Anda di halaman 1dari 7

Karena Ukuran Kita Tak Sama

oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi. 02/04/2012

seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya


memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal.
Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari.
Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak
unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn
‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika
melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan
menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema
memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia
bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan
watak khas yang dimiliki.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan,
kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun
gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan
terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari
bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang
menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi
menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun
dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia
‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,”
kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang
dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan.
Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik
tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk
menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi
jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan
membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat
dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya
agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya
jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan
penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya
bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam
tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk
berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak
mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu
sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan
memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan
membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang
absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran
yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin
mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah
Kembali Mengenal Ukhuwah
Muhammad Anas, Lc. 24/05/16 | 16:17 Artikel Lepas Belum ada komentar2.859 Hits

dakwatuna.com – Saudaraku.. coba bayangkan, suatu hari ketika Anda telah kembali ke rumah dan mendapatkan
seseorang telah menunggu Anda bersama istri dan anak-anaknya datang dengan membawa sepucuk surat dari salah
satu teman Anda yang tidak mungkin Anda tolak permintaannya, ia mengabari Anda bahwa pembawa surat
tersebut adalah saudaramu di jalan Allah (akhun lak fi Allah), telah mengalami ujian dan banyak cobaan, dan dia
sekarang tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki tempat bernaung juga tidak memiliki harta oleh karena itu,
terimalah ia dan keluarganya di rumahmu, untuk itu Anda juga harus berbagi harta yang Anda miliki, makanan dan
tempat tinggal, dan jangka waktu bertamu ini belum diketahui sampai berapa lama, bisa jadi berbulan-bulan atau
bertahun-tahun lamanya.

Kira-kira apa respon Anda terhadap pembawa surat tersebut?

Apakah Anda akan bahagia dengan isi surat tersebut? Atau dada Anda akan terasa sempit dan bingung, di mana
gaji Anda tidak cukup untuk berbagi, rumah tempat Anda bernaung juga sempit hanya cukup dengan anggota
keluarga Anda, lalu bagaimana jika gaji, tempat tinggal harus dibagi antara Anda dengan saudara Anda di jalan
Allah tadi?

Kalaupun misalnya Anda berkecukupan, namun siapa yang sanggup berbagi dalam satu atap dengan orang yang
belum dikenal sebelumnya, dengan orang yang kita tidak kenal watak dan tabiatnya, dengan orang yang kita tidak
kenal gaya hidup dan kebiasaannya?

Penulis sendiri bisa membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi dengan penulis jika menghadapi kondisi seperti
ini, terbayang beratnya beban yang akan penulis tanggung, terlebih lagi waktu bertamu tanpa batas, berlangsung
lama. Angan-angan penulis saat itu mereka-reka mungkin orang ini salah alamat dan yang dimaksud adalah orang
lain, bukan saya, dan penulis akan segera menghubungi penulis surat tersebut, mencoba menghindari masalah,
penulis juga akan menyampaikan beragam alasan dan kondisi agar tidak menerima tamu tersebut, kalaupun penulis
menyetujui menerima keluarga tersebut, itu dengan batas bertamu, dan sebisa mungkin tidak berlangsung lama.

Kondisi seperti ini, yang kita berharap tidak pernah terjadi pada kita, ternyata telah terjadi dan telah dialami oleh
para sahabat Anshar awal mula dakwah Islam. Dimana sahabat Muhajirin demi agama, mereka meninggalkan
rumah dan harta mereka, meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya,
hijrah tanpa harta untuk membiayai kebutuhan mereka, dan tanpa tempat tinggal. Sementara itu, penduduk kota
Yatrib (Anshar) adalah orang-orang fakir, lebih dari itu, mereka juga tidak memiliki hubungan dengan kaum
Anshar, juga tidak mengenal mereka. Walau demikian mereka harus menerima saudara-saudara sahabat Muhajirin
secara utuh.. Lalu apa respon kaum Anshar yang akan menerima tamu sahabat Muhajirin?

Buku-buku sejarah menceritakan kepada kita bahwa mereka sangat bahagia menerima tamu Muhajirin, hingga
kaum Anshar berlomba-lomba untuk dapat menerima setiap sahabat Muhajirin yang sampai di Yatsrib (Madinah).
Karena para Anshar saling bersaing dan berlomba untuk dapat menerima sahabat Muhajirin hingga mereka harus
diundi untuk menentukan siapa yang menang dan dapat giliran menerima tamu Muhajirin. Dan ini sungguh terjadi,
hingga disebutkan bahwa tidaklah seorang Muhajirin bertamu ke Anshar kecuali dengan undian.

Mungkin kita akan berdecak kagum dengan sikap unik para sahabat Anshar ini yang kita tidak mampu berbuat
seperti mereka, mungkin kita juga bertanya apa yang membuat mereka bisa sampai seperti itu, tindakan mereka di
luar batas kemampuan manusia?

Al-Quran telah menjawab pertanyaan-pertanyaan kagum kita, Al-Quran telah menjelaskan rahasia yang
mendorong para Anshar melakukan isar luar biasa walaupun keadaan mereka yang sangat fakir dan juga sangat
membutuhkan. Allah Swt., berfirman memuji mereka:

..‫والذين تبوءوا الدار واإليمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم واليجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة‬
)9 :‫(الحشر‬.

‘Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan (beriman) sebelum
kedatangan mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan
mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin) dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.
(QS. al-Hasyr: 9)
Dalam ayat di atas, para Anshar disebut dengan kalimat “‫ ”والذين تبوءو الدار‬atau mereka yang menempati sebuah
negeri (Yatsrib, Madinah) sebelum kaum Muhajirin datang, ayat di atas juga menyebut mereka bahwa mereka juga
menempati keimanan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mereka bisa menempati keimanan? Bukankah keimananlah yang masuk ke
dalam hati?

Yaa demikianlah, menjawab ini, Dr. Majdi al-Hilali mengatakan bahwa semakin kuatnya keimanan mereka, hingga
seolah-olah merekalah yang masuk menempati keimanan, dan bukti itu semua adalah apa yang mereka telah
lakukan ini, menerima tamu Muhajirin; walaupun kondisi mereka yang sangat membutuhkan.[1]

Para sahabat Ansar tidaklah tanpa tekanan menerima Muhajarin, selain kondisi ekonomi mereka yang fakir
(tekanan ekonomi), mereka juga dengan segala konsekwensi menerima Ansar mendapatkan tekanan politik dan
keamanan (harus berhadapan dengan kaum musyrikiin yang memusuhi kaum Muslimin). Namun semua
pertimbangan-pertimbangan tadi, pertimbangan ekonomi, pertimbangan politik dan keamanan musnah dengan
pertimbangan keimanan dan pertimbangan ukhuwah, lenyap dengan pertimbangan cinta dan itsar.

Ukhuwah, taakhi, cinta dan itsar adalah syarat kebangkitan dan kemenangan, itulah strategi pertama yang ditempuh
oleh Rasullah Saw., dengan mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin dan membangun masjid tempat
membina persaudaraan dan persatuan kaum Muslimin.

Risalah ini juga dilanjutkan oleh Imam Hasan al-Banna dalam membangun komunitas dan gerakan yang kuat.
Menjadikan persatuan sebagai senjata dan taaruf saling mengenal sebagai asas dakwah.

Mari kita kembali merenungi nasehat pendiri gerakan Islam di lembah sungai Nil tersebut, beliau mengatakan:

‘Wahai Ikhwan! Saya tidak bisa menyembunyikan perasaan saya di hadapan kalian, bahwa saya berbangga dengan
kesatuan ikhwan yang jujur, bangga dengan ikatan Rabbani yang kokoh, dan cita-cita kalian yang agung untuk
menggapai masa depan. Sepanjang kalian berada dalam keadaan demikian (Menjalin ukhuwah karena Allah, saling
mencintai dan saling menolong) maka jagalah persatuan ini karena ia adalah senjata dan bekal kalian’[2]

Saat ini kita perlu kembali mengenal dan mempelajari serta mengamalkan makna ukhuwah sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah Swt., dan diajarkan oleh Rasul-Nya dan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam
Syahid Hasan al-Banna:

‘Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan nurani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah
sekokoh-kokohnya ikatan dan semulia-mulianya, Ukhuwah adalah saudara keimanan sedangkan perpecahan adalah
saudara kekufuran. Kekuatan pertama adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta dan kasih.
Minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar (mementingkan orang lain dari diri
sendiri) ‘Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka itulah orang-orang yang beruntung’ (Al-Hasyr:
9). Al-Akh yang tulus melihat saudara-saudaranya yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, karena ia jika
tidak bersama mereka, mereka tidak dapat bersama yang lain. Sementara mereka, jika tidak dengan mereka, maka
mereka bersama dengan yang lain. Dan sesungguhnya serigala hanya makan kambing yang terlepas sendirian.
Seorang mukmin  dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, yang satu mengokohkan yang lain. ‘Orang-
orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi lainnya’.
Demikianlah seharusnya kita.[3]

Selain itu kita perlu mengetahui bentuk-bentuk terkikisnya tingkat persaudaraan kita di jalan Allah. Di antaranya
adalah hilangnya saling menasehati, saling mengenal, saling memahami dan saling mencukupi. Bentuk lainnya
adalah berburuk sangka, persaudaraan terjalin selama masih berhubungan dan jika berjauhan maka putus pula
persaudaraannya, saling melupakan dan bermasa bodoh, berpaling dari wajah saudaranya saat sedang bersengketa,
tidak segera berishlah walaupun ia benar, bukankah yang lebih baik adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam
(berdamai). Bentuk lainnya adalah benci ketika saudaranya mendapatkan kebaikan bahkan berharap saudaranya
mendapat keburukan, tidak sedih dengan apa yang menimpa saudaranya, bahkan bergembira, berselisih dan
berpecah belah, dan keduanya merasa yang paling benar hingga menuduh saudaranya menipu, berbohong dan
membuat fitnah.[4] In Sya Allah bentuk-bentuk terkikisnya makna ukhuwah ini secara detail akan dibahas pada
pembahasan berikutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. (dakwatuna.com/hdn)

[1] Majdi al-Hilali, Nadzarat fi al-Tarbiyah al-Imaniyah, Muassasah Iqra’, Kairo, 2010. Hal. 5.
[2] Hasan al-Banna, Risalah al-Ta’lim, al-Muktamar al-Khamis, Dar al-Dakwah, Kairo. Hal. 132
[3] Hasan al-Banna, Ibid. Hal. 364.
[4] Muhammad Abduh, Sulukiyat Khatiah Ala Tariq al-Dakwah, Kairo, 2007. Hal. 72-76.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/05/24/80665/kembali-mengenal-ukhuwah/#ixzz5kHsj9S7v
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Indahnya Ukhuwah dalam Dekapan Tarbiyah
Pradeka Brilyan 09/06/14 | 10:24 Artikel Lepas Belum ada komentar14.160 Hits

dakwatuna.com – “Sesungguhnya di dunia ini ada taman-taman surga. Barangsiapa tidak memasuki taman surga
dunia, maka dia tidak bisa memasuki surga di akhirat.” Sebuah ungkapan mahsyur dari syaikh Ibnu Taimiyah
mengenai taman surga dunia. Lalu apakah taman surga dunia itu, Saudaraku?

Ah, Hadist dari Imam Ahmad ini mungkin bisa menjadi jawaban “…Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
apakah yang dimaksud taman-taman surga itu? Beliau menjawab “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu)”.

Taman surga dunia. Ya, itulah yang dapat kita ungkapkan dalam ajelis tarbawi ini. Tarbiyah adalah dakwah dimana
kita mencelupkan pribadi muslim dan mewarnainya dengan warna Islam. Proses tarbiyah sendiri bukan hanya
sekedar ngaji membahas mengenai aqidah, tauhid, fiqh, hafalan. Tapi  juga ada hal berharga yang kita peroleh dari
proses tersebut. Sebuah ikatan yang saling menautkan hati. Itulah ukhuwah. Sebuah anugerah tiada tara yang Allah
berikan bagi para mukmin dengan mengikat hati dalam ikatan iman. Jika kata Ustadz Salim A.Fillah, ukhuwah
adalah ruh-ruh yang diakrabkan oleh iman.

Saudaraku, mari sejenak kita mengenang perjalanan hijrah Rasulullah. Suatu hari ketika, Abu Bakar ash-Shidiq
mendampingi Rasulullah dalam hijrahnya menghindari kejaran Quraisy dan bersembunyi dalam gua Tsur. Ketika
beberapa orang Quraisy mengetahui tempat persembunyian mereka, Abu Bakar mulai resah dan gelisah. Tepat di
saat itu, menitiklah sebulir air mata Abu Bakar hingga jatuh ke pipi Rasulullah yang sedang berbaring di pangkuan
Abu Bakar. Rasulullah terbangun dan berkata, “Janganlah bersedih, Abu Bakar. Allah bersama kita.” Sebuah
perkataan lembut dari Rasulullah yang mampu menguatkan hati Abu Bakar.

Begitulah indahnya ukhuwah dalam dekapan tarbiyah. Saling menguatkan ketika yang lain lemah, saling
menasehati ketika yang lain khilaf, saling menjaga agar selalu dalam kebaikan, dan saling berbagi. Begitulah
indahnya ukhuwah dalam dekapan tarbiyah. Kita belajar untuk saling berlemah lembut, mencintai, mengasihi,
menghormati, mengokohkan, memaafkan, dan saling mempercayai. Begitulah indahnya ukhuwah dalam dekapan
tarbiyah, ketika ruh-ruh saling diakrabkan oleh iman mereka bagaikan cahaya di atas cahaya.

“Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berikatan. Dengannya Allah persatukan hati-hati yang
berserakan. Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai, dan saling berlembut hati.” 
(Sayyid Qutb). “Teman-teman akrab pada hari itu sebagian dari mereka menjadi musuh bagi yang lain kecuali
orang-orang bertakwa. (QS. az-Zukhruf : 67)

Dalam dekapan tarbiyah, semoga ukhuwah ini seindah Jannah.

Redaktur: Pirman
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/09/52862/indahnya-ukhuwah-dalam-dekapan-tarbiyah/
#ixzz5kHtI8DT9
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

8 Kiat Mempererat Ukhuwah


Mochamad Bugi 29/05/08 | 13:08 Hadits Komentar Dinonaktifkan pada 8 Kiat Mempererat Ukhuwah28.540 Hits
dakwatuna.com – Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa
kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan
mempraktikannya.
Jika delapan cara di bawah ini dilakukan, Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara
seiman Anda semakin kokoh.
1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda
ُ‫ ِِإ َذا َأ َحبَّ ال َّر ُج ُل َأخَ اهُ فَ ْلي ُْخبِرْ هُ ََأنَّهُ ي ُِحبُّه‬:‫ال‬ َ ‫َع ِن النَّبِ ِّي‬
َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ق‬
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.”
(Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

،‫ ال‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم َأ ْعلَ ْمتَهُ؟ قَا َل‬


َ ‫ألحبُّ هَ َذا فَقَا َل لَهُ النَّبِ ُّي‬
ِ ‫ يَا َرسُوْ ُل هللاِ اِنّي‬:‫ال‬ َ ‫ اَ َّن َر ُجالً َكانَ ِع ْن َد النَّبِ ِّي‬:‫س‬
َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم فَ َم َّر َر ُج ٌل فَق‬ ٍ َ‫ع َْن اَن‬
َُ‫ َأ َحبَّكَ الَّ ِذي َأحْ بَ ْبتَنِى له‬:‫ال‬ َ َ
َ ‫ك فِى هللاِ فق‬ ‫ُأ‬ ِّ
َ ُّ‫ ِإني ِحب‬:‫ال‬ َ َ َ َ َ َ َ َ
َ ‫ أ ْعلِ ْمهُ فل ِحقهُ فق‬:‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم‬ َ ‫قا َل‬ َ
Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya.
Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi
bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw.
bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku
mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena
engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)
Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.

2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah


‫ َكلِ َمةً َما يَسُرُّ نِى َأ َّن لِى بِهَا‬:‫ك فَقَا َل‬ َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم فِى ْال ُع ْم َر ِة فََأ ِذنَ ِلي فَق‬
َّ ‫ الَ تَ ْن َسنَا يَا اُ َخ‬:‫ال‬
َ ‫ي ِم ْن ُدعَاِئ‬ ُ ‫ اِ ْستَْأ ِذ ْن‬:‫ال‬
َّ ِ‫ت النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن ُع َم َر ْب ِن ْال َخطَا‬
َ َ‫ب ق‬
َ ‫ي فِى ُدعَاِئ‬
‫ك‬ ‫ُأ‬ ْ ْ
َّ ‫ ش ِركنَا يَا َج‬:‫ال‬‫َأ‬ ْ
َ َ‫ َوفِى ِر َوايَ ٍة ق‬،‫ال ُّدنيَا‬

Uma‫ ق‬bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu
Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.”
Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan
kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu
Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

‫ك بِ ِم ْث ٍل‬ ُ َ‫ال ْال َمل‬


َ َ‫ َول‬: ‫ك‬ ِ ‫ َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْد ُعوْ َأِل ِخ ْي ِه بِظَه ِْر ْال َغ ْي‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬
َ َ‫ب ِإالَّ ق‬ َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan
malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman


َ ‫ُف َشيْئا ً َولَوْ َأ ْن ت َْلقَى َأخَا‬
ٍ ‫ك بِ َوجْ ٍه طَلِ ْي‬
‫ق‬ ِ ‫ الَ تَحْ قِ َر َّن ِمنَ ْال َم ْعر‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬
َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu
dengan wajah ceria.” (Muslim)

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat


Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang
berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)
‫صافَ َحا ِن ِإالَّ ُغفِ َر لَهُ َما قَب َْل َأ ْن يَتَفَ َّرقَا‬
َ َ‫ َما ِم ْن ُم ْسلِ ِم ْينَ يَ ْلتَقِيَا ِن فَيَت‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬

5. Sering-seringlah berkunjung
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang
mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberli karena Aku’.” (Imam Malik
dalam Al-Muwaththa’)

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan


‫ َم ْن لَقِ َي َأ َجاهُ بِ َما يُ ِحبُّ لِيَ ُس َّرهُ َذالِكَ َس َّرةُ هللاُ َع َّز َو َج َّل يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬ ٍ َ‫ع َْن اَن‬
َ ِ‫س بن مالك قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu
yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam
Mu’jam Shagir)
Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak,
menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain.

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa


َّ ‫ث ْال َم َو َّدةَ َوتُ ْذ ِهبُ ال‬
َ‫ضغَاِئن‬ ُ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ْالهَدَايَا فَِإنَّهَا تُوْ ِر‬
Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan
rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)

‫ تَهَادَوْ ا ت ََحابُّوْ ا‬:َ‫ع َْن عَاِئ َشة‬


Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah,
niscaya kamu akan saling mencintai.”

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda


ِ ‫ َو َم ْن يَس ََّر َعلَى ُمع‬،‫ب يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة‬
ُ‫ْس ٍر يَ َّس َر هللا‬ َ َّ‫ب ال ُّد ْنيَا نَف‬
ِ ‫س هللاُ َع ْنهُ ُكرْ بَةً ِم ْن ُك َر‬ ِ ‫س ع َْن ُمْؤ ِم ٍن ُكرْ بَةً ِم ْن ُك َر‬ َ َّ‫ َم ْن نَف‬:‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬
ْ ْ ِ ‫ َو َم ْن َستَ َر ُم ْسلِ ًما َستَ َرهُ هللاُ فِى ال ُّد ْنيَا َو‬،‫ َعلَ ْي ِه فِى ال ُّد ْنيَا َواآل ِخ َر ِة‬.
‫ َوهللاُ فِى عَوْ ِن ال َع ْب ِد َمادَا َم ال َع ْب ُد فِى عَوْ ِن اَ ِخ ْي ِه‬،‫اآلخ َر ِة‬
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan
melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan
memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan
menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong
saudaranya.” (Muslim)
Karena itu, jadikan diri Anda orang yang paling dahulu membantu kala saudara Anda membutuhkan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/29/679/8-kiat-mempererat-ukhuwah/#ixzz5kHv0A1iG
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai