Kata Pengantar...........................................................................................................
Daftar Isi..................................................................................................................... 1
BAB I Pendahuluan............................................................................................... 2
II.1 Definisi...................................................................................................... 3
II.2 Etiologi...................................................................................................... 4
II.3 Patofisiologi............................................................................................... 4
II.5 Diagnosis................................................................................................... 13
II.7 Penatalaksanaan......................................................................................... 16
II.8 Komplikasi................................................................................................. 24
II.9 Pencegahan................................................................................................ 24
Daftar Pustaka............................................................................................................ 26
1
BAB I
Pendahuluan
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau terapi antivirus untuk infeksi
dengue dan tatalaksana yang tepat sangat membantu penyembuhan. Pengenalan tanda
awal kegawatan infeksi dengue sangat diperlukan oleh para dokter yag menangani
pasien infeksi sejak awal penyakit, karena hal ini sangat menentukan luarannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat mengalami
perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 1
3
II.2 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50
nm dan mengandung RNA rantai tunggal. 8 Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu
DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. 1-9
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi
yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.8
II.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam
dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
4
1. Teori virulensi virus 6. Teori endotoksin
2. Teori imunopatologi 7. Teori limfosit
3. Teori antigen antibodi 8. Teori trombosit endotel
4. Teori infection enchancing antibody 9. Teori apoptosis. 9
5. Teori mediator
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori
infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi
komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian
muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. 10
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda
dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya
berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada
anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat
adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus
dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD. 10
5
Teori Enhancing Antibody/ The Immune Enhancement Theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui
ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut
untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien
yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki
risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN
akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
1. Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
2. Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
3. Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem
komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi. 10
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih
berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan
dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya
sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non
netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.10
6
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit
(makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC
memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang
mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor
Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain
seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan
menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.
7
Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )
8
II.4 Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS). 11
A. Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi ;
nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan
11
leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam
tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam. 4,12
1. Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari. 8
2. Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat
pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan
kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang
8
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. 12
3. Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.4,12
9
Gambar 6. Spektrum Klinis DD dan DBD
10
Tabel 2. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
(Dikutip dari kepustakaan no. 11dan 12)
Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah
Dengue
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji tornikuet positif ++
++++ Petekie +++
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
11
Gambar 7. Kurva suhu pada demam berdarah dengue,
saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok)
(dikutip dari kepustakaan no.2)
C. Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan
cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan
pasien tampak gelisah. 11
Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada
DBD ( Dikutip dari kepustakaan no. 13)
12
II.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi
dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak
terpenuhi maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus
lainnya. Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan
diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih tepat.2
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris
yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada)
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.2
13
II.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada
DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai
ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu
turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering
ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran
plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT
dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.4
2. Pencitraan
2.1 Pemeriksaan rontgen thorak
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan pengalaman
menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam mendeteksi cairan
dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.13
14
dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat
diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya
dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana
tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II dibanding
DBD III-IV. 13
3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Uji hambatan hemaglitinasi
- Uji Netralisasi
- Uji fiksasi komplemen
- Uji Hemadsorpsi Immunosorben
- Uji Elisa Anti Dengue Ig M
- Tes Dengue Blot. 7
II.7 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(KID).13
16
Gambar 12. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit
(dikutip dari kepustakaan no. 2)
17
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan
transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal
syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan
karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia
dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD stadium IV perlu
ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer akibat adanya asidosis
berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus
disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan
plasma.2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat
bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan
memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.2
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan
pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik
diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum
dapat diatasi.2
Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD
18
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga
mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak
mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit
maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih
mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih
hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat
penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi
sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada
anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati
tidak perlu diberikan transfusi. 2
19
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
20
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.
21
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%
22
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue
23
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).7
II.8 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan. 11
II.9 Pencegahan
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15
24
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan
klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan
dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan
prognosis yang lebih baik.
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
26
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis
Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.
Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php?
name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 1 Februari 2016.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi
1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
27