Anda di halaman 1dari 25

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

KASUS
IDENTITAS
Nama Lengkap : Bpk. Dj
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Umur : 55 th
Alamat : Kepuh GK III / 875 RT 43/11 Klitren Gondokusuman YK
Tanggal masuk : 27 November 2012
Tanggal operasi : 06 Desember 2012

Preceptor : dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes Koassisten : Muh Pringgo Arifianto, S.Ked
I. DATA SUBJEKTIF: AUTOANAMNESIS 5 Desember 2012
A. Keluhan Utama: Nyeri pada kaki kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Jogja dengan keluhan kaki kanan bernanah dan susah diangkat.
Keluhan dirasakan sudah sejak 2 minggu yang lalu & memberat 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga merasakan badan terasa lemas. Pasien memiliki riwayat sakit gula sejak 7
tahun yang lalu. Demam (-), mual (-), muntah (-), pusing (-). Pasien tidak mengeluh
gangguan BAK (-), gangguan BAB (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma, hipertensi, jantung :-
Riwayat diabetes melitus : (+ ) sejak 7 tahun yang lalu
Riwayat operasi sebelumnya :-
Riwayat alergi obat :-
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat sakit asma, hipertensi, jantung,
maupun riwayat alergi. Namun ada kluarga yang memiliki riwayat diabetes mellitus.

II. DATA OBJEKTIF (5 Desember 2012)


A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Pasien tampak berbaring di atas ranjang dengan infus terpasang di
tangan kanan, kesadaran kompos mentis, GCS E4V5M6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

2. Tanda Utama : Nadi : 78 x/menit, isi & tegangan kuat, teratur


Suhu : 36,2OC per axilla
Pernapasan : 20 x/menit, thorakoabdominal
TD : 130/80 mmHg
BB : ±70 kg
3. Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), polip (-), perdarahan (-),
lendir (-), sumbatan (-)
Mulut : mukosa lembab, hiperemis (-), sianosis (-), faring hiperemi (-), gigi
palsu (-), gigi goyang (-), malampati gradasi I
4. Leher
Tampak simetris, limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat, massa (-)
5. Thorak
Inspeksi : Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : cor : S1/S2 reguler, bising (-)
Pulmo: Suara Dasar Vesikuler (+/+) , ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi : DD<DP, distensi, eritem (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : supel, defans muskular (-), nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba,
nyeri ketok ginjal (-/-), teraba massa di suprapubik konsistensi lunak

7. Ekstremitas
Superior : gerak aktif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral hangat, perfusi baik,
CRT <2”
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

Inferior : gerak aktif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral hangat, perfusi baik,
CRT <2”, Luka bernanah pada kaki kanan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah rutin dan patobiokimiawi (27 November 2012)
PARAMETER HASIL NILAI (N) UNIT
HEMATOLOGY AUTOMATIC
Leukosit 14,3 4.6-10.6 10e3/ul
Eritrosit 2,63 4.2-5.4 10e3/ul
Hemoglobin 6,7 12.0-18.0 gr/dl
Hematokrit 21,2 37-47 %
MCV 80,5 81-99 Fl
MCH 25,5 27-31 Pg
MCHC 31,6 33-37 gr/dl
Trombosit 503 150-450 10e3/ul
ESR 5.0-15.0 mm/Hr
Differential Telling Mikroskopis
Basophil 0 0 %
Eosinophil 3 0-5 %
Netrofil Stab 0 0-3 %
Netrofil Segmen 82 40-74 %
Limphosit 13 18-48 %
Monosit 2 0-8 %
Penunjang lainya

Gol darah A Slide Aglutinasi


BT 2’30” <6 Menit
CT 8’30” <12 Menit
HbSAg Negatif (-) Immunochromatography
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
PEMERIKSAAN PATOBIOKOMIA (17 November 2012)
PARAMETER
PARAMETER HASIL NILAI
NILAI NORMAL
(N) UNIT
UNIT
Protein
GlukosaTotal
sewaktu 169 6,6-8,7
85-140
Protein
Ureum Albumin 2,7 3,5-5,0
84 10-50
Protein Globulin 1,8-2,4
Kreatinin 1,4 L < 1,1 ; P< 0,9
SGOT 30 L<37 ; P <31
SGPT 16 L<42 ; P<33

b. EKG (27 November 2012) : NSR


c. Foto Rontgen (27 November 2012) : pulmo dan besar cor normal

IV. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis klinis : Diabetes Mellitus dengan Ulkus DM + Anemia hipokromik mikrositik
Status Anestesi : ASA II

V. PLANNING DAN PERSIAPAN PRE-OPERASI


1. Perbaiki KU s/d Hb ≥ 10 gr/dl
2. Transfusi PRC 1 kolf
3. Control Gula darah

VI. FOLLOW UP
WAKTU DATA DASAR PLANNING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
27 November S: luka pada kaki kanan, nyeri (-), kesemutan (-) Perbaiki KU
2012 O: KU: compos mentis, terpasang infus sampai Hb ≥
TD: 130/90 mmHg, N: 84 kpm, T: 36,8oC, RR: 20 kpm
10 gr/dl
Kepala: CA +/+, SI -/- Kontrol gula
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal darah
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’

Hb : 6,7 gr/dl
28 November S: Luka pada kaki kanan (+), Nyeri (-). Riwayat DM (+), Perbaiki KU
2012 asma (-), jantung (-), HT (-). Badan lemes, mata blawur sampai Hb ≥
O: KU: compos mentis, terpasang infus
10 gr/dl
Kepala: CA+/+, SI -/-
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal Kontrol Gula
Abdomen: peristaltik (+) darah
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
PRC 1 kolf
A : clear, Gigi palsu (-)
B : RR 20 kpm reguler
C : TD 140/70 mmHg. N: 88 kpm, T: 36 C, RR: 20 kpm
D : GCS E4V5M6

Hb : 6,7 gr/dl
4 Desember S: luka pada kaki kiri (+), Nyeri (-). Riwayat asma (-), Perbaiki KU
2012 jantung (-), HT (-). Tranfusi sudah masuk 1 kolf. sampai Hb ≥
O: KU: compos mentis, terpasang infus
10 gr/dl
Kepala: CA-/-, SI -/-
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
A : clear. Gigi palsu (-)
B : RR 20 kpm reguler
C : TD 120/60 mmHg. N: 88 kpm, T: 36,5 C
D : GCS E4V5M6
Lab Hb 11,9 gr/dl
5 Desember S: luka pada kaki kiri (+), nyeri (-), kesemutan (-). Puasa 6-8 jam
2012 Riwayat asma (-), jantung (-), HT (-). sebelum
O: KU: compos mentis, terpasang infus
operasi
Kepala: CA-/-, SI -/-
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal Jika
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
A : clear. Gigi palsu (-)
B : Spontan, RR 20 kpm regular, vesikuler +
C : TD 130/80 mmHg. N: 84 kpm, T: 36 C
D : GCS E4V5M6

HB : 11,9
Albumin 2,7
GDS 157

VII. STATUS ANESTESI (INTRAOPERASI)


Nama : Bpk Dj
Umur : 55 tahun
Berat Badan : ±75 Kg
Bangsal : Dahlia
Premedikasi :-
Diagnosis Pra-Bedah : Ulkus DM
Diagnosis Pasca Bedah : Ulkus DM
ASA : II
Ahli anestesi : dr. Ardi Pramono, Sp.An/dr. Basuki Rahmad, Sp.An
Ahli bedah : dr. Feri, Sp.B
Pemeriksaan Fisik :
Vital sign :Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Suhu : 36, 5 0C
Respiration rate : 20 x/ menit
- Jantung dan Paru : BJ regular, bising (-), ronkhi -/-, wheezing -/-
- ASA : II

Jenis anestesi: Regional Anestesi


- Induksi: Lidodex
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
- Pemeliharaan: O2
Teknik anestesi : SAB L3-L4, LCS (+), jernih (+), darah (-)
Ijin Operasi : (+)
Tanggal Operasi : 6 Desember 2012
Jenis Operasi : Debridement
Obat-obat :
- Inj. Ondansentron 4 mg
- Inj. Ketorolac 30 mg
Infus:
- Ringer Lactat
Jumlah Cairan
- Infus:
 Puasa: 8 jam
Jadi, PP adalah 8 (jam) x 75 (kg) x 2 cc = 1200 cc
 Maintenance : 75 x 2 cc = 150 cc/ jam
 Stres Op : Jadi 6 x 75 = 450 cc

Pada jam I : 150 cc + 450 cc + 600 = 1200 cc


Pada jam II : 150 cc + 450 cc + 300 = 900 cc
- Darah: (-)

instruksi Pasca Bedah


a. Infus : RL 20 tpm
b. Antibiotika : Sesuai Operator
c. Analgesika : Ketorolac 30 mg / 8 jam/ IV
d. Anti muntah : Ondansentron 4 mg / KP
e. Posisi pasien : Supinasi dengan bantal selama 24 jam
f. Roboratia : Awasi KU,vital sign, balance cairan dan perdarahan. Cek Gula
darah post operasi

VIII. PROGNOSIS
1. Dubia et vitam : dubia et bonam
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
2. Dubia et sanam : dubia et bonam
3. Dubia et fungsionam : dubia et bonam
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi pada Diabetes Mellitus


PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi
dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes
mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan
pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di
Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 %
penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor
penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3 
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka
waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan
disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi,
insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen
(keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi
granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada
evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi
preoperatif yang optimal.1,4,5,6 
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma
non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang
disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat.
Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat
aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis
diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak
(pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit
meningkat.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang
mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan
insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap
dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi
preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami
pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan
pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan
pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat
banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan?
Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada,
pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita
asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat
sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman
patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif
pasien yang akan mengalami pembedahan.7

DEFINISI 
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9 
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa
plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7 
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar  
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus
diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas    batas ini.

ADA    menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0  mmol/L (110 dan 126
mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma  sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga   didiagnosis
bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa  oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7

KLASIFIKAS 1 5 7 8 9                      
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
 Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya
retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi
insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-
sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu  
memerlukan insulin sebagai pengobatannya   dan   cenderung   untuk   mengalami  
ketoasidosis   jika   insulin   dihentikan pemberiannya.
 Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami
ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup
dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.   

PATOFISIOLOGI 
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di
seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-
pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m.
Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang
tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik,
sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan
kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan
glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain
dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal
(gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin.
Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor  b adrenergik.5,9 
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi
karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan
insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak
bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati
untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I
dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada
mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus
yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias,
mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9 
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat
oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Dianggap bahwa kegemukan akan :


 Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target                         
 Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor                  
              - Transport glukosa berkurang 
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
              - Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
 Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:      
               -   Bertambahnya penimbunan lemak
               -   Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
               -   Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
               -   Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggapmenambahrisikoterjadinyapankreatitis.4,9 
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik
renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan 
penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien
non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi
insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan
resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi
katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor
dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9

DIAGNOSIS 
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10 
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan melalui 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

 Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
 Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa
oral >= 200 mg/dl.
 Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis
rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan.
Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis
banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan
hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua
penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME 


Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena
salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi
insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama
pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi
katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi
pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga
oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan
saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon
stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun
dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES 


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul
adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 %
pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah
4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian
menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai
10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah
perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7 
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart
mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka
dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 %
pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan
neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon
abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang
pasti. Pasien  dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi
ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate
(GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan
kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas
plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan
hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa
pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya
fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh
"stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi
phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan,
sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan
kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu
penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi
ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun
yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai
sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena
adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif.
Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini
mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar
dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM
tipe I.1,5,6,7,8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387

PENILAIAN PRABEDAH 
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan
susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk
itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum,
kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif,
hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada
pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik
hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM 


Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status
diabetesnya.4 
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi
dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis
adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-
kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7 
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika
midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara
kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7 
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7 
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport
glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas
simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan
pada pasien cukup memuaskan  karena   kurang   pengaruhnya   terhadap   peningkatan  
hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan  insulin  dalam  merespon  hiperglikemia,   tetapi  tidak sama |
pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7 
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W
tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya
sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol
untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan
mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7 
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada
pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi
penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan
kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan
operasi.4,7

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM 


Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade
regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual,
Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai
pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif
reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan
menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7 
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia
umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan
dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang
lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat
terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular
dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal
dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan
epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau
edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF


Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan    kecukupan   karbohidrat   untuk    mencegah   metabolisme    katabolik  
dan ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya
membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu
diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes
oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk
bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan
glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti
di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%                                                                      
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
3. Lama pembedahan lebih 2 jam              
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai
3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik   yang
buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis
insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum
pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan
dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB.  Dua pertiga dosis insulin normal
diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk
kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa
di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan
sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan,
penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi
untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering : t
digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari
dalam bentuk insulin kerja sedang:

 Tabel:   Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien
DM

Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1 ml/kg/jam) Regular


NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) insulin Unit/jam = Glukosa
(NPH=neutral protamine Hagedorn) plasma : 150

Intraoperattf Regular   insulin   (berdasarkan   sliding Sama dengan preoperatif


scale)

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena
dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa
dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik
(sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat
dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat
ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70
kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl
0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula
darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

                           Gukosa plasma (mg/dl)


Unit perjam =  ————————————        
                  150
                                        Atau

                    Glukosa plasma (mg/dl)


Unit per jam =  ————————————
                                                100     
pada pemakaian steroid,  obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.
Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena.
Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus
lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di
bawah ini :

Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin


darah

              4,4                       ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV


4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7 u/jam

6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam


9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 m/jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal
penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik
GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 
KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50
unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap
2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
 
Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

     PERAWATAN PASCA BEDAH 


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil
dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian
subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus
diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu
tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan
sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15 
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca
bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau
kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM
usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard
postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan
status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya infark miokard.2,15

PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT 


Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan
yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis. Dalam keadaan
seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam. Waktu yang sangat
terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan
etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwa sebelum pembedahan diJakukan.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun
koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa
jam. Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi
dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah
mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10
unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam
atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah
terakhir dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi.
Dilakukan pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah
analisa gas darah dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah
antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9 
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial.
Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan
bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat
tidak dianjurkan.1,2,3

REFERENSI
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease   in A Practice
of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients  in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical
Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus   Anestesia-Operasi   dalam Buku Naskah Lengkap Konas
III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl.  Diseases of the Endocrine System  in Anesthesia and Common Diseases,
2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia, 4th ed,
Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative Care,
1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
7. McAnulty GR,   Robertshaw  HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients  with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam  MW. Pankreas Endokrin dalam  Endokrinologi,  Percetakan Angkasa Offset,
Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation   in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994:
185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB
Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes, IARS
Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen, Stapezynski
ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia   in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes Mellitus
and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-

Yogyakarta, 17 Desember 2012

dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai