Anda di halaman 1dari 16

Cerita Awal dalam Tarbiyah, Halaqoh, Liqo’at ataupun Mentoring

Tarbiyah, Menyejarah

Hari itu, anak beranak, Ibrahim dan Ismail menyelesaikan tugas peradaban mereka;
membina dan meninggikan dasar-dasar Baitullah. Mereka berdua, dengan peluh yang belum
terseka pada terik padang pasir yang memeras keringat, menengadahkan tangan. Doa itu, doa
yang sederhana. Meminta agar amal-amalnya diterima. Doa itu, doa yang tawadhu‟. Memohon
petunjuk untuk beribadah dalam ridho-Nya. Doa itu, doa yang menyejarah. Memohon
kesinambungan peradaban untuk suatu ummat yang terus mendengar ayat-ayatNya, mempelajari
Kitab dan hikmah, serta menyucikan diri.

“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 129)

Doa itu berjawab. Dengarkanlah ketika Allah mengingatkan pewaris-pewaris Ka‟bah


yang membanggakan Ibrahim namun meninggalkan jalannya itu dengan sebuah kalimat yang
abadi.

“Sebagaimana Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepada kalian, Kami telah mengutus
kepada kalian seorang Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian
dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kalian apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 151)

Lalu kaum yang buta huruf itu pun diajari untuk mendengarkan ayat-ayat Allah,
menyucikan diri mereka dari dosa-dosa dan perilaku jahiliah, serta mempelajari Kitab Allah dan
peri teladan manusia yang diutusnya untuk menjadi kemuliaan bagi mereka. Muhammad,
Shallallahu „Alaihi wa Sallam adalah jawaban bagi doa Ibrahim dan Ismail. Tiga hal selalu
tersebut dalam ayat yang senada ini. Perhatikan misalnya. Tiga kata yang selalu ditebalkan di
masing-masing ayat.

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (Q.S. Al-Jumu‟ah : 2)

Inilah tiga langkah yang dilakukan Rasulullah untuk merevolusi masyarakat jahiliah,
masyarakat yang berada kesesatan nyata, menjadi guru dunia. Pertama, tilawah, berarti
membacakan ayat-ayat Allah. Kedua, tadzkiyah, artinya menyucikan diri. Dan ketiga ta‟lim,
artinya mengajarkan. Secara sederhana, sering kita menyebut tiga hal dari doa ibrahim, ijabah
Allah dan langkah-langkah pembinaan Rasulullah itu dengan satu kata ringkas: tarbiyah.

Syaikhul Azhar „Ali Abdul Halim Mahmud menyebutkan tarbiyah sebagai cara ideal
dalam berinteraksi dengan fithrah manusia, secara langsung maupun tidak, untuk memproses
perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik. Proses itu, menurutnya, harus
menyentuh seluruh aspek kehidupannya, meliputi ruh, akal dan jasmaninya. Setelah lama
pendahulu dengan jalan Nabawi itu, abad kedua puluh menyaksikan penggalian kembali nilai
tarbiyah sebagai konsekuensi sampainya mereka di titik terbawah kemerosotan.

Saat itu, cuaca peradaban sedang suram di seluruh dunia Islam. Mentari benar-benar telah
terbenam setelah kabut yang menggulungnya beradab lamanya, sempurna menjadi malam
dengan senja yang bertanduk syaithan. Tetapi empat tahun setelah 1924, tahun yang dikenah
Taqiyyudin An Nabhani sebagai tahun runtuhnya Khilafah, di Mesir, purnama itu mulai
mengintip malu dari balik awan. Lelaki itu, Hasan Al Banna, membuat sebuah keputusan
menyejarah di usianya yang kedua puluh dua. Al Ikhwan Al Muslimun. Pergerakan yang core-
nya ia desain menurut doa Ibrahim, sesuai ijabah Ilahi dan langkah-langkag Nabawi. Tarbiyah.

Umar At Tilmisani, pelanjutnya yang ketiga, menyebut sistem tarbiyah ini dalam
membangkitkan kejayaan islam akan menjadi jalan yang sangat panjang tapi tercepat, butuh
waktu lama tapi terjamin hasilnya dan perlu banyak pengorbanan namun terjaga ashalahnya.
Demikianlah, katanya, karakteristik da‟wah para Rasul.

Bagi gerakan yang didirikan Al Banna, tarbiyah memiliki sedikitnya tiga makna.
Katakanlah ia berakar dari kata Rabaa, Yarbuu. Tumbuh. Tarbiyah menumbuhkan seseorang dari
kekanakan ruh, kekanakan akal dan kekanakan jasad menuju kematangan dan kedewasaan
masing-masingnya. Ruh yang dewasa, akal yang dewasa dan jasad yang dewasa untuk
memetakan diri, menyikapi masalah-masalah dan mengemban tugas-tugas. Tarbiyah adalah
sebuah Improvement.

Atau Rabiya, Yurbii. Berkembang. Tarbiyah mengembangkan manusia muslim dalam


kemampuan-kemampuan yang dibutuhkannya menjalani kehidupan. Ia dalam tugasnya sebagai
„abdullah yang beribadah kepada Allah dan sebagai khalifah yang akan mengelola bumi seisinya
di-train untuk memiliki kompetensi yang dikembangkan dari potensi-potensi yang telah
dikaruniakan Allah kepadanya. Setelah mengajaknya mengenali potensinya, ia mengajaknya
mengembangkannya. Tarbiyah adalah Development.

Atau Rabbaa, Yarubbu. Memberdayakan. Ia yang telah tumbuh dan berkembang, harus
diarahkan untuk berdayaguna. Islam memanggil manusia-manusia muslim untuk membuktikan
keunggulannya. Islam menghendaki agar sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat,
paling besar dayaguna dan kontribusinya bagi dunia. Tarbiyah adalah Empowerment.
Jarak antara Islam dan manusia muslim sedemikian jauh, hingga Muhammad Abduh
harus tertekuk dengan ucapan terkenalnya, “Al Islaamu mahjuubun bil muslimin, Keagungan
Islam telah terhijab oleh kekerdilan pemeluknya.” Maka, dibutuhkan sebuah rekonstruksi
terhadap manusia muslim agar menjadi terjemahan hidup dari islam yang tertatah dalam Al-
Qur‟an dan As Sunnah.

Akan ada waktu kiranya, kata beliau, dimana ummat manusia akan sulit membedakan
antara pesona kebenaran islam dengan kepribadian muslim. Tentu kita percaya dengan satu kata
awal yang menyejarah. Tarbiyah.

Afiliasi

Saudaraku, aku punya harap yang harus ku bagi dengan mu.

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengeluh pada kita tentang takdir yang
menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat mereka
berdiri, ruku dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu dengan senyuman
mendoakan kita, “Assalaamu‟alaykum...”

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah dan
sibuk dengan aib orang. Betapa ingin kita disambut di majelis mereka, dengan ucapan, “Akhi...
ta‟ala nu‟‟minu saa‟ah.. saudaraku, mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ke tempat
yang dinaungi sayap malaikat.

Kita rindu bersua dengan wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling
kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi hati rasanya sudah akrab dan lisan tak tahan untuk
segera melemparkan senyum dan beruluk salam.

Inilah dia, wajah-wajah keimanan. Yang digambarkan Rasulullah, yang satu menjadi
cermin lainnya. Ada inspirasi amal shalil saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi
ulang melihat keteduhannya. Subhanallah. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-
wajah itu adalah wajah-wajah saudara kita di jalan Allah.

Kita rindu wajah Ash-Shiddiq Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan
bimbang. Kita rindu waja Al Faruq Ibnu Al Khaththab untuk membuang kepengecutan. Dan
tentu kita rindu wajah Al Amin, yang membuat kita merasa berharga menyertainya,
menyertainya menghadap Allah nanti. Kita sangat merindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu
menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sebuah sambutan.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku dan masuklah ke dalam jannah Ku...” (Al Fajr :
27 – 30)
Lalu, kita rindu masyarakat yang terarah.

Kalau rumah-rumah bercahaya dan penuh keberkahan berkumpul menjadi suatu


masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi bagian darinya. Kita begitu rindu
masyarakat imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengan mereka. Hanya
ini masyarakat yang membuat hari menyambung silaturrahimnya di dalam rumah Allah melalui
jama‟ah shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling
bersentuhan, barisannya lurus dan takbirnya serempak mengemakan kebesaran Allah.
Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisanya majelis dzikir dan gotong royongnya jihad
fi sabilillah.

Adakah warga yang sempat menyuapi orang tua buta di pojok pasar dengan terlebih
dahulu melembutkannya sehingga si buta tak perlu mengunyahnya? Adakah yang ketika tak
bersua dengan pengejek rutinnya justru menanyakan kabarnya. Dan justru menjadi orang
pertama yang menjenguk sakitnya? Wahai Rasulullah, alangkah indah menjadi tetanggamu.

Kalau Hasan Al Bashri hidup di zaman ini tentu akan kita saksikan ia mengirim
sekeranjang kurma untuk penggunjing-penggunjungnya dengan kartu ucapan, “Terima kasih atas
gunjingan mu yang membuat pahala mu berpindah kepada ku.” Aduhai, siapa yang tak berhenti
menggunjing kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas
rembesan air WC tetangga 30 tahun lamanya. Subhanallah.

Lalu, kita rindu sebuah negeri yang thayyibah.

„Ukasyah membuat kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengajar
Rasulullah. Pemimpin besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang merasa terzhalimi
untuk membalas. Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang
membuat kita lebih iri sebenarnya Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin
terkasih di dunia dan akhirat.

Kita merindukan saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi
pemimpin negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang beda ukuran dari rakyatnya. Dan
Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang dibagi
untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, putera tercinta memberikan
bagiannya untuk Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.

Kita merindukan pemimpin yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita.
Pemimpin yang juga sempat memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang kesulitan
mendiamkan tangis lapar anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti Ali
yang di tengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara
suami tercinta Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil
menghibur gelisah seorang calon ayah.
Umar lain, yang datang sebagai buyut Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat
hanya dalam dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa
birokrasi menyulitkan. Bahkan, tampak sedang tiduran di atas kerikil atau mengendarai baghal
bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah
yang berat pertanggungjawabannya. “Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Dajlah,
aku takut Allah akan menanyakannya kelak...!”, Katanya suatu ketika.

Betapa rindu kita pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis karena cinta.
Pemimpin yang sadar bahwa ia akan ditanyai dan dimintai pertanggungjawabannya atas jutaan
pengangguran, milyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja dan perempatan jalan yang
penuh peminta. Minimal sadar karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Mencintai kalian dan kalian
pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan batas-batas
kemanusiaannya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu membuatnya tak sendiri, tetapi rakyat
membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya, saat itulah nyala bertemu
sumbu dan kerja-kerja menjadi api yang menumbuhkan pohon thayyibah.

Jangan ia menjadi pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian dan kalian
membencinya.” Karena pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun
menjadi seperti patung atau robot bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan
mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya. Karena ia
begitu rindu menjadi Fir‟aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang membebaskan dan
Sulaiman yang memakmurkan.

Saudara ku, adakah rindu kita ada di lembah hijau yang sama?

Ataukah setidaknya di gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi
nurani yang menginginkan perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan kepada cahaya muncul di
saat kita sedang berada dalam kegelapan. Makna agung kerinduan begitu berarti bagi orang-
orang pilihan. Kerinduan, ya kerinduan. Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa
harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari terminal
kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan.

Semoga rindu itu adalah sepotong makna afiliasi kita dalam tarbiyyah. Pada Allah,
RasulNya dan Diin-Nya.
Partisipasi

Izinkan aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita dalam agama ini. Mungkin kau
adalah peserta atau juga bahkan adalah pengisi, ataupun sekadar orang yang pernah melihat dan
menemui fenomena seperti ini, di zaman ini :

“... Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran).
Beliau bertanya, „Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?‟ Mereka menjawab, „Kami
duduk berdzikir dan memuji Allah atas hidayah yang Allah berikan sehingga kami memeluk
Islam.‟

Maka Rasulullah bertanya, „Demi Allah, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?‟ Mereka
menjawab, „Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu.‟ Maka beliau bersabda,
„Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepada ku
memberitahu bahwa Allah membanggakan kalian di depan para malaikat.‟” (HR Muslim dari
Mu‟awiyah)

Di tempat inilah disambung keteladanan sejarah. Di forum seperti yang dicontohkan para
sahabat, para ghuroba‟ (Orang-orang terasing) masa kini mewujudkan sabda Nabi bahwa
mu‟min itu cermin bagi mu‟min lainnya. Mereka saling bercermin diri, tentang perkembangan
tilawah Al Qur‟an dan hafalannya, tentang shalat malamnya dan tentang puasa sunnahnya.
Semangatnya tergugah mendengar yang lain menyalip amal-amalnya. Ia jadi malu mendapati
dirinya tak bisa mengatur waktu.

Mereka saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagia mendengar
salah seorang sahabatnya mendapat nilai A. Mereka saling berbagi agar masalah tak terasa
sendiri dihadapi. Ada yang bercerita tentang amanah-amanah da‟wahnya yang katanya semakin
mengasyikkan atau semakin menantang. Yang berkeleluasan rizqi membawakan pisang goreng
yang tadi pagi dibuat ibunya atau mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.

Sesekali mereka ganti seting forumnya, dengan menginap agar bisa lebih panjang
bercengkerama. Lalu mereka dirikan Qiyamul lail bersama. Pernah juga mereka lakukan wisata.
Mereka bertemu di tempat rekreasi yang sepi, mengingat Ilahi dan mengagumi kebesaran
ciptaanNya. Mereka berdiskusi disaksikan air terjun, punggung bukit bercemara, hutan
berlembah yang menawan atau pasir pantai memutih diterpa gelombang.

Tentu saja yang jauh lebih utama, mereka mengingat Allag dalam sebuah kumpulan, agar
Allah mengingat mereka dalam kumpulan yang lebih baik. Mereka baca kitabullah, mereka
kupas isinya, mereka dapati bahwa Al Qur‟an menyuruh mereka bersaudara dalam cinta dan
mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Tidak ada tekad ketika bubar dan saling bersalaman
mendoakan, selain agar yang mereka bahas menjadi amal kenyataan.
“Tidaklah suatu kaum berjumpa di suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca
kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka,
rahmat meliputi majelisnya, Malaikat menaungi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka
dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR Muslim dari Abu
Hurairah)

Di sana bisa kita jumpai wajah saudara yang jenaka, yang pendiam dan yang tampak
lelah karena banyak amanah. Tapi Subhanallah... Ini adalah cahaya yang bergetar di antara
mereka. Ia bergetar untuk menjadi refleksi jiwa, percepatan perbaikan diri dan perbaikan umat
dalam medium atmosfer cinta. Saya tak ragu lagi menyebut forum yang terkenal dengan kata
liqo’at (pertemuan) ini, sebagai Getar Cahaya di Atmosfer Cinta.

Bahkan ketika suatu waktu anda yang belum pernah mengikuti forum ini tidak sengaja
menemui mereka sedang ada di Masjid Kampus, lalu anda bergabung dengan niat serta
keperluan yang lain atau mungkin karena iseng saja, anda takkan pernah kecewa. Percayalah,
anda tak akan pernah kecewa.

“... Seorang malaikat berkata, „Rabbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan
mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka datang ke majelis itu.‟ Alla berfirman, „Mereka
adalah ahli majelis yang tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya!‟”
(Muttafaq „Alaih, dari Abu Hurairah)

Maka demi Allah, apa yang anda tunggu? Perkenalkan diri anda pada mereka sejelas-
jelasnya. Katakan, anda ingin bergabung dengan pertemuan pekanan mereka. Kalau majelis itu
sudah terlalu sesak, lalu efektifitasnya drop, pengasuh majelis itu pasti akan mencarikan sebuah
majelis lain yang indah untuk anda. Kalau di kampus anda ada kegiatan Mentoring, Asisten
Agama Islam atau lainnya, barangkali itu pintu lain bagi anda memasuki Getar Cahaya di
Atmosfer Cinta ini. Setelah itu, bisa jadi Allah menguji anda, mungkin dengan perasaan bahwa
majelis ini tidak seperti yang anda harapkan. Maka bersabarlah...

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu
ada kemudahan.” (Q.S. Al Insyirah : 5-6)
Sifat Munafik Hanzhalah

Ketika Abu Bakar berkunjung dan menanyakan kabar Hanzhalah, ia pun menjawab,
“Hanzhalah telah menjadi munafik!”. Terperanjat Abu Bakar, lalu ia berkata, “Subhanallah, apa
yang engkau ucapkan?”. Kata Hanzhalah, “Kita sering bersama Rasulullah, beliau mengingatkan
kita tentang surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika
kita keluar dari sisi Rasulullah, bercengkrama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan,
kita pun banyak melupakannya.”

“Demi Allah! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”, sahut Abu Bakar
membenarkan. Tak ada curhat yang lebih indah daripada curhat para sahabat. Ya, mereka pun
kembali pada Murobbinya, Rasulullah Musthafa. Dan beliau pun menenteramkan hati para
binaannya.

“...Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya kalian selalu dalam keadaan
sebagaimana ketika kalian ada di sisi ku dan dalam berdzikir, niscaya Malaikat akan menjabat
tangan kalian di tempat-tempat tidur, di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat,
wahai Hanzhalah! Sesaat demi sesaat wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat!” (HR Muslim
dalam Shahihnya, dari Hanzhalah)

Para sahabat yang imannya tidak lagi diragukan saja masih merasa memiliki sifat
munafik. Lalu bagaimana dengan kita? Datang ke dalam majelis serupa seperti liqo‟at saja jarang
bahkan dalam sepekan saja hanya sekali. Lingkungan pun tidak sebaik lingkungan para sahabat.
Ditambah kapasitas murobbi kita yang tidak seperti Rasulullah. Masihkah ada alasan untuk tidak
hadir dalam taman-taman jannah ini?

Akal sehat para peserta liqo‟at menuntun mereka untuk menghayati bahwa majelis ini
adalah bagian paling asasi dari segala aktivitas lainnya. Kaidahnya jelas ; kalau ia tak bersama
mereka, ia takkan bersama dengan siapa-siapa; kalau mereka tak bersama dengannya, mereka
pasti bersama dengan orang selain dia.

Kalau kita tak merasakan nikmatnya majelis kebersamaan ini. Padahal, orang lain akan
melihat kita berubah dan semakin buruk saat kita berhenti menghadirinya untuk suatu waktu
yang cukup lama. Memang, ia hanya sepekan sekali. Tetapi bagaimanapun kita tahu, majelis ini
adalah majelis ilmu dan dzikir yang tak berhenti sampai bubarnya lingkaran. Ketika mereka
menutup pertemuan dan pergi untuk keperluan masing-masing, lingkaran itu hanya melebar. Ia
melebar seluas aktivitas mereka.
Jalan Pemudah Jannah, InsyaaAllah

Ada orang yang merindu berziarah ke Mekkah. Ada orang yang merindu bertamsya ke
Madinah. Ada orang yang merindu bertolak ke Palestina. Bahkan, adapula yang merindu untuk
hadir ke tempat-tempat dengan alam yang indah nan permai. Tentu harapan kerinduan itu ada
dalam diri kita, tapi pasti ada satu hal yang kita sepakati akan makna kerinduan. Kita rindu untuk
pulang ke kampung halaman kita, dimana nenek moyang kita, Adam diajarkan bahasa oleh Allah
dan membuat para malaikat bersujud padanya. Ya, tempat itu ialah Jannah. Satu tempat yang
terus kita rindukan untuk hadir.

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, (akan mendapat)
jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya dan (mendapat)
tempat-tempat yang bagus di Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah
keberuntungan yang besar.” (Q.S. At-Taubah : 72)

Tidak kah kita berharap untuk bisa masuk ke dalam jannah yang penuh dengan segala
kenikmatannya. Yakni yang bagus-bagus bangunannya dan harum semerbak tempat tinggalnya.
Terbuat dari emas dan perak semua wadah yang terdapat di dalamnya. Tidak mau kah kita masuk
ke dalam jannah ini? Janganlah kita seperti umatnya yang ia sabdakan, “Barangsiapa yang
mendurhakai ku maka sungguh dia telah enggan masuk jannah.” Tentu kita tidak ingin menjadi
hambanya yang engga masuk ke dalam jannah.

Lalu bagaimana caranya agak kita bisa masuk ke dalam jannah? Sedangkan amal masih
banyak yang belum dilakukan. Amal-amal besar tercacatkan dengan niat yang sering salah.
Amal-amal kecil yang terabaikan dan terlupakan karena hanya fokus akan hal-hal besar. Akhlak
yang kian kemari merusak amal ibadah. Prasangka buruk yang terus hadir pada tiap saudara kita.
Masih adakah harapan dalam diri ini masuk ke dalam jannah?

“Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda :


„Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan
ke jannah.‟” (HR Muslim)

Ah... Mungkin ini salah satu caranya agar Allah mudahkan kita masuk ke dalam jannah.
Mungkin dengan cara ini lah Allah ingin kita perbaiki tiap amal-amal yang sering kali salah.
Mungkin dengan cara ini lah Allah inginkan diri ini memperbaiki akhlak dan tiap prasangka
buruk yang terus menghampiri.

Dengan datan ke dalam majelis-majelis ilmu, ke dalam pertemuan pekanan, mentoring,


halaqoh ataupu liqo‟at. Allah ingin diri ini hadir dalam majelis-majelis tersebut. Majlis yang
insyaaAllah akan memudahkan diri ini masuk ke dalam jannah. Bahkan, Allah katakan pemudah
masuk ke dalam jannah ialah langkah awal kita. Langkah-langkah kaki kita ketika menempuh
majlis yang membuatnya masuk ke dalam jannah. Bukan fahamnya diri ini terhadap ilmu di
dalam majlis tersebut. Bukan faqihnya diri ini ketika dengan sendu mendengarkan di dalam
majlis. Bukan karena banyaknya dan mudahnya ilmu yang kita serap. Bukan itu semua yang
memudahkan kita masuk ke dalam jannah. Tapi langkah-langkah kaki kita lah yang nantinya
memudahkan diri ini masuk ke dalam jannah.

Mungkin, fahamnya ilmu belum tentu memasukkan kita ke dalam jannah. Sebab
fahamnya ilmu itu tidak lagi kita amalkan. Bahkan bertindak sombong dengan memandang
rendah orang-orang yang tidak hadir di dalam majlis tersebut. Mungkin, banyaknya ilmu yang
kita serap tidak menjadi pemudah ke dalam jannah. Sebab, bisa jadi itu membuat tumbuh
perasaan bahwa ilmu-ilmu itu didapat dari kemampuan sendiri. Padahal jelas Allah yang
memudahkan diri ini bisa meraih tiap jengkal, tiap tetes dan tiap sari ilmu-ilmunya.

Maka, hadir dalam pertemuan pekanan ini menjadi sebuah keharusan untuk meraih
jannahnya. Awal perjumpaan ini pun nantinya akan melepaskan belenggu-belenggu kejahiliyaan.
Awal perjumpaan ini lah yang nantinya pula mengajak tiap sendi tubuh dan raga untuk
meluruskan amal-amalnya. Dari awal perjumpaan ini, insyaaAllah akan membuka jalan-jalan
pemudah masuk ke dalam jannah lainnya. Ingatkah dari kalian perkataan Rasulullah terkait
persaudaraan yang membuat para nabi dan syuhada cemburu akan mimbar-mimbar bercahaya
yang kita dapat?

“...Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah padahal tidak ada hubungan
persaudaraan (saudara sedarah) antara mereka dan tidak ada hubungan harta (waris). Maka
demi Allah sesungguhnya wajah-wajah mereka bagaikan cahaya dan sesungguhnya mereka di
atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia merasa takut dan tidak pula sedih ketika
manusia sedih.” (HR Abu Dawud)

Bukankah dengan hadir dalam pertemuan pekanan ini akan menumbuhkan rasa cinta
yang kuat karena Allah?

“Sesungguhnya kamu bersama yang kamu cintai.” (HR Muslim)

Sungguh, di dalam halaqoh ini kita menjalin rasa cinta yang kuat dimana natinya akan
menjadi syafa‟at ketika masuk ke dalam jannahnya. Sebab, tiap muslim ketika memasuki jannah
ia akan saling berkunjung dan bertanya kabar dari saudaranya yang berada di dunia. Maka ketika
saudaranya tidak ia temukan di dalam jannah. Ia bisa meminta Allah untuk membawa
saudaranya masuk ke dalam jannah. Maka benar seperti yang dikatakan oleh Hasan Al Bashri,
“Perbanyaklah sahabat-sahabat yang shalih karena mereka akan memberi syafa‟at di yaumil
akhir.”

Mungkin kita memang bukan orang shaleh. Ataupun tidak penting untuk kita mengakui
diri ini sebagai orang shalih. Namun, sudah menjadi hajat penting untuk bisa berkumpul dan
bersahabat dengan orang-orang shalih. Sebab syafa‟at yang mereka berikan pada yaumil akhir
nanti. Dan semua itu bisa didapatkan di dalam lingkungan tarbiyyah. Di dalam lingkungan
halaqoh yang menggentarkan cinta. Di dalam nuansa liqo‟at yang menyegarkan dan
menghangatkan. Di dalam majelis-majelis tersebutlah bisa kita kumpulkan orang-orang shalih
yang saling mencintai karena Allah.

Tidak hanya itu, dalam hadirnya kita di dalam majelis-majelis tersebut. Akan
tertumbuhkan sifat-sifat yang mulia. Sifat-sifat yang membuat neraka tidak mau menyentuhnya.
Sifat-sifat yang akan menyelamatkan diri ini dari azabnya yang pedih. Keempat sifat yang
terangkum dari sabdar Rasulullah Shalallahu „alaihi wa sallam :

“Maukah kalian aku beritahu orang-orang yang tidak akan disentuh api neraka? Atau orang-
orang yang tidak akan masuk neraka? Dialah orang mudah bergaul dalam kebaikan, rendah
hati, berlemah-lembut dan tidak mempersulit urusan orang lain.” (HR Tirmdizi)

Dengan segala kelebihan yang memudahkan kita masuk ke dalam jannah. Masihkah ada
terbesit dalam benak ini untuk tidak hadir dalam perjumpaan pekanan ini? Sungguh, demi Allah
aku termasuk orang-orang yang rugi dan lalai akan segala perkataan Allah Yang Maha Pemurah.
Semoga dengan ini, perasaan semangat untuk terus hadir dalam perjumpaan pekanan akan terus
tumbuh dan menggelora. Selamat menikmati pertemuan pekanan ini! Selamat Menikmati jalan-
jalan pemudah menuju jannah!

Kontribusi

“Lakukan segala apa yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sampai
kalian sendiri merasa jemu.” (HR Bukhari)

Ada banyak hal yang belum kita ketahui. Ada banyak keterampilan yang kita belum bisa.
Ada banyak wawasan yang terlewatkan. Ada ribuan buku yang terbit tiap hari. Ada milyaran
manusia yang belum kita kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata
yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan.
Ada banyak ide dan rancangan yang belum kita wujudkan. Demi Allah, ada banyak ilmu yang
belum kita amalkan...

Padahal Allah telah menyediakan tempat belajar: Ada banyak masjid tanpa jamaah dan
pemakmur. Ada banyak TPA yang kekurangan pembina. Ada banyak acara dakwah yang kurang
lancar sebab tak ada personel yang memadai. Ada pengelolaan yang belum profesional melihat
cara kerja Panitia Kegiatan Ramadhan kemarin. LDK masih pontang-panting dan compang-
camping kalau mengadakan acara. Ada banyak remaja masjid atau LDK yang justru
menggunakan kegiatan untuk pacaran, wuih. Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar.
Misalnya, ada jutaan muslimin miskin adalah tetangga kita. Ratusan ribu anak jalanan lalu lalang
di depan rumah. Jutaan umat terancam kristenisasi dan pemurtadan.
Yang jauh di mata tapi harusnya dekat di hati? Jutaan pengungsi Palestina meregang
nyawa. Anak-anak kecil dengan ketapel menghadang tank dan Buldozer Israel. Orang-orang tak
berdosa korban bom curah dan bom karpet Amerika di Afghan dan Iraq. Muslimah yang diteror,
ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakanNya kepada
kita, soal ukhuwah, cinta dan kepedulian...

Saya kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam dakwah.
Sepantasnya saya dakwahi dulu sampai benar-benar bisa. Baru memang kalau nanti saya bisa
ceramah, ajak deh saya berdakwah.

Ketahuilah, kalau dakwah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah, tak perlu
anggota badan yang lain!

Pun anda seorang yang hanya bisa mengebut, tak ada keterampilan lainnya, betapa
berharganya anda sebagai penjemput ustadz pengisi kajian yang rumahnya nun jauh di sana. Pun
saat anda seorang yang agak „pelit‟ soal uang, ada jabatan bendahara LDK menanti. Pun ketika
anda hanya seorang yang suka jajan, andalah referensi Sie. Konsumsi untuk mencari makanan
terlezat dan termurah. Pun ketika anda seorang yang suka bertualang, anda tetap referensi dan
surveyor tangguh bagi Tim Outbond Islami. Pun ketika anda hanya kenal para supir, bukankah
kita perlu Sie Transportasi? Pun kalau anda bercita-cita menjadi pebisnis sukses, mengapa tak
sejak sekarang belajar dalam Sie Dana Usaha? Kalau anda ingin jadi aktivis LSM muslim, kok
tidak sejak sekarang mencoba mengumpulkan dan mengelola infaq untuk pengungsi Ambon,
Poso, korban perang Afghanistan, Iraq dan Palestina? Begitu banyak yang bisa dilakukan dalam
dakwah ini...

“Hai orang yang berkemul selimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu
agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah! Dan janganlah
kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Rabbmu, bersabarlah! (Al Mudatsir 1-7)

Ya, lalu kelak? Tahukah kau, dari 1000 anggota dewan partai dakwah, 400 orang di
antaranya bergelar Lc? Tegakah kau saksikan mereka terbengong sejenak dan harus belajar
cepat, sangat cepat untuk mengejar ketertinggalan mereka memahami masalah-masalah politik,
ekonomi, sosial dan budaya pada amanah yang embannya? Lalu siapa yang sempat memberi
taujih bagi ummat kalau begitu? Tidak. Teruslah menatap ke depan, maka kau akan saksikan
betapa dakwah semakin membutuhkan sosok-sosok yang profesional di berbagai bidang untuk
menjawab pertanyaan ummat, “Mana kontribusi dakwah bagi kemajuan peradaban?”

Tengoklah ke belakang. Investasi Utsman telah memakmurkan seluruh Madinah.


Enterpreneurship Abdurrahman ibn Auf telah membangung keseimbangan pasar yang
sebelumnya dikungkung hegemoni Yahudi. Keuleran petani seperti Abu Thalhah telah menjamin
ketahanan pangan Madinah. Kemahiran Asy Syifa binti Abdillah telah menjaga kesehatan
penduduk Madinah. Administrasi ala Umar ibn Al Khaththab membuat negerinya sentausa.
Kejelian akunting Abu Ubaidah telah menjamin keadilan dan pemerataan ekonomi masyarakat.
Kelihaian perang Khalid telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi Amr ibn
Ash telah menaklukkan banyak tanah tanpa pertumpahan darah.

Begitulah...

Maka kini, mungkin dalam keterbatasan kita, bercita-cita tinggilah. Kerjakan semuanya
yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kau rasakan pegal di
punggung, ngilu di kaki dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakur di tempat tidur.
Bermuhasabahlah sambil merilekskan tubuh mu. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat.
Lalu, bolehlah engkau bersenandung seperti yang dilantunkan Hijjaz:

Selimuti diriku

Dengan sutra kasih sayang Mu

Agar lena nanti, kumimpikan surga yang indah

Abadi

Pabila ku terjaga

Dapat lagi kurasai

Betapa harumnya, wangian surga firdaus

Oh Ilahi

(Hijjaz : Sebelum Mata Terlena)

Semoga segala kelelahanmu, berhadian pijatan lembut bidadari...

Sang Tukang Kayu, Habib ibn Surri An-Najjar

“Nama lelaki di Surah Yasin itu,” demikian dinyatakan „Ikrimah dari Ibn „Abbas, “adalah
Habib ibn Surri An-Najjar, seorang tukang kayu.”

Allah Subhannahu wa Ta‟ala menjadikan sosok yang sesungguhnya tak disebut namanya
di dalam wahyu ini sebagai teladan tentang cinta dan perjuangan dakwah yang tak habis-habis
bagi ummat di sekelilingnya. Seperti kita, dia bukan rasul, bukan nabi, bukan pula „ulama. Hal
terawal yang difahaminya hanyalah bahwa para rasul yang datang ke kotanya itu orang-orang
tulus. Mereka menghasung kebenaran dan mengajarkan kebajikan sama sekali tanpa meminta
imbalan. Bagi Habib, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan sekaligus membawa
petunjuk.
Maka dengan bergegas-gegas dari ujung kota, dia berseru-seru, “Wahai kaumku, ikutilah
para utusan Allah itu!” Dan Habib An-Najjar, demikian menurut ahli tafsir, setelah menyimak
apa yang disampaikan para terutus itu kemudian melantangkan dengan anggun penyataan
imannya.

Di sana, di tengan sebuah Amphitheater yang didindingi Colosseum kokoh, Habib An-
Najjar berdiri tegak. Di bawah tatap mata patung-patung; Jupiter si raja dari semua dewa
romawi, Mars si dewa perang, Uranus si dewa langit, Neptunus si dewa lautan, dan arca-arca
lainnya yang mengitari puncak-puncak Colosseum diserukannya sebuah hakikat kehambaan
yang mengguncang.

“Mengapa aku tidak menyembah Dzat yang telah menciptakanku, yang hanya pada-Nya kalian
semua akan dikembalikan? Apakah aky akan mengibadahi sesembahan-sesembahan yang jika
Allah Sang Maha Pengasih menghendaki bahaya bagiku, maka syafa‟at mereka sama sekali
tiada bermanfaat bagiku dan mereka pun tak dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku jika
demikian itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Yaasiin [36] : 22-24)

Negeri itu adalah salah satu bagian dari Imperium Romawi yang warganya terbagi dua:
para patricia kelas atas dan para plebeia kelas bawah. Dapatlah diduga, para warga negara kelas
bawahlah yang awal-awal mengiyakan pernyataan Habib An-Najjar. Dari anggukan dan saling
pandang berubah menjadi bisik-bisik, dari derau kasak-kusuk menjadi teriakan-teriakan
membenarkan.

Dukungan “kaum rendahan” itu membuat murka para pemuka kaumnya. Betapa seorang
lelaki tak dikenal dari kalangan jelata lagi miskin papa, mengajari mereka tentang agama. Betapa
seorang yang bukan siapa-siapa, mengungkap kesejatian iman yang membuat apa yang mereka
yakini selama ini tampak batil dan konyol. Maka diperintahkanlah para sahaya dan pengawal
untuk mengeroyok dan menyiksanya, hingga dadanya remuk dan isi perutnya terburai akibat
diinjak-injak.

Khalayak bubar dalam kepanikan. Hanya tiga rasul menghampirinya dalam kecamuk
duka tapi takjub.

Di detak-detak terakhirnya, dalam sekarat yang menyergapkan manisnya iman, diiringi


air mata para utusan Allah yang tak kuasa menolongnya, dia mencoba bicara. Nafasnya yang
satu-satu, darahnya yang sisa-sisa, tak menghalanginya menyunggingkan senyum ridha.

“Sesungguhnya aku beriman kepada Rabb kalian. Maka dengarkanlah ikrar imanku ini.” (Q.S.
Yaasiin [36] : 25)

Kata-katanya ini, menurut Imam Ath-Thabary, khithabnya ditujukan kepada para rasul
yang mendampinginya di akhir hayatnya. Para rasul itu kagum dan cemburu terhadap iman yang
telah menggerakkan Habib An-Najjar berdakwah dengan mempersembahkan bahkan raga dan
nyawanya. Betapa dalam dia meyakini. Betapa besar cinta pada kaumnya. Betapa hebat
penyampaian dakwahnya. Dan betapa mahal pengorbanannya.

Kisang sang da‟i tak berhenti sampai di sini. Sebab mereka yang ada di jalan dakwah
yang Allah ridhai tetap hidup sesudah mati. Hidup dengan semua arti yang terkandung dalam
kata “hidup” itu sendiri. Habib An-Najjar membuktikan diri sebagai lelaki penggamit hati yang
cinta ikhlasnya pada kaumnya terus dia dengungkan dari dalam surga yang abadi.

“...Aduhai alangkah baiknya seandainya kaumku mengetahui. Bersebab apa kiranya Rabbku
mengampuniku dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (Q.S. Yaasiin [36] :
26-27)

Inilah orang yang mencintai bagi seluruh kaumnya, apa yang dicintainya untuk dirinya
sendiri. Inilah orang yang mengharapkan bagi kaumnya, apa yang diharapkannya bagi dirinya
sendiri. Inilah orang yang mengkhawatirkan atas kaumnya, apa yang dikhawatirkan atas dirinya
sendiri. Sungguh jiwa da‟i sejati yang kasihnya kepada ummat dia bawa mati. Sungguh setiap
yang memiliki jiwa penggamit hati, adalah lapis-lapus keberkahan yang mencahayai zaman.

Habib An-Najjar sudah mati. Maka Allah Yang Maha Santun dengan firman Maha Mulia
menyampaikan apa yang dia katakan dari alam yang sudah berbeda. Bahwa dia mencintai
kaumnya, amat berhasrat menggamit semua hati untuk dibawa ke dalam cahaya, untuk diajak
menikmati jannah.

Salah satu ujaran paling berdaya yang pernah kita simak barangkali adalah, “Perbaiki
dirimu dan ajak-ajaklah sesamamu.” Dan pada sosok Habib An-Najjar si lelaki biasa dari ujung
kota, kita menemukan perwujudannya yang amat dahsyat. Betapa indahnya hidup yang diisi
memperbaiki diri dan menggamit sebanyak-banyak hati untuk bersama menggapai ridha Allah.

Maka mentoring, merupakan agenda atau kegiatan yang penuh cinta dan tempat meraih
ridha-Nya yang ada di bumi. Jika, kita belum bisa berdakwah di atas mimbar-mimbar yang
agung , mungkin dengan hadir selalu ketika mentoring akan menumbuhkan perbaikan diri.
Dengan begitu pula, kita bisa meneladani Habib An-Najjar untuk mengajak sesama untuk hadir
dalam mentoring. Lengkaplah untuk memenuhi perikata jauhari itu ; “Perbaiki dirimu dan ajak-
ajaklah sesamamu!”

Semoga Allah meridhai tiap upaya kita untuk menghidupkan semangat Habib ibn Surri
An-Najjar. Barangkali kita terlanjur menjadi orang bisa, bukan „ulama. Tetapi dengan
memperbaiki diri dan mengajak sesama, kita hendak mengukir sejarah sebagai da‟i.
Memperbaiki diri di jalan Allah, menggamit sesama ke jalan Allah.

Selamat menghadiri mentoring!


Itulah yang diperbuat keimanan.

Membuka mata dan hati.

Menumbuhkan kepekaan.

Menyirai kejelitaan, keserasian dan kesempurnaan...

Iman adalah persepsi baru terhadap alam,

Apsesiasi baru terhadap keindahan,

Dan kehidupan di muka bumi,

Di atas pentas ciptaan Allah,

Sepanjang malam dan siang..

(Sayyid Quthb)

(Referensi : Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim, Menggali Kepuncak Hati karya Salim A.
Fillah dan sedikit catatan dari G. Roswafa Kusuma)

Anda mungkin juga menyukai