
tidak mampu mengubah keadaan.
Setelah perjalanan panjang dan meletihkan, akhirnya kami tiba di St. Louis.
Kala itu hari sudah malam. Tentu saja saya langsung mencari Mr. Henry, kawan
lama saya. Dia sedang duduk di bawah lampu di depan mesin bubut dan tidak
mendengar suara derit pintu ketika saya masuk ke bengkelnya.
“Good evening, Mr. Henry!” saya memberinya salam seolah-olah baru
kemarin terakhir berkunjung. “Bagaimana, apakah Anda telah selesai membuat
senapan yang baru itu?”
Setelah menegurnya, saya kemudian duduk di ujung mesin bubut seperti
yang biasa saya lakukan dulu. Dia bangkit dari kursi, menatap saya sejenak seakan
tidak percaya lalu bersorak kegirangan,
“Anda… Anda… Andakah ini? Guru privat… Surveyor… Old Shatterhand!”
Kemudian dia merentangkan kedua tangannya lalu merangkul saya serta
mencium pipi saya berulang-ulang, bahkan sampai berbunyi.
“Old Shatterhand? Dari mana Anda tahu nama itu?” saya bertanya setelah
luapan kegembiraannya agak mereda.
“Dari mana? Haruskah Anda bertanya lagi? Di mana-mana orang
membicarakan tentang Anda, orang linglung! Anda sudah menjadi westman1
seperti yang telah ditakdirkan. Mr. White, insinyur dari seksi terdekat, dialah orang
pertama yang membawa kabar itu. Dia sangat memuji Anda. Saya sungguh merasa
bangga kepada diri Anda, itu harus saya akui. Tetapi yang paling hebat adalah apa
yang diceritakan oleh Winnetou.”
“Apa?”
“Dia menceritakan semuanya kepada saya... semuanya!”
“Apa? Apa saya tidak salah dengar? Dia sempat datang kemari?”
“Tentu saja dia berada di sini!”
“Kapan?”
“Tiga hari yang lalu. Anda menceritakan kepadanya tentang saya dan
tentang senapan Pemburu Beruang yang sudah usang itu. Jadi aneh kalau dia ke

1
Istilah ciptaan pengarang. Maksudnya adalah “man of the west” atau lebih tepatnya “frontierman”,
yang konotasinya adalah: perintis atau pionir daerah Barat, pemburu prairie, dan sejenisnya.
St. Louis tanpa mengunjungi saya. Dia mengatakan, Anda telah menjadi seorang
westman yang mahir berburu bison, beruang grizzly, dan lain sebagainya. Anda
bahkan mendapat kehormatan sebagai seorang kepala suku!”
Nada-nada pujian seperti itu terus mengalir dari mulutnya. Berkali-kali saya
berusaha memotongnya tetapi tidak berhasil. Dia memeluk saya berulang-ulang.
Dia sungguh merasa bahagia karena dirinyalah yang membelokkan jalan hidup
saya ke daerah Barat yang liar itu.
Pada waktu itu Winnetou terus menelusuri jejak Santer dan mengejarnya
dengan cepat hingga ke St. Louis. Dari sana jejak tersebut mengarah ke New
Orleans. Karena sangat diburu waktu, dia tiba lebih awal di St. Louis daripada saya.
Dia meninggalkan pesan kepada Henry bahwa saya boleh menyusulnya ke New
Orleans jika mau. Tanpa berpikir dua kali saya segera memutuskan untuk
melakukannya.
Karena itu saya harus segera membereskan semua tugas yang akan saya
kerjakan pada keesokan harinya. Lalu pagi-pagi saya duduk bersama Hawkens,
Stone, dan Parker di balik pintu kaca, tempat dulu saya diwawancarai tanpa
sepengetahuan saya. Kawan lama saya Henry tidak tahan untuk tidak ikut serta.
Banyak hal yang perlu diceritakan, dilaporkan, dan dijelaskan. Seperti dari semua
seksi, seksi sayalah yang mendapatkan pengalaman yang paling menarik dan
paling berbahaya. Namun perlu dicatat pula bahwa sayalah satu-satunya surveyor
yang tersisa.
Sam berusaha sekuat tenaga agar saya bisa memperoleh bonus gaji. Sia-sia
belaka! Kami memang segera menerima gaji namun tidak diberi lebih satu sen pun
dari gaji pokok. Jujur saya akui, saya sangat kecewa karena gaji itu tidak setimpal
dengan jerih payah kami dalam membuat gambar dan catatan kerja. Pimpinan di
tempat itu mempekerjakan lima surveyor, tetapi mereka hanya membayar jatah
gaji untuk seorang dan menyimpan gaji keempat orang lainnya ke saku sendiri. Ini
terjadi justru setelah mereka menerima hasil kerja kami – atau lebih tepat
dikatakan hasil jerih payah saya sendiri.
Sam yang tidak puas segera menyampaikan keberatannya. Tetapi hasilnya
tetap sama. Dia malahan ditertawakan dan diusir bersama Dick serta Will. Dengan
lapang dada saya pun meninggalkan tempat itu mengikuti mereka. Jumlah gaji
yang saya terima hari itu memang tergolong lumayan.
Saya bermaksud menyusul Winnetou. Dia meninggalkan alamat sebuah
hotel di New Orleans kepada Mr. Henry untuk saya. Demi kesopanan dan
kesetiakawanan di antara kami, saya bertanya kepada Sam dan kedua sahabatnya,
apakah mereka mau ikut ke New Orleans. Tapi mereka bermaksud beristirahat di
St. Louis dan saya tidak bisa memaksa mereka. Kemudian saya membeli beberapa
potong pakaian dalam, juga setelan jas baru untuk menggantikan baju Indian saya.
Setelah itu saya menumpang kapal uap dan berlayar ke arah selatan. Beberapa
barang yang tidak akan saya bawa, di antaranya senapan Pemburu Beruang yang
berat itu, saya serahkan kepada Henry, dan dia berjanji akan menjaganya baik-
baik. Kuda putih juga saya tinggalkan karena saya tidak memerlukannya lagi. Kami
semua mengira bahwa saya pergi hanya untuk waktu yang singkat.
Ternyata yang terjadi sungguh lain. Kami terperangkap di tengah-tengah
daerah yang dilanda perang saudara. Hal ini tidak saya singgung sebelumnya
karena tidak ada kaitannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi sampai saat
ini. Kebetulan Sungai Mississippi saat itu terbuka untuk pelayaran karena Farragut,
seorang admiral terkenal, merebutnya kembali ke dalam kekuasaan pihak negara-
negara Utara. Walaupun demikian, kapal yang saya tumpangi harus melewati
beberapa pos pemeriksaan. Ini tentu penting tetapi justru menyita banyak waktu.
Ketika saya tiba di New Orleans dan bertanya kepada hotel yang dimaksud, saya
diberitahukan bahwa kemarin Winnetou telah pergi. Dia meninggalkan pesan
bahwa dia masih mengejar Santer ke Vicksburg. Karena situasi yang tidak aman,
dia menganjurkan supaya saya tidak mengikutinya. Kelak dia akan mengatakan
kepada Mr. Henry di St. Louis, di mana dia bisa ditemui.
Apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya ingin mengunjungi sanak
kerabat di kampung yang pasti membutuhkan bantuan saya. Bukankah saya
memiliki cukup uang? Atau apakah saya harus kembali ke St. Louis untuk menanti
Winnetou di sana? Tidak. Siapa tahu, barangkali dia akan datang sendiri ke sana.
Maka pergilah saya menanyakan kapal yang akan berangkat. Ada sebuah kapal,
sebuah yankee, yang hendak berlayar ke Kuba dengan memanfaatkan situasi
peperangan yang sedang tenang saat itu. Di sana saya bisa mendapat kesempatan
untuk pergi ke Jerman atau paling tidak ke New York. Saya membulatkan tekad lalu
melangkah ke atas kapal.
Alangkah baiknya jika terlebih dahulu saya menyimpan seluruh uang saya di
bank. Tetapi bank mana di New Orleans yang bisa dipercaya? Selain itu saya pun
tidak mempunyai waktu yang cukup. Membeli tiket saja baru saya lakukan
beberapa saat sebelum kapal berangkat. Jadi terpaksa saya membawa semua uang
tunai itu di dalam saku.
Kesalahan ini cukup fatal karena malam itu kami dihadang badai hurricane.
Meskipun cuacanya mendung, perjalanan kami aman dan tidak ada tanda-tanda
akan datang angin ribut yang dahsyat pada malam hari. Maka seperti para
penumpang lain yang berangkat dari New Orleans, saya pun pergi tidur tanpa rasa
khawatir. Lewat tengah malam saya dikejutkan oleh gemuruh dan deru angin ribut
yang datang tiba-tiba. Saya pun melompat dari tempat tidur. Pada saat itu kapal
terguncang begitu hebat sehingga saya jatuh terpental. Dan kabin, tempat saya
dan ketiga penumpang lain tidur, tiba-tiba ambruk menimpa saya. Dalam situasi
seperti ini siapa yang akan memikirkan uang? Hidup bisa berubah dalam hitungan
detik. Dalam kegelapan dan kepanikan banyak waktu akan terbuang seandainya
saya berusaha mencari baju dan tas surat saya. Maka saya bergegas keluar dari
reruntuhan lalu lari, atau lebih tepat dikatakan saya berjalan terhuyung-huyung ke
atas geladak, karena kapal mulai oleng dan terombang-ambing.
Sesampainya di luar saya tidak melihat apa-apa. Semuanya gelap gulita.
Badai hurricane menghempaskan tubuh saya ke lantai, sementara itu sebuah
gelombang besar menghantam saya. Saya mendengar suara orang menjerit,
namun deru topan menutupi suara tersebut. Tidak lama kemudian kilat saling
menyambar bersusulan sehingga untuk beberapa saat keadaan menjadi terang.
Saya bisa melihat deburan ombak di depan kami. Di belakang deburan itu tampak
daratan. Sementara itu rupanya kapal terjepit di antara karang. Dan hempasan
gelombang-gelombang besar melambungkan buritan ke atas. Kapal tidak lagi
tertolong dan setiap saat bisa hancur berkeping-keping dan sialnya, semua sekoci
penyelamat sudah hilang dihanyutkan ombak. Lalu bagaimana saya bisa
menyelamatkan diri? Hanya dengan berenang! Kembali kilat menyambar dan saya
sempat melihat sekelompok penumpang yang berguling-guling sambil tangannya
menggapai-gapai untuk mencari pegangan di dek supaya tidak terseret oleh
gelombang. Sebaliknya saya justru berpikir, menghadapi bahaya seperti itu orang
harus lebih mengandalkan diri sendiri.
Tiba-tiba datang sebuah gelombang setinggi rumah yang tampak berkilat-
kilat walaupun dalam kegelapan malam. Gelombang itu menghantam kapal dan
kapal berderak. Saya yakin, kapal telah berubah menjadi puing-puing. Saya
berpegang erat-erat pada sebuah penyangga besi, tapi kemudian pegangan itu
terlepas. Oh Tuhan, tolong selamatkan saya! Saya merasa seolah-olah diangkat
begitu tinggi oleh gelombang. Tubuh saya berputar-putar seperti bola kemudian
dicampakkan ke sebuah jurang yang dalam lalu terlempar lagi ke atas. Begitu
seterusnya. Saya hanya diam karena sekarang semua usaha bakal sia-sia. Tetapi
begitu gelombang mencapai pantai, saya harus berjuang agar tidak terseret
kembali ke tengah laut.
Hanya kira-kira setengah menit saya terperangkap dalam badai yang
dahsyat itu, tetapi rasanya seperti berjam-jam lamanya. Tiba-tiba gelombang-
gelombang besar itu melemparkan tubuh saya ke udara, mempermainkan saya dan
akhirnya menghempaskan saya ke perairan yang tenang di antara batu-batu
karang. Sekarang saya tidak boleh lagi terseret! Saya mengerahkan kedua tangan
dan kaki lalu berenang dengan sekuat tenaga, yang seumur hidup belum pernah
saya lakukan sebelumnya. Yang saya maksudkan dengan ‘perairan yang tenang’
tadi bukanlah perairan yang sungguh aman. Kini saya tidak lagi berjuang melawan
gelombang setinggi rumah. Namun angin masih bertiup kencang dan laut masih
bergelora sehingga berkali-kali tubuh saya dihempaskan kian kemari, seperti
sepotong ranting yang diaduk-aduk dalam tong air. Syukurlah akhirnya saya bisa
melihat daratan. Seandainya daratan itu tidak terlihat sangat mungkin saya sudah
binasa. Saya tahu ke arah mana saya harus berenang. Walaupun saya hanya
berenang perlahan-lahan dalam amukan badai, tapi pada akhirnya saya berhasil
mencapai pantai. Hanya saja semuanya terjadi tidak seperti yang saya kira. Laut
kelihatan gelap, begitu juga daratan. Dalam kegelapan ini saya tidak bisa
membedakan antara keduanya, karena itu saya tidak tahu di mana tempat yang
cocok. Kepala saya tiba-tiba membentur keras pada dinding karang. Rasanya
kepala saya seperti dihantam oleh sebuah palu. Tetapi saya tidak kehilangan akal
dan segera memanjat ke atas karang. Setelah itu saya jatuh pingsan.
Ketika saya kembali sadar ternyata badai hurricane belum mereda. Kepala
saya terasa nyeri, tetapi saya tidak menghiraukannya. Yang lebih mencemaskan
saya adalah kenyataan bahwa saya tidak tahu, di mana saya kini berada. Apakah
saya terbaring di pantai atau di atas sebuah karang yang biasanya tersembul di
atas permukaan laut? Saya tidak boleh beranjak dari sana. Tempat itu datar dan
licin. Dengan susah payah saya bertahan di situ karena dengan mudah dapat
dihanyutkan kembali oleh angin yang masih bertiup kencang. Setelah beberapa
lama badai berangsur-angsur mereda dan kembali tenang. Sama seperti biasanya,
kali ini pun semuanya berlangsung tidak lama. Topan itu tiba-tiba berlalu, hujan
pun berhenti dan tampak bintang-bintang kembali bersinar di angkasa.
Di bawah cahaya bintang saya bisa mengamati keadaan di sekeliling.
Ternyata saya terdampar di pesisir pantai. Di belakang saya terdengar deburan
ombak, sementara itu di depan tampak beberapa pohon yang tumbuh satu-satu.
Saya melangkah ke sana. Pohon-pohon itu mampu bertahan terhadap amukan
angin ribut. Sementara itu kebanyakan pohon lain sudah tercabut akarnya dan
tumbang, bahkan ada yang terlempar cukup jauh. Pada saat itu saya melihat
kerlap-kerlip cahaya di kejauhan. Pasti di tempat itu ada orang. Saya bergegas ke
sana.
Tampak banyak orang berdiri di dekat beberapa bangunan yang porak
poranda akibat badai. Bahkan ada atap sebuah rumah yang hilang diterbangkan
angin. Betapa tercengangnya penduduk di sana ketika melihat saya. Mereka
memandang saya penuh keheranan seolah-olah melihat hantu. Dan karena laut
masih bergejolak, maka kami harus berbicara keras agar bisa saling mengerti.
Ternyata mereka adalah para nelayan. Badai telah menghempaskan kapal kami ke
Pulau Tortugas. Di pulau ini terdapat benteng Jefferson dan dulu dalam benteng ini
diasingkan para tawanan perang negara federal.
Dengan sangat ramah mereka menyambut dan memberikan saya baju ganti
serta beberapa pakaian lainnya karena saya hanya berpakaian tipis seperti
lazimnya orang yang hendak tidur. Kemudian tanda bahaya dibunyikan sebagai
peringatan agar mereka segera ke pantai untuk mencari korban yang mungkin
masih bisa diselamatkan. Hingga keesokan harinya ada enam belas orang yang
ditemukan. Tetapi hanya tiga yang masih bertahan hidup, yang lainnya sudah mati.
Ketika hari siang, saya pergi ke pantai dan melihat puing-puing yang berserakan di
pesisir. Kapal kami memang hancur berkeping-keping. Hanya anjungannya saja
yang tersisa dan bagian itu sekarang tergeletak di atas batu karang.
Sekarang saya menjadi orang yang benar-benar miskin dalam arti yang
sesungguhnya, karena saya tidak memiliki apa-apa lagi. Uang yang sebenarnya
bisa saya gunakan untuk bersenang-senang kini sudah tenggelam ke dasar laut.
Tentu saya menyesal atas kehilangan itu, tetapi saya bisa terhibur karena hanya
saya dan ketiga orang itu yang selamat. Ini merupakan nasib yang sangat mujur.
Komandan benteng menyambut kami di rumahnya dan kami mendapatkan
semua yang kami butuhkan. Bahkan dia memberi kesempatan kepada saya untuk
pergi menuju New York dengan kapal. Ketika tiba di sana, saya jauh lebih miskin
daripada ketika saya dulu untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di kota itu.
Saya tidak memiliki apa pun selain keberanian untuk memulai hidup yang baru.
Mengapa saya memutuskan untuk bertolak ke New York dan bukannya ke
St. Louis, padahal di sana saya mempunyai banyak kenalan dan paling tidak bisa
mengharapkan pertolongan dari Mr. Henry? Itu semata karena saya sudah banyak
berhutang budi padanya dan saya tidak mau membebani dia sekali lagi. Ya, lain
halnya jika sudah pasti bahwa saya akan bertemu dengan Winnetou di tempat itu.
Sayang sekali hal itu sama sekali belum dapat dipastikan. Usahanya memburu
Santer bisa berlangsung berbulan-bulan atau bahkan lebih lama lagi. Di mana saya
harus mencarinya? Saya memang berniat untuk bertemu dengan dia kembali, tentu
saja untuk itu saya harus menuju ke Barat, ke Pueblo di Rio Pecos. Untuk mencapai
tujuan ini pertama-tama saya harus mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk
biaya perjalanan. Dan dalam situasi seperti ini rasanya New York adalah tempat
terbaik untuk mencari uang.
Perkiraan saya tidak meleset. Saya bernasib mujur. Di New York saya
berkenalan dengan Mr. Josh Tailor, pemimpin sebuah kantor detektif privat yang
ternama dan saya melamar untuk bergabung dalam lembaga itu. Ketika dia tahu
siapa saya dan apa yang saya kerjakan dalam waktu-waktu terakhir, dia
mengatakan ingin terlebih dahulu membuat tes kelayakan kerja. Dia selalu
beranggapan, orang Jerman tidak terampil untuk profesi detektif. Tetapi saya
akhirnya berhasil melewati tes. Dan hal ini bukan karena kepandaian saya
melainkan lebih karena faktor kebetulan. Lambat laun saya pun memperoleh
kepercayaan yang semakin besar sehingga dia mulai menyukai saya dan
mempercayakan kepada saya pekerjaan-pekerjaan yang berat namun
mendatangkan pemasukan yang memuaskan. Suatu hari, setelah pengarahan, dia
memanggil saya ke kantornya. Di dalamnya sudah duduk seorang pria berumur
yang kelihatan cemas. Kami berkenalan. Namanya Ohlert dan dia adalah seorang
pemilik bank. Maksud kedatangannya adalah meminta bantuan kami untuk suatu
urusan pribadi. Kasus ini sangat meresahkan hatinya sekaligus membahayakan
perusahaannya.
Dia memiliki seorang anak tunggal, seorang anak laki-laki bernama William
Ohlert. Umurnya dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dalam urusan bisnis ini
dia mempunyai hak yang setingkat dengan ayahnya. Ayahnya sendiri berdarah
Jerman dan menikahi seorang wanita Jerman. William kelihatannya lebih
menyibukkan diri dengan hal-hal ilmiah dan seni serta buku-buku bernuansa
metafisis daripada buku kas. Dan dia bukan saja menganggap diri sebagai seorang
sarjana hebat melainkan juga seorang penyair. Keyakinan itu semakin diperkuat
setelah beberapa puisinya dimuat dalam koran berbahasa Jerman di New York.
Suatu hari dia berkeinginan menulis cerita tragedi dengan tokoh utama seorang
penyair gila. Untuk bisa menulis cerita ini dia beranggapan, dia harus banyak
belajar tentang penyakit gila. Sejumlah besar buku tentang tema itu
didatangkannya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Dari hari ke hari William makin
mengidentifikasikan dirinya dengan penyair imajinatif tersebut dan bahkan
menganggap dia sendiri pun sudah menjadi gila. Beberapa waktu yang lalu
ayahnya mendatangi seorang dokter yang telah lama bercita-cita mendirikan
sebuah pusat rehabilitasi orang gila. Ada sumber yang menyebutkan, dulu dia
pernah menjadi asisten dokter spesialis penyakit jiwa yang terkenal. Karena itu
pemilik bank tadi segera mempercayai orang itu sepenuhnya. Dia kemudian
meminta dokter itu untuk berkenalan dengan anaknya dengan harapan semoga
akhirnya dia bisa menyembuhkan penyakit anak semata wayang tersebut.
Sejak saat itu tumbuh ikatan persahabatan yang erat antara sang dokter
dengan pasiennya, Ohlert yunior. Tanpa diduga, suatu hari keduanya tiba-tiba
menghilang. Setelah menyelidiki lebih jauh, baru pemilik bank itu mendapat
keterangan bahwa ternyata dokter itu adalah salah satu dari sekian banyak dokter
gadungan yang masih terus membuka praktek di Amerika tanpa terjerat sedikit pun
oleh hukum.
Tailor bertanya, siapakah nama dokter gadungan tersebut. Ketika orang
menyebut namanya, Gibson, serta alamat rumahnya, barulah kami sadar bahwa
kini kami kembali berurusan dengan seorang musuh lama yang dulu pernah saya
mata-matai karena suatu kasus. Bahkan saya masih memiliki sebuah fotonya. Foto
itu tersimpan di kantor. Dan ketika saya menunjukkan potret tersebut kepada
Ohlert, dia segera mengenali orang itu, yang tak lain adalah dokter dan sahabat
anaknya.
Gibson sebenarnya seorang penipu kelas wahid yang sudah lama beroperasi
dengan berbagai kedok di Amerika Serikat dan Mexico. Kemarin pemimpin bank itu
pergi ke rumah penginapan tempat Gibson bermalam, dan diberitahu bahwa Gibson
sudah membayar semua biaya penginapannya lalu pergi. Entah ke mana, tak
seorang pun tahu. Sementara itu William membawa uang kontan dalam jumlah
yang besar. Pada hari berikutnya datang telegram dari sebuah bank di Cincinnati
yang bekerjasama dengan bank Ohlert yang isinya memberitahukan bahwa William
telah menarik uang sebanyak lima ribu dollar lalu pergi ke Louisville untuk
menjemput kekasihnya. Berita yang terakhir ini tentu saja bohong.
Dari semua fakta di atas dapat disimpulkan bahwa dokter gadungan itu
menjadikan pasiennya sebagai sandera untuk meminta uang tebusan yang besar.
William dikenal secara dekat oleh banyak pemilik bank ternama dan dia bisa
mendapatkan dari mereka semua yang diinginkannya.
Kami diminta untuk membekuk penculiknya dan membawa William pulang
ke rumah. Penyelesaian kasus berat ini dipercayakan kepada saya. Saya mendapat
surat kuasa dan beberapa petunjuk serta sebuah potret wajah William Ohlert, lalu
segera naik kapal menuju Cincinnati. Karena Gibson mengenal saya, maka saya
juga membawa perlengkapan yang diperlukan untuk menyamar seandainya situasi
memintanya demikian.
Setibanya di Cincinnati saya mengunjungi pemimpin bank yang disebut di
atas. Dia mengatakan bahwa Gibson memang bersama-sama dengan William
Ohlert. Dari sana saya berangkat ke Louisville. Di sana saya diberitahu bahwa
kedua orang itu telah memesan tiket kapal dengan jurusan St. Louis. Tentu saja
saya menyusul ke sana. Saya baru menemukan jejak mereka setelah pencarian
yang panjang dan melelahkan. Tentu saja di sana saya bisa memperoleh bantuan
dari kawan lama saya, Mr. Henry, yang tentu saja segera saya kunjungi begitu tiba
di kota itu. Dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai
seorang detektif. Dia ikut prihatin karena saya kehilangan uang ketika kapal karam
itu. Dan ketika kami akan berpisah, saya harus berjanji kepadanya bahwa setelah
tugas ini selesai, saya akan melepaskan profesi sebagai detektif dan pergi ke Barat.
Di sana saya harus mencoba senapan pemburu yang berhasil dirakitnya. Dia juga
menganjurkan supaya saya menyimpan senapan Pembunuh Beruang.
Ohlert dan Gibson rupanya telah berangkat ke New Orleans dengan
menumpang kapal uap melalui Sungai Mississippi. Maka saya pun menyusul ke
sana. Beruntung Ohlert senior menyerahkan daftar nama bank-bank yang selama
ini selalu menjalin kerjasama dengannya. Di Louisville dan St. Louis saya menemui
beberapa pegawai bank dan saya diberitahu bahwa sebelumnya William berada di
situ dan kembali menarik sejumlah uang. Hal yang sama pun dilakukannya di dua
bank lainnya di New Orleans yang menjadi rekan bisnis ayahnya. Kepada pegawai
tersebut saya mengingatkan sekaligus meminta agar mereka melaporkan kepada
saya jika William datang lagi ke tempat itu.
Hanya begitulah keterangan yang berhasil saya kumpulkan. Dan kini saya
terperangkap dalam lautan manusia yang memadati jalan-jalan di New Orleans.
Sudah tentu saya juga meminta bantuan kepada polisi, dan saya tidak bisa
berbuat apa-apa selain menunggu hasil yang mereka peroleh. Tetapi supaya tidak
hanya duduk berpangku tangan saja, saya menerobos ke dalam kerumunan orang
sambil mencari-cari. Siapa tahu barangkali saya bisa menemukan hal-hal penting
tanpa diduga-duga.
Kota New Orleans memiliki karakter yang sangat kuat dipengaruhi oleh
budaya daerah Selatan. Ini terutama terlihat pada bangunan di bagian kota tua. Di
sana jalan-jalan dan rumah tampak kotor dan sempit dan dipenuhi dengan
bangunan-bangunan yang belum rampung serta balkon. Di situ tinggal orang-orang
yang hidupnya tersembunyi dari keramaian umum. Semua warna kulit bisa
ditemukan di sana, mulai dari warna putih pucat kekuning-kuningan hingga warna
hitam yang paling legam. Para pemusik jalanan, penyanyi musiman, dan pemain
gitar memperdengarkan kemampuannya dengan cara yang sangat memekakkan
telinga. Terdengar suara laki-laki yang berteriak-teriak sementara perempuan
menjerit-jerit. Ada seorang pelaut yang menarik rambut kuncir seorang Tionghoa
yang kemudian balas memaki dirinya. Terlihat juga dua orang Negro yang sedang
berkelahi, dikelilingi oleh penonton yang tertawa senang. Pada sudut yang lain
tampak dua kuli pemikul barang yang tidak sengaja bertabrakan, tetapi lalu
melepaskan pikulannya kemudian saling memukul dengan penuh amarah. Seorang
temannya datang terburu-buru untuk melerai mereka, tetapi malahan dihujani
dengan pukulan yang sebenarnya tidak dimaksudkan baginya.
Kesan yang lebih baik saya jumpai di daerah pinggiran kota. Di sana
terdapat rumah-rumah indah bermotif pedesaan yang dihiasi dengan taman-taman
yang ditata rapi. Di atas taman itu tumbuh mawar, pohon palem, dan berbagai
tumbuhan berbuah lain seperti suduayah, pir, ara, persik, jeruk, dan limau. Di sana
para penduduknya bisa menikmati ketenangan serta kedamaian setelah mereka
disibukkan oleh hiruk-pikuk kota.
Yang paling ramai tentu saja di daerah pelabuhan. Di tempat itu
berseliweran kapal dan kendaraan dari berbagai jenis dan ukuran. Tampak juga
gulungan bola-bola kapas dan tong-tong berukuran raksasa, juga ratusan pekerja
yang sibuk bekerja di antaranya. Orang merasa seolah-olah sedang berada di pasar
kapas di Hindia Timur.2
Saya terus ngeluyur menyusuri kota sambil tetap membuka mata lebar-
lebar – tapi tak ada hasil! Saat itu hari sudah siang dan udara menjadi panas. Saya
berada di Common Street, sebuah jalan yang lebar dan indah. Dari jauh mata saya
menangkap tulisan pada papan nama sebuah kedai minum Jerman. Saya berpikir,
seteguk bir pilsener pada cuaca sepanas ini tentu sangat menyegarkan. Saya pun
melangkah masuk.
Kesukaan orang terhadap bir ini bisa diamati dari sejumlah pengunjung yang
duduk di dalam kedai. Setelah mencari sejenak akhirnya saya melihat sebuah
tempat duduk yang masih kosong di pojok bagian belakang. Di sana terdapat
sebuah meja kecil dengan dua tempat duduk. Sebuah bangku sudah ditempati
seorang pria dengan tampang yang cukup menyeramkan sehingga tak ada
pengunjung yang berani mengambil tempat di depannya. Tanpa peduli saya
melangkah ke sana lalu meminta izin kepadanya supaya boleh minum di tempat
itu.
Di wajahnya terlihat senyum iba. Dia menatap saya dengan pandangan
menyelidik, seperti agak menghina lalu bertanya,
“Anda mempunyai cukup uang, Master?”
“Tentu saja!” saya menjawab tetapi juga merasa heran mendengar
pertanyaan seperti itu.
“Jadi Anda bisa membayar bir juga tempat duduk yang hendak Anda pakai?”
“Saya pikir, ya!”

2
Sebutan untuk negara-negara jajahan Inggris dan Belanda yang ada di sekitar wilayah India.
“Well, lalu mengapa Anda meminta izin saya supaya boleh duduk di sini?
Menurut perhitungan saya, Anda seorang Jerman, seorang greenhorn3 di daerah
ini. Enyahlah ke neraka semua orang yang bermaksud menghalang-halangi saya
untuk duduk pada tempat yang saya sukai. Sekarang duduklah! Letakkan kaki ke
sana seperti yang Anda inginkan dan tendanglah tengkuk orang yang coba-coba
melarang Anda.”
Harus saya akui dengan jujur, cara dan gaya bicara orang ini sungguh
mengesankan. Saya merasa tiba-tiba pipi saya memerah. Sejujurnya harus saya
katakan, ucapan tadi kedengaran seperti menghina saya. Saya merasa tersinggung
dan ingin menunjukkan bahwa kata-katanya tidak berkenan di hati saya. Paling
tidak saya harus mencoba membela diri. Maka setelah duduk, saya menyahut,
“Jika Anda menganggap saya orang Jerman, maka tebakan Anda sungguh
tepat, Master! Tetapi saya tidak suka disebut ‘Dutchman’4. Jika tidak, saya terpaksa
membuktikan kepada Anda, bahwa sesungguhnya saya bukan seorang greenhorn.
Orang boleh bersikap ramah dan itu tidak berarti bahwa dia kurang pengalaman.”
“Pshaw!” jawabnya tenang. “Di mata saya Anda kelihatan tidak begitu
pandai. Tetapi jangan terburu-buru marah, tak ada gunanya. Saya sama sekali
tidak bermaksud jelek terhadap Anda. Saya pun sungguh tidak tahu bagaimana
Anda begitu berani duduk di hadapan saya. Old Death tidak membiarkan
ketenangannya terusik oleh ancaman orang lain.”
Old Death! Ah, ternyata orang ini Old Death! Sudah sering saya mendengar
tentang westman terkenal ini. Ketenarannya bahkan terdengar hingga ke daerah
perkemahan di seberang Sungai Mississippi, juga merambah hingga ke negara-
negara di bagian Timur. Walaupun hanya sekitar sepuluh atau dua puluh persen
dari semua yang diceritakan tentang dirinya mendekati kebenaran, orang harus
mengangkat topi dan mengakui dia sebagai pemburu dan scout5 yang luar biasa.
Sejak lama dia mengembara di daerah Barat dan meskipun menghadapi banyak
bahaya maut, belum pernah dia terluka sedikit pun. Karena kenyataan ini, mereka
yang percaya kepada takhayul menganggap dia kebal peluru.
Tak seorang pun tahu, siapa nama orang ini sebenarnya. Old Death lebih
merupakan nom de guerre6, mungkin karena tubuhnya yang sangat kurus. Seperti
‘mayat hidup’! Ketika saya duduk di hadapannya dan memperhatikan dia, baru
saya mengerti mengapa orang sampai menyebutnya demikian.

3
Menurut asal-usul kata: anak sapi yang tanduknya belum sepenuhnya tumbuh. Jadi konotasinya
seseorang yang belum sepenuhnya dewasa.
4
Sebutan olok-olok untuk orang Jerman.
5
Pencari jejak atau pemandu. Mereka adalah westman yang bertugas memandu pasukan serdadu, atau
imigran di Wild West.
Dia mempunyai perawakan yang sangat tinggi. Badannya yang bungkuk
kelihatan seperti hanya terdiri dari kulit dan tulang. Celana kulit yang dipakainya
tampak terlalu pendek. Baju berburunya yang terbuat dari kulit pun kelihatan
semakin menyusut bersamaan dengan waktu, sehingga lengan baju tersebut hanya
sedikit melewati sikunya. Pada bagian ini orang bisa melihat kedua tulang hasta
dan tulang pengumpilnya dengan jelas seperti membedakan satu tulang dari
tulang-belulang lainnya. Kedua lengannya juga terlihat seperti kerangka manusia.
Dari dalam baju berburunya menjulur lehernya yang kurus dan panjang.
Sementara itu jakunnya menggantung seperti sebuah pundi-pundi kulit. Dan
sekarang kepalanya! Kepala itu tampak seperti tak berisi daging. Matanya sangat
cekung dan di atas kepalanya tidak tumbuh sehelai rambut pun. Pipinya kurus,
dagunya panjang dengan tulang rahang yang menonjol, hidungnya yang pesek
dengan lubang hidung yang besar… sungguh, kepala itu tak ubahnya seperti
tengkorak mayat. Dan orang akan merasa ngeri seandainya tiba-tiba berpapasan
dengannya. Kesan tentang kepalanya juga diperkuat oleh hidung saya. Saya
mencium bau sulfur dan amoniak yang menyengat. Karena bau ini orang bisa
kehilangan selera makannya.
Telapak kakinya yang panjang dan kurus terbungkus oleh sepatu tinggi yang
terbuat dari sepotong kulit kuda yang dijahit. Pada sepatu itu dipasang penggertak
berukuran raksasa yang terbuat dari uang logam Peso Mexico.
Di sampingnya, di atas lantai tergeletak sebuah pelana kuda beserta tali
kekang dan semua perlengkapannya. Di atasnya bersandar sepucuk senapan
Kentucky sepanjang satu hasta7. Senjata seperti itu jarang ditemui karena tidak
lagi dijual di toko. Dia juga mempersenjatai diri dengan sebilah pisau Bowie dan
dua pucuk revolver besar. Popor senjata yang disebut terakhir tampak menyembul
dari sabuk senjatanya. Sabuk senjata itu terbuat dari kulit berbentuk mirip tas
pinggang dan dihiasi dengan kulit scalp sebesar telapak tangan. Kulit scalp itu
bukan berasal dari mukapucat, jadi bisa dipastikan bahwa kulit itu berasal dari
kepala orang Indian yang telah dibunuhnya.
Seorang boardkeeper datang mengantar bir yang saya pesan. Ketika saya
mendekatkan gelas ke bibir untuk minum, tiba-tiba pemburu itu menahan saya,
“Tunggu sebentar!” katanya. “Jangan terburu-buru, boy! Kita harus
bersama-sama mengangkat gelas lalu bersulang. Bukanlah hal itu menjadi adat
kebiasaan di negeri Anda?”

6
Perancis: Nama julukan.
7
1 hasta = 60 – 80 cm.
“Ya, tapi itu hanya dilakukan bersama kenalan dekat!” jawab saya tanpa
menghiraukan permintaannya.
“Jangan salah mengerti! Sekarang kita duduk bersama dan kita tidak perlu
bersitegang. Jadi marilah kita bersulang! Saya bukan seorang mata-mata atau
pembohong. Dan Anda boleh bersantai sejenak bersama saya barang seperempat
jam.”
Nada suaranya terdengar lebih ramah daripada sebelumnya. Saya
menyentuhkan ujung gelas pada gelasnya lalu berkata,
“Saya tahu siapa Anda, Sir! Seandainya Anda sungguh Old Death, saya tidak
perlu khawatir karena berteman dengan orang yang salah.”
“Jadi Anda mengenal saya? Kalau begitu saya tidak perlu lagi bercerita
tentang diri sendiri. Lebih baik kita bercerita tentang diri Anda. Apa alasan paling
mendasar sehingga Anda datang ke kota ini?”
“Alasan yang sama yang juga mengantar semua orang lain datang ke
tempat ini… saya ingin coba mengadu nasib di sini.”
“Saya mengerti! Di sana, di daratan Eropa, orang berpikir bahwa di sini kita
hanya perlu membuka dompet dan membiarkan lembaran-lembaran dollar
melayang sendiri ke dalamnya. Jika seseorang bernasib mujur, semua koran akan
memuat berita tentang dia. Sedangkan tentang ribuan orang yang tenggelam
dalam perjuangan melawan gelombang kehidupan dan akhirnya menghilang tanpa
jejak tidak pernah diberitakan. Apakah Anda sudah menemukan keberuntungan
ataukah Anda masih harus menantinya?”
“Saya kira, saat ini saya masih harus menanti.”
“Kalau begitu berkonsentrasilah agar jangan sampai Anda melewatkan lagi
peluang yang ada! Saya tahu benar, betapa sulitnya bertahan dalam penantian
seperti itu. Mungkin Anda sudah tahu kalau saya seorang scout yang bisa
disejajarkan dengan seorang westman, hanya hingga kini saya selalu gagal
mengejar nasib mujur. Berkali-kali saya mengira bahwa saya tinggal
menangkapnya. Tapi begitu saya mengulurkan tangan, tiba-tiba keberuntungan itu
lenyap seperti castle in the air (tak berbekas), seolah-olah semuanya hanya
bayang-bayang belaka.”
Dia mengucapkan kalimat ini dengan nada sedih lalu menunduk dalam-
dalam dan menatap ke tanah. Karena saya tidak menanggapinya, dia kemudian
memandang saya setelah beberapa saat lalu berkata,
“Anda pasti tidak mengerti mengapa saya sampai berkata demikian. Sangat
mudah. Saya selalu merasa prihatin bila melihat orang Jerman, apalagi orang
Jerman yang masih muda belia. Karena saya harus mengatakan kepadanya bahwa
dia pun pasti akan gagal. Anda harus tahu, ibu saya orang Jerman dan dari dia
saya belajar bahasa Anda. Apabila Anda mau, kita boleh berbicara dalam bahasa
Jerman. Pada detik-detik kematiannya ia menunjukkan kepada saya jalan-jalan
yang mestinya saya lalui supaya akhirnya saya bisa menuai kebahagiaan. Tetapi
saya merasa diri lebih pintar dan berjalan ke arah yang lain. Master, Anda lebih
bijaksana daripada saya! Tapi tampaknya apa yang terjadi pada saya akan terulang
juga pada diri Anda.”
“Sungguh? – Mengapa?”
“Anda terlalu lembut. Tubuh Anda harum. Apabila orang Indian melihat
potongan rambut Anda, mereka pasti akan jatuh pingsan karena terkejut. Pada
kemeja Anda pun tidak terdapat bercak noda atau pun debu. Karena itu keliru jika
Anda hendak mengadu nasib di daerah Barat ini!”
“Saya sama sekali tidak berniat mengadu nasib di sini.”
“Oh ya? Apakah Anda bersedia mengatakan kepada saya, kira-kira apa
keahlian atau bidang Anda?”
“Saya lulusan perguruan tinggi!”
Saya mengucapkan hal ini dengan nada agak bangga. Tetapi dia hanya
tersenyum kecil menatap saya – kelihatan seperti senyum menyeringai di wajahnya
yang mirip mayat –, menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata,
“Lulusan perguruan tinggi! Astaga! Jadi Anda sungguh berharap banyak dari
gelar itu? Justru orang-orang seperti Andalah yang paling tidak mampu mengubah
nasibnya menjadi lebih baik. Tentang itu saya punya cukup pengalaman. Apakah
Anda memiliki sebuah pekerjaan tetap?”
“Ya, di New York!”
“Pekerjaan apa?”
Pertanyaan ini diucapkannya dengan suara yang sangat lain sehingga tidak
mungkin saya menolak untuk menjawabnya. Tetapi karena saya tidak boleh
mengatakan hal yang sebenarnya, maka saya hanya menjawab,
“Saya bekerja pada seorang pemilik bank. Dan dia menugaskan saya untuk
menyelesaikan suatu urusan di tempat ini.”
“Pemilik bank? Ah! Kalau begitu jalan hidup Anda lebih mulus daripada yang
saya bayangkan sebelumnya. Jagalah terus posisi itu, Sir! Tidak semua orang yang
berpendidikan bisa bekerja pada seorang hartawan Amerika. Apalagi di New York!
Anda pasti mendapat kepercayaan yang luar biasa besar walaupun usia Anda masih
muda. Jika tidak, tentu orang tidak berani mengirim Anda dari New York ke daerah
Selatan ini. Maaf kalau tadi saya salah menebak Anda, Sir! Jadi persoalan yang
hendak Anda tuntaskan menyangkut uang?”
“Ya, kira-kira seperti itu.”
“Hm, bagus, bagus!”
Sekali lagi dia menatap saya dengan pandangan memeriksa kemudian
tersenyum menyeringai seperti sebelumnya lalu berkata,
“Saya kira, saya sudah bisa menebak tujuan keberadaan Anda di sini.”
“Saya tidak yakin.”
“Tidak apa-apa. Tetapi saya ingin memberikan satu nasihat baik buat Anda.
Kalau Anda tidak ingin diketahui orang lain bahwa Anda ke tempat ini untuk
mencari seseorang, maka Anda harus membuka mata lebar-lebar. Anda telah
mengamati semua pengunjung di dalam kedai ini satu persatu dan kini pandangan
Anda terarah ke jendela untuk memantau orang-orang yang lewat di sana. Jadi
Anda sedang mencari seseorang. Bukankah demikian?”
“Benar, Master. Saya bermaksud bertemu dengan seseorang. Hanya tempat
tinggalnya tidak saya ketahui.”
“Kalau begitu tanyakan saja ke hotel-hotel!”
“Saya sudah mencobanya, tetapi sia-sia. Bahkan saya pun sudah meminta
bantuan polisi, tetapi hasilnya tetap sama.”
Senyum kembali menghias wajahnya. Lalu dia tertawa sendiri, menepuk-
nepuk punggung saya dan berkata,
“Master, walaupun demikian Anda tetap seorang greenhorn, seorang
greenhorn sejati. Saya harap Anda tidak tersinggung, tetapi yang saya katakan ini
benar.”
Pada saat itu saya baru sadar bahwa saya sudah terlalu banyak bicara. Dia
rupanya menangkap kesan ini, karena itu katanya,
“Jadi Anda datang kemari karena suatu persoalan yang berhubungan dengan
uang, seperti yang Anda katakan tadi. Orang yang bertanggung jawab atas kasus
ini sedang dicari polisi. Dan tugas ini dilimpahkan kepada Anda. Karena itu Anda
berkeliling di setiap sudut jalan serta kedai-kedai minum untuk menemukan dia.
Saya tidak layak digelari Old Death jika saya tidak tahu, siapa orang yang sekarang
duduk di hadapan saya.”
“Kalau begitu siapa saya, Sir?”
“Seorang detektif, seorang polisi swasta yang diberi tugas menguraikan
suatu persoalan. Dan persoalan itu lebih terkait dengan masalah keluarga
ketimbang kejahatan murni.”
Orang ini ternyata mempunyai kemampuan analisa yang tajam. Haruskah
saya berterus terang dengan mengatakan bahwa analisanya benar? Tidak! Karena
itu saya menyahut,
“Analisa Anda sangat tajam, Sir! Tapi kali ini Anda salah!”
“Saya kira tidak.”
“Tentu, Anda salah!”
“Well! Entah Anda bersedia mengakuinya atau tidak, itu urusan Anda. Saya
tidak bisa dan tidak mau memaksa Anda. Tetapi jika Anda ingin agar orang tidak
mengenali Anda, maka jangan bersikap begitu kentara. Urusan ini menyangkut
uang. Sebagai seorang greenhorn, Anda dipercayakan tugas ini, tentu agar tidak
menyolok. Anda harus bertindak hati-hati karena orang yang berada di balik kasus
ini adalah seorang kenalan dekat atau mungkin anggota keluarga dari korban.
Tentu kasus ini berbau kriminal, jika tidak pasti para polisi di sini tidak
mengerahkan bantuannya untuk Anda. Barangkali sang korban mempunyai seorang
penasehat yang selalu bersama-sama dengan dia dan ingin mengeruk semua
hartanya. Ya, ya, Anda boleh memandang saya seperti itu, Sir! Apakah Anda heran
atas analisa saya? Baiklah, seorang westman sejati sanggup merancang sebuah
jalan panjang dari sini hingga ke Canada hanya dengan membaca dua jejak kaki di
tanah. Dan sangat jarang dia keliru.”
“Anda membuat suatu analisa yang berlebihan, Master!”
“Pshaw! Anda boleh terus menyangkal. Saya tidak dirugikan sedikit pun. Di
sini saya dikenal banyak orang dan saya bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang
berguna kepada Anda. Tapi jika Anda berpikir, Anda lebih cepat mencapai tujuan
dengan cara Anda sendiri, maka Anda pantas dipuji. Namun apakah cara itu cukup
bijaksana, saya masih meragukannya.”
Dia bangkit, mengeluarkan sebuah pundi-pundi kulit yang sudah usang dari
dalam saku dan membayar minumannya. Saya khawatir kalau saya telah melukai
perasaannya melalui sikap saya yang kurang percaya. Karena itu untuk
memperbaiki keadaan, saya berkata,
“Ada beberapa persoalan, di mana orang lain atau paling tidak orang tak
dikenal tidak boleh dibiarkan tahu terlalu banyak. Saya sama sekali tidak
bermaksud menghina Anda dan saya pikir...”
“Ya, ya!” potongnya sambil meletakkan sekeping uang di atas meja. “Itu
bukanlah penghinaan. Saya mempunyai maksud baik terhadap Anda, sebab Anda
memiliki sesuatu dalam diri Anda yang sungguh menarik hati saya.”
“Barangkali kita akan bertemu lagi!”
“Sangat sulit. Hari ini saya akan pergi ke Texas lalu masuk ke Mexico. Saya
tidak bisa memastikan bahwa Anda pun nanti akan menempuh jurusan yang sama.
Karena itu… Farewell, Sir! Ingatlah selalu bahwa saya menamai Anda seorang
greenhorn! Sedangkan tentang nama saya Old Death, Anda boleh menyebutnya
demikian karena saya tidak malu dengan nama itu. Dan tak ada salahnya kalau
seorang anak muda seperti Anda sedikit lebih merendah.”
Dia mengenakan topi sombrero yang tergantung di dinding di atasnya,
menaikkan pelana dan kekang kuda ke pundaknya lalu menenteng senjatanya dan
pergi. Namun setelah tiga langkah, dia berpaling lalu kembali ke tempat saya dan
berkata,
“Segala sesuatu pasti ada gunanya, Sir! Dulu saya pernah belajar di
perguruan tinggi. Dan kini saya baru sadar, betapa tololnya saya waktu itu. Good
bye!”
Kali ini dia keluar meninggalkan ruangan tanpa menoleh untuk kedua kali.
Pandangan mata saya terus mengikuti dia hingga tubuhnya – yang sangat
menyolok sehingga beberapa pengunjung di kedai ini tertawa – hilang dalam
kerumunan manusia. Sebenarnya saya ingin mengumpatnya. Bahkan saya ingin
sekali mendampratnya, akan tetapi saya tak sampai hati. Tampangnya
mengundang belas kasihan. Kata-katanya memang kurang ramah, tetapi suaranya
kedengaran lembut dan bermaksud baik. Dan dari suaranya sangat jelas bahwa dia
sungguh-sungguh berniat baik terhadap saya. Tetapi apakah dengan itu saya lalu
membiarkan dia tahu tentang maksud kedatangan saya ke sini? Tentu saja hal ini
bukan hanya tindakan yang kurang hati-hati melainkan juga ceroboh, walaupun
saya sadar, kalau saya berterus terang, mungkin dia bisa memberikan petunjuk
penting bagi pemecahan masalah ini. Saya tidak merasa risih dengan gelar
greenhorn yang disebutnya. Sudah sering saya disapa demikian oleh Sam Hawkens
dan sebutan itu tidak membuat saya malu. Di pihak lain saya pun tidak perlu
mengatakan kepadanya bahwa dulu saya pernah berada di daerah Barat.
Saya duduk termenung sambil bertopang dagu di atas meja. Tiba-tiba pintu
dibuka dan seseorang masuk ke dalam. Dan orang itu adalah... Gibson.
Dia berdiri di ambang pintu dan mengamati semua orang yang hadir satu
persatu. Ketika saya merasa bahwa pandangannya tertuju ke arah saya, saya
segera membalikkan tubuh dan duduk membelakangi pintu. Di sini tak ada lagi
tempat duduk yang masih kosong, selain tempat yang baru saja ditinggalkan Old
Death. Pasti Gibson akan ke sini dan duduk di hadapan saya. Diam-diam saya
merasa senang membayangkan bagaimana dia nanti terkejut begitu sorot mata
saya menghujam tubuhnya.
Ternyata dia tidak datang. Saya mendengar suara derit pintu ditutup lalu
cepat-cepat membalikkan tubuh. Benar, rupanya dia telah melihat saya dan
langsung menghilang. Saya melihatnya berjalan keluar lalu pergi dengan langkah
terburu-buru. Saya segera memakai topi, melemparkan uang bayaran kepada
pelayan dan berlari menyusul dia. Nah, itu dia! Dia membelok ke kanan, mungkin
berusaha menghilang di balik kerumunan manusia yang banyak. Dia menoleh
sejenak ke belakang dan menatap saya. Langkahnya lalu dipercepat. Saya pun
mempercepat ayunan langkah saya. Ketika melewati kerumunan itu saya
melihatnya menghilang di sebuah gang kecil. Ketika saya baru mencapai gang itu,
dia sudah membelok pada sudut yang lain. Tetapi sebelumnya dia berbalik sekali
lagi, mengangkat topi lalu melambai-lambaikannya kepada saya. Ini tentu
membuat saya marah. Tanpa peduli, apakah orang-orang di sekeliling
menertawakan saya, saya langsung berlari kencang. Saat itu tak satu pun polisi
yang terlihat, dan meminta bantuan kepada orang lain tentu tidak berguna. Tak
ada seorang pun yang mau menolong saya.
Ketika tiba di sudut gang itu, saya memasuki sebuah lapangan kecil. Di
sebelah kiri dan kanannya berdiri deretan rumah-rumah kecil dengan pintu yang
tertutup. Di hadapan saya ada villa-villa yang dihiasi taman yang sangat indah. Di
lapangan itu berkumpul banyak orang, tetapi Gibson tidak terlihat di sana. Dia
telah menghilang.
Tampak seorang pria Negro sedang bersandar pada pintu sebuah salon
cukur. Kelihatannya dia sudah lama berdiri di sana sehingga pasti dia melihat orang
yang kabur tadi. Saya mendekatinya, mengangkat topi dengan sopan lalu bertanya,
apakah dia melihat seorang gentleman kulitputih yang berlari keluar dari gang ini.
Dia tertawa sambil memamerkan giginya yang panjang kekuning-kuningan dan
menjawab,
“Ya, Sir. Saya melihatnya. Berlari dia sangat cepat, sangat cepat. Dan
masuk ke situ.”
Dia menunjuk ke sebuah villa kecil. Setelah mengucapkan terimakasih, saya
bergegas ke sana. Pintu gerbang baja yang menuju ke taman di depan rumah itu
dalam keadaan tertutup. Lima menit lamanya saya membunyikan bel sampai
seorang pria, lagi-lagi seorang pria Negro, membukakan pintu dan berkata dengan
bahasa Inggris yang jelek,
“Pertama pada Massa8 bertanya. Tanpa izinan dari Massa saya tidaklah
boleh membuka.”
Dia masuk ke dalam dan saya berdiri di sana paling sedikit selama sepuluh
menit. Rasanya seperti berdiri di atas bara api. Akhirnya dia kembali dengan
membawa pesan,

8
Maksudnya: Master (logat Negro dari daerah Selatan).
”Tidak bisa membuka. Massa melarang. Tidak ada masuk orang hari ini.
Pintu selalu tertutup. Jadi harus kamu pergi segera, sebab jika kamu melompati
pagar, maka perlu Massa menjaga keamanan tempat tinggalnya dan dia akan
dengan revolver menembak Anda.”
Saya berdiri sendirian di sana. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak
boleh menerobos masuk dengan jalan kekerasan. Dan saya yakin, pemilik rumah
pasti tidak segan-segan menembak saya. Orang Amerika tidak pernah main-main
dalam urusan keamanan tempat tinggalnya. Saya tidak mempunyai pilihan lain,
selain pergi ke polisi.
Dengan hati kesal saya berjalan pulang melewati lapangan. Pada waktu itu
datanglah seorang anak kecil berlari-lari menghampiri saya. Dia memegang
selembar kertas di tangan.
“Sir, Sir!” serunya. “Tunggu sebentar! Beri saya sepuluh sen untuk surat
ini.”
“Dari siapa?”
“Seorang gentleman yang baru saja berada di sana,” dia bukannya
menunjuk ke villa melainkan ke arah yang berlawanan. “Dia keluar dari rumah itu.
Dia menulis nota ini dan menyuruh saya membawanya kemari. Namun sepuluh sen
dulu, baru Anda bisa mendapatkannya.”
Saya memberinya uang dan menerima kertas itu. Anak itu segera berlari
menghilang. Di atas secarik kertas kumal yang disobek dari buku harian itu tertera
tulisan,

“Yang terhormat, Master Dutchman.


Apakah Anda datang ke New Orleans karena saya? Bisa saya duga,
karena Anda terus mengejar-ngejar saya. Saya selalu memandang
Anda sebagai orang yang bodoh, tapi saya tidak menyangka Anda
bisa sebodoh itu hendak menangkap saya. Siapa yang memiliki otak
tidak lebih dari setengah lot9, tidak pantas menjalankan tugas ini.
Kembalilah ke New York dan sampaikan salam saya buat Master
Ohlert. Saya sudah berusaha agar dia tidak melupakan saya. Saya
pun berharap semoga sewaktu-waktu Anda pun mengenang kembali
pertemuan kita hari ini, suatu pertemuan yang tentu sangat
mengecewakan Anda. Gibson.”

9
1 lot =1/30 pon atau kurang lebih 60 gram.
Bisa dibayangkan betapa marahnya saya setelah membaca surat ini. Saya
meremas kertas itu, memasukkan ke dalam saku lalu pergi. Mungkin secara diam-
diam dia mengawasi saya. Sungguh, saya tidak ingin membiarkan orang ini melihat
saya tertimpa kegagalan.
Saya menatap ke semua sisi lapangan untuk memeriksa. Gibson sama sekali
tidak kelihatan. Pria Negro di depan salon rambut pun sudah tak tampak. Saya pun
tidak menemukan anak kecil itu lagi sehingga saya tak bisa bertanya kepadanya
tentang Gibson. Dia pasti diperintahkan untuk segera menghilang.
Ketika tadi saya berbantah untuk mendapatkan izin masuk ke villa, dengan
tenang Gibson memakai kesempatan untuk menulis sebuah surat sebanyak dua
puluh tiga baris. Pria Negro itu telah mempermainkan saya. Dari tempat
persembunyiannya Gibson pasti menertawakan saya. Anak kecil tadi pun
menunjukkan raut wajah aneh dan dari raut itu saya bisa membaca kesan bahwa
dia tahu kalau saya sedang diperdaya.
Saya sungguh sangat kesal karena baru saja dipermalukan dengan teramat
sangat. Dan saya tidak boleh BERANI?? mengadukan kepada polisi bahwa saya
telah bertemu Gibson. Karena itu dengan diam-diam saya pergi dari sana.
Tanpa melewati lapangan itu lagi, saya memeriksa semua gang yang
bermuara ke lapangan itu. Tentu saja tanpa hasil sedikit pun, sebab Gibson pasti
sudah terburu-buru meninggalkan kota pinggiran yang tidak aman ini. Dugaan
saya, dia akan berusaha secepat mungkin kabur dari New Orleans.
Walaupun otak saya hanya seberat setengah lot, saya kira dugaan terakhir
ini sangat kuat. Karena itu saya memutuskan untuk pergi ke pelabuhan dan
mengecek kapal-kapal yang hendak berangkat ke sana. Dua orang polisi yang
berpakaian preman menolong saya… ternyata usaha mereka juga sia-sia. Rasa
marah karena saya telah dibohongi mentah-mentah membuat saya tidak ingin
beristirahat. Saya terus keluyuran dan menyelidiki semua restoran serta kedai-
kedai minum dan ke jalan-jalan hingga larut malam. Ketika saya merasa benar-
benar letih, saya kembali ke penginapan dan tidur.
Saya bermimpi. Dalam mimpi saya dipindahkan ke sebuah rumah sakit jiwa.
Beratus-ratus orang gila yang menyebut diri penyair, menyodorkan buku-buku
syair yang tebal kepada saya untuk dibaca. Tentu saja isinya tentang cerita tragedi
dengan tokoh utama seorang penyair gila. Saya harus membaca dan terus
membacanya, karena Gibson berdiri di samping saya dengan revolver di tangan
dan mengancam akan segera menembak jika saya berhenti sesaat. Saya terus
membacanya sampai butir-butir keringat mengalir di kening. Untuk menyekanya
saya mengeluarkan saputangan dari saku, berhenti sesaat dan… kemudian
ditembak oleh Gibson!
Bunyi tembakan membuat saya terjaga, tapi bunyi itu bukan dalam mimpi
melainkan bunyi sungguhan. Karena panik, saya berguling-guling di atas tempat
tidur. Dengan maksud menjatuhkan pistol dari tangan Gibson, tanpa sadar saya
memukul lampu yang terletak di atas meja kecil di tempat tidur. Keesokan harinya
saya harus membayar denda delapan dollar untuk kerusakan itu.
Dengan tubuh bermandi keringat, saya bangun. Kemudian saya minum teh
dan pergi ke Danau Pontchartrain yang indah. Di sana saya berenang sampai tubuh
saya kembali segar. Setelah itu saya melanjutkan lagi pencarian. Saya pergi lagi ke
kedai Jerman tempat saya bertemu Old Death kemarin. Saya melangkah masuk
tanpa sedikit pun bermaksud menemukan hal baru di situ. Pada hari ini kedai
minum itu tidak ramai dikunjungi seperti hari sebelumnya. Kemarin saya tidak
melihat koran di sana. Tetapi hari ini tampak banyak koran berserakan di atas meja
tak terbaca. Saya lalu mengambil Deutsche Zeitung10, sebuah koran terbaik yang
dulu terbit di New Orleans. Koran itu masih terus bertahan hingga kini, walaupun
sudah berkali-kali berganti penerbit dan redakturnya menurut kepentingan orang
Amerika. Tanpa bermaksud membaca secara terperinci, saya membolak-balikkan
koran tersebut. Tiba-tiba mata saya terpaku pada sebuah puisi, padahal biasanya
saya membaca kolom puisi di koran hanya sekilas saja atau tidak membacanya
sama sekali. Judul puisi itu mirip dengan judul sebuah roman duka. Saya hanya
sedikit tergerak. Judulnya: Malam Paling Mengerikan. Saya sudah bermaksud
membuka halaman berikut, tapi lagi-lagi mata saya kembali melihat dua huruf yang
tertera pada bagian akhir puisi tersebut, “W.O.” Kedua huruf itu adalah huruf awal
dari nama William Ohlert, orang yang sejak lama menyita perhatian saya! Tidak
heran kalau saya langsung menghubungkan kedua huruf itu dengan dia. Memang
Ohlert yunior menganggap dirinya penyair. Apakah dia lantas menggunakan
kesempatan selagi masih di New Orleans untuk menampilkan karangannya kepada
publik? Barangkali tulisan itu langsung diterbitkan karena dia membayar biaya
pemuatannya. Jika dugaan ini benar maka dengan bantuan puisi itu saya bisa
diantar kembali menuju ke arah jejak kedua orang yang saya cari.
Saya mulai membaca.

Malam Paling Mengerikan

10
Jerman: Harian Jerman.
Tahukah engkau malam yang menyelimuti bumi
seiring angin kencang dan terpaan hujan deras,
malam tanpa gemerlap bintang-bintang surgawi,
tatkala mata terhalang gelap tiada batas?
walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun 'kan tiba;
Oh berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka.

Tahukah engkau malam yang menyelimuti hidup,


ketika maut datang ke pembaringan terakhir
dan keabadian memanggil tak lagi sayup,
hingga denyut nadimu pun berhenti mengalir?
walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun 'kan tiba;
Oh berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka!

Tahukah engkau malam yang menyelimuti jiwa,


saat permohonan ampun tiada digubris,
malam bagai beludak yang membelit sukma
dan meracuni pikiran dengan seribu iblis?
Oh jauhkanlah dirimu dari kengerian ini
sebab malam yang ini tak berujung pagi!
W.O.

Saya mengakui, tulisan itu sungguh menggugah hati. Dipandang dari sudut
sastra, puisi ini tidak berharga. Namun ia mengandung jeritan keputusasaan
seorang manusia berbakat yang sia-sia berjuang melawan cengkeraman kegilaan
dan merasa dirinya tidak bisa tertolong lagi. Tapi saya segera menepis rasa haru
dalam hati karena sekarang saya harus bertindak! Saya cukup yakin bahwa William
Ohlert adalah pengarang puisi tersebut. Maka saya mencari di katalog alamat
redaksi koran itu, dan bergegas ke sana.
Ekspedisi dan redaksi berada dalam satu bangunan. Di ruangan pertama
saya membeli selembar koran hari itu, kemudian melaporkan diri pada bagian
redaksi. Di sana saya kemudian tahu bahwa dugaan saya ternyata benar.
Seseorang bernama William Ohlert datang sendiri ke tempat itu sehari sebelumnya
untuk mengantar tulisannya, sekaligus meminta supaya tulisan itu segera dimuat.
Tetapi karena redaktur menolak permintaannya, penyair itu menyodorkan sepuluh
dollar dan menetapkan persyaratan bahwa tulisannya harus terbit pada nomor hari
itu. Mereka pun harus mengirimkan sebuah revisi11 buatnya. Tingkah laku penyair
itu sangat sopan, hanya kadang-kadang dia menatap ke sekeliling dengan cemas.
Dia pun selalu menekankan bahwa puisi itu ditulis dengan darahnya. Ini adalah
suatu gaya bahasa yang biasa dipakai oleh penulis berbakat maupun penulis
murahan. Karena alasan pengiriman revisi itulah, maka dia harus menyerahkan
alamat rumahnya. Dari sini saya akhirnya bisa mendapatkan alamatnya. Dia tinggal
atau pernah tinggal pada sebuah penginapan yang mahal dan terkenal di daerah
kota baru.
Saya segera berangkat ke sana. Sebelum meninggalkan kamar, saya
menyamar agar tidak dikenal. Dan penyamaran kali ini sangat sempurna. Lalu saya
menjemput dua polisi untuk pergi bersama ke alamat yang dimaksud. Keduanya
akan berdiri berjaga-jaga di pintu gerbang, sementara itu saya sendirilah yang
akan masuk.
Saya sendiri cukup yakin, penangkapan buronan itu beserta sanderanya
akan berjalan lancar. Dengan perasaan menggebu-gebu, saya membunyikan
lonceng rumah. Di atas lonceng kecil itu terpampang selempeng aluminium kecil
bertuliskan “First class pension for Ladies and Gentlemen”. Jadi saya berada pada
alamat yang benar. Rumah dan toko di sampingnya adalah milik seorang
perempuan berumur. Penjaga rumah membukakan pintu, menanyakan keperluan
saya, dan menyuruh saya melaporkan diri terlebih dahulu kepada pemilik rumah.
Kepadanya saya memberikan kartu nama. Tetapi pada kartu itu tertera nama
palsu, bukan nama saya yang sebenarnya. Kemudian saya diantar ke ruang dalam
dan menunggu sang lady selama beberapa saat.
Ia berpakaian rapi dan kelihatan anggun. Usianya kira-kira lima puluh tahun.
Melihat rambutnya yang keriting serta kukunya yang agak kehitam-hitaman, saya
bisa memastikan bahwa ia mewarisi sedikit keturunan orang kulithitam. Ia
menampakkan kesan seorang wanita yang ramah dan menerima saya dengan
penuh sopan santun.
Saya memperkenalkan diri sebagai redaktur dari rubrik puisi pada Deutsche
Zeitung lalu menyerahkan satu eksemplar dari koran tersebut. Saya menyampaikan
bahwa saya harus bertemu dengan penulis puisi itu. Untuk itu saya mendapat
alasan yang masuk akal, yakni karena ingin membayar honor dan meminta
beberapa karangan lagi.
Ia mendengarkan saya dengan tenang, lalu memperhatikan saya dengan
seksama dan berkata,

11
Redaksi akhir.
“Jadi Tuan Ohlert telah memberikan puisinya untuk diterbitkan di koran
Anda? Sungguh menarik! Sayang saya tidak mengerti bahasa Jerman, jika tidak
saya pasti meminta Anda untuk membacakannya buat saya. Apakah puisinya
bagus?”
“Ya, luar biasa! Saya harus katakan kepada Anda bahwa saya sungguh
tertarik!”
“Senang sekali mendengarnya. Di mata saya, Tuan Ohlert selalu
memberikan kesan bahwa dia seorang terpelajar, seorang gentleman sejati.
Sayang dia tidak banyak bicara dan tidak bergaul dengan orang lain. Hanya sekali
saja dia keluar, ya, ketika pergi mengantar puisi itu kepada Anda.”
“Sungguh? Dari percakapan singkat dengannya saya menduga, dia menarik
sejumlah uang di kota ini dan untuk maksud itu mestinya dia lebih sering keluar
rumah.”
“Hal itu terjadi ketika saya tidak berada di rumah. Mungkin juga
sekretarisnya yang pergi mengambil uang tersebut.”
“Jadi dia mempunyai seorang sekretaris? Tentang itu dia tak pernah
menyinggungnya. Kalau begitu dia pasti seorang yang sangat kaya.”
“Benar! Dia memberikan gaji yang besar dan makanan yang enak.
Sekretarisnya, Master Clinton, mengatur keuangannya.”
“Clinton! Jika sekretaris itu bernama Clinton, rasanya saya sudah pernah
bertemu dengannya pada sebuah perkumpulan. Dia berasal dari New York atau
paling kurang dari daerah sekitarnya dan dia seorang yang pandai menjalin relasi
dengan orang lain. Kami bertemu kemarin siang .”
“Betul,” dia menyela. “Kemarin dia keluar rumah.”
“Dan kami menjadi akrab satu sama lain,” lanjut saya, “sampai-sampai dia
menghadiahkan sebuah potretnya untuk saya. Pada waktu itu saya tidak membawa
potret saya, tetapi saya berjanji untuk memberinya sekarang, karena hari ini kami
akan bertemu kembali. Ini gambarnya,” saya menunjukkan gambar Gibson yang
selalu saya bawa ke mana-mana.
“Benar, inilah sekretarisnya,” katanya setelah melihat potret itu. “Sayang
Anda tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Dan Anda tidak mendapat puisi lain
dari Master Ohlert, karena keduanya sudah pergi.”
Saya terkejut tetapi lalu cepat-cepat menguasai diri dan berkata,
“Oh... sayang sekali. Keputusan untuk pergi dari sini pasti muncul secara
tiba-tiba.”
“Tampaknya begitu. Ini sebenarnya suatu peristiwa yang mengharukan.
Master Ohlert pasti tidak pernah menyinggungnya, karena tak seorang pun mau
menikam pisau ke dalam luka sendiri. Tetapi sekretarisnya menceritakan semuanya
kepada saya, tapi dengan janji bahwa saya harus tutup mulut. Anda pun harus
tahu, saya selalu merasa bahagia atas kepercayaan yang diberikan oleh orang-
orang yang menginap di tempat ini.”
“Saya percaya itu. Gaya Anda yang lembut serta tutur kata Anda yang halus
mampu menggerakkan hati orang untuk segera mempercayai Anda,” kata saya
dengan sangat lancang.
“Ah bisa saja!” jawabnya sambil tersipu malu. “Cerita ini membuat saya
hampir menangis. Namun saya merasa bahagia karena anak muda itu melarikan
diri pada waktu yang tepat.”
“Melarikan diri? Kedengarannya seolah-olah dia dikejar!”
“Ya, begitulah persoalannya.”
“Ah! Sangat menarik! Seorang penyair, berbakat luar biasa, dan cerdas
namun dikejar-kejar! Dalam posisi sebagai redaktur, atau boleh dikatakan rekan
dari korban, saya mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui lebih
jauh tentang hal tersebut. Koran memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh.
Barangkali saya bisa memuat kisah ini dalam sebuah tulisan. Betapa sayangnya
jika kisah menarik ini tidak diterbitkan karena Anda tidak boleh membuka rahasia.”
Pipinya memerah. Ia menarik sebuah sapu tangan yang tidak terlalu bersih
dari saku untuk berjaga-jaga kalau ia menangis. Lalu ia berkata,
“Saya pun tidak lagi merasa wajib menutup mulut, Sir, karena kedua Master
itu telah pergi. Hanya saya tahu, orang mengartikan koran sebagai kekuasaan. Dan
saya sangat bahagia apabila Anda mampu menolong penyair malang itu.”
“Saya pasti akan mengerahkan seluruh kekuatan saya untuk membantu.
Hanya terlebih dahulu saya harus diberitahu tentang apa yang telah terjadi.”
Harus saya akui, saya harus bersusah payah menyembunyikan rasa
penasaran.
“Anda akan mengetahuinya sekarang. Hati saya mendesak untuk
menceritakan semua kepada Anda. Peristiwa ini berhubungan dengan kisah cinta
sejati, kisah cinta yang tidak berakhir dengan kebahagiaan.”
“Sudah saya bayangkan sebelumnya. Karena sejauh yang saya tahu, cinta
yang putus di tengah jalan adalah sebuah penderitaan terbesar yang mampu
mencabik-cabik perasaan orang.”
Tentu saja saya tidak memiliki sedikit pun pengetahuan tentang cinta.
“Betapa Anda sungguh simpatik dengan kata-kata indah itu, Sir. Apakah
Anda pernah mengalami penderitaan sepahit itu?”
“Belum.”
“Kalau begitu Anda sungguh beruntung. Saya pernah mengalami
penderitaan seperti itu. Rasanya seperti mau mati saja. Ibu saya seorang
peranakan. Saya bertunangan dengan putra seorang petani Perancis, yang juga
anak campuran. Kebahagiaan kami tercabik-cabik karena ayah calon suami saya
tidak mau menerima seorang coloured-lady12 di tengah keluarganya. Karena itu
saya sangat prihatin melihat nasib penyair malang itu. Mungkin dia tidak bahagia
karena alasan yang serupa.”
“Jadi dia jatuh cinta pada seorang perempuan berkulit gelap?”
“Ya, seorang peranakan Negro. Ayahnya melarang hubungan cinta itu dan
dengan cara yang licik dia membuat surat keterangan lalu memaksa gadis itu
menandatanganinya. Isinya, gadis itu harus melepaskan kebahagiaan yang akan ia
rajut bersama William Ohlert.”
“Sungguh seorang ayah yang kejam!” saya berkata sedih. Wanita itu
memandang saya dengan penuh simpati.
Kelihatannya ia percaya pada semua hal yang diceritakan Gibson. Tentu saja
sebelumnya wanita ini bercerita tentang kisah cintanya kepada Gibson. Gibson lalu
mengarang sebuah dongeng yang mirip untuk menumbuhkan rasa prihatin di
dalam hati wanita ini. Dengan itu dia mempunyai alasan yang kuat, mengapa dia
harus segera pergi. Keterangan bahwa dia sekarang menyebut dirinya Clinton tentu
sangat penting bagi saya.
“Ya, seorang ayah yang kejam!” ia mengulang perlahan. “Tetapi William
tetap setia kepada kekasihnya dan keduanya melarikan diri hingga ke sini. William
kemudian menyerahkan gadis itu ke sebuah penginapan.”
“Tetapi saya belum mengerti, mengapa dia harus meninggalkan New
Orleans?”
“Karena orang yang mengejarnya pun sudah datang ke sini.”
“Ayahnya menyuruh seseorang untuk membuntutinya ke sini?”
“Ya, seorang Jerman. Lagi-lagi orang Jerman. Saya membenci mereka.
Mereka dinamakan bangsa yang suka berpikir tetapi mereka tidak mampu
mencintai. Dengan berbekal surat kuasa di tangan, orang Jerman itu memburu
William dari kota ke kota hingga kemari.”
Dalam hati, saya hanya tertawa mendengar kecaman wanita itu terhadap
seseorang yang saat ini sedang berbicara dengan dirinya.
“Dia seorang polisi. Dia harus menangkap William dan membawanya pulang
ke New York,” katanya lebih lanjut.

12
Inggris: Perempuan kulit berwarna.
“Apakah sekretarisnya menggambarkan kepada Anda, bagaimana kira-kira
rupa keparat tersebut?” saya bertanya dengan hati berdebar-debar menanti
tanggapannya tentang diri saya.
“Ya, karena mungkin saja si barbar itu menemukan rumah penginapan
William dan akan ke sini. Tetapi saya akan menyambut kedatangannya! Dan saya
sudah mempertimbangkan baik-baik setiap kata yang akan saya ucapkan di
hadapannya. Dia tidak akan diberitahu, ke mana William pergi. Justru saya akan
menyuruhnya pergi ke jurusan yang berlawanan.”
Dia menerangkan tentang si ‘barbar’ itu dan menyebut juga namanya –
sama persis dengan nama saya dan gambarannya cocok pula dengan diri saya.
Hanya ia mengungkapkannya dengan cara yang lebih halus.
“Setiap detik saya menunggu dia datang,” katanya lebih lanjut. “Ketika saya
diberitahu bahwa Anda datang, saya sempat berpikir, inilah orang yang saya nanti-
nantikan. Tapi untunglah saya keliru. Anda bukanlah orang yang memburu kedua
manusia yang lagi dimabuk asmara itu. Anda juga bukan orang yang mau merebut
kebahagiaan mereka, bukan orang yang mencintai kejahatan dan pengkhianatan.
Dari tatapan mata Anda yang polos saya bisa melihat, Anda akan menulis sebuah
artikel di surat kabar untuk mengecam orang Jerman itu dan memberikan
perlindungan terhadap orang yang dikejar.”
“Jika saya bisa, saya akan melakukannya dengan senang hati. Tetapi
pertama-tama saya harus tahu, di mana William Ohlert sekarang. Saya harus
menyurati dia. Semoga Anda mau mengatakan tempat tinggalnya saat ini.”
“Saya tahu pasti kemana dia pergi. Tetapi saya tidak bisa memastikan
bahwa dia masih berada di tempat itu, apabila surat Anda tiba. Orang Jerman itu
tentu akan saya suruh pergi ke arah barat laut. Namun kepada Anda saya katakan,
William telah pergi ke selatan, ke Texas. Dia bermaksud menyeberang ke Mexico
dan mendarat di Veracruz. Saat ini tak ada kapal yang segera berlayar ke sana.
Karena bahaya yang mengancam dia harus bertindak dengan cepat, lalu dia
menumpang kapal Delphin yang berlayar ke Quintanna.”
“Anda tahu pasti?”
“Ya, sangat pasti. Dia harus bergegas. Dia hanya mempunyai sedikit waktu
untuk menaikkan kopornya ke geladak kapal. Pelayan saya mengurus semuanya
sampai dia tiba di geladak. Di sana dia berbicara sejenak dengan anak buah kapal
dan mendapat informasi bahwa Delphin betul-betul berlayar ke Quintanna tetapi
singgah dulu sebentar ke Galveston. Sungguh, Master Ohlert yunior pergi dengan
kapal uap itu. Pelayan saya masih menunggu sampai kapal itu berangkat.”
“Apakah kekasihnya serta sekretaris itu juga ikut berlayar?”
“Tentu! Pelayan saya memang tidak melihat gadis itu, karena ia sudah lebih
dulu masuk ke kabin wanita. Pelayan itu pun tidak bertanya panjang lebar karena
semua karyawan saya sudah dilatih untuk menjaga mulut dan tahu menghormati
tamu. Yang jelas, William tidak meninggalkan kekasihnya dan dia ingin terus
menghindar dari bahaya karena takut ditangkap oleh orang Jerman itu. Saya
sangat senang jika keparat itu datang ke sini. Saya sudah menyiapkan adegan kecil
yang menarik. Pertama-tama, saya akan mencoba melunakkan hatinya dan jika hal
ini tidak berhasil, maka saya akan menyemburkan sumpah serapah ke wajahnya.
Dan saya akan terus menyerang sampai dia akhirnya tertunduk malu di hadapan
saya.”
Wanita lemah lembut itu kini sedang dikuasai emosi. Rupanya persoalan itu
sangat meluluhlantakkan hatinya. Sekarang ia bangkit dari tempat duduk,
mengepalkan tinju, menghadap pintu, dan berteriak mengancam,
“Ya, datanglah, datanglah kau, setan Dutchman. Tatapan mata saya akan
menusuk tubuhmu dan kata-kata saya akan meremukkan tulang-belulangmu.”
Sekarang rasanya saya sudah cukup mendengarkan keterangan yang perlu
dan saya bisa pergi. Orang lain pun akan berbuat yang sama dan meninggalkan
wanita itu dalam kekhilafannya. Tetapi bagi saya, saya merasa wajib menjelaskan
pokok persoalan ini kepadanya. Ia tidak boleh dibiarkan terus menganggap seorang
biadab sebagai seorang yang berhati tulus. Dan tidak salah juga seandainya saya
berterus terang. Karena itu saya lalu berkata,
“Saya pikir, Anda tidak akan mendapat kesempatan untuk mencaci maki
orang itu.”
“Mengapa tidak?”
“Karena pokok persoalan yang sebenarnya sungguh lain daripada yang Anda
kira. Juga Anda tidak akan berhasil menyuruh keparat itu pergi ke arah barat laut.
Karena dia sendiri lebih suka langsung menyusul ke Quintanna untuk menangkap
William serta orang yang disebut sebagai sekretarisnya.”
“Tetapi dia tidak tahu di mana mereka tinggal.”
“Tidak, dia tahu. Karena Anda sudah mengatakan kepadanya.”
“Saya? Tidak mungkin! Saya tahu apa yang saya katakan. Kapan saya
memberitahukannya?”
“Baru saja.”
“Sir, saya tidak mengerti maksud Anda!” wanita itu bertanya dengan penuh
keheranan.
“Saya akan membantu Anda agar bisa mengerti persoalan ini lebih baik.
Tapi pertama-tama izinkanlah saya mengubah sedikit penampilan.”
Setelah itu saya melepaskan rambut hitam, janggut tebal, serta kacamata
dari wajah. Ia mundur beberapa langkah karena terkejut,
“Ya Tuhan!” serunya. “Anda bukan seorang redaktur melainkan orang
Jerman itu! Anda telah membohongi saya!”
“Saya terpaksa berbuat demikian, karena sebelumnya Anda telah ditipu
orang. Cerita tentang wanita peranakan itu dari awal hingga akhir adalah suatu
kebohongan besar. Orang telah mempermainkan kebaikan hati Anda dan
menjadikannya lelucon. Clinton itu bukan sekretaris dari William. Sebenarnya dia
bernama Gibson dan dia adalah seorang penipu yang sangat berbahaya. Dan saya
ingin membekuknya.”
Ia jatuh terduduk tanpa daya di atas kursi dan berkata,
“Tidak, tidak! Semua ini tidak mungkin. Orang yang baik, ramah, dan
menawan itu tidak mungkin menjadi seorang penipu. Saya tidak mempercayai
Anda.”
“Anda akan percaya jika mendengarkan cerita saya. Baik, saya akan
menceritakan semuanya.”
Saya menerangkan tentang pokok persoalan yang sebenarnya. Dan saya
berhasil mempengaruhi bahkan mengubah rasa simpatinya terhadap sekretaris
yang baik hati itu menjadi kemarahan yang meluap-luap. Ia sadar, ia telah ditipu
mentah-mentah. Akhirnya ia mengaku bahagia karena saya datang dengan pakaian
menyamar.
“Jika Anda tadi tidak menyamar,” katanya, “tentu Anda tidak mendapat
keterangan yang benar dan Anda pasti sudah berlayar ke utara, ke Nebraska atau
Dakota sesuai petunjuk saya. Tindak tanduk orang yang bernama Gibson, atau
Clinton itu harus diganjar dengan hukuman yang keras. Saya berharap Anda segera
mengejarnya. Saya juga minta supaya Anda menyurati saya dari Quintanna untuk
memberitahukan, apakah Anda sudah berhasil menangkap keparat itu. Sebelum
menyeretnya ke New York Anda harus membawanya kemari supaya saya bisa
mengatakan kepadanya, betapa rendahnya dia di mata saya.”
“Itu tidak mungkin. Sungguh tidak gampang membekuk seseorang di Texas
lalu menyeretnya ke New York. Saya sudah merasa puas apabila saya berhasil
melepaskan William Ohlert dari tangan penculiknya dan paling tidak bisa
menyelamatkan sebagian uang yang diambil keduanya selama pelarian. Tetapi
untuk saat ini saya akan merasa sangat bahagia kalau Anda cukup mengatakan
bahwa Anda tidak lagi menganggap orang Jerman sebagai bangsa barbar, bangsa
yang tidak bisa mencintai. Saya sedih mendengar bangsa saya dikecam tanpa
alasan, seperti yang baru saja Anda lakukan.”
Jawaban yang keluar dari mulutnya adalah sebuah permintaan maaf. Ia juga
meyakinkan saya bahwa ia telah mengubah pandangannya yang salah. Kami lalu
berpisah dalam suasana yang penuh keakraban. Kepada kedua polisi yang
menunggu di luar, saya mengatakan bahwa urusannya sudah selesai. Saya
memberikan mereka sejumlah uang lelah, lalu segera beranjak pergi.
Tentu saja saya harus secepat mungkin pergi ke Quintanna. Pertama-tama
saya harus mencari kapal yang akan berangkat ke sana. Sayang waktunya tidak
tepat buat saya, karena walaupun ada sebuah kapal uap yang siap untuk berlayar
ke Tampico, namun kapal itu akan singgah di beberapa tempat. Sedangkan kapal-
kapal dengan jurusan Quintanna baru akan berangkat beberapa hari lagi. Akhirnya
saya menemukan sebuah kapal layar yang dipakai untuk mengangkut barang-
barang ke Galveston yang akan berangkat sore ini, dan saya bisa berlayar dengan
kapal itu. Di Galveston saya berharap bisa mendapat sarana yang lebih cepat untuk
pergi ke Quintanna. Dengan segera saya mengepak barang-barang dan naik ke
atas kapal.
Sayang harapan saya untuk berlayar dari Galveston menuju Quintanna tidak
terwujud. Tetapi, masih ada kemungkinan lain bagi saya untuk berlayar
melampaui tempat tujuan hingga ke Matagorda di muara timur Sungai Colorado.
Orang mengatakan, lebih gampang untuk berangkat lagi dari sana menuju ke
Quintanna. Pertimbangan ini membulatkan tekad saya untuk memilih kemungkinan
yang terakhir. Di kemudian hari baru jelas bahwa saya tidak perlu menyesali
keputusan itu.
Pada waktu itu perhatian pemerintah di Washington tertuju pada daerah
Selatan, Mexico. Negara ini masih terus menderita akibat peperangan antara aliran
republik dan aliran yang mendukung sistem kerajaan.
Amerika Serikat mengakui Benito Juarez sebagai Presiden Republik Mexico.
Penduduk Mexico menolak mati-matian kalau akhirnya dia harus kalah melawan
Maximillian. Sama seperti sebelumnya, mereka tetap menganggap Kaisar
Maximillian sebagai penguasa ilegal. Karena itu mereka melakukan tekanan politis
terhadap Napoleon. Napoleon dituntut membuat pernyataan guna menarik
pasukannya dari Mexico. Melalui kemenangan bangsa Prusia dalam peperangan di
Jerman, secara tidak langsung Napoleon dipaksa untuk menepati perjanjian. Di
sinilah awal keruntuhan Maximillian.
Ketika pecah perang saudara, Texas menyatakan diri mendukung
13
sesessionisme dan dengan itu berpihak pada negara-negara yang ingin

13
Aliran yang memperjuangkan hak untuk memisahkan diri dari pemerintah Union.
mempertahankan sistem perbudakan. Kekalahan negara tersebut tidak membawa
kedamaian bagi rakyat. Orang menjadi kecewa terhadap negara-negara Utara dan
mereka menunjukkan sikap yang menentang politik negara tersebut. Sebenarnya
rakyat Texas menganut aliran republik. Orang mengelu-elukan Juarez sebagai
pahlawan suku Indian, karena dia tidak gentar mengangkat senjata melawan
Napoleon dan para sekutunya dari Dinasti Habsburg. Namun karena pemerintahan
di Washington bersekutu dengan pahlawan ini, maka diam-diam orang pun mulai
menentang dia. Jadi dalam kemelut ini rakyat Texas terbagi menjadi dua
kelompok: yang satu secara terang-terangan menyuarakan dukungannya terhadap
Juarez, sedangkan yang lainnya menyatakan penolakan terhadap dirinya. Namun
penolakan itu tidak didasarkan pada keyakinan, tetapi semata-mata karena mereka
ingin menentang semua bentuk undang-undang. Akibat ketegangan yang timbul
dari pertentangan itu, maka sangat sulit untuk bepergian melalui daerah ini. Usaha
seseorang untuk menyembunyikan paham politiknya hanyalah tindakan yang sia-
sia belaka, karena setiap orang dipaksa untuk mendukung satu dari kedua orang di
atas.
Orang Jerman yang menetap di Texas pun tidak sepaham. Sebagai orang
Jerman, mereka menyatakan simpati terhadap Maximillian. Tetapi hal itu tidak
sesuai dengan semangat patriotisme mereka, karena Maximillian pergi ke Mexico di
bawah bendera Napoleon. Sudah cukup lama mereka hidup dalam suasana yang
didominasi oleh paham republik, sehingga mereka percaya bahwa penyerbuan
bangsa Perancis ke daerah Montezuma tidak bisa dibenarkan. Penyerbuan itu
hanya dimaksudkan untuk meraih kembali kejayaan bangsa Perancis yang telah
pudar, dan dengan itu, pandangan rakyat Perancis dialihkan dari situasi dalam
negeri sendiri yang kacau balau. Karena alasan-alasan ini orang-orang Jerman lebih
suka memilih diam dan menjauhkan diri dari urusan politik. Tetapi pada saat yang
sama, sebenarnya selama perang sesessionis mereka memihak negara-negara
Utara dan menentang kaum bangsawan yang mempekerjakan budak.
Suasana seperti inilah yang kami alami ketika berada di tanjung yang luas
yang memisahkan Teluk Matagorda dari Teluk Mexico. Kami bisa berlayar melalui
Paso Caballo, tetapi kemudian kami harus segera menurunkan jangkar karena
perairan itu dangkal sehingga kapal-kapal yang besar bisa terancam kandas.
Di balik tanjung itu berlabuh beberapa kapal kecil. Sedangkan agak ke
tengah berlabuh kapal-kapal besar, kapal bertiang tiga, dan sebuah kapal uap.
Dengan perahu saya cepat-cepat pergi ke Matagorda untuk menanyakan jadwal
kapal ke Quintanna. Sayang saya diberitahu bahwa baru dua hari lagi sebuah kapal
akan berlayar ke sana. Saya tertahan sekali lagi. Sungguh saya merasa sangat
kesal karena Gibson bisa empat hari lebih cepat daripada saya, dan kesempatan ini
bisa dipakainya untuk menghilang tanpa jejak. Saya hanya bisa menghibur diri
dengan mengatakan bahwa dalam situasi terjepit, saya sudah berusaha
semaksimal mungkin.
Tiada pilihan lain bagi saya selain harus menunggu dengan sabar. Maka saya
segera mencari sebuah hotel dan menyuruh orang mengambil barang-barang saya
dari kapal.
Dulu Matagorda belum seluas sekarang. Kota ini terletak di teluk bagian
timur dan merupakan sebuah kota pelabuhan yang kurang terkenal apabila
dibandingkan misalnya dengan Galveston. Seperti semua daerah di Texas, pantai di
tempat itu pun sangat kotor dengan bagian landai yang penuh lumpur tetapi
lembab. Dalam waktu singkat orang bisa terserang sakit demam. Karena itu
rasanya tidak bijaksana jika saya harus berlama-lama di sana.
‘Hotel’ tempat saya menginap ini bisa dibandingkan dengan penginapan
kelas tiga atau kelas empat di Jerman. Sedangkan kamar saya lebih mirip sebuah
kamar tidur kapal yang sempit. Bahkan tempat tidurnya sedemikian pendek
sehingga saat tidur, kaki dan kepala saya menjulur ke luar.
Setelah semua barang diantar ke kamar, saya keluar sebentar untuk
melihat-lihat kota. Untuk keluar dari kamar menuju tangga, saya harus melewati
sebuah kamar yang sedang terbuka pintunya. Saya menengok sepintas ke dalam
ruangan itu. Kamar itu dilengkapi dengan perabot yang sama seperti yang di
kamar saya. Di atas lantai, di dekat dinding tergeletak sebuah pelana kuda dan di
atasnya tergantung tali kekang. Di sudut dekat jendela bersandar sepucuk senapan
Kentucky. Tanpa sadar tiba-tiba saya teringat kepada Old Death! Tapi mungkin saja
barang-barang itu milik orang lain.
Setelah keluar dari bangunan, saya berjalan perlahan menyusuri gang. Tapi
pada saat hendak membelok di tikungan, saya bertabrakan dengan seseorang yang
muncul dari depan. Dia tidak melihat saya sebelumnya karena terhalang oleh
tikungan.
“Thunder-storm!” teriaknya. “Hati-hatilah, Sir! Jangan tergesa-gesa pada
belokan seperti ini!”
“Jika Anda berpikir, langkah sepelan ini sudah dianggap secepat badai, pasti
Anda juga akan mengatakan, laju seekor siput sama cepatnya dengan sebuah
kapal di Sungai Mississippi,” jawab saya sambil tertawa.
Dia mundur selangkah, menatap saya dan berkata,
“Ini rupanya greenfish Jerman yang kemarin tidak mau mengaku bahwa dia
seorang detektif! Apa yang ingin Anda cari di Texas dan di daerah Matagorda ini,
Sir?”
“Tentu bukan Anda yang saya cari, Master Death!”
“Ya, saya tahu! Kelihatannya Anda termasuk orang-orang yang selalu gagal
menemukan apa yang mereka cari. Dan Anda seperti mereka yang terus saja
berlomba bersama dengan orang lain yang sulit mereka kalahkan. Tetapi sekarang
Anda tentu lapar dan haus. Mari kita beristirahat di satu tempat di mana kita bisa
minum bir. Kedai bir Jerman kelihatan kian menyebar ke mana-mana. Di tempat
terpencil seperti ini pun terdapat sebuah kedai bir. Saya kira, bir adalah sesuatu
yang terbaik dari negeri Anda. Anda sudah mendapat penginapan?”
“Ya, di bawah sana, di Hotel Uncle Sam.”
“Bagus! Wigwam saya juga di hotel itu.”
“Barangkali dekat ruangan, di mana saya melihat pelana dan tali kekang
serta senjata, sebelum tangga naik?”
“Ya. Anda tahu, ke mana pun saya pergi, barang-barang itu selalu dibawa.
Kuda bisa ditemukan di semua tempat, tetapi pelana yang bagus tidak. Tetapi
marilah, Sir! Baru saja saya masuk ke sebuah kedai minum yang menawarkan bir
dingin. Minum bir pada hari panas di bulan Juli seperti ini merupakan suatu
kenikmatan sejati. Saya juga masih bersedia untuk minum satu atau beberapa
gelas lagi.”
Dia membawa saya ke sebuah kedai tempat orang menjual bir dengan harga
mahal. Hanya kami berdua yang berada di situ. Saya menawarkan cerutu tetapi dia
menolak. Sebagai gantinya dia mengeluarkan sebungkus tembakau kunyah dari
saku lalu membaginya menjadi beberapa bagian kecil yang cukup untuk lima
orang. Kemudian dia memasukkannya ke dalam mulut dan mendorongnya dengan
lidah ke samping, sehingga pipinya mengembung. Lalu dia berkata,
“Sekarang saya selesai. Hanya saya ingin tahu, apa alasan yang mendorong
Anda menyusul saya ke sini. Apakah alasan itu penting?
“Justru sebaliknya.”
“Jadi sebenarnya Anda tidak bermaksud datang ke sini?”
“Tidak, semestinya saya pergi ke Quintanna. Tapi karena tak ada kapal,
maka saya datang ke sini. Sebab katanya, dari sini orang lebih gampang
mendapatkan kapal ke Quintanna. Sayang ternyata saya harus menunggu dua hari
lagi.”
“Bersabarlah, Master. Hiburlah diri Anda dengan kata-kata manis bahwa
memang Anda lagi sial.”
“Hiburan yang menyenangkan! Apa Anda kira, saya akan mengirimkan Anda
kartu ucapan terimakasih untuk nasehat itu?”
“Oh... bukan itu maksud saya,” dia tertawa. “Saya selalu memberikan
nasehat dengan cuma-cuma. Selain itu, nasib saya pun sama seperti Anda. Saya
duduk di sini tanpa berbuat apa-apa karena saya terlalu lamban. Sebenarnya saya
hendak pergi ke Austin dan terus ke sana melalui Rio Grande del Norte. Saat ini
adalah musim yang tepat. Setiap hari hujan turun dan Sungai Colorado
menampung cukup air sehingga kapal jurusan Austin bisa berlayar di atasnya.
Sungai ini biasa kekurangan air sepanjang tahun.”
“Saya pernah mendengar, ada sebuah gosong di dalam sungai yang
menghambat pelayaran kapal.”
“Sebenarnya bukan gosong melainkan endapan kayu-kayu besar yang
dihanyutkan oleh sungai ke sana, sehingga sekitar delapan kilometer dari sini
sungai itu terbagi menjadi anak-anak sungai. Tetapi setelah gosong itu, airnya
kembali dalam hingga ke Austin. Karena pelayaran terhalang, maka orang harus
lebih dahulu berjalan hingga ke gosong itu dan kemudian naik kapal di sana. Saya
juga mau pergi ke sana, tetapi bir Jerman yang nikmat ini telah menahan saya
untuk tinggal lebih lama. Saya minum dan terus minum dan tinggal terlalu lama di
Matagorda. Ketika saya tiba di gosong, kapal baru saja berangkat. Jadi saya harus
membawa pulang pelana dan menunggu sampai besok pagi di mana kapal
berikutnya akan berlayar ke sana.”
“Jadi nasib kita sama dan Anda pun bisa menghibur diri dengan ucapan yang
baru saja Anda tujukan kepada saya. Anda juga sedang sial.”
“Sama sekali tidak. Saya tidak mengejar seorang pun. Dan bagi saya sama
saja, apakah hari ini atau minggu depan saya tiba di Austin. Tetapi yang membuat
saya jengkel, saya ditertawakan oleh greenfrog (katak hijau) yang bodoh itu. Dia
lebih cepat dari saya dan menyiuli saya dari geladak ketika saya tertinggal di
pelabuhan. Jika saya bertemu lagi orang itu, dia akan menerima pelajaran yang
lebih keras daripada yang dulu pernah didapatnya di atas kapal.”
“Anda berkelahi dengan dia, Sir?”
“Berkelahi? Apa maksud Anda, Sir? Old Death tidak pernah berkelahi. Tapi
saat itu, di atas kapal Delphin ada orang yang merasa lucu karena postur tubuh
saya, lalu tertawa, begitu dia menatap saya. Saya kemudian bertanya, apa yang
membuatnya merasa lucu. Ketika dia menjawab bahwa dia geli melihat tulang-
tulang saya, saya langsung menghadiahkan sebuah slap in the face14 hingga dia

14
Inggris: Tamparan di wajahnya.
terjungkal. Lalu dia mencabut revolver hendak menembak saya, tetapi tiba-tiba
datang sang kapten kapal dan menyuruhnya untuk segera enyah dari tempat itu.
Itu pantas baginya, karena dia telah menghina saya. Mungkin karena itu pula maka
dia tertawa ketika saya terlambat tiba di gosong dan tidak bisa menumpang kapal.
Hanya saja saya kasihan melihat teman seperjalanannya! Kelihatannya gentleman
itu baik, hanya wajahnya murung dan sedih. Dia menatap dengan pandangan
kosong, seperti seseorang yang terganggu jiwanya.”
Kalimatnya yang terakhir membangkitkan rasa ingin tahu saya.
“Seperti orang gila?” tanya saya. “Mungkin Anda mendengar orang
menyebut namanya?”
“Kapten memanggilnya dengan Master Ohlert!”
Saya terkejut, seolah-olah saya baru saja mendapat sebuah pukulan di
kepala. Dengan tergesa-gesa saya bertanya,
“Ah! Dan temannya?”
“Jika saya tidak salah, namanya Clinton.”
“Bagaimana mungkin...” saya berseru sambil melompat bangkit dari tempat
duduk. “Jadi keduanya berada bersama Anda di atas kapal?”
Dia memandang saya penuh keheranan lalu bertanya,
“Apakah Anda sudah mabuk, Sir? Anda begitu cepat berubah. Apakah kedua
orang itu punya sangkut paut dengan Anda?”
“Ya! Merekalah orang yang harus saya temukan.”
Kembali dia tersenyum simpul. Senyum seperti itu selalu berulang kali
menghiasi wajahnya.
“Hm... hm...” dia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akhirnya Anda
berterus terang bahwa Anda sedang mencari dua orang. Mengapa harus kedua
orang itu? Hm! Anda sungguh seorang greenhorn, Sir! Anda hanya sendirian
mengejar buruan!”
“Maksud Anda?”
“Karena di New Orleans Anda tidak bersikap jujur terhadap saya.”
“Saya toh tidak boleh berterus terang,” jawab saya.
“Semua orang boleh berbuat apa saja untuk mencapai tujuan-tujuan yang
baik. Jika saat itu Anda menjelaskan persoalannya kepada saya, maka kini
keduanya sudah berada di tangan Anda. Saya langsung mengenali mereka begitu
mereka tiba di kapal, dan saya bisa menjemput atau menyuruh orang memanggil
Anda. Anda mengerti sekarang, Sir?”
“Tetapi siapa yang tahu sebelumnya bahwa Anda akan bertemu mereka.
Lagipula mereka tidak bermaksud berangkat ke Matagorda melainkan ke
Quintanna.”
“Mereka hanya berkata demikian. Tetapi sebenarnya mereka tidak turun dari
kapal. Semoga Anda bersikap bijak dan mau menceritakan seluruh kejadian kepada
saya. Barangkali saya bisa menolong Anda untuk menangkap kedua orang itu.”
Orang ini bermaksud baik terhadap saya. Dia sama sekali tidak ingin
menyulitkan saya. Tetapi saya merasa malu. Beberapa waktu yang lalu, saya tidak
bersedia memberi keterangan kepadanya. Tetapi hari ini setelah melihat sikapnya,
saya terdorong untuk menceritakan semuanya. Perasaan saya melarang saya untuk
membuka mulut, tetapi akal saya lebih kuat. Saya mengeluarkan kedua foto,
menyodorkan kepadanya sambil berkata,
“Sebelum saya menjelaskan, tolong perhatikan dulu kedua gambar ini.
Apakah kedua orang ini yang Anda maksudkan?”
“Ya, ya, merekalah orangnya!” jawabnya setelah melihat wajah kedua orang
itu. “Tidak salah lagi.”
Secara jujur saya menceritakan inti persoalan. Dia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Ketika saya selesai, dia menggeleng-gelengkan kepala lalu
berkata dengan nada prihatin,
“Setelah saya mendengar dari Anda, sekarang semuanya menjadi jelas.
Hanya satu hal yang masih membuat saya bingung. Apakah William Ohlert benar-
benar sudah menjadi gila?”
“Saya kira tidak. Saya tidak mengerti banyak tentang penyakit jiwa. Tetapi
saya hanya melihat gejala monomania15. Oleh karenanya, dia bisa
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kecuali dalam satu hal.
“Yang tidak jelas bagi saya adalah, mengapa dia membiarkan dirinya begitu
kuat dipengaruhi oleh Gibson. Dia kelihatan taat dan menuruti Gibson dalam segala
hal. Mungkin keparat itu mau menggunakan penyakit monomania Ohlert untuk
memeras dia. Nah, semoga kita bisa segera membuka kedoknya!”
“Anda sungguh yakin bahwa keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju
Austin? Atau barangkali mereka ingin turun di tengah jalan?”
“Tidak. Ohlert mengatakan kepada kapten bahwa dia hendak pergi ke
Austin.”
“Ini membingungkan! Semestinya dia tidak mengatakan ke mana dia akan
pergi.”

15
Lihat telaah tentang monomania di lampiran buku ini.
“Mengapa tidak? Mungkin Ohlert belum tahu kalau dia sedang dibuntuti,
sehingga dia mengambil jalan yang salah. Barangkali dia percaya bahwa sejauh ini
dia telah bertindak benar dan hidup demi idealismenya. Semua yang lain menjadi
urusan Gibson. Orang yang bingung itu merasa tidak bodoh dengan mengatakan
Austin sebagai tujuan perjalanannya. Dan kapten itu meneruskan keterangan ini
kepada saya. Sekarang apa yang hendak Anda perbuat?”
“Tentu saya akan menyusul dia ke sana, dan selekas mungkin.”
“Anda harus sabar menunggu sampai besok pagi. Sebelum waktu itu tak ada
kapal yang berangkat ke sana.”
“Kalau begitu kapan kita akan sampai di sana?”
“Melihat keadaan air saat ini, mungkin baru lusa.”
“Itu terlalu lama.”
“Coba Anda bayangkan, kedua orang itu pun terlambat tiba di sana karena
permukaan air masih surut. Tidak bisa dihindari bahwa kapal akan kandas. Orang
harus menunggu lama sebelum permukaan air naik lagi, di mana kapal bisa
berlayar.”
“Andaikan kita tahu apa yang direncanakan Gibson dan ke mana dia akan
melarikan Ohlert!”
“Ya, itu masih menjadi teka-teki. Pasti dia mempunyai rencana tertentu.
Uang yang hingga kini diambilnya sudah cukup untuk membuatnya menjadi kaya
raya. Dia bisa mengambil sebanyak yang dia inginkan, lalu meninggalkan Ohlert
begitu saja. Tetapi hal ini tidak dilakukannya. Ini pertanda bahwa dia masih ingin
memeras Ohlert. Saya sungguh tertarik pada kasus ini. Dan karena kita, sekurang-
kurangnya untuk saat ini, mempunyai tujuan yang sama, saya bisa menolong
Anda. Jika Anda membutuhkan saya, saya bersedia.”
“Terimakasih atas kesediaan Anda, Sir. Saya menaruh kepercayaan pada diri
Anda. Maksud baik Anda sungguh menggembirakan. Saya yakin, pertolongan Anda
akan sangat berguna bagi saya.”
Kami saling berjabatan tangan lalu segera mengosongkan gelas di depan
kami. Kalau saja dari dulu saya mempercayai orang ini!
Gelas kami kembali diisi, ketika terdengar adanya keributan di luar. Suara
orang menjerit serta suara lolongan anjing terdengar mendekat. Tiba-tiba pintu
dibuka dengan kasar. Lalu masuklah enam orang yang kelihatan sudah meneguk
alkohol melampaui batas, sehingga tak seorang pun yang terlihat masih waras.
Mereka dilengkapi dengan senapan, pisau, revolver atau pistol. Selain itu, mereka
juga membawa cambuk yang tergantung di pinggang dan masing-masing
membawa seekor anjing yang diikat dengan tali. Anjing-anjing itu berukuran besar
dan merupakan ras unggul yang dipelihara secara khusus. Di negara-negara
Selatan binatang itu digunakan untuk menangkap orang Negro yang melarikan diri.
Karena itu orang menyebutnya anjing darah atau anjing penangkap manusia.
Keenam orang asing itu masuk tanpa memberikan salam dan memelototi
kami dengan pandangan kurang ajar. Mereka kemudian menjatuhkan diri ke atas
kursi sampai kursi-kursi itu berderak. Mereka lalu menaikkan kaki ke atas meja dan
saling beradu tumit di atasnya. Dengan cara itu mereka hendak memberi tanda
agar si pemilik kedai datang mendekat.
“Hei, ada bir?” salah seorang di antaranya berteriak. “Bir Jerman?”
Pemilik kedai yang ketakutan itu hanya mengangguk.
“Kami ingin minum bir itu. Apa kamu juga orang Jerman?”
“Tidak.”
“Syukurlah! Kami suka minum bir Jerman tetapi kami membenci orang-
orang Jerman. Sebaiknya mereka semua dipanggang di neraka. Sebagai kaum
abolisionis16, mereka telah menolong negara-negara Utara dan merekalah yang
bersalah sehingga kami harus kehilangan pekerjaan.”
Pemilik kedai buru-buru pergi ke belakang supaya secepat mungkin
melayani tamu-tamu istimewa itu. Tanpa sengaja saya menoleh ke belakang untuk
melihat siapa yang baru saja berbicara. Ternyata dia juga melihat saya. Saya
yakin, pandangan saya tidak mengandung maksud penghinaan terhadap dirinya,
tetapi rupanya dia tidak mau dipandang seperti itu atau barangkali dia hanya ingin
mencari gara-gara dengan orang lain. Dia berteriak kepada saya,
“Mengapa kamu memandang saya seperti itu? Apakah saya mengucapkan
sesuatu yang salah?”
Saya kembali membalikkan tubuh ke posisi semula dan tidak menjawab
apa-apa.
“Hati-hatilah!” bisik Old Death kepada saya. “Mereka adalah kaum rowdy17
yang paling brutal. Dahulu mereka sebenarnya pengawas budak yang kehilangan
pekerjaan karena majikannya bangkrut akibat penghapusan sistem perbudakan,
dan sekarang mereka berkumpul bersama hanya untuk membuat onar. Lebih baik
kita jangan memperhatikan mereka. Mari kita habiskan minuman ini lalu segera
pergi dari sini.”
Tetapi ketika melihat kami berbisik-bisik, orang itu tidak suka. Dia berteriak
ke arah kami,

16
Aliran yang memperjuangkan penghapusan sistem perbudakan
17
Panggilan bagi orang yang kasar tabiatnya dan suka berkelahi.
“Apa yang kamu bisikkan, Tulang Tua? Jika kamu berbicara tentang kami,
maka bicaralah yang keras. Jika tidak kami akan membantu membuka mulutmu!”
Old Death mengangkat gelas ke mulutnya dan minum tanpa berkata
sepatah kata pun. Pemilik kedai datang membawa bir dan mereka segera
mencicipinya. Bir itu memang enak. Tetapi karena sedang dongkol, mereka
menuangkannya ke lantai. Orang yang tadi membentak saya mengangkat gelas di
tangannya dan berkata,
“Jangan tuang ke lantai! Di sana duduk dua orang. Kelihatannya cairan ini
pantas mereka terima. Dan mereka akan mendapatkannya.”
Dia mengangkat gelas lalu menumpahkan bir dari seberang meja ke arah
kami berdua. Dengan tenang Old Death mengeringkan wajahnya yang basah
dengan lengan baju. Saya tidak tahan lagi hanya berdiam diri seperti dia dan
menerima perlakuan kurang ajar ini. Topi, baju, dan semua yang saya pakai basah
kuyup akibat terkena siraman. Maka saya berbalik dan menegur dia,
“Sir, saya minta dengan sangat supaya Anda jangan melakukannya untuk
kedua kali! Bersenang-senanglah bersama teman Anda, kami tidak melarangnya.
Tetapi jangan mengganggu kami.”
“Oh ya? Jadi apa yang akan Anda lakukan, jika saya menyiram sekali lagi ke
kepala Anda?”
“Akan terjadi sesuatu.”
“Akan terjadi sesuatu? Baik, kita segera lihat, apa yang akan terjadi. Hei,
bawa lagi bir ke sini!”
Teman-temannya tertawa dan menyoraki matadornya. Dan kelihatannya
orang itu akan mengulangi lagi tindakan kurang ajar tadi.
“Ya Tuhan! Sir, jangan mencari gara-gara dengan orang itu!” kata Old Death
memperingatkan saya.
“Anda takut?” saya balik bertanya.
“Sedikit pun tidak! Tapi mereka pasti segera mencabut senjatanya. Dan
melawan peluru, orang yang paling berani sekali pun tidak mampu berbuat apa-
apa. Pikirkan juga, mereka mempunyai anjing!”
Pengacau-pengacau itu menambatkan anjing pada kaki meja. Supaya tidak
digigit dari belakang, saya lalu pindah dan duduk pada tempat yang lain dengan sisi
kanan menghadap para rowdy itu.
“Aha! Dia duduk dengan posisi menantang!” kata pemimpinnya tertawa.
“Rupanya dia mau melawan. Tetapi begitu dia bergerak, saya akan menyuruh Pluto
menyerangnya. Anjing ini sudah terlatih untuk menyerang manusia.”
Dia melepaskan anjing dari kaki meja dan memegang talinya. Pemilik kedai
belum juga mengantar bir yang dipesan. Kami masih mempunyai sedikit waktu
untuk meletakkan uang pembayaran di atas meja lalu pergi. Tetapi saya yakin,
kawanan itu tidak akan membiarkan kami pergi begitu saja. Saya pun tak mau
menyingkir dari manusia-manusia busuk itu. Bagi mereka tindakan seperti itu
dianggap pengecut.
Saya memasukkan tangan ke dalam saku dan meraba revolver. Saya berdiri
dalam posisi siap. Hanya saya agak ragu, apakah saya akan berhasil mengalahkan
anjing. Tetapi saya pernah memelihara binatang-binatang yang dilatih untuk
menyerang manusia, karena itu kini saya tidak terlalu cemas menghadapi hewan
itu.
Sekarang datanglah si pemilik kedai. Dia meletakkan gelas-gelas di atas
meja dan berkata dengan nada memelas kepada tamu-tamunya yang membuat
onar,
“Gentlemen, saya merasa senang atas kunjungan kalian. Tetapi saya minta,
jangan mengganggu kedua orang di sana. Mereka juga tamu saya.”
“Bangsat!” bentak salah seorang dari mereka. “Kamu mau menggurui kami?
Tunggu, kami akan segera meredam ambisimu!”
Orang itu lalu menyiram dua atau tiga gelas bir ke atas kepala pemilik kedai.
Dia langsung menghilang ke belakang karena menurutnya itulah cara yang terbaik.
“Sekarang giliran si mulut besar di sana!” dia berteriak ke arah saya. “Dia
juga harus merasakannya!”
Sambil memegang tali anjing dengan tangan kiri, dia menyiram isi gelas ke
tubuh saya dengan tangan kanan. Cepat-cepat saya bangkit dari kursi dan
bergerak sedikit ke samping supaya terhindar dari guyuran. Kemudian saya
mengepalkan tinju dan menghampirinya untuk memberikan hukuman yang
setimpal. Tetapi dia lebih cepat.
“Ayo Pluto, go on!” dia berteriak dan melepaskan tali di tangannya sambil
menunjuk ke arah saya.
Saya masih mempunyai sedikit waktu untuk berkelit mundur ke dinding
ketika binatang raksasa itu melompat ke arah saya. Dia berada kira-kira hanya lima
langkah di depan saya, dan jarak ini bisa dijangkaunya dengan sekali lompatan.
Anjing besar itu pasti akan menancapkan taringnya ke leher saya jika saya tetap
berdiri diam. Maka, pada saat ia melompat dan hendak menggigit, saya mengelak
ke samping sehingga tubuhnya melayang menabrak tembok. Akibat benturan yang
keras ke tembok, anjing darah itu nyaris lumpuh. Hewan itu lalu roboh ke lantai.
Dengan gerakan sangat cepat, saya memegang kedua kaki belakangnya,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan mengayunkan tubuhnya lalu melemparkan hewan
itu ke dinding dengan kepala lebih dulu. Tulang kepalanya remuk.
Suasana menjadi hiruk-pikuk. Semua anjing melolong keras sambil menarik-
narik tali ikatan sehingga meja-meja tergeser dari tempatnya. Mereka semua
bangun dan pemilik anjing yang mati itu maju hendak menghadang saya. Tetapi
Old Death yang lebih dulu bangkit mengarahkan kedua revolvernya dan
mengancam,
“Stop! Sekarang semuanya sudah cukup, boys. Siapa yang coba-coba maju
selangkah atau menyentuh senjatanya, dia akan saya tembak! Kalian belum
mengenal siapa kami. Saya Old Death, si pencari jejak. Semoga kalian pernah
mendengar tentang saya. Sedangkan orang ini, seorang Sir, sahabat saya. Seperti
saya, dia juga tidak takut sedikit pun kepada kalian. Sekarang duduk dan
minumlah bir kalian dengan tenang. Dan jangan pernah memasukkan tangan ke
dalam saku. Akan saya tembak!”
Peringatan terakhir ini ditujukan kepada seorang dari pengawas budak yang
menggerakkan tangan ke sakunya, tentu dengan maksud mencabut pistol. Saya
pun segera mengeluarkan senjata saya. Kami berdua memiliki delapan belas
peluru. Sebelum seorang dari kaum perusuh itu menyentuh senjatanya, pasti dia
sudah diterjang peluru kami. Saat itu Old Death, sang pencari jejak tua, tampak
sebagai sosok yang sangat lain. Tubuhnya yang biasanya bungkuk kini berdiri
tegak. Matanya bersinar dan pada raut wajahnya terpancar kekuatan yang
membuat orang tidak berani memberikan perlawanan. Saya merasa lucu melihat
bagaimana para pengacau itu tiba-tiba patuh di hadapan Old Death. Mereka
bergumam satu sama lain dengan berbisik-bisik, lalu duduk kembali di tempatnya.
Bahkan pemilik anjing yang mati tidak berani mendekati bangkai anjingnya karena
binatang itu tergeletak di dekat saya.
Kami berdua masih berdiri sambil mengancam dengan revolver di tangan,
ketika seorang pengunjung baru masuk ke dalam… seorang Indian.
Dia memakai baju berburu berwarna putih yang dihiasi dengan manik-manik
yang menjadi corak khas Indian. Celananya pun dibuat dari bahan yang sama dan
jahitan pada rumbai-rumbainya dibubuhi dengan rambut scalp. Tidak ada noda
atau debu yang terlihat pada baju dan celananya. Kakinya yang kecil dibungkus
oleh mokkasin18 yang disulam dengan mutiara dan dihiasi dengan duri landak. Di
lehernya tergantung kantung jimat dan sebuah pipa perdamaian yang dipahat
indah, serta sebuah kalung dari kuku beruang yang diambilnya setelah membunuh

18
Moccasin: Sepatu khas Indian.
binatang buas itu di Rocky Mountains. Pinggangnya dibelit sabuk senjata nan lebar
dari kain santillo yang mahal. Dari balik sabuk itu tersembul gagang pisau dan dua
pucuk revolver. Tangan kanannya memegang sepucuk senapan berlaras ganda.
Gagang senapan itu dihiasi dengan paku-paku perak. Dia tidak memakai penutup
kepala. Rambutnya yang panjang, tebal, dan berwarna hitam kebiru-biruan dirajut
menjadi kepang dan diikat ujungnya dengan kulit dari sejenis ular pematuk yang
sangat beracun. Walaupun rambutnya tidak dihiasi dengan bulu-bulu burung
rajawali atau tanda pengenal lainnya, orang bisa langsung tahu bahwa pemuda itu
adalah seorang kepala suku atau seorang prajurit yang terkenal. Raut wajahnya
yang terkesan dingin dan tampan sangat mirip dengan raut wajah orang Romawi.
Tulang pipinya tidak menonjol. Bibirnya kelihatan penuh tapi lembut dan dia tidak
berjenggot. Kulitnya berwarna coklat terang dan agak kemerah-merahan. Ya,
dialah Winnetou, sang kepala suku Apache, yang juga saudara sedarah saya.
Dia berdiri sejenak di ambang pintu. Matanya yang hitam menatap tajam,
seperti menyelidiki seluruh ruangan dan semua orang yang duduk di sana. Lalu dia
duduk di dekat kami, jauh dari kawanan pengacau yang terus menatap dia dengan
penuh keheranan.
Sebenarnya saya sudah ingin melangkah ke depan untuk menyambut dan
menyalaminya, tetapi dia sama sekali tidak mempedulikan saya walaupun dia
sendiri telah melihat saya dan sudah sejak lama mengenal saya. Dia pasti
mempunyai pertimbangan tertentu. Karena itu saya kembali duduk dan berusaha
bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Tampaknya dia segera memahami situasi yang sedang berkecamuk. Dia
memicingkan matanya sinis saat memandang ke arah para lawan kami. Ketika
kami berdua duduk dan menyimpan kembali revolver, dia tersenyum tapi sangat
halus dan tidak kentara.
Wibawa yang terpancar dari kepribadiannya begitu besar sehingga setelah
dia masuk, suasana di dalam kedai menjadi hening seperti di dalam gereja.
Suasana tenang seperti ini membuat pemilik kedai mengira bahwa bahaya telah
berlalu. Dia menjulurkan kepala dari balik daun pintu yang hanya sedikit terbuka.
Setelah yakin bahwa tidak ada lagi yang perlu dicemaskan, baru dengan hati-hati
dia keluar menampakkan seluruh tubuhnya.
“Saya minta segelas bir, bir Jerman!” kata orang Indian itu dengan suara
lantang dan dalam lafal Inggris yang bagus dan lancar.
Para rowdy heran mendengarnya. Mereka saling merapatkan kepala dan
mulai berbisik-bisik. Dengan diam-diam mereka memandanginya. Ini pertanda
bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang buruk terhadap dirinya.
Pemilik kedai datang membawa bir yang diminta. Orang Indian itu
menerima, mendekatkan gelas pada jendela yang agak terang, lalu memeriksa bir
itu sebentar, dan meminumnya.
“Well!” katanya kepada pemilik kedai sambil berdecak puas. “Bir Anda enak
rasanya. Manitou Agung dari orang kulitputih telah mengajarkan banyak
keterampilan kepada mereka. Teknik membuat bir ini adalah salah satu di
antaranya.”
“Orang akan segera percaya bahwa dia orang Indian asli!” saya berbisik
pelan kepada Old Death dan berlagak seolah-olah tidak mengenali Winnetou.
“Memang, dia seorang Indian! Seorang Indian yang hebat!” jawab si Tua
dengan pelan namun penuh tekanan.
“Anda mengenalinya? Pernahkah Anda bertemu atau melihatnya?”
“Melihatnya belum pernah. Tetapi saya mengenalinya dari bentuk tubuh,
pakaian, umur, dan yang paling jelas dari senjatanya. Senjata itu adalah Senapan
Perak yang sangat terkenal dan pelurunya belum pernah salah sasaran. Anda
beruntung, bisa berkenalan dengan kepala suku Indian yang termasyhur dari
Amerika Utara ini, Winnetou, kepala suku Apache. Dia seorang yang paling
istimewa dari semua orang Indian. Namanya diceritakan di setiap istana, di rumah-
rumah perkampungan, dan di setiap kemah. Dia seorang yang adil, cerdas, jujur,
setia, penuh percaya diri, berani dan mahir menggunakan semua senjata, dan tidak
ada kepalsuan dalam dirinya. Dia adalah sahabat dan pelindung semua orang yang
membutuhkan pertolongan, serta tidak memandang warna kulit, apakah orang itu
kulitmerah atau kulitputih. Dia terkenal di segenap penjuru Amerika bahkan di luar
negeri sebagai seorang pahlawan hebat dari daerah Barat.”
“Tetapi bagaimana dia bisa berbicara bahasa Inggris begitu fasih dan
memiliki kepribadian seperti seorang gentleman kulitputih?” tanya saya kembali.
“Dia banyak bertualang di daerah Timur. Menurut cerita, ada seorang
sarjana berdarah Eropa yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan oleh
orang-orang Apache. Namun dia diperlakukan sangat baik selama dalam tahanan
sehingga setelah bebas, dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama mereka dan
mengajarkan orang Indian tentang hidup damai. Dialah yang menjadi guru orang
ini. Tetapi pandangannya tentang cintakasih terhadap musuh rupanya tidak
diterima lalu lama-kelamaan dia akhirnya disingkirkan.”
Dia menjelaskannya dengan suara yang sangat pelan, bahkan saya sendiri
pun hampir tidak mendengar apa-apa. Tetapi orang Indian yang duduk kira-kira
lima hasta jauhnya itu, berpaling ke arah teman baru saya dan berkata,
“Anda keliru, Old Death! Sarjana kulitputih itu datang kepada suku Apache
dan dia disambut dengan penuh keramahan. Dia kemudian menjadi guru Winnetou
dan mengajarinya agar menjadi orang yang berguna, yang bisa membedakan
kesalahan dari keadilan dan kebenaran dari kepalsuan. Dia tidak disingkirkan
melainkan sangat dihargai. Dia tidak berkeinginan kembali kepada orang kulitputih.
Ketika dia meninggal, kami memasang sebuah batu nisan di kuburnya dan
menanam bunga di sekelilingnya. Kini dia telah beralih ke padang perburuan abadi,
tempat orang-orang mati tidak lagi dibunuh dan mereka boleh menikmati
kebahagiaan abadi di hadapan Manitou. Di sanalah Winnetou akan bertemu dia
kelak dan akan melupakan semua dendam yang pernah ada di muka bumi.”
Alangkah bahagianya Old Death karena dia pun dikenal oleh Winnetou.
Wajahnya memancarkan binar-binar kegembiraan, ketika dia menanyai orang asing
itu,
“Sir, Anda mengenal saya? Sungguh?”
“Saya belum pernah melihat Anda, tetapi saya segera mengenali Anda
begitu saya masuk ke sini. Anda adalah seorang scout ulung yang namanya
menggema hingga ke Las Animas.”
Setelah selesai mengucapkan kalimat ini dia kembali berpaling. Selama
berbicara tampak wajahnya tidak menoleh kepada saya. Sekarang dia duduk diam
dan kelihatan termenung seorang diri. Hanya telinganya bergerak sebentar,
sepertinya dia menangkap suatu gelagat yang bakal terjadi.
Para rowdy masih terus berbisik-bisik di antara mereka lalu memandangi dia
penuh tanda tanya dan mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya mereka telah
menyusun suatu rencana. Mereka tidak mengenal orang Indian ini, juga tidak bisa
memastikan dari tutur katanya, siapakah dia sebenarnya. Tapi mereka ingin
membalas kekalahan yang mereka derita dari kami. Karena itu mereka mau
menunjukkan bahwa mereka sangat membenci kulitmerah. Dalam hal ini mereka
hendak menunjukkan bahwa saya dan Old Death tidak mampu berbuat apa-apa
untuk membela orang Indian itu, sebab seandainya bukan kami yang
dipermalukan, maka menurut aturan umum, kami harus bersikap tenang dan
hanya menonton bagaimana seorang lemah diperlakukan secara tidak wajar. Maka
tampillah salah seorang dari mereka, yakni orang yang tadi bersitegang dengan
saya. Dia berjalan pelan dengan gaya menantang ke arah orang Indian itu. Saya
mengeluarkan revolver dari saku lalu menaruhnya di atas meja sehingga gampang
diraih seandainya dibutuhkan.
“Tidak perlu,” bisik Old Death kepada saya. “Seseorang seperti Winnetou
bisa membela diri melawan orang sebanyak dua kali jumlah rowdy ini.”
Si rowdy tadi berdiri tegap di hadapan Winnetou dengan tangan mencekak
pinggang. Dia berkata,
“Apa yang sebenarnya kamu cari di Matagorda sini, hai kulitmerah? Kami
tidak menerima orang biadab dalam masyarakat kami.”
Winnetou tidak menghiraukan orang itu. Dia mengangkat gelasnya lalu
minum seteguk dan meletakkan kembali di atas meja. Lalu dia mendecak dengan
lidahnya.
“Hei, keparat kulitmerah, kamu dengar apa yang saya katakan?” dia
bertanya lantang. “Saya ingin tahu, apa yang kamu kerjakan di sini. Kamu
mengendap-endap kemari guna mendengarkan semua pembicaraan kami dan
memata-matai kami. Semua kulitmerah bersekutu dengan Juarez, pembohong
yang juga berkulitmerah. Tetapi kami berpihak pada Kaisar Maximillian dan kami
akan menggantung semua orang Indian yang coba menghalang-halangi usaha
kami. Jika kamu tidak ikut berseru ‘Hiduplah Kaisar Maximillian!’ maka kami akan
segera melingkarkan tambang ke lehermu!”
Winnetou diam dan tidak berkata sedikit pun. Raut wajahnya tetap tidak
berubah.
“Anjing, kamu mengerti maksud saya? Saya butuh jawaban!” seorang yang
lain berteriak penuh amarah, sambil mengepalkan tinjunya di atas bahu Winnetou.
Tiba-tiba Winnetou menengadahkan wajahnya ke atas dengan cepat.
“Mundur!” serunya dengan nada memerintah. “Saya tidak membiarkan jika
seekor coyote menggonggong saya seperti itu.”
Coyote adalah nama yang diberikan kepada serigala prairie yang dikenal
sebagai hewan pengecut dan karena itu secara umum dianggap sebagai hewan
yang sangat memalukan. Orang Indian menggunakan kata makian ini jika mereka
marah dan ingin menghina lawannya.
“Seekor coyote?” teriaknya. “Ini suatu penghinaan yang harus segera
dibalas.”
Dia mencabut revolver. Tetapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak
dibayangkan sebelumnya. Winnetou memukul jatuh senjatanya kemudian
mencengkeram pinggang orang itu, mengangkatnya ke atas lalu melemparkan
tubuhnya ke luar jendela. Tentu kaca jendela hancur dan jatuh bersama tubuhnya
ke arah jalan.
Semuanya berlangsung begitu cepat. Seiring dengan bunyi pecahnya kaca,
terdengar pula lolongan anjing dan teriakan marah para sahabatnya. Ini
menyebabkan suasana di dalam ruangan menjadi hiruk-pikuk. Walaupun demikian
suara Winnetou mengatasi semua keributan itu. Dia maju mendekati kawanan itu
dan dengan tangan menunjuk ke jendela dia berkata,
“Ada lagi yang mau dilempar keluar? Katakanlah!”
Dia berdiri terlalu dekat dengan seekor anjing. Binatang itu hendak
menggigitnya, tetapi mendapat tendangan keras dari Winnetou sehingga akhirnya
merintih kesakitan di bawah kolong meja. Semua pengawas budak itu mundur
ketakutan dan tidak berani bersuara sedikit pun. Winnetou tidak memegang
senjata di tangan, tetapi kewibawaannya sangat memukau. Tidak seorang pun dari
kawanan itu yang mampu menentang dia. Orang Indian ini bagaikan seorang
pawang binatang dalam sirkus, yang masuk ke dalam arena pertunjukan dan
mampu memaksa singa serta harimau agar duduk hanya dengan sorot matanya.
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Pria malang yang tadi dilemparkan lewat
jendela, melangkah masuk. Wajahnya terluka akibat terkena pecahan kaca. Dia
mencabut pisau dan dengan teriakan penuh kemarahan dia maju menyerang
Winnetou. Orang Indian itu mengelak ke samping dan dengan cepat menangkap
tangannya yang menggenggam pisau. Lalu dia mencengkeram pinggang orang itu,
seperti sebelumnya, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu membanting tubuhnya ke
lantai. Seketika orang itu langsung pingsan dan tidak bergerak. Tak seorang pun
dari temannya yang berancang-ancang membalas menyerang. Seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, Winnetou mengambil birnya dengan tenang dan meminumnya
sampai habis. Kemudian dia melambaikan tangan kepada pemilik kedai yang
sebelumnya bersembunyi di balik pintu menuju kamar karena ketakutan. Dia
mengambil sebuah pundi-pundi kulit dari sabuk senjatanya dan meletakkan sebuah
benda kecil berwarna kekuning-kuningan di tangan orang itu sambil berkata,
“Ambillah ini untuk pembayaran bir dan jendela yang rusak, Master
Landlord! Anda lihat sendiri, orang biadab seperti saya mau membayar birnya.
Semoga Anda juga menerima pembayaran serupa dari manusia-manusia beradab
itu. Mereka tidak menerima kulitmerah. Winnetou, sang kepala suku Apache, akan
pergi dari sini, tetapi bukan karena dia takut terhadap mereka melainkan karena
dia tahu, pada mukapucat hanya kulitnya saja yang putih, bukan jiwanya. Dan
Winnetou tidak mau bergabung bersama mereka.”
Setelah mengambil senjatanya, dia keluar meninggalkan kedai tanpa
memandang seorang pun. Dia juga tidak memandang saya.
Sekarang para rowdy kembali bergerak. Tampaknya rasa ingin tahu mereka
lebih besar daripada rasa marah, malu, atau rasa prihatin terhadap nasib
temannya yang masih pingsan. Mereka menghampiri pemilik kedai dan bertanya
tentang barang yang baru saja diterimanya dari orang asing tadi.
“Sebutir nugget!” jawab pemilik kedai sambil memperlihatkan emas sebesar
ibu jari kepada mereka. “Sebutir nugget yang berharga paling kurang dua belas
dollar. Dan uang itu cukup untuk memperbaiki jendela yang rusak. Jendela itu
sudah tua dan lapuk serta banyak kacanya yang retak. Orang itu kelihatan memiliki
pundi-pundi yang penuh dengan butiran nugget!”
Para rowdy kesal dan iri karena seorang pria kulitmerah memiliki emas
dalam jumlah yang besar. Butiran nugget itu berpindah dari tangan ke tangan dan
mereka mencoba menaksir harganya. Kami menggunakan kesempatan ini untuk
membayar minuman lalu pergi meninggalkan tempat itu.
“Sekarang, apa pendapat Anda tentang orang Apache itu, Master?” tanya
saya kepada Old Death ketika kami sudah berada di luar.
“Apakah ada orang Indian lain seperti dia? Pengacau-pengacau itu mundur
ketakutan di hadapannya, seperti tikus melihat kucing. Sayang saya tidak bisa
bertemu lagi dengannya. Sebenarnya kita bisa mengikuti dia, sebab saya ingin
tahu, apa yang dikerjakannya di sini. Selain itu apakah dia bermukim di luar kota
ataukah menginap di sebuah hotel. Dia pasti menambatkan kudanya di suatu
tempat, karena mustahil seorang Apache atau juga Winnetou bepergian tanpa
menunggang kuda. Tetapi terlepas dari semua itu, Sir, Anda tadi luar biasa.
Hampir-hampir saya mati ketakutan, karena berurusan dengan orang-orang seperti
itu bisa berakibat fatal. Tetapi ketika Anda membunuh anjing itu dengan sikap
tenang dan penuh percaya diri, saya lalu berpikir, tidak pantas lagi Anda terus
menyandang gelar greenhorn. Tetapi kini kita sudah berada di dekat hotel. Apakah
kita harus masuk sekarang? Lebih baik tunggu dulu. Seorang pemburu tua seperti
saya tidak suka mengurung diri di dalam kamar. Saya lebih senang jalan-jalan dulu
untuk menghirup udara di alam terbuka. Jadi marilah kita berjalan sedikit lagi
untuk mengelilingi kota Matagorda ini. Saya tidak tahu bagaimana kita bisa mengisi
waktu luang ini. Atau apakah Anda lebih suka bermain kartu?”
“Tidak. Saya tidak bisa bermain dan saya pun tidak ingin menjadi seorang
pemain kartu.”
“Bagus, anak muda! Di sini hampir setiap orang bermain kartu dan di Mexico
lebih parah lagi. Di sana bukan hanya suami dan istri melainkan juga segenap
anggota keluarga pun ikut bermain. Dan mereka sangat cepat meraih pisau. Mari
kita menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan! Setelah itu kita pergi makan lalu
tidur. Di daerah yang indah ini orang tidak pernah tahu, bagaimana dan di mana
orang bisa tidur pada malam hari.”
“Tempat ini tentu saja tidak seburuk yang Anda gambarkan!”
“Jangan lupa, Sir, Anda sekarang berada di Texas dan situasi di sini tidak
sepenuhnya aman. Kita misalnya bisa berangkat ke Austin. Tetapi yang menjadi
pertanyaan, apakah kita bisa tiba di sana dengan selamat. Kejadian-kejadian di
Mexico telah menyebarkan pengaruh yang luas hingga melewati Rio Grande.
Sekarang muncul banyak peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dan
dalam situasi seperti ini kita harus mengusut perkara Gibson. Apabila dia tiba-tiba
berpikir untuk membatalkan perjalanannya ke Austin dan singgah di suatu tempat,
maka kita pun terpaksa berbuat yang sama.”
“Tetapi bagaimana kita tahu bahwa dia sudah turun dari kapal?”
“Kita harus bertanya. Kapal-kapal yang berlayar di Sungai Colorado
biasanya berlabuh agak lama. Di sini orang tidak terburu-buru seperti di Sungai
Mississippi atau di tempat lain. Jadi di setiap pelabuhan kita masih mempunyai
waktu seperempat jam untuk mengumpulkan keterangan. Tapi kita pun harus
bersiap-siap mendarat di suatu tempat, dimana tidak terdapat perumahan atau
hotel, dan kita pun harus bisa tidur di mana saja.”
“Tetapi bagaimana dengan kopor saya?”
Dia tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan saya.
“Kopor, kopor!” serunya. “Membawa kopor dalam perjalanan adalah
kebiasaan lama dari zaman sebelum Nabi Nuh. Semua orang yang berakal sehat
tidak akan mau membawa banyak barang dalam perjalanan! Jika saya membawa
semua barang yang saya butuhkan untuk perjalanan dan petualangan saya, maka
pasti saya tidak akan berjalan sejauh ini. Anda hanya boleh membawa barang yang
penting untuk saat ini, yang lainnya bisa Anda beli kelak jika dibutuhkan. Barang-
barang penting apa saja yang tersimpan di dalam kopor Anda?”
“Baju, pakaian dalam, perlengkapan untuk merawat tubuh, beberapa helai
baju untuk menyamar, dan lain-lain.”
“Barang-barang itu bagus, tetapi orang bisa mendapatkannya di setiap
tempat. Apa yang kita perlukan, bisa kita beli kelak. Anda cukup mengenakan
sehelai baju hingga baju itu usang lalu membeli yang baru. Perlengkapan untuk
perawatan tubuh? Jangan marah, Sir, tetapi sisir dan pembersih kuku, minyak
rambut serta sikat untuk janggut dan sejenisnya hanya menghambat diri Anda
sendiri. Lalu pakaian untuk menyamar? Pakaian itu dulu mungkin berguna, tapi
sekarang barang itu tidak dibutuhkan lagi. Di sini Anda tidak perlu menyamar
dengan rambut palsu. Ide-ide gila seperti ini tidak mendukung usaha Anda. Yang
berlaku di sini adalah segera bertindak jika bertemu Gibson. Dan...”
Dia masih berdiri, memperhatikan saya dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki, lalu tersenyum kecil dan berkata,
“Melihat penampilan Anda saat ini, lebih baik Anda masuk ke salon wanita
atau tampil di atas panggung teater. Tapi Texas bukan salon kecantikan atau
teater. Bisa saja setelah dua atau tiga hari baju Anda sudah compang-camping dan
topi silinder yang indah itu telah menjadi pipih seperti akordeon. Anda tahu, ke
mana Gibson akan melarikan diri? Menetap di Texas rasanya bukanlah rencananya.
Dia ingin menghilang dan pasti dia sudah melewati perbatasan Amerika. Karena dia
mengambil jurusan itu, kita bisa menduga bahwa dia memilih Mexico sebagai
tujuan pelariannya. Dia bisa bersembunyi di negara yang tengah dilanda kemelut
politik itu. Dan tidak ada seorang pun, juga polisi, yang akan membantu Anda
untuk menemukan dia dalam situasi seperti ini.”
“Barangkali Anda benar. Tetapi saya pikir, apabila dia sungguh-sungguh
hendak pergi ke Mexico, maka dia pasti sudah berangkat ke salah satu pelabuhan
di sana.”
“Mustahil! Dia harus secepatnya meninggalkan New Orleans dan dia
terpaksa menumpang kapal apa saja yang berlayar lebih dulu. Selain itu
pelabuhan-pelabuhan di Mexico berada di bawah kekuasaan orang Perancis.
Barangkali Anda tahu apakah dia bersahabat dengan orang-orang Perancis itu?
Rupanya tidak ada pilihan lain baginya, dia harus menempuh jalan darat dan
berusaha sedapat mungkin agar tidak dipergoki orang di tempat-tempat yang
ramai. Jadi sangat mungkin, dia tidak sampai ke Austin melainkan sudah turun dari
kapal di pelabuhan sebelumnya. Lalu dia pergi ke Rio Grande, tentu saja dengan
berkuda, melewati daerah yang gersang itu. Apa Anda mau menyusul dia ke sana
dengan semua kopor sambil mengenakan topi silinder dan jas mahal ini? Jika itu
rencana Anda, maka saya harus menertawakan Anda.”
Saya tahu, dia memang benar. Tetapi sekedar untuk bergurau, saya pura-
pura bersungut-sungut ketika menanggalkan pakaian. Dia kemudian menepuk-
nepuk pundak saya sambil tertawa dan berkata,
“Jangan menyesal karena harus melepaskan pakaian itu. Bukankah pakaian
itu tidak praktis? Mari kita pergi ke toko dan menjual semua barang bekas ini lalu
mencari pakaian lain buat Anda. Anda harus memakai pakaian berburu yang kuat
dan tahan lama. Dalam perhitungan saya, Anda punya cukup uang untuk itu,
bukan?”
Saya mengangguk.
“Kalau begitu apa lagi yang harus Anda pikir? Buanglah semua barang
rombengan ini! Anda juga bisa menunggang kuda dan menembak, bukan?”
Saya kembali mengiyakan.
“Anda harus memiliki seekor kuda. Tetapi kita tidak bisa membeli kuda di
daerah pesisir seperti ini. Di sini tidak ada kuda yang bagus dan harganya pun
mahal. Di daerah pedalaman para petani bisa menjual kudanya kepada Anda, tapi
tanpa pelana. Perlengkapan itu harus dibeli di sini.”
“Ya ampun! Jadi saya harus bepergian sambil terus memikul pelana di
punggung seperti Anda?”
“Ya, kenapa tidak? Apakah Anda malu dilihat orang? Siapa yang merasa
terganggu jika saya memikul pelana? Tidak seorang pun! Jika saya mau, saya
bahkan bisa berkeliling sambil memikul sofa, biar sesekali saya bisa beristirahat di
atasnya, entah di padang prairie atau di hutan belantara. Dan siapa yang berani
menertawakan saya akan menerima hadiah sebuah tonjokan di hidungnya, biar
matanya berkunang-kunang. Kita hanya boleh merasa malu jika melakukan
sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang kekanak-kanakan. Jika kita menduga
bahwa Gibson dan William telah mendarat di suatu tempat, membeli kuda lalu
menghilang, maka Anda baru mengerti betapa pentingnya memiliki sebuah pelana.
Lakukan apa yang Anda suka. Tetapi jika Anda ingin agar saya tetap bersama
Anda, maka turutilah nasehat saya. Jadi sekarang putuskan segera!”
Tanpa menunggu jawaban dari saya, dia meraih tangan, membalikkan tubuh
saya dan menunjukkan sebuah bangunan yang merupakan toko besar. Di atasnya
terpampang tulisan “Store for all things”. Dia menarik saya masuk, lalu dengan
agak keras saya didorong ke dalam sampai-sampai saya tersandar pada beberapa
barang yang dipajang. Dia sendiri masuk dengan perlahan-lahan.
Ternyata papan nama di depan tadi sesuai dengan isi toko. Toko itu sangat
besar dan di sana dijual semua barang yang sangat dibutuhkan orang di daerah ini,
termasuk pelana dan senapan.
Kejadian berikutnya sungguh sangat unik. Saya berdiri di sana seperti
seorang anak sekolah yang berada di pasar malam bersama ayahnya. Dia malu-
malu mengungkapkan keinginannya tetapi pada akhirnya harus menerima saja apa
yang dicarikan oleh ayahnya. Begitu tiba di sana Old Death langsung membuat
kesepakatan dengan pemilik toko bahwa kami boleh menukar baju yang sedang
saya pakai dan semua isi kopor saya dengan apa yang ingin kami beli. Orang itu
setuju dan segera menyuruh storekeeper pergi mengambil kopor saya. Setelah
pelayan tersebut kembali, semua barang itu ditaksir harganya. Lalu Old Death
mulai mencarikan segala sesuatu yang penting buat saya. Saya mendapat sebuah
celana kulit berwarna hitam, sepasang sepatu tinggi dengan penggertaknya,
sebuah kemeja wol berwarna merah, sebuah rompi yang juga berwarna merah
dengan banyak saku, sehelai syal berwarna hitam, sebuah baju polos dari kulit
rusa, sabuk senjata dari kulit kira-kira selebar dua telapak tangan dan tentu
dengan saku di dalamnya, kantong untuk peluru, tempat tembakau, pipa untuk
merokok, kompas, dan sekitar dua puluh perlengkapan kecil lainnya. Dia juga
membeli kain lap kaki sebagai pengganti kaus kaki, sebuah topi sombrero yang
lebar, selimut wol yang dilubangi di tengahnya sebagai tempat masuknya kepala,
seutas laso, tabung penyimpan mesiu, pemantik, sebilah pisau Bowie, pelana yang
dilengkapi dengan saku, dan tali kekang. Lalu kami pergi mencari senjata. Old
Death bukan seorang yang suka barang-barang modern. Dia menyingkirkan semua
barang keluaran terbaru dan lebih suka memilih sebuah bedil tua yang sama sekali
tidak saya perhatikan sebelumnya. Setelah senjata itu ditelitinya dengan seksama,
dia mengisinya dengan peluru. Dia keluar sebentar dari toko dan membidik ujung
atap sebuah rumah yang terletak di kejauhan. Tembakannya tepat.
“Well!” angguknya puas. “Alat ini berfungsi baik. Pasti senjata ini dirawat
dengan baik dan dia lebih berharga daripada pakaian rombengan Anda. Saya
sangat yakin, senjata ini dibuat oleh seorang yang ahli dan saya berharap, semoga
Anda nanti bangga menggunakan hasil karyanya ini. Kini kita masih harus membeli
cetakan peluru, setelah itu lengkaplah semua kebutuhan kita. Kita pun bisa
membeli timbal di sini. Lalu kita pulang ke rumah dan membuat campuran bahan
peledak yang nantinya akan dipakai untuk mengejutkan orang-orang di Mexico.”
Setelah itu saya masih membeli beberapa barang kebutuhan kecil seperti
sapu tangan dan lain-lain. Tentu saja Old Death tidak suka karena menganggapnya
berlebihan. Lalu saya menuju ke ruangan di sebelahnya untuk berganti pakaian.
Ketika saya kembali, si Tua memandang saya dengan puas.
Dalam hati saya berharap semoga dialah yang memikul pelana kuda yang
baru dibeli. Ternyata tidak! Dia menaikkan barang-barang itu ke punggung saya
dan mendorong saya ke luar.
“Baiklah,” katanya setelah kami tiba di luar. “Sekarang dengarlah, Anda
tidak perlu merasa malu! Setiap orang yang berakal sehat pasti akan menganggap
Anda sebagai orang yang bijaksana. Dan tutuplah telinga Anda terhadap komentar
orang-orang yang tidak waras!”
Sekarang saya tidak lagi berharap pada Old Death dan terpaksa harus
memikul sendiri beban berat itu sampai ke hotel. Sementara itu dia berjalan
dengan bangga di samping saya dan merasa senang karena saya bisa memikul
barang sendiri.
Ketika kami tiba di ‘hotel’, dia segera beristirahat. Sedangkan saya sendiri
pergi ke luar mencari Winnetou. Bisa dibayangkan betapa bahagianya hati ketika
saya melihat Winnetou di kedai minum tadi. Pada saat itu saya harus menahan diri
untuk tidak mendekatinya. Tetapi bagaimana dia bisa datang ke Matagorda dan apa
yang sedang dicarinya di sini? Mengapa dia berbuat seolah-olah tidak mengenali
saya? Pasti dia mempunyai alasan tertentu. Tapi apa?
Saya ingin berbicara dengan dia dan dia pun pasti mempunyai keinginan
yang sama. Barangkali dia menunggu saya di suatu tempat. Karena sudah
mengenal kebiasaannya, saya tidak sulit mencarinya. Tentu saja dia sudah
mengamati kami dan melihat kami masuk hotel. Jadi dia pasti berada di sekitar
hotel ini. Saya pergi ke bagian belakang hotel yang berbatasan dengan sebidang
tanah kosong. Ternyata benar! Di kejauhan, sekitar beberapa ratus langkah, saya
melihat dia sedang bersandar pada sebatang pohon. Setelah melihat saya datang,
dia beranjak dari tempat itu lalu berjalan pelan masuk ke hutan. Tentu saja saya
mengikutinya ke sana. Di bawah naungan pohon dia menunggu saya lalu
menyambut kedatangan saya dengan wajah berseri-seri.
“Scharlih, saudaraku terkasih!” katanya bahagia. “Betapa senangnya hati
saya karena bisa bertemu lagi dengan kamu! Ibarat kegembiraan sang fajar
menyongsong mentari yang menampakkan diri setelah malam yang gelap!”
Dia merangkul dan mencium saya. Saya menjawabnya,
“Sang fajar pasti tahu, mentari akan terbit lagi. Sedangkan kita berdua tidak
bisa memastikan sebelumnya bahwa kita akan bertemu lagi di sini. Saya sungguh
merasa bahagia karena bisa mendengar lagi suaramu!”
“Apa alasanmu datang ke kota ini? Adakah suatu urusan penting yang harus
dikerjakan di sini atau kamu hanya singgah sebentar di Matagorda sebelum
meneruskan perjalananmu ke tempat kami di Rio Pecos?”
“Saya memikul suatu tugas yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya saya
datang kemari.”
“Maukah saudaraku kulitputih mengatakan kepadaku tentang tugas itu? Dan
menceritakan kepadaku, di mana dia berada selama ini, terutama setelah kita
berpisah di seberang Red River?”
Dia menarik tangan saya dan berjalan agak ke tengah hutan. Di sana kami
lalu duduk berdampingan dan saya mulai menceritakan semua peristiwa yang saya
alami. Ketika saya selesai bercerita, dia mengangguk-anggukkan kepala sambil
berpikir dengan sungguh-sungguh. Kemudian katanya,
“Dulu kita bersama-sama mengukur jalan untuk kuda-api supaya kamu bisa
mendapatkan banyak uang. Sayang badai hurricane telah menenggelamkan semua
uangmu. Apabila dulu kamu tetap tinggal bersama prajurit-prajurit Apache yang
hingga kini masih tetap mencintaimu, pasti kamu tidak akan membutuhkan uang
tersebut. Tapi sekurang-kurangnya kamu telah bertindak tepat karena tidak
berangkat ke St. Louis untuk menanti saya di tempat Mr. Henry, karena saya tidak
pernah datang lagi ke sana.”
“Apakah engkau telah menangkap Santer, sang pembunuh itu?”
“Tidak. Roh jahat masih melindunginya dan Manitou yang agung dan baik
telah membiarkannya lolos dari tangan saya. Dia lalu pergi ke tempat tentara-
tentara negara Selatan dan menghilang di sana. Mata saya memang tidak lagi
mengawasinya di antara ribuan orang itu, tetapi dia tidak akan lolos dari saya!
Saya tidak akan pulang ke Rio Pecos sebelum menghukumnya. Selama musim
dingin para prajurit kami berkabung atas kematian Intschu tschuna dan adik
perempuan saya. Setelah itu saya harus membuat perjalanan jauh untuk
mengunjungi suku-suku Apache dan membatalkan rencana mereka untuk pergi ke
Mexico dan mengambil bagian dalam peperangan di sana. Pernahkah saudaraku
mendengar tentang Juarez, presiden berkulitmerah itu?”
“Ya.”
“Siapa yang berada di pihak yang benar, dia atau Napoleon?”
“Juarez.”
“Saudaraku mempunyai pendirian yang sama seperti saya. Tetapi tolong
jangan tanyakan kepada saya, apa yang saya kerjakan di Matagorda ini! Bahkan
terhadap kamu pun saya harus menutup mulut, sebab saya telah membuat janji
dengan Juarez ketika saya bertemu dengan dia di El Paso del Norte. Jadi setelah ini
apakah kamu akan terus mengejar kedua mukapucat itu?”
“Saya harus mengejar mereka. Betapa senangnya hati saya jika engkau
menemani saya dalam tugas ini! Apakah hal ini mungkin?”
“Tidak. Saya harus menyelesaikan suatu tugas yang sama pentingnya
seperti tugasmu. Hari ini saya masih tinggal di sini, tetapi besok saya akan berlayar
ke La Grange. Dari sana saya melanjutkan perjalanan ke Rio Grande del Norte
melalui benteng Inge.”
“Kalau begitu kita akan berlayar dengan kapal yang sama. Hanya saya tidak
tahu sampai sejauh mana engkau akan berlayar. Tetapi besok kita masih bisa
bersama-sama lagi.”
“Tidak.”
“Tidak? Mengapa tidak?”
“Karena saya tidak mau menyeret saudaraku dalam urusan saya. Karena
alasan ini pula, maka dulu saya berlagak pura-pura tidak mengenal kamu. Selain
itu karena Old Deathlah, maka saya tidak mau berbicara dengan kamu.”
“Kenapa dia? Ada apa?”
“Apakah dia tahu bahwa kamu adalah Old Shatterhand?”
“Tidak. Nama itu tidak pernah disebut-sebut dalam pembicaraan kami.”
“Tetapi dia mengenal nama itu. Selama ini kamu hanya berada di daerah
Timur sehingga kamu tidak tahu betapa sering orang membicarakan namamu di
daerah Barat. Old Death tentu pernah mendengar nama Old Shatterhand. Tapi
rupanya dia lebih menganggapmu sebagai seorang greenhorn.”
“Benar apa yang engkau katakan.”
“Kelak dia akan sangat terkejut kalau akhirnya tahu, siapa sebenarnya
greenhorn yang satu ini. Dan saya tidak ingin merugikan kamu gara-gara hal ini.
Karena itu kita akan berangkat sekapal tetapi kita tidak boleh berbicara satu sama
lain. Setelah kamu menangkap Ohlert dan penyanderanya, baru kita bisa
menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama. Kamu akan mengunjungi kami
lagi, bukan?”
“Tentu saja!”
“Kalau begitu sekarang kita harus berpisah, Scharlih. Di tempat ini ada
beberapa mukapucat yang juga sedang menanti saya.”
Dia lalu berdiri. Saya menghargai sikapnya untuk menutup rapat-rapat
rahasia yang dipegangnya. Kemudian saya berpisah darinya… semoga hanya untuk
waktu yang singkat.
Keesokan harinya kami menyewa dua kuda bagal lalu memacunya menuju
gosong. Di sana bersandar sebuah kapal yang sedang menunggu penumpang.
Pelana dinaikkan ke atas punggung kuda sehingga kami tidak perlu repot-repot
memikulnya.
Kapal ini berbentuk datar dan dibangun menurut konstruksi Amerika.
Banyak penumpang sudah berjejal di atasnya. Sambil memikul pelana di
punggung, kami naik melewati tangga menuju ruang penumpang. Pada saat itu
terdengar seseorang berteriak,
“By Jove! Lihatlah, ada sepasang keledai berkaki dua sedang naik ke kapal
sambil memikul pelana! Apakah kalian pernah melihat hal seperti itu? Ayo minggir,
beri mereka jalan! Biarkan mereka masuk ke ruang bawah. Binatang-binatang
seperti mereka tidak pantas berada bersama para gentlemen seperti kita!”
Kami mengenal suara itu. Ruang terbaik di atas kapal, yang ditutupi dengan
atap kaca, memang ditempati oleh para rowdy yang kemarin membuat keributan
dengan kami di kedai. Orang yang suka berteriak-teriak kemarin, yang rupanya
menjadi pemimpin gerombolan itu, menyambut kami dengan kata-kata penuh
penghinaan. Saya memandang Old Death. Tetapi karena dia tidak mengindahkan
penghinaan tersebut, saya pun hanya diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya
sama sekali. Kami lalu mengambil tempat di hadapan orang-orang itu dan
menyorongkan pelana ke bawah tempat duduk.
Old Death duduk dengan tenang. Dia mengeluarkan revolvernya dari saku,
menimangnya lalu meletakkan benda itu di sampingnya. Saya pun berbuat yang
sama untuk berjaga-jaga. Para pengacau itu merapatkan kepala satu sama lain dan
berunding, tapi mereka tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata penghinaan.
Semua anjingnya masih setia menunggui mereka, tapi tentu saja jumlahnya sudah
berkurang satu. Pemimpinnya memandang kami dengan tatapan yang sangat
memusuhi. Tubuhnya masih bungkuk akibat kejadian kemarin, di mana dia
dilempar oleh Winnetou keluar jendela dan setelah itu mendapat pukulan keras
darinya. Di wajahnya pun masih terlihat bekas luka akibat pecahan kaca.
Nahkoda datang dan menanyai kami, sampai kemana kami akan berlayar.
Old Death menyebut daerah Columbus dan kami membayar tiket hingga ke tempat
itu. Jika kami mau, di sana kami bisa membeli tiket untuk perjalanan selanjutnya.
Tetapi Old Death berpendapat, Gibson pasti tidak akan berlayar sampai ke Austin.
Lonceng kapal sudah berbunyi dua kali ketika seorang penumpang datang.
Dan orang itu adalah... Winnetou. Dia menunggang seekor kuda pacuan Indian
yang sangat gagah dan baru turun dari kudanya setelah tiba di atas geladak kapal.
Dia kemudian menuntun hewan itu ke bagian buritan. Di sana disediakan tempat
khusus untuk menambatkan kuda. Tempat itu dilengkapi dengan papan penahan
setinggi bahu. Lalu tanpa mempedulikan siapa pun, dia duduk bersandar pada
pagar pengaman di bagian buritan. Para rowdy mengamati semua gerak-geriknya.
Mereka berdehem-dehem lalu batuk-batuk keras untuk memancing perhatiannya.
Tetapi gagal. Sambil bertopang di atas senjatanya, dia duduk tenang dengan posisi
agak menyamping dan kelihatannya sama sekali tidak menanggapi suara mereka.
Sekarang lonceng kapal dibunyikan untuk terakhir kali. Kapal itu masih
menunggu beberapa saat, barangkali masih ada penumpang yang datang.
Kemudian roda-roda kapal berputar dan kapal pun mulai bergerak maju.
Perjalanan kami tampaknya aman. Di atas kapal semuanya tenang hingga
kami tiba di Wharton. Di sana hanya ada seorang penumpang yang turun tetapi
sebagai gantinya banyak penumpang yang naik. Old Death turun ke darat selama
beberapa menit untuk bertanya tentang Gibson kepada seorang agen kapal. Dia
mendapat keterangan bahwa kedua orang yang dimaksud tidak mendarat di
tempat itu. Keterangan yang sama juga diperolehnya di Columbus. Karena itu kami
harus membayar tiket ekstra dari Columbus ke La Grange. Jarak dari Matagorda ke
Columbus ditempuh kapal dalam waktu yang kira-kira sama dengan lima puluh
jam jika orang berjalan kaki, sehingga ketika kami tiba di sana, hari sudah petang.
Selama kurun waktu itu Winnetou hanya sekali saja meninggalkan tempat
duduknya, yakni untuk memberi kudanya air minum dan biji jagung.
Kelihatannya para rowdy sudah melupakan rasa dendamnya terhadap
Winnetou dan terhadap kami. Begitu ada penumpang baru yang naik, mereka
segera mendekatinya. Biasanya mereka tidak disambut ramah oleh orang itu. Tapi
mereka lalu mulai menjual idenya yang menentang penghapusan sistem
perbudakan. Mereka bertanya tentang pendapat pribadi orang tersebut dan
memaki orang yang tidak sepaham dengan mereka. Kata-kata umpatan seperti
“Terkutuklah orang-orang republik”, “Paman orang Negro”, “Budak yankee” dan
makian lain yang lebih keras keluar dari mulut mereka. Akibatnya, tentu orang-
orang itu menarik diri dan tidak mau berurusan dengan mereka. Itu juga yang
menjadi alasan mengapa mereka kemudian bergabung dengan kami. Para rowdy
tidak berhasil mendapatkan dukungan untuk menentang kami. Seandainya ada
lebih banyak pendukung sesessionis di atas kapal, pasti suasana tenang itu akan
berubah menjadi gaduh.
Di Columbus banyak penumpang yang turun, tapi pada waktu itu banyak
pula penumpang yang naik, yang rupanya suka membuat huru-hara. Mereka
adalah segerombolan pemabuk, yang jumlahnya sekitar lima belas orang. Mereka
berjalan terhuyung-huyung melewati pagar pengaman, sehingga menimbulkan
kesan yang sangat jelek. Mereka disambut oleh kaum rowdy dengan sorak
gembira, sedang para penumpang yang baru naik itu langsung bergabung dengan
mereka. Dalam waktu singkat makin terasa bahwa keributan di atas kapal
bertambah. Orang-orang bejat itu langsung duduk tanpa bertanya terlebih dulu
apakah penumpang lain merasa terganggu atas kehadiran mereka. Mereka bahkan
berdesak-desakan di antara para penumpang yang sudah duduk tenang di sana,
lalu berbuat seakan-akan hendak menunjukkan bahwa merekalah yang berhak
duduk di tempat itu. Kapten kapal membiarkan mereka bertindak semaunya.
Mungkin dia berpendapat, yang terbaik adalah tidak mempedulikan mereka sejauh
mereka tidak mengganggu jalannya kapal, dan dia membiarkan penumpang lain
membela diri terhadap kelompok pengacau itu. Kapten itu tidak berpakaian seperti
yankee. Tubuhnya kekar dan dia tidak kelihatan seperti orang Amerika. Wajahnya
selalu dihiasi senyum. Saya sangat yakin, orang itu keturunan Jerman.
Sejumlah besar pendukung aliran sesessionisme itu kemudian pergi ke
restoran kapal. Dari sana terdengar teriakan yang memekakkan telinga. Terdengar
pula botol-botol minuman yang dipecahkan. Tidak lama kemudian seorang pria
kulithitam yang bekerja sebagai pelayan restoran berlari ke luar sambil menjerit
keras. Dia naik ke ruang kapten dan mengadu dengan keluhan yang kedengaran
tidak jelas. Saya hanya mendengar sepintas, dia baru saja dicambuki dan diancam
akan digantung pada salah satu cerobong asap di kapal.
Kini sang kapten menunjukkan wajah serius. Dia memeriksa sebentar,
apakah kapal berlayar pada posisi yang benar, lalu turun ke bawah menuju
restoran. Dari depan datanglah kondektur menghampirinya. Keduanya bertemu di
dekat kami sehingga kami turut mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Capt’n,” lapor kondektur “Kita tidak boleh terus berdiam diri. Orang-orang
itu sedang merencanakan sesuatu yang jahat. Suruh orang Indian itu turun ke
darat! Mereka ingin menggantungnya, karena kemarin dia memukul salah seorang
dari mereka. Selain itu ada juga dua mukapucat di sini, hanya saya tidak tahu siapa
yang dimaksud. Mereka pun akan dianiaya karena mereka juga berada bersama dia
kemarin. Kedua orang itu dituduh sebagai mata-mata Juarez.”
“Astaga! Kalau begitu keadaannya kini sudah gawat! Di mana kedua orang
itu?” dia memandang sekeliling untuk mencari.
“Kami ada di sini, Sir,” saya menjawab lalu berdiri dan menghampirinya.
“Anda? Jadi Anda berdua adalah mata-mata Juarez? Oh... hancurlah kapal
ini!” katanya sambil menatap saya dengan tajam.
“Saya bukan mata-mata! Saya seorang Jerman dan saya tidak mau
mencampuri urusan politik negara kalian.”
“Orang Jerman? Kalau begitu kita sebangsa. Saya dilahirkan di Neckar. Saya
tidak membiarkan sesuatu terjadi pada diri Anda. Karena itu saya segera
merapatkan kapal ke tepi supaya Anda bisa menyelamatkan diri ke tempat yang
aman.”
“Saya tidak mau turun dari kapal! Saya harus meneruskan perjalanan
dengan kapal ini dan saya tidak mau membuang-buang waktu.”
“Sungguh? Rasanya itu bukan sikap yang bijaksana... tetapi tunggu
sebentar!”
Dia pergi menghampiri Winnetou dan mengatakan sesuatu kepadanya.
Orang Apache itu mendengar dengan penuh perhatian lalu menggeleng-gelengkan
kepala dengan tegas dan segera membalikkan tubuhnya. Kapten itu kembali ke
tempat kami dengan wajah kecewa lalu berkata,
“Sudah saya duga sebelumnya. Kulitmerah memang keras kepala. Orang
Indian itu pun tidak mau turun dari kapal.”
“Jika demikian, dia beserta kedua mukapucat ini akan binasa, sebab
pengacau-pengacau itu akan membunuh mereka,” kata kondektur dengan cemas.
“Kita hanya beberapa orang, karena itu kita tidak mampu berbuat apa-apa
melawan kelompok sebesar itu.”
Kapten kapal menunduk termenung. Tetapi kemudian terbayang senyum
jenaka di wajahnya, sepertinya dia telah menemukan jalan keluar yang tepat. Dia
berpaling kepada kami dan berkata,
“Saya akan memperdayai orang-orang itu dengan satu permainan yang tak
akan mereka lupakan seumur hidup. Tetapi kalian semua harus berbuat sesuai
dengan perintah saya. Dan jangan sekali-kali menggunakan senjata. Simpanlah
semua senapan kalian di bawah tempat duduk di dekat pelana. Memberikan
perlawanan hanya akan membuat suasana bertambah keruh.”
“All devils! Jadi apakah kami harus membiarkan diri disiksa, Master?” tanya
Old Death penasaran.
“Tidak. Engkau melawan tetapi dengan sikap pasif! Pada saat yang tepat
siasat ini akan berfungsi baik. Kita akan menceburkan bedebah-bedebah itu ke
dalam air dingin. Percayakan semuanya kepada saya! Tidak ada waktu lagi untuk
penjelasan lebih rinci. Lihat, mereka sudah datang mendekat.”
Benar, gerombolan itu kini naik dari restoran. Kapten segera berbalik
meninggalkan kami dan membisikkan perintah kepada kondektur. Dengan segera
kondektur bergegas mendatangi juru mudi kapal. Di samping juru mudi berdiri dua
orang anak buah kapal. Tidak lama kemudian saya melihat orang itu mendekati
kelompok penumpang yang dari tadi tidak terlibat dalam huru-hara dan
membisikkan beberapa petunjuk kepada mereka. Saya tidak bisa terus
memperhatikan dia karena saya dan Old Death lebih disibukkan oleh kaum
sesessionis yang mendekat. Hanya sejauh yang saya perhatikan, sepuluh menit
sesudahnya para penumpang itu bergerak dan berkumpul bersama di buritan
kapal.
Sambil meninggalkan restoran dalam keadaan mabuk, pengacau-pengacau
itu datang mengepung kami berdua. Seperti petunjuk kapten, kami sudah
melepaskan senjata kami.
“Ini dia orangnya!” seru pemimpinnya sambil menunjuk saya. “Seorang
mata-mata dari negara Utara yang berpihak pada Juarez. Kemarin dia masih
berkeliling dengan mengenakan pakaian a la gentleman. Hari ini dia sudah
memakai pakaian berburu. Untuk apa dia harus mengubah penampilannnya? Anjing
saya dibunuhnya dan kedua orang ini mengancam kita dengan revolver kemarin.”
“Benar, dia seorang mata-mata!” teriak teman-temannya yang lain
bersahut-sahutan. “Buktinya dia telah mengganti pakaiannya untuk menyamar.
Dan dia orang Jerman. Bentuklah sebuah dewan pengadilan. Dia harus segera
digantung! Hancurlah negara-negara Utara, orang-orang yankee dan para
pengikutnya!”
“Apa yang terjadi di situ, gentlemen?” seru kapten dari atas. “Saya
menginginkan suasana tenang dan tertib di atas kapal. Jangan mengganggu
penumpang lain!”
“Diam!” bentak seorang dari antara mereka. “Kami juga menginginkan
suasana tenang dan kami akan berusaha menciptakannya. Apakah Anda berpikir,
mengangkut seorang mata-mata di atas kapal termasuk kewajiban Anda?”
“Saya mempunyai kewajiban untuk mengantar semua orang yang sudah
membayar tiket. Seandainya ada pemimpin sesessionis datang kepada saya,
mereka pun boleh menumpang kapal, asalkan mereka membayar tiket dan
menunjukkan etiket baik. Itulah prinsip yang saya pegang. Dan jika kalian
melanggar aturan ini dengan perilaku yang meresahkan, maka saya akan
menurunkan kamu ke darat dan kalian bisa mencari jalan sendiri untuk sampai ke
Austin.”
Mereka menanggapinya dengan gelak tawa sinis. Sementara itu, saya dan
Old Death semakin dikurung sehingga kami tidak lagi merasa tenang. Tentu saja
kami menentangnya, tapi suara kami tertelan oleh teriakan hiruk-pikuk kawanan
itu. Mereka lalu mendorong kami dari tempat itu ke geladak atas, sampai ke
tempat cerobong asap. Pada tiang itu kami akan diikat. Di sana terlihat beberapa
cincin besi dan di bawahnya tergantung tali yang besar, yang tampaknya sangat
praktis untuk menggantung seseorang. Orang hanya perlu meregangkan tali itu
dan mengalungkannya ke leher kami, supaya kami terangkat ke atas. Di tempat itu
dibentuk sebuah barisan melingkar dan sebuah dewan pengadilan yang akan
memutuskan tentang nasib kami. Dewan pengadilan seperti ini hanya membuat
orang tertawa lucu. Saya yakin, keparat-keparat itu tidak akan bertanya, mengapa
kami hanya diam bergeming dan tidak melawan. Mereka tahu bahwa kami memiliki
pisau dan revolver, walaupun kami tidak menggunakannya. Tentu ada alasan di
baliknya.
Old Death berjuang keras supaya tetap kelihatan tenang. Berkali-kali
tangannya bergerak meraba sabuk senjatanya untuk mencabut senjata. Tapi begitu
tatapan matanya beradu dengan kapten, sang kapten memberikan isyarat
melarang.
“Baiklah,” kata Old Death kepada saya dalam bahasa Jerman supaya orang-
orang itu tidak paham. “Saya akan menurut. Tetapi jika mereka bertindak
berlebihan, maka dalam semenit kedua puluh empat peluru kita akan bersarang di
tubuh mereka. Anda boleh menembak jika saya lebih dulu memulainya!”
“Kalian dengar itu?” teriak seorang rowdy yang sering disebut-sebut
sebelumnya. “Mereka berbicara dalam bahasa Jerman. Kini terbukti bahwa
keduanya adalah Dutchmen terkutuk dan mereka termasuk kelompok yang paling
gigih membela negara Utara. Apa yang ingin mereka lakukan di Texas ini? Mereka
adalah mata-mata dan pengkhianat. Maka kita jangan mengulur-ulur waktu untuk
mengadili mereka!”
Usul itu diterima dengan sorak yang riuh rendah. Kapten memberikan
mereka sebuah peringatan keras, tetapi mereka malahan menertawakannya. Lalu
mereka berunding, siapakah yang harus digantung lebih dulu, Winnetou ataukah
kami. Mereka memutuskan untuk mendahulukan Winnetou. Maka pemimpinnya
mengirim dua orang untuk menjemput orang Indian itu.
Karena dikelilingi oleh orang banyak, kami tidak bisa melihat Winnetou. Tapi
tiba-tiba terdengar sebuah jeritan keras. Rupanya Winnetou memukul jatuh
seorang di antara kedua perusuh itu dan menceburkan yang lainnya ke dalam air.
Kemudian dia masuk bersembunyi di dalam kabin kondektur yang terletak di ruang
mesin. Ruangan ini memiliki jendela kecil dan dari celah kecil ini tampak ujung
senapan Winnetou menyembul keluar. Tentu saja ulahnya ini membuat suasana
menjadi ribut. Semua berlari ke sisi kapal dan orang berteriak agar si kapten
menyuruh seseorang turun ke air menggunakan sekoci penolong untuk
menyelamatkan pria yang sial itu. Dia menurut dan segera memberikan tanda
kepada seorang anak buah kapal. Orang itu melompat ke atas sekoci penolong,
melepaskan tali dari gantungannya lalu segera mendayung ke tempat korban.
Syukurlah pria naas itu bisa berenang sedikit dan berjuang supaya tidak
tenggelam.
Saya berdiri sendirian bersama Old Death. Untuk sementara para rowdy
sudah lupa pada rencananya untuk menggantung kami. Kami melihat, tatapan juru
mudi kapal dan semua anak buah kapal tertuju kepada sang kapten. Dia
melambaikan tangannya supaya kami mendekat lalu berkata dengan suara lirih,
“Perhatian, Mesch'schurs19! Sekarang saya akan memandikan mereka. Apa
pun yang akan terjadi, kalian harus tetap tinggal di atas kapal. Tapi kalian harus
berteriak sekeras mungkin!”
Dia menyuruh mematikan mesin kapal. Dan kapal bergerak perlahan-lahan
mundur menuju ke pinggir sungai sebelah kanan. Di sana ada sebuah tempat, di
mana airnya tampak beriak, karena dasar sungai yang landai. Memang dari tempat
itu hingga ke pinggir sungai airnya tidak dalam. Sekali lagi kapten memberikan
isyarat, juru mudi mengangguk tersenyum dan membiarkan kapal bergerak
menabrak onggokan pasir di perairan yang dangkal itu. Terdengar bunyi derak.

19
Logat Barat, asal kata Perancis: Tuan-tuan.
Sebuah benturan yang cukup keras sehingga semua penumpang terhuyung-
huyung, bahkan ada yang jatuh terpental. Dan tiba-tiba kapal tidak lagi bergerak.
Hal ini mampu mengalihkan perhatian orang-orang dari sekoci penolong di atas air
dan mereka sangat cemas kalau kapal akan karam. Sekelompok penumpang yang
sebelumnya sudah diberitahu oleh kondektur berteriak ketakutan, seolah-olah kini
mereka sedang menghadapi bahaya maut. Sementara itu penumpang lain, yang
percaya bahwa telah terjadi kecelakaan juga ikut menjerit histeris. Kemudian
muncullah seorang anak buah kapal. Sambil berlari dia mendatangi kapten dan
melapor dengan penuh ketakutan,
“Capt’n, air masuk ke dalam ruangan kapal! Lunas kapal sudah terbelah
dua. Dalam dua menit kapal ini akan karam.”
“Kita akan tenggelam!” teriak kapten. “Selamatkan diri masing-masing! Dari
sini hingga ke tepi sungai airnya tidak dalam. Ayo, terjunlah segera!”
Dia berlari turun meninggalkan tempatnya, melepaskan baju, rompi serta
topinya lalu membuka sepatu dengan tergesa-gesa kemudian melompat ke sungai.
Dalamnya air hanya sebatas lehernya.
“Lompat, lompatlah segera!” teriaknya dari dalam air. “Mumpung masih ada
waktu. Jika kapal sudah tenggelam, maka kamu semua akan terkubur dalam
pusaran air!”
Tak seorang pun dari mereka yang menyangka bahwa kapten itulah yang
mula-mula menyelamatkan diri dan lebih dahulu membuka pakaiannya. Tiba-tiba
mereka dihinggapi oleh rasa kepanikan yang hebat, lalu berloncatan dari kapal dan
cepat-cepat berenang ke tepi sungai. Karena begitu panik mereka tidak
memperhatikan bahwa sebenarnya kapten berenang ke sisi lain dari kapal lalu
memanjat tangga tali yang digantung di sana. Sekarang kapal telah dikosongkan
dari kawanan itu. Jika satu menit sebelumnya suasana diliputi oleh kepanikan,
maka kini terdengar suara gelak tawa orang-orang di atas kapal.
Ketika para rowdy yang menyelamatkan diri sudah naik ke darat, kapten
memberi perintah supaya mesin kembali dihidupkan. Bagian bawah kapal yang
lebar dan keras tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Dan kapal pun mulai
bergerak maju seiring putaran roda. Sambil melambai-lambaikan baju sebagai
bendera, sang kapten berteriak ke seberang sungai,
“Farewell, gentlemen! Apabila kalian masih ingin membentuk dewan
pengadilan, maka gantung saja diri kalian sendiri. Semua barang kalian yang masih
tertinggal di atas kapal akan saya turunkan di La Grange. Kalian bisa
mengambilnya sendiri di sana!”
Bisa dibayangkan bagaimana reaksi mereka terhadap olok-olok yang
memalukan itu. Mereka berteriak dengan geram lalu menantang kapten supaya
membiarkan mereka kembali lagi ke kapal. Mereka bahkan mengancam dia akan
melapor ke polisi atau menembak mati serta ancaman-ancaman lain. Kemudian
dengan beberapa senjata yang tadi tidak basah terkena air, mereka menembak ke
arah kapal. Tetapi tidak timbul kerusakan. Akhirnya seorang di antaranya berteriak
kepada kapten dengan sangat marah,
“Anjing! Kami akan menunggu sampai kamu kembali ke tempat ini dan kami
akan menggantungmu pada cerobong asap di kapalmu sendiri!”
“Well, Sir! Naiklah segera kemari! Tapi sebelumnya sampaikan salam saya
buat Jenderal Mejia dan Marquez!”
Sekarang mesin kapal kembali panas dan kami pun melaju dengan
kecepatan tinggi untuk mengejar waktu yang sudah terbuang.

Anda mungkin juga menyukai