Anda di halaman 1dari 4

Menyingkap Sirah Nabawiyah Untuk Sebuah Keteladanan

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik, bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) kiyamat dan dia
banyak menyebut Allah” QS. Al Ahzab:21

Bulan Rabi’ul Awwal, bulan kelahiran Rasulullah, Muhammad. Paling tidak


demikian yang ditulis dalam banyak riwayat. Tepatnya, tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun
53 sebelum Hijriyah, atau 570 M. Namun demikian sebenarnya para penulis sejarah
tidak dapat memastikan ketepatan tanggal kelahiran Beliau tersebut ( Fiqhus Sirah,
Muhammad Al Gazali).
Haruskah ada sikap khusus terhadap setiap tanggal kelahiran Beliau? Sepertinya
pertanyaan ini yang senantiasa relevan untuk diajukan kepada masyarakat muslim
Indonesia, malaysia, Brunai, dan lain-lain, lebih-lebih lagi disaat bulan Rabi’ul Awal
seperti sekarang ini. Mengingat sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging,
ataubahkan telah menjadi suatu rentetan “ibadah” khusus yang tidak bisa ditinggal,
mengadakan perayaan untuk memperingati tanggal kelahiran Beliau tersebut.
Haruskah demikian? Terbaikkah sikap seperti itu? Apakah pernah diperintahkan oleh
Rasulullah atau dicontohkan oleh para Shahabat penerus Beliau? Jawaban dari banyak
pertanyaan di atas berpotensi untuk menjadi polemik berkepanjangan. Karenanya,
tulisan ini tidak berusaha untuk menentukan jawaban ‘to the poin’t. Hal ini bukan
berarti meremehkan keharusan mengupas jawabannya, namun akan lebih baik masalah
ini dibahas dalam suatu forum ilmiah, menghadirkan ulama dari berbagai sfesifikasi
keilmuan, dengan satu catatan penting: Senantiasa berpijak pada semangat tasamuh,
tawadhu’, dan menyandarkan standarisasi Al Haq hanya pada Al Quran dan As
Sunnah.

Pada tulisan ini hanya berupaya mengungkap salah satu substansi terpenting
dari peristiwa lahirnya seorang hamba Allah (kapanpun waktunya), yang kemudian
dipersiapkan untuk menjadi utusan dan penyampai Risalah Allah, dengan berbagai
gemblengan Ilahiyah, dari Nya. Hingga kemudian Risalah yang dipikulkan di atas
pundak Beliau atas Kehendak Nya benar-benar menjadi satu-satunya Risalah/Ad Dien
yang lengkap, sempurna dan diridhai.

“…pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu ni’mat Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu…..” QS.Al
Maidah:3

Itulah Al Haq, yang tidak ada lagi setelahnya melainkan kebatilan.

“….maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kebatilan…..” QS. Yunus:32

Dengan demikian, mengamalkan kesempurnaan syari’at islam berarti


menapaktilasi keteladanan Beliau. Karena Beliau adalah peraga langsung ayat-ayat
Allah. Beliau adalah uswatun hasanah (contoh terbaik) yang mengharuskan prilaku
seluruh umat manusia (khususnya muslimin) tersentral pada jejak keteladanan Beliau
tersebut, sebagai apapun mereka, dimanapun domisilinya, atau kapanpun waktunya.
Penyimpangan dari keteladanan ini mengakibatkan: Di dunia, akan merealisasikan
prilaku destruktif penghasil fitnah (segala bentuk kekacauan) dan fasad (kerusakan). Di
akhirat, menjadi amal yang tertolak, sebagaimana sabda Beliau:

“Barang siapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada perintah atasnya maka tertolak” HSR.
Muslim.

Akan tetapi tragisnya, jejak keteladanan Beliau yang terlihat jelas terang
benderang serta pasti mengantarkan pada kebaikan di dunia dan di akhirat, tidak dititi
dengan baik oleh generasi-generasi berikutnya. Sosok-sosok teladan yang semestinya
bermunculan dari prilaku meneladani akhlaq Rasulullah jumlahnya sangat sedikit.
Akibatnya sunnah Beliau menjadi ‘barang langka’ dan asing, lantaran minimnya si
pengamal sunnah. Apakah lambat laun sunnah akan punah? Tidak sama sekali.
Assunnah tidak akan pernah punah. Bahkan ke-terang-benderang-annya tidak akan
pernah berkurang sedikit pun, karena ia berada di bawah pengawasan Allah
sebagaimana Al Quran. Yang mungkin punah adalah wujud sunnah yang teraplikasi
dalam akhlaq manusia. Sebuah hadits Rasulullah mengindikasikan masalah ini:

“Tali ikatan islam pasti akan terurai helai demi helai. Setiap kali ikatan itu longgar,
manusia membuka ikatan berikutnya. Ikatan yang mula-mula akan terurai adalah
sistem hukum, dan yang terakhir adalah shalat”. HR.Ahmad.

Kosongnya akhlaq dari keteladanan Rasulullah ini membentuk sosok-sosok


buruk dan perusak. Sebagai apapun ia. Kalau ia pemimpin, maka akan menjadi
pemimpin tirani, zalim, rakus kekuasaan, menelantarkan ummat, atau plin plan dan
membingungkan. Kalau pejabat, ia penipu dan korup. Kalau kaya, maka ia akan dihiasi
sifat tamak, bakhil, dan angkuh. Begitupula jika miskin, ia tidak sabar, keluh kesah,
merampas harta orang lain, dan putus asa. Jika ‘alim ulama, ia sombong dan menjual
ayat-ayat Allah untuk kepentingan duniawi, dan lain-lain.

Beberapa jejak keteladanan Rasulullah adalah:

Rasulullah tidak memerintahkan sesuatu melainkan telah Beliau kerjakan terlebih


dahulu.
Al Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambal mengetengahkan sebuah riwayat: Ketika
perjanjian damai Hudabiyyah baru saja ditanda tangani oleh Rasululah dan utusan
kafir Quraisy, Suhail bin ‘Amr, Beliau memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin
yang ikut pada waktu itu (sekitar 1400 orang) untuk mencukur rambut dan
menyembelih hewan qurban masing-masing, sebagai ganti dari umrah yang gagal
dilaksanakan. Namun tidak seorangpun yang bergerak melaksanakan perintah
tersebut, walau hingga diulang tiga kali oleh Beliau. Kemudian Beliau masuk ke dalam
kemahnya lalu menceritakan kejadian itu pada istri Beliau, Ummu Salamah. Ummu
Salamah menyarankan: “Ya Rasulullah, apakah anda ingin supaya mereka
melaksanakan perintah itu? Keluarlah, tetapi jangan berbicara sepatah kata pun dengan
salah seorang dari mereka, sembelihlah ternak qurban anda sendiri, lalu panggillah
tukang cukur anda dan bercukurlah”. Lalu Beliau keluar, tidak berbicara dengan
siapapun juga dan berbuat sebagaimana yang disarankan oleh istri Beliau. Ketika kaum
muslimin melihat Rasululah berbuat sebagaimana yang disarankan oleh Ummu
Salamah, mereka mulai sadar telah berbuat tidak mentaati perintah Beliau. Mereka lalu
segera bergerak beramai-ramai menyembelih ternaknya masing-masing, saling
mencukur rambut seraya bergantian. Demikian ributnya mereka itu karena kegirangan
hingga satu sama lain seolah-olah sedang saling bunuh.

Beliau pemaaf, membalas kejahatan dengan kebaikan.


Sebelum hijrah ke Madinah, adalah perjalanan dakwah yang sangat menyedihkan.
Rasulullah dan para shahabat betul-betul menjadi bulan-bulanan penyiksaan orang-
orang musyrikin Makkah. Shahabat Yasir sekeluarga mengalami siksaan yang amat
kejam hingga syahid terjadi didepan mata Beliau. Diseret di panas teriknya padang
pasir, ditombak, dijemur telentang, ditindih dengan batu besar, ditenggelamkan di
dalam kubangan. Begitu pula yang dialami oleh Bilal bin Rabah, Khabbab bin Al ‘Art,
Mushab bin ‘Umair, Abudzar Al Ghifar, dan lain-lain. Bahkan pribadi Beliau sendiri
tidak luput dari perbuatan kejam kafir Quraisy. Lantas Apakah yang dilakukan oleh
Beliau kepada orang-orang Makkah tersebut disaat mampu membalas kekejaman
mereka, yakni ketika Fathul Makkah (Pembebasan kota Makkah)? Disebutkan dalam
Fiqhus Sirah:
Tidak lama setelah itu kota Makkah tenang kembali, tokoh-tokoh Makkah dan para
pengikutnya menyerah tanpa syarat. Rasulullah menuju Baitullah. Setelah thawaf
Beliau menghancurkan berhala-berhala dan patung-patung yang ada di sekitar Ka’bah.
Kemudian Beliau mengarahkan pandangan kepada orang-orang Quraisy yang berdiri
dalam beberapa barisan menunggu keputusan Beliau mengenai nasib mereka. Beliau
bersabda: “Tiada Tuhan selain Allah, yang telah memenuhi janji Nya, telah menolong
hamba Nya, dan telah pula mengalahkan pasukan Ahzab”. Setelah itu Beliau bertanya:
“Hai Orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, tindakan apakah yang hendak
kuambil terhadap kalian?” Mereka menyahut serentak: “Tentu yang baik-baik! Hai
saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia”. Beliau lalu bersabda: “Kukatakan
kepada kalian apa yang dahulu pernah dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-
saudaranya: Tidak ada hukuman apa pun terhadap kalian. Pergilah kalian semua!
Kalian semua bebas!”. (Sirah Ibnu Hisyam, dikutip oleh Muhammad Al Gazali)

Beliau pemimpin yang pemurah dan sangat mencintai ummat.


“Aku mendatangi Rasulullah dengan membawa sebaki kurma yang baru masak dan
mentimun yang berbulu halus. Kemudian Beliau memberiku perhiasan dan emas
sepenuh telapak tangan”.
(HR. Tirmidzi, dari Ar Rubayya binti Mu’awwidz bin ‘Afra Radhiyallahu’anha).

“Tidak pernah kudengar Rasulullah


bila diminta sesuatu kemudian
beliau berkata ‘tidak’ “
(HR.Muslim, dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu ).

“Pada suatu hari aku berjalan bersama Rasulullah yang ketika itu mengenakan burdah
buatan Najran yang pinggirannya sangat kasar. Di tengah jalan tiba-tiba seorang Arab
Badui menyerobot burdah yang sedang Beliau pakai itu demikian keras, hingga aku
melihat pada pundak Beliau terdapat bekas gesekan pinggiran burdah yang kasar itu.
Sambil berbuat sekasar itu orang Badui tersebut menuntut: Perintahkan orang supaya
memberikan sebagian harta kekayaan Allah yang ada padamu! Kulihat Rasulullah
malah tertawa, kemudian memerintahkan orang supaya mengambilkan sesuatu dari
rumahnya untuk diberikan kepada orang badui itu” (HSR. Muslim dari Anas bin
Malik).

Beliau Pemimpin yang berada di tengah-tengah ummat, merasakan penderitaan


mereka , bahkan lebih memprihatinkan.
“Rasulullah dalam keadaan lapar beberapa malam berturut-turut, demikian pula
dengan keluarga Beliau. Mereka tidak mendapatkan makanan untuk makan malam.
Sedangkan jenis makanan yang paling sering dimakan
adalah roti yang terbuat dari
Sya’ir (gandum kualitas rendah)”
(HR. Tirmidzi, dari Ibnu ‘Abbas).

“Kelurga Nabi tidak pernah makan roti Sya’ir sampai kenyang dua hari
berturut-turut hingga Beliau wafat”
(HR.Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu’anha)
Ibnu Rusli

Anda mungkin juga menyukai