Anda di halaman 1dari 13

KOMITMEN KARIR, IMBALAN JASA, DAN IKLIM KERJA GURU PEMBIMBING DI

SEKOLAH (PENELITIAN PADA BEBERAPA SEKOLAH SWASTA DI JAKARTA)

Laura F. N. Sudarnoto FKIP


Unika Atma Jaya

1.PENDAHULUAN
Penjaminan mutu [quality assurance) adalah cita-cita luhur yang harus
dicapai oleh setiap institusi pendidikan, khususnya tercermin dari kualitas para
lulusannya. Masyarakat akan dapat memberikan kepercayaan (public trust) pada
lulusan program studi tertentu bila sudah ada bukti nyata bahwa profesi yang
dilakukan para lulusan, tersebut memberikan layanan kepada masyarakat secara
handal, bertanggungjawab, dan bernilai guna bagi masyarakat. Kualifikasi sumber
daya manusia Bimbingan dan Konseling merupakan kebutuhan mendasar yang
harus ditata, disiapkan, dan dibina secara profesional oleh ABKIN dan LPTK. Salah
satu usaha memperoleh kepercayaan dari masyarakat dalam layanan Bimbingan dan
Konseling adalah menentukan dan mencapai standardisasi profesi konseling.
Usaha untuk mencapai standardisasi profesi Konseling di Indonesia telah
dilakukan dan terus akan direalisasikan, khususnya dimulai dengan peningkatan
kompetensi konselor dalam profesionalisasi konseling. Standardisasi profesi
konseling tidak hanya ditujukan pada pendidikan prajabatan konselor tetapi juga
pada peningkatan profesi dari petugas bimbingan yang sudah berkarya di sekolah.
Sebelum merealisasikan standardisasi profesi konseling kiranya perlu ditelusuri
dahulu bagaimana kondisi profesi konseling yang ada pada saat ini. Kondisi yang
perlu dikaji lebih mendalam dapat ditinjau dari kondisi internal dan kondisi
ekstemal yang dialami petugas bimbingan dalam menjalankan tugas sehari-hari di
sekolah.
Sebutan atau nama petugas bimbingan di sekolah sampai saat ini berbeda-
beda, antara lain guru BP, guru BK, konselor, guru pembimbing. Oleh karena belum
ada kepastian yang jelas tentang sebutan ini maka dalam tulisan ini digunakan
istilah guru pembimbing. Pada kenyataannya perbedaan bukan hanya pada sebutan
tetapi juga pada kondisi internal dan kondisi ekstemal dari guru pembimbing yang
berbeda-beda. Kondisi internal antara lain latar belakang pendidikan, motivasi,
kepribadian, penguasaan kompetensi konseling, komitmen karir petugas
pembimbing di sekolah. Kondisi ekstemal adalah kondisi pendukung dari
lingkungan di sekolah, antara lain ikiim kerja (perhatian kepala sekolah, hubungan
kerja dengan staf guru, kebijakan sekolah), imbalan jasa, sarana yang tersedia.
Kenyataan di sekolah ditemukan cukup banyak petugas bimbingan yang
belum berperan melakukan profesi konseling sebagaimana diharapkan. Kinerja
petugas bixnbingan umumnya jauh dari rnemenuhi standar kualitas. Kerja mereka
umumnya bersifat rutin dan tidak Sedikit contoh layanan bantuan dilakukan
berdasarkan akal sehat belaka atau miskonsepsi yang dampaknya dapat juga
mengarah pada malpraktek. Keadaan ini periu dipikirkan bersama pula dalam usaha
dan kegiatan standardisasi profesi konseling. Perhatian bukan hanya pada
penyiapan pendidikan calon konselor di masa mendatang tetapi juga perhatian pada
peningkatan kualitas profesi konseling bagi petugas bimbingan yang sudah lama
berkarya di sekolah.
Tulisan ini menyajikan pembahasan berdasarkan hasil penelitian tentang
keadaan guru pembimbing yang telah berkarya di beberapa sekolah swasta di
Jakarta. Pembahasan karakteristik guru pembimbing meliputi usia, latar belakang
pendidikan, lama kerja, ratio guru pembimbing dengan siswa- Kondisi internal guru
ditelusuri melalui komitmen karir. Kondisi ekstemal guru ditelusuri melalui
persepsi guru terhadap imbalan jasa yang diterima dan iklim kerja yang dialami di
sekolah.
2. KAJIAN TEORITIS
a. Komitmen terhadap Karir
Dalam pengertian populer karir biasanya diasosiasikan pada suatu jalur kerja
yang bergerak ke atas. Bergerak ke atas berarti peningkatan gaji sekaligus
peningkatan tanggung jawab, status dan kekuasaan. Pengertian karir pada umumnya
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas meliputi konsep karir dari berbagai
pekerjaan, peran dan status dalam organisasi formal maupun informal di lingkungan
sekitar. Meskipun pada umumnya pengertian karir berdasarkan mobilitas ke atas,
tetapi gagasan terbaru telah melebarkan konsepnya. Misalnya seorang karyawan
dapat saja tetap di tugas yang sama tetapi membutuhkan dan mengembangkan
keahliannya melalui hirarkhi profesional tidak bergerak ke atas, tetapi bergerak di
berbagai tugas dan di berbagai lapangan dalam organisasinya (Gibson,1994).
Menurut Bernardin & Russell (1993) istilah karir mempunyai fokus internal
yang menunjuk pada cara seseorang memandang karirnya, dan juga fokus ekstemal,
yang menunjuk pada rangkaian aktual dari posisi jabatan yang dipegang oleh
individu tersebut. Memahami perkembangan karir dalam suatu organisasi
memerlukan suatu pengkajian dari dua proses yaitu bagaimana individu
merencanakan dan melaksanakan sasaran karirnya (perencanaan karir) dan
bagaimana organisasi merancang dan melaksanakan program perkembangan karir
bagi angggotanya (manajemen karir). Perencanaan program yang teratur akan
membantu kelancaran jenjang karir.
Salah satu kesempatan karir di sekolah adalah Guru Pembimbing yang
dikenal sebagai guru BP/BK. Tidak semua lulusan LPTK program studi Bimbingan
dan Konseling mau berkaiya di sekolah sebagai Guru pembimbing. Bagi lulusan
program studi Bimbingan dan Konseling yang bekerja sesuai dengan bidangnya di
sekolah apakah mempunyai kesempatan pengembangan karir, baik secara vertikal
maupun horizontal. Karir individu akan efektif bila sejak awal sudah dipikirkan dan
disiapkan oleh individu itu sendiri dan diarahkan atau dibimbing perkembangannya
oleh organisasi tempat ia bekerja.
Di dalam organisasi, efektivitas karir tidak hanya ditentukan secara
individual tetapi juga oleh organisasi itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan
Orpen (1994) menunjukkan adanya hubungan yang positif antara manajemen karir
organisasi dengan efektivitas karir individual. Kesetiaan pada organisasi tempat
individu bekerja (komitmen organisasi) turut menentukan kemajuan karir individu
tersebut. Komitmen organisasi yang rendah pada uroumnya ditemui pada kelompok
sarjana baru yang mulai bekerja sebagai karyawan yunior. Mereka mempunyai
harapan tinggi tetapi sering kecewa dengan tempat tugas pertama mereka (Martoyo,
1994). Menurut Gibson (1994) ada empat karakteristik kriteria efektivitas karir yang
selalu muncul yaitu 1) kinerja (prestasi kerja), 2) sikap karir (antara lain komitmen
karir, keterlibatan terhadap tugas), 3) kemampuan adaptasi karir, dan 4) identitas
karir. Ada beberapa kesulitan dan kompleksitas dari efektivitas karir, antara lain :
individu berbeda dalam persepsi dan kepribadian untuk efektivitas karir yang
berbeda, tingkat kepentingan kriteria efektivitas karir beragam di antara individu
dan organisasi. Hubungan antara jalur karir dan tahapan karir menegaskan
hubungan dan interdependensi antara individu dan organisasi itu sendiri.
Sikap individu terhadap karirya dapat mempengaruhi perilaku terhadap
organisasi kerjanya karena individu mengejar karirnya dalam organisasi tersebut.
Sikap individu terhadap karirnya diuraikan sebagai komitmen karir. Komitmen karir
dikenal sebagai suatu bentuk komitmen kerja. Individu dengan komitmen karir yang
kuat menunjukkan tingkat harapan yang lebih tinggi dan dapat lebih termotivasi bila
harapan mereka dipenuhi oleh organisasi tersebut daripada mereka yang kurang
memiliki komitmen karir.
Konsep ilmiah dari sikap individu terhadap karimya beraneka ragam.
Beberapa istilah telah digunakan dengan berbagai pengukuran dan operasionalnya
antara lain motivasi karir, komitmen profesional, profesionalisme, dan komitmen
karir (Blau, 1985). Di antara istilah ini, komitmen karir didefinisikan sebagai sikap
seseorang terhadap pekerjaannya atau profesinya. Pengukuran komitmen karir telah
luas digunakan oleh para peneliti untuk menguji sikap individu terhadap karirya
meliputi berbagai jabatan.
Komitmen karir telah dibuktikan berbeda dari pengukuran komitaien lainnya
seperti keterlibatan pekerjaan dan komitmen organisasi (Blau, 1989). Meskipun
komitmen karir terlambat dalam perkembangannya, tetapi telah disadari pentingnya
karena suatu karir memberikan sumber yang signifikan dari makna pekerjaan dan
kesinambungannya ketika organisasi tidak dapat menaberikan keamanan dan
kelangsungan kerja.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen karir yaitu 1) manfaat
yang diharapkan dari pekerjaan saat ini adalah suatu prediktor komitmen karir, hal
ini merupakan efek yang lebih kuat daripada karakteristik jabatan, 2) perubahan
karir juga mempengaruhi komitmen karir. Individu yang mengalami perubahan karir
kurang komitmen pada saat ini dibandingkan dengan individu yang tidak berubah
karimya (Blau, 1989).
Komitmen terhadap karir mempengaruhi perilaku individual. Individu yang
sangat komitmen terhadap karimya umumnya lebih banyak menghabiskan waktu
untuk mengembangkan keterampilan dan kurang intensi untuk mengundurkan diri
dari karir dan pekerjaannya. Namun, karyawan dengan komitmen karir yang tinggi
akan meninggalkan organisasi kerja bila kesempatan perkembangan karir dalam
organisasi tersebut rendah. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan
kerja dapat berubah tergantung pada sikap individu terhadap karimya (Chang,
1999). Individu yang tinggi komitmennya terhadap karir akan membawa taraf
harapan karir yang lebih besar.

b. Imbalan Jasa sebagai Penghargaan bagi Guru


Seseorang atau sekelompok orang, yang bekerja dalam suatu organisasi,
biasanya mendapatkan imbalan sebagai penghargaan atas hasil kerja yang telah
dilakukan. Demikian pula guru akan mendapat penghargaan dari sekolah atas usaha
dan prestasi kerja mereka. Imbalan tidak lepas hubungannya dengan kepuasan,
motivasi, dan prestasi. Sistem imbalan adalah faktor yang sangat penting dalam
organisasi kerja. Oleh karena itu, pertimbangan penting yang harus diperhatikan
oleh pimpinan dalam sistem imbalan adalah imbalan harus cukup dapat memenuhi
kebutuhan dasar manusia sehingga memuaskan guru dan keseimbangan atau
keadilan imbalan antara para guru yang berorientasi pada perbedaan prestasi kerja
guru secara objektif.
Kajian mengenai imbalan dalam organisasi kerja menunjukkan bahwa 1) kepuasan
kerja tercapai bila imbalan yang diterima sesuai atau dirasakan layak oleh
karyawan, 2) perasaan kepuasan seseorang dipengaruhi oleh perbandingan antara
imbalan yang diperoleh dengan apa yang diperoleh orang lain, 3) kepuasan
dipengaruhi seberapa puas karyawan oleh imbalan intrinsik dan ekstrinsik, 4)
imbalan yang disukai beragam dari berbagai sisi karir seseorang, pada tingkat umur
dan berbagai situasi, dan 5) uang adalah imbalan yang mendorong sesuatu yang
bersifat prestise, otonomi, keamanan, dan perlindungan. Imbalan atau penghargaan
dapat diberikan oleh pimpinan, kelompok atau individu sendiri, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Imbalan diklasiiikasikan dalam dua kategori umum, yaitu imbalan ekstrinsik
dan imbalan intrinsik (Robbins, 1991; Gibson et al., 1994). Beberapa fenomena
menunjukkan bahwa guru tidak semata-mata dimotivasi oleh imbalan berupa uang.
Ada pemenuhan kebutuhan lain yang lebih mendukung motivasi guru berkarya.
Pemenuhan imbalan intrinsik bahkan pada beberapa tingkat sosial ekonomi atau
golongan tertentu dapat memacu prestasi kerja mereka.
Imbalan ekstrinsik adalah imbalan yang diterima di luar esensi pekerjaan itu
sendiri (Gibson, et al. 1994). Bentuk utama imbalan ekstrinsik adalah penghargaan
atas usaha atau pekerjaan yang telah dilakukan berupa pembayaran yang
memberikan penambahan atau penghasilan bagi individu yang bekerja. Menurut
Robbins (1991), imbalan ekstrinsik meliputi kompensasi langsung, kompensasi
tidak langsung, dan imbalan bukan uang. Menurut Gibson, et al. (1994), ada
beberapa bentuk imbalan ekstrinsik, antara lain: 1) imbalan finansial barupa gaji dan
upah; 2) imbalan keuangan berupa berbagai tunjangan; 3) pengakuan personal; dan
4) promosi.
Penghargaan sekolah terhadap hasil kerja guru secara ekstemal umumnya
berupa imbalan finansial yang diterima secara rutin berupa gaji atau upah. Uang
bukan motivator utama bagi guru kecuali bila guru tersebut melihat hubungan
langsung antara prestasi dan gaji yang diterima. Selain gaji atau upah, ada pula
imbalan ekstrinsik yang bersifat imbalan keuangan, seperti pemberian beberapa
jenis tunjangan. Tunjangan yang umumnya diberikan oleh yayasan atau sekolah,
antara lain: tunjangan biaya kesehatan, tunjangan hari tua (pensiun), tunjangan hari
raya, dan tunjangan keluarga-
Imbalan intrinsik merupakan penghargaan yang menjadi bagian dari
pekerjaan itu sendiri atau yang melekat pada esensi pekerjaan tersebut.
Tanggungjawab, tantangan, dan umpan balik pekerjaan merupakan imbalan
intrinsik. Menurut Gibson et al., (1994), imbalan intrinsik berupa kepuasan dan
penghargaan yang diperoleh individu dari kegiatan kerja tersebut, antara lain:
penyelesaian tugas, pencapaian keberhasilan prestasi, otonomi, dan pengembangan
pribadi.
Menurut Robbins (1991), sebagian besar imbalan intrinsik ini merupakan hasil
kepuasan pekerja itu atas pekerjaannya. Teknik-teknik peningkatan karya, seperti
pemerkayaan pekerjaan dan upaya merancang ulang pekerjaan, dapat meningkatkan
harga diri individu sehingga dapat membuat kerja itu lebih secara intrinsik
memberikan imbalan. Individu, yang mampu menyelesaikan pekerjaan yang
penting, akan memberikan kepuasan tersendiri bagi yang bersangkutan.
Keberhasilan penyelesaian tugas merupakan bentuk penghargaan bagi diri sendiri.
Menurut Dossier (1998), kebijakan kompensasi atau imbalan ditemukan memiliki
efek yang dapat diukur pada sikap dan perilaku di tempat kerja. Tidak
mengherankan bahwa para guru yang menerima imbalan tinggi mempunyai
kemungkinan kecil untuk keluar, lebih puas dan bekerja lebih giat daripada yang
seharusnya.
Hal yang dapat disimpulkan bahwa setiap usaha yang dilakukan guru akan
mendapat imbalan jasa sebagai penghargaan yayasan atau sekolah terhadap hasil
keija mereka. Imbalan jasa yang didapatkan guru dapat bersumber dari imbalan
ekstrinsik dan imbalan intrinsik. Persepsi guru terhadap imbalan jasa yang diterima
tentu berbeda-beda. Persepsi yang positif terhadap imbalan jasa yang diterima guru
merupakan indikator penghargaan yang memadai dari sekolah terhadap hasil kerja
dan profesi guru.

c. Iklim Kerja di Sekolah


Banyak faktor nyata dalam dunia kerja mempengaruhi performansi dan
kepuasan kerja. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan kelelahan, kebosanan,
monoton, sifat lekas marah, kecelakaan, dan sekumpulan efek lain yang
mengganggu kualitas kehidupan kerja. Hal yang tidak dapat diragukan bahwa
suatu ikiim kerja yang kurang menyenangkan dapat merupakan efek yang
merugikan, antara lain : produksi menurun, kesalahan meningkat, angka kecelakaan
lebih tinggi, dan absensi meningkat, jumlah karyawan yang keluar akan lebih
banyak. Bila ikiim kerja dibuat lebih menyenangkan dan nyaman maka biasanya
produktivitas kerja akan meningkat.
Dua konsekuensi dari bekerja adalah rasa bosan dan monoton, hal ini
merupakan dampak psikologis yang merugikan dalam bekerja. Kebosanan kadang-
kadang disebut kelelahan mental, biasanya akibat dari performansi aktivitas yang
monoton, repetitif, dan tidak menarik. Kebosanan dapat menyebabkan suatu
perasaan tidak enak secara umum - gelisah, tidak bahagia dan rasa lelah - yang
menghabiskan semua energi dan minat karyawan.
Iklim kerja merupakan sikap, nilai, norma, dan perasaan yang lazim dimiliki
para pekerja sehubungan dengan organisasi tempat mereka bekerja. Tanggapan ini
terutama dihasilkan dari interaksi individu dengan tujuan atau kebijakan organisasi,
struktur dan deskripsi tugas, dan para personil yang terlibat dalam organisasi
tersebut. Menurut Steers (1983), ada 10 dimensi ikiim kerja yang dapat
diidentifikasi pada tingkat organisasi kerja secara keseluruhan, yaitu 1) struktur
tugas, 2) hubungan imbalan dan hukuman, 3) sentralisasi keputusan, 4) tekanan
pada prestasi, 5) tekanan pada latihan dan pengembangan, 6) keamanan versus
risiko, 7) keterbukaan versus ketertupan, 8) status dan semangat, 9) pengakuan dan
umpan balik, dan 10) kompetensi dan keluwesan organisasi secara umum.
Pandangan lain dikemukakan oleh Schultz (1986) bahwa kondisi kerja terdiri dari
kondisi lingkungan fisik, lingkungan temporal, dan lingkungan psikologis. Pada
kenyataannya ketiga kondisi ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berinteraksi
mempengaruhi performansi karyawan dalam kehidupan kerja mereka sehari-hari.

3. METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah guru pembimbing di beberapa sekolah swasta di
Jakarta, Jumlah subjek penelitian 120 guru pembimbing terdiri dari 29 pria (24%)
dan 91 wanita (76%). Berdasarkan jenis sekolah ada 8% bekerja sebagai guru
pembimbing di SMK; 28% guru pembimbing di SMA; 43% guru pembimbing di
SMP; 19% berkarya di SD, dan 2% data tidak dilengkapi. Berdasarkan data uaia ada
2% yang berusia di ataa 55 tahun; 5% berusia antara 50 -54 tahun; 7% berusia
antara 45 - 49 tahun; 20% berusia antara 40 - 44 tahun;
28% berusia antara 35 - 39 tahun; 22% berusia antara 30 - 34 tahun; 12% berusia
antara 25 - 29 tahun, dan 4% berusia kurang dari 25 tahun.
Variabel yang ditelusuri terdiri dari variabel terikat yaitu komitmen karir
(orientasi karir, komitmen jabatan, komitmen profesional) dan dua variabel bebas,
yaitu persepsi terhadap imbalan jasa (faktor intrinsik dan ekstrinsik) dan ikiim kerja
(struktur keija, kebijakan sekolah, dan hubungan kerja). Variabel komitmen karir
diukur dengan instrumen skala sikap. Variabel imbalan jasa dan ikiim keria diukur
dengan instrumen skala penilaian.
Reliabilitas instrumen komitmen karir sebesar 0,88; instrumen imbalan jasa
sebesar 0,81; dan instrumen iklim kerja sebesar 0,93. Data diolah dengan analisis
deskriptif, analisis regresi, dan analisis variansi. Data pelengkap diolah dengan
analisis kualitatif.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Deskripsi Data
Profil guru pembimbing di sekolah ditinjau dari latar belakang pendidikan
(strata dan program studi), lama kerja, ratio guru pembimbing dengan jumlah siswa.
Data yang dianalisis berdasarkan 120 guru pembimbing diketahui ada 11% yang
berasal dari lulusan Diploma (D2 & D3); 87% lulusan Sarjana Strata 1, dan 2% ada
yang berpendidikan Sarjana Strata 2.
Hasil penelitian menunjukkan pada umumnya guru pembimbing
mempunyai latar belakang pendidikan dari program studi Bimbingan dan
Konseling, sekalipun ada pula guru pembimbing yang kurang mendapatkan
dukungan dari latar belakang pendidikan mereka dalam menjalankan tugasnya di
sekolah. Subjek penelitian yang berasal dari program studi Bimbingan dan
Konseling sebanyak 34%; Psikologi Pendidikan dan Bimbingan sebanyak 23%;
Psikologi 8%; Kependidikan sebanyak 24%, dan dari program studi di luar bidang
pendidikan (Agama, Ekonomi, Bahasa, Kesejahteraan Sosial, Kesejahteraan
Keluarga) sebanyak 11%. Berdasarkan gambaran ini kiranya dapat dimengerti
mengapa pelaksanaaan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah belum dapat
berjalan sebagaimana yang diharapkan, karena sebagian (35%) dari guru
pembimbing di sekolah tidak didukung dasar pengetahuan dan keterampilan sebagai
guru pembimbing.
Berdasarkan lama bekerja sebagai guru pembimbing menunjukkan keadaan
yang bervariasi. Mereka yang telah bekerja lebih dari 25 tahun sebanyak 5%; 20 -
24 tahun sebanyak 6%; 15 -19 tahun sebanyak 9%; 10-14 tahun sebanyak 24%; 5-9
tahun sebanyak 18%, dan kurang dari 5 tahun sebanyak 38%.
Fakta yang cukup memperihatinkan adalah ketidakserasian ratio tenaga guru
pembimbing dengan jumlah siswa di sekolah. Ratio satu guru pembimbing dengan
jumlah siswa di atas 450 siswa dialami oleh 15% subjek penelitian. Rasio guru
pembimbing dengan jumlah siswa antara 300 - 450 siswa sebanyak 16%. Ratio guru
pembimbing dengan jumlah siswa antara 150 - 300 siswa sebanyak 55%, dan yang
ideal ratio guru pembimbing dengan jumlah siswa kurang dari 150 hanya dialami
oleh 14% subjek penelitian.
b. Hasil Analisis Data 1) Komitmen guru pembimbing
terhadap karir
Komitmen karir yang diukur terdiri dari tiga komponen yaitu orientasi karir,
komitmen jabatan, dan komitmen profesional. Untuk mendapatkan gambaran
mengenai gradasi komitmen guru pembimbing terhadap karimya dibuat klasifikasi
menjadi empat tingkatan yaitu tinggi dan jelas, cukup, kurang, dan tidak. Tiap
tingkatan terdiri dari 25% rentang skor maksimal sampai skor minimal dari tiap
komponen komitmen karir. Rangkuman klasifikasi komponen komitmen karir
disajikan dalam tabel berikut.

Tingkatan Komitmen Karir (dalam persentase)


Klasifikasi Orientasi karir Komitmen Komitmen Komitmen
jabatan profesional Karir
Tinggi/jelas 62 36 1 1 54 41 6 1 82 15 2 1 90 9 1 0
Cukup Kurang
Tidak

Hasil penelitian menunjukkan hampir seluruh subjek penelitian (90%)


memiliki komitroen terhadap karir sebagai pembimbing. Berdasarkan kategori
tinggi pada ketiga komponen diketahui pada umumnya guru pembimbing lebih
banyak yang memiliki komitmen profesional (82%) daripada orientasi karir (62%)
dan komitmen jabatan (54%). Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk
meningkatkan pengetahuan dan wawasan dengan berbagai kegiatan ilmiah dalam
pengembangan profesinya sebagai guru pembimbing.
Berdasarkan klasifikasi latar belakang pendidikan (lulusan dari program studi
Bimbingan dan Konseling, Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Psikologi,
Kependidikan, dan non Kependidikan) diketahui ada perbedaan yang berarti pada
komitmen karir. Perbedaan komitmen karir lebih tampak pada kelompok yang
berasal dari program studi Psikologi Pendidikan dengan program studi non
Kependidikan. Rerata komitmen karir tertinggi dari guru pembimbing lulusan
program studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (79,71) lalu Bimbingan dan
Konseling (78,05), Kependidikan (77,14), Psikologi (71,50), dan terakhir lulusan
non Kependidikan (70,31). Demikian pula ada perbedaan yang berarti pada
komponen komitmen jabatan dan komitmen profesional, sedangkan pada orientasi
karir tidak ada perbedaan yang berarti.
Rerata komitmen profesional tertinggi ada pada kelompok lulusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan (37,21), dilanjutkan lulusan Bimbingan dan Konseling
(35,92), Kependidikan (34,66), Psikologi (32,70), dan non Kependidikan (31,38).
Berdasarkan data ini menunjukkan guru pembimbing yang berasal dari program
studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan lebih banyak yang berusaha
mengembangkan profesinya dengan berbagai cara. Hal ini dapat dimengerti karena
lulusan program studi tersebut disiapkan tidak secara spesifik hanya sebagai guru
pembimbing tetapi juga dalam bidang Psikologi Pendidikan. Lulusan non
Kependidikan kurang banyak yang berusaha dalam komitmen profesional sebagai
guru pembimbing. Hal yang menarik dan perlu ditelusuri lebih lanjut adalah
komitmen profesional lulusan Psikologi tidak lebih tinggi daripada lulusan B SB K
dan PPB. Berdasarkan lama kerja tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti
pada komitmen karir dan komponennya. Hal ini menunjukkan lama kerja bukan
merupakan faktor yang menentukan dalam komitmen terhadap karir sebagai guru
pembimbing.

2) Persepsi terhadap imbalan jasa


Imbalan jasa yang diterima dapat berasal dari faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Persepsi terhadap imbalan jasa dibedakan atas eropat klasifikasi yaitu
positif, cukup positif, kurang positif, dan tidak positif. Tiap klasifikasi terdiri dari
25% rentang skor maksimal dan skor minimal dari tiap faktor tersebut. Rangkuman
klasifikasi persepsi terhadap imbalan jasa disajikan dalam tabel berikut.

Persepsi terhadap Imbalan Jasa (dalam persentase)


Klasifikasi Ekstinsik Intrinsik Imbalan jasa
Positif Cukup 20 50 22 8 59 37 3 1 37 52 11 0
Kurang Tidak

Hasil penelitian menunjukkan persepsi yang positif terhadap imbalan jasa


(37 %). Pada umumnya mereka mempunyai persepsi yang cukup positif (52 %) dan
sebagia kecil (11 %) yang kurang positif terhadap imbalan jasa yang diterima.
Persepsi terhadap imbalan jasa tidak berbeda ditinjau dari lama kerja. Ada
perbedaan persepsi secara berarti terhadap imbalan jasa berdasarkan latar belakang
pendidikan terutama pada faktor ekstrinsik.

3) Iklim kerja di lingkungan sekolah


Iklim kerja yang dialami guru pembimbing ditelusuri dari struktur tugas,
kebijakan sekolah, dan hubungan kerja antara kepala sekolah dan staf guru dalam
suasana kerja di sekolah. Iklim kerja yang dialami guru pembimbing
diklasifikasikan menjadi empat kondisi yaitu puas, cukup puas, kurang puas, dan
tidak puas.

___Klasifikasi Iklim Kerja (dalam persentase)


Klasifikasi Struktur tugas Kebijakan sekolah Hubungan kerja Iklim Kerja

Puas Cukup 46 45 7 2 32 51 15 2 46 41 11 2 56 39 5 0
Kurang Tidak

Pada umumnya iklim kerja dirasakan memuaskan oleh guru pembimbing


(56%) dan cukup puas dialami oleh 39% guru pembimbing, hanya 5% yang
merasakan kurang puas dan tidak ada yang menyatakan tidak puas. Fenomena ini
mrupakan kondisi yang kondusif bagi guru pembimbing sehingga mereka dapat
berkarya lebih leluasa dengan dukungan ikiimkerja yang menynangkan.
Berdasarkan ketiga komponen iklim kerja diketahui guru pembimbing lebih
banyak yang puas dan cukup puas (91%) pada struktur tugas. Data ini menunjukkan
tugas guru pembimbing di sekolah telah terstruktur sebagaimana diharapkan guru
pembimbing. Namun, ada beberapa kebijakan sekolah yang dirasakan kurang dan
tidak mendukung tugas guru pembimbing (17%) dan dirasakan sebagian kecil oleh
guru pembimbing (13%) adanya hubungan kerja yang belum harmonis dalam
interaksi dengan staf di sekolah.

4) Hubungan antara tiap komponen dengan komitmen karir


Berdasarkan matrik korelasi antara tiap komponen dengan komitmen karir
diperoleh hubungan yang sangat berarti. Dengan kata lain, komitmen karir
didukung oleh imbalan jasa dari faktor intrinsik dan ekstrinsik dan juga oleh ikiim
kerja dengan tiap-tiap komponen dari struktur tugas, kebijakan sekolah, dan
hubungan kerja.

Matriks Korelasi antara Tiap Komi ponen dengan Komitmen Karir


Komponen I E IJ ST KS HK IK
OK KJ KP KK 0,45** 0,19* 0,30** 0,27** 0,23** 0,30** 0,29**
0,46** 0,24** 0,33** 0,34** 0,30** 0,39** 0,37**
0,50** 0,27** 0,37** 0,36** 0.28** 0,32** 0,35**
0,54** 0,28** 0,39** 0,38** 0,32** 0,39** 0,40**

Keterangan:
OK = Orientasi karir
KJ = Komitmen jabatan
signifikansi 0,05
signifikansi 0,01
KP = Komitmen professional
I = Intrinsik
E = Ekstrinsik
IJ = Imbalan jasa
ST = Struktur tugas
KS = Kebijakan sekolah
HK == Hubungan kerja
IK = Iklim kerja
Persepsi yang positif terhadap imbalan jasa mendukung komitmen karir guru
pembimbing. Kepuasan faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik terhadap imbalan jasa
berhubungan dengan orientasi karir, komitmen jabatan, dan komitmen profesional.
Demikian pula iklim kerja yang menyenangkan (struktur tugas, kebijakan sekolah,
dan hubungan kerja) mendukung terciptanya komitmen karir guru pembimbing di
sekolah.

5) Imbalan Jasa dan Iklim Kerja sebagai Prediktor Komitmen Karir


Hasil analisis menunjukkan imbalan jasa dan ikiim kerja sebagai prediktor
yang signifikan terhadap komitmen karir. Hasil korelasi kedua variabel bersama-
sama sebesar 0,43 dan memberikan sumbangan sebesar 19 % terhadap komitmen
karir. Dengan kata lain, imbalan jasa dan ikiim kerja bersama-sama diperlukan
sebagai pendukung komitmen karir guru pembimbing di sekolah.
Berdasarkan sumbangan tiap komponen dari kedua variabel diketahui
prediktor yang signifikan terhadap komitmen karir adalah kepuasan faktor intrinsik.
Hal ini mengimplikasikan bila subjek merasakan kepuasan dan penghargaan yang
diperoleh dari kegiatan tugasnya sebagai pembimbing maka dapat ditingkatkan
komitmennya terhadap karir sebagai guru pembimbing.

c. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang berarti antara ikiim kerja
yang dialami oleh guru pembimbing dengan komitmen karirnya. Kenyataan hal ini
didukung oleh hasil penelitian Orpen (1994) bahwa efektivitas karir tidak hanya
ditentukan secara individual tetapi juga oleh organisasi tempat individu tersebut
bekerja karena adanya hubungan yang positif antara manajeroen karir organisasi
dengan efektivitas karir individual.

Dalam penelitian ini ditemukan adanya hubungan yang positif antara imbalan jasa
dengan komitmen karir. Kepuasan imbalan jasa berdasarkan faktor intrinsik
berkorelasi dengan orientasi karir, komitroen jabatan, dan komitmen profesional dan
merupakan prediktor yang signifikan terhadap komitmen karir. Sekalipun faktor
ekstrinsik juga berkorelasi tetapi tidak setinggi korelasi pada faktor intrinsik.
Dugaan pada umumnya bahwa kepuasan faktor ekstrinsik akan dapat meningkatkan
kepuasan kerja dan komitmen terhadap karir. Faktor ekstrinsik meliputi gaji,
tunjangan, insentif, dan kesejahteraan. Hasil penelitian ini memberikan gambaran
yang berbeda karena kepuasan faktor intrinsik lebih sebagai factor pendukung
komitmen terhadap karir sebagai guru pembimbing di sekolah daripada faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah kepuasan dan penghargaan yang diperoleh
individu dari kegiatan kerja tersebut, antara lain penyelesaian tugas, pencapaian
keberhasilan preatasi, otonomi, dan pengembangan diri. (Robbins, 1991; Gibson,
1994).
Selain imbalan jasa guru pembimbing akan lebih komitmen pada karimya
bila didukung oleh ikiim kerja yang menyenangkan di sekolah. Ikiim kerja di
sekolah meliputi beberapa faktor, antara lain struktur tugas, kebijakan sekolah,
hubungan kerja (Steers, 1983). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terinci
mengenai ikiim kerja para guru pembimbing dibahas beberapa kendala, hambatan,
atau kesulitan yang dialami guru pembimbing dalam menjalankan tugas di sekolah,
meliputi siswa, staf guru, kepala sekolah, fasilitas dan sarana, pelaksanaan program
layanan yang dilakukan, dan lain-lain hal yang terkait.

1) Siswa
Berikut ini disajikan beberapa kendala atau hambatan yang dialami guru
pembimbing dalam menghadapi siswa di sekolah. Urutan kendala berdasarkan
besamya frekuensi subjek yang mengalami hal tersebut.
a. Siswa belum berani terbuka dalam proses konseling31)
b. Jurolah siswa terlalu banyak (tidak sebanding dengan jumlah guru
pembimbing) sehingga konseling individual tidak dapat dilakukan (11)
c. Siswa takut menghadap guru pembimbing atau bila dipanggil ke ruang BK (9)
d. Latar belakang siswa dari keluarga kurang harmonis (9)
e. Bila ada masalah dengan siswa kurang ada kerjasama antara orang tua dengan
sekolah dan kurang dukungan orang tua dalam pembimbingan anak di rumah
karena kesibukan orang tua. (7)
f. Motivasi belajar siswa rendah (6)
g. Siswa kurang memanfaatkan kesempatan yang ada untuk bertemu dengan guru
pembimbing (9)
h. Pada umumnya kemampuan akademik siswa kurang (3)
i. Masalah siswa terlalu banyak dan kompleks (3)
j. Siswa belum percaya pada guru pembimbing (3)
k. Siswa kurang menghargai guru pembimbing karena tidak memberikan
penilaian seperti guru lainnya (3)
1. Persepsi siswa trhadap layanan bimbingan hanya untuk siswa yang bermasalah
dan masih dianggap sebagai polisi sekolah (3).

2) Rekan staf guru


a. Guru kurang memahami peran dan tugas guru pembimbing, tugasnya dianggap
lebih santai karena tidak masuk kelas, tidak koreksi dll (26)
b. Belum ada koordinasi kerja yang baik dengan guru dalam penanganan masalah
siswa (20)
c. Guru kurang memberikan informasi tentang siswa dan kurang mendukung
layanan BK (16)
d. Seluruh masalah siswa diserahkan kepada guru pembimbing (9)
e. Dalam menangani masalah siswa, guru tidak sejalan dengan guru pembimbing
sehingga membingungkan siswa (5)
f. Guru pembimbing kurang mendapat kepercayaan sehingga guru menangani
sendiri masalah siswa (4)
g. Sebagian guru kurang memahami siswa (4)
h. Beberapa guru kurang terbuka menerima masukan dalam penanganan siswa
(3)
i. Guru kurang menjaga kerahasiaan siswa.

3) Kepala Sekolah
a. Kepala sekolah kurang memahami benar tugas guru pembimbing di sekolah
(10)
b. Guru pembimbing diberi tugas rangkap dan tugas lain di luar bidang
bimbingan (guru kelas, guru piket, guru agama, pembina OSIS) (7)
c. Kepala sekolah kurang memberikan dukungan dalam penanganan masalah
siswa (4)
d. Sikap otoriter dan konservatif (3)
e. Kurang memberikan masukan dan pendampingan kepada guru pembimbing
serta kurang memonitor administrasi BK (3)
f. Kurang kooperatif dan tidak terbuka (3)
g. Kurang memaksimalkan potensi guru pembimbing (2)
h. Kurang tegas dalam peraturan yang ada (2)
i. Tidak percaya dengan penyelesaian masalah yang dilakukan guru pembimbing
(2)

4) Fasilitas dan Sarana Sekolah


a. Fasilitas dan sarana yang kurang memadai, antara lain telepon, komputer, tape
recorder, lemari, buku dll (33)
b. Tidak ada ruang konseling yang disediakan secara khusus (ada yang digabung
dengan ruang wakil kepala sekolah, ruang tamu, ruang UKS, atau ruang OSIS)
(24)
c. Tidak ada ruang untuk layanan bimbingan kelompok (3)
d. Ruang BK yang agak jauh dari ruang kelas sehingga kesulitan memantau
siswa (2)

5) Pelaksanaan Program Layanan B K


a. Sulit mencari waktu untuk konseling karena siswa tidak diijinkan keluar saat
jam pelajaran
b. Kurang jam tatap muka dengan siswa di kelas (4)
c. Pekerjaan administrasi sangat banyak dan waktu sangat sedikit (3)
d. Kurang optimal karena terlalu banyak siswa yang ditangani (3)
e. Belum terlaksana dengan baik karena keterbatasanpengetahuan dan
keterampilan konseling dari guru pembimbing yang belum memadai (3)
f. Bimbingan belajar belum maksimal dilakukan karena tugas rangkap (3)

6) Hal-hal lain yang terkait


a. Guru pembimbing tidak berlatarbelakang BK sehingga kurang percaya diri
dalam konseling dan konsultasi (2)
b. Layanan BK di SD kurang ditanggapi secara serius
c. Orang tua dan siswa belum memahami peranan layanan BK di sekolah 3
d. Kesulitan kunjungan rumah karena jarak yang jauh antara sekolah dengan
rumah siswa
e. Kesulitan dana bila akan mengadakan kegiatan atau acara untuk bimbingan
siswa

5. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
Pertama, hasil penelitian pada 120 guru pembimbing menunjukkan ada 11%
guru pembimbing yang masih berlatar pendidikan lulusan Diploma (berkarya di SD
dan SMP). Selain itu ada 35% guru pembimbing yang tidak didukung oleh
pengetahuan dan keterampilan sebagai guru pembimbing. Kondisi seperti ini tentu
berdampak pada pelaksanaan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah
sehingga belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Kedua, fakta yang cukup memprihatinkan adalah ketidakserasian ratio
guru pembimbing dengan jumlah siswa di sekolah. Ratio satu guru pembimbing
dengan siswa kurang dari 150 hanya dialami oleh 14% subjek penelitian; ratio guru
pembimbing dengan 150 sampai 300 siswa sebanyak 55%; ratio guru pembimbing
dengan300 sampai 450 siswa sebanyak 16%, dan ratio guru pembimbing dengan
jumlah siswa lebih dari 450 dialami oleh 15% guru pembimbing. Bila kepala
sekolah menyadari ini dan berusaha memenuhi kebutuhan guru pembimbing tentu
peluang kerja bagi lulusan BK masih terbuka lebar.
Ketiga, sebagian besar guru pembimbing mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap karimya sebagi guru pembimbing di sekolah, khususnya pada komponen
komitmen profesional. Ada perbedaan yang berarti pada komitmen karir
berdasarkan latar belakang pendidikan guru pembimbing- Rerata komitmen karir
tertinggi dari guru pembimbing lulusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

Keempat, pada umumnya persepsi guru pembimbing positif terhadap


imbalan jasa yang diterima, khususnya pada kepuasan faktor intrinsik. Ada
perbedaan yang berarti pada persepsi terhadap imbalan jasa berdasarkan latar
belakang pendidikan guru pembimbing, terutama pada faktor ekstrinsik.
Kelima, guru pembimbing merasa puas dengan ikiim kerja di sekolah,
khususnya pada komponen struktur tugas. Kondisi ini memdukung guru
pembimbing untuk berkarya lebih kreatif dalam layanan BK di sekolah. Namun, ada
sebagian kecil guru pembimbing (17%) yang merasakan kebijakan sekolah kurang
mendukung tugasnya. Demikian pula sebagian kecil guru pembimbing (13%)
merasakan hubungan kerja yang belum harmonis dalam hubungan dengan staf guru
di sekolah.
Keenam, imbalan jasa dan ikiim kerja bersama-sama diperlukan sebagai
pendukung komitmen karir guru pembimbing di sekolah. Irobalan jasa faktor
intrinsik merupakan prediktor yang berarti bagi komitmen terhadap karir sebagai
guru pembimbing.

b. Saran-saran
Pertama, agar layanan Bimbingan dan Konseling dapat berjalan secara
efektif diharapkan adanya keseimbangan antara jumlah guru pembimbing dengan
jumlah siswa di sekolah. Bagi sekolah yang belum memiliki guru pembimbing
mencukupi tentu diharapkan kepala sekolah berusaha menambah jumlah guru
pembimbing yang diperlukan.
Kedua, mengingat cukup banyak guru pembimbing yang belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang mendukung tugasnya sebagai guru pembimbing
maka diperlukan usaha dari ABKIN untuk meningkatkan kualitas konseling bagi
anggotanya yang berada di sekolah, antara lain: pelatihan secara kontinu, seminar
dan lokakarya tentang kajian konseling yang mutakhir dan usaha peningkatan
lainnya.
Ketiga, ABKIN dapat bekerjasama dengan beberapa LPTK yang memiliki
program studi Bimbingan dan Konseling untuk menyelenggarakan program
sertifikasi bagi tenaga yang belum memiliki keterampilan yang memadai dalam
karimya sebagai guru pembimbing di sekolah.
Keempat, guru pembimbing perlu melakukan komunikasi atau forum
pertemuan secara kontinu dengan kepala sekolah dan staf guru agar tidak terjadi
salah persepsi tentang tugas dan peran guru pembimbing sehingga peran guru
pembimbing dapat dipahami dengan benar. Tugas dan peranan guru pembimbing
tidak sama dengan guru bidang studi.
Kelima, agar siswa mau terbuka pada guru pembimbing dalam proses
konseling kiranya guru pembimbing harus mulai dengan pendekatan "menjemput
bola" bukan "menunggu bola" agar siswa mau datang ke ruang BK. Guru
pembimbing sedapat mungkin melakukan kegiatan yang kreatif dan menarik dalam
bimbingan kelompok atau dinamika kelornpok sehingga siswa mulai berrninat
untuk mengenal, mendekati, dan menyenangi layanan BK.
Keenam, bagi program studi Bimbingan dan Konseling perlu memikirkan
kembali pengembangan kurikulum yang inovatif dan aplikatif dengan berbagai
macam mata kuliah peminatan yang lebih spesifik bagi layanan yang dibutuhkan
oleh sekolah dan instansi lain di masyarakat, antara lain layanan pembinaan
keluarga, layanan anak dengan kebutuhan khusus, layanan bimbingan belajar
terpadu, layanan anak yang mengalami traumatis, layanan bagi korban kekerasan
wanita, layanan buruh pekerja anak dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Bemardin, H. J. dan Russell, J. E. A. 1993. Human Resource


Management. New York : McGraw-Hill.

Blau, G.J. 1985. The Measurement and Prediction of Career Commitment. Journal
of Occupational Psychology, 58, 277-288.
Campion.M.A., Cheraskin,L. dan Stevens,M.J. 1994. Career Related Antecedents
and Outcomes of Job Rotation. Academy of Management Journal, 37, 1518-
1542.
Chang, E. 1999. Career Commitment as a Complex Moderator of
Organizational Commitment and Turn Over Intention. Human Relation
Journal, 52, 1257-1277.
Dossier, G. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. (terj). Jakarta:
PT Prenhallindo
Gibson, J. L., Ivancevish, J. M. dan Donnelly, J. H. 1994.
Organizational, Behavior, Structure and Process, (eight edition).
Boston : Richard D. Irwin.

Jaffe, D.T. dan Scott, C.D. 1991. Career Development for


Empowerment in A Changing Work World. Dalam J.M. Kummerow (Ed).
New Directions in Career Planning and the Workplace. Palo Alto,
California : CPP Books, pp. 33-59.
Landau,J. dan Hammer,T.V. 1985. Clerical Employees Perceptions of
Intraorganizational Career Opportunities. Academy of Management Journal,
29, 385-404.

Lawler III, E.E. 1971. Pay and Organizational Effectiveness:


A Psychological View. New York: MsGraw-Hill.

Martoyo, S. 1994. Manajemen SumberDaya Manusia.


Yogyakarta: BPFE.
Mueller,C.W., Pinley, A., Iverson, R. dan Price, J.L. 1999. The Effects Of
Group Racial Composition on Job Satisfaction, Organizational Commitment, and
Career Commitment. Work and Occupations Journal, 26, 187-219.
Orpen, C. 1994. The Effects of Organizational and Individual Career Management
on Career Success. International Journal of Manpower, 13, 27-37.

Puffer, S.M. dan Meindi, J.R. 1992. The Congruence of Motives and
Incentives in a Voluntary Organization. Journal of Organizational Behavior, 13,
425-434.
Robbins, S. P. 1991. Organizational Behavior. Englewood Cliffs, New
Jersey : Prentice Hall.
Schein, E..H. 1978. Career Dynamics : Matching Individuals and
Organizational Needs. Reading, Mass : Addison-Wesley Publishing Company.
Schultz, D.P. dan Schultz, S.E. 1986. Psychology and Industry Today. New York :
Macmillan Publishing Company.

Steers, R. M. 1983. Organization Climate. New York: McGraw-Hill.


Steiner, D. dan Fan", J. 1986. Career Goals, Organizational Reward Systems and
Technical Updating in Engineers. Journal of Occupational Psychology, 59,
13-24.

Wicker, A.W. dan Sommer, R. 1993. The Resident Researcher : An


Alternative Career Model Centered on Commuity. American Journal of Community
Psychology, 21, 469-482.
Woriey, C.G., Bowen, D.E. dan Lawler III, E.E. 1992. On the Relationship
between Objective Increases in Pay and Employees' Subjective Reactions. Journal
of Organizational Behavior, 13, 559-571.

Jakarta, Maret 2005.


Laura F. N. Sudarnoto

Anda mungkin juga menyukai