Anda di halaman 1dari 6

Hikmah Manasik Haji

Khutbah 1

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu,
khatib mengawali khutbah yang singkat ini dengan wasiat takwa. Marilah kita semua selalu
meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melaksanakan semua
kewajiban dan meninggalkan segenap larangan.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Allah subhanahu wata’ala telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan menjadikan
Ka’bah sebagai tujuan dan dambaan hati jutaan umat Islam. Kaum muslimin, tua-muda, fakir-
kaya, pejabat-rakyat jelata, Arab-China dan apa pun suku dan negaranya berbondong-bondong
dari berbagai penjuru dunia pergi menuju ke Baitullah tiap tahun untuk melaksanakan ibadah
haji. Perbedaan bangsa, ras, suku, bahasa dan warna kulit tidak menghalangi mereka untuk
bersatu melaksanakan ibadah yang sama, di tempat yang sama dan dengan tujuan yang sama,
yaitu sama-sama memenuhi panggilan Allah dengan niat mendapatkan ridha-Nya semata. Allah
ta’ala berfirman:

1
Maknanya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia menurut Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala yang tampak dan
tersembunyi dari perbuatanmu” (QS al-Hujurat: 13).

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Jika direnungkan dengan seksama dan mendalam,


berbagai rangkaian manasik haji memiliki makna dan pelajaran yang dapat kita ambil
hikmahnya. Haji adalah momen pertemuan tahunan yang begitu besar, yang jutaan kaum
muslimin berkumpul di sana. Mereka bersatu dalam kalimat

berdoa kepada Tuhan dan pencipta mereka serta saling mengenal dan mengeratkan hubungan
antar mereka. Di sana, di tanah suci, mereka saling memahami dan tolong menolong dalam
kebaikan agar mereka semakin kuat melawan godaan Iblis dan bala tentaranya.

Di sanalah tampak dengan jelas makna dan nilai persaudaraan dan kesetaraan di antara kaum
muslimin. Para jamaah haji seluruhnya melepas pakaian masing-masing dan menggantinya
dengan pakaian ihram yang lebih mirip dengan kain kafan mayat. Mereka menyerukan kalimat
talbiyah:

dalam keadaan menanggalkan semua pakaian dan perhiasan dunia yang fana’. Hanya pakaian
Ihram yang mereka kenakan. Tua-muda, miskin-kaya, Arab-non Arab, semuanya sama menurut
Allah. Mereka tidak saling mengungguli kecuali dengan takwa sebagaimana ditegaskan oleh
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

2
Maknanya: “Tidak ada kemuliaan bagi orang Arab melebihi non Arab kecuali dengan takwa”
(HR Abu Nu’aym dalam Hilyah al-Auliya’)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Haji adalah latihan sekaligus praktik dari kesabaran,
menanggung berbagai kesulitan dan menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan untuk
memperoleh derajat yang tinggi dan meraih surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. Haji adalah pintu yang luas untuk melakukan kebaikan dan ketaatan serta meraih
derajat takwa yang merupakan sebaik-baik bekal menuju kehidupan akhirat.

Saudara-saudaraku seiman,

Ketika jutaan jamaah haji menyerukan kalimat talbiyah dengan mengucapkan ( ‫)َلَّبْي َك الّٰل ُهَّم َلَّبْي َك‬,
maka momen dan seruan ini mengingatkan kita akan dahsyatnya peristiwa hari kiamat pada saat
manusia dikumpulkan di padang mahsyar. Ketika malaikat Israfil ‘alaihis salam meniup
sangkakala maka terbelahlah kuburan-kuburan dan orang-orang keluar darinya secara
berbondong-bondong. Kemudian dikumpulkan di Mahsyar dalam tiga keadaan. Sebagian dalam
keadaan makan, minum, berpakaian dan menaiki kendaraan. Mereka adalah kaum muslimin
yang bertakwa yang menjalankan semua kewajiban dan menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan. Sebagian dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang bulat. Mereka adalah para
pelaku dosa besar di antara kaum muslimin. Dan sebagian lagi dikumpulkan dalam keadaan
terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah lalu diseret oleh para malaikat sebagai penghinaan
terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir.

Sedangkan sa’i antara Shafa dan Marwah mengingatkan kita akan kedatangan Sayyidina Ibrahim
‘alaihis salam ke Makkah al-Mukarramah, tempat turunnya wahyu, yang Allah jadikan aman dan
tenteram. Sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan perjalanan menapak tilas kembali apa yang
dilakukan Sayyidah Hajar. Di Makkah, tempat yang tidak ada air dan tanamannya, Hajar
bersama Isma’il yang masih bayi ditinggal oleh Nabiyyullah Ibrahim ’alaihis salam. Hajar pun
bertawakkal secara penuh kepada Allah sembari beriktiar dengan berlari-lari kecil antara Bukit
Shafa dan Bukit Marwah mencari air saat Ismail menangis dan butuh air. Hingga pada akhirnya
Allah hilangkan kesulitannya dan Allah berikan jalan keluar dari masalahnya. Allah keluarkan
untuknya air Zamzam yang nikmat dan penuh berkah. Allah ta’ala berfirman:

3
Maknanya: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya Dan barang siapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS ath-Thalaq: 2-3)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sedangkan Wuquf di Padang ‘Arafah, maka di dalamnya terdapat hikmah yang besar dan
kenangan yang agung. Di sana kita melihat lautan manusia. Kita mendengar lantunan suara
mereka yang keras, berdoa kepada Allah yang Mahakuasa, dalam keadaan merendahkan diri,
tunduk, berharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Mereka berdoa kepada Allah, Sang
Pencipta dan Pemilik mereka, dengan bahasa yang bermacam-macam dan logat yang beragam.
Ini semua mengingatkan jamaah haji akan hari kiamat dan tahapan-tahapannya yang menakutkan
dan luar biasa, saat semua hamba berdiri merendahkan diri dan sangat berhajat kepada pencipta
mereka, pemilik semua kekuasaan, yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.

Kaum muslimi rahimakumullah,

Adapun melempar jamrah, maka ibadah ini juga mengandung hikmah yang agung bagi kita.
Ketika melempar jamrah, jamaah haji akan mengingat dan mengenang bagaimana Iblis
menampakkan diri kepada Nabi Ibrahim ’alaihis salam untuk menggodanya setiap kali berada di
masing-masing jamrah. Sayyidina Ibrahim ‘alaihis salam pun menghinakan Iblis dengan
melemparnya dengan batu kerikil sebagaimana diperintahkan oleh Allah ta’ala. Maka kita,
segenap umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diperintah untuk melempar jamrah dalam
rangka menghidupkan sunnah Ibrahim ‘alaihis salam. Ini semua adalah simbol perlawanan
kepada Iblis dan penghinaan terhadapnya. Seakan orang yang melempar berkata dalam dirinya
kepada setan: “Seandainya engkau menampakkan diri kepada kami sebagaimana engkau
menampakkan diri kepada Ibrahim, niscaya kami akan melemparmu sebagai penghinaan
terhadapmu.” Namun demikian, tempat-tempat ini bukanlah tempat tinggal setan seperti dugaan
sebagian orang.

4
Jamaah shalat Jumat yang berbahagia,

Sedangkan thawaf adalah bentuk konsistensi dalam ketaatan kepada Allah. Seakan orang yang
berthawaf mengatakan: “Wahai Tuhanku, ke manapun kami berkeliling dan di manapun kami
berada, kami tetap istiqamah taat kepada-Mu.” Thawaf juga merupakan pengagungan terhadap
rumah atau bangunan Ka’bah yang dimuliakan oleh Allah. Allah ta’ala memerintahkan kita
untuk mengagungkannya. Baitullah adalah simbol yang menyatukan hati kaum muslimin dalam
beribadah kepada Allah. Oleh karenanya, kaum muslimin berthawaf mengelilingi Ka’bah bukan
untuk beribadah kepada Ka’bah, melainkan karena melaksanakan perintah Allah.

Allah memerintahkan agar kita berthawaf mengelilinginya, mengagungkannya dan Allah


menjadikannya simbol untuk menyatukan hati kaum muslimin di sekelilingnya dalam beribadah
kepada Allah yang Mahahidup dan mengatur segenap hamba-Nya. Sebagaimana kita bahwa
Allah tidaklah bertempat tinggal di Ka’bah. Kita wajib meyakini bahwa Allah ta’ala ada, tanpa
bersifat dengan sifat-sifat makhluk, tidak membutuhkan tempat dan tidak menyerupai sesuatu
pun di antara makhluk-Nya.

Allah tidak tinggal di Ka’bah, tidak bertempat di langit dan tidak menempati seluruh tempat.
Akidah seorang muslim tidak lain adalah bahwa Allah yang menciptakan semua makhluk
tidaklah menyerupai semua makhluk, tidak menyerupai langit dan bumi, tidak menyerupai
manusia dan tidak menyerupai sesuatu pun. Allah bukanlah benda (jism), Allah bukan cahaya.
Allah tidak memiliki gambar, rupa dan bentuk serta sifat makhluk, apa pun itu. Apapun yang
terlintas di benak kita, maka Allah tidak menyerupainya. Inilah akidah yang diyakini dan
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan umat Islam dari masa ke
masa di berbagai belahan dunia.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga menjadi ilmu
yang bermanfaat dan dapat kita amalkan bersama.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga menjadi ilmu
yang bermanfaat dan dapat kita amalkan bersama.

5
Khutbah 2

Anda mungkin juga menyukai