KEBENARAN firman Tuhan tidak bisa dimonopoli oleh sekelompok orang,
bahkan pendeta sekalipun. Kebenaran firman Tuhan adalah untuk semua orang yang percaya kepada Tuhan, siapa pun dia. Karena itu sudah pada tempatnya semua orang belajar mengerti firman Tuhan. Seorang pendeta, karena spesialisasinya di bidang teologi, mungkin lebih mengerti, sehingga dia bisa memberikan arah yang pas. Tetapi jemaat juga perlu mengerti dan tahu apakah khotbah yang dia terima itu “sehat” atau tidak? Jadi ada semacam tolok ukur. Ibarat hendak membeli sejenis barang elektronik, kita tentu tidak boleh sembarang beli. Kita harus belajar mengerti tentang merek, spesifikasi, dan lain-lain. Kalau yang kita beli itu sound system, kita harus paham mereknya. Karena bisa saja mereknya Eropa tetapi dibuat di Taiwan, atau Indonesia. Nah, jika untuk membeli sound system saja kita harus hati-hati, maka mendengar firman Tuhan tentu harus lebih berhati- hati lagi. Ukurannya adalah Alkitab. Maka kita harus rajin membaca Alkitab. Sehingga jika mendengar khotbah yang kira-kira menyimpang, minimal kita bisa berpikir, “Kok yang dikhotbahkan ini lain dari yang saya baca?” Akan lebih bagus lagi jika kita punya keinginan untuk bertanya. Tetapi kenyataannya, sering kali kita malah tidak mau tahu. Padahal sikap tidak mau tahu inilah yang memungkinkan terjadinya kesesatan. Banyak orang yang tidak tahu, tetapi berlagak tahu. Orang yang berlagak tahu ini, dengan nekat berkotbah, berbicara semaunya. Orang yang berlagak tahu hanya akan mengatakan seakan-akan dia tahu apa yang harus dikatakannya, tetapi apa yang dikatakannya itu tidak lebih dari sebuah kecelakaan atau sesuatu yang menyesatkan. Dan ini sangat berbahaya. Tentang “tahu”, ada empat tipe orang. Pertama, orang yang tahu kalau ia tahu. Orang seperti ini paling beruntung, paling berbahagia, karena ia tahu bahwa ia tahu, dan ia tahu bagaimana memanfaatkan pengetahuan itu sehingga ia menjadi orang yang berkarya. Ia tahu bagaimana memanfaatkan pengetahuan itu sehingga ia punya nilai dalam hidupnya. Ia akan membuat suatu perubahan bagi sekitarnya karena tahu memanfaatkan pengetahuannya untuk mendatangkan keuntungan bukan hanya bagi dirinya, tapi juga buat orang lain. Orang seperti ini suka meriset untuk menemukan kesejatian yang asli. Ia tahu kemampuannya dan tahu pula mengembangkannya. Orang ini berbicara apa yang ia tahu, bukan apa yang ia tidak tahu. Apa yang ia tahu dari Alkitab, itu yang ia bicarakan. Ia tidak bicara yang ia tidak tahu. Tipe kedua adalah orang yang tahu kalau ia tidak tahu. Orang ini masih beruntung. Karena ia tahu kalau ia tidak tahu, maka ia terus belajar, memerhatikan bagian-bagian yang ia tidak tahu. Karena ia tahu mana yang ia tidak tahu, semangatnya untuk menambah pengetahuan pun semakin tinggi. Kita rindu para jemaat memiliki kesadaran seperti ini. Jemaat yang sadar kalau dirinya tidak tahu, tentu akan berusaha dan merasa perlu untuk mencari tahu supaya ia bisa tahu. Dengan demikian di dalam perkembangan pengetahuan tadi, dia terus beranjak memahami kebenaran demi kebenaran. Dalam 2 Petrus 1: 5-8 dikatakan: “Hendaklah engkau menambahkan pada imanmu kebajikan, kepada kebajikan pengetahuan…” Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah tentang kebenaran firman itu. Tipe ketiga adalah orang yang tidak tahu kalau ia tahu. Orang ini kerap merasa minder alias tidak pede (percaya diri). Pada sisi lain, dengan sifatnya ini, yang bersangkutan juga menghina dirinya sendiri, sebab ia tidak pernah mengekspresikan apa yang ia tahu itu. Orang seperti ini sesungguhnya patut dikasihani, sebab ia justru sering menjadi bahan olok-olokan atau objek tertawaan. Maka, kalau sampai kita tidak tahu apa yang kita tahu, sama saja dengan bahwa kita tidak mengenal diri kita, karena kita tidak tahu sampai sejauh mana kemampuan kita. Orang ini melakukan penghinaan pada dirinya, karena tidak mau tahu siapa dirinya. Tipe keempat—dan paling parah—adalah orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu. Tidak tahu kalau ia tidak tahu mengakibatkan dia sok tahu. Ini adalah orang paling bebal. Dikasih tahu pun dia tidak mau tahu, karena dia pikir dia tahu. Repot. Bayangkan jika orang semacam ini menjadi pengkhotbah, maka dia akan mengkhotbahkan tentang sesuatu hal yang ia tidak tahu. Ironisnya, jika diingatkan ia malah mengatakan kalau khotbahnya itu dari Roh Kudus. Beginilah gawatnya jika orang mengkhotbahkan hal yang ia tidak tahu. Karena itu, ukurlah apakah orang yang berkhotbah itu mengajarkan Injil? Jika si pengkhotbah dan pendengar (umat) sama-sama tidak tahu kalau dia tidak tahu, maka yang ada adalah kekacauan. Karena ajaran yang salah, yang disampaikan oleh si pengkhotbah, direkam salah pula oleh si jemaat, umat pun semakin sesat. Maka dari sini dapat dikatakan, bahwa kesesatan adalah kerja sama yang “baik” antara pengkhotbah dan umat. Jadi, jangan cuma marah kepada si penyesat, yaitu si pengkhotbah atau guru palsu lainnya, tetapi ternyata kita perlu marah juga kepada jemaat yang membodoh-bodohi dirinya, tidak mau tahu apa yang perlu ia tahu, yang menelan mentah-mentah segalanya, dan menjadikan pendeta sama dengan Tuhan, pendeta sama dengan kebenaran, sampai ia tidak lagi mau tahu apa yang dikatakan Alkitab. (Diringkas dari kaset Khotbah Populer oleh Hans P.Tan)