1. sebap-sebap
2. ciri-cirinya
Ciri dakwah rasulullah yang pertama adalah berdakwah secara syirriyah, beliau berdakwah
syirriyah selama 3 tahun di mekkah, selama 3 tahun pertama tercatat ada 30 orang yang pertama
masuk islam, sedikit sekali orang-orang yang mengikut dakwah rasulullah, orang-orang qurays
tidak mudah menerima islam dan masih sulit meninggalkan agama nenek moyang mereka, ada
banyak ulah serta penyiksaan diawal awal datangnya islam. Salah satu faktor orang qurays
menyiksa umat islam saat itu adalah orang yang masuk islam diawal rata-rata dari golongan
mengah kebawah. Sehingga karena banyak tekanan dan penyiksaan rasulullah memerintahkan
untuk berhijrah, hijrah yang pertama adalah ke habbasyah, setelah itu baru ke madinah.
Setelah khodijah, kurang lebih setahun pamannya rasululah abu tholib yang
mendukung penuh dakwah beliau juga meninggal. Maka rasulullah berdakwah ke
thoif, rasulullah dilempar oleh penduduk thoif sampai zaid bin haritsah yang menjadi
perisainya pun berdarah. Sehingga Rasulullah didatangi oleh malak penjaga gunung agar
dibalas perbuatan penduduk terhadapnya tetapi rasulullah malah mendoakan kebaikkan
dan hidayah untuk penduduk thoif. Ini hikmah bagi kita sebagai murobbiyah agar
berdakwah dan selalu mendoakan mutorrobbi kita, bisa jadi kita istiqomah sekarang
dalam tarbiyah karena doa orang-orang sholeh untuk kita.
Jika hal ini kalian lakukan, maka surgalah sebagai imbalan bagi kalian. (hasan. HR.
Ahmad 3/322, al-Baihaqi 9/9)
Rasulullah saw. meninggalkan rumah beliau untuk melakukan hijrah bersama Sahabat
Abu Bakar Shiddiq pada malam tanggal 27 Shafar tahun 14 kenabian atau bertepatan
pada 13 September 622 M. Setelah sebelumnya gelombang hijrah dilakukan para
Sahabat. Setelah beliau tiba di Quba pada 8 Rabiul Awwal tahun 14 kenabian dan
membangun masjid di sana, empat hari setelahnya, Rasulullah saw. tiba di Madinah
dengan disambut gegap gempita oleh penduduk Madinah.
Rasulullah saw. juga mengadakan perjanjian dengan Yahudi dari Bani Dhamrah, Bani
Mudlij, Kafir Quraisy, Penduduk Ailah, Jarba dan Adzrah. Di antara tujuannya, agar
tidak ada yang menghalangi orang yang menunaikan ibadah haji dan agar tidak ada
provokasi pada saat bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab).
Posisi Rasulullah saw. sebagai seorang kepala negara sangat tampak ketika beliau
mengangkat para wali (kepala daerah setingkat provinsi). Rasulullah saw. mengangkat
‘Uttab bin Usayd menjadi wali di Makkah, Badzan bin Sasan menjadi wali Yaman dan
Shana’a, Utsman bin Abil al-’Ash menjadi wali di Thaif. Berikutnya ‘Ala’ bin al-
Hadhrami menjadi wali di Bahrain, ‘Amr bin al-Ash menjadi wali di Oman, Abu Sufyan
bin Harb menjadi wali di Najran, Amr bin Said bin al-Ash menjadi wali di Wadi al-Quro,
Yazid bin Abiy Sufyan menjadi wali di Tayma, Tsumamah bin ‘Atsal menjadi wali di
Yamamah, Farwah bin Musayk menjadi wali di Murad, Zabid dan Madhij serta Abi
Rabi’ah al-Makhzumi menjadi wali di Yaman.
Selain mengangkat wali, untuk membantu mengurus berbagai urusan kaum Muslim,
Rasulullah saw. juga mengangkat amil (kepala daerah setingkat bupati atau walikota).
Rasulullah saw. mengangkat Syahr al-Hamdani menjadi amil di Yaman, Abu Musa
al-‘Asy’ari menjadi amil di Zabid dan ‘Adn, Al-Harits bin ‘Abd al-Muthallib menjadi
amil sebagian Makkah, Abi Syaibah menjadi amil di Thaif, ‘Amr bin Hazm al-Anshari,
menjadi amil di Najran, Qays bin Malik al-Arhabi menjadi amil di Bani Hamdan, Ibn
Mandah menjadi amil Hajar, Sawad bin al-Ghaziyah menjadi amil di Khaibar, Ziyad bin
Labib menjadi amil di Hadhramaut dan Muadz bin Jabal menjadi amil di Janad.
Dalam bidang hukum, Rasulullah saw. mengangkat qâdhi (hakim) untuk memutuskan
perkara hukum di tengah masyarakat. Beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
qâdhi di Yaman, Abdullah bin Naufal sebagai qâdhi di Madinah, Muadz bin Jabal dan
Abu Musa al-Asy’ari sebagai qâdhi di Yaman (Utara dan Selatan). Rasulullah saw. juga
secara langsung menjatuhkan sanksi/hukuman kepada orang yang melanggar hukum
Islam.
Berjihad dijalan Allah, jihad fisabilillah
Berjihad dengan jiwa kita harta kita, kebaikkannya kembali ke diri kita bukan untuk
siapa-siapa, bersyukur ada dalam barisan dakwah mengurus umat dan ini perlu kita
syukuri karena tidak semua orang mendapatkanya, berinfak tidak mengurangi harta kita.
Tidak cukup dengan jiwa atau harta saja tapi dengan segala apa yang kita miliki baik
dalam keadaan lapang atau sempit. Qs an nisa ;95 menjelaskan bahwa orang-orang yang
berjihad dan tidak berjihad itu berbeda
Tidak sama orang yang bergerak dan diam, tidak sama antar orang yang mengurus orang
lain dengan orang yang hanya menguru dirinya sendiri. Derajad orang yang berjihad lebih
tinggi, apa balasannya? Allah menyediakan syurga yang paling tinggi yakni Firdaus,
inilah yang menjadi inspirasi para sahabat dahulu untuk berjihad mereka rela;berkorban
memberikan apapun yang dimilikinya untuk menolong agama Allah, mereka berperang
dijalan Allah dari perang 1 ke peperangan berikutnya, perang badar perang uhud dstnya.
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi orang yang memutuskan silaturahim, yaitu tidak
masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan adab atau akhlak adalah permasalahan yang penting.
Betapa tidak, akhlak dan adab ternyata dapat menjadi penyebab masuk surga atau masuk nerakanya seseorang.
Jika pada pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa di antara keutamaan menyambung silaturahim
adalah bisa menyebabkan masuk surga (sebagaimana yang Allāh sebutkan dalam surat Ar-Ra’d), maka
sebaliknya Allāh juga menjelaskan bahwa memutuskan silaturahim merupakan salah satu sebab masuknya
seseorang ke dalam neraka. Allāh ﷻ berfirman,
Ancaman dalam ayat ini sangat jelas. Disebutkan bahwa di antara yang menyebabkan seseorang mendapat
laknat dan masuk neraka jahannam adalah memutuskan silaturahim.
ٓ
َ ٰ ص َّمهُ ْم َوَأ ْع َم ٰ ٓى َأب
ْص َرهُ ْم َ ين لَ َعنَهُ ُم ٱهَّلل ُ فََأ َ ُأ ۟و ٰلَِئ
َ ك ٱلَّ ِذ
“Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allāh dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya
penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 23)
Ayat-ayat ini juga berisi ancaman yang keras terhadap orang yang memutus silaturahim. Disebutkan pada ayat
ini bahwa orang yang memutuskan silaturahim akan dilaknat oleh Allāh, dibutakan penglihatan mereka, dan
dijadikan telinga mereka tuli sehingga tidak bermanfaat bagi mereka ayat-ayat Allāh ﷻ.
Para pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Derajat menyambung silaturahim terhadap kerabat ada 3 tingkatan
berikut ini.
Tingkatan yang pertama adalah tingkatan yang paling afdhal, paling mulia, yaitu menyambung silaturahim
terhadap kerabat yang memutuskan silaturahim.
صلَهَا
َ ت َر ِح ُمهُ َو ِ اص ُل بِ ْال ُم َكافِِئ َولَ ِك َّن ْال َوا
ْ ص َل الَّ ِذي ِإ َذا قُ ِط َع ِ ْس ْال َو
َ لَي
“Bukanlah penyambung silaturahim adalah yang hanya menyambung kalau dibaiki, akan tetapi penyambung
silaturahim adalah yang tetap menyambung meskipun silaturahimnya diputuskan (oleh kerabatnya).” (HR.
Al-Bukhari)
Artinya, penyambung silaturahim yang sesungguhnya adalah orang yang jika diputuskan silaturahim dia tetap
menyambungnya.
ِ ِإ َّن لِي قَ َرابَةً َأ،ِ يَا َرسُو َل هللا: َأ َّن َر ُجاًل قَا َل:ََع ْن َأبِي هُ َر ْي َرة
،صلُهُ ْم َويَ ْقطَعُونِي
َ ” لَِئ ْن ُك ْن:ال
ت َك َما َ َ ق.ي َ ُ َوَأحْ لُ ُم َع ْنهُ ْم َويَجْ هَل،ي
َّ َون َعل َ َوُأحْ ِس ُن ِإلَ ْي ِه ْم َويُ ِسيُئ
َّ َون ِإل
َ ِت َعلَى َذل
ك َ َما ُد ْم،ك ِم َن هللاِ ظَ ِهي ٌر َعلَ ْي ِه ْمَ َواَل يَ َزا ُل َم َع،َّ تُ ِسفُّهُ ْم ْال َمل فَ َكَأنَّ َما،ُتَقُول
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku menyambung silaturahim kepada mereka, namun mereka
memutuskan silaturahim kepadaku. Aku berbuat baik kepada mereka, namun mereka berbuat buruk kepadaku.
Aku bersabar dengan mereka sementara mereka berbuat kejahilan kepadaku, yaitu dengan mengucapkan
kata-kata yang buruk.” Maka kata Nabi ﷺ, “Kalau engkau benar sebagaimana yang engkau katakan, maka
seakan-akan engkau memasukkan debu yang panas di mulut-mulut mereka, dan senantiasa ada penolong dari
Allah bersamamu atas mereka selama engkau dalam kondisi demikian.” (HR. Muslim no. 2.558)
Maksudnya, Rasulullah ﷺmenjelaskan kalau dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya engkau
menghinakan mereka, seakan-akan engkau memasukkan debu yang panas ke dalam mulut mereka, karena
mereka berusaha berbuat buruk dan engkau terus membalas dengan kebaikan.
Ini adalah tingkat silaturahim yang tertinggi, karena menyambung silaturahim bukan untuk mendapatkan
balasan kebaikan dari kerabat, tetapi karena Allāh ﷻ dan berharap surga.
Tingkatan kedua adalah menyambung silaturahim jika kerabat berbuat baik, sedangkan jika kerabat tidak
berbuat baik, maka dibalas dengan tidak baik juga.
Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang buruk dan haram yang menyebabkan masuk neraka, yaitu
memutus silaturahim, tidak menyambung silaturahim, acuh kepada kerabat, tidak menghubungi mereka, tidak
berbuat baik kepada mereka bahkan berbuat kasar. Maka, ia telah melakukan perbuatan yang terancam dengan
neraka jahannam.
Semoga Allāh menjadikan kita termasuk orang-orang yang menyambung silaturahim dan menjadikan kita
orang yang bersabar seandainya ada kerabat yang berbuat buruk kepada kita.
https://firanda.com/4131-kitabul-jami-bab-2-hadits-2-larangan-memutus-silaturahim.html