Anda di halaman 1dari 7

Nama : Veronica Meidy

NIM : 1765050234
Tinjauan Pustaka IKA Minggu 2

KEJANG DEMAM

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lain.
Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termsuk dalam kejang
demam. Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit,
bersifat umum serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80% diantara semua kejang. Kejang demam disebut kompleks jika kejang
berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atu parsial 1 sisi kejang umum didahului
kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Kejang demam sangat
tergantung kepada usia, kejadian kejang pertama sebelum berusia 4 tahun sekitar 85%,
dimana terbanyak di antaranya ialah 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang
demam pertama sebelum berusia 5-6 bulan atau setelah berusia 5-8 tahun. Setelah berusia 6
tahun, biasanya pasien tidak mengalami kejang lagi, walaupun untuk beberapa pasien masih
dapat mengalami kejang demam sampai usia lebih dari 5-6 tahun. Anak-anak dengan kejang
demam sederhana tidak meningkatkan risiko kematian. Namun, kejang demam kompleks
yang terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipengaruhi oleh temperatur kurang dari 39°C
berisiko 2 kali lipat meningkatkan risiko kematian selama 2 tahun pertama setelah kejang
terjadi.

Klasifikasi
Kejang demam terbagi dalam 2 bentuk, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.
Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
Durasi < 15 menit Durasi > 15 menit
Tipe kejang umum tonik dan/klonik tipe kejang fokal/fokal lalu kejang umum
1 kali dalam 24 jam Berulang >1 kali dalam 24 jam

Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam terjadinya kejang demam, diantaranya
adalah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering disebabkan karena
adanya infeksi virus atau bakteri misalnya ISPA, otitis media, pneumonia, gastroenteritis,
saluran kemih, dan lain-lain. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi,
terkadang kejang dapat timbul pada demam yang tidak terlalu tinggi dan bila kejang terjadi
pada keadaan tersebut, anak memiliki risiko tinggi untuk kejang berulang. Faktor genetik (25-
40%) juga berpengaruh dalam terjadinya kejang demam. Kejang demam diturunkan secara
dominan autosomal sederhana. Banyak pasien kejang demam yang orang tua atau saudara
kandungnya menderita penyakit yang sama. Faktor intrauterine juga berperan dalam
terjadinya kejang demam, yaitu pada kehamilan trimester ketiga, anak-anak yang berada di
tingkatan persentil terendah karakteristik pertumbuhan (panjang badan, lingkar perut, dan
estimasi berat fetus) memiliki resiko yang tinggi mengalami kejang demam.

Patofsiologi
Demam merupakan akibat kenaikan set point yang disebabkan oleh infeksi atau inflamasi
atau oleh adanya ketidakseimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya. Sebagai
respons terhadap masuknya mikroba, sel-sel fagositik tertentu (makrofag) mengeluarkan
suatu bahan kimia yang dikenal sebagai PE (pirogen-endogen) seperti IL1, IL-6, TNF
(tumour necrosis factor), dan IFN (interferon), yang selain efeknya dalam melawan infeksi,
pirogen-endogen bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan
thermostat. Selama demam, pirogen endogen meingkatkan titik patokan termostat di
hipotalamus. Setelah mencapai thermostat di hipotalamus, IL-1 lalu menstimulasi
pembentukan Prostaglandin (PGE2) melalui prekursornya yaitu asam arakidonat. PGE2 lalu
meningkatkan suhu inti di hipotalamus sehingga tubuh menyesuaikan dengan meningkatkan
produksi panas dan menurunkan pengeluaran panas dari tubuh. Suatu sel, khususnya sel otak
atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran
permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid,
sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion
Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron,
maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Adanya
perubahan pada potensial membran dapat menyebabkan terganggunya sistem inhibisi
GABAergik. Faktor berikut memengaruhi difusi pada membran sel neuron:
l) Gradien konsentrasinya di kedua sisi membran . Zat terlarut berpindah dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah.
2) Potensial listrik di kedua sisi membran. Zat terlarut bergerak ke arah larutan yang memiliki
muatan berlawanan. Bagian dalam sel biasanya memiliki muatan negatif.
3) Koefisien permeabilitas zat terhadap membran.
4)Gradien tekanan hidrostatik di kedua sisi membran. Peningkatan tekanan akan
meningkatkan laju dan mendorong tumbukan antara molekul dan membran.
5) Suhu. Peningkatan suhu akan meningkatkan gerakan partikel sehingga meningkatkan
frekuensi tumbukan antara partikel eksternal dan membran.

Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan beberapa hal ini, ialah:
 Adanya kejang, jenis kejang apakah generalisata atau fokal, kesadaran, dan
durasi/lamanya kejang
 Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan pasca kejang,
mengetahui penyebab demam diluar infeksi SSP (misalnya: gejala ISPA, ISK, OMA, dll)
 Riwayat perkembangan (ada atau tidak keterlambatan perkembangan), riwayat gangguan
neurologis, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
 Penyebab kejang lainnya perlu disingkirkan misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang menyebabkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia, dan adanya trauma

Pemeriksaan Fisik
Setelah kejang berhenti, perlu dilakukannya evaluasi terhadap status neurologis pasien,
termasuk pemeriksaan fisik.
 Kesadaran: menilai apakah ada penurunan kesadaran
 Suhu tubuh: apakah terdapat demam
 Tanda rangsang meningeal: Kaku Kuduk, Brudzinski I dan II, Kernique, dan Laseque
 Pemeriksaan nervus kranial
 Tanda peningkatan tekanan intracranial: ubun-ubun besar (UUB) menonjol, papil edema
 Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll.
 Pemeriksaan neurologi: tonus, motoric, reflex fisiologis, dan reflex patologis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang dilakukan sesuai dengan indikasi untuk mengetahui penyebab demam
atau kejang.
 Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan tidak dilakukan secara rutin tetapi dilakukan
untuk mengetahui sumber infeksi penyebab demam, misalnya darah perifer lengkap, gula
darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal (pungsi lumbal): dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan terjadinya meningitis. Berdasarkan bukti-bukti dan
penelitian terbaru, sekaran ini pemeriksaan lumbang pungsu tidak lagi rutin dilakukan
untuk anak usia <12 bulan yangmengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.
Indikasi pungsi lumbal:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
3. Perlu dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam sebelumnya telah
mendapatkan antibiotic dan pemberian antibotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
 Pemeriksaan elekrtoensefalografi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG: Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejadian kejang
demam, kecuali apabila bangkitan bersifat fokal atau kejang demam kompleks pada anak
berusia lebih dari 6 tahun.
 Pencitraan atau Pemeriksaan neuroimaging (CT-Scan atau MRI kepala) tidaklah rutin
dilakukan pada anak kejang demam sederhana. Pemeriksaan ini dilakukan hanya apabila
terdapat indikasi, misalnya seperti:
1. kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis/paresis nervus kranialis) atau
kemungkinan adanya lesi structural di otak (mikrosefali, spastisitas).
2. Terdapat peningkatan tekanan intracranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB
membonjol, paresis nervus VI, edema papil).
Tatalaksana
Medikamentosa
Pada seorang anak yang masih kejang pada presentasi ke UGD, indkasi untuk memberikan
obat antipilepsi adalah kejang yang berlangsung selama 5 menit, demam, dan kejang
berulang. Dalam evaluasi seorang anak dengan kejang demam penting untuk menegenali red
flag, yang berguna dalam memutuskan apakah manajemen lebih lanjut diperlukan.
Tanda Red Flag Kejang Demam:
1. Anak dengan kejang demam kompleks
2. Tanda Meningeal: tanda kernig positf dan/ atau tanada Brudzinski positif dan/ atau
kekakuan leher
3. 3.Tingkat kesadaran yang berubah selama lebih dari satu jam
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tatalaksana kejang.
Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilkasis intermiten pada saat demam berupa:
- Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali,3-4 kali sehari
- Anti Kejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal dosis 0,5
mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh> 38,50 C. Terdapat eefek samping
berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus
- Pengobatan Rumatan
Obat antikonvulsan rumatan yang diberikan ialah fenobarbital atau asam valproate
setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini
adalah aam valproate dengan dosis 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumatan untuk kejang demam tidak diperlukan tapering off,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedng demam.

Indikasi rawat inap kejang demam:


 Kejang demam kompleks
 Hiperpireksia
 Usia dibawah 6 bulan
 Kejang demam pertama kali
 Terdapat kelainan neurologis

Prognosis
Prognosis dari kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya sangat baik dan tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis bisa terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun
fokal.

Daftar Pustaka

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastutu S,dkk. Buku Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan


Dokter Anak Indonesia.2011:150-153
2. Marcdanten KC, Kliegman MR. Seizure(Paroxysmal disorder). In Nelson essential of
pediatrics. 7th ed. Philadelphia: Elsevier saunders; 2015. p. 618-22.
3. Khair, Abdulhafeez, et al. Febrile Seizures and Febrile Seizure Syndromes: An
Update Overview of Old and Current Knowledge. Neurology Research International
Volume 2015:1-2.
4. Harini C, Nagarajan E, Kimia A, Carvalho M, Bergin A , Loddenkemper T. Utility of
initial EEG in first complex febrile seizure. Epilepsy & Behavio. 2015; 52, 200–204.
5. Vidaurre, J. Complex Febrile Seizures: An Update. Journal of Pediatric Epilepsy.2019
6. Laimo D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile Seizures.
Pediatric Clinic, Department of Surgical and Biomedical Sciences, Universita degli
Studi Di Perugia. Int.J. Environ. Res. Public Health 2018;15.2232
7. Natsume, J., Hamano, S., Iyoda, K., Kanemura, H., Kubota, M., Mimaki, M, Sugie,
H. New guidelines for management of febrile seizures in Japan. Brain and
Development. 2017; 39(1), 2–9.

Anda mungkin juga menyukai