Anda di halaman 1dari 11

Teladan Kepemimpinan Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab Rodhiyallahu ‘Anhu merupakan salah satu sahabat Nabi yang menjadi
Khalifah usai meninggalnya Nabi. Ia ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya, Abu Bakr As
Shddiq Rhodiyallahu ‘Anhu untuk menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam.
Dalam menjalankan amanah yang diberikan, Umar terkenal sebagai sosok yang sangat
disiplin dan benar-benar mencontoh Rasullulah. Ia sama sekali tidak melakukan hal-hal
yang menyimpang dari ajaran Islam, baik secara pribadi atau sebagai seorang khalifah.
Selama menjadi khalifah, Umar bin Khattab banyak mengeluarkan kebijakan yang
mampu memajukan Islam.
“Maka dari itu Umar bin Khattab dijuluki sebagai pemimpin peradaban dan bapak
pembaruan pada masa itu,” tutur Nur Ihsan Abdullah.
Adapun kebijakan-kebijakan Umar bin Khattab yang dinilai mampu memajukan Islam
dan patut dicontoh pemimpin saat ini antara lain sebagai berikut:
 Memberlakukan Direct Punishment Pertama
Salah-satu kebijakan Umar bin Khattab yang dinilai mampu memajukan Islam
terutama dalam aspek hukum Islam adalah kebijakan memberlakukan direct
punishment pertama dengan menggunakan kayu untuk hukuman di tempat.
 Rapat Umum di Musim Haji
Lalu, Khalifah Umar bin Khattab pun merupakan pemimpin pertama yang melakukan
rapat paripurna bersama seluruh pemimpin wilayah di musim haji.
“Hal ini dilakukan agar terjalin kerjasama yang baik antar pemimpin wilayah dan
mengurangi miss komunikasi yang sering terjadi kala itu,” katanya.
 Kontrol Realita Lapangan
Kemudian, kebijakan Umar bin Khattab yang dinilai mampu memajukan umatnya
terutama Islam kala itu adalah dirinya merupakan pemimpin pertama yang
menerapkan hirasah atau keliling madinah setiap malam.
“Konteks zaman sekarang adalah blusukan seperti yang dilakukan Presiden Joko
Widodo dan beberapa Menteri-nya,” pungkasnya.
 Penggagas Data Base dan Dokumentasi
Kebijakan selanjutnya adalah Khalifah Umar bin Khattab merupakan pemimpin
pertama yang menggagas penerapan data base dan dokumentasi.
”Dan Umar bin Khattab pun dikenal sebagai Amirul Mu’minin dalam branding yang
terbentuk karena gaya kepimimpinannya,” ujarnya.
 Kepemimpinan dengan Musyawarah
Di samping itu, Umar bin Khattab pun merupakan khalifah yang melanjutkan gaya
kepemimpinan khalifah yang dinilai baik diteruskan yaitu musyawarah. Umar bin
Khattab dikenal seperti khalifah sebelumnya merupakan kepemimpinan dengan
musyawarah.
“Kepemipinan musyawarah ini pun diterapkan oleh Usman bin Affan, Ali bin Abi
Talib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan
Abdurrahman bin Auf,” terangnya.
 Sterilisasi Internal
Umar bin Khattab pun memberlakukan sterilisasi internal terutama pengusiran Yahudi
dari seluruh jazirah Arab dan pemecatan gubernur yang munafik.
 Pemberlakukan Jaminan Hari Tua
Umar bin Khattab pun merupakan khalifah pertama yang memberlakukan jaminan
hari tua atau fleksibilitas regulasi jizyah.
 Modernisasi Kemiliteran
Umar bin Khattab pun melakukan perubahan atau modernisasi di bidang militer yaitu
membentuk lembaga rekruitmen militer, wajib militer, gaji bulanan tentara,
membangun 3 pangkalan militer di Syam (Damaskus, Palestina dan Yordan),
menyertakan dokter, penerjemah, dan hakim dalam pasukan tempurnya.
“Melakukan rotasi penugasan, pembentukan zeni tempur, membentuk lembaga
katering dan melakukuan reportasi tertulis,” katanya.
 Melarang Kaum Musyrik Masuk Madinah
Sebelum Umar bin Khattab meninggal pada tahun 23 Hijriyah saat berusia 62 tahun,
dirinya membuat regulasi yaitu larangan musyrik usia baligh berada di dalam kota
Madinah.

Sumber: http://persisalamin.com/artikel/teladan-kepemimpinan-umar-bin-khattab/

Teladan Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA


Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin
yang keempat. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.
Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat perang Khaibar. Satu dari sepuluh
sahabat yang mendapat jaminan masuk surga Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah
senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin yang keempat. Sepupu sekaligus menantu
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat
perang Khaibar. Satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah
bersabda tentang dirinya,
“Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi
setelahku” (HR. Muslim no. 4418).
Ali bin Abi Thalib, semoga ridho Allah senantiasa menyertainya, terdidik dengan sifat-
sifat yang luhur dan mulia. Di bawah asuhan Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Di antara
sikap tersebut adalah, rasa tanggung jawab atau amanah yang nantinya akan sangat
berguna saat dia menjadi pemimpin.
Ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali untuk
mengembalikan barang-barang titipan kaum Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy dahulu,
mereka menitipkan barang berharga mereka kepada orang yang dipandang amanah.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam orang yang dikenal amanah di kalangan mereka. Sampai
mereka menjuluki beliau dengan “Al-Amin” (orang yang dapat dipercaya).
Ali pun menjalankan pesan Rasulullah tersebut dengan baik, sesuai yang perintah
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Tarikh al Khulafa, hal. 157). Tekad beliau dalam
membumikan tauhid di muka bumi amat tinggi. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau
saat hari-hari peperangan Khaibar. Beliau membulatkan tekad untuk tetap ikut dalam
barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menuju Khaibar. Padahal saat itu mata
beliau sedang sakit parah. Bukan perjuangan ringan saat harus berhadapan hembusan
debu sahara dan jauhnya perjalanan.
Salamah bin al Akwa’ radhiyallahu’anhu, menceritakan tentang kegigihan
Ali radhiyallahu’anhu ketika itu, awalnya Ali berkeinginan untuk tidak ikut ke Khaibar
terlebih dahulu. Karena sakit mata yang dideritanya cukup parah. Namun Ali
mengatakan:
“Tidak, saya tidak ikut serta bersama Rasulullah”
Akhirnya Ali memutuskan untuk bergabung ke dalam barisan
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian di saat senja di hari-hari perang
Khaibar, yang esuk harinya dibukalah kota Khaibar, Nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda”
“Esok hari, bendera ini akan saya berikan kepada seorang yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya.” Atau beliau bersabda, “Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“.
Ternyata Ali-lah orang yang beruntung mendapatkan bendera tersebut. Lalu
Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan bendera tersebut kepada Ali. (Shahih
Bukhari: Kitab al Maghozi 3: 137, dalam Manhaj Ali fid Dakwati ilallah).
Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai
khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika
dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis
sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa
kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adil-lah dalam hal
takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’ 28: 235).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal
posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan
menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sembari menyambangi para
pedagang, beliau mengingatkan mereka akan firman Allah ta’ala:
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertakwa” (Al Qashas: 83). “Ayat ini,” jelas Ali, “turun berkenaan
orang-orang yang berbuat adil dan tawadu’ (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 282).
Indahnya, seorang pemimpin menyambangi rakyat kecil. Lalu mengingatkan mereka
tentang akhirat. Karena kesejahteraan suatu negeri, tak hanya berporos pada hal-hal
duniawi saja. Namun, hubungan rakyat dengan Sang Khalik adalah faktor utama
kesejahteraan suatu bangsa. Dharar bin Dumrah menceritakan, saat diminta sahabat
Muawiyah radhiyallahu’anhu untuk bercerita di hadapan beliau tentang kepribadian
sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
“Ali” terang Dharar, “adalah orang yang visinya jauh ke depan, lelaki yang kuat,
bicaranya jelas, keputusannya adil, menguasai banyak cabang ilmu, dan perkataannya
bijak. Menjauh dari hingar-bingar dunia, bersahabat dengan sunyinya malam (untuk
beribadah), mudah menangis (karena takut kepada Allah), suka pakaian pendek
(sederhana), makanannya makanan rakyat kecil. Beliau di kalangan kami seperti sudah
bagian dari kami. Bila dimintai beliau menyanggupi dan bila diundang beliau datang.
Namun kedekatannya dengan kami dan akrabnya kami dengan beliau, kami tetap merasa
segan dengan beliau.
Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang
miskin. Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan
kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar
Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15).
Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin
yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut.
Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu
dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk
memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk
bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani
tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali.
“Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”.
Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya
Amirul Mukminin?”
Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim, ”Kamu benar ya
Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu.
Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai.
Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu,
“Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi.
Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya.
Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali
meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
Demikian sekelumit tentang kepribadian amirul mukminin; Ali bin Abi Thalib ketika
dalam masa kepemimpinan beliau. Semoga menjadi pelajaran untuk kita bersama.

Sumber: http://muslim.or.id/25592-teladan-kepemimpinan-ali-bin-abi-thalib.html

SURAT PEMBACA

Kecemasan Pengendara Sepeda Motor


PERASAAN khawatir, waswas, takut, tegang, dan gelisah merupakan gejala akibat rasa cemas
yang berlebihan. Hal ini mungkin sedang dialami oleh sebagian pengendara khususnya motor di
jalur jalan arteri sepanjang Cikalong Wetan, Sawit, Cianting Plered, Sukatani, Cijantung, sampai
dengam Ciganea Purwakarta, Jawa Barat. Betapa tidak, karena kondisi kemacetan parah di jalur
tersebut menurut informasi media kesehatan bisa menimbulkan kecemasan yang ditandai dengan
keluhan fisik, berupa berdebar-debar, berkeringat, sakit kepala, dan lainnya.
Rasa cemas pada umumnya timbul dan berhubungan dengan adanya situasi yang mengancam
atau membahayakan selama berkendara di jalur tersebut. Apalagi berbagai kendaraan mulai roda
dua sampai dengan truk besar hingga truk kontainer saling ”menghiasi”, antre pelan-pelan, bahkan
tak bergerak sama sekali di jalan nasional tersebut.

Akibatnya, banyak dari pengendara sepeda motor memanfaatkan jalur pinggir kiri jalan yang penuh
risiko untuk dijadikan jalur alternatif darurat agar bisa lolos dari jebakan macet. Mungkin ini satu-
satunya cara. Namun, fatal jika tidak berhati-hati dan tidak bisa menguasai medan jalan.

Beberapa kiat dari saya yang mungkin bisa bermanfaat bagi semua pengendara. Pertama,
berangkat kerja atau sekolah lebih awal. Kedua, hindari jalan yang tidak rata saat lewat pinggir
jalan. Ketiga, hati-hati terhadap pejalan kaki. Keempat, kurangi kecepatan dan periksa kendaraan
motor Anda, terutama roda ban. Kelima, jaga jarak dengan kendaraan lain. Keenam, manfaatkan
transportasi lain seperti kereta api ekonomi yang mungkin jadi solusi terbaik bagi kita. Ketujuh,
mencari jalur alternatif lain dan bersikap selalu sabar menghadapi kemacetan ini. Kedelapan,
istirahat yang cukup di rumah serta berdoa agar perbaikan jembatan Cisomang tol Cipularang cepat
selesai.

Isep Suprapto

Kampung Babakan Gudang

RT 8 RW 4 Babakan Sari

Plered, Kabupaten Purwakarta

Sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/surat-pembaca/2017/03/10/kecemasan-pengendara-sepeda-
motor-395809

Keteladanan Ali bin Abi Thalib RA


Siapa yang tak kenal dengan sosok yang satu ini, Ali bin Abi Thalib r.a yang dalam sejarah
Islam keteladan akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib semasa menjadi khalifah menjadi
sejarah tinta emas yang hingga kini terus memantulkan cahaya kemilau mempesonakan dunia
Islam.
Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Kota Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab atau tahun 599 Masehi dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, Asad merupakan anak
dari Hasyim, Dengan demikian Ali adalah keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Menurut
muslim Syi’ah Ali dipercaya lahir di dalam Ka’bah dengan nama Haydar bin Abi Thalib.
Haydar berarti Singa. Sedangkan Baginda Nabi Muhammad SAW meberi nama Haydar dengan
panggilan Ali yang berartitinggi yaitu orang yang mempunyai derajat tinggi. Hal ini sejalan
dengan keinginan dan harapan keluarga Abu Thalib (paman Nabi Muhammad) agar mempunyai
penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Pada usia 25 tahun setelah menikahi putri kesayangan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-
Zahra, pecahlah Perang Badar yaitu perang yang pertama kali dalam sejarah Islam. Dalam
perang Badar ini, Ali betul-betul menjadi prajurit yang gagah berani disamping Hamzah, paman
Nabi. Banyak kaum Quraisy Mekkah yang memusuhi Islam tewas di tangan Ali. Begitu pula
dalam Perang Khandaq. Keperkasaan dan kegagahberanian Ali bin Abi Thalib dalam
pertempuran sangat ditakuti lawan. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar,
tubuh Amar bin Abdi Wud yang sangat membenci Islam itu terbelah menjadi dua bagian. Dan
yang tak kalah pentingnya adalah peran Ali bin Abi Thalib dalam Perang
Khaibar. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum
Muslimin dengan Yahudi. Ternyata dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut
sehingga pecahlah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat
kokoh. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Perang Khaibar”. Pada saat pasukan Islam dan
para sahabat Nabi tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan
menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan
Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Mendengar sabda Nabi, maka seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan
kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu dan
mampu menghancurkan benteng Khaibar serta berhasil membunuh seorang prajurit musuh
bernama Marhab dengan pedang Zulfikarnya.
Demikian beberapa peristiwa peperangan untuk mempertahankan ajaran Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW yang mencatat keberanian dan kegagahan serta keperkasaan Ali bin Abi
Thalib di dalam setiap pertempuran yang diikutinya. Selain kegagahberanian Ali yang tercatat
dalam sejarah, juga tak kalah pesonanya adalah keteladanan beliau baik sebelum dan sesudah
menjadi pemimpin, khalifah.
Ali bin Abi Thalib r.a adalah seorang pemimpin yang benar-benar zuhud dan taqwa kepada
Allah SWT. Hal ini terbukti saat beliau menduduki jabatan perbendaharaan Negara. Beliau
benar-benar teruji kejujurannya dalam mengelola, mengurus, dan menjaga perbendaharaan
Negara.
Ketika Ali bin Abi Thalib meduduki jabatan Khalifah ke-4 menggantikan Usman bin Affan r.a,
beliau oleh kaum Muslimin di kota Kufah diharapkan agar segera menempati istana yang besar
dan megah. Ketika Ali melihat istana itu ia berkata: “Aku tak mau menempati istana itu!” Akan
tetapi penduduk Kufah tetap mendesak Khalifah Ali bin Abi Thalib agar mau menempati
istananya karena Khalifah adalah jabatan yang dianggap mulia. Akan tetapi tetap saja Khalifah
Ali menolaknya dengan keras,
“Terus terang aku tidak membutuhkan itu! Umar bin Khatab sendiri pun tidak
menyukainya!” Jawab Khalifah Ali r.a.
Meskipun Ali bin Abi Thalib menjadi seorang khalifah, Kepala Negara Islam, beliau tidak
sombong, tidak memanfaatkan jabatannya untuk hidup bermewah-mewah di dalam istana.
Beliau tetap hidup seperti rakyat biasa. Beliau benar-benar empati terhadap kehidupan rakyat
jelata.
Suatu ketika, seorang sahabat Ali tidak rela melihat sikap dan perilaku beliau yang mau
menolong orang tua renta yang sedang membawa belanjaannya di pasar dengan tertatih-tatih dan
sempoyongan, dan Ali bin Abi Thalib memanggul sendiri belanjaan orang tua renta itu sampai
ke rumahnya. Sahabat itu datang menghadap kepadanya seraya berkata:
“Ya, Amirul Mukminin…Imam Ali r.a. mengapa tuan melakukan itu? Padahal masih banyak
bawahan tuan yang bisa disuruh untuk membawakan barang-barang orang tua itu!”
Khalifah Ali bin Abi Thalib bisa memahami apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Segera ia
pun menjawab pertanyaan sahabatnya dengan membawakan Firman Allah:

“Kampung akhirat itu Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri di
bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang
bertaqwa”. (Q.S. al-Qashash:83)
Berkait dengan sifat kejujuran dan keamanahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Seorang
pembantunya yang bernama Qanbar, suatu ketika pernah menyaksikan, Khalifah Ali r.a. sedang
menghadapi dua onggokan emas dan perak. Ia menghitungnya kemudian memanggil orang-
orang agar datang mendekatinya. Emas dan perak itu lalu dibagi-bagikan kepada mereka hingga
tak bersisa.
Sikap dan perbuatan Khalifah Ali r.a. yang demikian itu telah membuat cemas dan khawatir
pembantunya, Qanbar. Ketika emas dan perak itu telah habis dibagi-bagikan kepada mereka
semua sampai-sampai tak bersisa sedikit bagian pun untuk dirinya, Qanbar mendekati Khalifah
Ali r.a. dengan mengatakan bahwa ia mempunyai barang sesuatu yang disembunyikan untuk
Khalifah Ali r.a.
Sesampainya di rumah, Qanbar mengambil sesuatu yang telah disembunyikan yaitu sebuah
kantong berisi kepingan-kepingan emas dan perak. Kantong itu lalu dibawa kembali dan dibuka
di hadapan Khalifah Ali r.a. Dengan wajah berseri-seri ia berkata kepada Khalifah Ali:
“Aku lihat Tuan tidak pernah menyisakan barang apa pun yang tuan bagikan. Oleh karena itu,
aku menyembunyikan ini dari Baitul Malkhusus buat Tuan”.
Melihat ini, betapa terkejut dan kagetnya Khalifah Ali r.a. Maka dengan wajah merah menahan
amarah beliau berkata kepada pembantunya, Qanbar:
“Celaka kamu Qanbar! Apakah engkau mau memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?”
Lalu Khalifah Ali bin Abi Thalib menghunus pedang Zulfikarnya, memotong-motong pundi-
pundi yang berisi emas dan perak itu. Emas dan perak pun berhamburan di lantai. Segera
Khalifah Ali r.a. menyuruh Qanbar untuk membagi-bagikannya kepada yang berhak
menerimanya agar dibagikan secara adil.
Demikian kepribadian dan perangai Ali bin Abi Thalib r.a yang demikian agung dan mulia
tertulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam. Perjuangannya, keberaniannya, kejujurannya dan
keamanahannya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai dengan ajaran Islam yang
rahmatan lil alamiin, rahmat bagi seluruh alam.

Keteladanan Umar bin Khattab RA


Umar Bin Khattab RA, orang-orang muslim mengenalnya sebagai salah seorang sahabat dekat
Rasulullaah Muhammad Shallaahu Alaihi Wassalaam. Salah seorang al-Khulafa’ ar-Rasyidun – para
pemimpin terbaik – selain Abu Bakar, Ali Bin Abi Thalib dan Utsman Bin Affan. Mereka adalah para
pemimpin yang tidak perlu melakukan kampanye merebut hati rakyat agar bisa menjadi
pemimpin, mereka adalah orang orang yang menganggap kursi kepemimpinan bukan sebagai
sebuah anugerah atau sebuah karir atau sebuah pengakuan atas puncak prestasi, mereka adalah
orang orang yang menganggap kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus
dipertanggungjawaban kelak di hadapan Pemimpin Para Pemimpin, siapa lagi jika bukan Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Ini adalah sebuah kisah tentang seorang pemimpin teladan yang seharusnya menjadi cermin dan
panutan para pemimpin saat ini, karena sungguh telah kita lihat dengan mata kepala sendiri, di
jaman sekarang sangat sulit kita temukan tipe pemimpin yang benar benar layak disebut sebagai
seorang pemimpin.
Amanah dan Tanggung Jawab
Pada suatu pagi, Umar terlihat berjalan terengah engah sambil menuntun seekor unta milik baitul
maal (harta negara), rupanya unta ini telah terlepas dari penambatnya dan melarikan diri. Seorang
penduduk kota Madinah yang keheranan bertanya “Mengapa tidak engkau suruh saja salah seorang
anak buahmu untuk menangkap kembali unta itu? Mengapa seorang khalifah sepertimu harus turun
tangan sendiri?”. Umar menjawab, “Aku tidak mau nantinya berdiri di hadapan Allah dengan
predikat sebagai seorang pemimpin yang telah menyia nyiakan harta rakyat.“
Pemimpin yang Mau Dikritik
Di hadapan rakyat, Umar berkata dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi
Khalifah “Apakah kalian semua akan mentaati semua keputusanku sebagai khalifah?”. “Wahai Umar,
Kami berbaiat (sumpah setia) untuk melaksanakan semua keputusanmu selama engkau berada di
jalan Allah dan Rasul-NYA“, rakyat menyambut perkataan Umar “ … tapi jika aku keluar dari jalan
Allah dan Rasul-NYA, apakah yang akan kalian lakukan?”. Seorang laki laki serta merta melompat
keluar dari barisan sambil menghunus pedangnya dan berteriak “Wahai Umar, kami akan
mengajak engkau untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-NYA, kami akan meluruskanmu kembali
dengan pedang ini jika perlu.“
Allahu Akbar! Jika kita melakukan apa yang seperti telah dilakukan oleh laki laki itu di hadapan
para pemimpin yang berkuasa saat ini, tentu kita sudah tinggal nama karena tembak ditempat oleh
pasukan pengawal. Jangankan mengingatkan pemimpin dengan senjata, mengingatkan pemimpin
dengan kata kata saja bisa masuk penjara dengan tuduhan menghina simbol simbol negara. Wahai
para pemimpin jaman sekarang! Contohlah Umar yang langsung melompat dan memeluk hormat
laki-laki yang telah menghunuskan pedang di hadapannya, contohlah Umar yang berterimakasih
karena masih ada yang mau mengingatkannya! Contohlah Umar yang selalu menangis di malam
hari untuk berdoa agar masih ada rakyatnya yang tidak takut kepadanya dan masih mau
mengingatkan kesalahan kesalahannya!
Kasih Sayang kepada Rakyatnya
Inilah cerita tentang ibu yang memasak batu untuk menipu anak anaknya yang sedang kelaparan.
Suatu malam Umar bersama Aslam salah seorang ajudannya menyamar untuk melakukan inspeksi
keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Di salah satu sudut kampung
terdengarlah rintihan pilu anak anak yang sedang menangis, dan di sana Umar menemukan
seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya, “wahai ibu anak-anakmukah yang sedang
menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Mereka adalah anak-anakku yang sedang menangis karena kelaparan”, jawab sang Ibu sambil
meneruskan pekerjaannya memasak.
Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak
juga kunjung siap sementara tangisan anak-anaknya semakin memilukan, “wahai Ibu, apa yang
engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak anakmu yang kelaparan?”. “Engkau
lihatlah sendiri!“ dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang di masak sang
ibu adalah setumpuk batu, “Engkau memasak batu untuk anak anakmu?”, tanya Umar.
“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab“, rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang
sedang berdiri di hadapannya, “wahai orang asing, aku adalah seorang janda, suamiku syahid di
dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia
samasekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah
tangga pencari nafkah. Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak-
anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli
makanan, tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang, memasak batu aku lakukan untuk
mengalihkan perhatian anak-anakku agar melupakan laparnya,sungguh Umar Bin Khattab tidaklah
layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri”.
Aslam sang ajudan hendak bergerak untuk menegur sang sang Ibu, hendak memperingatkan
dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta
mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung
gandum dan dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.
Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok-seok, nafasnya terengah-engah
dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata: “wahai Amirul
Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu“
Umar memandang Aslam sang ajudan: “wahai Aslam! Apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke
neraka? Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi
apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”
Apa yang dilakukan Aslam adalah apa yang akan dilakukan oleh para ajudan pemimpin jaman
sekarang, tapi masih adakah pemimpin jaman sekarang yang mau melakukan apa yang telah
dilakukan oleh Umar? Jangankan sekarung gandum, buku agenda atau kertas catatan yang ringan
saja pun akan meminta sang ajudan untuk membawakannya.
Apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena
berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan
rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar dari ‘ bisik bisik manis’ sang ajudan dan
orang orang terdekat, atau sekedar laporan ABS (Asal Bapak Senang).
Menegakkan Keadilan Bagi Siapa Saja
Pada masa itu, wilayah Mesir telah masuk dalam kekuasaan pemerintahan Umar dan yang menjadi
gubernur Mesir saat itu adalah Amr Bin Ash. Mesir adalah sebuah wilayah luas yang kaya, dan
rupanya penyakit jahiliah mulai kmebali merasuki sang gubernur dengan godaan gemar
mendirikan bangunan bangunan mewah. Di ceritakan bahwa persis di depan kantor istana
gubernur Amr Bin Ash ada sebuah tanah yang cukup luas, sang gubernur berpikir “Alangkah
indahnya jika dibangun sebuah masjid mewah di atas tanah itu, sangat cocok bersanding dengan
istana ini“
Tapi rupanya ada sedikit ganjalan, di tanah itu juga berdiri sebuah gubuk reot milik seorang tua
penganut agama Yahudi yang tidak rela gubuknya dihancurkan untuk sebuah masjid. Segala
macam upaya penggusuran pun dilakukan oleh Amr bin Ash, mulai dari cara baik baik dengan
menawarkan uang ganti rugi dan juga memberikan rumah pengganti bagi sang kakek yang semua
ditolak mentah mentah oleh sang pemilik gubuk.
Amr Bin Ash hilang kesabarannya, penggusuran paksa harus dilakukan untuk memujudkan
keindahan tata letak kota dan tinggallah kakek itu meratapi gubuknya yang dihancurkan oleh
bulldozer anak buah Amr Bin Ash.
Dalam kesedihannya timbullah niat sang kakek untuk mengadukan kezaliman Amr Bin Ash kepada
Khalifah Umar, dan pergilah ia menempuh perjalanan jauh menuju kota Madinah.
“Di manakah istana Khalifah Umar?” Kakek itu bertanya kepada orang pertama yang ditemuinya di
Madinah dan orang yang ditanya itu menunjuk ke arah masjid. “Aku telah menempuh perjalanan
jauh dari Mesir, jangan engkau berusaha menyesatkanku karena aku tidak tahu seluk beluk tentang
kota ini”
“Aku tidak berusaha menyesatkanmu! Masjid adalah istana khalifah Umar, di sanalah dia biasanya
mengatur dan memberikan keputusan keputusan“
Sesampai di Masjid yang ditunjuk sang kakek pun kebingungan lagi, manakah orang yang
menyandang gelar Khalifah itu? Tidaklah dia melihat seorangpun di sana yang mengenakan baju
mewah yang menunjukkan kebesaran seorang khalifah yang telah mengalahkan Byzantium dan
Persia. Khalifah yang telah diserahi kunci kota Jerusalem oleh Uskup Sophronius
“Khalifah Umar adalah orang yang sedang duduk di bawah pohon itu”, seorang warga Madinah
membantunya lagi menunjukkan seseorang yang berpenampilan seperti orang biasa.
Di hadapan ‘orang biasa’ itu diadukanlah masalahnya, setelah mendengar cerita sang kakek Umar
berdiri mengambil sepotong tulang unta yang masih ada sedikit dagingnya, menggoreskan sebuah
garis lurus di tulang tersebut dengan pedangnya dan kemudian membuat lagi sebuah garis
menyilang garis lurus sebelumnya.
“Wahai kakek! Kembalilah engkau ke Mesir dan berikan tulang ini kepada Amr Bin Ash …”
“Wahai Umar, Apakah engkau sedang bercanda? Aku datang untuk meminta keadilan bukannya
menjadi bahan olok olok!” Sang kakek meradang karena merasa dipermainkan.
“Kakek yang baik! Turuti saja perintahku …”
Sambil menggerutu sang Kakek pun kembali ke Mesir dan menyerahkan tulang yang sekarang telah
berbau busuk itu ke Gubernur Amr bin Ash, sang kakek sudah pasrah dengan nasibnya jika
nantinya akan dianggap menghina gubernur. Mau bagaimana lagi? Karena dirinya hanyalah
seorang Yahudi yang termasuk golongan atau kaum minoritas di era kekuasaan Islam yang sedang
dalam masa jayanya.
Tapi alangkah kagetnya sang kakek, ketika melihat apa yang dilakukan Amr Bin Ash setelah
menerima tulang itu.
“Bongkar Masjidnya! Bangun kembali rumah untuk kakek ini” dan Masjid mewah yang telah
hampir jadi itu pun siap-siap untuk dibongkar.
Akhirnya sang kakek mengetahui arti tulang dari Umar Bin Khattab itu.
“Wahai Amr Bin Ash, setinggi tingginya kekuasaan seseorang, suatu saat dia akan mati dan harus
melepaskan semua kekuasaannya, berakhir menjadi seonggok tulang. Bertindaklah lurus dan adil
dalam memimpin, karena jika engkau berbelok sedikit saja dari amanah yang telah diberikan
kepadamu, maka aku akan meluruskanmu, menghukummu dengan pedangku”

Anda mungkin juga menyukai