Ada 3 pilar dalam pembangunan yang disebut sebagai trilogi pembangunanyaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, pertumbuhan ekonomi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga pilar tersebut mengikat keseluruhan pelaku ekonomi yang ada. Baik koperasi, swasta maupun BUMN ketiganya berkewajiban melaksanakan tugas-tugas trilogi itu. Adalah keliru jika memandang kemampuan koperasi hanyalah untuk menampilkan pemertaan. Dalam teori maupun kenyataan, koperasi mampu memperkenalkan kesadaran berekonomi, mampu menggerakkan sumber-sumber ekonomi (termasuk sumber daya manusia) yang masih belum atau kurang dimanfaatkan manjadi suatu kekuatan produktif yang menumbuhkan nilai tambah. Koperasi sebagai gerakan ekonomi partisipatif menyatupadukan potensi-potensi kecil yang terpisah-pisah menjadi kekuatan bersama yang lebih besar, menciptakan sinergi. Justru karena koperasi merupakan gabungan kekuatan-kekuatan kecil , pada tahap perkembangan tertentu masih akan terlalu kecil kemampuannya untuk melaksanakan tugas pemerataan ekonomi yang teramat besar yang ada di luar dirinya, apalagi dalam kadar kesenjangan ekonomi skala nasional yang cukup parah. Karena merupakan bangun usaha partisipasif dan semangat kerjasama, maka peranan koperasi sesuai dengan tugas-tugas yang menyangkut stabilitas sosial. (Sri Edi Swasono, 1990). Dipihak lain dalam kenyataannya, usaha-usaha swasta memang telah membuktikan perannya dalam mendorong dan menghasilkan ekonomi, meskipun dalam periode resesi ia juga paling besar peranannya dalam menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi; bahkan terkadang membawa stagnasi dan depresi. Swasta dapat pula mengemban tugas pemerataan dengan memperluas lapangan kerja, melakukan pilihan teknologi oyang tepat guna dan padat karya, memperluas keterkaitan kegiatan usaha dan menumbuhkan sinergi,membayar pajak progresif dan dengan kemampuan pertumbuhannya dapat lebih mampu membiayai proses demokratisasi. Meskipun menurut paham Demokrasi Ekonomi kita sebenarnya yang menyangkut hidup orang banyak tidak boleh berada ditangan swasta, tetapi dalam kenyataan ketentuan itu tidak tidak terlalu dipatuhi, shingga swasta justru menjadi peka (prone) terhadap tugas-tugas menjaga stabilitas. Bagi BUMN yang harus menyelenggarakan tugas-tugas menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, jelas peranannya sangat menonjol. BUMN telah dapat membuktikan peranannya di waktu lalu (maupun hingga saat ini) sebagai agent of development. Sebagai leading and commanding sector, dikatakan “Benteng Group” bagi swasta juga pernah lamban tumbuh. Tidak ada swastabesar, karena sesungguhnya perusahaan BUMN (seperti bank-bank milik negara) juga berperan terhadap pertumbuhan swasta. Jadi disamping menjaga stabilitas (karena peran konstitusinya) BUMN telah berperan dalam pertumbuhan, baik pertumbuhan bagi dirinya sendiri maupun dalam menumbuhkan usaha swasta. Tidak sulit pula untuk menciptakan peranan dan membenahi tugas pemerataan bagi BUMN terutama BUMN perbankan. Kerjasama antara koperasi, swasta dan BUMN dimungkinkan hanya apabila masing- masing mempunyai “penyebut” yang sama pula, meskipun pembilangnya berbeda. Untuk Indonesia ketiga pelaku ekonomi itu imperatif sama-sama terikat pada Pasal 33 UUD 1945, terikat oleh paham Demokrasi Ekonomi Indonesia, terikat oleh GBHN. Selama salah satu dari pelaku ekonomi itu tidak merasa mempunyai misi yang sama, ibaratnya menjumlahkan pecahan dengan penyebut yang tidak sama. Dengan demikian makin jelaslah pula bahwa tidak ada pengkotak- kotakan misi makro bagi masing-masing pelaku ekonomi, yang ada hanyalah sekadar pambagian kerja. Penegasan Pasal 33 UUD 1945 :”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak”, merupakan bagian untuk perusahaan negara; hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-orang, merupakan porsi bagi swasta. Bangun perusahaan yang sesuai dengan Demokrasi Ekonomi adalah koperasi, yang merupakan kesokoguruan bagi perekonomian Indonesia. “Dikuasai oleh negara” bagai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 (Ayat2) UUD 1945 tidak berarti harus “dimiliki oleh negara”. Namun maksud utama atau masalah pokok dalam kalimat itu (subject matter) adalah “dikuasai”. Apabila tanpa dimiliki tidak bisa dikuasai, maka penguasaan itu harus disertai dengan pemilikan. Dalam sistem hukum yang berlaku (meskipun sisa hukum kolonial), pemilikan menentukan penguasaan. Dengan pemilikan pun, jika tidak cukup banyak, pemerintah sering menghadapi ketidakefektifan penguasaan. Selain itu, bunyi ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 yang demikian tidak harus diartikan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak lalu tertutup untuk perusahaan swasta. Upaya menyamakan misi seperti dikemukakan di atas memang menghadapi kendala hukum. Di samping ketetapan konstitusi kita (Pasal 33 UUD 1945), masih berlaku landasan hukum kolonial. Aturan Peralihan UUD 1945 (Pasal 11) menegaskan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar ini.” Dengan demikian masih berlaku pulalah peraturan hukum kolonial termasuk Wetboek van Koophandel (KUHD) produk kolonial, yang di Indonesia menjadi dasar bagi lahirnya badan-badan usaha NV (PT), CV, Firma, dan lain-lainnya itu. Badan-badan usaha KUHD ini dalam falsafah dasarnya bertentangan dengan cita-cita Pasal 33 UUD 1945 adalah berdasarkan integralisme sesuai dengan paham Kedaulatan Rakyat Indonesia, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, “ perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. “Perekonomian” di dalam ayat ini tentu saja bukan hanya koperasi. Negara campur tangan aktif. “ Usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” berarti integralisme dijadikan dasar bagi kegiatan usaha, yaitu “kepentingan masyarakat yang utama, bukan kepentingan orang-seorang, meskipun harkat dan martabat orang-orang dijunjung tinggi”. Untuk menuntaskan dualisme sistem ekonomi itu (Pasal 33 UUD 1945 vs KUHD) maka tidak ada pilihan lain bagi penegasan konstitusi kita kembali mem-pasal 33-kan KUHD dan bukan meng-KUHD-kan koperasi. Kerjasama antara koperasi dan perusahaan saat ini menjadi salah satu bentuk kegiatan. Salah satu terobosan adalah masalah pemilikan sahamperusahaan oleh koperasi. Dimensi dari padanya meliputi tidak saja koperasi karyawan perusahaan yang bersangkutan , tetapi juga koperasi-koperasi lain yang mempunyai kaitang produksi, kaitan distribusi dan kaitan teori. Dengan keterkaitan dan relevansinya itulah kerjasama dirintis. Kepemilikan saham oleh koperasi merupakan suatu kesempatan. Anggota-anggota koperasi melalui rapat anggotanya menentukan sendiri, apakah mereka membeli saham perusahaan atau memilih alternatif lain yang dipandang paling besar memberikan manfaat bagi anggota-anggotanya. Karena itu pula proses pemilikan saham perusahaan itu bertahap, sesuai dengan kondisi koperasi dan kondisi perusahaan serta kemampuannya. Kepamilikan saham perusahaan oleh koperasi bukanlah ancaman bagi perusahaan tetapi adalah suatu tawaran partnership. Dalam pemilikan saham perusahaan oleh koperasi, banyak hal yang harus diperhatikan, baik bagi koperasi maupun bagi perusahaan yang bersangkutan. Penyisihan laba BUMN 1%-5% bagi pembinaan koperasi (SK Menteri Keuangan No. 1232/1989) merupakan sikap dan tawaran kerjasama terhadap koperasi. Namun sesungguhnya penyisihan laba bukanlah caritas. Perusahaan negara adalah milik seluruh rakyat, kemudian perusahaan negara tidak terlepas dari bantuan pemerintah dan dukungan masyarakat. Dana dari penyisihan laba itu pada hakikatnya adalah milik nasional, karena itu perlu dikelola secara sebaik- baiknya dan pula tidak untuk diboroskan. Dekopin mengimbau dana itu di “pool” agar penggunaannya dapat lebih strategis, efisien dan terkoordinasi dalam suatu lembaga pendanaan khusus atau konsortium lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Dalam rangka kerjasama antar pelaku dan kelompok ekonomi, perlu diingat bahwa pemerintah telah menetapkan beberapa produk andalan, terutama dalam kaitannyadengan penggalakkan ekspor non-migas. Dari situ pulalah koperasi perlu menyiapkan jaringan keterkaitannya dengan pihak swasta mapun BUMN. Yang selalu harus menjadi pedoman adalah bahwa setiap langkah dan upaya pembangunan harus secara langsung melibatkan rakyat. Rakyat merupakan bagian todak terpisahkan dari setiap upaya pembangunan. Untuk rakyat miskin, sistem kredit tanpa agunan sebenarnya merupakan hak politik rakyat, sesuai dengan paham Demokrasi Ekonomi. Tetapi Pasal 24 UU No. 14/1967 (UU Perbankan) menghambat demokratisasi tersebut. Sistem penjaminan atau asuransi kredit tanpa agunan dijasikan suatu pola kerjasama kontraktual antara perusahaan swasta, BUMN dengan koperasi, kedua belah pihak saling berkepentingan dan saling memberikan keuntungan. Kerjasama itu dapat pula dalam bentuk joint venture, joint-operation, sub-contacting maupun franchising. Demokrasi Politik Indonesia tidakmenghendaki konsentrasi kekuasaan. Demokrasi Ekonomi Indonesia pun tidak menghendaki konsentrasi kekuatan ekonomi. Tanpa Demokrasi Politik, kekuasaan akan tak terbatas dan membentuk diri sendiri menjadi otokratis politik. Demikian pula, tanpa Demokrasi Ekonomi akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi dan terjadilah otokrasi ekonomi (menang-menangan ekonomi, monopoli) yang tidak demokratis. Paham demokrasi Indonesia tidak menghendaki konglomerat politik maupun konglomerat ekonomi. “Besar bahkan besar sekali bukan selalu berarti konglomerat, selama tidak menampilkan otokrasi ekonomi, selama tidak menang-menangan, melakukan monopoli ataupun penguasaan. Ada beda antara “besar” dan konglomerat dalam pengertian umum Indonesia. Tidak bisa diingkari, sesuai dengan opini publik saat ini, bahkan sampai kepada pendengaran orang awam pun, konglomerat mempunyai konotasi negatif, lebih tergambar sebagai “oktopus” daripada sebagai “gajah”. UUD 1945 tidak anti besar, ia hanya anti besar yang melakukan otokrasi ekonomi, yang melakukan pemusatan dan penguasaan aset ekonomi, monopoli, serta mengabaikan kepentingan publik, khususnya kepentingan rakyat banyak. Besar yang ditilik dan dimiliki oleh orang banyakdibenarkan oleh UUD kita.besar dapat terdiri dari kecil-kecil yang banyak dan membentuk suatu kekuatan besar dan kemudian mampu menghadapi tantangan perekonomian modern.
4.2 Kondisi Dunia Usaha di Indonesia
Selain sektor negara, ada 3 pelaku ekonomi yang berkiprah di Indonesia, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta dan koperasi. Dari ke 3 pelaku ekonomi ini BUMN merupakan “aktor” yang paling banyak memiliki kekayaan, ia menguasai 68,2 persen seluruh kekayaan yang tersedia, dengan menggenggam kekayaan sebesar Rp. 131 Triliun. Sementara peringkat terkaya kedua diduduki oleh swastayang memiliki kekayaan sekitar Rp 60 triliun (31,2 persen), dan koperasi sebagai “juru kunci” di peringkat ketiga, mempunyai kekayaan sebesar Rp 1 triliun atau memegang (0.5 persen) pangsa aset. (ES. Prasongko, 1990). Dibandingkan dengan BUMN dan koperasi, swasta memang menjadi aktor yang paling sukses dan gilang-gemilang dalam “menguangkan peluang”, sehingga tidak ayal lagi ia mampu tumbuh berkembang dengan sangat cepat. Melihat perkembangan semacam ini, bukan tidak mungkin jika swasta akan mendepak BUMN melotor ke peringkat kedua, dan menggantikan posisi BUMN di peringkat pertama. Maka tidak keliru jika pemerintah mengharapkan dunia usaha, khususnya swasta, untuk menggantikan peran pemerintah menjadi “pemain utama” dengan memegang mayoritas investasi. “skenario” pergeseran peringkat antara swasta dan BUMN ini sesuai dengan jiwa dan semangat yang melandasi berbagai paket deregulasi dan debirokratis yang digelar pemerintah, yaitu membuka kesempatan dan peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat/swasta. Akumulasi kekayaan dan kekuatan ekonomi pada beberapa gelintir badan usaha membuat masyarakat merasa kecil tanpa daya menghadapi pemilik kekuatan ekonomi yang dapat mendikte pasar dengan menggunakan power mereka yang sangat besar, apalagi jika ditambah dengan “kartu truf” berupa posisi monopolistis. Kita sepakat untuk tidak akan menyerahkan begitu saja nasib perekonomian Indonesia pada kekuatan mekanisme pasar bebas yang telanjang, sebab bisa menjerumuskan pada. (meminjamkan istilah Christian Wibisono), kapitalisme primitif abad XIX yang tidak manusiawi, serta penuh penghisapan dan penindasan. Untuk itu, diperlukan adanya intervensi, regulasi dan kendali yang menyeimbangkan 2 kekuatan yang tidak setara itu. Sebaliknya, intervensi, regulasi dan kendali yang dilakukan justru tidak memasungkan kreativitas dan inisiatif dunia. Setiap keputusan yang diambil harus senantisasa bijaksana dan bersifat akomodatif dengan didasarkan pada pertimbangan yang rasional, adil dan seimbang sesuai dengan kondisi objektif yang melekat pada masing-masing pelaku ekonomi. Dalam Demokrasi Ekonomi yang positif harus dihindarkan ciri negatif free fight liberalism, etatisme dan pemusatan kekuatan ekonomi. Maka, sangatlah tidak fair membiarkan perusahaan berskala menengah/kecil “bertanding” secara bebas menghadapi perusahaan berskala gajah, karena pihak yang kuatlah yang akan menjadi pemenang, sementara pihak yang lemah/kecil tertinggal di jalan. Guna lebih memacu dan mendorong peranan pengusaha kecil/menengah dan koperasi diperlukan serangkaian langkah kebijakan yang memungkinkan bagi terwujudnya keinginan tersebut. Kebijakan proteksi ada kalanya perlu diterapkan, asal kebijakan ini memberikan hasil guna yang lebih bermanfaat bagi para pelaku ekonomi secara luas, mengingat kondisi objektif mereka yang berbeda, baik dilihat dari kekayaan, kekuatan maupun kemampuannya. Proteksi sejauh tidak untuk kepentingan ekonomi subjektif beberapa gelintir orang dinilai tetap memiliki visi luhur. Upaya pemerataan kesempatan berusaha memerlukan iklim yang mendorong bagi tumbuhnya keterkaitan usaha atau kerjasama antara usaha besar, menengah, kecil dan koperasi. Keterkaitan dan kerjasama ini didasarkan pada pertimbangan untuk memperoleh keuntungan secara timbal balik, bukan hubungan kerja inferior-superior. Kerjasama kemitraan yang sejajar ini akan mendorong tingkat efisiensi yang lebih baik, karena bisa menghilangkan biaya/investasi yang tidak perlu. Perlu diingat bahwa ketiga pelaku ekonomi tersebut merupakan sub-sistem yang saling terikat, sehingga harus dihindarkan munculnya semacam trade off (saling meniadakan) antara elemen-elemen yang ada pada tiap sub-sistem.
4.3 Faktor Keberhasilan Usaha Koperasi
Pihak swasta termasuk para konglomerat, kurang tertarik dengan langkah-langkah rintisan karena risikonya yang sangat besar. Mereka lebih tertarik dengan mengimpor industri-industri poputan atas kerjasama dengan perusahaan multinasional yang sasarannya adalah keuntungan yang sebesar-besarnya. “Kekonglomeratan” mereka berkembang antara lain disebabkan oleh kondisi ini. Sementara itu, alih teknologi biasanya hanya merupakan latihan mengoperasikan instrumen- instrumen industri tersebut. Kegiatan riset dan pengembangannya dilakukan di negara asal. Hingga, sampai kapanpun kita selalu berada di belakang. Berdasarkan poko-poko pikiran tersebut, akan dikemukakan tiga catatan yang perlu mendapat perhatian. 1. Kontrol terhadap BUMN. Mengingat BUMN adalah usaha milik rakyat yang dijalankan oleh pemerintah, wajar jika rakyat memiliki hak kontrol terhadap suatu BUMN. Hal ini menjadi makin mendesak untuk dipertegas kembali, mengingat besarnya investasi (uang rakyat) yang dikelola oleh BUMN-BUMN yang terkait dengan riset dan industri teknologi canggih. Sekali lagi harus selalu diingat nasib bangsalah yang dipertaruhkan di sana. Harus diakui tidak semua oerang memilih visi yang tepat ke masa depan. Orang-oran ini, dengan penuh kepercayaan dan optimis akan melangkah terus sesuai visi dan keyakinannya. Namun, kontrol dan koreksi dari luar adalah juga hal yang mutlak perlu, karena siapapun dia, pasti dapat khilaf dankekhilafannya dapat mengorbankan bangsa ini seluruhnya. 2. Kontribusi konglomerat. Mengingat keuntungan yang telah diraup selama PJPT I, para konglomerat telah dihimbau agar turut memperhatikan dan mendukung usaha untuk memperkecil kesenjangan yang timbul. 3. Menjaga BUMN sebagai aset milik rakyat. Sampai saat ini baru sedikit BUMN yang terkait dengan industri hi-tech yang sudah sampai pada taraf menghasilkan keuntungan. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum dasar Demokrasi Ekonomi, yaitu produk dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasarkan Demokrasi Ekonomi dan kemakmuran bagi segala orang menuntut cabang-cabang produksi yang oenting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan ke tangan seorang-orang yang berkuasa. Sedangkan rakyat banyak ditindasnya. Sebenarnya hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh jatuh di tangan orang-seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada tiga faktor strategis dan penting yang berakumulasi dan menentukan berhasilnya dunia usaha, yaitu political will, skill technical know how dan management, sedangkan yang ketiga adalah kapitalisasi. Super swasta nasional di Indonesia lahir, antara lain karena kebijakan pemerintah, langsung atau tidak, membuka peluang bahkan menyingkirkan atau memperkecil berbagai kendala berusaha secara sehat, misalnya melalui paket-paket debirokratisasi dan deregulasi. Ia memiliki semuanya : political will dari pemerintah skill technical know how, manajemen dan kapitalisasi. Dari ketiga faktor yang mendorong keberhasilan diatas, koperasi baru memperoleh sedikit fasilitas. Bahkan bisa dikatakan belum memperoleh fasilitas seperti swasta-swasta besar kita; meskipun jumlah koperasi sudah cukup banyak perannya pun cukup tampak ada. Sebenarnya koperasi dapat besar jika memperoleh political will yang sama dengan usaha swasta non koperasi. Melihat suksesnya perusahaan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera yang dirintis Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912 yang terus berkembang hingga sekarang, maka sebenarnya tak ada alasan untuk pesimistis terhadap usaha koperasi. Hal ini tidak hanya digariskan secara konstitusional, melainkan juga terbukti dalam praktek bisnis. Komitmen sejarah kita adalah perekonomian bagi kesejahteraan rakyat, dengan koperasi sebagai soko guru. Ini satu-satunya jalan pintas yang sulit untuk semua pihak, karena harus berbagi hak hidup dengan koperasi yang umumnya lemah, penuh kesulitan paling tidak sampai dewasa ini. Perkembangan ekonomi tanpa merujuk pada kesejahteraan rakyat, tanpa kesungguhan untuk mempercayai dan memperjuangkan kemajuan koperasi, hanya akan mengkristalkan kesenjangan sosial dan politik yang tentunya tidak kita harapkan. Perjalanan sejarah yang telah membesarkan konglomerat-konglomerat harus diimbangi dengan berbagai upaya membesarkan dan menguatkan koperasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil. Demokrasi Ekonomi adalah restrukturisasi sosial ekonomi. Polarisasi ekonomi cepat atau lambat akan membentuk polarisasi sosial. Kesenjangan ekonomi menjadi salah satu tantangan besar bagi kita yang akan dapat merupakan ancaman terhadap solidaritas dan stabilitas nasional apabila akhirnya pembentukan kesenjangan sosial, lapisan dan golongan- golongan ekslusif dalam masyarakat. Di dalam masyarakat kita feodalisme maupun neo- feodalisme masih hidup tegar. Budaya kita mengalami strata sosial budaya feodalistik. Sistem hukum kolonial yang membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi tiga golongan, sisa-sisa dan dampak sosial budayanya masih ada dalam alam pikiran sebagian masyarakat kita. Sistem budaya dan struktur sosial serta sisa dan dampak sistem hukum kolonial semacam ini, dengan mudah akan memacu polarisasi ekonomi menjadi polarisasi sosial. Gejala ini maikn tampak. Telah lama orang mengira, berdasarkan “elite bias”, bahwa perusahaan-perusahaan besar formal modern berperan membantu usaha-uaha informal tradisional. Sebenarnya tidak demikian, yang sering terjadi adalah sebaliknya. “Elite bias” yang sempat merugikan kepentingan masyarakat antara lain yang membetulkan dirinya melalui pola produksi. Sebagai contoh air minum mineral yang harga ecerannya lebih mahal dari harga bensin, diwajarkan. Suatu struktur harga yang tidak rasional semacam ini tertutup oleh cita rasa elitis, yang mungkin trasa menjadi kurang etis terhadap bensin itu sendiri yang menyandang peranan sebagai barang strategis dalam jajaran kepentingan nasional. Sistem ekonomi yang berlaku memang lebih menempatkan laba (profit) sebagai motif ekonomi yang utama, sering kurang memperhatikan biaya sosial (social cost) dan kurang menempatkan keuntungan sosial (social benefit) sebagai dorongan penting dlam perekonomian seperti apa yang dikehendaki oleh Bab XIV UUD 1945 (Bab Kesejahteraan Sosial) dimana Pasal 33 UUD 1945 bernaung. Peranan sektor informal bukanlah sekadar merupakan “klep pengaman” untuk menampung tenaga kerja yang tidak tertampung atau terbuang oleh sektor formal. Peranan sektor informal lebih substansif dari itu. Perusahaan-perusahaan modern yang besar dapat maju berkembang tida ksedikit disebabkan oleh buruh murah, dengan upahnya yang rendah. Buruh yang murah, tanpa memperhatikan martabatnya (kekhilafan kultural) dipamer-pamerkan sebagai comparative advantage bagi Indonesia. Mengapa buruh Indonesia dapat menerima upah rendah, mengapa bisa terjadi bahwa 14.000 dari 24.000 perusahaan formal dapat meberi upah di bawah KHM (sesuai dengan keterangan Ketua Umum SPSI) ? hal ini bida terjadi karena sektor informal mampu menyediakan kehidupan murah bai buruh-buruh berpenghasilan kecil itu. Tanpa sektor informal, keadaan itu tidak akan bisa dipertahankan. Dengan kata lain, sektor informal telah berperan mendukung sektor formal. Sektor informal memberi subsidi kepada sektor formal dengan memberikan comparative advantage-nya (mampu menyediakan kehidupan murah bagi perekonomian formal). (Sri Edi Swasono, 1990). Pembangunan nasional di zaman Orde Baru telah menghasilkan berbagai kemampuan dan prestasi nasional secara substansial yang dipacu oleh serentetan pengalaman membangun pada setiap tahapnya, dan Pelita berikutnya. Dalam proses pembangunan itu, yang lebih berkemampuan bertambah maju, yang kuat main menjadi kuat, yang lemah lamban mau, meskipun kemajuan setapak yang dicapainya mampu mengurangi jumlah kelompok miskin. Kelompok tertinggal ini sarat dengan berbagai kelemahan, terkurung oleh kondisi struktural. Sejak awal pembangunan nasional, upaya pemerataan, upaya mengurangi proses perkembangan kesenjangan, telah selalu diperhatikan. Hanya saja dasar-dasar kultural bagi terwujudnya pemerataan itu tidak secara kokoh diletakkan. Sistem preferensi berupa subsidi dan proteksi selalu ada. Namun paket-paket ‘strategi” pembangunan yang dipilih ataupun sikap budaya birokrasi yang berlaku menempatkan sistem preferensi yang ada itu justru sering jatuh di luar kelompok sasaran, akhirnya diterima oleh sekelompok yang kuat. Hal ini menumbuhkan suatu persepsi bahwa pemerataan hanyalah sekedar sebagai upaya korektif-akodomatif, bukian subtantif. Terkadang bahakan tampak sebagai upaya masginal, ibarat kosmetik, penuh mediocrity. Dalam sistem ekonomi yang masih dualistis ini, dimana Demokrasi Ekonomi sebagai cita- cita masih harus berhadapan dengan sistem ekonomi peninggalan kolonial (KUHD), kadar kesenjangan ternyata makin mendalam, dimensinya bahkan menjangkau aspek-aspek yang lebih luas. Masyarakat pun menerima istilah “golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah”. Kenyataan yang tidak menarik ini tanpa disadari makin memperoleh keabsahan dalam persepsi budaya kita dengan lahirnya istilah “bapak angkat” dan “anak angkat”. Proses ini sebenarnya makin menjadi lebih intens lagi ketika akhir-akhir ini pemerintah mulai pula berlabel caritas dan kesenjangan sosial ekonomi dikaitkan dengan istilah “kecemburuan sosial”. Kekeliruan pandangan yang menyesatkan ini terjadi karena ketidakmampuan kultural untuk memahami demokrasi ekonomi dari segi hak rakyat. Tanpa disadarinya akan hak-hak rakyat sesuai dengan paham kedaulatan rakyat, maka rakyat yang sebagian besar masih lemah ini akan menjadi “objek” pembangunan. Dibalik pembangunan itu sering tersimpul kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan tertentu. Upaya pembangunan haruslah langsung melibatkan rakyat dan keikutsertaan rakyat, karena rakyat itulah yang kita bangun. Pembangunan itu menjadi eksklusif. Rakyat yang menjadi penonton, memisahkan diri dari proses pembangunan, disosiatif, anti partisipasi bahkan mungkin memusuhinya. Pembangunan akhirnya akan dikucilkan oleh rakyat. Konsensus kita bahwa “Bumi dan air dan kekakayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, sebagai hak politik rakyat, banyak terkalahkan oleh hak hukum baru yang dimiliki oleh orang seorang yang kuat. Dari sini terjadi redistribusi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi yang merugikan rakyat kecil. Adanya hak hukum baru tidak selalu keliru, karena hak hukum baru berfungsi pula sebagai agent of modernization yang efektif. Hak hukum baru haruslah positif dan dinamis, yang muncul bukan sebagai suatu proses zero-sum, atau membahayakan trade-off yang merugikan orang kecil. Hak hukum baru harus sesuai dengan cita-cita keadilan sosial. Koperasi sering dinilai negatif, dituduh lamban tumbuh tidak efisien, tidak profesional, makan subsidi dan sebagainya. Bagi sebagian koperasi, hal ini benar dan merupakan fakta. Tetapi bukan hanya masalah kurang diterapkannya suatu kebijaksanaan sebagai salah satu sebab musababnya, tetapi lebih penting dari itu adalah kemampuan mengenal, yang lemah, rakyat yang masih belum terdidik cukup, rakyat yang masih terbelakang secara sosial kultural maupun sosial ekonomi. Rakyat itulah yang menjadi masalah sentralnya. Rakyat yang sedemikian inilah yang harus kita bangun. Kelemahan dan keterbelakangan rakyat itulah yang menjadi sebab musabab lambannya perkembangan koperasi. Karena itu UUD 1945 melalui pemerintah ”turun tangan” untuk membangun rakyat. Kondisi PT dan BUMN tidaklah demikian, karena itu bukan tempatnya untuk membandingkannya. Pada sektor swasta dan BUMN berkecimpung manusia-manusia dengan kadar kemampuan yang berbeda. dalam swasta dan BUMN tidak dikenal kelemahan-kelemahan mengenai rakyat seperti dikemukakan di atas.