Anda di halaman 1dari 8

BAB 4

KOPERASI DAN PELAKU


EKONOMI LAINNYA

1.1 Peran Koperasi dan Pelaku Ekonomi lainnya


Ada 3 pilar dalam pembangunan yang disebut sebagai trilogi pembangunanyaitu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia, pertumbuhan ekonomi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga
pilar tersebut mengikat keseluruhan pelaku ekonomi yang ada. Baik koperasi, swasta maupun
BUMN ketiganya berkewajiban melaksanakan tugas-tugas trilogi itu. Adalah keliru jika
memandang kemampuan koperasi hanyalah untuk menampilkan pemertaan. Dalam teori maupun
kenyataan, koperasi mampu memperkenalkan kesadaran berekonomi, mampu menggerakkan
sumber-sumber ekonomi (termasuk sumber daya manusia) yang masih belum atau kurang
dimanfaatkan manjadi suatu kekuatan produktif yang menumbuhkan nilai tambah. Koperasi
sebagai gerakan ekonomi partisipatif menyatupadukan potensi-potensi kecil yang terpisah-pisah
menjadi kekuatan bersama yang lebih besar, menciptakan sinergi. Justru karena koperasi
merupakan gabungan kekuatan-kekuatan kecil , pada tahap perkembangan tertentu masih akan
terlalu kecil kemampuannya untuk melaksanakan tugas pemerataan ekonomi yang teramat besar
yang ada di luar dirinya, apalagi dalam kadar kesenjangan ekonomi skala nasional yang cukup
parah. Karena merupakan bangun usaha partisipasif dan semangat kerjasama, maka peranan
koperasi sesuai dengan tugas-tugas yang menyangkut stabilitas sosial. (Sri Edi Swasono, 1990).
Dipihak lain dalam kenyataannya, usaha-usaha swasta memang telah membuktikan
perannya dalam mendorong dan menghasilkan ekonomi, meskipun dalam periode resesi ia juga
paling besar peranannya dalam menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi; bahkan terkadang
membawa stagnasi dan depresi. Swasta dapat pula mengemban tugas pemerataan dengan
memperluas lapangan kerja, melakukan pilihan teknologi oyang tepat guna dan padat karya,
memperluas keterkaitan kegiatan usaha dan menumbuhkan sinergi,membayar pajak progresif dan
dengan kemampuan pertumbuhannya dapat lebih mampu membiayai proses demokratisasi.
Meskipun menurut paham Demokrasi Ekonomi kita sebenarnya yang menyangkut hidup orang
banyak tidak boleh berada ditangan swasta, tetapi dalam kenyataan ketentuan itu tidak tidak terlalu
dipatuhi, shingga swasta justru menjadi peka (prone) terhadap tugas-tugas menjaga stabilitas.
Bagi BUMN yang harus menyelenggarakan tugas-tugas menguasai cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, jelas peranannya sangat
menonjol. BUMN telah dapat membuktikan peranannya di waktu lalu (maupun hingga saat ini)
sebagai agent of development. Sebagai leading and commanding sector, dikatakan “Benteng
Group” bagi swasta juga pernah lamban tumbuh. Tidak ada swastabesar, karena sesungguhnya
perusahaan BUMN (seperti bank-bank milik negara) juga berperan terhadap pertumbuhan swasta.
Jadi disamping menjaga stabilitas (karena peran konstitusinya) BUMN telah berperan dalam
pertumbuhan, baik pertumbuhan bagi dirinya sendiri maupun dalam menumbuhkan usaha swasta.
Tidak sulit pula untuk menciptakan peranan dan membenahi tugas pemerataan bagi BUMN
terutama BUMN perbankan.
Kerjasama antara koperasi, swasta dan BUMN dimungkinkan hanya apabila masing-
masing mempunyai “penyebut” yang sama pula, meskipun pembilangnya berbeda. Untuk
Indonesia ketiga pelaku ekonomi itu imperatif sama-sama terikat pada Pasal 33 UUD 1945, terikat
oleh paham Demokrasi Ekonomi Indonesia, terikat oleh GBHN. Selama salah satu dari pelaku
ekonomi itu tidak merasa mempunyai misi yang sama, ibaratnya menjumlahkan pecahan dengan
penyebut yang tidak sama. Dengan demikian makin jelaslah pula bahwa tidak ada pengkotak-
kotakan misi makro bagi masing-masing pelaku ekonomi, yang ada hanyalah sekadar pambagian
kerja. Penegasan Pasal 33 UUD 1945 :”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak”, merupakan bagian untuk perusahaan negara; hanya
perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-orang,
merupakan porsi bagi swasta. Bangun perusahaan yang sesuai dengan Demokrasi Ekonomi adalah
koperasi, yang merupakan kesokoguruan bagi perekonomian Indonesia.
“Dikuasai oleh negara” bagai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat
hidup orang banyak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 (Ayat2) UUD 1945 tidak berarti
harus “dimiliki oleh negara”. Namun maksud utama atau masalah pokok dalam kalimat itu (subject
matter) adalah “dikuasai”. Apabila tanpa dimiliki tidak bisa dikuasai, maka penguasaan itu harus
disertai dengan pemilikan. Dalam sistem hukum yang berlaku (meskipun sisa hukum kolonial),
pemilikan menentukan penguasaan. Dengan pemilikan pun, jika tidak cukup banyak, pemerintah
sering menghadapi ketidakefektifan penguasaan.
Selain itu, bunyi ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 yang demikian tidak harus diartikan bahwa
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak lalu tertutup untuk
perusahaan swasta.
Upaya menyamakan misi seperti dikemukakan di atas memang menghadapi kendala
hukum. Di samping ketetapan konstitusi kita (Pasal 33 UUD 1945), masih berlaku landasan hukum
kolonial. Aturan Peralihan UUD 1945 (Pasal 11) menegaskan bahwa “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
undang Dasar ini.” Dengan demikian masih berlaku pulalah peraturan hukum kolonial termasuk
Wetboek van Koophandel (KUHD) produk kolonial, yang di Indonesia menjadi dasar bagi
lahirnya badan-badan usaha NV (PT), CV, Firma, dan lain-lainnya itu. Badan-badan usaha KUHD
ini dalam falsafah dasarnya bertentangan dengan cita-cita Pasal 33 UUD 1945 adalah berdasarkan
integralisme sesuai dengan paham Kedaulatan Rakyat Indonesia, Demokrasi Politik dan
Demokrasi Ekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, “ perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. “Perekonomian” di dalam ayat ini tentu saja bukan hanya
koperasi. Negara campur tangan aktif. “ Usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” berarti
integralisme dijadikan dasar bagi kegiatan usaha, yaitu “kepentingan masyarakat yang utama,
bukan kepentingan orang-seorang, meskipun harkat dan martabat orang-orang dijunjung tinggi”.
Untuk menuntaskan dualisme sistem ekonomi itu (Pasal 33 UUD 1945 vs KUHD) maka
tidak ada pilihan lain bagi penegasan konstitusi kita kembali mem-pasal 33-kan KUHD dan bukan
meng-KUHD-kan koperasi.
Kerjasama antara koperasi dan perusahaan saat ini menjadi salah satu bentuk kegiatan.
Salah satu terobosan adalah masalah pemilikan sahamperusahaan oleh koperasi. Dimensi dari
padanya meliputi tidak saja koperasi karyawan perusahaan yang bersangkutan , tetapi juga
koperasi-koperasi lain yang mempunyai kaitang produksi, kaitan distribusi dan kaitan teori.
Dengan keterkaitan dan relevansinya itulah kerjasama dirintis. Kepemilikan saham oleh koperasi
merupakan suatu kesempatan. Anggota-anggota koperasi melalui rapat anggotanya menentukan
sendiri, apakah mereka membeli saham perusahaan atau memilih alternatif lain yang dipandang
paling besar memberikan manfaat bagi anggota-anggotanya. Karena itu pula proses pemilikan
saham perusahaan itu bertahap, sesuai dengan kondisi koperasi dan kondisi perusahaan serta
kemampuannya. Kepamilikan saham perusahaan oleh koperasi bukanlah ancaman bagi
perusahaan tetapi adalah suatu tawaran partnership.
Dalam pemilikan saham perusahaan oleh koperasi, banyak hal yang harus diperhatikan,
baik bagi koperasi maupun bagi perusahaan yang bersangkutan.
Penyisihan laba BUMN 1%-5% bagi pembinaan koperasi (SK Menteri Keuangan No.
1232/1989) merupakan sikap dan tawaran kerjasama terhadap koperasi. Namun sesungguhnya
penyisihan laba bukanlah caritas. Perusahaan negara adalah milik seluruh rakyat, kemudian
perusahaan negara tidak terlepas dari bantuan pemerintah dan dukungan masyarakat. Dana dari
penyisihan laba itu pada hakikatnya adalah milik nasional, karena itu perlu dikelola secara sebaik-
baiknya dan pula tidak untuk diboroskan. Dekopin mengimbau dana itu di “pool” agar
penggunaannya dapat lebih strategis, efisien dan terkoordinasi dalam suatu lembaga pendanaan
khusus atau konsortium lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank.
Dalam rangka kerjasama antar pelaku dan kelompok ekonomi, perlu diingat bahwa
pemerintah telah menetapkan beberapa produk andalan, terutama dalam kaitannyadengan
penggalakkan ekspor non-migas. Dari situ pulalah koperasi perlu menyiapkan jaringan
keterkaitannya dengan pihak swasta mapun BUMN.
Yang selalu harus menjadi pedoman adalah bahwa setiap langkah dan upaya pembangunan
harus secara langsung melibatkan rakyat. Rakyat merupakan bagian todak terpisahkan dari setiap
upaya pembangunan. Untuk rakyat miskin, sistem kredit tanpa agunan sebenarnya merupakan hak
politik rakyat, sesuai dengan paham Demokrasi Ekonomi. Tetapi Pasal 24 UU No. 14/1967 (UU
Perbankan) menghambat demokratisasi tersebut. Sistem penjaminan atau asuransi kredit tanpa
agunan dijasikan suatu pola kerjasama kontraktual antara perusahaan swasta, BUMN dengan
koperasi, kedua belah pihak saling berkepentingan dan saling memberikan keuntungan. Kerjasama
itu dapat pula dalam bentuk joint venture, joint-operation, sub-contacting maupun franchising.
Demokrasi Politik Indonesia tidakmenghendaki konsentrasi kekuasaan. Demokrasi
Ekonomi Indonesia pun tidak menghendaki konsentrasi kekuatan ekonomi. Tanpa Demokrasi
Politik, kekuasaan akan tak terbatas dan membentuk diri sendiri menjadi otokratis politik.
Demikian pula, tanpa Demokrasi Ekonomi akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi dan
terjadilah otokrasi ekonomi (menang-menangan ekonomi, monopoli) yang tidak demokratis.
Paham demokrasi Indonesia tidak menghendaki konglomerat politik maupun konglomerat
ekonomi. “Besar bahkan besar sekali bukan selalu berarti konglomerat, selama tidak menampilkan
otokrasi ekonomi, selama tidak menang-menangan, melakukan monopoli ataupun penguasaan.
Ada beda antara “besar” dan konglomerat dalam pengertian umum Indonesia. Tidak bisa diingkari,
sesuai dengan opini publik saat ini, bahkan sampai kepada pendengaran orang awam pun,
konglomerat mempunyai konotasi negatif, lebih tergambar sebagai “oktopus” daripada sebagai
“gajah”.
UUD 1945 tidak anti besar, ia hanya anti besar yang melakukan otokrasi ekonomi, yang
melakukan pemusatan dan penguasaan aset ekonomi, monopoli, serta mengabaikan kepentingan
publik, khususnya kepentingan rakyat banyak. Besar yang ditilik dan dimiliki oleh orang
banyakdibenarkan oleh UUD kita.besar dapat terdiri dari kecil-kecil yang banyak dan membentuk
suatu kekuatan besar dan kemudian mampu menghadapi tantangan perekonomian modern.

4.2 Kondisi Dunia Usaha di Indonesia


Selain sektor negara, ada 3 pelaku ekonomi yang berkiprah di Indonesia, yaitu Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), swasta dan koperasi. Dari ke 3 pelaku ekonomi ini BUMN
merupakan “aktor” yang paling banyak memiliki kekayaan, ia menguasai 68,2 persen seluruh
kekayaan yang tersedia, dengan menggenggam kekayaan sebesar Rp. 131 Triliun. Sementara
peringkat terkaya kedua diduduki oleh swastayang memiliki kekayaan sekitar Rp 60 triliun (31,2
persen), dan koperasi sebagai “juru kunci” di peringkat ketiga, mempunyai kekayaan sebesar Rp
1 triliun atau memegang (0.5 persen) pangsa aset. (ES. Prasongko, 1990).
Dibandingkan dengan BUMN dan koperasi, swasta memang menjadi aktor yang paling
sukses dan gilang-gemilang dalam “menguangkan peluang”, sehingga tidak ayal lagi ia mampu
tumbuh berkembang dengan sangat cepat. Melihat perkembangan semacam ini, bukan tidak
mungkin jika swasta akan mendepak BUMN melotor ke peringkat kedua, dan menggantikan posisi
BUMN di peringkat pertama. Maka tidak keliru jika pemerintah mengharapkan dunia usaha,
khususnya swasta, untuk menggantikan peran pemerintah menjadi “pemain utama” dengan
memegang mayoritas investasi.
“skenario” pergeseran peringkat antara swasta dan BUMN ini sesuai dengan jiwa dan
semangat yang melandasi berbagai paket deregulasi dan debirokratis yang digelar pemerintah,
yaitu membuka kesempatan dan peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat/swasta.
Akumulasi kekayaan dan kekuatan ekonomi pada beberapa gelintir badan usaha membuat
masyarakat merasa kecil tanpa daya menghadapi pemilik kekuatan ekonomi yang dapat mendikte
pasar dengan menggunakan power mereka yang sangat besar, apalagi jika ditambah dengan “kartu
truf” berupa posisi monopolistis. Kita sepakat untuk tidak akan menyerahkan begitu saja nasib
perekonomian Indonesia pada kekuatan mekanisme pasar bebas yang telanjang, sebab bisa
menjerumuskan pada. (meminjamkan istilah Christian Wibisono), kapitalisme primitif abad XIX
yang tidak manusiawi, serta penuh penghisapan dan penindasan. Untuk itu, diperlukan adanya
intervensi, regulasi dan kendali yang menyeimbangkan 2 kekuatan yang tidak setara itu.
Sebaliknya, intervensi, regulasi dan kendali yang dilakukan justru tidak memasungkan
kreativitas dan inisiatif dunia. Setiap keputusan yang diambil harus senantisasa bijaksana dan
bersifat akomodatif dengan didasarkan pada pertimbangan yang rasional, adil dan seimbang sesuai
dengan kondisi objektif yang melekat pada masing-masing pelaku ekonomi.
Dalam Demokrasi Ekonomi yang positif harus dihindarkan ciri negatif free fight
liberalism, etatisme dan pemusatan kekuatan ekonomi. Maka, sangatlah tidak fair membiarkan
perusahaan berskala menengah/kecil “bertanding” secara bebas menghadapi perusahaan berskala
gajah, karena pihak yang kuatlah yang akan menjadi pemenang, sementara pihak yang lemah/kecil
tertinggal di jalan.
Guna lebih memacu dan mendorong peranan pengusaha kecil/menengah dan koperasi
diperlukan serangkaian langkah kebijakan yang memungkinkan bagi terwujudnya keinginan
tersebut. Kebijakan proteksi ada kalanya perlu diterapkan, asal kebijakan ini memberikan hasil
guna yang lebih bermanfaat bagi para pelaku ekonomi secara luas, mengingat kondisi objektif
mereka yang berbeda, baik dilihat dari kekayaan, kekuatan maupun kemampuannya. Proteksi
sejauh tidak untuk kepentingan ekonomi subjektif beberapa gelintir orang dinilai tetap memiliki
visi luhur.
Upaya pemerataan kesempatan berusaha memerlukan iklim yang mendorong bagi
tumbuhnya keterkaitan usaha atau kerjasama antara usaha besar, menengah, kecil dan koperasi.
Keterkaitan dan kerjasama ini didasarkan pada pertimbangan untuk memperoleh keuntungan
secara timbal balik, bukan hubungan kerja inferior-superior. Kerjasama kemitraan yang sejajar ini
akan mendorong tingkat efisiensi yang lebih baik, karena bisa menghilangkan biaya/investasi yang
tidak perlu. Perlu diingat bahwa ketiga pelaku ekonomi tersebut merupakan sub-sistem yang saling
terikat, sehingga harus dihindarkan munculnya semacam trade off (saling meniadakan) antara
elemen-elemen yang ada pada tiap sub-sistem.

4.3 Faktor Keberhasilan Usaha Koperasi


Pihak swasta termasuk para konglomerat, kurang tertarik dengan langkah-langkah rintisan
karena risikonya yang sangat besar. Mereka lebih tertarik dengan mengimpor industri-industri
poputan atas kerjasama dengan perusahaan multinasional yang sasarannya adalah keuntungan
yang sebesar-besarnya.
“Kekonglomeratan” mereka berkembang antara lain disebabkan oleh kondisi ini.
Sementara itu, alih teknologi biasanya hanya merupakan latihan mengoperasikan instrumen-
instrumen industri tersebut. Kegiatan riset dan pengembangannya dilakukan di negara asal.
Hingga, sampai kapanpun kita selalu berada di belakang. Berdasarkan poko-poko pikiran tersebut,
akan dikemukakan tiga catatan yang perlu mendapat perhatian.
1. Kontrol terhadap BUMN. Mengingat BUMN adalah usaha milik rakyat yang dijalankan
oleh pemerintah, wajar jika rakyat memiliki hak kontrol terhadap suatu BUMN. Hal ini
menjadi makin mendesak untuk dipertegas kembali, mengingat besarnya investasi (uang
rakyat) yang dikelola oleh BUMN-BUMN yang terkait dengan riset dan industri teknologi
canggih. Sekali lagi harus selalu diingat nasib bangsalah yang dipertaruhkan di sana. Harus
diakui tidak semua oerang memilih visi yang tepat ke masa depan. Orang-oran ini, dengan
penuh kepercayaan dan optimis akan melangkah terus sesuai visi dan keyakinannya. Namun,
kontrol dan koreksi dari luar adalah juga hal yang mutlak perlu, karena siapapun dia, pasti
dapat khilaf dankekhilafannya dapat mengorbankan bangsa ini seluruhnya.
2. Kontribusi konglomerat. Mengingat keuntungan yang telah diraup selama PJPT I, para
konglomerat telah dihimbau agar turut memperhatikan dan mendukung usaha untuk
memperkecil kesenjangan yang timbul.
3. Menjaga BUMN sebagai aset milik rakyat. Sampai saat ini baru sedikit BUMN yang terkait
dengan industri hi-tech yang sudah sampai pada taraf menghasilkan keuntungan.
Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum dasar Demokrasi Ekonomi, yaitu produk dikerjakan
oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan sesuai dengan
itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasarkan Demokrasi Ekonomi dan kemakmuran bagi segala orang
menuntut cabang-cabang produksi yang oenting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan ke tangan seorang-orang
yang berkuasa. Sedangkan rakyat banyak ditindasnya. Sebenarnya hanya perusahaan yang tidak
menguasai hajat hidup orang banyak boleh jatuh di tangan orang-seorang.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ada tiga faktor strategis dan penting yang berakumulasi dan menentukan berhasilnya dunia
usaha, yaitu political will, skill technical know how dan management, sedangkan yang ketiga
adalah kapitalisasi. Super swasta nasional di Indonesia lahir, antara lain karena kebijakan
pemerintah, langsung atau tidak, membuka peluang bahkan menyingkirkan atau memperkecil
berbagai kendala berusaha secara sehat, misalnya melalui paket-paket debirokratisasi dan
deregulasi. Ia memiliki semuanya : political will dari pemerintah skill technical know how,
manajemen dan kapitalisasi.
Dari ketiga faktor yang mendorong keberhasilan diatas, koperasi baru memperoleh sedikit
fasilitas. Bahkan bisa dikatakan belum memperoleh fasilitas seperti swasta-swasta besar kita;
meskipun jumlah koperasi sudah cukup banyak perannya pun cukup tampak ada.
Sebenarnya koperasi dapat besar jika memperoleh political will yang sama dengan usaha
swasta non koperasi. Melihat suksesnya perusahaan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera
yang dirintis Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912 yang terus berkembang
hingga sekarang, maka sebenarnya tak ada alasan untuk pesimistis terhadap usaha koperasi. Hal
ini tidak hanya digariskan secara konstitusional, melainkan juga terbukti dalam praktek bisnis.
Komitmen sejarah kita adalah perekonomian bagi kesejahteraan rakyat, dengan koperasi
sebagai soko guru. Ini satu-satunya jalan pintas yang sulit untuk semua pihak, karena harus berbagi
hak hidup dengan koperasi yang umumnya lemah, penuh kesulitan paling tidak sampai dewasa ini.
Perkembangan ekonomi tanpa merujuk pada kesejahteraan rakyat, tanpa kesungguhan untuk
mempercayai dan memperjuangkan kemajuan koperasi, hanya akan mengkristalkan kesenjangan
sosial dan politik yang tentunya tidak kita harapkan.
Perjalanan sejarah yang telah membesarkan konglomerat-konglomerat harus diimbangi
dengan berbagai upaya membesarkan dan menguatkan koperasi yang berorientasi pada
kepentingan rakyat kecil. Demokrasi Ekonomi adalah restrukturisasi sosial ekonomi. Polarisasi
ekonomi cepat atau lambat akan membentuk polarisasi sosial. Kesenjangan ekonomi menjadi salah
satu tantangan besar bagi kita yang akan dapat merupakan ancaman terhadap solidaritas dan
stabilitas nasional apabila akhirnya pembentukan kesenjangan sosial, lapisan dan golongan-
golongan ekslusif dalam masyarakat. Di dalam masyarakat kita feodalisme maupun neo-
feodalisme masih hidup tegar. Budaya kita mengalami strata sosial budaya feodalistik. Sistem
hukum kolonial yang membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi tiga golongan, sisa-sisa dan
dampak sosial budayanya masih ada dalam alam pikiran sebagian masyarakat kita. Sistem budaya
dan struktur sosial serta sisa dan dampak sistem hukum kolonial semacam ini, dengan mudah akan
memacu polarisasi ekonomi menjadi polarisasi sosial. Gejala ini maikn tampak.
Telah lama orang mengira, berdasarkan “elite bias”, bahwa perusahaan-perusahaan besar
formal modern berperan membantu usaha-uaha informal tradisional. Sebenarnya tidak demikian,
yang sering terjadi adalah sebaliknya.
“Elite bias” yang sempat merugikan kepentingan masyarakat antara lain yang
membetulkan dirinya melalui pola produksi. Sebagai contoh air minum mineral yang harga
ecerannya lebih mahal dari harga bensin, diwajarkan. Suatu struktur harga yang tidak rasional
semacam ini tertutup oleh cita rasa elitis, yang mungkin trasa menjadi kurang etis terhadap bensin
itu sendiri yang menyandang peranan sebagai barang strategis dalam jajaran kepentingan nasional.
Sistem ekonomi yang berlaku memang lebih menempatkan laba (profit) sebagai motif
ekonomi yang utama, sering kurang memperhatikan biaya sosial (social cost) dan kurang
menempatkan keuntungan sosial (social benefit) sebagai dorongan penting dlam perekonomian
seperti apa yang dikehendaki oleh Bab XIV UUD 1945 (Bab Kesejahteraan Sosial) dimana Pasal
33 UUD 1945 bernaung.
Peranan sektor informal bukanlah sekadar merupakan “klep pengaman” untuk menampung
tenaga kerja yang tidak tertampung atau terbuang oleh sektor formal. Peranan sektor informal lebih
substansif dari itu. Perusahaan-perusahaan modern yang besar dapat maju berkembang tida
ksedikit disebabkan oleh buruh murah, dengan upahnya yang rendah. Buruh yang murah, tanpa
memperhatikan martabatnya (kekhilafan kultural) dipamer-pamerkan sebagai comparative
advantage bagi Indonesia. Mengapa buruh Indonesia dapat menerima upah rendah, mengapa bisa
terjadi bahwa 14.000 dari 24.000 perusahaan formal dapat meberi upah di bawah KHM (sesuai
dengan keterangan Ketua Umum SPSI) ? hal ini bida terjadi karena sektor informal mampu
menyediakan kehidupan murah bai buruh-buruh berpenghasilan kecil itu. Tanpa sektor informal,
keadaan itu tidak akan bisa dipertahankan. Dengan kata lain, sektor informal telah berperan
mendukung sektor formal. Sektor informal memberi subsidi kepada sektor formal dengan
memberikan comparative advantage-nya (mampu menyediakan kehidupan murah bagi
perekonomian formal). (Sri Edi Swasono, 1990).
Pembangunan nasional di zaman Orde Baru telah menghasilkan berbagai kemampuan dan
prestasi nasional secara substansial yang dipacu oleh serentetan pengalaman membangun pada
setiap tahapnya, dan Pelita berikutnya. Dalam proses pembangunan itu, yang lebih berkemampuan
bertambah maju, yang kuat main menjadi kuat, yang lemah lamban mau, meskipun kemajuan
setapak yang dicapainya mampu mengurangi jumlah kelompok miskin. Kelompok tertinggal ini
sarat dengan berbagai kelemahan, terkurung oleh kondisi struktural.
Sejak awal pembangunan nasional, upaya pemerataan, upaya mengurangi proses
perkembangan kesenjangan, telah selalu diperhatikan. Hanya saja dasar-dasar kultural bagi
terwujudnya pemerataan itu tidak secara kokoh diletakkan. Sistem preferensi berupa subsidi dan
proteksi selalu ada. Namun paket-paket ‘strategi” pembangunan yang dipilih ataupun sikap budaya
birokrasi yang berlaku menempatkan sistem preferensi yang ada itu justru sering jatuh di luar
kelompok sasaran, akhirnya diterima oleh sekelompok yang kuat. Hal ini menumbuhkan suatu
persepsi bahwa pemerataan hanyalah sekedar sebagai upaya korektif-akodomatif, bukian
subtantif. Terkadang bahakan tampak sebagai upaya masginal, ibarat kosmetik, penuh mediocrity.
Dalam sistem ekonomi yang masih dualistis ini, dimana Demokrasi Ekonomi sebagai cita-
cita masih harus berhadapan dengan sistem ekonomi peninggalan kolonial (KUHD), kadar
kesenjangan ternyata makin mendalam, dimensinya bahkan menjangkau aspek-aspek yang lebih
luas. Masyarakat pun menerima istilah “golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah”.
Kenyataan yang tidak menarik ini tanpa disadari makin memperoleh keabsahan dalam persepsi
budaya kita dengan lahirnya istilah “bapak angkat” dan “anak angkat”. Proses ini sebenarnya
makin menjadi lebih intens lagi ketika akhir-akhir ini pemerintah mulai pula berlabel caritas dan
kesenjangan sosial ekonomi dikaitkan dengan istilah “kecemburuan sosial”. Kekeliruan
pandangan yang menyesatkan ini terjadi karena ketidakmampuan kultural untuk memahami
demokrasi ekonomi dari segi hak rakyat.
Tanpa disadarinya akan hak-hak rakyat sesuai dengan paham kedaulatan rakyat, maka
rakyat yang sebagian besar masih lemah ini akan menjadi “objek” pembangunan. Dibalik
pembangunan itu sering tersimpul kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan tertentu. Upaya
pembangunan haruslah langsung melibatkan rakyat dan keikutsertaan rakyat, karena rakyat itulah
yang kita bangun. Pembangunan itu menjadi eksklusif. Rakyat yang menjadi penonton,
memisahkan diri dari proses pembangunan, disosiatif, anti partisipasi bahkan mungkin
memusuhinya. Pembangunan akhirnya akan dikucilkan oleh rakyat.
Konsensus kita bahwa “Bumi dan air dan kekakayaan alam yang terkandung didalamnya
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, sebagai hak politik rakyat, banyak
terkalahkan oleh hak hukum baru yang dimiliki oleh orang seorang yang kuat. Dari sini terjadi
redistribusi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi yang merugikan rakyat kecil. Adanya hak
hukum baru tidak selalu keliru, karena hak hukum baru berfungsi pula sebagai agent of
modernization yang efektif. Hak hukum baru haruslah positif dan dinamis, yang muncul bukan
sebagai suatu proses zero-sum, atau membahayakan trade-off yang merugikan orang kecil. Hak
hukum baru harus sesuai dengan cita-cita keadilan sosial.
Koperasi sering dinilai negatif, dituduh lamban tumbuh tidak efisien, tidak profesional,
makan subsidi dan sebagainya. Bagi sebagian koperasi, hal ini benar dan merupakan fakta. Tetapi
bukan hanya masalah kurang diterapkannya suatu kebijaksanaan sebagai salah satu sebab
musababnya, tetapi lebih penting dari itu adalah kemampuan mengenal, yang lemah, rakyat yang
masih belum terdidik cukup, rakyat yang masih terbelakang secara sosial kultural maupun sosial
ekonomi. Rakyat itulah yang menjadi masalah sentralnya. Rakyat yang sedemikian inilah yang
harus kita bangun. Kelemahan dan keterbelakangan rakyat itulah yang menjadi sebab musabab
lambannya perkembangan koperasi. Karena itu UUD 1945 melalui pemerintah ”turun tangan”
untuk membangun rakyat.
Kondisi PT dan BUMN tidaklah demikian, karena itu bukan tempatnya untuk
membandingkannya. Pada sektor swasta dan BUMN berkecimpung manusia-manusia dengan
kadar kemampuan yang berbeda. dalam swasta dan BUMN tidak dikenal kelemahan-kelemahan
mengenai rakyat seperti dikemukakan di atas.

Anda mungkin juga menyukai