Anda di halaman 1dari 8

CANDI BOROBUDUR

Candi Borobudur merupakan satu-satunya candi budha terbesar di dunia


sampai saat ini. Meskipun sekarang sudah tidak lagi menyandang sebagai tujuh
keajaiban dunia, namun Candi yang satu ini tetap menjadi nomor satu di kalangan
para wisatawan domestik maupun mancanegara untuk dikunjungi.

Sejarah Singkat Candi BorobudurCandi Borobudhur ini dibangun oleh


seseorang bernama Samaratungga, merupakan seorang raja kerajaan Mataram Kuni
yang juga keturunan dari Wangsa Syailendra pada abad ke-8 M. Keberadaan candi
ini pertama kali diketahui oleh Thomas Stanford Rafles sekitar tahun 1814.

Ketika itu, pertama kali candi borobudhur ini ditemukan dalam keadaan
berserakan dan terpendam tanah. Candi yang memiliki 10 tingkat ini sebenarnya
mempunyai tinggi secara keseluruhan yaitu 42 meter.

Namun setelah dilakukan restorasi, tinggi keseluruhan candi borobudhur ini


hanya mencapai 34,5 meter dengan luas secara keseluruhan yaitu 123x123 meter
atau 15.129 m2. Setiap tingkat lantainya, dari lantai paling bawah hingga lantai
keenam berbentuk persegi, sedangkan lantai ketujuh sampai terakhir (lantai ke
sepuluh) berbentuk bulat.

Candi Borobudhur merupakan candi Buddha terbesar pada abad ke-9 M.


Menurut Prasasti Kayumwungan, candi ini terungkap dalam pembangunannya,
selesai dibuat pada 26 Mei 824, atau hampir 100 tahun semenjak mulai awal
dibangun. Konon arti dari Borobudhur itu sendiri maksudnya gunung yang
berteras-teras atau bisa juga disebut dengan budhara. Pendapat lain tentang candi
Borobudhur yaitu bahwa candi borobudhur berarti biara yang terletak di tempat
yang tinggi.
Beberapa ahli mengatakan bahwa letak Candi Borobudur berada pada
ketinggian 235 meter dari permukaan laut. Pemikiran itu berdasarkan studi dari
paraa ahli Geologi membuktikan bahwa Candi Borobudhur pada saat itu adalah
sebuah kawasan danau yang besar sehingga sebagian besar desa-desa yang berada
di sekitar Candi berada pada ketinggian yang sama, termasuk Candi Pawon dan
Candi Mendut.

Berdasarkan Prasasti tanggal 842 AD, seorang sejarawan Casparis


menyatakan bahwa Borobudhur merupakan salah satu tempat untuk berdoa. Di
mana dalam prasasti tersebut mengandung kata “Kawula i Bhumi Sambhara” yang
artinya asal kesucian dan Bhumi Sambara merupakan nama sebuah sudut di Candi
Borobudhur tersebut. Setiap lantai pada Candi Borobudhur ini terdapat tema-tema
yang berbeda karena pada setiap tingkat tersebut melambangkan tahapan
kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan ajaran Buddha Mahayana bahwa setiap
orang yang ingin mencapai tingkat kesempurnaan sebagai Buddha harus melalui
setiap tahapan kehidupan. Pada setiap lantai di Candi Borobudhur terdapat relief-
relief yang bila dibaca dengan runtut akan membawa kita memutari candi searah
jarum jam.
KERATON YOGYAKARTA

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I


beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini
konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram
(Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain
menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang
ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti
yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk
upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula
mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.

MALIOBORO
Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta.
Dalam bahasa Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga. Hal itu
mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Kraton mengadakan acara
besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga
berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang
pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M.

Perkembangan pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun


fasilitas untuk meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti
pembangunan Stasiun Tugu oleh Staat Spoorweg (1887) di Jalan Malioboro, yang
secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan
Malioboro memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai
orang-orang Indonesia berjuang untuk membela kemerdekaan mereka dalam
pertempuran yang terjadi utara-selatan sepanjang jalan.

Keberadaan Jalan Malioboro tidak terlepas dari konsep kota Yogyakarta


yang ditata membujur dengan arah utara - selatan, dengan jalan-jalan yang
mengarah ke penjuru mata angin serta berpotongan tegak lurus. Pola itu diperkuat
dengan adanya "poros imajiner" yang membentang dari arah utara menuju ke
selatan, dengan kraton sebagai titik tengahnya.

"Poros" tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu Tugu (Pal Putih)
di utara, ke selatan berupa jalan Margatama (Mangkubumi) dan Margamulya
(Malioboro), Kraton Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, berakhir di panggung Krapyak.
Jika titik awal (Tugu) diteruskan ke utara akan sampai ke Gunung Merapi, sedang
jika titik akhir (Panggung Krapyak) diteruskan akan sampai ke Samudera Hindia.

Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang
membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain
membangun benteng belanda juga membangun Societeit Der Vereneging
Djogdjakarta (1822), The Dutch Governor's Residence (1830), Javasche Bank dan
kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta. Komunitas
Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwana VII ( 1877 - 1921).
Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan
tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan.
Perkembangan pesat juga terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh
perdaganagan antara orang Belanda dengan orang Tionghoa. Dan juga disebabkan
adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada
masyarakat Tionghoa dan kemudian dikenal sebagai Distrik Cina (Kawasan
Pecinan).
PANTAI PARANGTRITIS

Legenda dari Pantai Selatan Yogyakarta ini merupakan kisah yang masih
menjadi cerita turun-temurun. Meski kebenarannya tidak bisa dibuktikan hingga
saat ini, tetapi kebudayaan percaya pada eksistensi Ratu Pantai Selatan tak bisa
hilang. Nama Parangtritis sendiri didapat dari kisah pelarian Sang Pangeran
Dipokusumo pada zaman Kerajaan Majapahit yang kemudian melakukan
pertapaan di sini. Sang Pangeran menemukan batu karang besar yang terdapat
aliran tetesan air. Parang artinya karang dan Tritis atau Tumeritis berarti saling
menetes.

Parangtritis juga dikenal sebagai Pantai Selatan Yogyakarta. Warga setempat


masih mempercayai bahwa pantai ini dikuasai oleh Ratu Pantai Selatan. Tak
sedikit yang menampik kepercayaan ini dan meyakini adanya hubungan antara
tokoh penguasa di Parangtritis dan lautan sebelah selatan Yogyakarta dengan
penguasa Yogyakarta pada masa Kerajaan Mataram.

Salah satu keyakinan yang sampai saat ini masih dipercayai meski sudah ada
penjelasan ilmiahnya adalah larangan untuk tidak menggunakan pakaian berwarna
hijau ketika berkunjung ke Pantai Parangtritis. Konon, menurut legenda Pantai
Parangtritis yang berkembang, warna hijau adalah warna favorit Ratu Pantai
Selatan. Mereka yang menggunakan pakaian hijau seolah akan ditarik masuk ke
dalam lautan alias mati tenggelam.

Jika dijelaskan dari ilmu pengetahuan, perlu diketahui bahwa topografi


pantai selatan Yogyakarta ini tidak seperti pantai pasir putih yang berada di area
Wonosari, Gunung Kidul. Terdapat palung laut yang jaraknya relatif dekat dengan
bibir pantai dan mereka yang terseret ombak kemungkinan yang masih masuk akal
adalah mereka terjebak dalam palung tersebut. Warna hijau sendiri merupakan
warna yang dihindari sebab ketika akan melakukan pencarian akan lebih sulit
karena tersamar dengan warna lautan dangkal.
LAPORAN
TENTANG KUNJUNGAN
KE JOGJAKARTA

Disusun Oleh :
Kelompok 5
1. Adit G.S (03)
2. Wildan R. (29)
3. Zahro K.P.R (32)
4. Getra Y.A.L (15)
5. Dhani A.F (12)
6. Ardian A.S (06)

Anda mungkin juga menyukai