UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
KASUS
IDENTITAS
Nama Lengkap : Bpk. Dj
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Umur : 55 th
Alamat : Kepuh GK III / 875 RT 43/11 Klitren Gondokusuman YK
Tanggal masuk : 27 November 2012
Tanggal operasi : 06 Desember 2012
Preceptor : dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes Koassisten : Muh Pringgo Arifianto, S.Ked
I. DATA SUBJEKTIF: AUTOANAMNESIS 5 Desember 2012
A. Keluhan Utama: Nyeri pada kaki kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Jogja dengan keluhan kaki kanan bernanah dan susah diangkat.
Keluhan dirasakan sudah sejak 2 minggu yang lalu & memberat 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien juga merasakan badan terasa lemas. Pasien memiliki riwayat sakit gula sejak 7
tahun yang lalu. Demam (-), mual (-), muntah (-), pusing (-). Pasien tidak mengeluh
gangguan BAK (-), gangguan BAB (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma, hipertensi, jantung :-
Riwayat diabetes melitus : (+ ) sejak 7 tahun yang lalu
Riwayat operasi sebelumnya :-
Riwayat alergi obat :-
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat sakit asma, hipertensi, jantung,
maupun riwayat alergi. Namun ada kluarga yang memiliki riwayat diabetes mellitus.
7. Ekstremitas
Superior : gerak aktif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral hangat, perfusi baik,
CRT <2”
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Inferior : gerak aktif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral hangat, perfusi baik,
CRT <2”, Luka bernanah pada kaki kanan
VI. FOLLOW UP
WAKTU DATA DASAR PLANNING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
27 November S: luka pada kaki kanan, nyeri (-), kesemutan (-) Perbaiki KU
2012 O: KU: compos mentis, terpasang infus sampai Hb ≥
TD: 130/90 mmHg, N: 84 kpm, T: 36,8oC, RR: 20 kpm
10 gr/dl
Kepala: CA +/+, SI -/- Kontrol gula
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal darah
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
Hb : 6,7 gr/dl
28 November S: Luka pada kaki kanan (+), Nyeri (-). Riwayat DM (+), Perbaiki KU
2012 asma (-), jantung (-), HT (-). Badan lemes, mata blawur sampai Hb ≥
O: KU: compos mentis, terpasang infus
10 gr/dl
Kepala: CA+/+, SI -/-
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal Kontrol Gula
Abdomen: peristaltik (+) darah
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
PRC 1 kolf
A : clear, Gigi palsu (-)
B : RR 20 kpm reguler
C : TD 140/70 mmHg. N: 88 kpm, T: 36 C, RR: 20 kpm
D : GCS E4V5M6
Hb : 6,7 gr/dl
4 Desember S: luka pada kaki kiri (+), Nyeri (-). Riwayat asma (-), Perbaiki KU
2012 jantung (-), HT (-). Tranfusi sudah masuk 1 kolf. sampai Hb ≥
O: KU: compos mentis, terpasang infus
10 gr/dl
Kepala: CA-/-, SI -/-
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
A : clear. Gigi palsu (-)
B : RR 20 kpm reguler
C : TD 120/60 mmHg. N: 88 kpm, T: 36,5 C
D : GCS E4V5M6
Lab Hb 11,9 gr/dl
5 Desember S: luka pada kaki kiri (+), nyeri (-), kesemutan (-). Puasa 6-8 jam
2012 Riwayat asma (-), jantung (-), HT (-). sebelum
O: KU: compos mentis, terpasang infus
operasi
Kepala: CA-/-, SI -/-
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Thoraks: Cor dan Pulmo dalam batas normal Jika
Abdomen: peristaltik (+)
Ekstremitas: akral hangat nadi kuat, CRT < 2’’
A : clear. Gigi palsu (-)
B : Spontan, RR 20 kpm regular, vesikuler +
C : TD 130/80 mmHg. N: 84 kpm, T: 36 C
D : GCS E4V5M6
HB : 11,9
Albumin 2,7
GDS 157
VIII. PROGNOSIS
1. Dubia et vitam : dubia et bonam
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
2. Dubia et sanam : dubia et bonam
3. Dubia et fungsionam : dubia et bonam
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
TINJAUAN PUSTAKA
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang
mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan
insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap
dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi
preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami
pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan
pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan
pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat
banyak dilema. Dalam keadaan bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan?
Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada,
pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita
asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat
sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman
patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif
pasien yang akan mengalami pembedahan.7
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa
plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus
diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas batas ini.
ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126
mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis
bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya
retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi
insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-
sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami
ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami
ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup
dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di
seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-
pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m.
Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang
tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik,
sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan
kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan
glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain
dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal
(gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin.
Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi
karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan
insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak
bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati
untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I
dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada
mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus
yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias,
mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat
oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggapmenambahrisikoterjadinyapankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik
renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan
penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien
non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi
insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan
resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi
katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor
dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan melalui 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa
oral >= 200 mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis
rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan.
Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis
banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan
hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua
penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan
susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk
itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum,
kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif,
hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada
pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik
hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien
DM
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal
penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik
GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10
KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50
unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap
2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
Kadar gula Infus insulin
REFERENSI
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in A Practice
of Anesthesia, 6th ed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang Critical
Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap Konas
III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common Diseases,
2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia, 4th ed,
Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative Care,
1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS 587387
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset,
Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders, 1994:
185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB
Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes, IARS
Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen, Stapezynski
ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes Mellitus
and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-