Anda di halaman 1dari 2

Edisi: 15

Juni 2004
Khotbah Populer
Reformasi yang Sejati
Oleh Pdt.Bigman Sirait

Istilah ‘reformasi’ mulai akrab di telinga orang-orang Indonesia menjelang


kejatuhan Orde Baru. Istilah ini digulirkan para mahasiswa dalam upaya
menghadirkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah Soeharto
tumbang, Mei 1998, Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai era reformasi.
Di era ini, rakyat mengharapkan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang
benar-benar tenang, aman, damai, sejahtera, adil. .
Namun impian masyarakat Indonesia tentang negeri yang gemah ripah loh
jinawi itu nampaknya tidak segera terwujud. Kebebasan yang seolah tanpa batas –
sebagai konsekuensi terbukanya keran reformasi – membuat rakyat lupa diri. Setiap
orang – atas nama kelompok mayoritas, misalnya – merasa memiliki kebebasan
melakukan apa saja, termasuk menghalangi umat lain melakukan ibadah agamanya.
Itu hanyalah secuil contoh dari buah reformasi yang kelahirannya tergolong prematur
itu.
Bercermin dari kondisi negara yang amburadul ini, kita pun lantas bertanya-
tanya tentang manfaat reformasi bagi kita. Sesungguhnya, reformasi yang bagaimana
yang diperlukan bangsa ini? Reformasi yang sejati, atau reformasi oleh Kristus, itulah
jawabannya.
Injil, adalah sesuatu kekuatan yang mampu atau bisa melakukan reformasi
yang sejati itu. Injil adalah pusat reformasi yang sesungguhnya. Injil, kematian
Kristus, penebusan dosa, memuaskan tuntutan Allah di dalam Kerajaan Sorga. Allah
yang suci, sehingga Kristus rela menjadi tumbal, menjadi korban atas dosa yang tidak
pernah dilakukanNya, menjadi korban atas dosa-dosa manusia, termasuk manusia
yang menyalibkannya.
Reformasi yang sejati atau reformasi oleh Kristus, sangat penting kita
kedepankan. Pasalnya – seperti telah disinggung di atas – dewasa ini pengertian
reformasi menjadi agak rancu karena pemakaiannya yang kurang tepat. Reformasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perubahan yang radikal. Jadi
reformasi adalah perubahan yang radikal. Ada pula yang meminta agar perubahan itu
dilakukan secara gradual (bertahap), dan ini berlawanan dengan pengertian dalam
kamus tadi. Kita tidak tahu mana yang harus dipegang: kamus atau permintaan tadi.
Sementara itu, para demonstran menuntut reformasi total. Padahal sebenarnya
reformasi itu tidak bisa secara total, sebab reformasi adalah perubahan yang radikal.
Dengan penjelasan itu, mengertilah kita bahwa istilah yang tepat dalam konteks ini
bukanlah reformasi, tetapi transformasi, yang artinya perubahan. Alasannya,
transformasi adalah perubahan yang bisa berlangsung lambat, cepat atau secara
bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan, sembari mencari suatu
pola yang dinilai ideal. Jadi, mengutip pernyataan sejumlah tokoh, dewasa ini kita
tidak sedang mengalami reformasi, tetapi transformasi yaitu mengalami perubahan
untuk mencari satu bentuk yang ideal.
Dalam sejarah gerakan reformasi yang berlangsung pada abad pertengahan
(sekitar abad XV), ada kekuatan dahsyat yang membawa gereja kembali kepada
kebenaran. Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa gereja pernah benar, gereja pernah
setia. Tetapi dalam perjalanannya gereja pernah salah, menyeleweng, lari dari rel-nya.
Itulah sebabnya, di dalam pelariannya, di dalam kesalahannya, gereja perlu dan harus
kembali ke terminal yang sebenarnya, pada kebenaran yang seharusnya. Dengan
kekuatan gerakan reformasi itu, gereja dibawa kembali ke rel-nya. Dalam kehidupan
gereja, prinsip-prinsip sola gracia, sola vide, sola scriptura, perlu ditegakkan lagi,
untuk kembali setia kepada Alkitab.
Slogan-slogan itu bukan baru, sebab sudah ada di dalam Alkitab. Tetapi
slogan atau prinsip itu mengajak semua orang percaya (yang sudah sempat melenceng
dari rel keyakinan) untuk kembali kepada Tuhan, kembali setia kepada Alkitab. Jadi,
reformasi adalah membawa orang yang sudah kembali itu kembali kepada basic-nya,
di-reform kembali kepada formatnya, kembali pada yang asli, mundur (retreat),
menarik diri dari keramaian, masuk ke dalam kesepian untuk merenung ulang,
menemukan jati diri, menemukan kebenaran itu. Itulah reformasi yang sebenarnya.
Jadi kita di sini perlu memahami secara sungguh-sungguh bahwa reformasi itu
menuntut, memerlukan suatu terminal, tempat berpijak yang tepat. Tempat berpijak
itu adalah kebenaran yang mutlak.
Nah, saudara-saudara yang kekasih, di sini saya mengulangi dan
mengingatkan kembali, bahwa reformasi yang bersumber dari Kristus itulah yang
tepat bagi kita semua. Namun, tidak ada salahnya jika kita diingatkan supaya jeli
dalam menempatkan suatu kata atau menggunakan suatu istilah sehingga pas dan
jelas.
Sekali lagi, reformasi dalam konteks kita kali ini adalah kembali ke terminal.
Sedangkan untuk Indonesia saat ini, yang paling cocok adalah istilah transformasi.
Sebab kalau dikatakan reformasi, kita mau kembali ke terminal yang mana? Tuntutan
‘reformasi’ masyarakat luas supaya Undang Undang Dasar (UUD) 45 diamandemen
(diubah/direvisi), sudah dikabulkan. Masa jabatan presiden sudah dibatasi hingga dua
periode. Tetapi perubahan itu tidak bisa dengan reformasi, tetapi transformasi,
berubah, dan itu penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Meski demikian, setiap kita pun perlu memeriksa diri sendiri apakah selalu
mengalami reformasi? Karena reformasi itu bersifat ‘senantiasa’. Artinya, kita harus
senantiasa diperbaharui. Jadi dalam konteks waktu, reformasi itu selalu
memperbaharui kehidupan orang-orang percaya, selalu memperbaharui hidup orang-
orang Kristen. Dia senantiasa menuntut pembaharuan. Dan kita setiap hari perlu
diperbaharui. Tetapi oleh siapa? Oleh Yesus Kristus yang telah berfirman kepada kita.
Maka firman itu telah berbicara supaya kita selalu diperbaharui setiap hari, setiap pagi
kita merasakan kasih yang baru dari Tuhan kita yang hidup, sehingga pembaruan
yang berlaku terus-menerus itu membawa kita makin menyerupai Dia, Tuhan dan juru
selamat kita. Sehingga kita kembali kepada citra kita yang semula, kepada gambar
kita. Itulah sifat reformasi yang utama. ***

Anda mungkin juga menyukai