Anda di halaman 1dari 69

BAB DUA

KLEKIH-PETRA

Ketika itu kami berada di penghujung musim gugur yang cerah di Amerika
Utara dan sudah lebih dari tiga bulan kami bekerja. Tetapi pekerjaan kami belum
juga selesai, sementara seksi-seksi lainnya kebanyakan sudah pulang ke
rumahnya. Ada dua alasannya.
Pertama, kami bekerja di daerah yang sulit. Rel keretaapi harus dibangun
menyusuri aliran Sungai Canadian melewati padang prairie. Jadi jalur kereta akan
dibangun sampai ke mata air sungai itu. Padahal menurut rancangan, jalur itu
seharusnya dibangun dari New Mexico melalui deretan lembah dan bukit. Seksi
kami bekerja antara Sungai Canadian dan New Mexico dan kami harus terlebih
dahulu menemukan arah yang tepat. Untuk itu kami harus sering menghabiskan
waktu untuk berkuda guna melakukan penjelajahan yang melelahkan dan
pengukuran-pengukuran sebagai perbandingan sebelum kami dapat mengerjakan
pekerjaan yang sesungguhnya. Selain itu, keadaan makin dipersulit karena
ternyata kami bekerja pada tempat yang sangat berbahaya. Di tempat itu
berkeliaran suku-suku Kiowa, Comanche, dan Apache yang sama sekali tidak mau
menerima bahwa keretaapi akan melalui daerah yang dianggap miliknya. Kami
harus sangat berhati-hati dan waspada. Tentu saja hal itu sangat mempersulit serta
memperlambat kerja kami.
Untuk menghindari suku-suku Indian ini, kami tidak diperkenankan untuk
berburu karena pasti kami akan meninggalkan jejak yang bisa dibaca oleh orang
Indian. Kami mendatangkan semua kebutuhan dari Santa Fé yang diangkut dengan
pedati. Sayangnya pengangkutan kiriman tersebut tidak tentu, sehingga kami
seringkali tidak bisa melanjutkan pekerjaan karena harus menunggu kedatangan
pedati-pedati itu.
Alasan kedua, kerjasama anggota dalam tim. Seperti sudah disinggung, di
St. Louis saya disambut dengan baik oleh Insinyur Kepala dan ketiga surveyor.
Sambutan ini membuat saya berharap, bahwa kami bisa bekerjasama dengan baik
dan sukses. Ternyata saya dikecewakan.
Ternyata teman-teman sekerja itu adalah yankee tulen, yang memandang
saya sebagai greenhorn, ‘Dutchman1 yang tidak berpengalaman, dan menghina
saya dengan sebutan itu. Mereka ingin menerima gaji tetapi tidak ingin bekerja

1
Nama olok-olok untuk orang Jerman
keras. Sebagai orang Jerman yang jujur, saya menjadi batu sandungan dan mereka
bermaksud menyingkirkan saya. Saya tidak terpengaruh dan terus bekerja. Bahkan
setelah lama bekerja, saya sadar bahwa sebenarnya mereka tidak berubah. Mereka
membebani saya dengan pekerjaan yang paling berat, sedangkan mereka sendiri
bekerja seringan mungkin. Saya tidak keberatan, karena saya selalu berprinsip,
bahwa untuk menjadi kuat, orang harus lebih banyak berbuat.
Mr. Bancroft, sang Insinyur Kepala adalah yang paling terpelajar di antara
mereka. Sayangnya, dia gemar minum brandy2. Sudah beberapa tong minuman
yang memabukkan itu dikirim dari Santa Fé. Sejak saat itu dia lebih
memperhatikan brandynya ketimbang peralatan pengukuran. Pernah terjadi, dia
tergeletak di tanah dalam kondisi mabuk berat setengah hari lamanya. Riggs,
Marcy dan Wheeler, ketiga surveyor itu dan juga saya harus ikut membayar
minuman itu setelah mereka berlomba minum dengan Bancroft. Bisa dibayangkan,
orang-orang ini pun seringkali berada di bawah pengaruh minuman keras itu.
Karena saya tidak minum setetes pun, tentu saja saya satu-satunya yang bekerja.
Sementara itu mereka yang berada di bawah pengaruh alkohol hanya bisa
meneguk minuman itu lalu tertidur. Menurut saya, Wheeler adalah orang yang
paling baik di antara mereka, karena dia mengerti, bahwa saya bekerja keras untuk
mereka padahal itu bukan kewajiban saya. Dalam kondisi seperti itu wajar bila
pekerjaan kami tidak cepat selesai.
Kelompok lainnya juga tidak bisa diharapkan. Ketika kami tiba di tempat
kami berkumpul, kami menjumpai dua belas westman yang telah menunggu
kedatangan kami. Sebagai pendatang baru, mula-mula saya sangat menghargai
mereka. Tetapi segera saya tahu, bahwa saya bekerja dengan orang-orang yang
bermoral sangat rendah.
Mereka seharusnya melindungi dan membantu pekerjaan kami. Untunglah
selama tiga bulan penuh tidak terjadi apa yang saya khawatirkan karena mendapat
perlindungan yang kurang aman. Sementara itu mengenai prestasi kerja mereka
dapat saya katakan dengan penuh keyakinan, bahwa kedua belas pemalas terparah
dari Amerika ini hanya bisa bersenang-senang.
Betapa menyedihkan harus menegakkan kedisiplinan dalam situasi seperti
itu!
Bancroft diberi gelar dan menerima tugas sebagai seorang pemimpin dan dia
pun bertingkah laku demikian. Namun tidak seorang pun mematuhinya. Jika dia
memberi perintah, orang malah menertawakannya. Karena itu dia mengeluarkan

2
Sejenis minuman keras.
kata makian yang jarang saya dengar, lalu menghampiri tong brandy untuk
melampiaskan kekesalannya. Riggs, Marcy dan Wheeler pun tidak jauh berbeda
kelakuannya. Karena itu sebenarnya saya mempunyai alasan yang sangat kuat
untuk mengambil alih pimpinan. Saya memang melakukannya tetapi dengan cara
yang tidak kentara. Seorang pemuda yang tidak berpengalaman seperti saya tentu
saja tidak akan dihormati sungguh-sungguh oleh orang-orang itu. Seandainya saya
begitu berani berkata dengan nada memerintah, maka pasti saya akan
ditertawakan. Tidak, saya harus bertindak dengan tenang dan berhati-hati, kira-
kira seperti seorang wanita yang cerdik, yang tahu cara mengendalikan suami yang
nakal, tanpa sepengetahuan si suami. Setiap hari saya dipanggil greenhorn kira-
kira sepuluh kali oleh para westman yang setengah liar dan sulit diatur ini. Tetapi
tanpa sadar mereka menuruti perintah saya. Dengan sengaja saya membiarkan
mereka berpikir, bahwa mereka mengikuti keinginannya sendiri.
Dalam urusan itu saya mendapat bantuan yang besar dari Sam Hawkens,
dan kedua sahabatnya yakni Dick Stone serta Will Parker. Ketiga orang ini sangat
jujur dan mereka juga pemburu yang berpengalaman, cerdik dan berani. Pada
waktu pertemuan pertama kami di St. Louis, sifat-sifat itu tidak nampak pada diri
Sam. Nama mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering berpihak kepada saya
dan menarik diri dari orang lain tanpa membuat orang-orang itu merasa
tersinggung. Terlebih-lebih Sam, dia bisa menarik perhatian kelompok yang
membangkang itu seperti apa yang dia inginkan, meskipun dengan caranya yang
aneh. Walaupun setiap kali dia memerintahkan sesuatu dengan suara yang
setengah keras dan agak lucu, tetapi hal itu selalu dikerjakan oleh mereka sehingga
tugas saya menjadi ringan.
Antara saya dan Sam diam-diam telah terjalin hubungan batin, saya
mengartikan hubungan itu sebagai sebuah dukungan moril. Dia selalu melindungi
saya, dan bagi saya, dia seperti seseorang yang tidak perlu ditanyai apakah dia
setuju atau tidak. Saya hanya seorang greenhorn sementara dia adalah seorang
westman yang berpengalaman, yang kata-kata dan tindakannya harus saya turuti.
Setiap saat jika ada waktu dan kesempatan, dia memberi saya pelajaran teori dan
praktek yang diperlukan di dunia Wild West dan harus dikuasai. Walau kelak saya
mendapat pelajaran yang lebih tinggi dari Winnetou, harus saya akui bahwa Sam
Hawkenslah guru yang meletakkan dasar bagi pendidikan saya. Sam bahkan
mengajari saya melempar lasso dan mengijinkan saya berlatih melempar senjata
berbahaya ini pada tubuhnya yang kecil dan pada kudanya. Ketika saya semakin
berkembang dan suatu hari berhasil mengalungkan jerat pada setiap lemparan, dia
sangat kegirangan dan berseru,
“Ya itu bagus, tuan muda, begitulah caranya! Tetapi jangan menjadi
sombong! Seorang kepala sekolah kadang-kadang harus memuji muridnya yang
paling bodoh, agar murid itu belajar keras dan tidak mengulang kelas. Saya sudah
menjadi guru beberapa westman muda seperti Anda. Mereka mempelajarinya jauh
lebih mudah dan jauh lebih cepat memahami daripada Anda. Tetapi kalau Anda
terus berlatih, mungkin saja orang tidak perlu menyebut Anda greenhorn lagi
setelah enam atau delapan tahun. Sampai di sini Anda boleh merasa senang
dengan pengalaman sebelumnya, bahwa seorang tolol sekali pun bisa menyamai
atau bahkan melebihi seorang yang ahli, kalau saya tidak salah!”
Dia tampaknya mengatakan itu dengan sungguh-sungguh dan saya pun
mendengarnya dengan seksama, tetapi saya tahu betul, sebenarnya dia bermaksud
lain.
Dari semua pelajaran ini, prakteklah yang paling saya senangi. Seandainya
Sam Hawkens tidak ada, saya begitu disibukkan oleh pekerjaan sehingga saya
tidak bisa menyempatkan diri untuk berlatih ketrampilan yang seharusnya dimiliki
oleh seorang pemburu prairie. Di samping itu kami berlatih secara diam-diam.
Latihan ini selalu dilakukan di tempat yang sangat jauh dari perkemahan, sehingga
orang lain tidak bisa melihat kami. Sam memang menginginkan demikian. Ketika
suatu saat saya menanyakan alasannya, dia menjawab,
“Semuanya demi Anda, Sir. Anda kurang terampil dalam perkara seperti itu,
sehingga saya bahkan harus merasa malu dengan kemampuan Anda jika orang-
orang lain melihat kita. Nah, sekarang Anda tahu alasannya, hihihihi. Camkanlah
itu baik-baiki!”
Akibatnya seluruh anggota kelompok menganggap saya tidak bisa
memegang senjata atau berkelahi. Tetapi hal itu tidak membuat saya sakit hati.
Meskipun ada kendala-kendala yang mengganggu pekerjaan kami seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, namun akhirnya pekerjaan kami mengalami
kemajuan, sehingga mungkin seminggu lagi kami sudah bisa melanjutkan ke seksi
berikutnya. Untuk menyampaikan hal itu, kami harus mengirim seorang kurir.
Bancroft menjelaskan, bahwa dia akan melakukannya sendiri dengan membawa
serta salah seorang westman sebagai pemandu. Penyampaian berita seperti itu
sudah biasa, karena kami harus selalu berkomunikasi, baik dengan seksi
sebelumnya maupun dengan seksi sesudahnya. Baru setelah itu saya tahu, bahwa
insinyur yang menjadi pemimpin kami adalah seorang yang sangat rajin.
Pada hari Minggu pagi ketika Bancroft akan berangkat, dia menganggap
penting untuk mengadakan pesta perpisahan dengan acara minum-minum yang
harus diikuti oleh semua orang. Saya sendiri tidak diundang dan Hawkens, Stone,
dan Parker juga tidak memenuhi undangan itu. Pesta minum-minum itu
berlangsung sangat lama dan baru berhenti ketika Bancroft mulai berbicara
melantur. Para pengikutnya pun sama mabuknya seperti Bancroft. Untuk
sementara tidak ada lagi pembicaraan mengenai perjalanan yang direncanakannya.
Dalam kondisi mabuk, mereka selalu melakukan hal yang sama, menyelinap ke
belakang semak-semak untuk tidur.
Apa yang bisa diperbuat sekarang? Kurir harus berangkat dan para pemabuk
itu tertidur sampai sore. Satu-satunya jalan terbaik, sayalah yang harus berangkat.
Tetapi bisakah saya pergi? Saya yakin, selama empat hari kepergian saya,
pekerjaan kami akan tertunda. Ketika saya berunding dengan Sam Hawkens
tentang hal itu, dia menunjuk dengan tangannya ke arah barat dan berkata,
“Anda tidak perlu berangkat, Sir. Anda bisa menitip pesan pada kedua orang
yang datang itu .”
Ketika memandang ke arah yang ditunjuk, saya melihat dua orang
penunggang kuda sedang mendekati kami. Keduanya berkulitputih, yang seorang
saya kenal sebagai scout (pencari jejak). Dia telah beberapa kali mengantar berita
kepada kami dari seksi terdekat. Di sampingnya ada seorang penunggang yang
lebih muda. Dia tidak berpakaian seperti seorang pemburu prairie. Saya belum
pernah melihatnya, dan pergi menyambut mereka. Ketika sudah berhadapan,
mereka menghentikan kudanya. Orang yang tidak saya kenal itu menanyakan
nama saya. Ketika saya menyebutkannya, dia memperhatikan saya dengan
pandangan ramah dan berkata,
“Jadi, Anda pemuda Jerman yang mengerjakan semua pekerjaan di sini,
sementara yang lain berbaring bermalas-malasan. Anda akan tahu, siapa saya
kalau saya sebutkan nama saya, Sir! Nama saya White.”
White adalah nama kepala seksi terdekat di sebelah barat. Kami akan
mengirim kurir kepadanya. Pasti dia sendiri mempunyai alasan, mengapa dia
sendiri yang datang. Dia turun dari kuda, menjabat tangan saya dan melayangkan
pandangannya ke arah perkemahan. Ketika dia melihat para pemabuk di belakang
semak-semak dengan tong brandy, dia tersenyum sinis.
“Mereka mabuk ?” tanya dia.
Saya mengangguk.
“Semua?”
“Ya. Mr. Bancroft berniat ke tempat Anda, namun sebelumnya ada pesta
kecil, pesta perpisahan dengan minum-minum. Saya akan membangunkan dia dan
…“
“Jangan!” dia memotong pembicaraan saya. Biarkan mereka tidur! Saya
senang bisa bicara dengan Anda tanpa didengar oleh mereka. Marilah kita
menyingkir dan jangan membangunkan mereka! Siapa ketiga pria yang berdiri di
samping Anda?”
“Sam Hawkens, Will Parker dan Dick Stone. Mereka adalah scout yang
sangat handal.”
“Ah, Hawkens, pemburu kecil yang hebat itu. Dia seorang pemburu yang
tangkas! Saya sudah mendengar tentang dia. Ketiganya boleh bergabung dengan
kita.”
Saya menuruti perintah itu dan melambaikan tangan pada mereka.
Kemudian saya bertanya,
“Anda datang sendiri, Mr. White. Apakah ada sesuatu yang penting, yang
Anda bawa untuk kami?”
“Tidak ada, saya hanya ingin memeriksa dan saya juga ingin berbicara
dengan Anda. Pekerjaan di seksi kami sudah selesai, sedangkan di seksi Anda
belum.”
“Penyebabnya adalah medan yang sulit dan saya ingin …”
“Saya tahu, saya tahu!” dia memotong kalimat saya. ”Saya sudah tahu
semuanya. Kalau saja Anda tidak bekerja keras tiga kali lipat daripada yang
seharusnya, maka pekerjaan Bancroft pasti masih belum maju.”
“Bukan begitu, Mr. White. Saya tidak tahu, bagaimana Anda bisa
berpendapat keliru seperti itu. Saya bukan satu-satunya yang rajin. Itu memang
kewajiban saya …”
“Tenang, Sir, tenang! Ada kurir yang selalu membawa berita dari seksi Anda
kepada seksi kami dan sebaliknya. Saya telah memancing keterangan dari mereka,
tanpa mereka sadari. Anda sangat rendah hati, Anda ingin melindungi para
pemabuk ini. Tetapi saya ingin mengetahui kebenarannya. Sekarang saya
menyaksikan sendiri, bahwa Anda begitu baik untuk berterus terang tentang
mereka. Karena itu, saya tidak akan menanyai Anda. Saya akan bertanya kepada
Sam Hawkens saja. Mari kita duduk di sini!”
Kami mendekat ke kemah. Dia duduk di rumput di depan kemah dan
memberi isyarat dengan tangannya kepada kami agar melakukan hal yang sama.
Ketika kami sudah duduk, dia mulai bertanya kepada Sam Hawkens, Stone dan
Parker. Mereka menceritakan semua kebenaran kepada Mr. White tanpa melebih-
lebihkan. Namun kadang-kadang saya memberikan komentar untuk menghaluskan
kenyataan yang sebenarnya dan untuk membela rekan-rekan sekerja saya. Namun
komentar-komentar saya tidak dihiraukan oleh Mr. White. Sebaliknya berkali-kali
dia meminta saya agar jangan menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya.
Kemudian setelah dia mengetahui semuanya, dia meminta saya untuk
menunjukkan gambar-gambar dan catatan harian kami. Sebenarnya saya tidak
mau memenuhi keinginannya. Tetapi agar dia tidak tersinggung saya
melakukannya juga karena saya tahu dia bermaksud baik. Dia memeriksa
semuanya dengan seksama dan ketika dia bertanya pada saya, saya tidak bisa
berbohong bahwa saya sendirilah yang menggambar dan menulis. Nyatanya tidak
seorang pun dari rekan kerja saya yang menggoreskan pena atau menuliskan
sebuah huruf.
“Tetapi dari catatan harian ini tidak terlihat, berapa jauh pengukuran yang
dibuat oleh masing-masing,” katanya. “Anda sudah terlalu baik terhadap teman-
teman Anda.”
Ketika itu Sam Hawkens memperhatikan dengan wajah yang cerdik.
“Rogoh saja sakunya, Mr. White! Di sana terdapat kaleng bekas ikan sardin.
Ikan sardin sudah dikeluarkan dan kini di dalamnya diisi kertas-kertas. Pasti itu
buku harian pribadi, kalau saya tidak salah. Isi buku harian itu pasti sangat
berbeda dengan isi laporan resmi. Dalam laporan resmi dia menutup-nutupi
kemalasan rekan-rekan sekerjanya.”
Sam tahu bahwa saya membuat catatan-catatan pribadi dan meletakkannya
di dalam kaleng sardin yang sudah kosong. Saya merasa tidak enak karena Sam
mengatakan hal itu. White meminta saya untuk menunjukkan catatan itu padanya.
Apa yang harus saya lakukan? Pantaskah saya melindungi teman-teman yang
memaksa saya harus membanting tulang untuk mereka tanpa pamrih, sementara
mereka hanya diam saja? Saya tidak akan merugikan mereka. Selain itu rasanya
tidak sopan menolak permintaan White. Karena itu, saya menyerahkan buku harian
saya kepadanya, tetapi dengan syarat dia tidak boleh mengatakan kepada siapa
pun tentang isinya.
Dia membaca buku harian itu, mengembalikannya kepada saya dan berkata,
“Sebenarnya saya harus membawa catatan-catatan ini dan menyerahkannya
kepada orang yang berwenang. Rekan-rekan kerja Anda adalah orang-orang yang
tidak mampu dan tidak layak dibayar satu dollar pun. Sebaliknya Anda, mestinya
Anda dibayar tiga kali lipat. Tetapi, terserah Anda. Saya hanya minta perhatian
Anda, sebaiknya Anda menyimpan catatan pribadi ini dengan baik. Kelak catatan ini
akan sangat bermanfaat. Sekarang mari kita bangunkan orang-orang terhormat
itu.”
Dia berdiri dan membuat keributan. Para gentlemen itu muncul dari balik
semak dengan pandangan kosong dan wajah yang kusut. Bancroft hendak marah
karena keributan itu menggangu tidurnya. Tetapi dia berubah sopan ketika saya
mengatakan, bahwa Mr. White dari seksi terdekat datang. Keduanya belum pernah
bertemu. Mula-mula Bancroft menawari tamunya segelas brandy. Tetapi dia
menawari orang yang salah. White segera menggunakan tawaran ini sebagai alasan
untuk menyindir. Sindiran seperti itu pasti belum pernah dilontarkan orang lain
sebelumnya kepada Bancroft. Karena merasa heran dia diam sejenak, kemudian
dia menghampiri White, memegang lengannya dan berteriak,
“Tuan, katakan segera siapa nama Anda?”
“Nama saya, White. Anda pasti sudah pernah mendengarnya.”
“Dan kedudukan Anda?”
“Insinyur Kepala dari seksi terdekat.”
“Apakah ada seseorang di antara kami yang boleh memberi perintah di seksi
Anda?”
“Saya kira tidak.”
“Nah! Nama saya Bancroft dan saya Insinyur Kepala di seksi ini. Juga tidak
seorang pun dari seksi Anda boleh memerintah saya, termasuk Anda, Mr. White.”
“Memang benar bahwa kedudukan kita sama,” kata White dengan tenang.
“Tidak seorang pun dari kita harus menerima perintah dari orang lain. Tetapi kalau
yang seorang melihat bahwa yang lain itu merugikan usaha yang seharusnya
dikerjakan bersama-sama, maka dia berkewajiban mengingatkan yang
bersangkutan akan kesalahannya. Tampaknya waktu hidup Anda banyak
dihabiskan bersama brandy. Saya hitung, di sini ada lima belas orang yang mabuk
ketika saya tiba di sini dua jam yang lalu, dan …..”
“Dua jam yang lalu?” Bancroft memotong pembicaraannya. “Jadi sudah lama
Anda berada di sini?”
“Memang, saya telah melihat peta-peta rancangan dan saya pun sudah
mendapat penjelasan tentang siapa yang telah melakukannya. Ini memang benar-
benar kehidupan pemalas. Hanya ada seorang yang mengerjakan seluruh
pekerjaan, yaitu dia yang termuda di antara Anda semua!”
Bancroft berpaling pada saya dan mendengus.
“Pasti Andalah yang mengatakan hal itu dan bukan orang lain! Berbohonglah
sekali lagi! Dasar pembohong, penghianat!”
“Bukan,” jawab White. “Rekan muda ini justru telah bertindak sebagai
gentleman dan dia hanya mengatakan hal-hal yang baik tentang Anda. Malahan dia
telah melindungi Anda. Saya sarankan, Anda meminta maaf padanya karena Anda
telah menyebutnya pembohong dan penghianat.”
“Minta maaf? Tidak akan!” kata Bancroft sambil tertawa mengejek.
“Greenhorn ini tidak bisa membedakan segitiga dari segi empat, tetapi dia berlagak
seperti seorang surveyor. Pekerjaan ini belum selesai karena semua yang dia
lakukan salah dan kami harus membetulkannya. Kalau dia memfitnah dan
menjelek-jelekkan kami pada Anda, maka….”
Dia berhenti bicara. Berbulan-bulan saya bersabar dan membiarkan orang-
orang ini seenaknya berpendapat tentang saya. Kini tiba saatnya untuk
menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka keliru. Saya memegang lengan
Bancroft dan menjepitnya sekeras mungkin, sehingga dia tidak bisa melanjutkan
kalimatnya karena kesakitan. Lalu saya berkata,
“Mr. Bancroft, Anda terlalu banyak minum brandy dan tidak bisa tidur. Saya
yakin, Anda masih mabuk dan perkataan Anda tadi di luar kesadaran Anda.”
“Saya mabuk? Anda gila!” jawabnya.
“Ya, mabuk! Karena kalau saya tahu Anda tidak mabuk dan dengan sengaja
menggerutu seperti tadi, terpaksa saya harus membanting Anda ke tanah.
Mengerti! Apakah Anda masih berani mengingkarinya?”
Saya masih mencengkeram lengannya kuat-kuat. Tentu dia tidak pernah
mengira saya akan melakukan hal itu. Sekarang saya melihat dia ketakutan.
Namun dia bukan orang yang lemah. Ekspresi wajah saya tampaknya membuat dia
kaget. Meskipun dia tidak mengakui bahwa dia masih mabuk, tetapi dia juga tidak
berani menyanggahnya. Karena itu dia meminta bantuan pada pemimpin kedua
belas westman yang bernama Rattler. Seharusnya orang itu pun harus membantu
kami.
“Mr. Rattler, Anda biarkan saja orang ini menyerang saya? Bukankah Anda
di sini untuk melindungi kami?”
Rattler berperawakan tinggi besar dan tampaknya memiliki tenaga tiga
sampai empat orang lelaki. Dia seorang pria kasar dan sekaligus teman minum
Bancroft yang paling setia. Dia tidak menyukai saya dan sekarang dengan senang
hati dia memanfaatkan kesempatan itu untuk melawan saya. Dengan cepat dia
menghampiri saya dan memegangi lengan saya seperti yang masih saya lakukan
terhadap Bancroft.
“Tidak, ini tidak bisa dibiarkan, Mr. Bancroft. Anak ini belum bisa memasang
kaos kakinya dan sekarang mau mengancam orang dewasa serta menghina dan
memfitnah mereka. Lepaskan tanganmu dari Mr. Bancroft, anak muda! Kalau tidak
akan saya tunjukkan greenhorn macam apa kamu ini.”
Perintah ini ditujukan kepada saya. Dia mengguncang-guncang tangan saya.
Itu lebih baik bagi saya karena dia seorang lawan yang lebih kuat daripada sang
Insinyur Kepala. Kalau saya memukulnya, pasti hasilnya lebih baik daripada kalau
saya memukul Bancroft. Itu akan menunjukkan bahwa saya bukan pengecut. Saya
menarik lengan saya dari tangannya dan menjawab,
“Saya seorang anak kecil, seorang greenhorn? Tarik kembali kata-kata Anda
sekarang juga Mr. Rattler! Kalau tidak, saya akan membanting Anda ke tanah.”
“Anda hendak membanting saya?” dia tertawa. “Greenhorn ini benar-benar
konyol, sehingga ….”
Dia tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena saya meninju pelipisnya,
sehingga dia limbung seperti sebuah karung jatuh dan terkapar pingsan. Beberapa
saat kemudian suasana hening. Kemudian salah seorang kawan Rattler berteriak,
“All devils! Apakah kita akan menonton saja Dutchman ini memukul
pemimpin kita. Balas keparat ini!”
Dia menyergap saya. Saya menyambutnya dengan sebuah tendangan ke
arah perutnya. Cara ini akurat untuk menjatuhkan lawan, namun saya harus
menjaga keseimbangan badan karena hanya bertumpu pada satu kaki. Orang itu
roboh. Pada saat yang sama, saya menindih badannya dan saya meninju pelipisnya
sampai dia pingsan. Kemudian saya cepat-cepat melompat, mengeluarkan kedua
revolver dari ikat pinggang dan berteriak,
“Siapa lagi, ayo maju!”
Teman-temannya sebenarnya ingin membalaskan dendam karena kedua
temannya yang terkapar. Mereka saling melempar pandang seolah-olah bertanya.
Tapi saya memperingatkan!
“Hei, dengarkan saya! Siapa berani melangkah ke arah saya atau
mengambil senjata, akan saya tembak! Kalian mengira saya seorang greenhorn
biasa seperti yang selalu kalian bayangkan. Akan saya buktikan bahwa seorang
greenhorn Jerman dapat melawan dua belas westman macam kalian!”
Ketika itu Sam maju dan berdiri di samping saya sambil berkata,
“Dan saya, Sam Hawkens, ingin mengingatkan kalian, kalau saya tidak
salah. Greenhorn muda dari Jerman ini berada di bawah perlindungan saya. Siapa
berani menyentuh rambutnya sekali pun, sebutir peluru akan menembus tubuhnya.
Kalian lihat bahwa saya sangat serius, hihihihi.”
Dick Stone dan Will Parker merasa berkewajiban untuk ikut berdiri di
samping saya untuk menunjukkan bahwa mereka sependapat dengan Sam
Hawkens. Tindakan mereka itu sangat berpengaruh pada pihak lawan. Mereka
berpaling dari saya, menggumamkan umpatan dan ancaman serta mulai sibuk
menyadarkan kedua rekannya yang pingsan. Bancroft menganggap bahwa yang
paling aman baginya adalah masuk ke dalam kemah. White memandang saya
dengan terheran-heran. Sekarang dia menggelengkan kepala dan berbicara dengan
nada penuh keheranan.
“Tetapi Sir, sungguh mengerikan! Saya tidak ingin berurusan dengan tangan
Anda. Anda layak disebut Shatterhand, karena Anda telah merobohkan orang yang
tinggi besar dengan sekali pukulan. Hal seperti itu belum pernah saya lihat
sebelumnya.”
Julukan itu tampaknya membuat si Hawkens kecil merasa senang. Dia
terkekeh-kekeh kegirangan,
“Shatterhand, hihihihi! Seorang greenhorn mendapat julukan pahlawan
perang bahkan sehebat itu! Ya, kalau seorang greenhorn di bawah asuhan Sam
Hawkens, pasti dia menjadi orang besar, kalau saya tidak salah. Shatterhand, Old
Shatterhand! Seperti Old Firehand, westman terkenal yang juga kuat seperti seekor
beruang. Bagaimana pendapat kalian tentang nama ini, Dick, Will?”
Saya tidak mendengar jawaban mereka karena saya harus memusatkan
perhatian saya pada White. Dia menarik tangan saya dan menuntun saya ke pinggir
lalu berkata,
“Saya benar-benar suka pada Anda, Sir. Apakah Anda mau ikut dengan
saya?”
“Mau atau tidak, Mr. White, saya tidak boleh.”
“Mengapa?”
“Karena kewajiban, saya harus tetap berada di sini.”
“Pshaw! Saya yang bertanggung jawab.”
“Itu tidak berguna bagi saya, kalau saya tidak bisa mempertanggung-
jawabkannya sendiri. Saya telah dikirim ke sini, untuk membantu mengerjakan
seksi ini, dan saya tidak boleh pergi, karena kami belum selesai.”
“Bancroft akan menyelesaikannya bersama tiga rekannya.”
“Ya, tetapi kapan dan bagaimana? Tidak, saya harus tinggal.”
“Tetapi pikirkanlah, itu berbahaya bagi Anda!”
“Mengapa?”
“Anda masih bertanya juga? Anda seharusnya mengerti, bahwa orang-orang
ini sudah menganggap Anda sebagai musuh.”
“Saya tidak menganggap mereka musuh dan saya tidak melakukan apa-apa
terhadap mereka.”
“Benar, atau tepatnya sampai sebelum peristiwa tadi. Tetapi sekarang
setelah Anda merobohkan dua di antara mereka, timbul permusuhan antara Anda
dan mereka.”
“Mungkin. Tetapi saya tidak takut kepada mereka. Justru kedua pukulan
saya tadi pasti telah membuat mereka segan terhadap saya. Selain itu mereka
tidak akan berani menantang saya. Bagaimana pun Sam Hawkens, Stone dan
Parker berpihak pada saya.”
“Terserah Anda. Keinginan manusia sangat muluk, meskipun sering juga
menjerumuskannya. Sebenarnya saya dapat memanfaatkan Anda. Tetapi maukah
Anda mengantarkan saya pulang beberapa kilometer saja?”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Anda mau segera berangkat, Mr. White?”
“Ya, saya sudah tahu keadaan di sini, sehingga saya tidak perlu berlama-
lama tinggal di sini.”
“Tetapi Anda harus makan dulu, sebelum berangkat, Sir!”
“Tidak usah. Kami membawa bekal di dalam tas pelana.”
“Anda tidak ingin berpamitan dengan Bancroft ?”
“Tidak.”
“Tetapi bukankan Anda datang ke sini untuk membicarakan masalah
pekerjaan dengannya?”
“Memang. Tetapi hal itu bisa juga saya katakan pada Anda. Bahkan Anda
akan lebih paham daripada dia. Semula saya ingin mengingatkan dia tentang orang
kulitmerah.”
“Apakah Anda melihat mereka?”
“Tidak secara langsung, hanya dari jejak mereka. Kini sudah musimnya,
mustang dan bison berpindah tempat, bergerak ke selatan. Pada saat itu orang
kulitmerah meninggalkan kampungnya, untuk berburu dan mengumpulkan daging.
Suku Kiowa tidak perlu ditakuti, karena sudah ada kesepakatan antara kita dengan
mereka tentang rel kereta itu. Akan tetapi suku Comanche dan Apache belum tahu
tentang itu. Karena itu kita tidak boleh terlihat oleh mereka. Untunglah, pekerjaan
saya telah selesai dan saya akan meninggalkan daerah ini. Berusahalah agar Anda
juga cepat selesai! Wilayah ini dari hari ke hari akan semakin berbahaya. Pasanglah
pelana kuda Anda dan tanyakan Sam, apakah dia mau ikut?”
“Tentu saja Sam mau.”
Sebenarnya hari ini saya mau bekerja. Tetapi ini hari Minggu. Pada hari ini
setiap orang Kristiani berkumpul dan melaksanakan kewajiban agamanya,
sekalipun mereka berada di hutan belantara. Karena itu saya tidak bekerja. Saya
mendatangi kemah Bancroft dan mengatakan kepadanya, bahwa hari ini saya tidak
akan bekerja karena bersama Sam Hawkens saya akan mengantar White.
“Peduli amat dan semoga Anda celaka!” jawabnya. Saya tidak
mengharapkan bahwa doa yang kejam itu terkabul dalam waktu dekat.
Sudah berapa hari saya tidak menunggang kuda. Kuda saya meringkik
kegirangan ketika saya memasangkan pelana. Kuda itu sangat tahan uji dan saya
akan sangat senang mengabarkan hal ini kepada si tua Henry, sang pembuat
senapan.
Kami berkuda dengan riang di hari musim gugur yang indah sambil
berbincang tentang rencana pembuatan keretaapi yang hebat itu dan tentang
segala hal yang ada di dalam hati kami. White memberikan petunjuk penting
kepada saya yang berkaitan dengan penyambungan rel ke seksinya. Menjelang
siang hari kami berhenti di tepi sebuah mata air untuk menikmati makanan
seadanya. Kemudian White bersama scoutnya melanjutkan perjalanan, sedangkan
kami masih tinggal beberapa saat sambil berbaring untuk membicarakan hal-hal
yang bersifat keagamaan.
Hawkens ternyata pria yang saleh namun dia tidak mau memperlihatkannya
kepada orang lain. Sesaat sebelum kami berangkat pulang, saya membungkukkan
badan ke mata air untuk menciduk air dan minum dengan tangan. Saat itu saya
melihat jejak telapak kaki dalam air yang bening. Tentu saja saya memberitahu
Sam. Dia mengamati jejak kaki itu dengan seksama dan berkata,
“Apa yang diperingatkan Mr. White kepada kita tentang Indian memang
benar.”
“Sam, maksud Anda, jejak ini berasal dari seorang Indian?”
“Ya, jejak mokassin (sepatu Indian). Bagaimana perasaan Anda, Sir?”
“Saya sama sekali tidak merasakan apa-apa.”
“Fi! Anda pasti memikirkan atau merasakan sesuatu.”
“Apa yang harus saya pikirkan, selain seorang Indian telah datang ke sini.”
“Jadi Anda tidak takut ?”
“Tidak.”
“Ya, Anda tidak mengenal orang kulitmerah.”
“Tapi saya berharap bisa berkenalan dengan mereka. Mereka pasti seperti
manusia lain, seperti musuh-musuhnya dan teman-temannya. Karena itu saya
tidak berniat memusuhi mereka. Jadi, saya kira, saya tidak perlu takut terhadap
mereka.”
“Anda memang greenhorn, dan akan tetap begitu selamanya. Jangan yakin
untuk dapat memperlakukan orang kulitmerah sebagaimana niat Anda itu.
Kenyataannya akan sangat berbeda. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak akan
bergantung pada keinginan Anda. Anda akan mengalaminya, saya harap
pengalaman ini tidak harus dibayar dengan cedera atau bahkan nyawa Anda.”
“Kapan kira-kira Indian itu berada di sini?”
“Kira-kira dua hari yang lalu. Kita akan lihat juga jejaknya di rumput, kalau
tidak tertutup jejak lain.”
“Apakah mungkin seorang pengintai?”
“Seorang pengintai bison, ya. Karena kini hubungan antar suku-suku di sini
sedang baik, mungkin bukan seorang mata-mata perang. Orang itu sangat tidak
hati-hati. Jadi mungkin masih sangat muda.”
“Mengapa?”
“Seorang prajurit yang berpengalaman tidak akan menginjakkan kakinya ke
dalam air seperti ini karena akan meninggalkan jejak berhari-hari lamanya.
Ketololan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang pandir semacam greenhorn
kulitmerah, hihihihi. Sedang greenhorn kulitputih bertindak jauh lebih tolol lagi
daripada greenhorn kulitmerah. Coba ingat itu baik-baik, Sir!”
Dia terkekeh sendiri perlahan dan kemudian bangkit untuk naik ke kudanya.
Sam yang baik memang suka sekali menunjukkan simpatinya kepada saya dengan
cara menyebut saya bodoh.
Sebenarnya kami bisa kembali melewati jalan yang kami tempuh tadi. Tetapi
sebagai seorang surveyor, saya berkewajiban mempelajari seluruh wilayah kami.
Karena itu kami membelok dulu sebentar dan kemudian menempuh jalan sejajar.
Pada saat itu kami tiba di sebuah lembah yang agak lebar yang ditumbuhi
rerumputan yang segar. Bukit-bukit di sekelilingnya tertutup semak-semak di
bagian bawahnya dan hutan di bagian atasnya. Lembah itu lurus memanjang kira-
kira setengah jam perjalanan, sehingga orang bisa memandangnya dari ujung ke
ujung. Baru beberapa langkah kami berjalan di lembah yang indah itu, tiba-tiba
Sam menghentikan kudanya dan memandang seksama ke depan.
“Heigh-day!” Dia maju ke depan. “Itu mereka! Ya, benar, merekalah
rombongan yang pertama.”
“Apa?” tanya saya.
Saya melihat di kejauhan, sekitar delapan belas sampai dua puluh titik
hitam yang sedang bergerak perlahan.
“Apa?” dia mengulangi pertanyaan saya sambil bergerak-gerak mengikuti
irama langkah kuda. “Mestinya Anda malu bertanya seperti itu! Oh ya, Anda kan
seorang greenhorn, greenhorn yang luar biasa. Orang seperti Anda harus bisa
melihat dengan jeli. Cobalah terka apa yang Anda lihat di depan itu, Tuan yang
terhormat.”
“Menerka? Hm! Saya kira itu kijang, akan tetapi binatang itu tidak pernah
bergerombol lebih dari sepuluh ekor. Namun, kalau saya perhatikan dari sini,
binatang itu pasti lebih besar dari kijang.”
“Kijang, hihihihi!” dia tertawa. “Kijang di dekat mata air Canadian. Anda
sungguh hebat! Tapi hal lain yang Anda katakan tadi juga tidak terlalu salah. Ya,
binatang itu lebih besar dari kijang.”
“Kalau begitu, Sam, bisonkah itu?”
“Tentu saja bison! Binatang itu bison, bison sungguhan. Mereka sedang
berpindah tempat. Kawanan pertama yang saya lihat tahun ini. Anda tahu, Mr.
White berkata benar: Bison dan orang Indian! Bukankah kita tadi melihat jejak kaki
orang kulitmerah dan di depan kita ada sekawanan bison? Apa pendapat Anda
tentang itu, heh, kalau saya tidak salah?”
“Kita harus ke sana!”
“Tentu saja!”
“Mengamati mereka!”
“Mengamati? Hanya mengamati?” tanyanya sambil memandang saya
keheranan.
“Ya, saya belum pernah melihat bison dan ingin mengamati binatang itu di
sini.”
Saya sekarang merasakan antusiasme seorang ahli ilmu hewan. Bagi Sam
hal itu aneh. Dia melipat kedua tangannya di dada dan tampak agak kecewa.
“Mengintai, hanya mengintai. Sama seperti seorang anak kecil yang
mengintai kelinci melalui celah kecil di kandangnya karena penasaran! Oh,
greenhorn, apa yang harus saya lakukan terhadap Anda! Saya bukan hanya
mengamati dan mengintip mereka, melainkan sya ingin berburu, benar-benar
berburu!”
“Hari ini, hari Minggu!”
Pertanyaan saya itu terlontar begitu saja. Dia menjadi sangat marah dan
berkata,
“Tutup mulut Anda, Sir! Apa istimewanya hari Minggu bagi seorang pemburu
sejati, apabila dia melihat bison di hadapannya. Berburu bison berarti mendapat
daging, iya kan, daging dan yang lainnya, kalau saya tidak salah! Sekerat daging
pinggang bison masih lebih lezat ketimbang Ambrosius atau Ambrosianna yang
enak, atau apa pun nama makanan para dewa Yunani Kuno itu. Saya harus
mendapatkan pinggang bison meskipun itu membahayakan jiwa saya! Kita
melawan angin, itu baik. Di sini, di tebing lembah sebelah kiri ada sinar matahari
sedangkan di sebelah kanan sana ada bayang-bayang. Kalau kita berlindung dalam
bayang-bayang ini, kita tidak akan terlihat oleh binatang-binatang itu.
“Ayo!” Dia memeriksa “Liddy”nya, memeriksa apakah kedua larasnya beres.
Kemudian dia memacu kudanya ke dinding lembah sebelah selatan. Sambil
mengikuti Sam, saya memeriksa senapan saya, si pembunuh beruang. Dia melihat
ini dan segera saja menghentikan kudanya serta bertanya,
“Anda mau ikut, Sir?”
“Tentu saja!”
“Kalau Anda selama sepuluh menit dari sekarang tidak merusak rencana ini,
pasti semuanya akan aman. Bison bukan burung kenari yang dapat kita ajak
bermain. Sebelum Anda berani melakukan aksi berbahaya, terlebih dahulu Anda
harus mengumpulkan banyak pengalaman dengan melewati berbagai rintangan.”
“Tapi saya ingin …”
“Diam dan jangan membantah!” Dia memotong ucapan saya dengan nada
yang belum pernah dia dengar. ”Saya tidak ingin mencampuri kehidupan Anda.
Hanya kematian yang akan Anda hadapi. Apa yang Anda inginkan itu, lakukan di
lain waktu saja! Sekarang saya tidak mau dibantah!”
Seandainya tidak ada hubungan baik di antara kami, niscaya saya akan
menjawab dengan sangat kasar. Tapi saya diam saja dan terus berkuda perlahan-
pelan mengikuti dia ke tempat yang teduh. Di tempat itu hutan semakin lebat.
Ketika itu dia menjelaskan pada saya sambil berkata dengan nada yang lebih
ramah,
“Sebagaimana yang saya lihat tadi, ada dua puluh ekor. Tetapi Anda pun
pernah lihat, ketika ribuan atau lebih banyak lagi melintasi sabana itu. Dulu saya
melihat kawanan binatang yang terdiri dari sepuluh ribu ekor bahkan lebih banyak.
Itu sumber makanan bagi Indian, dan orang kulitputih telah merampasnya dari
mereka. Orang kulitmerah berhati-hati dengan binatang liar itu karena binatang itu
adalah bahan makanan. Mereka hanya membunuh sebanyak yang mereka
butuhkan. Lain halnya orang kulitputih. Mereka menembaki binatang itu dengan
membabi buta seperti binatang buas yang sedang mengamuk, dan terus saja
membunuhinya hanya untuk menumpahkan darah. Berapa lama hal itu akan
berlangsung, sampai tidak ada lagi bison dan sebentar kemudian juga tidak ada
lagi orang Indian. Inikah takdir Tuhan? Dan begitu pula halnya dengan kuda. Dulu
ada rombongan mustang yang berjumlah ribuan ekor. Kini orang sudah merasa
senang dan beruntung bila melihat seratus ekor kuda bersama-sama.”
Pada saat itu kami semakin dekat sampai kira-kira empat ratus langkah dari
kawanan bison itu, tanpa terlihat oleh mereka. Hawkens menghentikan kudanya.
Bison-bison itu sedang merumput di hulu. Di depan sekali berjalan seekor bison
jantan yang sudah tua. Saya terpesona melihat tubuhnya yang besar. Tingginya
pasti sampai dua meter, dan panjangnya mungkin tiga meter. Waktu itu saya
belum bisa menaksir berat seekor bison, tapi sekarang ini saya berani mengatakan,
bahwa bison ini kira-kira berbobot satu setengah ton, suatu bobot daging dan
tulang yang luar biasa. Bison ini masuk ke dalam kubangan lumpur dan berguling-
guling di sana dengan asyiknya.
“Itu pemimpinnya,” bisik Sam, “yang paling berbahaya dalam kawanan itu.
Siapa berani menghadang dia, harus sudah siap menghadapi kematiannya. Saya
akan mengambil bison betina, yang berada tepat di belakang sebelah kanan bison
jantan itu. Perhatikan, di bagian mana saya akan menembaknya! Di bagian belikat
menyamping terus ke jantung. Itulah yang terbaik. Namun, selain itu, satu-satunya
tembakan yang paling aman adalah ke mata. Tapi hanya orang yang tidak waras
menembak bison dari depan agar mengenai matanya! Anda tetaplah di sini,
bersembunyilah bersama kuda Anda di dalam semak-semak. Kalau mereka melihat
saya dan kemudian kabur, maka perburuan kita akan sia-sia. Jangan sekali-kali
meninggalkan tempat ini sebelum saya kembali atau memanggil Anda.”
Dia menunggu sampai saya bersembunyi di antara dua belukar. Kemudian ia
memacu kudanya, pertama-tama perlahan-lahan sekali dan tidak bersuara. Saya
ingin sekali ikut berburu. Saya sudah sering membaca tentang perburuan bison.
Karena itu bukan hal baru bagi saya. Tetapi ada perbedaan antara cerita di dalam
buku dengan perburuan yang sebenarnya. Pada hari ini untuk pertama kalinya saya
melihat bison dalam hidup. Satwa liar apakah yang telah saya tembak sampai saat
ini? Dibandingkan dengan satwa besar dan berbahaya ini, belum satu pun, sama
sekali belum. Pada waktu itu orang pasti mengira bahwa saya setuju dengan
perintah Sam untuk tidak ikut berburu. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Sebelumnya saya hanya ingin mengamati dan mengintai. Sekarang saya
merasakan dorongan yang kuat yang tidak terbendung untuk ikut berburu. Sam
akan memburu bison betina muda, pfui! Menurut saya, untuk itu tidak diperlukan
keberanian. Lelaki sejati akan memilih bison jantan terkuat !
Kuda saya menjadi sangat gelisah. Ia mendepak-depakkan kakinya
ketakutan dan ingin melarikan diri, karena belum pernah melihat bison. Nyaris saya
tidak mampu mengekangnya. Apakah tidak lebih baik kalau saya tembak saja bison
jantan itu? Saya tidak merasa tegang sedikit pun, malah saya berpikir dengan
sangat tenang, antara ya dan tidak. Akhirnya keadaanlah yang memutuskan.
Sam telah mendekat ke kawanan bison itu hingga tiga ratus langkah.
Kemudian dia memacu kudanya menuju kawanan itu dan melewati bison jantan
yang besar itu untuk mencapai bison betina yang telah ditunjukkan pada saya.
Bison betina itu terhenyak dan terlambat untuk melarikan diri. Sam sampai pada
tempat bison itu. Saya lihat ia menembaknya ketika binatang itu lewat. Bison itu
menggelepar dan menundukkan kepalanya. Saya tidak melihat apakah ia roboh
atau tidak, karena mata saya tertarik pada pemandangan lain.
Bison jantan raksasa sudah bangkit. Dia berpaling kepada Sam Hawkens.
Betapa garangnya binatang itu! Kepalanya besar dan tebal, tengkoraknya bundar,
jidatnya lebar dan dua tanduknya yang pendek tetapi kuat mencuat ke atas. Surai
yang lebat dan kusut membungkus leher dan dadanya. Pundaknya yang tinggi
memberi kesan atau gambaran sempurna tentang kekuatan alam yang dahsyat.
Ya, mahluk itu teramat berbahaya. Sorot matanya menantang manusia yang ingin
mengukur kemampuannya terhadap kekuatan hewan ini.
Saya tidak tahu, apakah saya mau atau tidak. Atau barangkali kuda putih
saya akan membawa saya kabur? Dia melompat keluar dari semak-semak dan
hendak ke kiri. Tetapi saya paksa dia membelok ke kanan dan menuju ke arah
bison jantan itu. Bison itu mendengar saya datang, lalu berpaling ke arah saya.
Sambil memandang saya, ia menundukkan kepalanya untuk menyambut kuda
cantik dan penunggangnya dengan tanduknya. Saya mendengar Sam berteriak
keras. Namun saya tidak punya waktu untuk berpaling ke arahnya. Menembak
bison itu tidak memungkinkan, pertama karena dia tidak berdiri pada sasaran
tembak saya, dan kedua kuda saya akan berontak. Karena ketakutan kuda itu
melompat tepat ke arah tanduk yang sedang mengancam. Bison itu melangkahkan
kaki belakangnya ke samping dan dengan hentakan keras ia mengangkat
kepalanya ke atas untuk menusuk kuda saya.
Dengan segala daya saya berhasil sedikit mengelakkan kuda saya. Dia
melesat dengan suatu lompatan ke atas bagian belakang bison itu, sementara pada
saat yang sama tanduknya nyaris menyentuh kaki saya. Lompatan kami jatuh
tepat ke dalam kubangan lumpur, tempat bison itu berguling-guling. Untunglah,
saya melihat itu dan melepaskan kaki dari sanggurdi, karena kuda saya tergelincir
dan kami pun roboh. Bagaimana hal itu bisa terjadi begitu cepat, bagi saya masih
teka-teki. Selanjutnya saya sudah berdiri, tepat di pinggir kubangan itu dengan
tangan memegang senapan kuat-kuat. Bison itu telah berbalik kepada kami dan
melompat dengan hentakan liar ke arah kuda saya yang telah bangkit dan hendak
melarikan diri. Pada saat itu terbuka peluang bagi saya untuk menembak dari
samping. Saya membidik. Sekaranglah saatnya si Pembunuh Beruang yang berat
itu harus dicoba untuk pertama kalinya. Masih satu lompatan lagi bison itu dapat
mencapai kuda saya. Saya kemudian melepaskan tembakan. Bison itu terdiam.
Apakah karena kaget atau karena tembakan saya mengenai sasaran, saya tidak
tahu. Segera saya lepaskan lagi tembakan kedua. Pelan-pelan ia mengangkat
kepalanya dan mengeluarkan lenguhan panjang dengan sekuat tenaga. Kemudian
berjalan terhuyung-huyung dan roboh di atas tempat ia berdiri.
Karena senang sebenarnya saya ingin bersorak atas kemenangan yang tidak
mudah ini. Namun ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan. Kuda saya
berlari ke arah kanan tanpa penunggang, sementara saya melihat Sam Hawkens
sedang berpacu di pinggiran lembah, dikejar oleh seekor bison jantan yang tidak
kalah besar dari bison yang saya tembak tadi.
Orang harus tahu, kalau marah bison tidak akan melepaskan lawannya dan
dapat berlari mengimbangi seekor kuda. Dalam situasi seperti itu, bison bisa
beringas, gesit dan tidak mudah dikalahkan seperti yang dibayangkan orang.
Demikian juga bison jantan itu berusaha mengejar Sam. Untuk bisa lolos, Hawkens
harus berubah-ubah arah. Hal itu melelahkan kudanya. Bagaimanapun kuda itu
tidak sekuat bison. Karena itu saya harus segera menolongnya. Saya tidak punya
waktu untuk memeriksa apakah bison yang saya tembak tadi betul-betul mati atau
belum. Saya cepat-cepat mengisi kedua laras Pembunuh Beruang dan berlari
menyeberangi lembah. Sam melihat ini. Dia ingin menyongsong bantuan saya dan
mengendalikan kudanya ke arah saya. Dia salah besar, karena dengan cara itu
kuda Sam dalam posisi melintang di depan bison jantan yang tidak jauh di
belakangnya.
Saya melihat bison itu merundukkan kepalanya dan menanduk satu kali saja
kemudian mengangkat kuda itu beserta penunggangnya tinggi-tinggi. Ketika
mereka jatuh ke tanah, bison itu tidak melepaskan lawannya tapi terus
menusukkan tanduknya yang dahsyat sambil mengibas-ngibaskan kepalanya. Sam
berteriak sekuat tenaga meminta tolong. Saya masih berada kira-kira seratus lima
puluh langkah dan tidak boleh terlambat sedetik pun. Tembakan saya seyogyanya
dilepas dari jarak yang lebih dekat, tapi kalau saya ragu maka Sam bisa terbunuh.
Kalau tembakan saya tidak mengena, setidaknya saya masih bisa mengalihkan
perhatian bison itu dari Sam ke saya. Karena itu saya berhenti, membidik belikat
bison itu dan melepaskan tembakan. Bison itu mengangkat kepalanya dengan
sebuah hentakan, seolah-olah ia mau pasang telinga dan perlahan-lahan berbalik.
Pada saat itu ia melihat saya kemudian menyerang. Namun kecepatannya sudah
berkurang. Itu menguntungkan saya. Saya dapat mengisi lagi peluru dengan cepat.
Ketika hewan itu tinggal tiga puluh langkah lagi ke arah saya, pengisian sudah
selesai. Ia tidak bisa lagi berlari, hanya berjalan pelan-pelan. Dengan kepala yang
tertunduk rendah dan dengan mata yang merah karena kesakitan, ia melotot buas
dan menuju ke saya. Semakin dekat dan semakin dekat seperti sebuah malapetaka
besar yang tidak dapat dihentikan. Kemudian saya berlutut dan membidikkan
senapan. Gerakan saya itu membuat bison itu berhenti dan mengangkat kepalanya
sedikit agar dapat melihat saya lebih baik dan lebih jelas lagi. Itu membuat
matanya yang buas melotot ke depan, ke kedua laras senapan saya. Saya lepaskan
satu tembakan ke matanya yang kanan, dan satu lagi ke mata kirinya. Binatang itu
menggelepar dan robohlah ke tanah.
Saya melompat untuk melihat Sam. Tapi ternyata tidak perlu karena saya
lihat dia berlari mendatangi saya.
“Hallo,” saya berseru padanya. “Anda selamat? Anda tidak terluka parah?”
“Sama sekali tidak,” jawab dia. “Hanya pinggang saya sebelah kanan sakit
karena terjatuh, atau mungkin yang kiri, kalau saya tidak salah. Saya tidak tahu
pasti.”
“Dan kuda Anda?”
“Di sana. Ia masih hidup, tapi bison itu telah merobek seluruh perutnya.
Untuk mengurangi penderitaannya, kita harus menembaknya. Binatang malang!
Apakah bison itu mati?”
“Saya harap begitu, mari kita periksa.”
Kami periksa dia dan merasa yakin bahwa bison itu sudah mati. Pada saat
itu Hawkens berkata sambil menarik nafas panjang,
“Bison tua yang brutal ini telah menyulitkan saya! Ia seharusnya lebih sopan
pada saya. Tentu saja, bison tidak bisa dituntut bersikap seperti perempuan,
hihihihi!”
“Bagaimana ia bisa menyerang Anda ?”
“Apakah Anda tidak lihat ?”
“Tidak.”
“Begini, saya menembak bison betina. Karena kuda saya sedang melaju
cepat, saya baru bisa menghentikannya persis ketika ia menabrak bison ini. Itu
membuat dia marah dan mengejar-ngejar saya. Cepat-cepat saya tembakkan
peluru dari kedua laras ‘Liddy’.” Namun ternyata meleset, karena itu ia semakin
menjadi dan saya tidak bisa mengelak. Ia terus mengejar-ngejar sehingga saya
tidak bisa mengisi peluru. Karena senapan itu tidak ada gunanya lagi, saya
membuangnya agar tangan saya menjadi bebas dan bisa mengendalikan kuda
dengan lebih baik, kalau saya tidak salah. Kuda malang itu telah berbuat sebaik
mungkin, tapi tidak bisa menyelamatkan diri.”
“Karena Anda terakhir kali berubah arah dengan cepat dan fatal.
Seyogyanya Anda berjalan memutar. Niscaya kuda itu akan selamat.”
“Selamat? Anda berbicara seperti seorang senior. Greenhorn biasanya tidak
bicara seperti itu.”
“Pshaw! Greenhorn juga punya sisi baik!”
“Ya, kalau tidak karena Anda, pasti sekarang saya terkapar dan terkoyak-
koyak seperti kuda saya. Mari kita lihat kuda itu.”
Kami lihat keadaannya menyedihkan. Ususnya keluar dari perutnya yang
robek. Ia mengerang kesakitan. Sam mengambil senapannya yang tadi dibuang,
mengisi peluru dan menembakkannya pada kudanya untuk mengakhiri
penderitaannya. Kemudian ia melepas tali kekang dan pelananya dan berkata,
“Gara-gara lari dikejar bison, sekarang saya harus menyandang pelana
seperti kuda juga.”
“Ya. Di mana Anda akan memperoleh kuda pengganti?” tanya saya.
“Itu tidak begitu saya khawatirkan. Saya akan menangkap seekor lagi, kalau
saya tidak salah.”
“Seekor mustang?”
“Ya. Bison-bison itu di sana, mereka memulai perjalanannya ke selatan3.
Pada saat itu mustang akan segera tampak. Saya hafal itu.”
“Boleh saya ikut menangkap mustang itu ?”
“Tentu saja. Anda juga harus belajar berburu mustang. Sekarang mari kita
pergi. Kita akan akan memeriksa bison jantan tua itu. Mungkin ia masih hidup.
Methussalem4 seperti itu biasanya mempunyai nyawa yang sangat alot.”
Kami pergi ke sana. Hewan itu sudah mati. Kini karena ia terbaring kaku,
orang dapat mengukur bentuk kolosalnya lebih baik lagi secara langsung daripada
sebelumnya. Sam memandang saya dan bison itu bergantian. Wajahnya tampak
sangat takjub. Kemudian menggelengkan kepala dan berkata,
“Ini tidak bisa dijelaskan. Sama sekali tidak bisa dijelaskan! Tahukah Anda,
di bagian mana Anda telah menembaknya ?”
“Di mana?”
“Tepat pada tempat yang semestinya. Bison ini sudah tua sekali. Kalau saya,
akan berpikir dulu sepuluh kali sebelum berani berkelahi dengannya. Tahukah
Anda. Seperti apa Anda ini, Sir?”
“Seperti apa?”

3
Dalam musim gugur bison dan mustang berpindah ke selatan mencari hawa hangat, dan kembali ke
utara pada musim semi, demikian seterusnya.
4
Tokoh dalam Alkitab yang disebut-sebut sangat tua.
“Orang paling ceroboh.”
“Oho.”
“Ya, orang paling ceroboh di muka bumi ini.”
“Kecerobohan tidak pernah menjadi kesalahan saya.”
“Jadi, Anda sekarang suka ceroboh, paham! Saya kan sudah memberi
perintah agar Anda tidak ikut campur dengan urusan bison dan agar tetap
sembunyi di dalam semak belukar. Mengapa Anda tidak menurut?”
“Saya sendiri tidak tahu.”
“Jadi! Anda melakukan sesuatu tanpa tahu alasannya. Apakah itu tidak
ceroboh?”
“Saya rasa tidak. Pasti ada alasan penting.”
“Kalau begitu Anda harus tahu itu!”
“Mungkin alasannya karena Anda memerintah saya dan saya tidak bisa
diperintah.”
“Oh! Kalau orang bermaksud baik kepada Anda dan memperingatkan Anda
terhadap suatu bahaya, Anda dengan sengaja membangkang, menerjunkan diri
dalam bahaya itu?”
“Saya datang ke daerah Barat bukan untuk menghindari bahaya yang saya
jumpai.”
“Baiklah. Tapi Anda masih greenhorn dan Anda harus berhati-hati. Karena
Anda tidak mematuhi saya, mengapa Anda tadi justru menembak bison raksasa ini
dan bukannya bison betina?”
“Karena lebih ksatria.”
“Lebih ksatria! Greenhorn ini mau menjadi ksatria, kalau saya tidak salah,
hihihihi!”
Dia tertawa sambil memegangi perutnya dan masih sambil tertawa dia
melanjutkan,
“Kalau Anda benar-benar ingin bertindak sebagai pahlawan, jadilah
pahlawan ‘Toggenburg’ saja. Untuk menjadi pahlawan ‘Bayard atau Roland’ Anda
tidak punya bakat. Anda menyukai bison betina dan setiap malam duduk dalam
remang sinar bulan untuk menunggu sampai binatang itu menampakkan diri dan
turun ke lembah. Bahkan semalaman Anda dapat duduk tenang seperti mayat dan
menjadi santapan coyote (serigala prairie) dan burung pemakan bangkai. Jika
seorang westman sejati melakukan sesuatu, dia tidak bertanya apakah yang dia
lakukan bersifat ksatria atau tidak. Dia hanya bertanya apakah itu bermanfaat
baginya atau tidak.”
“Itulah masalahnya.”
“Masalahnya? Mengapa?”
“Saya memilih bison jantan itu, karena dagingnya lebih banyak daripada
yang betina.”
Lama ia memandangi muka saya kebingungan dan kemudian berteriak,
“Lebih banyak daging ? Anak muda ini telah menembak bison jantan di sini
karena dagingnya hihihihi! Saya bahkan yakin Anda meragukan keberanian saya
karena hanya memburu bison betina.”
“Bukan begitu, meskipun memang saya anggap lebih gagah memilih seekor
binatang yang kuat.”
“Dan makan daging bison tua? Bukan main pintarnya Anda, Sir? Bison tua
itu pasti telah berumur delapan belas sampai dua puluh tahun. Tubuhnya terdiri
dari kulit, tulang belulang, urat dan otot. Dagingnya yang ada tidak bisa lagi
disebut daging, karena sangat alot seperti kulit yang telah disamak. Walaupun
Anda seharian memanggangnya atau memasaknya, Anda tidak dapat
mengunyahnya. Setiap westman yang berpengalaman lebih suka bison betina
ketimbang yang jantan karena dagingnya empuk dan gurih. Kini semakin jelas,
greenhorn macam apa Anda ini. Tadi saya tidak punya waktu untuk menjaga
Anda.”
“Bagaimana serangan Anda yang ceroboh terhadap bison itu terjadi?”
Saya ceritakan kepada dia. Ketika saya selesai, dia terbelalak, sekali lagi
menggelengkan kepalanya dan menyuruh saya,
“Pergilah ke bawah sana, dan ambillah kuda Anda! Kita memerlukan kuda
itu untuk mengangkut daging yang akan kita bawa pulang.”
Saya mengikuti perintahnya. Jujur saya katakan, saya merasa kecewa atas
sikapnya. Dia tidak mengatakan satu patah kata pun setelah mendengarkan
penjelasan saya. Sebenarnya saya sudah yakin akan mendapatkan pengakuan
darinya meskipun hanya sedikit. Dia tidak mengatakan apa-apa, malah menyuruh
saya pergi untuk mengambil kuda saya. Meskipun demikian saya tidak jengkel
padanya karena saya bukanlah orang yang melakukan sesuatu demi pujian.
Ketika saya membawa kuda itu, Sam sedang berlutut di samping bison
betina yang terlentang di depannya. Dia memotong bagian paha bison itu,
kemudian memisahkan daging dari kulit dan tulangnya dengan cekatan dan
memotong lagi di bagian pinggang.
“Nah,” kata dia. “Ini untuk dipanggang malam ini. Kita sudah lama tidak
makan daging panggang. Daging pinggang ini kita muat ke atas kuda Anda,
diikatkan di atas pelana dengan tali kekang. Daging ini hanya untuk saya, Anda,
Will dan Dick. Kalau yang lain juga mau, mereka bisa berkuda ke sini dan
mengambil sisa daging bison betina ini.”
“Kalau tidak, dimakan burung bangkai dan binatang liar lainnya.”
“Begitu? Alangkah pintarnya Anda! Tentu saja begitu. Akan kita tutupi
dengan ranting-ranting dan batu di atasnya. Hanya beruang atau binatang besar
lainnya yang bisa membongkarnya.”
Karena itu saya memotong cabang-cabang yang berat dari semak-semak di
sekitar dan kemudian mengambil beberapa batu yang besar. Kami menimbun bison
betina itu dan memuat daging tadi ke atas kuda. Dalam pada itu saya bertanya,
“Bagaimana dengan bison jantan itu?”
“Bison jantan? Apa manfaatnya?”
“Tidak dapatkah kita memanfaatkannya sedikit pun?”
“Sama sekali tidak!”
“Juga kulitnya?”
“Apakah Anda bisa menyamak kulit ? Kalau saya tidak.”
“Tapi saya pernah membaca, bahwa kulit bison buruan dapat disimpan
dalam caches5
“Oh, itu sudah Anda baca? Ya, kalau Anda sudah membaca, pasti itu benar
adanya, hihihihi! Memang ada sejumlah westman yang memburu binatang demi
kulitnya. Saya juga pernah melakukannya. Tapi sekarang kita tidak tergolong
westman seperti itu dan kita tidak usah repot-repot dengan kulit yang berat ini.”
Kami melanjutkan perjalanan dan setengah jam kemudian sudah sampai di
perkemahan meskipun dengan berjalan kaki, karena perkemahan ini tidak jauh dari
lembah tempat saya pertama kali menembak mati bison, atau tepatnya kedua
bison buruan saya yang pertama.
Kedatangan kami yang berjalan kaki dan tanpa kuda milik Sam
menimbulkan keheranan. Kami ditanyai sebab musababnya.
“Kami memburu bison dan kuda saya dirobek perutnya oleh seekor bison
jantan,” jawab Sam Hawkens.
“Berburu bison, bison, bison!” kata itu terdengar dari mulut semua orang.
“Di mana, di mana?”
“Hanya setengah jam dari sini. Kami membawa daging pinggang. Kalian bisa
mengambil sisanya.”
“Kami akan mengambilnya. Ya, kami ambil…,” seru Rattler. Dia
mengatakannya seolah-olah di antara dia dan saya tidak terjadi apa-apa.

5
tempat pengumpulan dan penyimpanan kulit sebelum diperjual-belikan
“Di mana tempatnya?”
“Kalian berkuda saja dan ikuti jejak kami. Pasti kalian akan menemukannya.
Kalian kan punya banyak mata, kalau saya tidak salah.”
“Berapa ekor tadi bisonnya?”
“Dua puluh.”
“Dan berapa yang Anda tembak?”
“Seekor betina.”
“Hanya itu? Yang lainnya ke mana?”
“Lari. Kalian bisa mencari bison-bison itu. Saya tidak ambil pusing, ke mana
mereka pergi, dan saya juga tidak bertanya pada binatang-binatang itu, hihihihi.”
“Tapi hanya seekor betina! Dua orang pemburu, dan dari dua puluh bison
hanya tertembak satu!” sela seseorang dengan nada yang menghina.
“Kalau Anda bisa, tembaklah lebih banyak, Sir! Sebenarnya Anda bisa
menembak semua binatang itu, bahkan lebih banyak lagi. Kalau kalian ke sana,
selain bison betina itu, masih ada dua bison jantan tua yang berhasil ditembak
gentleman muda ini.”
“Bison jantan. Yang sudah tua!” seru orang-orang di sekeliling. ”Menembak
bison jantan dua puluh tahunan, greenhorn macam mana yang melakukan
ketololan itu!”
“Demi saya, jangan kalian tertawakan dia, Mesch’schurs. Kalian lihatlah dulu
kedua bison jantan itu! Saya katakan pada kalian, bahwa dia melakukan itu untuk
menyelamatkan jiwa saya.”
“Jiwa? Mengapa?”
Mereka penasaran dan ingin mendengarkan cerita petualangan. Namun dia
tidak mau bercerita,
“Saya tidak mau bicara tentang itu sekarang. Biar dia sendiri yang cerita.
Kalau kalian pintar, ambillah dulu daging bison itu sebelum malam tiba.”
Dia benar. Matahari telah condong ke barat dan tidak lama lagi malam pasti
tiba. Karena selain itu juga mereka tahu, bahwa saya tidak akan mau cerita, maka
mereka pun naik ke atas kudanya masing-masing dan berangkat. Saya katakan
semuanya karena tak seorang pun mau tinggal. Mereka tidak saling percaya. Jika
hal itu terjadi pada para pemburu yang memiliki rasa setia kawan, binatang buruan
yang ditembak akan menjadi milik bersama. Tetapi semangat kebersamaan itu
tidak ada pada orang-orang ini. Ketika mereka kembali, saya mendengar betapa
buasnya mereka dalam menyerbu bangkai bison betina itu. Setiap orang berusaha
mendapatkan dagingnya sebanyak dan sebaik mungkin sambil cekcok dan
mengutuk.
Ketika berangkat, kami menurunkan daging pinggang dari pelana kuda saya
dan menuntun kuda itu ke tepi untuk melepas tali kekang dan mengikatnya pada
patok. Dalam pada itu, saya tenang saja. Karena itu Sam punya kesempatan untuk
menceritakan petualangan kami pada Parker dan Stone. Antara tempat saya dan
tempat mereka berdiri terhalang oleh tenda, sehingga mereka tidak melihat saya
ketika saya mendekat lagi ke arah mereka. Ketika saya hampir mencapai tenda itu,
saya mendengar Sam berbicara,
“Kalian dapat mempercayai saya, apa yang saya katakan ini benar. Pemuda
itu justru melawan bison jantan yang paling besar dan paling kuat. Dia
menembaknya sampai mati seperti pemburu bison senior dan berpengalaman!
Tentu saja, saya berpura-pura menganggap tindakannya itu ceroboh, dan tentu
saja saya memarahinya. Tapi saya tahu, bagaimana sebenarnya sikap saya
terhadap dia.”
“Saya juga,” sela Stone. “Dia akan menjadi westman yang tangkas.”
“Dan pasti tidak lama lagi,” saya mendengar Parker menukas.
“Yes,” kata Hawkens. “Tahukah kalian gents, dia berbakat untuk itu, terlahir
sebagai orang baik, westman sejati. Selain itu kekuatan tubuhnya! Bukankah
kemarin dia menyingkirkan kereta pedati itu sendirian tanpa bantuan orang lain! Di
mana ada dia, semuanya beres. Tapi maukah kalian berjanji satu hal pada saya?”
“Apa?” tanya Parker.
“Jangan sampai dia tahu, apa yang kita pikirkan tentang dia.”
“Mengapa tidak?”
“Karena dia bisa besar kepala.”
“Oh tidak!”
“Oh, iya! Dia pemuda yang sangat rendah hati dan sama sekali tidak
sombong. Tetapi memujinya tetap saja salah. Pujian dapat merusak karakter
terbaiknya. Kalian harus tetap saja menyebut dia greenhorn. Dia kan memang
greenhorn meskipun dia memiliki semua sifat yang harus dimiliki westman yang
tangkas, sifat-sifat itu belum terlatih. Dia masih harus banyak menimba
pengalaman dan berlatih.”
“Apakah kamu tidak berterima kasih padanya? Bukankah dia sudah
menyelamatkan jiwamu?”
“Saya tidak mau!”
“Apa kata dia nanti!”
“Saya tidak peduli, kalau saya tidak salah. Tentu saja dia akan menganggap
saya seorang bajingan yang tidak tahu berterima kasih. Tapi ini masalah lain.
Masalah utamanya adalah dia tidak boleh menjadi sombong. Dia harus tetap seperti
semula. Sebenarnya saya tadi ingin sekali memeluk dan menciumnya.”
“Fi!” seru Stone, “dicium oleh kamu? Mungkin kalau hanya dipeluk, orang
masih mau. Tapi kalau dicium pasti dia tidak mau!”
“Masa tidak mau? Mengapa?” tanya Sam.
“Mengapa? Apa kamu belum pernah bercermin atau melihat wajahmu yang
manis di dalam air yang jernih? Wajahmu, jenggotmu dan hidungmu! Wow, barang
siapa yang mau mendaratkan bibirnya di wajahmu, pasti dia sedang pusing tujuh
keliling atau otaknya tidak waras.”
“Ah, masa! Hm! Itu kedengarannya sangat ramah. Saya memang pria jelek.
Kamu sendiri bagaimana? Ganteng ya? Kamu juga tidak mau kan! Saya jamin
kalau kita berdua ikut lomba ketampanan, saya akan mendapatkan hadiah
pertama, sedangkan kamu tidak akan dapat hadiah, hihihihi! Tapi ini bukan topik
kita sekarang. Kita berbicara tentang greenhorn itu. Saya tidak berterima kasih
padanya dan tidak akan. Tapi, kalau daging pinggang itu sudah matang, dia harus
mendapat bagian yang paling baik dan gurih. Saya sendiri yang akan
memotongnya. Dia layak mendapatkan itu. Tahukah kalian, apa yang akan saya
lakukan besok?”
“Apa?” tanya Stone.
“Menyenangkan dia.”
“Dengan apa?”
“Dia boleh menangkap mustang.”
“Kamu mau berburu mustang?”
“Ya. Saya harus memiliki kuda baru. Saya pinjam kudamu untuk berburu.
Karena sekarang ini bison telah tampak, maka mustang pun akan datang. Saya
pikir, saya hanya perlu turun ke padang prairie tempat kita kemarin dulu mematok
dan mengukur rel kereta. Di sana pasti ada mustang, segera setelah kuda-kuda liar
itu sampai di kawasan ini.”
Saya tidak terus nguping, tapi kembali melalui semak belukar untuk
menghampiri ketiga pemburu itu dari sisi lain. Mereka tidak boleh tahu, bahwa saya
tadi mendengar apa yang tidak seharusnya saya dengar.
Api dinyalakan. Pada kedua sisi perapian itu ditancapkan dua buah ranting
bercabang. Kedua ranting itu kuat dan keras sehingga bisa digunakan sebagai tiang
penyangga untuk memanggang daging. Ketiga pemburu itu mempersembahkan
seluruh daging pinggang pada saya dan mulailah Sam Hawkens membolak-balik
tusukan-tusukan itu perlahan-lahan dengan trampil. Wajahnya yang nampak
sangat bahagia secara diam-diam membuat saya senang.
Ketika yang lain kembali dengan membawa daging, mereka menyalakan api
seperti kami. Tentunya mereka tidak tenang dan rukun seperti kami. Karena setiap
orang ingin memanggang daging untuk dirinya sendiri, sehingga tempatnya
menjadi tidak cukup, dan akibatnya mereka memakan porsinya setengah matang.
Saya benar-benar mendapat bagian yang paling bagus, beratnya kira-kira
satu setengah kilogram dan saya makan sampai habis. Meskipun begitu orang tidak
menganggap saya rakus. Sebaliknya saya selalu makan lebih sedikit daripada yang
lain yang berada dalam kondisi seperti saya. Tapi bagi seseorang yang tidak tahu
atau tidak mengalami sendiri dan tidak ikut serta, hampir tidak bisa dipercaya
bahwa seorang westman harus makan banyak daging kalau dia ingin bertahan
hidup.
Manusia memerlukan sejumlah putih telur dan karbohidrat selain zat-zat
lainnya yang diperlukan tubuh. Keduanya harus disediakan dalam komposisi yang
benar, kalau dia hidup di daerah yang beradab. Westman yang berbulan-bulan
lamanya keluar masuk daerah yang tidak berpenghuni, hidupnya hanya dari daging
yang hanya sedikit mengandung karbohidrat. Karena itu dia harus makan dengan
porsi besar untuk memberi sejumlah karbohidrat yang diperlukan oleh tubuhnya.
Baginya tidak ada pengaruhnya jika dia makan banyak putih telur walaupun tidak
sehat. Saya pernah lihat seorang pemburu makan empat kilogram daging
sekaligus, dan ketika saya tanya dia, apakah dia kenyang, dia menjawab sambil
tersenyum. Seharusnya begitu, karena saya sudah tidak punya lagi. Kalau Anda
mau memberi saya sebagian dari punya Anda, maka saya akan segera
menyikatnya sampai habis.
Selama makan para westman itu berbincang-bincang tentang perburuan
bison tadi. Sebagaimana yang saya dengar, ketika mereka melihat kedua bison
jantan itu, mereka menganggap saya telah bertindak bodoh.
Keesokan harinya saya berpura-pura akan pergi bekerja. Sam datang
menghampiri saya dan berkata,
“Simpan saja peralatan Anda, Sir. Ada sesuatu yang lebih menarik untuk
dikerjakan.”
“Apa?”
“Anda akan tahu nanti. Siapkanlah kuda Anda. Kita pergi berkuda.”
“Jalan-jalan? Pekerjaan di sana harus didahulukan!”
“Pshaw! Anda sudah membanting tulang. Selain itu, saya kira kita sudah
akan kembali siang hari. Setelah itu Anda mengukur dan menghitung sesuka hati
Anda.”
Saya melapor dulu kepada Bancroft dan kemudian berangkat. Di perjalanan
Sam berperilaku sangat misterius, dan saya pun tidak mengatakan padanya, bahwa
saya sudah tahu tujuannya. Perjalanan ditempuh melalui lintasan yang sudah kami
ukur sampai di padang prairie yang telah ditandai Sam kemarin.
Prairie itu lebarnya kira-kira tiga kilometer, panjangnya dua kali lipat dan
dikelilingi bukit yang berhutan lebat. Karena dilalui aliran sungai yang agak besar,
udaranya cukup lembab dan karena itu di sana tumbuh rerumputan dengan subur.
Di sebelah utara orang bisa mencapai padang prairie ini diapit di antara dua
gunung, dan di sebelah selatan hamparan prairie berbatasan dengan sebuah
lembah yang menuju ke sini. Ketika kami tiba di sana, Hawkens berhenti dan
memperhatikan dataran dengan pandangan menyelidik. Kemudian kami berkuda
lagi ke arah utara di tepi sungai kecil itu. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan,
mengekang kudanya yang tentu saja bukan miliknya melainkan pinjaman,
kemudian turun dan melompati sungai kecil itu dan pergi ke suatu tempat yang
rumputnya sudah terinjak orang. Dia memeriksa daerah itu kemudian kembali lagi,
dan naik lagi ke atas pelana, lalu berpacu lagi, namun tidak ke arah utara seperti
sebelumnya, melainkan ke arah kanan, sehingga kami mencapai tepi barat prairie
beberapa saat setelahnya. Di sini dia turun lagi dan membiarkan kudanya
merumput, tapi dia mengikatnya dengan seksama. Sejak memeriksa jejak itu, dia
tidak berbicara sepatah kata pun. Namun pada wajahnya yang berjenggot
terpancar kesan puas seperti sinar matahari di atas hutan yang lebat. Sekarang dia
memerintah saya,
“Turunlah Sir, dan ikatlah kuda Anda itu kuat-kuat! Kita akan menunggu di
sini.”
“Mengapa harus diikat kuat-kuat?” tanya saya, meski saya tahu baik
alasannya.
“Karena kalau tidak, kuda Anda bisa hilang. Saya telah melihat berkali-kali,
bahwa pada kesempatan seperti ini kuda akan melarikan diri.”
“Kesempatan yang bagaimana?”
“Apa Anda tidak tahu?”
“Hm!”
“Cobalah tebak!”
“Mustang?”
“Hei, kok tahu?” tanya dia sambil memandang saya dengan kagum.
“Karena itu sudah saya baca.”
“Apa?”
“Bahwa kuda yang patuh akan melarikan diri bersama dengan mustang liar,
jika mereka tidak kita ikat kuat-kuat.”
“Persetan dengan Anda! Anda sudah membaca semuanya dan karena itu
tidak mungkin orang memberi kejutan pada Anda. Saya lebih menyukai orang yang
tidak bisa membaca.”
“Apakah Anda mau memberi saya kejutan?”
“Tentu saja.”
“Dengan berburu mustang?”
“Ya.”
“Ini pasti mustahil. Kalau kejutan, mana mungkin diberitahukan
sebelumnya. Anda tidak boleh memberitahu saya sebelum kuda-kuda itu datang.”
“Benar, hm! Dengarlah, mustang-mustang itu tadi di sini.”
“Apakah sebelumnya ada jejak?”
“Ya, kemarin mereka lewat sini. Tahukah Anda, mereka itu pasukan garis
depan, semacam pengintai. Saya harus katakan pada Anda, bahwa binatang-
binatang itu sangat cerdik. Mereka selalu mengirimkan kelompok kecil lebih dulu ke
muka dan ke samping. Mereka memiliki opsir seperti militer, dan komandan
utamanya selalu mustang jantan yang berpengalaman, kuat dan gagah berani.
Kalau mereka ingin merumput atau bergerak, sisi kiri kanannya selalu dikawal oleh
mustang jantan. Kemudian diikuti mustang betina, dan di tengah-tengah anak-
anaknya. Formasi diatur begitu agar kuda-kuda jantan dapat melindungi kuda
betina dan anak-anaknya. Saya sudah sering menjelaskan, bagaimana orang
menangkap mustang dengan lasso. Apakah Anda sudah paham?”
“Tentu saja.”
“Anda mau menangkap seekor mustang?”
“Ya.”
“Anda punya kesempatan untuk itu pagi ini, Sir.”
“Terima kasih! Kesempatan itu tidak akan saya manfaatkan.”
“Tidak? All devils! Mengapa tidak?”
“Karena saya tidak memerlukan kuda.”
“Tapi, seorang westman tidak bertanya, apa dia memerlukan seekor kuda
atau tidak.”
“Kalau begitu westman tidak seperti yang diceritakan orang.”
“Seperti apa memangnya?”
“Anda kemarin berbicara tentang pemburu gila-gilaan, tentang orang
kulitputih yang membunuh bison secara massal, tanpa memanfaatkan dagingnya.
Saya anggap itu sebuah dosa terhadap binatang dan terhadap orang kulitmerah
yang dirampok rezekinya. Anda juga begitu kan?”
“Tentu saja!”
“Justru begitu juga dengan kuda-kuda itu. Saya tidak mau merampok
kebebasan mustang-mustang yang elok itu.”
“Itu pikiran yang baik, Sir, sangat baik. Setiap manusia dan orang Kristiani
justru harus berpikir, berbicara dan bertindak seperti yang Anda pikirkan dan
bicarakan. Tapi siapa bilang, Anda akan merampok kebebasan seekor mustang?
Saya telah melatih Anda melempar lasso dan Anda harus mencobanya. Saya ingin
melihat, apa Anda lulus ujian. Paham?”
“Itu lain. Ya, kalau begitu saya ikut.”
“Baiklah! Bagi saya hal itu sangat serius tentunya. Saya perlu seekor kuda
dan akan menangkap satu ekor. Sudah sering saya katakan dan sekarang sekali
lagi saya katakan: Anda harus duduk tegak di atas pelana, dan segera tekan kuda
Anda sekuat tenaga pada saat Anda melempar lasso. Kalau tidak, kuda Anda akan
lari dan Anda akan terpelanting dan terseret. Kalau demikian, Anda nanti akan
kehilangan kuda dan menjadi prajurit pejalan kaki seperti saya sekarang.”
Dia ingin terus bicara, tapi berhenti dan menunjuk dengan tangannya ke
kedua gunung yang telah disebutkan, di prairie sebelah utara. Di sana muncul
seekor kuda, hanya seekor. Kuda itu berlari pelan ke arah kami tanpa merumput.
Ia menggerakkan kepalanya dengan cepat ke segala arah dan menghirup udara
melalui lubang hidungnya.
“Anda lihat itu?” bisik Sam, karena tegang dia bicara pelan-pelan padahal
kuda itu tidak mungkin dapat mendengar suara kami.
“Benar bukan kata saya, mereka datang! Yang di depan itu pengintai, ia
memeriksa, apakah daerah ini aman. Ia seekor kuda jantan yang cerdik. Alangkah
gesitnya, ia memandang ke segala arah, dan kemudian berputar! Ia tidak melihat
kita, karena angin bertiup dari depan kita. Karena itu saya memilih tempat ini.”
Sekarang mustang itu berlari kencang, kadang lurus, kadang ke kanan atau
ke kiri, dan akhirnya berbalik ke arah asalnya dan menghilang di sana, di tempat ia
pertama kali muncul.
“Apakah Anda memperhatikan kuda itu?” tanya Sam. “Alangkah cerdik
tingkah lakunya dan tindakannya menggunakan setiap semak-semak untuk
melindungi dirinya agar tidak terlihat! Seorang pengintai Indian belum tentu bisa
melakukannya dengan lebih baik.”
“Itu benar. Saya sangat terpesona.”
“Sekarang ia kembali untuk melapor pada jendralnya, bahwa keadaan
aman. Tapi mereka pasti kecewa, hihihihi! Saya berani bertaruh, paling tidak
sepuluh menit lagi mereka akan datang. Anda tahu, bagaimana kita akan
melakukannya?”
“Bagaimana?”
“Sekarang bergegaslah kembali ke jalan keluar padang prairie ini dan
tetaplah di sana. Saya akan turun ke dekat jalan masuk dan bersembunyi di hutan
sana. Kalau kawanan kuda itu datang, akan saya biarkan mereka lewat dan
kemudian mengikuti di belakangnya. Mereka akan lari ke arah Anda. Kalau mereka
melihat Anda mereka akan berbalik arah. Jadi kita giring mereka ke arah Anda dan
ke arah saya, sampai kita bisa memilih dua kuda yang akan kita tangkap.
Kemudian akan saya pilih lagi yang paling baik, sementara kuda yang satunya lagi
kita biarkan saja lari. Anda setuju?”
“Kenapa Anda bertanya seperti itu? Saya tidak mengerti sama sekali tentang
perburuan kuda. Andalah ahlinya, jadi saya harus mengikuti perintah Anda.”
“Well, Anda benar. Saya sudah menaklukkan beberapa mustang liar dan
dapat mengatakan bahwa Anda tidak berkata bodoh dengan menyebut saya
seorang ‘master’. Jadi bergegaslah, kalau tidak kita akan terlambat dan kehilangan
kesempatan.”
Kami naik lagi ke atas pelana dan berpisah menuju tempat masing-masing.
Dia ke utara dan saya ke selatan, sampai pada tempat kami memasuki prairie tadi.
Karena senjata saya, si Pembunuh Beruang yang berat itu menghambat perjalanan
kami, hampir saja saya melepaskannya. Tapi saya pernah membaca dan
mendengar, bahwa westman yang hati-hati hanya berpisah dengan senjatanya
kalau dia tahu pasti bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dan senjata itu tidak
diperlukan. Tapi kasus di sini lain, setiap saat orang Indian atau binatang buas bisa
muncul. Karena itu, saya berusaha agar senjata tua itu tergantung rapat pada
sarungnya di pelana dan tidak memukul paha saya.
Kemudian dengan tegang saya menunggu munculnya kuda-kuda itu. Saya
berhenti di antara pepohonan yang paling depan di hutan yang berbatasan dengan
prairie itu dan mengikatkan salah satu ujung lasso pada kancing pelana kuat-kuat
serta menggulung simpulnya di depan badan sehingga siap untuk dipakai.
Ujung bagian bawah prairie itu begitu jauh dari saya, sehingga saya tidak
bisa melihat mustang-mustang itu kalau mereka datang. Mereka baru akan
kelihatan kalau Sam menggiringnya. Belum sampai seperempat jam saya di tempat
itu, saya melihat sejumlah titik hitam di bawah sana. Titik-titik hitam itu dengan
cepat menjadi besar karena mereka bergerak ke arah saya. Pertama-tama sebesar
burung pipit, kemudian sebesar kucing, anjing, kambing, sampai mereka begitu
dekat dan tampak sebesar aslinya. Mereka adalah sekelompok mustang yang
sedang digiring Sam ke arah saya.
Cantik nian pemandangan binatang-binatang itu! Surai mereka melambai-
lambai menutupi lehernya dan ekornya beterbangan seperti bulu-bulu halus yang
tertiup angin. Jumlahnya tidak lebih dari tiga ratus ekor. Rasanya bumi berguncang
karena derap kaki mereka. Seekor kuda jantan putih berlari sendirian di depan,
alangkah anggunnya binatang itu. Sebenarnya orang pasti ingin menangkapnya.
Tapi tidak ada pemburu prairie yang mau menunggangi seekor kuda putih.
Binatang berwarna terang seperti itu mudah terlihat keberadaannya oleh musuh
dari kejauhan.
Kini sudah waktunya untuk menunjukkan diri saya kepada kuda-kuda itu.
Saya keluar dari balik pepohonan itu dengan sembarangan dan pengaruhnya begitu
langsung terlihat. Kuda putih yang memimpin barisan langsung berbalik seolah-
olah perutnya tertembak peluru. Kawanan hewan itu berhenti tiba-tiba. Mereka
mendengus keras ketakutan. Seolah-olah mereka diperintahkan untuk mundur.
Kemudian mereka berlari ke arah mereka datang. Kuda putih kembali berada di
depan.
Saya mengikuti mereka perlahan-lahan. Saya tidak terburu-buru karena
saya yakin, bahwa Sam Hawkens akan menggiringnya lagi ke arah saya. Pada saat
itu saya mencoba mempersiapkan suatu hal yang terbersit dalam benak saya.
Meskipun kuda-kuda itu hanya sebentar saja berhenti di depan saya, saya
mendapat kesan bahwa satu diantara hewan-hewan itu seperti bukan kuda. Ia lebih
mirip seekor bagal6. Mungkin saja saya keliru, tapi saya yakin apa yang saya lihat
itu benar. Pada kesempatan kedua saya ingin melihat lebih jelas lagi. Bagal itu
berada di urutan paling depan, tepat di belakang komandannya. Jadi, ia tidak
hanya diakui sebagai binatang sejenis oleh kuda-kuda itu, tetapi juga memiliki
kedudukan penting di antara mereka.
Setelah beberapa saat kawanan kuda itu kembali ke arah saya dan ketika
melihat saya, mereka segera berbalik lagi. Kemudian kembali lagi dan ketika itu
saya tahu, bahwa saya tidak keliru. Memang ada seekor bagal di antara mereka
yang berwarna coklat muda dengan garis punggung gelap yang sangat
mengesankan. Meskipun kepalanya besar dan telinganya panjang ia seekor
binatang yang cantik. Bagal lebih kuat daripada kuda biasa, memiliki langkah yang
lebih mantap dan tidak takut melihat jurang. Itulah kelebihan-kelebihan yang

6
Blasteran kuda dengan keledai.
menonjol. Tentu saja mereka juga keras kepala. Saya pernah melihat bagal yang
lebih suka dipukuli sampai mati, ketimbang maju selangkah pun. Meskipun
pemiliknya tidak memuat apa pun di atasnya dan jalannya baik, ia tetap tidak mau,
semata karena memang tidak mau.
Sejauh yang saya lihat sepintas, mata bagal itu seolah-olah bersinar dan
pandangannya lebih cerdik daripada kuda biasa, sehingga saya berniat
menangkapnya. Nampaknya ia melarikan diri dari pemiliknya, ketika dia diajak
berburu mustang, dan sekarang dia bergabung bersama kawanan mustang yang
lain.”
Sekarang kawanan itu digiring Sam ke arah saya. Kami saling berdekatan
sehingga saya bisa melihatnya. Kini mustang-mustang itu tidak bisa maju atau pun
mundur. Mereka berlarian ke tepi dan kami mengikutinya. Kawanan itu tercerai-
berai. Saya lihat kuda peranakan itu tetap berada di kelompoknya. Sekarang ia
berlari ke arah kuda putih. Benar-benar binatang yang luar biasa cepat dan
mempunyai stamina yang tangguh. Saya tetap berada pada kawanan ini sementara
Sam tampaknya demikian pula.
“Giring ke tengah, saya ke kiri, Anda ke kanan!” serunya kepada saya.
Kami memacu kuda-kuda kami, tidak lagi hanya menyejajari kawanan
mustang itu, akan tetapi lebih tepat mendekati sehingga kami dapat mengejar
sebelum mereka mencapai hutan. Mereka ternyata tidak berlari ke arah sana.
Mereka berbalik dan akan melewati kami. Untuk menghindarinya kami segera
mengejarnya, sehingga mereka terpencar ke segala arah seperti sekawanan ayam
yang akan tertangkap elang. Kuda putih dan bagal keluar terpisah dari
kelompoknya dan melewati kami. Kami mengejarnya. Karena itu Sam berteriak
kepada saya sambil memutar tali lassonya di atas kepala,
“Lagi-lagi greenhorn! Tetaplah di tempat!”
“Kenapa?”
“Karena Anda memburu kuda putih dan hanya greenhornlah yang
melakukannya, hihihihi!”
Saya menjawabnya, tetapi dia tidak mendengar karena suara tawanya yang
keras mengatasi suara saya, sehingga dia beranggapan saya memperhatikan kuda
putih. Terserahlah! Saya biarkan dia mengejar bagal itu dan berbelok ke arah
mustang yang ketakutan. Para mustang itu mendengus dan meringkik tidak teratur
serta berlari ke sana ke mari. Sam telah berada di dekat bagal itu. Kemudian dia
melemparkan tali lassonya. Tali simpul jatuh tepat pada leher binatang itu. Kini
Sam harus menahannya dan mengekang kudanya ke belakang. Dia selalu
menganjurkan hal itu kepada saya agar dapat menahan tarikannya jika tali lasso
itu mengencang. Dia melakukannya juga, tetapi agak terlambat. Kudanya belum
berbalik dan belum dikekang sekuat tenaga, sehingga dia dijatuhkan oleh sentakan
keras kuda itu. Sam Hawkens terpelanting ke udara dan salto dengan indahnya
serta jatuh di tanah. Kuda itu kembali bangkit dan terus berlari, sehingga tali lasso
tidak lagi kencang. Si bagal tertegun, merasa tidak lagi terikat kencang dan
langsung lari melintasi padang prairie dengan menyeret kuda itu, karena tali lasso
masih terikat pada pelana.
Saya bergegas menghampiri Sam untuk melihat apakah dia terluka. Dia
bangkit dan berteriak terkejut,
“Sialan! Tiba-tiba kuda Dick Stone kabur bersama-sama dengan bagal itu,
kalau saya tak salah.”
“Apakah Anda terluka?”
“Tidak, cepatlah turun dan serahkan kuda itu kepada saya. Saya harus
menangkapnya!”
“Untuk apa?”
“Tentu saja saya ingin menangkap keduanya. Ayo cepat turun!”
“Saya tidak mau! Anda nanti salto lagi dan kedua kuda itu bisa hilang!”
Selesai mengucapkan kalimat itu, saya pun memacu kuda saya mengikuti
bagal. Kedua binatang itu sudah jauh tetapi sekarang mereka menghadapi
masalah. Kedua binatang itu ingin berlari ke arah yang berlainan. Sementara
keduanya saling terikat oleh tali lasso. Karena itu saya mendekati keduanya. Tidak
ada gunanya jika saya menggunakan lasso. Saya tarik tali lasso yang mengikat
keduanya, menggulungnya dan sekarang sudah aman untuk mengikat keduanya.
Pertama-tama saya biarkan keduanya berlari dan berguling-guling kemudian
perlahan-lahan menarik talinya sekuat tenaga, sehingga jeratnya semakin pendek
dan lebih mudah menjeratnya. Saya ikuti terus arah lari kuda itu, sehingga
binatang itu kembali ke arah Sam Hawkens berdiri. Di sana saya kencangkan tali
kekang dengan tiba-tiba, sehingga bagal itu terikat, tidak bisa bernafas dan jatuh
ke tanah.
“Pegang erat-erat sampai saya memegang binatang ini dan baru biarkan dia
lepas,” seru Sam.
Dia melangkah ke atas binatang yang walaupun tergeletak di atas tanah,
kaki-kakinya menendang-nendang dengan keras.
“Sekarang!” katanya.
Saya melepaskan tali lasso dan binatang itu kembali bisa bernapas dan
melompat. Secepat itu pula Sam melompat ke punggungnya. Beberapa saat
binatang itu tidak bergerak seperti terkejut takut. Namun, kemudian ia melompat
ke atas, sebentar ke depan sebentar ke belakang, kemudian melompat ke samping
dengan ke empat kakinya, melengkungkan badannya, tetapi si Sam kecil tetap
duduk di atasnya.
“Saya tidak akan dijatuhkan,” serunya.
“Ini adalah gerakan terakhirnya, dan dia akan berlari lagi. Lihat saja, saya
akan membawa kuda itu pulang dalam keadaan jinak!”
Tetapi dia keliru. Binatang itu sama sekali tidak mau takluk padanya,
bahkan tiba-tiba menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-guling. Bagal itu bisa
mematahkan tulang rusuk si Sam kecil. Dia harus turun dari pelana. Saya
melompat dari tempat saya dan menangkap tali lasso yang terseret di tanah dan
melilitkannya dua kali ke akar sebuah pohon yang kuat. Binatang itu melemparkan
penunggangnya dan melompat. Ia hendak menerjang, tetapi akar pohon itu
menahannya. Tali lasso menjadi kencang dan ikatannya semakin menegang.
Akhirnya si bagal itu tersungkur.
Sam Hawkens kembali menepi. Dia meraba tulang rusuk dan pahanya.
Dengan wajah menyeringai kesakitan dia berkata,
“Biarkan binatang buas itu lari. Tak seorang pun bisa menaklukkannya,
kalau saya tidak salah.”
“Belum tentu! Saya tidak mau dipermalukan oleh seekor kuda yang ayahnya
bukanlah seorang gentleman melainkan hanya seekor keledai. Dia harus taat.
Awas!”
Saya buka ikatan tali lasso dari akar pohon dan dengan langkah lebar
melompat ke binatang itu. Begitu ia bisa lega bernafas, ia pun melompat. Sekarang
saya tekan bagal itu dengan paha dan untuk hal ini posisi saya lebih baik daripada
Sam yang kecil. Rusuk kuda itu akan melengkung apabila dijepit dengan kedua
paha penunggangnya. Hal itu akan menekan ususnya dan membuatnya takut
mati. Bisa jadi ia akan melemparkan saya dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan terhadap Sam, karena itu saya pegang tali lasso yang melingkari
kepalanya, menggulungnya dan menariknya tepat di belakang simpulnya. Ketika
binatang itu mau menjatuhkan diri lagi, saya menekan pahanya sehingga ia tidak
jadi melakukannya. Ini sungguh merupakan perjuangan yang menjengkelkan,
kekuatan lawan kekuatan. Saya mulai bersimbah peluh, tetapi binatang itu juga
berkeringat lebih banyak. Peluh mengalir dari badannya dan mulutnya
mengeluarkan busa. Gerakannya makin melemah dan makin tidak berdaya. Setelah
dengusannya yang marah diikuti oleh ringkikan pendek, akhirnya kuda itu roboh di
bawah kaki saya, tanpa bisa berbuat apa-apa, karena ia sudah tidak bertenaga lagi.
Tanpa bergerak sedikit pun ia berbaring dengan mata yang terbelalak. Saya
menarik napas dalam-dalam. Pada saat itu serasa tulang dan otot di tubuh saya
putus.
“Heavens, Anda ini manusia atau bukan!” seru Sam. “Tenaga Anda lebih
kuat dari pada binatang itu! Lihatlah wajah Anda, begitu menakutkan!”
“Saya tahu.”
“Mata Anda keluar, bibir Anda bengkak dan pipi Anda benar-benar
membiru!”
“Itu karena seorang greenhorn tidak mau dilemparkan, padahal seorang
pemburu mustang yang lebih pandai dikalahkan, setelah sebelumnya dia mengikat
kudanya ke bagal dan membiarkan keduanya berlari bersama-sama.”
Wajahnya semakin menyeringai dan memohon dengan suara yang
menyedihkan.
“Diam, Sir! Saya jelaskan, hal seperti itu bisa saja terjadi pada pemburu
ulung.”
“Bagaimana tulang rusuk dan mata kaki Anda?”
“Saya tidak tahu. Nanti akan saya periksa setelah keadaan saya membaik.
Sekarang seluruh tubuh saya gemetar. Dasar binatang liar, saya belum pernah
merasakan seperti ini sebelumnya. Saya harap binatang ini bisa tenang!”
“Dia sudah tenang. Lihat, betapa letihnya dia, begitu pasrah seperti minta
dikasihani. Maukah Anda menaikkan pelana dan mengikatkan tali kekangnya?
Tunggangilah kuda itu pulang!”
“Kalau begitu nanti ia bertingkah lagi!”
“Tidak akan! Dia sudah bosan. Binatang yang cerdas dan Anda akan mujur
memilikinya.”
“Saya kira. Tetapi dari awal saya sudah mengincar kuda itu. Anehnya Anda
justru mengincar kuda putih itu. Tentu hal itu suatu kekeliruan besar.”
“Anda tahu pasti?”
“Tentu saja itu suatu kebodohan!”
“Bukan begitu maksud saya. Anda yakin saya mengincar kuda putih?”
“Jadi mengincar kuda yang mana?”
“Mengincar bagal.”
“Benar?”
“Ya, walau saya seorang greenhorn tentu saya tahu bahwa kuda putih tidak
cocok untuk penunggang kuda di daerah Barat. Saya langsung tertarik pada bagal
itu begitu melihatnya.”
“Ya, Anda memiliki pengertian tentang kuda, orang harus mengakuinya.”
“Sam yang baik, saya ingin akal saya sebaik Anda juga! Sekarang ke
marilah, tolong saya mengangkat binatang ini!”
Kami menarik binatang itu ke atas. Ia diam saja dan seluruh tubuhnya
gemetar. Bahkan ketika kami mengikatkan pelana dan tali kekang, ia tidak
melawan. Ketika Sam menaikinya, ia menurut dan begitu jinak seperti seekor kuda
tunggangan.
“Ia sudah pernah dipelihara,” kata si Sam kecil .
“Yang pasti seorang penunggang yang baik. Saya kira begitu. Ia mungkin
lari dari tuannya. Tahukah Anda nama apa yang akan saya berikan?”
“Apa?”
“Mary. Dulu saya pernah menunggangi seekor bagal yang bernama Mary
dan sekarang saya tidak perlu susah-susah mencari nama lain.”
“Jadi kuda bernama Mary dan senapan bernama Liddy!”
“Ya. Dua nama yang manis sekali, bukan? Sekarang saya minta Anda untuk
membantu saya.”
“Tentu saja, apa yang bisa saya bantu?”
“Jangan ceritakan tentang semua yang telah terjadi di sini! Saya akan
sangat berterima kasih kepada Anda.”
“Lupakan! Anda tidak perlu berterimakasih untuk hal itu.”
“Tentu saja. Saya tidak ingin mendengar teman-teman Anda di perkemahan
sana tertawa, jika mereka mengetahui bagaimana Sam Hawkens bisa mendapatkan
Mary, kuda barunya. Baginya hal itu merupakan kebahagiaan yang sangat besar.
Jika Anda tutup mulut, maka saya akan …”
“Tenanglah,” potong saya. “Kita tidak perlu membicarakan hal itu. Anda
adalah guru saya dan teman saya. Selain itu saya tidak perlu mengatakan apa-
apa.”
Pada saat itu matanya yang kecil dan cerdik menjadi berkaca-kaca dan dia
berkata dengan semangat,
“Ya, saya teman Anda, Sir. Seandainya saya tahu bahwa Anda juga
menyayangi saya, hati saya sangat bahagia sekali.”
Saya raih tangannya dan menjawab,
“Saya bisa membahagiakan Anda, Sam tersayang. Anda harus yakin bahwa
saya menyayangi Anda, begitu sayang, seperti… seperti. Ya, kira-kira seperti
mencintai pamannya yang baik, berani dan jujur. Puas?”
“Puas, puas sekali, Sir! Saya sangat terharu, karena Anda bersedia
berkorban untuk kebahagiaan saya. Katakanlah, apa yang sebaiknya saya lakukan!
Haruskah saya, haruskah saya, misalnya melahap habis Mary sampai kulit dan
rambutnya di sini? Atau haruskah saya membiarkan diri dihancurkan, dilumatkan
atau menelan diri sendiri, jika itu lebih baik bagi Anda? Atau haruskah saya ……”
“Stop!” jawab saya sambil tertawa. “Jika keduanya dilakukan saya akan
kehilangan Anda karena di satu pihak Anda akan meledak dan di pihak lain Anda
akan sama hancur karena Anda harus menelan rambut palsu Anda. Anda sudah
menyenangkan saya dan Anda akan membuktikan rasa sayang ini semaksimal
mungkin kepada saya. Jadi biarkanlah untuk sementara Mary dan Anda sendiri
tetap hidup dan anggaplah bahwa kita akan segera sampai di perkemahan. Saya
mau bekerja.”
“Kerja! Disini Anda juga kerja. Jika ini bukan pekerjaan, saya tidak tahu lagi
apa yang harus saya sebut dengan pekerjaan.”
Saya ikat kuda Dick Stone dengan tali kekang ke kuda saya, kemudian
melanjutkan perjalanan. Sementara itu kawanan mustang sudah lama melarikan
diri. Bagal itu menurut saja keinginan penunggangnya. Sepanjang jalan Sam
berkali-kali berseru gembira,
“Dia sudah terlatih. Mary sudah terlatih dengan baik! Pada setiap
langkahnya, saya merasa betapa sempurnanya kuda itu adanya. Kuda itu
mengingat apa yang pernah dilatihkan dan ia telah melupakan keberadaannya
bersama kawanan mustang lain. Mudah-mudahan ia tidak lagi pemarah, melainkan
juga mempunyai karakter yang baik.”
“Jika tidak, dia masih bisa Anda latih, dia masih belum tua untuk dilatih.”
“Menurut Anda, berapa umurnya?”
“Lima tahun, tidak lebih.”
“Menurut saya juga begitu. Nanti akan saya selidiki lebih teliti apakah hal itu
benar. Seandainya binatang bisa mengucapkan terima kasih, maka Andalah yang
dituju. Dua hari yang melelahkan bagi saya, sangat menegangkan. Tetapi bagi
Anda penuh kehormatan. Apakah Anda yakin bahwa kita bisa berburu bison dan
mustang dalam waktu yang hampir bersamaan?”
“Mengapa tidak? Di darat sini semuanya harus ditangkap. Saya juga
berharap mengenal perburuan lainnya.”
“Hm, ya. Saya ingin Anda terhindar dari bahaya seperti kemarin dan hari ini.
Bahkan kemarin hidup Anda sudah di ujung tanduk. Terlalu berani. Anda tidak
boleh lupa bahwa Anda adalah seorang greenhorn. Anda biarkan bison mendekati
dan dengan tenang Anda tembak matanya! Ah, mengerikan! Anda masih belum
berpengalaman dan telah menyepelekan bison. Lain kali Anda harus lebih berhati-
hati dan jangan terlalu percaya diri. Perburuan bison sangat berbahaya. Masih ada
satu lagi yang lebih berbahaya.”
“Apa itu?”
“Berburu beruang.”
“Tentu beruang yang Anda maksud bukan beruang hitam dengan moncong
kuning?”
“Baribal7? Bukan itu yang saya maksudkan! Itu binatang yang sopan dan
jinak, sehingga orang bisa memeliharanya dan mengajarinya di rumah. Bukan,
yang saya maksud grizzly, beruang kelabu dari Rocky Mountains. Karena Anda
sering membaca, pernahkah Anda membaca tentang grizzly?”
“Ya.”
“Bersyukurlah jika Anda tidak pernah melihatnya. Jika ia berdiri, tingginya
semeter lebih tinggi daripada Anda. Dengan satu kali gigitan, kepala Anda sudah
remuk dan jika sekali waktu ia diserang atau sedang marah, ia tidak akan tenang
sampai musuhnya hancur dan dikalahkan.”
“Atau mengalahkan dia!”
“Oh, lihatlah, Anda sudah kembali ceroboh! Anda berbicara seolah-olah
beruang kelabu yang perkasa dan tidak terkalahkan seperti membicarakan racoon
yang tidak berbahaya.”
“Bukan begitu. Saya bukan menyepelekannya. Tetapi kata tidak terkalahkan
seperti yang Anda katakan tadi, juga tidak benar. Tak ada seekor binatang buas
pun yang tak terkalahkan, tidak juga seekor grizzly.”
“Apakah Anda juga membaca tentang hal itu?”
“Ya.”
“Kalau begitu, buku-buku itulah yang membuat Anda ceroboh, meskipun
sebenarnya Anda orang yang pandai, kalau saya tidak salah. Barangkali Anda tidak
akan ragu-ragu dan akan mendekati beruang kelabu seperti cara yang Anda
lakukan terhadap bison kemarin.”
“Kalau tidak ada pilihan lain, tentu saja.”
“Tidak ada pilihan lain! Omong kosong! Apa maksud Anda? Setiap orang bisa
berubah haluan jika dia mau!”
“Itu artinya, seseorang bisa kabur kalau dia pengecut. Apakah begitu?”
“Ya, tetapi namanya bukan pengecut. Melarikan diri dari beruang kelabu
bukanlah perbuatan pengecut. Sebaliknya menyerangnya merupakan tindakan
bunuh diri!”
“Itu soal pendapat! Jika saya diserang tiba-tiba dan tidak sempat lari, maka
saya akan mempertahankan diri. Jika teman saya diserang, maka kewajiban saya

7
Beruang berkulit coklat atau gelap di Amerika Utara yang asalnya tidak diketahui.
menolongnya. Itulah dua alasan yang memaksa saya untuk tidak kabur. Selain itu
saya juga tahu, seorang pemburu yang berani suatu saat akan menaklukkan
binatang liar itu, agar dapat membuktikan betapa besar keberaniannya dan untuk
mencoba lezatnya daging cakar beruang.”
“Anda benar-benar sulit diberi nasihat. Mudah-mudahan Tuhan tidak pernah
memberikan kesempatan kepada Anda untuk menikmati dagingnya meskipun saya
akui, bahwa di dunia ini tidak ada makanan seenak daging beruang kelabu.”
“Saya kira Anda tidak usah khawatir. Memangnya di daerah ini ada beruang
kelabu?”
“Mengapa tidak? Grizzly terdapat di mana-mana. Ia berjalan mengikuti arus
sungai dan bahkan berkeliaran di daerah prairie. Sungguh siallah nasib mereka
yang bertemu beruang itu. Sudah, jangan membicarakan itu lagi!”
Sungguh tidak kami duga, tema pembicaraan itu keesokan harinya menjadi
kenyataan dan kami bertemu binatang buas itu. Tidak ada kesempatan untuk
melanjutkan pembicaraan, karena kami telah sampai di perkemahan. Rute jalan
kereta agak berubah, karena selama kami tidak ada, ada kesalahan dalam
pengukuran. Bancroft dan tiga orang surveyor telah bekerja keras untuk
menunjukkan apa yang bisa dikerjakannya. Kedatangan kami menarik perhatian.
“Bagal, bagal!” teriak mereka.
“Dari mana Anda memperolehnya, Hawkens?”
“Baru saja dikirim,” jawabnya dengan serius.
“Tidak mungkin! Dari siapa, dari siapa?”
“Melalui pos kilat dengan harga dua sen. Mungkin kalian mau melihat
bungkusnya?”
Beberapa orang tertawa, yang lainnya mengomel, tetapi dia berhasil
mempermainkan mereka dan orang-orang itu tidak bertanya lagi. Apakah dia mau
bercakap-cakap dengan Dick Stone atau Will Parker tidak bisa saya amati, karena
saya langsung ikut serta dalam pekerjaan mengukur hingga menjelang malam,
sehingga keesokan harinya kami dapat memulai lagi dari lembah. Di tempat itulah
kami bertemu bison kemarin. Ketika pada malam harinya kami membicarakan hal
itu, saya bertanya pada Sam apakah mungkin pekerjaan kami akan diganggu oleh
bison, mengingat jejaknya terlihat melewati lembah. Kami telah mendapati
kelompok kecil perintisnya dan kemungkinan akan menjumpai induk kawanannya.
Sam menjawab,
“Kemungkinan itu tidak ada, Sir! Bison merupakan binatang yang cerdik
seperti mustang. Kawanan bison yang kita serang kemarin telah kembali ke induk
kawanannya dan telah memberi peringatan. Binatang-binatang itu pasti telah
mencari jalan lain dan menghindari lembah ini.”
Ketika fajar menyingsing kami memindahkan perkemahan ke bagian atas
lembah. Hawkens, Stone dan Parker tidak membantu, karena Hawkens ingin
menunggangi Mary dan kedua orang temannya menemaninya. Dia pergi ke arah
prairie untuk menunggangi Mary. Sebagai surveyor, pertama-tama kami sibuk
memasang tongkat pengukur dan beberapa bawahan Rattler membantu kami.
Rattler sendiri berjalan-jalan dengan pegawai lainnya ke sekitar perkemahan.
Ketika Rattler dan kami tiba di tempat bison-bison itu tertembak saya merasa
heran, karena di tempat itu sudah tidak lagi terlihat bangkai bison tuanya. Kami
meneliti tempat itu dengan seksama, terlihat jejak yang lebar menuju ke arah
semak.
“Aneh sekali!” seru Rattler. “Ketika saya kemarin dulu mengambil daging,
saya benar-benar melihat kedua bison itu betul-betul sudah mati. Tetapi rupanya
salah satunya masih hidup.”
“Masih hidup?” tanya saya.
“Ya, atau apakah Anda menyangka bahwa seekor bison mati bisa melarikan
diri?”
“Barangkali ada kemungkinan lain.”
“Kemungkinan apa?”
“Misalnya diseret ke tempat lain oleh Indian. Kami menemukan jejak kaki
mereka di sebelah sana.”
“Oh begitu! Betapa pandai dan bijaksananya si greenhorn ini berbicara!
Karena dari sana ke sini jejaknya pasti akan terlihat. Tidak, bison itu masih hidup
dan dengan sisa-sisa tenaganya ia berhasil menyeret dirinya ke arah semak. Tentu
saja bison itu mati di sana. Ayo kita periksa.”
Dengan orang-orangnya dia mengikuti jejak bison. Mungkin dia mengira
saya akan mengikutinya, tetapi saya tidak beranjak. Kesombongannya membuat
saya kesal dan saya harus bekerja. Lagi pula apa peduli saya dengan bangkai bison
itu. Saya pun kembali ke tempat pekerjaan saya. Namun belum sampai saya
bekerja, terdengar orang menjerit ketakutan dari dalam semak. Terdengar pula
suara tembakan dua atau tiga kali. Kemudian saya mendengar Rattler berteriak,
“Lekas naik ke atas pohon, kalau tidak kalian bisa mati! Binatang itu tidak
bisa memanjat.”
Siapa yang dia maksud tidak bisa memanjat? Pada saat itu keluar salah
seorang anak-buah Rattler berlari tunggang-langgang dari dalam semak ketakutan
setengah mati.
“Ada apa? Ada apa?” tanya saya padanya.
“Beruang, seekor beruang yang sangat besar, seekor beruang grizzly”
katanya terengah-engah sambil berlari ke arah saya.
Pada waktu yang bersamaan saya dengar jeritan lain.
“Tolong, tolong! Saya tertangkap! Aauuw ……aauuww.”
Hanya jeritan seorang yang sedang menghadapi mautlah yang seperti itu.
Lelaki itu sedang dalam bahaya besar. Dia harus ditolong. Tetapi bagaimana? Saya
meninggalkan senapan saya di perkemahan, karena saya tidak memerlukannya
pada saat bekerja. Itu bukan karena saya lengah. Sebagai surveyor kami
mempunyai pelindung sendiri yaitu para westman itu. Kalau saya kembali ke
perkemahan, manusia malang itu pasti sudah habis dikoyak-koyak beruang. Satu-
satunya cara, saya harus melawannya dengan pisau dan kedua pistol yang terselip
pada ikat pinggang. Akan tetapi senjata-senjata itu tidak ada artinya sama sekali
untuk melawan beruang kelabu yang biasa disebut grizzly. Beruang ini termasuk
keluarga dekat beruang gua yang bisa bertahan dan tidak punah sejak jaman
prasejarah. Kalau berdiri, tingginya sampai tiga meter dan beratnya beratus-ratus
kilogram. Ototnya sangat kuat sehingga dengan mudah ia melarikan rusa, anak
rusa atau bison kecil dengan menjepit pada gerahamnya. Seorang penunggang
kuda hanya dapat melepaskan diri apabila dia menunggangi kuda yang luar biasa
hebatnya. Jika tidak, pastilah dia akan tersusul oleh beruang kelabu itu. Karena
kekuatan, keberanian, dan daya tahannya yang luar biasa itulah maka tidak heran
jika orang Indian sangat menghormati dan menjunjung tinggi orang yang dapat
mengalahkan beruang kelabu.
Segera saya melompat ke semak! Jejaknya tampak terus ke arah
pepohonan. Ke sanalah tampak beruang itu menyeret bangkai bison dan dari sana
pulalah ia sebelumnya muncul. Karena itulah kami tidak melihat jejak itu
sebelumnya, sebab tertutupi oleh seretan bison. Tampak pemandangan yang
mengerikan. Di belakang saya terdengar teriakan orang-orang yang tadi lari ke
arah kemah untuk mengambil senapannya. Di hadapan saya terdengar jeritan
kalang-kabut para westman, dan di antaranya terdengar lolongan menyayat orang
yang terserang beruang dan tertahan di cakarnya.
Saya berlari secepat mungkin ke sana. Sekarang saya bisa mendengar
geraman beruang itu. Tapi suara itu berbeda dengan suara beruang yang biasa
saya dengar. Suara itu bukan sekedar geraman melainkan erangan kesakitan
bercampur marah.
Kini saya tiba pada tempat di mana serangan terjadi. Di hadapan saya
tergeletak kerangka dan bangkai bison yang sudah terkoyak-koyak. Di sebelah kiri
dan kanan terdengar teriakan-teriakan para pengawal yang berlarian ke arah
semak dan naik ke atas pohon. Di atas pohon mereka merasa lebih aman, karena
seekor beruang kelabu naik ke atas pohon. Hal seperti itu jarang terjadi bahkan
tidak pernah. Tepat di depan bangkai bison itu ada seorang westman yang ingin
memanjat sebuah pohon, tetapi dikejutkan oleh beruang itu. Kedua tangannya
memeluk pohon erat-erat sedang bagian atas tubuhnya bersandar pada dahan
paling bawah. Beruang itu berdiri tegak, kemudian mengais-ngais paha dan badan
bagian bawah orang itu dengan cakar depannya. Tidak ada yang bisa dilakukan
untuk menolong orang itu. Saya tidak dapat menolongnya dan walaupun saya
melarikan diri, tak seorang pun berhak mencela saya. Tetapi pemandangan yang
menyedihkan itu menumbuhkan keberanian yang luar-biasa dalam diri saya. Saya
lalu memungut salah satu dari bedil-bedil yang dilemparkan oleh orang-orang yang
lari itu. Namun sayang pelurunya kosong. Saya berlari melompati bangkai bison.
Lalu saya memukul kepala beruang itu dengan senapan sekuat tenaga. Sungguh
tak terduga! Di tangan saya senjata itu hancur berkeping-keping seperti kaca.
Begitu kerasnya kepala beruang itu! Tetapi saya berhasil, karena berkat pukulan
saya, beruang itu melepaskan mangsanya. Perlahan-lahan ia memalingkan
kepalanya kepada saya. Nampaknya ia merasa heran melihat seorang makhluk
yang begitu bodoh mau menyerangnya.
Dengan matanya yang kecil ia mengawasi saya, seolah-olah berpikir, apakah
ia akan menyergap saya atau sudah cukup satu korban saja. Detik-detik
kebimbangan itu menolong jiwa saya. Saya cabut pistol saya, melompat ke dekat
beruang itu dan empat buah peluru saya tembakkan berturut-turut ke matanya,
persis seperti yang saya lakukan kemarin dulu terhadap bison. Hal ini terjadi
secepat kilat, kemudian saya melompat ke samping lalu berdiri di sana sambil
mengamati dan mengunus pisau bowie saya.
Seandainya saya tetap berdiri di tempat semula, niscaya saya sudah tewas.
Binatang yang matanya kena tembak itu menyergap ke depan tepat ke tempat
saya tadi berdiri. Karena saya tidak ada di situ, beruang itu mulai mencari-cari saya
dengan menggeram sejadi-jadinya dan mendenguskan nafasnya. Seperti sudah
gila, ia berguling-guling di tanah dan mengais-ngais tanah di sekelilingnya,
melompat ke seluruh penjuru untuk menangkap saya, namun tidak dapat
menemukannya. Untunglah bidikan saya tepat. Seandainya ia mempergunakan alat
penciumannya, tentu ia dapat mengetahui tempat saya berada. Akan tetapi saat itu
ia telah dikuasai amarahnya, dan itu membuatnya kehilangan akal dan instingnya.
Akhirnya ia lebih memperdulikan pada lukanya daripada pada lawannya. Ia
pun mengusap-usap matanya dengan kaki depannya. Secepat kilat saya berdiri di
sampingnya dan menikam dadanya dua kali. Ia berusaha meraih saya, tetapi saya
sudah kembali menyingkir.
Tikaman saya tidak mengenai jantungnya dan ia pun terus berusaha
mencari saya dengan kemarahan yang memuncak. Kira-kira sepuluh menit
lamanya ia berbuat begitu dan selama itu ia telah kehilangan banyak darah serta
kelihatannya sudah lelah.
Untuk kedua kalinya ia duduk dan kesempatan itu saya pergunakan untuk
menikamkan pisau saya dua kali berturut-turut. Binatang itu tersungkur, bangkit
kembali, berjalan terhuyung-huyung sambil menggeram berusaha untuk bangun
tetapi nampaknya tenaganya sudah habis dan akhirnya ia pun roboh kembali. Kini
ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa berdiri, berguling ke sana ke mari seperti
sedang sekarat, kemudian tidak bergerak lagi.
“Syukurlah!” seru Rattler dari atas pohon. ”Binatang itu sudah mati. Kita
sudah selamat dari bahaya maut.”
“Saya tidak tahu bahaya apa yang Anda hadapi,” jawab saya. “Anda duduk
dengan aman di atas pohon tetapi sekarang Anda sudah boleh turun.”
“Tidak, tidak, belum. Periksalah kembali apakah binatang itu betul sudah
mati.”
“Ia sudah mati.”
“Anda tidak dapat memastikannya. Anda sama sekali tidak tahu betapa
gigihnya binatang ini mempertahankan hidup. Karena itu periksalah dengan
seksama!”
“Periksalah sendiri, jika Anda ingin tahu apakah ia masih hidup. Anda adalah
seorang westman yang terpandang, sementara saya hanyalah seorang greenhorn.”
Kini saya beranjak ke tempat temannya yang diserang beruang dan masih
tergantung di pohon tadi. Dia telah berhenti mengerang dan tidak bergerak lagi.
Wajahnya mengerikan dan matanya melotot kosong. Pahanya terkoyak hingga
tulangnya nampak dan isi perutnya keluar.
Saya berusaha mengatasi rasa ngeri itu dan berseru padanya,
“Marilah, Sir! Saya akan menurunkan Anda.”
Dia tidak menjawab dan tidak bergerak sedikit pun. Saya meminta teman-
temannya untuk turun dari pohon dan menolong saya. Tetapi tidak seorang pun
dari para westman ini yang beranjak dari tempatnya, sebelum saya menggoncang-
goncangkan tubuh beruang itu beberapa kali untuk membuktikan beruang itu telah
mati. Setelah itu baru mereka percaya dan turun lalu menolong saya menurunkan
temannya yang tubuhnya terkoyak mengerikan. Mereka mengalami kesulitan
karena tangannya begitu kuat memeluk pohon, sehingga mereka harus
melepaskannya dengan paksa. Ternyata dia telah meninggal. Akhir yang
mengerikan ini nampaknya tidak membuat mereka terharu. Ditinggalkannya begitu
saja orang yang malang itu di tempatnya, kemudian Rattler berkata,
“Sekarang semuanya terbalik. Tadi beruang itu yang ingin memangsa kita,
sekarang ia yang akan kita lahap. Cepatlah kuliti agar kita bisa segera makan
dagingnya!”
Dia mengeluarkan pisau dan berlutut untuk menguliti beruang itu. Namun
saya menghalanginya.
“Jangan berbuat segegabah itu. Mengapa tidak mengulitinya pada saat
binatang itu masih hidup? Sekarang sudah terlambat!”
“Apa maksudmu? katanya. “Apakah kau menghalangi saya untuk
memanggang dagingnya?”
“Saya melarangnya, Mr. Rattler.”
“Apa hakmu?”
“Sayalah yang berhak, karena sayalah yang telah merobohkan beruang itu.”
“Itu bohong. Kau ingin mengaku bahwa seorang greenhorn dapat
membunuh seekor grizzly dengan sebuah pisau! Kamilah yang telah
menembaknya.”
“Dan Anda secepat kilat naik ke atas pohon, ya itu benar terjadi!”
“Tetapi peluru kami tepat mengenai sasaran karena peluru-peluru itulah
binatang itu mati dan bukan oleh beberapa tusukan jarum yang kau tusukkan ke
tubuhnya pada saat ia sekarat. Beruang itu milik kami dan kami akan melakukan
apa saja yang kami mau, paham?”
Dia sungguh-sungguh mau melaksanakan rencana tetapi saya memberinya
peringatan,
“Jauhi dia sekarang juga, Mr. Rattler. Kalau tidak saya akan bertindak!
Mengerti?”
Karena dia tidak mengindahkan larangan saya dan tetap akan menyayatkan
pisaunya ke kulit binatang itu, saya mencekiknya, mengangkat tubuhnya tinggi-
tinggi lalu melemparkannya ke pohon terdekat. Dia jatuh membentur batang
pohon. Saya tidak peduli sedikit pun apakah dia mengalami patah tulang atau
tidak. Ketika dia masih melayang, segera saya menarik pelatuk pistol saya yang
masih terisi untuk menantikan serangannya atau balasannya. Dia bangkit kembali,
menatap saya dengan pandangan mata penuh amarah, mencabut pisau, dan
berseru,
“Kau harus merasakan balasan saya. Kau telah melukai saya dan saya tidak
akan membiarkan kau untuk menyerang ketiga kalinya.”
Dia maju selangkah ke arah saya, tapi saya mengacungkan pistol saya
kepadanya,
“Jika maju satu langkah lagi, peluru ini akan melayang ke kepalamu!
Buanglah pisau itu! Pada hitungan ke tiga akan saya tembak, jika pisau itu masih
kau pegang. Satu, dua …”
Dia tetap memegang pisaunya dan saya akan menembak, tidak ke arah
kepalanya melainkan ke tangannya dengan dua atau tiga peluru untuk
membuatnya gentar. Tetapi untunglah, sebelum sempat saya tembakkan, pada
saat kritis itu, terdengar suara yang keras berteriak,
“Tuan-tuan, apa kalian sudah gila! Sesama kulitputih akan berkelahi dengan
senjata? Hentikan!”
Kami memandang ke arah suara itu dan tampak seorang laki-laki keluar dari
balik sebuah pohon. Badannya kecil, kerempeng, agak bungkuk, dengan pakaian
dan senjata seperti orang kulitmerah. Orang tidak bisa memastikan apakah dia
seorang Indian atau kulitputih. Wajahnya yang kemerahan karena terbakar
matahari menunjukkan bahwa asalnya ia berkulitputih. Dia tidak memakai topi dan
rambutnya yang panjang terurai sampai kepada bahunya. Celananya terbuat dari
kulit seperti orang Indian, baju berburunya pun terbuat dari kulit dan demikian juga
mokassinnya. Dia hanya membawa sebuah senapan dan sebuah pisau. Mataya
memancarkan pandangan yang cerdas. Meskipun penampilannya buruk, orang
tidak akan menertawakannya. Hanya orang-orang yang bodohlah yang
meremehkannya.
Melihat orang asing itu Rattler pun berteriak sambil tertawa,
“Orang kerdil, siapa engkau dan mengapa di daerah ini ada orang sejelek
engkau?”
Orang asing itu menatapnya dari atas kebawah dan menjawab dengan suara
tenang,
“Puji Tuhan! Anda menjadi orang yang sempurna! Bagaimanapun juga
seseorang tidak dapat diukur dari fisiknya melainkan dari hati dan jiwanya. Saya
katakan pada Anda bahwa saya tidak merasa malu dengan keadaan ini dan tidak
perlu malu membandingkan dengan diri Anda.”
Kemudian dia berpaling pada saya sambil menggerakkan tangannya.
“Lengan Anda kuat sekali, Sir! Orang yang besar badannya itu Anda angkat
dengan mudah dan Anda lemparkan seolah-olah melempar sepotong ranting.
Senang sekali saya melihat perbuatan Anda.”
Disepaknya bangkai beruang itu, lalu dia berkata dengan suara yang penuh
sesal,
“Inilah beruang yang kami kejar, sayang sekali, kami datang terlambat!”
“Anda hendak membunuhnya?” tanya saya.
“Ya, kemarin kami mengikuti jejaknya lalu saya ikuti sampai ke mari. Tetapi
kini kami melihat bahwa usaha kami itu sia-sia saja.”
“Anda selalu menyebut kata ‘kami’, Sir. Apakah Anda membawa teman?”
“Tidak, ada dua orang lain bersama saya.”
“Siapakah mereka?”
“Pertanyaan Anda baru akan saya jawab apabila Anda lebih dulu
mengatakan siapakah diri Anda. Di sini orang harus berhati-hati. Karena lebih
banyak berkeliaran orang jahat daripada orang baik.”
Sambil mengucapkan kalimatnya dia mengerlingkan matanya ke arah
Rattler, lalu melanjutkan perkataannya,
“Saya telah mendengar sebagian percakapan Anda dan saya sudah bisa
menebak siapa Anda.”
“Kami adalah surveyor, Sir,” kata saya. “Kelompok kami terdiri dari seorang
Insinyur Kepala, empat surveyor, tiga orang penunjuk jalan dan dua belas orang
westman yang harus melindungi kami dari serangan.”
“Hm, saya kira Anda dapat melindungi diri sendiri dan tidak memerlukan
bantuan orang lain. Jadi Anda adalah surveyor. Apakah Anda bekerja di daerah
ini?”
“Ya.”
“Untuk apa tanah ini diukur? Untuk membuat jalan keretaapi yang akan
melewati tanah ini?”
“Ya.”
“Apakah Anda telah membeli tanah ini?”
Ketika bertanya, wajahnya berubah serius. Karena dia memerlukan
jawabannya, maka saya menjawab,
“Saya hanya mendapat perintah untuk mengukur tanah ini, yang lain tidak
pernah saya pikirkan.”
“Hm, ya! Tetapi Anda tentu tahu apa yang Anda lakukan. Tanah tempat
Anda sekarang berdiri ini adalah milik bangsa Indian suku Apache, yakni suku
Apache marga Mescalero. Saya tahu pasti bahwa mereka tidak pernah menjual
atau menghadiahkannya kepada siapa pun juga.”
“Apa urusanmu dengan hal ini?” Rattler memotong. “Jangan ikut campur
dengan urusan orang, urus sendiri urusanmu.”
“Itulah persisnya yang saya lakukan, Sir, karena saya orang Apache.”
“Kau? Jangan bercanda. Orang buta saja yang tidak tahu bahwa kau orang
kulitputih.”
“Anda keliru! Anda tidak boleh melihat warna kulit saya, melainkan lihatlah
nama saya. Nama saya Klekih-petra. Dalam bahasa Apache Klekih-petra berarti
’Bapak Kulitputih’”.
Rupa-rupanya Rattler pernah mendengar nama itu. Karena itu dia mundur
selangkah lalu berkata,
“Oh, Andalah Klekih-petra, kepala sekolah terkenal dari orang Apache.
Sayang punggung Anda bongkok. Tentu Anda sering ditertawakan oleh murid-
murid Anda yang nakal.”
“Oh, tidak apa-apa. Saya sudah biasa ditertawakan oleh orang bodoh. Orang
yang bijaksana tidak akan berbuat begitu. Sekarang saya tahu siapa Anda dan apa
yang Anda kerjakan di sini. Kini giliran saya memperkenalkan teman-teman saya.
Itu pun jika Anda setuju.”
Dia menyerukan kata-kata dalam bahasa Indian yang tidak saya pahami.
Lalu dia kembali ke hutan. Kemudian muncullah dua orang yang wajahnya mirip
dan sangat menarik perhatian keluar dari semak-semak dan dengan pelan
mendekati kami. Mereka orang Indian, dan rupanya ayah bersama anaknya. Orang
bisa langsung melihatnya sekilas.
Yang lebih tua, perawakannya agak tinggi dan tubuhnya kuat. Wajahnya
menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan dan dari gerakannya dapat
dilihat bahwa dia seorang yang tangkas. Wajahnya yang serius menunjukkan orang
Indian tulen, tetapi tidak terlalu tajam dan runcing, seperti orang kulitmerah pada
umumnya.
Cahaya matanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang tenang dan
baik hati, kepalanya tidak tertutup. Pada rambutnya diikatkan bulu burung elang
sebagai tanda bahwa dia adalah seorang kepala suku. Dia mengenakan sepatu
mokassin, celana berumbai dan pakaian berburu dari kulit. Namun semuanya serba
sederhana. Pada ikat pinggangnya terselip sebuah pisau dan tergantung beberapa
kantung tempat menyimpan barang-barangnya yang selalu diperlukan oleh orang
di daerah Barat. Kantong jimat tergantung pada lehernya. Di sebelahnya
8
tergantung pula calumet dengan kepalanya dari tanah liat suci. Tangannya
memegang sebuah senapan berlaras ganda. Bagian yang terbuat dari kayu
bertahtakan paku perak. Senapan inilah yang kemudian dibuat terkenal oleh
anaknya, Winnetou, dan diberi nama Senapan Perak.

8
Pipa untuk merokok.
Yang lebih muda pakaiannya sederhana juga, akan tetapi pakaiannya lebih
halus. Sepatunya dihiasi oleh duri landak dan jahitan celana dan pakaian
berburunya dihiasi oleh bordiran merah yang halus. Dia juga membawa kantong
jimat di lehernya dan juga calumet. Persenjatannya sama seperti ayahnya yaitu
terdiri dari sebuah pisau dan senjata berlaras dua. Dia juga tidak memakai penutup
kepala. Rambutnya dikepang tetapi tanpa hiasan bulu. Rambutnya panjang
sehingga berjuntai di punggungnya. Pasti banyak wanita merasa iri pada
rambutnya yang hitam, indah dan berkilauan itu. Roman mukanya menunjukkan
bahwa dia pun seorang bangsawan seperti ayahnya dan warna kulitnya coklat
terang. Seperti yang saya duga dan kelak terbukti, dia sebaya dengan saya.
Seketika itu juga saya menaruh simpati kepadanya. Saya rasa dia seorang yang
baik dan berbakat. Kami saling berpandangan agak lama dengan pandangan yang
menyelidik dan saya mempunyai kesan bahwa pada pandangannya yang serius,
sekilas terpancar pandangan ramah yang berkilauan bagai beludru, ibarat ucapan
salam yang dipancarkan oleh sinar matahari dari balik awan.
“Inilah teman-teman saya dan teman seperjalanan saya,” kata Klekih-petra.
Tuan ini ialah Intschu tschuna (Matahari Cerah) sambil menunjuk pada orang yang
lebih tua,
“Dia adalah kepala marga Mescaleros dan kepala seluruh suku Apache yang
lain. Dan ini anaknya bernama Winnetou. Walaupun masih muda, dia sudah banyak
melakukan perbuatan berani melebihi sepuluh orang prajurit dewasa yang
melakukannya bersama-sama. Namanya tersohor sampai ke mana-mana.”
Pujian itu tampaknya berlebih-lebihan akan tetapi kelak saya mengetahui
bahwa itu benar. Rattler tertawa mengejek dan berkata,
“Anak kecil ini sudah melakukan sekian perbuatan berani? Perbuatan itu
niscaya tak lain daripada pencurian atau perampokan. Semua orang sudah tahu,
kulitmerah pekerjaannya mencuri dan merampok.”
Kata-kata itu merupakan penghinaan yang besar bagi kulitmerah. Ketiga
orang asing bersikap seolah-olah mereka tidak mendengarnya. Mereka mendekati
beruang dan mengamatinya. Klekih-petra berlutut di dekat bangkai binatang itu
dan memeriksanya.
“Beruang ini mati karena tikaman pisau dan bukan oleh tembakan peluru,”
katanya sambil berpaling ke arah saya.
Diam-diam dia telah mendengar pertengkaran saya dengan Rattler dan
dengan perkataannya itu, dia hendak menyatakan bahwa saya ada pada pihak
yang benar.
“Bukan urusan Anda,” kata Rattler. “Seorang guru yang bongkok seperti
Anda tahu apa tentang perburuan beruang. Jika binatang ini nanti kami kuliti akan
jelas siapa yang benar. Pendek kata saya tak mau dibodohi oleh greenhorn.”
Kini Winnetou pun mulai memeriksa luka-luka yang masih berdarah itu lalu
dia bertanya pada saya dengan bahasa Inggris yang fasih,
“Siapa yang menikam binatang ini dengan pisau?”
“Saya,” jawab saya.
“Mengapa Anda tidak menembaknya?”
“Karena saya tidak membawa senapan.”
“Bukankah senjata berserakan di sini.”
“Itu bukan milik saya. Para pemiliknya membuang senjata-senjata itu dan
naik ke atas pohon.”
“Ketika kami mengikuti jejak beruang ini, kami mendengar orang berteriak
ketakutan. Apakah teriakan itu berasal dari sini?”
“Ya.”
“Uff, ternyata di sini ada juga tupai dan sigung9 yang akan naik ke atas
pohon jika ada bahaya. Seharusnya laki-laki harus melawan, karena jika dia berani,
akan dianugerahi kekuatan termasuk mengalahkan binatang yang paling kuat.
Saudara mudaku kulitputih ini memiliki keberanian. Mengapa dia disebut
greenhorn?”
“Karena baru pertama kali dan baru sebentar saya tinggal di daerah Barat
ini.”
“Orang-orang mukapucat10 memang aneh. Orang yang gagah berani dan
sudah membunuh beruang kelabu disebut greenhorn, sementara orang yang lari ke
atas pohon ketika ada bahaya disebut westman yang gagah berani. Karena itu,
orang kulitmerah lebih adil. Mereka tidak akan menyebut seorang pahlawan
pengecut, dan tidak akan menyebut pengecut dengan pahlawan.”
“Anak saya berkata benar,” kata ayahnya dalam Inggris yang agak buruk.
“Si mukapucat yang masih muda dan gagah berani ini bukan lagi seorang
greenhorn. Siapa yang bisa merobohkan beruang kelabu, maka dia pantas disebut
seorang pahlawan besar. Apalagi dia berbuat demikian untuk menolong jiwa
sesama manusia. Dia patut mendapat ucapan terima kasih dan bukan cemoohan.
Howgh! Marilah kita selidiki apa yang dilakukan orang kulitputih di daerah ini.”
Betapa berbedanya teman seperjalanan saya yang sama-sama kulitputih
dengan mereka yang adalah orang Indian! Makna keadilan bagi bangsa kulitmerah

9
Sejenis musang yang akan mengeluarkan bau busuk jika diganggu.
10
Julukan terhadap kulitputih oleh kulitmerah.
tidak pandang bulu. Bahkan apa yang mereka lakukan merupakan sebuah tindakan
yang beresiko. Mereka hanya bertiga dan tidak mengetahui berapa orang kami
semuanya. Mereka berada dalam bahaya jika memusuhi para westman. Tetapi
nampaknya mereka tidak mau ambil pusing. Mereka berjalan dengan langkah pelan
dan bangga melewati kami kemudian keluar dari semak-semak. Kami
mengikutinya. Pada saat itu Intschu tschuna melihat tiang pengukur, berdiri di
dekatnya, memandang saya, kemudian bertanya,
“Apakah yang dikerjakan di sini? Apakah mukapucat mengukur sesuatu di
wilayah ini?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk membangun rel keretaapi.”
Matanya menunjukkan kemarahan. Kemudian bertanya lagi dengan marah,
“Anda menjadi bagian dari orang-orang ini?”
“Ya.”
“Dan ikut mengukur juga?”
“Ya.”
“Anda juga mendapat upah untuk pekerjaan ini?”
“Ya.”
Dia memandang saya dengan pandangan menghina dan suaranya pun
terdengar sinis ketika dia berbicara pada Klekih-petra,
“Apa yang Anda ceritakan tentang sifat-sifat orang kulitputih kedengarannya
bagus sekali, akan tetapi pada kenyataannya tidak ada nilainya sama sekali. Hari
ini saya bertemu dengan seorang mukapucat yang gagah berani dan mempunyai
wajah yang jujur. Akan tetapi ketika ditanya yang dikerjakannya di sini, ternyata
dia datang untuk mencuri tanah kita. Orang kulitputih ada yang baik dan ada yang
buruk wajahnya akan tetapi batinnya tidak ada yang baik.”
Jika saya mau jujur, sebenarnyalah ucapan kepala suku Indian itu benar.
Karena itu saya tidak bisa membela diri. Saya merasa malu. Dapatkah saya merasa
bangga atas pekerjaan saya? Saya sebagai seorang surveyor yang menganut
agama Kristen dan sangat moralis.
Karena takut beruang, Insinyur Kepala dan ketiga teman sejawatnya
bersembunyi di dalam kemah. Mereka mengintipnya melalui sebuah lubang dengan
ketakutan. Ketika mereka melihat kami datang, barulah mereka berani
menampakkan diri. Tidak kalah herannya ketika mereka melihat orang Indian
bersama kami. Pertanyaan mereka yang pertama ialah bagaimana kami melawan
beruang itu. Rattler menjawab dengan segera.
“Kami telah menembaknya dan malam ini kami akan menikmati daging
beruang.”
Ketiga orang asing itu memandang saya dengan terheran-heran seakan-
akan hendak bertanya apakah kebohongan itu akan saya biarkan saja. Karena itu
saya berkata,
“Dan saya tegaskan, bahwa saya yang menembak beruang itu. Di sini ada
tiga orang ahli yang akan membenarkan perkataan saya, tetapi sebaiknya mereka
tidak perlu melakukan itu. Jika nanti Hawkens, Stone, dan Parker datang, mereka
akan memberikan penilaiannya yang adil tentang kita. Sampai sekarang beruang
itu masih tetap tergeletak tidak ada yang berani menyentuh.”
“Persetan dengan penilaian ketiga orang itu!” Rattler menggerutu. “Saya
dan teman-teman saya akan pergi ke sana untuk mengurus beruang itu dan yang
lain, jangan coba-coba menghalangi saya kalau tubuh kalian tidak ingin
diberondong peluru kami!”
“Jangan membual jika tidak ingin saya bungkam, Mr. Rattler! Saya sama
sekali tidak takut dengan peluru Anda, tidak seperti Anda yang begitu ketakutan
berhadapan dengan seekor beruang. Anda tidak bisa mengusir saya dengan
mengatakan itu! Jika Anda ke sana saya sama sekali tidak menghalangi, tetapi
saya harap, Anda mengubur dulu teman Anda yang tewas itu. Anda tidak bisa
begitu saja membiarkan mayatnya tergeletak di situ.”
“Ada yang meninggal?” tanya Bancroft kaget.
“Ya, Rollins,” jawab Rattler. “Akibat ketololan orang jelek ini yang bikin
celaka orang lain. Semestinya dia masih bisa diselamatkan."
“Kenapa bisa begitu? Karena ketololan siapa?”
“Well, dia melakukan apa yang kita lakukan yaitu berlari ke arah pohon. Dia
sudah di atas pohon, tetapi kemudian datang si greenhorn berlari dan menarik
perhatian beruang itu dengan konyolnya, sehingga beruang itu marah dan
menjatuhkan Rollins dan mengoyak-ngoyak tubuhnya.”
Itu adalah kebohongan yang sudah keterlaluan. Sementara itu saya berdiri
saja tercengang dan hanya diam membisu. Kenyataan yang terjadi seperti ini tidak
boleh saya biarkan begitu saja. Karena itu saya segera bertanya kepadanya,
“Itu keyakinan Anda Mr. Rattler?”
“Ya,” dia mengangguk dengan pasti. Rattler mencabut pistol revolvernya
karena menantikan saya melakukan sesuatu.
“Sebenarnya Rollins bisa diselamatkan dan gara-gara saya dia jadi
terbunuh, begitu?”
“Ya.”
“Tetapi menurut saya, beruang itu sudah menggigitnya, sebelum saya
datang.”
“Bohong!”
“Well, sekarang Anda harus mendengar dan merasakan kebenaran itu.”
Bersamaan dengan itu saya rebut revolvernya dengan tangan kiri dan
tangan kanan menempelengnya dengan kuat, sehingga dia terhuyung-huyung
menjauh sekitar enam sampai delapan langkah sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Dia bangkit lagi dan mengeluarkan pisaunya. Dia datang berlari seperti seekor
binatang yang sedang mengamuk mendekati saya. Saya tangkis tikaman pisaunya
dengan tangan kiri dan memukulnya dengan tinju tangan kanan, sehingga
tergeletak pingsan di bawah kaki saya.
“Uff, uff!” Intschu tschuna berseru penuh pesona. Karena kekaguman akan
tinju saya itu dia lupa akan sikap hati-hati orang Indian yang selama ini
diperlihatkan. Sesaat kemudian dia sadar dan menyesali keterus-terangannya tadi.
“Lagi-lagi Shatterhand,” kata surveyor Wheeler.
Saya tidak peduli dengan komentar itu, tapi mata saya lebih terarah pada
teman-teman Rattler. Mereka benar-benar terlihat jengkel, tapi tak seorang pun
berani bertindak. Mereka menggerutu dan meninggalkan tempat itu. Begitulah
tingkah laku mereka.
“Mohon pertimbangkan Rattler dengan sungguh-sungguh, Mr. Bancroft,”
saya meminta dengan sangat kepada Insinyur Kepala itu. “Saya tidak pernah
berbuat sesuatu apa pun terhadapnya dan dia selalu mencari gara-gara dengan
saya. Saya khawatir, suatu saat akan terjadi pembunuhan di perkemahan ini.
Hentikan dia dan jika Anda tidak suka cara ini, biarlah saya yang akan pergi dari
sini.”
“Oho, Sir, saya kira tidak akan terjadi seburuk itu!”
“Ya, itu bisa terjadi. Di sini Anda melihat pisau dan revolver Rattler. Jangan
boleh dia pegang senjata lagi sampai dia bisa menahan emosi, setelah itu dia baru
boleh kembali ke sini. Saya tegaskan kepada Anda, saya hanya membela diri dan
jika dia sekali lagi menyerang saya dengan senjatanya, maka saya akan
menembaknya. Anda menganggap saya seorang greenhorn, tapi saya tahu hukum
prairie. Barang siapa mengancam saya dengan pisau atau senapan, saat itu juga
saya boleh menembak.”
Perkataan saya itu tidak hanya untuk Rattler melainkan juga bagi para
westman yang membisu saja ketika mendengarnya. Kepala suku Intschu tschuna
berpaling kepada Insinyur Kepala,
“Saya mendengar, bahwa di antara kulitputih yang hadir di sini Andalah
pemimpinnya. Betulkan begitu?”
“Ya,” jawab Bancroft.
“Kalau begitu, ada sesuatu yang hendak saya bicarakan dengan Anda.”
“Apa?”
“Itu akan saya katakan, apabila kita sudah duduk. Anda masih saja berdiri.
Orang yang berunding seharusnya duduk.”
“Anda hendak menjadi tamu saya?”
“Tidak, itu tidak mungkin. Bagaimana saya dapat menjadi tamu Anda, jika
Anda berdiri di tanah saya, di hutan saya, di lembah saya, di padang prairie milik
saya? Orang kulitputih kiranya duduk. Siapa mukapucat yang baru datang itu?”
“Itu pemandu kami.”
“Suruhlah mereka duduk juga.”
Yang baru datang itu ialah Sam, Dick, dan Will. Sebagai pemburu prairie
yang berpengalaman mereka tidak heran melihat Indian duduk di tengah-tengah
kami, akan tetapi mereka menjadi agak cemas ketika mendengar siapa kedua
orang Indian itu.
“Siapakah orang yang ketiga itu?” tanya Sam kepada saya.
“Dia bernama Klekih-petra dan Rattler menyebutnya guru.”
“Klekih-petra, guru orang Apache? Saya sudah pernah mendengar namanya,
kalau saya tidak salah. Seorang yang sangat misterius, seorang kulitputih yang
sudah lama tinggal dengan suku Apache. Orang Indian menyebut dia misionaris,
walaupun dia bukanlah seorang pastor. Saya senang melihatnya, saya ingin
membuktikan kebolehannya, hihihihi.”
“Jika itu bisa dibuktikan.”
“Tidakkah saya akan gigit jari? Adakah sesuatu yang lain telah terjadi?”
“Ya.”
“Apa?”
“Sesuatu yang penting.”
“Ceritakanlah!”
“Saya telah berhasil melakukan apa yang kemarin engkau peringatkan.”
“Saya tidak tahu, apa yang Anda maksud. Saya telah banyak memberi
peringatan kepada Anda.”
“Beruang grizzly.”
“Bagaimana, di mana, apa? Beruang kelabu bukan?”
“Ya, semacam itulah!”
“Di mana, di mana? Anda cuma bercanda!”
“Sama sekali tidak. Itu di sana di belakang semak-semak di dalam hutan,
saya telah menyeretnya ke sana.”
“Sungguh, sungguh? Astaga, dan itu terjadi justru ketika kita tidak ada!
Adakah orang yang menjadi korban?”
“Seorang, yakni Rollins.”
“Dan Anda? Apakah yang Anda perbuat? Apakah Anda berada cukup jauh?”
“Ya.”
“Bagus! Tapi saya sepertinya tidak percaya.”
“Engkau dapat mempercayainya. Saya memang berada jauh dari beruang
itu, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap saya, tapi pisau saya bisa
menikam sebanyak empat kali di antara tulang rusuknya.”
“Wah hebat sekali! Anda menyerang binatang itu dengan pisau?”
“Ya, senapan saya tidak terbawa.”
“Bukan main anak ini! Seorang greenhorn sejati. Anda punya senapan
Pemburu Beruang yang berat dan ketika beruangnya datang, Anda membunuhnya
dengan pisau, bukannya dengan senapan. Siapa yang mau percaya? Teruskanlah
cerita Anda!”
“Begini, Rattler ngotot bahwa bukan saya yang membunuh beruang itu
melainkan dia.”
Saya bercerita kepadanya, bagaimana peristiwa yang telah terjadi
sesungguhnya dan bagaimana saya kemudian kembali terlibat pertengkaran
dengan Rattler.
“Ya Tuhan, Anda benar-benar seorang anak yang ceroboh,” serunya. “Belum
pernah melihat beruang grizzly, tapi menyerangnya dengan pisau seakan-akan
beruang itu anjing pudel saja! Saya ingin segera melihat binatang itu. Dick dan
Will, ayo! Kalian juga harus melihat, apa yang telah dilakukan greenhorn dengan
tikaman-tikaman bodohnya kali ini.”
Dia akan ke sana, akan tetapi pada saat itu Rattler datang lagi, Sam
berpaling kepadanya seraya berkata,
“Dengar, Mr. Rattler. Saya akan memberitahu sesuatu kepada Anda. Anda
telah bertengkar lagi dengan sahabat muda saya. Jika itu terjadi lagi, saya
khawatir, Anda tidak akan sempat lagi menyesalinya. Kesabaran saya sudah habis.
Camkan itu!”
Dia pergi menjauh bersama Stone dan Parker. Wajah Rattler sangat marah
dan memandang saya penuh kebencian, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Namun
tampak jelas sekali bahwa kemarahannya sewaktu-waktu bisa meledak.
Kedua orang Indian dan Klekih-petra telah duduk di atas rerumputan.
Insinyur Kepala duduk di hadapan mereka. Mereka masih berdiam diri. Mereka
menunggu kedatangan Sam kembali untuk mendengarkan pendapatnya. Tak lama
kemudian Sam sudah kembali dan dari jauh dia sudah berseru,
“Bodoh benar orang yang menembak grizzly dan kemudian lari. Kalau orang
tidak berani melawan, janganlah menembak. Kalau binatang itu tidak diganggu,
niscaya ia tidak akan berbuat apa-apa. Kasihan si Rollins! Siapakah yang
membunuh beruang itu?”
“Saya,” jawab Rattler dengan cepat.
“Anda? Dengan apa?”
“Dengan peluru saya.”
“Well, cocok, itu benar adanya.”
“Benar kan!”
“Ya, beruang itu mati kena tembak!”
“Kalau begitu dia milik saya. Kalian dengar itu! Sam Hawkens membenarkan
saya!” seru Rattler penuh kemenangan.
“Ya, untuk Anda. Peluru Anda meleset di atas kepalanya dan mengenai
ujung telinganya. Karena ujung telinganya luka matilah sang beruang grizzly
seketika, hihihihi! Kalau benar beberapa orang telah menembaknya, pastilah
mereka menembak dengan penuh ketakutan karena hanya satu peluru saja yang
menyerempet ujung telinganya, karena yang lain tidak ada yang mengena. Tetapi
empat tikaman jitu ada di situ, dua di samping jantung dan dua lagi langsung tepat
menghujam ke jantung. Siapa yang telah menikam beruang itu?”
“Saya,” jawab saya.
“Anda sendiri?”
“Tidak ada seorang pun yang lain,”
“Kalau begitu beruang itu milik Anda. Artinya, karena di sini ada beberapa
orang, maka kulitnya akan menjadi milik Anda dan dagingnya milik kita bersama.
Meski begitu, Anda yang memutuskan pembagiannya, itulah tradisi orang di daerah
Barat. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini, Mr. Rattler?”
“Persetan!”
Dia meninggalkan sumpah serapahnya dan berjalan menuju kereta yang
bermuatan tong brandy. Saya lihat, dia mulai menuangkan brandynya ke dalam
cangkir dan saya tahu dia akan terus minum sampai mabuk.
Baru kini terbuka kesempatan bagi Bancroft untuk bertanya kepada Kepala
Suku Apache tentang apa yang dikehendakinya.
“Saya tidak menghendaki sesuatu, melainkan saya hendak menyampaikan
perintah,” jawab Intschu tschuna dengan angkuh.
“Kami tidak mau menerima perintah,” tegas Insinyur Kepala juga sama
angkuhnya.
Sekilas wajah kepala suku tampak marah, tetapi dia berhasil menguasai diri
dan berkata dengan tenang,
“Saudaraku kulitputih boleh menjawab beberapa pertanyaan saya, akan
tetapi pertanyaan itu hendaknya dijawab dengan jujur. Adakah Anda mempunyai
tempat tinggal di sana?”
“Ya.”
“Dan apakah rumah itu juga mempunyai halaman?”
“Ya.”
“Jika ada tetangganya yang hendak membuat jalan yang melalui halaman
itu, akankah Anda biarkan?”
”Tidak.”
“Tanah-tanah di seberang Rocky Mountains dan di sebelah timur sungai
Mississippi adalah milik mukapucat. Bagaimana sikap mereka seandainya orang
Indian datang hendak membuat jalan keretaapi di sana?”
“Mereka akan mengusirnya.”
“Saudaraku kulitputih telah berkata jujur. Tapi sekarang mukapucat datang
ke tanah ini, tanah milik kami ini. Mereka memburu mustang-mustang kami,
mereka membunuh bison-bison kami, mereka mencari emas dan batu-batu mulia
yang ada pada kami. Kini mereka ingin membuat jalan yang sangat panjang,
sehingga keretaapi dapat melintas di atasnya. Dengan adanya rel itu nantinya akan
datang lebih banyak lagi mukapucat. Sebagian di antara mereka akan menyerang
kami dan ada yang akan mengambil milik kami sehingga tidak ada yang tersisa
untuk kami. Kalau demikian kami harus berkata apa?”
Bancroft terdiam.
“Apakah mungkin kami punya hak yang lebih sedikit dari pada kalian? Kalian
beragama Kristen dan selalu berbicara tentang cintakasih. Tapi pada saat itu kalian
juga berkata bahwa kalian boleh mencuri dan merampok kami. Sejujurnya kami
harus melawan kalian. Apakah itu cintakasih? Kalian mengatakan, Tuhan kalian
adalah Bapa yang baik untuk semua kulitmerah dan kulitputih. Apakah kami ini
anak tirinya? Bukankah tanah ini milik orang-orang kulitmerah? Tapi orang
kulitputih telah merampasnya dari kami. Apa yang telah kami peroleh sebagai
gantinya? Penderitaan, penderitaan dan hanya penderitaan. Kalian selalu memburu
kami dan mendesak kami terus-menerus, sehingga dalam waktu singkat kami akan
mati merana. Mengapa kalian lakukan itu? Mungkinkah terpaksa, karena kalian
tidak punya ruang gerak lagi? Bukan, melainkan karena keserakahan, karena di
negeri kalian masih banyak tempat untuk berjuta-juta manusia. Setiap kulitputih
ingin memiliki seluruh negeri, seluruh tanah ini. Tetapi kulitmerah yang menjadi
pemilik sebenarnya dari tanah ini tidak dibiarkan hidup tenang di tanahnya sendiri.
Klekih-petra yang duduk di sebelah saya ini telah bercerita tentang Alkitab. Di situ
diceritakan ada manusia pertama yang mempunyai dua anak laki-laki. Yang satu
membunuh yang lainnya, sehingga darahnya memercik ke surga. Bagaimana
halnya dengan persaudaraan antara kulitmerah dan kulitputih? Apakah kalian yang
menjadi Kain dan kami adalah Abel, yang darahnya memercik ke surga? Untuk itu
kalian masih menuntut, agar kami selayaknya dibunuh, tanpa membela diri! Tidak,
kami harus membela diri, harus! Kami telah dikejar-kejar dari satu tempat ke
tempat lain terus-menerus. Kini kami tinggal di sini, kami kira kami dapat
menikmati hidup dengan tenang dan bernafas lega, tetapi ternyata kini kalian
datang lagi untuk membuat rel keretaapi. Apakah kami tidak mempunyai hak yang
sama seperti Anda di rumah dan halaman Anda sendiri? Jika kami ingin
menggunakan hukum kami, maka kami harus membunuh kalian semua. Namun
kami hanya berharap, bahwa hukum kalian juga berlaku bagi kami. Bisakah
demikian? Tidak! Hukum kalian punya dua sisi. Sisi yang akan diberlakukan kepada
kami, adalah yang justru menguntungkan Anda. Anda di sini akan membangun
jalan. Sudahkah Anda minta ijin kepada kami?”
“Tidak, karena itu tidak perlu.”
“Mengapa tidak? Apakah tanah ini milikmu?”
“Saya pikir begitu.”
“Bukan. Ini tanah kami. Apakah Anda sudah membelinya dari kami?”
“Tidak.”
“Apakah kami menghadiahkan tanah ini kepadamu?”
“Tidak. Tidak kepada saya.”
“Dan tidak juga kepada yang lain. Sekiranya Anda orang yang jujur dan
Anda dikirim ke sini untuk membuat jalan keretaapi, maka seharusnya sejak awal
Anda tanyakan kepada orang yang mengirim Anda, apakah dia mempunyai hak
atas tanah ini. Jika dia mengiyakan, dia harus menunjukkan bukti kepada Anda.
Tetapi Anda tidak melakukannya. Saya melarang kalian untuk melanjutkan
pengukuran tanah di sini!”
Kalimat terakhir yang diucapkan diberi tekanan khusus dan terdengar
sungguh-sungguh. Saya terpesona oleh ucapan orang Indian ini. Sudah banyak
buku-buku tentang bangsa kulitmerah dan pidato-pidato yang diucapkan oleh
orang-orang Indian yang sudah saya baca, tetapi yang seperti tadi belum pernah
saya ketahui.
Intschu tschuna berbicara dengan bahasa Inggris yang jelas dan lancar.
Jalan berpikirnya logis, cara mengungkapkannya seperti seorang yang terpelajar.
Apakah ini berkat ajaran Klekih-petra, guru orang Apache itu?
Sang Insinyur Kepala merasa malu. Jika dia mau mengakui kebenaran dan
bersikap jujur, maka dia sama sekali tidak dapat menangkis dakwaan-dakwaan
yang sudah diajukan tadi. Bancroft mengajukan beberapa alasan, tetapi semuanya
terlalu berbelit-belit, berputar-putar dan banyak kesimpulan yang salah, ketika
kepala suku kembali menjawab dan memojokkannya, Bancroft berpaling kepada
saya,
“Tetapi, Sir. Bukankah Anda tadi menyimak apa yang kami bicarakan tadi?
Silahkan Anda ikut berkomentar!”
“Terima kasih, Mr. Bancroft. Saya seorang surveyor di sini, bukan seorang
pengacara. Lakukan apa yang Anda bisa. Tugas saya mengukur tanah, bukan
berpidato.”
Kepala suku berkata dengan penekanan yang penuh arti,
“Tidak perlu pidato panjang lebar. Sudah saya katakan, bahwa saya tidak
mengijinkan Anda. Saya ingin hari ini Anda pergi dari sini kembali ke tempat asal
Anda. Putuskanlah, apakah Anda mau mematuhi perintah saya atau tidak.
Sekarang saya akan meninggalkan tempat ini bersama Winnetou, putra saya, dan
akan kembali lagi setelah lewat waktu yang oleh orang kulitputih disebut satu jam.
Saya harap nantinya Anda sudah punya jawaban untuk kami. Jika Anda pergi,
maka kita bersaudara, tetapi jika Anda tidak pergi, maka permusuhan di antara
Anda dan kami akan dimulai. Saya Intschu tschuna, Kepala Suku Apache telah
berbicara. Howgh!”
Howgh adalah semacam kata peneguhan bangsa Indian yang artinya kurang
lebih sama dengan amin, sekian, setuju, harap maklum dan tidak dapat diganggu-
gugat. Dia dan Winnetou bangkit. Mereka berjalan dan melangkahkan kaki pelan-
pelan mendaki lembah sampai mereka menghilang di tikungan. Klekih-petra tetap
duduk. Insinyur Kepala menoleh kepadanya dan memohon nasehatnya. Klekih-
petra menjawab,
“Lakukan apa yang Anda inginkan, Sir! Saya sependapat dengan kepala
suku. Telah terjadi kejahatan besar secara terus-menerus pada suku kulitmerah.
Tetapi sebagai orang kulitputih, saya juga tahu, bahwa usaha kulitmerah untuk
melawan adalah sia-sia belaka. Jika kalian hari ini pergi dari sini, maka besok akan
datang orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan kalian. Tetapi saya hendak
memperingatkan kalian, kepala suku itu bersungguh-sungguh.”
“Ke mana dia pergi?”
“Dia mengambil kuda kami.”
“Apakah tadi kalian berkuda?”
“Tentu saja, kuda itu kami sembunyikan ketika kami mengetahui bahwa ada
beruang grizzly di dekat kami. Beruang grizzly tidak bisa diserang sambil berkuda.”
Dia berdiri dan berjalan-jalan mencari angin, setidak-tidaknya untuk
menghindari pertanyaan-pertanyaan dan tekanan-tekanan berikutnya. Saya
mengikutinya dan bertanya,
“Sir, perkenankanlah saya pergi bersama Anda. Saya berjanji tidak akan
berkata atau berbuat yang akan mengganggu Anda. Saya sangat tertarik dengan
Intschu tschuna dan Winnetou.”
Bahwa dia sendiri sangat berpengaruh pada saya, saya tidak ingin
mengatakan kepadanya.
“Ya, silahkan ikut, Sir,” jawabnya. Saya sudah menarik diri dari bangsa
kulitputih dan semua urusannya. Saya tidak mau lagi berhubungan dengan mereka,
tetapi saya tertarik kepada Anda, jadi marilah kita berjalan-jalan bersama.
Tampaknya Anda satu-satunya yang dapat memakai akal sehat. Benarkah
pendapat saya itu?”
“Saya yang paling muda di antara mereka dan masih belum pandai. Saya
tidak akan pernah menjadi sempurna. Saya sangat suka dengan penampilan
manusia yang berhati baik dan bersemangat!”
“Tidak pandai? Semua orang Amerika sama saja.”
“Saya bukan orang Amerika.”
“Jadi orang apa? Apakah pertanyaan saya ini tidak menyinggung Anda?”
“Sama sekali tidak. Saya tidak punya alasan untuk merahasiakan tanah air
saya yang saya cintai. Saya orang Jerman.”
“Seorang Jerman?” kepalanya dengan cepat menengadah. “Saya ucapkan
selamat datang, saudara sebangsa dan setanah-air! Itulah sebabnya, saya segera
tertarik kepada Anda. Sebagai orang Jerman, kita adalah manusia yang unik. Hati
kita saling terpaut sebagai saudara, sebelum kita saling mengatakan bahwa kita
sebangsa. Seorang Jerman yang telah menjadi orang Apache seutuhnya!
Bagaimana kesan Anda? Tidakkah itu luar biasa!”
“Tidak aneh. Suratan takdir sering mengagumkan, tetapi sangat wajar.”
“Suratan takdir! Mengapa Anda berbicara tentang Tuhan dan bukannya
tentang nasib?”
“Karena saya seorang Kristen dan Tuhan saya tidak akan meninggalkan
saya!”
“Benar sekali, Anda benar-benar orang yang bahagia! Ya, Anda benar.
Suratan takdir seringkali mengagumkan, tetapi selalu sangat wajar terjadi. Mukjizat
terbesar adalah proses hukum alam dan mukjizat besar lainnya adalah gejala alam
yang terlihat sehari-hari. Seorang Jerman, seorang terpelajar, cendekiawan
terkenal dan sekarang seorang Apache sejati. Kelihatannya luar biasa, tapi jalan
menuju ke tujuan yang saya lalui sangat wajar.”
Mula-mula dia setengah hati melibatkan saya dengan ceritanya itu, namun
sekarang dia merasa gembira bisa mengeluarkan isi hatinya. Saya segera tahu,
bahwa dia memiliki karakter yang menonjol. Tetapi saya menghindari bertanya
tentang masa lalunya. Dia tidak memperdulikan hal itu dan bertanya dengan polos
tentang keadaan saya. Saya ceritakan secara detil dan kelihatan dia suka sekali
mendengarnya. Kami berada tidak begitu jauh dari perkemahan dan berbaring di
bawah pohon. Garis hidupnya yang pahit tergurat jelas di wajahnya, garis panjang
penderitaan, keraguan, kekhawatiran, kecemasan, kehilangan. Betapa sering dia
terlihat suram, terancam, gusar, terkadang takut, atau bahkan mungkin putus
harapan. Kini di sini semuanya jernih dan tenang seperti danau di tengah hutan,
yang tidak beriak karena hembusan angin, namun sedemikian dalamnya sehingga
orang tidak bisa melihat apakah di dasarnya juga tenang. Ketika dia telah
mendengar semua yang saya ketahui, dia mengangguk pelan dan berkata,
“Anda berada di awal perjuangan sedang saya telah tiba pada akhir
perjuangan. Namun hal ini bagi Anda hanya lahiriah saja, tidak sampai merasuk ke
dalam hati. Anda punya Tuhan yang tidak pernah Anda tinggalkan. Kalau saya lain.
Saya sudah kehilangan Tuhan ketika saya meninggalkan tanah air; dan yang
terburuk adalah, saya merasa besar seperti Tuhan dengan menawarkan suatu
kepercayaan yang kuat yang bisa dimiliki manusia, yaitu suara hati yang jahat.”
Dia memandang saya penuh rasa ingin tahu, bagaimana reaksi saya ketika
mendengar kata-katanya itu. Ketika dia melihat wajah saya tetap tenang, dia
bertanya,
“Anda tidak terkejut?”
“Tidak.”
“Tapi ini bisikan hati yang jahat! Anda bayangkan itu!”
“Pah! Anda bukan pencuri dan bukan pembunuh. Sikap yang lebih jauh lagi
dari itu saya kira Anda tidak mungkin mampu melakukannya.
Dia menjabat tangan saya dan berkata,
“Saya ucapkan terima kasih banyak! Dan Anda telah keliru. Dulu saya
adalah pencuri yang besar, ya, banyak sekali melakukan pencurian! Dan yang
dicuri adalah barang-barang yang sangat berharga! Saya juga seorang pembunuh.
Alangkah banyaknya jiwa yang saya bunuh. Dulu saya seorang guru di sebuah
sekolah tinggi, tetapi tidak perlu saya beritahukan di mana-mana. Kebanggaan
saya yang terbesar terletak pada jiwa bebas yang merendahkan Tuhan, yang
sampai pada titik puncaknya, sehingga bisa meyakinkan orang secara detil, bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan adalah omong kosong belaka. Saya pintar berpidato
dan bisa memukau para pendengar. Bibit-bibit ketidakpercayaan kepada Tuhan itu
saya tebarkan secara terbuka hingga tidak ada satu pun yang tertinggal. Saya
adalah pencuri dan perampok massal yang membunuh keyakinan dan kepercayaan
terhadap Tuhan. Kemudian tibalah masa revolusi. Siapa pun yang tidak mengakui
Tuhan, maka dia pun tidak akan menghargai raja atau pemimpin.”
Sebagai pemimpin orang-orang yang tidak puas, secara terbuka saya tampil
di muka publik. Mereka menelan mentah-mentah semua kata-kata saya. Ini
merupakan racun memabukkan yang, tentu saja, saya anggap sebagai obat yang
mujarab. Mereka lalu berkumpul bersama-sama dan mulai mengangkat senjata.
Betapa banyaknya orang yang tewas dalam keributan itu! Sayalah pembunuh
mereka, tetapi mereka mati bukan semata-mata karena saya, karena yang lainnya
meninggal di balik tembok penjara. Tentu saja dengan segala daya-upaya, saya
mulai diselidiki. Saya meloloskan diri dan kabur dari tanah air. Tidak ada yang
bersedih atas kepergian saya. Tidak ada seorang pun yang menangis dan saya
sudah tidak punya lagi ayah, ibu, saudara, juga kerabat. Tidak ada orang yang
menangisi saya, tetapi banyak orang yang menangis karena saya. Itu semua sama
sekali tak terpikirkan sampai kesadaran akan hal itu datang, seperti sebuah
hantaman yang hampir membuat saya tersungkur ke tanah. Pada suatu hari,
sebelum saya melintasi batas negeri Jerman, saya dikejar-kejar oleh polisi, yang
telah semakin dekat. Pada saat itu saya melintas di sebuah desa yang miskin.
Secara kebetulan saya berlari melintasi halaman kecil menuju sebuah gubuk reyot
dan tanpa menyebut nama, saya mencari perlindungan pada seorang ibu tua yang
bertubuh kecil dan anak perempuannya, yang saya temui di biliknya. Mereka
menyembunyikan saya atas kehendak suaminya yang mengatakan bahwa saya ini
teman mereka.
Kemudian mereka duduk bersama dengan saya di sebuah sudut yang gelap
dan bercerita dengan deraian air mata karena hati yang luka. Mereka miskin tetapi
bahagia. Anak perempuannya setahun yang lalu sudah menikah. Suaminya
mendengar pidato saya dan ikut terhasut. Dia mengajak ayah mertuanya ikut ke
dalam perkumpulan, dan racun yang saya tebarkan mulai bereaksi. Saya telah
merenggut empat orang yang baik ini dari kebahagiaan hidupnya. Suami anak-
perempuan mati di ladang pembantaian dengan mengenaskan dan ayah mertuanya
di hukum penjara bertahun-tahun lamanya. Kedua wanita ini menceritakan
semuanya kepada saya. Orang yang telah diselamatkannya, yang juga telah
berdosa atas semua kemalangan mereka. Mereka menyebut nama saya sebagai
seorang penghasut. Itu adalah tamparan bagi saya, bukan secara lahiriah tapi bagi
jiwa saya. Murka Tuhan mulai dijatuhkan. Saya tetap masih bebas, tapi hati saya
menderita, sehingga tidak ada hukuman yang setimpal atas dosa yang sangat
besar itu. Di sini saya mengembara dari satu negara ke negara lain dan berusaha
untuk melakukan sesuatu tetapi tidak menemukan kedamaian. Suara hati saya
terus menyiksa saya! Betapa seringnya saya ingin bunuh diri, namun selalu ada
tangan yang menahan saya - tangan Tuhan. Tuhan telah membimbing saya setelah
penderitaan dan penyesalan selama bertahun-tahun, kepada seorang pastor
Jerman di Kansas, yang merasakan suasana hati saya dan mendesak saya untuk
menceritakan semuanya kepadanya. Saya melakukannya demi kebaikan diri saya.
Saya temukan kebebasan setelah sekian lama dalam kebimbangan, pengampunan
dan penghiburan, keimanan yang kuat dan kedamaian batin. Tuhan, saya
berterima kasih sekali karenanya!”
Dia berhenti sejenak, melipat kedua tangannya dan matanya menerawang
ke langit. Dia kemudian melanjutkan,
“Di dalam hati saya bertekad, meninggalkan urusan dunia dan manusia-
manusianya. Saya pergi masuk ke dalam hutan belantara. Namun bukan saja
keimanan itu sendiri yang membuat bahagia. Pohon keimanan harus menghasilkan
buah. Saya ingin bekerja, sebisa mungkin yang bertentangan dengan pekerjaan
saya dahulu. Saya melihat, orang kulitmerah berjuang melawan kepunahan mereka
dengan penuh keputus-asaan.
Saya melihat mereka terancam mati kelaparan, dan hati saya tersentuh
terlebih karena kemarahan, iba hati, dan kasihan. Nasib mereka telah digariskan
demikian, saya tidak bisa menolong, namun saya masih mungkin melakukan
sesuatu hal yakni sedapat mungkin meringankan sakrat maut yang datang
menjemput mereka dan melepas saat-saat terakhirnya dengan cintakasih dan
kedamaian. Saya mendatangi suku Apache dan belajar untuk memasukkan
pengaruh saya ke dalam kepribadian mereka. Saya telah memperoleh kepercayaan
dari mereka dan semuanya berhasil dengan baik. Saya ingin Anda mengenal
Winnetou, dia benar-benar anak didik saya yang sesungguhnya. Pemuda ini
mempunyai bakat yang baik. Seandainya dia dilahirkan sebagai anak seorang
penguasa Eropa, maka niscaya dia akan menjadi panglima yang ulung atau
menjadi pemimpin perdamaian yang termasyhur. Namun sebagai pewaris seorang
kepala suku Indian dia akan punah seperti bangsanya. Seandainya saya masih
hidup pada saat dia masuk Kristen! Setidak-tidaknya saya akan mendampingi dia
dalam keadaan bahaya dan darurat sampai akhir hayat saya. Dia adalah anak
spiritual saya dan saya menyayanginya lebih daripada diri saya sendiri. Seandainya
saya berumur panjang, jika ada peluru yang seharusnya ditujukan ke arahnya,
biarlah jantung saya yang akan menahannya, dengan begitu saya akan mati
dengan bahagia untuknya dan menganggap kematian itu sekaligus sebagai
penebusan dosa bagi dosa-dosa saya di masa lalu.”
Dia diam dan menundukkan kepalanya. Saya sangat terharu dan tidak
mampu berkata apa-apa, karena saya merasakan hampa setelah mendengar
pengakuan seperti itu. Tetapi saya pegang tangannya dan menggenggamnya
sepenuh hati. Dia memahami saya dan itu ditunjukkannya dengan anggukan pelan
dan membalas genggaman saya. Itu berlangsung beberapa saat sampai kemudian
dengan perlahan dia bertanya,
“Dari mana tadi asalnya hingga saya ceritakan semua ini kepada Anda? Hari
ini untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Anda dan mungkin saya tidak
akan bertemu Anda lagi. Ataukah ini juga sebuah takdir, bahwa saya dan Anda
sekarang bertemu di sini? Anda lihat bukan, saya yang dulunya pendosa, sekarang
berusaha kembali ke jalan yang benar. Bagi saya hal ini begitu luar biasa, begitu
lembut, begitu menyentuh hati, tetapi tidak menyakitkan. Suasana yang serupa
dengan itu adalah ketika daun-daun berjatuhan di musim gugur. Bagaimanakah
daun kehidupan saya lepas dari pohonnya? Perlahan, gampang, dan dengan
tenang? Ataukah daun itu dipatahkan, sebelum tiba saatnya untuk gugur secara
alamiah?”
Dia memandang ke arah lembah seolah-olah tanpa disadarinya ada
kerinduan di dalam hati. Saya melihat Intschu tschuna dan Winnetou datang ke
arah kami. Kini mereka berkuda dan menuntun kuda Klekih-petra di sampingnya.
Kami bangkit, lalu berjalan kembali ke perkemahan, di mana kami tiba bersama-
sama dengan mereka. Rattler bersandar pada pedati dan memandang kami dengan
wajah yang kemerah-merahan dan bengkak serta menghampiri kami. Dalam waktu
yang singkat dia telah minum brandy begitu banyak, sehingga kini dia tidak
sanggup minum lagi. Manusia ini benar-benar seperti binatang yang mengerikan!
Pandangannya tampak bengis seakan-akan pandangan seekor binatang buas yang
hendak menyerang. Saya bertekad akan mengawasi dia.
Kepala suku dan Winnetou turun dari atas kudanya lalu menghampiri kami.
Kami berdiri bersama-sama dan agak berjauhan.
“Apakah saudara-saudaraku kulitputih telah mempertimbangkan, apakah
ingin tetap tinggal di sini atau meninggalkan daerah ini?” tanya Intschu tschuna.
Insinyur Kepala memperoleh gagasan diplomatis. Dia menjawab,
“Sebenarnya kami ingin pergi, tapi kami harus tetap berada di sini
sebagaimana perintah yang telah kami terima. Saya akan mengirim kurir ke Santa
Fé dan bertanya tentang soal ini, kemudian barulah saya bisa memberi jawaban.”
Itu sama sekali bukan gagasan yang buruk, karena dengan begitu kami
harus bisa menyelesaikan pekerjaan kami hingga kurir itu kembali. Tapi kepala
suku itu berbicara dengan nada pasti,
“Saya tidak bisa menunggu begitu lama. Saudara-saudaraku kulitputih harus
segera memutuskan, apa yang hendak Anda lakukan.”
Rattler memegang mangkuk brandy dan datang menghampiri kami. Saya
kira, dia akan menuju ke saya tetapi dia malahan berjalan menuju ke arah kedua
orang Indian itu dan berbicara merancau,
“Jika orang-orang Indian ini mau minum dengan saya, maka kita akan
menuruti kemauan mereka dan meninggalkan tempat ini. Jika tidak mau, kita juga
tidak akan pergi. Yang muda boleh minum dulu. Ini air apinya, Winnetou.”
Dia menyodorkan mangkuk ke Winnetou. Winnetou mundur dan memberi
isyarat penolakan dengan tangan.
“Apa, kamu tidak mau minum dengan saya? Benar-benar sebuah
penghinaan. Kamu mau brandy ini di wajahmu, kulitmerah terkutuk. Jilatilah itu,
jika kamu tidak mau meminumnya!”
Sebelum salah seorang dari kami bisa mencegahnya, dia sudah melempar
mangkuk beserta isinya ke arah wajah pemuda Apache itu. Bagi Indian, itu adalah
penghinaan yang pantas dibalas langsung dengan hukuman di tempat, walaupun
bukan dengan hukuman yang berat. Lalu Winnetou meninju wajah bajingan itu
hingga roboh ke tanah. Dia bangun dengan susah payah. Saya akan turun tangan,
karena saya pikir dia akan melangkah untuk berkelahi, tapi ternyata bukan begitu
kejadiannya. Dia hanya menatap penuh ancaman pemuda Apache itu, memberi
isyarat, kemudian dengan sumpah serapahnya kembali ke pedati.
Winnetou menyeka wajahnya yang basah dan menunjukkan roman muka
yang mashgul seperti yang ditunjukkan juga oleh ayahnya, dan tak seorang pun
mengetahui apa yang ada di benak mereka.
“Saya bertanya sekali lagi,” kata kepala suku. “Ini untuk terakhir kali.
Apakah hari ini mukapucat akan meninggalkan lembah ini?”
“Kami tidak boleh,” jawab seseorang.
“Baiklah kami pergi. Tidak ada lagi perdamaian di antara kita.”
Saya berusaha untuk menengahi, tapi sia-sia, karena ketiga orang itu sudah
menuju ke kuda mereka. Dari arah pedati terdengar suara Rattler,
“Enyahlah kalian! Anjing-anjing merah! Tapi anak yang meninju muka saya
harus membayar perbuatannya.”
Secepat kilat tanpa disadari orang lain, dia telah mengambil senapan dari
dalam pedati dan dibidiknya ke arah Winnetou yang pada saat itu berdiri bebas
tanpa perisai apa pun. Peluru itu pasti menembusnya, karena semua berjalan
begitu cepat, sehingga tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Klekih-petra
berteriak penuh ketakutan,
“Berlindung, Winnetou, cepat! ”
Bersamaan dengan itu pula dia melompat berdiri di depan pemuda Apache
itu untuk melindungi. Terdengar bunyi tembakan, Klekih-petra meraba dadanya
yang tertembus peluru dengan tangan. Dia berjalan terhuyung-huyung dan
kemudian roboh ke tanah.
Tapi dalam sekejap Rattler juga roboh oleh tinju saya. Saya sebenarnya
sudah berusaha menghalangi tembakan itu dengan meloncat ke arahnya secepat
mungkin, tapi ternyata sudah terlambat. Teriakan kaget dari semua yang hadir
terdengar nyaring, kecuali kedua orang Indian yang tidak bersuara sedikit pun.
Mereka berlutut di sebelah Klekih-petra yang telah mengorbankan dirinya demi
Winnetou yang dikasihinya, dan tanpa bersuara mereka memeriksa lukanya.
Tembakan itu mengenai dekat jantungnya tepat di dada, dan darah memancar
keluar dari luka itu. Saya bergegas ke sana. Klekih-petra berusaha membuka
matanya, wajahnya dengan cepat menjadi pucat dan cekung.
“Letakkan kepalanya di pangkuanmu,” pinta saya kepada Winnetou. “Jika
dia nanti membuka matanya dan memandangmu, kematiannya akan membuatnya
lebih bahagia.”
Tanpa berkata apa-apa dia menuruti permintaan saya itu. Matanya tidak
berkedip, tetapi pandangannya tidak lepas menatap wajah Klekih-petra yang
sedang sekarat. Kedua kelopak matanya dengan perlahan mulai membuka. Dia
melihat Winnetou yang berlutut di depannya, senyum bahagia terbersit begitu
cepat pada roman mukanya dan dia berbisik,
“Winnetou, schi ya Winnetou-Winnetou, oh anakku Winnetou!”
Kemudian tampak matanya seperti masih mencari-cari seseorang.
Pandangannya tertuju ke arah saya dan dia berkata kepada saya dalam bahasa
Jerman,
“Dampingilah dia, setialah selamanya, lanjutkan tugas saya…!!”
Dia mengangkat tangannya memohon saya memegang tangan itu dan saya
menjawab,
“Saya lakukan, ya, pasti, akan saya lakukan itu!”
Dari wajahnya tampak ajal akan menjemputnya dan dia berdoa dengan
suara yang semakin melemah,
“Maka gugurlah daun saya... dipatahkan... tidak perlahan... gampang... ini
adalah... penebusan dosa terakhir... saya mati seperti... seperti yang saya
inginkan. Tuhan, ampuni... ampunilah saya! Ampunilah... Ampunilah! Saya datang
menghadapMu ….”
Dia melipat kedua tangannya... darah masih mengalir deras dari lukanya
dan kepalanya kembali terkulai. Dia sudah tiada!
Kini tahulah saya, apa yang dimaksud dengan takdir Tuhan seperti yang
telah dia katakan, yakni dengan mencurahkan isi hatinya kepada saya untuk
meringankan beban pikirannya. Harapannya untuk mati demi membela Winnetou
sudah terlaksana. Betapa cepatnya harapan itu terwujud! Penebusan dosa terakhir
telah terkabul. Tuhan adalah pengasih dan penyayang, rasa penyesalan mendalam
Klekih-petra telah berakhir.
Winnetou meletakkan dengan hati-hati kepala Klekih-petra di atas rumput,
bangkit pelan-pelan dan memandang ayahnya seakan-akan hendak bertanya.
“Di sana pembunuhnya tergeletak, saya sudah memukulnya,” kata saya.
“Terserah mau Anda apakan.”
“Air api!”
Hanya jawaban singkat itu saja yang diucapkan oleh sang kepala suku.
Tentu saja dengan nada mengejek penuh amarah.
“Saya ingin menjadi teman kalian, saudara kalian, saya ingin pergi dengan
kalian!” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir saya.
Dia meludahi wajah saya dan berkata,
“Anjing kudisan! Pencuri tanah demi uang! Coyote busuk! Berani-beraninya
mau ikut kami, akan saya lumatkan kamu!”
Kalau saja orang lain yang mengatakan, saya akan membalasnya dengan
tinju. Kenapa saya tidak melakukannya? Apakah mungkin karena saya memang
orang yang masuk tanpa ijin ke tanah orang? Saya tidak membalas karena naluri
agar saya meninggalkan kesan menyenangkan bagi mereka. Namun saya tidak bisa
menawarkan diri lagi, meskipun demi sumpah yang telah saya ucapkan di depan
Klekih-petra.
Orang-orang kulitputih itu berdiri membisu, menantikan apa yang akan
dilakukan dua orang Apache itu selanjutnya. Keduanya tidak menghiraukan kami.
Mereka mengangkat jenasah Klekih-petra ke atas kuda dan mengikatnya dengan
kuat, kemudian mereka menaiki pelana kudanya, menegakkan tubuh Klekih-petra
yang lunglai dan berjalan pelan-pelan dengan menyangga jenasah itu di kanan-kiri.
Mereka tidak berkata tentang balas dendam dan tidak juga sejenak berpaling ke
arah kami. Namun itu lebih buruk, jauh lebih buruk daripada jika mereka terus
terang bersumpah membalas kami dengan kematian yang mengerikan.”
“Keterlaluan dan perkara ini masih akan berlanjut!” kata Sam Hawkens.
“Bajingan itu terkapar di sana karena terkena pukulan Anda dan karena
kebanyakan alkohol. Mau kita apakan dia?”
Saya tidak menjawab. Saya memasang pelana pada punggung kuda saya
dan pergi. Saya ingin menyendiri untuk mengatasi peristiwa mengerikan setengah
jam yang lalu, paling tidak secara lahiriah. Larut malam baru saya pulang kembali
ke perkemahan dalam keadaan letih, lelah jiwa dan raga.

Anda mungkin juga menyukai