Anda di halaman 1dari 7

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Interpretasi dan Hasil Penelitian

5.1.1 Karakteristik Usia Anak

Hasil penelitian karakteristik responden didapatkan responden sebagian


besar berumur 3 bulan – 10 tahun, dan sebagian besar terjadi pada usia 4 tahun.
Hal ini sejalan dengan hasil Riskesdas 2013 yang menjelaskan karakteristik
penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(25,8%). Begitu pula dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Rini Mulyati
(2004) dimana jumlah penderita ISPA non pneumonia terbanyak pada usia 1-4
tahun. Menurut Domili (2013), anak usia balita lebih banyak mengalami ISPA
dikarenakan sistem imunitas anak yang masih lemah dan organ pernapasan anak
belum mencapai kematangan yang sempurna, sehingga apabila terpajan kuman
akan lebih beresiko terkena penyakit.

5.1.2 Karakteristik Jenis Kelamin Anak

Berdasarkan data jenis kelamin, diketahui 51 responden (51%) adalah


perempuan, dan 49 responden (49%) adalah laki-laki. Terhadap kejadian ISPA
perbandingan perempuan dengan laki-laki hampir sebanding. Sejalan dengan ini,
penelitian yang dilakukan oleh Marhamah (2012) sebagian besar anak yang
menderita ISPA berjeniskelamin perempuan tetapi dengan perbandingan yang
hampir sama dengan laki-laki, yaitu 50,9%. Data Riskesdas 2013 juga
menyebutkan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
pada penduduk dengan ISPA.

40
41

5.1.3 Karakteristik Usia Responden

Berdasarkan data usia responden, responden terbanyak berusia 32 tahun


dengan rata-rata berusia 33,1 tahun. Dari hasil analisa menggunakan analisis
deskriptif statistik crosstabs, didapatkan sebagian besar responden yang berusia
antara 19-30 tahun memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 18 responen
(52,94%). Begitu pula dengan responden yang berusia 41-53 tahun yang memiliki
pengetahuan yang kurang lebih banyak dibandingkan dengan pengetahuan yang
baik, yaitu sebanyak 8 responden (57,14%). Sedangkan untuk responden dengan
usia 31-40 tahun lebih banyak yang memiliki pengetahuan yang baik, yaitu
sebanyak 32 responden (61,54%). Responden dengan kelompok usia 19-30 tahun
yang sebagian besar memiliki pengetahuan kurang disebabkan keputusan untuk
menikah lebih muda dan tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan responden dengan kelompok usia 41-53 tahun yang juga mayoritas
memiliki tingkat pengetahuan yang kurang disebabkan oleh faktor adat istiadat dan
kepercayaan masyarakat setempat yang lebih memilih untuk menikah dibandingkan
meneruskan pendidikan.

5.1.4 Karakteristik Jenis Kelamin Responden


Berdasarkan data jenis kelamin, responden terbanyak adalah perempuan
yaitu sebanyak 95 orang (95%). Jumlah responden laki-laki adalah 5 orang (5%).
Hal ini disebabkan karena lebih banyak ibu yang mengantar anaknya ke pelayanan
kesehatan dibanding dengan ayah. Terlebih dengan adanya faktor psikologis anak
yang akan lebih dekat dengan ibu bila sedang sakit dan ayah yang lebih banyak
bekerja di luar rumah dibandingkan dengan ibu.

5.1.5 Karakteristik Pendidikan Responden


Berdasarkan data pendidikan, responden terbanyak memiliki tingkat
pendidikan tamat SMU/sederajat yaitu 35 orang (35,0%). Tingkat pendidikan
responden terkecil adalah tamat Akademi/Perguruan Tinggi/sederajat yaitu 1
orang (1%). Sedangkan hasil analisa menggunakan analisis deskriptif statistik
42

crosstabs diperoleh bahwa responden yang berpendidikan tidak tamat SD, tamat
SD, dan tamat SMP mayoritas memiliki tingkat pengetahuan yang kurang,
sedangkan responden yang tamat SMA sebagian besar memiliki tingkat
pengetahuan yang baik, dan semua responden yang berpendidikan tamat PT
memiliki pengetahuan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Riswandi (2002),
bahwa balita yang ibunya berpendidikan rendah mempunyai resiko untuk
menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan balita yang mempunyai ibu
berpendidikan tinggi, karena ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai
wawasan yang cukup dalam memelihara kesehatan bayi dan anaknya.
Berbeda dengan peneliltian yang dilakukan oleh Mohamad Fahmi (2008)
yang mejelaskan bahwa faktor pengetahuan mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kepatuhan minum obat, sedangkan kepatuhan minum obat
akan mempengaruhi keberhasilan suatu pengobatan, sedangkan faktor pendidikan
ibu bukan merupakan faktor yang berpengaruh secara langsung. Penelitian yang
dilakukan oleh Imran Lubis (2009) juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
ibu tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap episode ISPA balita.

5.1.6 Karakteristik Pekerjaan Responden


Berdasarkan data pekerjaan responden, didapatkan responden terbanyak
bekerja sebagai ibu rumah tangga, yaitu 59 orang (59%). Hasil analisa
menggunakan analisis deskriptif statistik crosstabs diperoleh bahwa sebagian besar
responden yang berkerja sebagai ibu rumaha tangga memiliki tingkat pengetahuan
baik, yaitu sebanyak 36 (61,02%) responden. Sedangkan sebagian besar responden
yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta memiliki tingkat pengetahuan yang
kurang, yaitu sebanyak 13 (46,43%) responden. Begitu pula dengan responden yang
bekerja swasta, mayoritasnya memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, yaitu
sebanyak 5 (45,45%) reponden. Sedangkan semua responden (1 responden) yang
bekerja sebagai PNS memiliki tingkat pengetahuan yang kurang.
Sejalan dengan hal ini, pada penilitian yang dilakukan oleh Rini Mulyati
mayoritas responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi dari
43

penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan
ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

5.2 Tingkat Pengetahuan Responden


Berdasarkan data primer yang didapat dari kuesioner, sebagian besar
responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik, yaitu sebanyak 54 (54%)
responden, dan hanya 46 responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang
kurang. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rini Mulyati (2004) di
wilayah kerja Puskesmas Cimahi Tengah bahwa hanya 32,6% tingkat
pengetahuan tentang ISPA baik. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan
oleh Agus Salim (2012) di kabupaten Aceh Besar, dimana hanya 30,2% tingkat
pengetahuan tentang ISPA baik.
Tingkat pengetahuan responen yang dinilai dalam penelitian ini yaitu
gejala,penyebab, faktor risiko, penularan, pencegahan dan komplikasi ISPA.
Sebagian besar responden mengetahui gejala ISPA berupa batuk dan pilek, yaitu
sebanyak 60 orang (60%). Hampir seluruh responden mengetahui pencemaran
udara akibat asap rokok, asap kendaraan maupun asap hasil proses pembakaran
dapat menyebabkan ISPA, yaitu sebanyak 90 orang (90%). Sebagian besar
responden juga mengetahui berat badan bayi yang rendah saat lahir meningkatkan
risiko terjadinya ISPA, yaitu sebanyak 62 orang (62%). Sebagian besar responden
pun mengetahui imunisasi tidak lengkap sebagai faktor risiko ISPA, yaitu
sebanyak 82 orang (82%). Sebagian besar responden mengetahui cara penularan
ISPA yaitu melalui udara yang dapat ditularkan oleh anggota keluarga lain, yaitu
sebanyak 85 orang (85%). Dari data yang didapat melalui kuesioner, dapat dilihat
bahwa sebagian besar responden mengetahui bahwa cuci tangan sebelum dan
sesudah makan dapat mencegah terjadinya ISPA, yaitu sebanyak 84 orang (84%).
Sebagian besar responden juga mengetahui bila ISPA terjadi bersamaan dengan
alergi dapat membahayakan jiwa anak reponden tersebut (65%), gejala ISPA berat
seperti serak, suara parau, tidak mengeluarkan suara ataupun sesak (73%), dan
komplikasi penurunan kesadaran akibat demam tinggi yang terjadi pada ISPA
44

berat (78%). Akan tetapi, sebagian besar responden tidak mengetahui adanya
komplikasi infeksi telinga pada ISPA, yaitu sebanyak 56 orang (56%).
Hasil analisa menggunakan analisis deskriptif statistik crosstabs diperoleh
bahwa hanya responden dengan usia 31-40 tahun yang sebagian besar memiliki
pengetahuan yang baik, yaitu sebanyak 32 responden (61,54%). Sedangkan
responden yang berusia 19-30 tahun dan 41-53 tahun sebagia besar memiliki
pengetahuan yang rendah. Hanya 2 responden laki-laki (40%) yang memiliki
pengetahuan baik, tetapi sebagian besar responden perempuan yang memiliki
pengetahuan baik, yaitu 52 (54,7%) responden. Sebagian besar responden yang
tamat SMA (68,57%) memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan seluruh
responden yang lulus akademi/perguruan tinggi memiliki tingkst pengetahuan yang
baik. Akan tetapi, sebagian besar responden dengan pendidikan terakhir SMP, SD
atau bahkan tidak lulus SD memiliki tingkat pengetahuan yang kurang. Sebagian
besar responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga memiliki tingkat
pengetahuan yang baik, sedangkan responden lain yang bekerja sebagai PNS,
pedagang/wiraswata dan swasta sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan yang
kurang.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dalam hal ini obyeknya
adalah ISPA pada anak. Pengetahuan didapat dari pendidikan formal juga dapat
diperoleh melalui kenyataan / fakta dengan melihat, mendengar sendiri, melalui
alat komunikasi seperti surat kabar, televisi dan lain-lain. Selain itu, pengetahuan
juga dapat diperoleh sebagai pengaruh / pengalaman dari hubungan dengan orang
lain, seperti keluarga, teman, tenaga medis dan lain-lainkemudian disusun otak
secara sistematis ( Depkes RI, 2008 ).
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan adalah hasil proses tahu dan
setelah melalui proses pengindraaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca
indera manusia, yaitu: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan memegang peranan penting untukterbentuknya tindakan seseorang.
Pengetahuan seseorang tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
pendidikan, pengalaman, dan fasilitas. Dengan pendidikan maka seseorang akan
45

cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media
massa. Semakin banyak informasi yang masuk berarti semakin banyak pula
pengetahuan yang didapatkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain
intelegensia, pendidikan, usia, pekerjaan, tingkat ekonomi, lingkungan, sosial
budaya dan informasi.
Menurut H.L. Bloem (1986) menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan pada manusia yaitu genetik, lingkungan, pelayanan kesehatan
dan perilaku. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi
kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Di antara faktor tersebut,
faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan
paling sukar ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan.
Menurut Green, perilaku manusia itu dipengaruhi oleh 3 faktor utama
yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup : pengetahuan, sikap,
kepercayaan, dan sistem nilai, faktor pemungkin (enambling factors) mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, dan faktor penguat (reinforcing
factors) mencakup sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan
tokoh agama.
Pengetahuan yang merupakan faktor predisposisi merupakan komponen
yang sangat penting, walaupun peningkatan pengetahuan tidak selalu
menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, tetapi mempunyai hubungan yang
positif untuk terjadinya perubahan perilaku, karena pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behavior) ( Soekidjo, 2003 ).
Orang tua, terutama ibu merupakan peletak dasar perilaku yaitu perilaku
kesehatan yang baik bagi anak-anak. Untuk mendapatkan perilaku ibu yang baik
ditentukan oleh tingkat pengetahuan ibu yang diperoleh melalui pendidikan.
Perubahan perilaku kesehatan dapat melalui pendidikan yang diperoleh sehingga
mampu mempromosikan kesehatan lewat pemberian informasi mengenai
kesehatan. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
sangat diperlukan untuk pengembangan diri. Pemberian informasi ini dapat
46

meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Menurut Herman (2002)


mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin mudah
pula menerima serta mengembangkan pengetahuan untuk meningkatkan
produktifitas serta meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pengetahuan yang ibu peroleh dapat menentukan peran sakit maupun sehat
bagi anaknya. Banyak ibu yang belum mengerti serta memahami tentang
kesehatan anaknya, termasuk dalam cara pencegahan maupun penanganan apabila
terserang oleh suatu penyakit. Hal ini dapat didasari oleh tingkat pengetahuan ibu
dalam melindungi balita dari sesuatu penyakit yang mengancam hidup baik yang
menular maupun tidak menular.

5.3 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini hanya menggunakan satu variabel sehingga hanya mengukur


tingkat pengetahuan saja.

2. Penelitian ini memiliki responden yang memiliki karakteristik usia yang cukup
luas, sehingga peniliaian dari variabel kurang spesifik.

3. Desain penelitian yang digunakan hanya bersifat deskriptif sederhana sehingga


hanya bisa menggambarkan dan belum diketahui kemaknaan untuk hasil yang
luas lagi

4. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini hanya berupa lembar observasi
dimana pertanyaan-pertanyaan dikembangkan dari penelitian sebelumnya dan
dari konsep yang ada.

Anda mungkin juga menyukai