Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................

Daftar Isi..................................................................................................................... 1

BAB I Pendahuluan............................................................................................... 2

BAB II Tinjauan Pustaka........................................................................................ 3

II.1 Definisi...................................................................................................... 3

II.2 Etiologi...................................................................................................... 4

II.3 Patofisiologi............................................................................................... 4

II.4 Manifestasi Klinik..................................................................................... 9

II.5 Diagnosis................................................................................................... 13

II.6 Pemeriksaan Penunjang............................................................................. 14

II.7 Penatalaksanaan......................................................................................... 16

II.8 Komplikasi................................................................................................. 24

II.9 Pencegahan................................................................................................ 24

BAB III Kesimpulan................................................................................................ 25

Daftar Pustaka............................................................................................................ 26

1
BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang


Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap
menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A”
dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2007 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak8

Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan


tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang
terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007)6

Infeksi dengue merupakan penyakit yang muncul kembali, cepat menyebar,


ditularkan oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti. Dalam 50 tahun terakhir ini
insidensinya telah meningkat 30 kali lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke
negara-negara baru terutama di negra sub tropis. Diperkirakan ada 50 juta orang
terinfeksi dengue setiap tahunnya. Terdapat 2.5 milyar orang yang tinggal di daerah
endemis dengue.3

Meskipun manifestasi infeksi cukup kompleks tetapi secara umum


tatalaksananya relatif simple, tidak mahal, dan sangat efektif dalam menyelematkan
hidup penderita, sepanjang penanganan diambil pada waktu yang tepat. Kunci
keberhasilan penanganan adalah dengan memahami dan waspada terhadap problem
klinis selama fase-fase yang berbeda sepanjang perjalanan penyakit, sehingga
tatalaksana yang dilakukan sesuai dengan pendekatan yang rational.4

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau terapi antivirus untuk infeksi
dengue dan tatalaksana yang tepat sangat membantu penyembuhan. Pengenalan tanda
awal kegawatan infeksi dengue sangat diperlukan oleh para dokter yag menangani
pasien infeksi sejak awal penyakit, karena hal ini sangat menentukan luarannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal. 3
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat mengalami
perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 1

Sejarah Infeksi Dengue dan Virus Dengue


DD klinis dilaporkan pertama kali oleh Banyamin Reesh pada bulan Agustus -Oktober
1780 (break bone fever) di Philadelphia.4,6 Pada tahun 1954, DBD pertama kali
dilaporkan di Filipina yang kemudian menyebar ke negara-negara kawasan Asia
Tenggara. Pada tahun 1980 an penyakit ini merambah negara-negara di Benua Amerika
yang beriklim tropis dan subtropis.6
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan kasus DD oleh Bylon di Batavia
tahun1779.4 Kasus DBD pertama kali terdiagnosis di Surabaya pada tahun 1968.
Penyakit ini terutama menyerang anak usia dibawah 15 tahun. Dalam kurun waktu 40
tahun, penyakit ini telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. 6 Istilah
haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina tahun 1953 ,
kasusnya dilaporkan oleh Quintos dkk pada tahun 1954.4,7
Hingga tahun 1956 baru dikenal virus dengue tipe 1 dan 2. 4 Virus DEN-1 pertama kali
diisolasi Sabin dan Schlesinger di Honolulu tahun 1943. Pada tahun yang sama,
Kimura dan Hotta berhasil mengisolasi dan mempublikasikan virus DEN-1 selama
terjadi epidemi di Nagasaki.5 Virus DEN-2 berhasil diisolasi oleh sejumlah ahli di New
Guinea pada tahun 1944. Virus DEN-3 dan 4 diidentifikasi oleh Hammon dkk tahun
1960 4 dan dua tahun kemudian berhasil mengidentifikasi virus DEN- 5 dan 6.5

3
II.2 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50
nm dan mengandung RNA rantai tunggal. 8 Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu
DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. 1-9
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi
yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.8

Gambar 2. Profil nyamuk Aedes dibandingkan nyamuk anopheles dan culex

II.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam
dengue dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

4
1. Teori virulensi virus 6. Teori endotoksin
2. Teori imunopatologi 7. Teori limfosit
3. Teori antigen antibodi 8. Teori trombosit endotel
4. Teori infection enchancing antibody 9. Teori apoptosis. 9
5. Teori mediator
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori
infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi
komplemen, dari sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian
muncul peran endotoksemia dan limfosit T. 9

Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan


oleh Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. 10
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda
dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya
berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada
anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat
adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus
dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD. 10

5
Teori Enhancing Antibody/ The Immune Enhancement Theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama
perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear
yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui
ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut
untuk menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien
yang menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki
risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS. 1
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN
akan masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
1. Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc
dan masuk dalam monosit
2. Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan
sumsum tulang (terjadi viremia).
3. Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai
sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem
komplemen), sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi. 10

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:


1. Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
2. Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing
antibody). 10

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih
berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan
dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya
sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non
netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.10

6
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit
(makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC
memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang
mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor
Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain
seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan
menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

7
Gambar 4. Respon imun pad ainfeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS
(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD


(dikutip dari kepustakaan no. 10 )

8
II.4 Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS). 11

Gambar 5. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue

A. Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi ;
nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan
11
leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam
tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam. 4,12
1. Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari. 8
2. Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat
pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan
kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang
8
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. 12
3. Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.4,12

9
Gambar 6. Spektrum Klinis DD dan DBD

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut


1. Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
2. Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
3. Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin meningkat. 8

B. Demam Berdarah Dengue


Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. 11 Kasus DBD ditandai 4
manifestasi klinis yaitu :
- Demam tinggi
- Perdarahan terutama perdarahan kulit
- Hepatomegali
- Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).4,7,8,12
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila
sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang
dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya
timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.12
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm
dibawah tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan
penyakit tetapi hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan
hati terasa tetapi biasanya tidak ikterik.8

10
Tabel 2. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
(Dikutip dari kepustakaan no. 11dan 12)
Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah
Dengue
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji tornikuet positif ++
++++ Petekie +++
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++

Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga


berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama menentukan tingkat
keparahan DBD dan membedakannya dengan DD ialah gangguan hemostasis dan
kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai trombositopenia dan peningkatan jumlah
trombosit.8

11
Gambar 7. Kurva suhu pada demam berdarah dengue,
saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok)
(dikutip dari kepustakaan no.2)
C. Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan
cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan
pasien tampak gelisah. 11

Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada
DBD ( Dikutip dari kepustakaan no. 13)

12
II.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi
dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak
terpenuhi maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus
lainnya. Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan
diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih tepat.2
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris
yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada)
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.2

Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah :


Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena
3. Pembesaran hati
4. Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
Kriteria laboratorium :
1. Trombositopenia (100.000/l atau kurang)
2. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%. 8

Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :


- Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
- Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan.  Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
- Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
- Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa. 4,7,8,12
-

13
II.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada
DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai
ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu
turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering
ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran
plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT
dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.4

2. Pencitraan
2.1 Pemeriksaan rontgen thorak
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan pengalaman
menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam mendeteksi cairan
dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.13

Gambar 9. Indeks efusi pleura akibat infeksi virus dengue

2.2. Pencitraan Ultrasonografis


Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang penting tidak
menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ
dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG sangat membantu

14
dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat
diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya
dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana
tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II dibanding
DBD III-IV. 13

3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Uji hambatan hemaglitinasi
- Uji Netralisasi
- Uji fiksasi komplemen
- Uji Hemadsorpsi Immunosorben
- Uji Elisa Anti Dengue Ig M
- Tes Dengue Blot. 7

Pemeriksaan rapid sero diagnostic test


Uji serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat pula
menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif palsu
pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig G atau Ig G
saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M lalu meningkat dan
mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang pada hari sakit ke 30-60.
Peningkatan Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada hari ke 15
kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup. Tetapi pada infeksi sekunder
akan memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya naik dengan cepat sedangkan Ig M
menyusul kemudian. Apabila tidak terdeteksi pada hari demam ke 2-3 pada klinis
mencurigakan maka pemeriksaan harus diulang 4-6 hari lagi.

Gambar 10. Respon imun terhadap infeksi dengue


15
Respon imun terhadap infeksi dengue :
Antibodi Ig M :
 Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi
 Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi
primer singkat
Antibodi Ig G :
 Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala
 Meningkat pada infeksi primer
 Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti
dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis
peningkatan Ig G anti dengue. 14

Gambar 11. Perjalanan penyakit infeksi virus dengue

II.7 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(KID).13

16
Gambar 12. Sistem triase dalam penatalaksanaan DBD di rumah sakit
(dikutip dari kepustakaan no. 2)

Penatalaksanaan Demam Dengue


Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C,
sebaiknya diberikan parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat
lebih atau muntah. 8

Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue


Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat
sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran plasma.
Penatalaksanaan fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa kritis ialah
pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung
trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan
cairan. 8 Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau
penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.2
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga hingga
ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat demam
turun hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan
jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.

17
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan
transfusi darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal
syok ialah Ringer laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan
karena mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia
dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD stadium IV perlu
ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan Ringer akibat adanya asidosis
berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus
disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan
plasma.2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat
bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan
memiliki kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.2

Tabel 3. Jenis cairan kristaloid untuk resusitasi DBD

Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan
pemberian transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik
diberikan apabila telah dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum
dapat diatasi.2
Tabel 4. Jenis cairan koloid untuk resusitasi DBD

18
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga
mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak
mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit
maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih
mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih
hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah
terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat
penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi
sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada
anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati
tidak perlu diberikan transfusi. 2

19
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

20
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.

21
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

22
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

23
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).7

II.8 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan. 11

II.9 Pencegahan
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 15

24
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan
klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan
dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan
prognosis yang lebih baik.

25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue


Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting.
Proceedings Book 13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII.
Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting.
Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13
September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.
New Delhi : WHO.2012
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan

26
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis
Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.
Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php?
name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 1 Februari 2016.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi
1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

27

Anda mungkin juga menyukai