Ketika itu, pertama kali candi borobudhur ini ditemukan dalam keadaan
berserakan dan terpendam tanah. Candi yang memiliki 10 tingkat ini sebenarnya
mempunyai tinggi secara keseluruhan yaitu 42 meter.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti
yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk
upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula
mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.
MALIOBORO
Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta.
Dalam bahasa Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga. Hal itu
mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Kraton mengadakan acara
besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga
berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang
pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M.
"Poros" tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu Tugu (Pal Putih)
di utara, ke selatan berupa jalan Margatama (Mangkubumi) dan Margamulya
(Malioboro), Kraton Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, berakhir di panggung Krapyak.
Jika titik awal (Tugu) diteruskan ke utara akan sampai ke Gunung Merapi, sedang
jika titik akhir (Panggung Krapyak) diteruskan akan sampai ke Samudera Hindia.
Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang
membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain
membangun benteng belanda juga membangun Societeit Der Vereneging
Djogdjakarta (1822), The Dutch Governor's Residence (1830), Javasche Bank dan
kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta. Komunitas
Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwana VII ( 1877 - 1921).
Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan
tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan.
Perkembangan pesat juga terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh
perdaganagan antara orang Belanda dengan orang Tionghoa. Dan juga disebabkan
adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada
masyarakat Tionghoa dan kemudian dikenal sebagai Distrik Cina (Kawasan
Pecinan).
PANTAI PARANGTRITIS
Legenda dari Pantai Selatan Yogyakarta ini merupakan kisah yang masih
menjadi cerita turun-temurun. Meski kebenarannya tidak bisa dibuktikan hingga
saat ini, tetapi kebudayaan percaya pada eksistensi Ratu Pantai Selatan tak bisa
hilang. Nama Parangtritis sendiri didapat dari kisah pelarian Sang Pangeran
Dipokusumo pada zaman Kerajaan Majapahit yang kemudian melakukan
pertapaan di sini. Sang Pangeran menemukan batu karang besar yang terdapat
aliran tetesan air. Parang artinya karang dan Tritis atau Tumeritis berarti saling
menetes.
Salah satu keyakinan yang sampai saat ini masih dipercayai meski sudah ada
penjelasan ilmiahnya adalah larangan untuk tidak menggunakan pakaian berwarna
hijau ketika berkunjung ke Pantai Parangtritis. Konon, menurut legenda Pantai
Parangtritis yang berkembang, warna hijau adalah warna favorit Ratu Pantai
Selatan. Mereka yang menggunakan pakaian hijau seolah akan ditarik masuk ke
dalam lautan alias mati tenggelam.
Disusun Oleh :
Kelompok 5
1. Adit G.S (03)
2. Wildan R. (29)
3. Zahro K.P.R (32)
4. Getra Y.A.L (15)
5. Dhani A.F (12)
6. Ardian A.S (06)