Anda di halaman 1dari 14

askep keperawatan

Jumat, 21 Juni 2013

malformasi anorectal
     I.          LATAR BELAKANG

Malformasi anorektal merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius,
traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi. Banyak anak-anak dengan malformasi ini
memiliki anus imperforata karena mereka tidak memiliki lubang dimana seharusnya anus ada.
Walaupun istilah ini menjelaskan penampilan luar dari anak, istilah ini lebih ditujukan pada
kompleksitas sebenarnya dari malformasi.
Malformasi anorektal terjadi setiap 1 dari 5.000 kelahiran. Malformasi ini lebih sering
terjadi pada pria dan pria dua kali lebih banyak mengalami malformasi anorektal letak tinggi atau
intermediet. Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih
defek tambahan dari sistem organ lainnya. Manajemen dari malfomasi anorektal pada periode
neonatal sangatlah krusial karena akan menentukan masa depan dari sang anak. Keputusan yang
paling penting adalah apakah pasien memerlukan kolostomi dan diversi urin untuk mencegah
sepsis dan asidosis metabolik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang anatominya,
diagnosis yang lebih cepat dari malformasi anorektal dan defek yang berkaitan dan
bertambahnya pengalaman dalam memanajemen, akan didapatkan dengan hasil yang lebih baik.
            
     II.          PENGERTIAN

Malformasi anorektal adalah suatu kelainan malformasi congenital dimana tidak


lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnua anus secara abnormal
atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus. (Hidayat , A.Aziz
Alimul.2006:26)
Malformasi anorektal (anus imperforate) adalah malformasi congenital dimana rectum
tidak mempunyai lubang keluar. Anus tidak ada, abnormal atau ektopik. Kelainan anorektal
umum pada laki-laki dan perempuan memperlihatkan hubungan kelainan anorektal rendah dan
tinggi diantara usus, muskulus levator ani, kulit, uretra dan vagina (Donna L.Wong,2004 :520)
Malformasi anorektal adalah kelainan bawaan anus yang disebabkan oleh ganggan
pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. (Manjoer Arif, dkk. 2003:379)
Dari pengertian diatas bisa dapat disimpulkan bahwa marformasi anorektal adalah suatu
kelainan congenital dan tidak lengkapnya perkembangan embrionik dimana rectum tidak
mempunyai lubang keluar yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus.

    III.          ANATOMI DAN FISIOLOGI REKTUM DAN ANUS

1)     REKTUM

Rektum adalah bagian terminal dari saluran pencernaan bawah yang merupakan tabung
berongga sepanjang 10-15 cm dan sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementeara feses. Biasanya rectum ini kosong karenea tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rectum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rectum karena
penumpukan material di dalam rectum akan memicu system saraf yang menimbulkan keinginan
untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usu besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakuakan. Jika defekasi tidak terjadi untuk
periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang
lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yahng penting untuk menunda BAB.

2)     ANUS
Merupakan lubang di ujung slauran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh.
Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphincter. Feses dibuang dari tubuh melalui
proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

  IV.          ETIOLOGI

A.    Malformasi Anus
Gangguan pertumbuhan dan fusi serta pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
B.    Malformasi Rektum
Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital serta
gangguan perkembangan septum anorektal yang memisahkannya (terjadi
fistel).
(Mansjoer, 2000)

     V.          PATOFISIOLOGI

Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan
anus dari tonjolan embrionik. Begitu juga pada malformasi rektum berawal dari gangguan
pemisahan kloaka jadi rektum dan sinus urogenital dan perkembangan septum unorektal yang
memisahkannya. Kedua malforamsi membentuk fistel-fistel yang menghambat pengeluaran
mekonium kolon sehingga terjadi obstruksi usus yang nampak gambaran perut kembung, distensi
abdomen, muntah dengan cairan mula-mula berwarna hijau kemudian bercampur tinja. Distensi
abdomen yang terjadi menyebabkan penekanan intra abdomen ke torakal sehingga klien
mengalami gangguan pola nafas.
Kegagalan pengeluaran mekonium menimbulkan refluks kolon sehingga muntah-muntah
didukung ketidaknormalan anus serta rektum. Hal ini mengganggu pola eliminasi feses.
Malformasi harus segera ditangani yang pertama untuk tindakan sementara dengan kolostomi
baru kemudian dilakukan pembedahan definitif sesuai dengan letak defeknya. Pasca pembedahan
pasien tirah baring lama-kelamaan akan menyebabkan intoleransi aktivitas. Adanya perlukaan
pada jaringan akan menimbulkan nyeri serta resiko tinggi infeksi karena luka merupakan part
entry kuman.
Selain itu juga menimbulkan kerusakan integritas kulit. Anestesi yang diberikan juga
mempengaruhi penurunan fungsi organ, misal penurunan sistem pernafasan, penurunan fungsi
jantung dan penurunan peristaltik usus.
(Nelson, 1999)

VI.          KLASIFIKASI
  

Klasifikasi Wingspread (1984), berdasarkan consensus internasional menghasilkan


modifikasi sebagai berikut:
Penggolongan anatomis untuk terapi dan prognosis:
Laki-laki:
Golongan I Tindakan
1. Fistel urine Kolostomi neonatus
2. Atresia rekti Operasi definitive
3. Perineum datar Usia 4 – 6 bulan
4. Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram

Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal rectum
terhadap marka anus dikulit peritoneum.
Golongan II Tindakan
1. Fistel perineum Operasi definitive pada neonatus
2. membrane anal meconium tract Tanpa kolostomi
3. Stenosis ani
4. Bucket handle
5. Tanpa fistel. Udara <>
Perempuan:
Golongan I Tindakan
1. Kloaka Kolostomi neonatus
2. Fistel vagina Usia 4-6 bulan
3. vistel vestibulum ano atau retro
vestibuler
4. Atresia rekti
5. Tanpa fistel

Golongan II Tindakan
1. Fistel perineum Operasi definitif pada neonatus
2. Stenosis
3. Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari
kulit pada invertogram.

VII.          KOMPLIKASI

1.     Asidosis hiperkloremia
2.     Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan
3.     Komplikasi jangka panjang
4.     Eversi mukosa anal
5.     Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
6.     Masalah atau kelambatan yang baerhubungan dengan toilet training
7.     Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)
8.     Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)
9.     Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi).
(Cecily., 2009:294)

VIII.          PENATALAKSANAAN MEDIS

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek.
Semakin tinggi lesi, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk anomaly tinggi, dilakukan
kolostomi beberapa hari setelah lahir. Bedah definitifnya, yaitu anoplasti perineal (prosedur
penarikan perineum abdominal), umumnya ditunda 3-12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat
badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Lesi rendah diatasi dengan menarik kantong
rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit ananl. Fistula, bila ada harus ditutup. Defek
membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal. Membran tersebut
dilubangi dengan hemostat atau scalpel.
Pada kebanyakan kasus, pengobatan malformasi anorektal memerlukan dua tahap
tindakan pembedahan. Untuk defek ringan sampai sedang, prognosisnya baik. Defeknya dapat
diperbaiki, peristalsis dan kontinensia normal juga dapat diperolah. Defek yang lebih berat
umumnya disertai anomaly lain, dan hal tersebut akan menambah masalah pada hasil tindakan
pembedahan. Anus imperforata biasanya memerlukan operasi sedang untuk membuka pasase
feses.
Tergantung pada beratnya imperforate, salah satu tindakan adalah anoplasti perineal atau
colostomy : prosedur operasi termasuk menghubungkan bagian atas colon dengan dinding
anterior abdomen, pasien ditinggalkan dengan lubang abdomen disebut stoma. Lubang ini
dibentuk dari ujung usus besar melalui insisi dan sutura ke kulit.
Setelah colostomy, feses dibuang dari tubuh pasien melalui stoma, dan terkumpul dalam
kantong yang melekat pada abdomen yang diganti bila perlu. Pengobatan pada anus malformasi
anorektal juga dapat dilakukan dengan jalan operasi PSARP (Posterio Sagital Anorectoplasy).
Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan
ganti dari teknik lama yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini
mempunyai resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding abdomen.

Kolostomi
Kolostomi pada kolon desendens merupakan prosedur yang ideal untuk penatalaksanaan
awal malformasi anorktal. Tindakan kolostomi merupakan upaya dekomprasi, diversi, dan
sebagai proteksi terhadap kemungkinan terjadinya obstruksi usus. Kolostomi pada kolon
desendens mempunyai beberapa keuntungan disbanding dengan kolostomi pada kolon asendens
atau transversum. Bagian distal dari kolostomi akan mengalami disfungsi dan akan terjadi atropi
karena tidak digunakan. Dengan kolostomi pada kolon desendens maka segmen yang akan
mengalami disfungsi menjadi lebih pendek. Atropi dari segmen distal akan berakibat tejadinya
diare cair sampai dilakukan peneutupan stoma dan hal ini dapat diminimalkan dengan melakukan
kolostomi pada kolon desendens. Pembersihan mekanik kolon distal lebih mudah dilakukan jika
kolostomi terletak di bagian kolon desendens.
Pada kasus dengan fistel anorektal, urin sering keluar melalui kolon, untuk kolostomi
distal akan keluar memalui stoma bagian distal tanpa danya absorbs. Bila stoma terletak di kolon
proksimal, urin akan keluar ke kolon dan akan diabsorbsi, hal ini akan meningkatkan resiko
terjadinya asidosis metabolic. Loop kolostomi akan menyebabkan aliran urin dari stoma
proksimal ke distal usus dan terjadi infeksi saluran kencing serta pelebaran distal rectum.
Distensi rectum yang lama akan menyebabkan kerusakan dinding usus yang irreversible disertai
dengan kelainan hipomotilitas dinding usus yang menetap, hal ini akan menyebabkan konstipasi
di kemudian hari. Double barrel transversocolostomy dextra dengan tujuan dekomprasi dan
diversi memiliki keuntungan antara lain :
1.            Meninggalkan seluruh kolon kiri bebeas pada saat tindakan definitf tidak
menimbulkan kesulitan
2.            Tidak terlalu sulit dikerjakan
3.            Stoma distal dapat berlaku sebagaimana muara pelepasan secret kolon distal
4.            Feses kolon kanan relative tidak berbau dibanding kolon kiri oleh karena
pembusukan feses.
5.            Dimungkinkan irigasi dan pengosongan dari kantong rectum yang buntu

Posterosagital anorectoplasty (PSARP)


Metode ini diperkenalkan oleh Pena dan de Vries pada tahun 1982. Prosedur ini
memebrikan beberapa keuntungan seperti kemudahan dalam operasi fistel rektourinaria maupun
rektovaginal dengan cara membelah otot pelvis, sing, dan sfingter. PSARP dibagi menjadi tiga
yaitu minimal, limited, dan full PSARP.
Posisi penderita adalah prone dengan elevasi pada pelvis. Dengan bantuan stimulator
dilakukan identifikasi anal dimple. Insisi dimulai dari tengah sacrum ke bawah melewati pusat
sfingter eksterna ampai kedepan kurang lebih 2 cm. Insisi diperdalam dengan membuka subkutis,
lemak, parasagital fibre dan muscle complex. Tulangcoccygeus dibelah sehingga tampak dinding
belakang rectum. Rektum dibebaskan dari dinding belakang dan jika ada fistel dibebaskan juga,
rectum dipisahkan dengan vagina yang dibatasi oleh common wall. Dengan jahitan, rectum
ditarik melewati otot levator,muscle complex, dan parasagital fibre kemudian
dilakukan anoplasty dan dijaga agar tidak tegang.
Untuk minimal PSARP tidak dilakukan pemitingan otot levator maupun vertical
fibre, yang penting adalah memisahkan common wall untuk memsahkan rectum dengan vagina
dan dibelah hanya otot sfingter eksternus. Untuk limited PSARP yang dibelah adalah otot
sfingter eksternus, muscle fibre, muscle complex, serta tidak memberlah tulang coccygeus.
Penting melakukan diseksi rectum agar tidak merusak vagina. Masing-masing jenis prosedur
mempunyai indikasi yang berbeda. Minimal PSARP dilakukan pada fistell perianal, anal
stenosis, anal membrane, bucket handle, dan atresia ani tanpa fistel yang akhiran rectum kurang
dari 1 cm dari kuit. Limited PSARP dilakukan pada atresia ani dengan fistel
rektovestibular. Full PSARP dilakukan pada atresia ani letak tinggi, dengan gambaran
invertogram akhir rectum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistelrektovaginalis, fistel rekto
uretralis, atresia rectum, dan stenosis rectum.

IX.          Pemeriksaan Penunjang
  

1.     Pemeriksaan colok dubur, pada atresia rektum jari tidak masuk lebih 1–2 cm.
2.     Protosigmoidoskopi, anoskopi, radiografi lateral terbalik.
3.     Urogram intravena; sistourethrogram: dilakukan pada waktu miksi harus dilakukan karena
seringnya malformasi traktuf urinarius menyertai anomali ini. 
4.     Rontgenologis kolumna vertebralis: untuk mengetahui kelainan yang menyertai yaitu anomali
vertebra. 
5.     Pemeriksaan inspeksi dan palpasi daerah perineum secara dini.
6.     Ultrasound: dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rektal.
7.     Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil
melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek itu
disebut defek tingkat tinggi
ASUHAN KEPERAWATAN

0   PENGKAJIAN

A.    Pengumpulan Data
1.     Identitas
a.      Identitas anak
Nama, umur, jenis kelamin, agama, kedudukan klien dalam keluarga, tanggal masuk
rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor rekam medic, alamat.

b.     Identitas Orang tua


Nama ayah, nama ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, agama dan alamat.

2.     Riwayat kesehatan
a.      Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian keperawatan dapat ditemukan penyumbatan anus (anus tidak normal),
tidak adanya mekonium, adanya kembung dan terjadi muntah pada 24-48 jam setelah lahir. Atau
pada bayi laki-laki dengan fistula urinaria didapatkan mekonium pada urin, dan pada bayi
perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium pada vagina.
b.     Riwayat Kesehatan dahulu
1.     Riwayat Parental
Kesehatan ibu selama hamil, kapan hari pertama haid terakhir (HPHT), imunisasi TT,
nutrisi selama ibu hamil dan kebiasaan atau perilaku ibu sewaktu hamil yang merugikan bagi
perkembangan dan pertumbuhan janin, seperti : kebiasaan merokok, minum kopi, minum
minuman keras, mengkonsumsi narkoba dan obat obatan secara sembarang.
2.     Riwayat intranatal
Lamanya kehamilan, jenis dan lamanya partus, jenis pertolongan persalinan, berat badan
lahir, keadaan bayi lahir awal, awal timbulnya pernafasan, tangisan pertama dan tindakan
khusus.

3.     Riwayat neonatal
Skor APGAR (warna, sianosis, pucat, ikhterik), mucus yang berlebihan paralisis,
konvulsi, demam, kelainan congenital, kesulitan menghisap, kesulitan pemberian makan atau
ASI.

4.     Riwayat kesehatan Keluarga


Mengkaji kemungkinan adanya anggota keluarga uang mengalami gangguan seperti yang
dialami klien atau gangguan tertentu yang berhubungan langsung dengan gangguan system
gastrointestinal.

2. Pemeriksaan Fisik
a.      Daerah perineum
Inspeksi dengan cermat daerah perineum secara dini
untuk mencari hubungan fistula ke kulit
untuk menemukan muara anus ektopik atau stenatik
untuk memperbaiki bentuk luar jangka panjang
untuk melihat adanya mekonium (apakah keluar dari vagina atau keluar bersama urine ?)
untuk melihat adanya garis hitam yang menentukan letak fistel dan terapi segeranya. 
b.     Abdomen
Memeriksa tanda-tanda obstruksi usus (perut kembung)
Amati adanya distensi abdomen
Ukur lingkar abdomen
Dengarkan bising usus ( 4 koadran)
Perkusi abdomen
Palpasi abdomen (mungkin kejang usus)
c.      Kaji hidrasi dan status nutrisi
Timbang berat badan tiap hari
Amati muntah proyektif (karakteristik muntah)
d.     TTV
Ukur suhu badan (umumnya terjadi peningkatan)
Ukur frekuensi pernafasan (terjadinya takipnea atau dispnea)
Ukur nadi (terjadinya takikardia)
e.      Observasi manifestasi malformasi anorektal
Pemeriksaan colok dubur pada anus yang tampak normal, tapi bila tidak dapat masuk lebih 1 – 2
cm berarti terjadi atresia rektum.

0   DIAGNOSA KEPERAWATAN

1)     Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah.


2)     Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat
3)     Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
4)     Konstipasi berhubungan dengan gangguan pasase feses, feses lama dalam
kolon dan rectum
5)     Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap disfungsi rektum
6)     Resiko tinggi terhadap komplikasi : infeksi berhubungan dengan prosedur
tindakan pembedahan .
0   INTERVENSI KEPEREAWATAN

A.    GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT


BERHUBUNGAN DENGAN MUNTAH.

Tujuan : Klien menunjukan keseimbangan cairan elektrolit setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 2 x 24 jam, dengan kriteria hasil : keseimbangan jumlah input dan out put,
turgor kulit elastis, TTV normal (suhu:36,5 – 37,RR: 35x/menit),tidak didapatkan distensi
abdomen.

Intervensi : 
1.     Ukur jumlah Input –Output cairan.
Rasionalisasi : Mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan.
2.     Inspeksi turgor kulit.
Rasionalisasi : Pada keadaan dejidrasi turgor kulit tidak elastis.
3.     Ukur tanda- tanda vital.
Rasionalisasi : Keadaan dehidrasi diidentifikasi dg adanya perubahan TTV
:takikardi,hipotensi,peningkatan suhu.
4.     Inspeksi adanya distensi abdomen.
Rasionalisasi : Peningkatan tekanan abdomen ditandai dengan adanya
distenai abdomen
5.     Kolaborasi berikan cairan IV.
Rasionalisasi : Menganti cairan dan elektrolit yang hilang.

B.    Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat

1.     Tujuan : Mempertahankan Berat Badan stabil / menunjukkan kemajuan peningkatan


Berat Badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal

2.     Intervensi Keperawatan :
a.      Pertahankan potensi selang Naso-gastrik. Jangan mengembalikan posisi
selang bila terjadi perubahan posisi. 
Rasional : Memberikan istirahat pada traktus GI. Selama fase pasca operasi
akut sampai kembali berfungsi normal
b.     Berikan perawatan oral secara teratur 
Rasional : Mencegah ketidaknyamanan karena mulut kering dan bibir pecah
c.      Kolaborasi pemberian cairan IV, 
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai
d.     Awasi pemeriksaan laboratorium. Misalnya Hb / Ht dan elektrolit. 
Rasional : Indikator kebutuhan cairan / nutrisi dan keaktifan terapi dan
terjadinya konstipasi.

C.     Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


1.     Tujuan :
a.      Menyatakan nyeri hilang
b.     Menunjukkan rileks, mampu tidur, dan istirahat dengan
tepat
2.     Intervensi Keperawatan :
a.      Catat keluhan nyeri, durasi, dan intensitasn nyeri 
Rasional : Membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya
komplikasi
b.     Catat petunjuk nonverbal. Mis: gelisah, menolak untuk bergerak 
Rasional : Bahasa tubuh / petunjuk non verbal dapat secara prikologis
dan fisiologis dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
mengidentifikasi masalah
c.      Kaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan / menghilangkan nyeri 
Rasional : Menunjukkan faktor pencetus dan pemberat dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi
d.     Berikan tindakan nyaman, seperti pijat penggung, ubah posisi dan 
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan perhatian, dan
meningkatkan koping
e.      Kolaborasi pemberian analgetik 
Rasional : Memudahkan istirahat dan menurunkan rasa sakit

D.    Konstipasi berhubungan dengan gangguan pasase feses, feses lama dalam


kolon dan rectum
1.     Tujuan :
a. Menormalkan fungsi usus
b.Mengeluarkan feses melalui anus
2.     Intervensi Keperawatan :
a.      Kaji fungsi usus dan karakteristik tinja 
Rasional : Memperoleh informasi tentang kondisi usus
b.     Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus 
Rasional : Distensi dan hilangnya peristaltic usus menunjukkan fungsi
defekasi hilang
c.      Berikan enema jika diperlukan 
Rasional : Mungkin perlu untuk menghilangkan distensi

E.     Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap disfungsi rektum


.INTERVENSI
a)     Jelaskan proses pemulihan fungsi anus secara bertahap dan butuh waktu
agak lama.
Rasional : Pemahaman dapat mengurangi kecemasan
b)     Lakukan pendekatan dengan tenang dan berikann dorongan urtuk bertanya
Rasional : Dengan kondisi tenang akan lebih memudahakan pemahaman
c)     . Libatkan keluargan dalam setiap tindakan.
Rasional : Dengan keterlibatan keluarga akan memberi perhatian yang
lebih bagi klien.
F.     Resiko tinggi terhadap komplikasi : infeksi berhubungan dengan prosedur
tindakan pembedahan
Intervensi
1.     Pantau hasil
-        Hasil SDP
-        Suhu tiap 4 jam
Rasional : Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan dan penyimpangan
dari hasil yang diharapkan
2.     Implementasikan tindakan untuk mencegah infeksi:
- Rawat luka dengan teknik steril
- Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari
- Tingkatan nutrisi dengan diet TKTP
- Gunakan pelunak feses bila terdapat konstipasi.
Rasional : Teknik steril untuk pencegahan pemindahan kuman. Dan cairan
untuk memperlancar pengeluaran . Sedangkan nutrisi untuk meningkatkan
ketahanan tubuh dan mempercepat pertumbuhan jaringan
3.     Berikan antibiotika sesuai program medis.
Rasional : Antibiotika untuk menghambat dan membunuh kuman patogen
4.     Pantau tanda-tanda radang: panas, merah, bengkak, nyeri, kekakuan
Rasional : Untuk mengetahui secara dini terjadinya infeksi

Daftar pustaka

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Geissler, Alice C. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8.  Jakarta: EGC

Unknown di 00.16
Berbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar

Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya
Unknown
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai