Anda di halaman 1dari 13

RESUME EPIDEMIOLOGI

PENYAKIT AKUT, SUBAKUT, DAN KRONIS


(CACAR AIR, ENDOKARDITIS SUBAKUT, DAN HIPERTENSI)

1.1 Penyakit Akut (Cacar Air)

1. Penjelasan Epidemiologi

Penyakit cacar air atau herpes zooster dapat terjadi di sepanjang tahun karena

tidak dipengaruhi oleh iklim dan musim dan penyakit ini tersebar di seluruh dunia.

Namun sebuah survei serologis menemukan bahwa di negeri dengan iklim tropis,

seroprevalensi cacar air lebih rendah dibandingkan dengan kejadian cacar air di

negeri dengan iklim lebih dingin. Hal ini mungkin dikarenakan, cuaca panas

menghambat penyebaran virus. Tidak ada perbedaan angka penderita pada laki-

laki dan perempuan. Di negara maju seperti Amerika, dilaporkan sekitar 6% setiap

tahunnya menderita cacar air, di Inggris sekitar 0,34% setiap tahunnya, sedangkan

di Indonesia kurang lebih sekitar 1% setiap tahunnya. Lebih dari 2/3 usia adalah

penderita di atas usia 50 tahun, dan kurang dari 10% penderitanya berusia di bawah

20 tahun.

Pada awal terinfeksi virus, penderita akan merasa rasa sakit seperti kulit

terbakar dan kulit menjadi lebih sensitif selama satu minggu. Penyebab rasa sakit

tersebut akan sulit dideteksi dikarenakan belum munculnya ruam merah pada kulit.

Ruam mulai muncul dari lepuhan kecil di atas kulit yang memerah dan akan terus

bertambah selama 3-5 hari. Lepuhan atau bintil merah akan timbul dan tumbuh

mengikuti saraf dari tulang belakang dan membentuk sebuah pola seperti pita pada

kulit penderita. Penyebaran bintil-bintil ini disebut pola dermatomal. Bintil atau

lepuhan akan pecah dan berair, kemudian daerah sekitar bintilan atau lepuhan akan

1
menjadi mengeras dan mulai sembuh. Hal tersebut akan terjadi kurang lebih selama

3-4 minggu.

2. Resiko Agen Penyakit

Virus Varisella Zooster (VVZ), virus ini ditularkan melalui percikan ludah

penderita atau terkena benda-benda yang terkontaminasi oleh cairan dari lepuhan

kulit penderita. Penderita dapat menularkan penyakitnya dimulai dari timbulnya

gejala penyakit sampai lepuhannya mengering. Oleh karena itu, penderita sebaiknya

diisolasi agar tidak menular ke orang lain. Jika seseorang pernah menderita cacar air,

maka ia memiliki kekebalan terhadap penyakit ini dan tidak akan menderita cacar air

lagi. Namun virus ini dapat tertidur dalam tubuh manusia, dan kadang menjadi aktif

kembali dan menyebabkan herpes zooster.

3. Penularan

Varicella zooster adalah virus yang menular sebelum lesi muncul selama 1-2

hari dan dapat ditularkan melalui jalur respirasi. Sehingga menyebabkan lesi pada

bagian orofaring. Lesi pada orofaring inilah yang menyebabkan penularan melalui

traktus respiratorius. Pada fase ini penularan terjadi melalui droplet air ludah pada

membran mukosa orang yang sehat, misalnya konjungtiva. Penderita dapat

menularkan penyakitnya dimulai dari timbulnya gejala penyakit sampai lepuhannya

mengering. Oleh karena itu, penderita sebaiknya diisolasi agar tidak menular ke

orang lain. Jika seseorang pernah menderita cacar air, maka ia memiliki kekebalan

terhadap penyakit ini dan tidak akan menderita cacar air lagi. Namun virus ini dapat

tertidur dalam tubuh manusia, dan kadang menjadi aktif kembali dan menyebabkan

herpes zooster.

Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung.

Penularan melalui kontak langsung dapat terjadi melalui droplet yang keluar dari

2
saluran respirasi penderita dan cairan lepuhan dari kulit penderita. Ruam pada kulit

yang memerah dapat menularkan penyakit ini. Penularan melalui kontak tidak

langsung dapat terjadi melalui udara. Ketika orang sehat menghirup udara yang

mengandung virus Varicella Zooster, maka dapat menyebabkan sesoeorang terkena

cacar air.

4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dari penyakit ini berlangsung selama 14 hari, dimana virus akan

menyerang kelenjar limfe, kemudian menyebar ke hepar dan kelenjar mononuklear.

Virus Varicella Zooster yang ada dalam sel mononuklear mulai menghilang 24 jam

sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita imunokompromise, virus menghilang

lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah timbulnya ruam kulit. Masa inkubasi penyakit

ini ditandai dengan timbulnya gejala klinis seperti influenza, termasuk demam, sakit

kepala, nyeri punggung, kadang-kadang sakit perut dan muntah. Masa Laten pada

penyakit ini biasanya 2 sampai 4 hari, pada saat ini orang biasanya terlalu sakit

untuk melakukan kegiatan normal mereka. Periode infeksi ditandai dengan

munculnya ruam, ini dapat berlangsung sekitar 20 hari sejak mulai munculnya ruam

hingga keropeng terakhir, tetapi yang paling menular adalah selama 7 sampai 10 hari

pertama setelah onset ruam.

5. Pencegahan/Pengobatan

Pada penderita dengan daya tahan tubuh baik akan muncul gejala ringan dan

sembuh sendiri (self limited). Pengobatan pada anak sehat dengan cacar air adalah

simtomatik, antara lain dengan menggunakan lotion calamine untuk mengurangi

gatal dan asetaminofen untuk demam dan rasa sakit. Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) merekomendasikan agar anak-anak dengan cacar air tetap

tinggal di rumah selama enam hari setelah onset ruam.

3
Pemberian asiklovir intravena pada pasien imunokompromais adalah penting

dan dianjurkan diberikan secepatnya, dalam 24 jam setelah timbulnya ruam

walaupun jumlah lesi baru sedikit dan tampak sakit ringan.

American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemberian asiklovir per

oral pada kelompok dengan risiko tinggi terkena varisela berat atau penyulitnya

seperti pasien sehat dan tidak hamil (usia di atas 13 tahun), anak-anak di atas 12

bulan dengan penyakit kulit kronis atau kelainan paru atau menerima terapi salisilat

jangka panjang, pengobatan jangka pendek, intermiten atau inhalasi kortikosteroid.

Sedangkan asiklovir intravena direkomendasikan pada anak-anak imunokompromais

(termasuk yang menerima terapi kortikosteroid dosis tinggi) dan kasus varisela

dengan penyulit. Pada pasien imunokompromais, asiklovir terbukti menurunkan

morbiditas dan mortalitas bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah onset ruam.

Pengobatan asiklovir untuk varisela pada pasien sehat berdasarkan kelompok umur,

karena derajat keparahan varisela berbeda sesuai dengan umur. Pencegahan yang

dapat dilakukan meliputi:

 Mengisolasi penderita cacar air

 Meningkatkan gizi ‘kontak’ yang serumah dengan penderita

 Memberikan penyuluhan tentang penyakit

 Imunisasi

1.2 Penyakit Sub-akut (Endokarditis Subakut)

1. Penjelasan Epidemiologi

Angka kejadian di negara maju berkisar antara 5,9 sampai 11,6 episode per

100.000 populasi. Endokarditis biasanya lebih sering terjadi pada pria

dibandingkan perempuan dengan rasio 1,6 sampai 2,5. (Sudoyo, 2010) Di negara

berkembang, kejadian dari endokarditis bervariasi dari 1.5 hingga 6.2 kasus per

4
100,000 populasi per tahun. Di tahun akhir 1980 an di area metropolitan United

States (Philadelphia), endokarditis timbul pada 9.3 orang per 100,000 populasi

pertahun. Bagaimanapun, setengah dari kasus ini merupakan konsekuensi dari

penggunaan obat injeksi. Insiden endokarditis meningkat pada orang-orang tua.

2. Resiko Agen Penyakit

Agen infeksi tersering yang menyebabkan endokarditis infektif katup asli

adalah bakteri Gram-positif, termasuk Sterptococcus viridans, S. Aureus, dan

enterokokus. Spesies bakteri spesifik sering dapat diantisipasi berdasarkan faktor-

faktor pejamu. Pemakaisan obat suntik sering memasukkan bakteri S. Aureus ke

dalam darah ketika jarum yang tidak steril digunakan atau kulit kurang dibersihkan

dengan baik sebelum jarum dimasukkan. Pasien yang baru menjalani prosedur gigi

berisiko mengalami bakterimia transien oleh flora mulut normal, terutama

Streptococcus viridans, yang kemudian dapat menyebabkan endocarditis

(Ganong,  2010).

Endokarditis Infektif lebih sering terjadi pada pria. Sekitar 36-75% pasien

Endokarditis Infektif katup asli mempunyai faktor predisposisi: penyakit jantung

reumatik, penyakit jantung congenital, prolaps katup mitral, katup yang floppy

pada sindroma Marfan, tindakan bedah gigi atau orofaring yang baru, tindakan

atau pembedahan pada traktus urogenital atau saluran pernapasan, luka bakar,

hemodialisis, penggunaan kateter vena sentral, pemberian nutrisi parenteral dalam

kurun waktu yang lama, penyakit jantung degeneratif, hipertrofi septal asimetrik,

atau penyalahguna narkoba intravena (PNIV). Sekitar 7-25% kasus melibatkan

katup prostetik. Faktor predisposisi tidak teridentifikasi pada sekitar 25-47%

pasien (Alwi, 2007; Hersunarti, 2003).

5
3. Masa Inkubasi

Setelah 2 minggu inkubasi, keluhan seperti infeksi pada umumnya (panas yang

tidak terlalu tinggi, sakit kepala, nafsu makan kurang, lemas, berat badan

menurun). Timbulnya gejala komplikasi antara lain gagal jantung, gejala emboli

pada organ, misalnya gejala neurologis, sakit dada, sakit perut kiri atas, hematuria,

tanda iskemia di ekstremitas, dan sebagainya Elektrokardiogram dan gambaran

radiologis tergantung kelainan dasar jantung. Gangguan konduksi menunjukkan

kemungkinan terjadinya abses atau endokarditis. Bila ada gagal jantung akan

ditemukan pembesaran jantung dan tanda terdengar di paru (Hersunarti, 2003).

4. Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan terhadap penyebab infeksi endokarditis dapat mengurangi resiko

emboli serebral. Resiko emboli ulang jarang terjadi setelah pemberian terapi yang

memadai. Terapi yang diberikan yaitu: penicillin G 4x3 juta unit/hari selama 4

minggu, kemudian diteruskan gentamicin 3x1 mg/koagulan/hari selama 2 minggu.

Tindakan pembedahan perlu dipertimbangkan apabila dengan pemberian antibiotik

mengalami kegagalan. Pada keadaan-keadaan seperti:

 Emboli yang berulang

 Terjadinya absces sehingga terjadi kelainan sistim konduksi

 Pada pemeriksaan echokardiography terdapat lebih dari satu major emboli

dengan ukuran lebih 10 mm

 Terjadi kegagalan jantung

 Jamur sebagai penyebab endokarditisnya.

 Pada katup tiruan dimana terjadi infeksi bakteri pyogenik.

6
Maka pada keadaan-keadaan tersebut perlu dipertimbangkan tindakan-tindakan

pembedahan. Penatalaksaan terhadap komplikasi neurologi tergantung dari

komplikasi apa yang terjadi. Bila pada pemeriksaan CT scan angiography

didapatkan mycoctic aneurysma, hematoma, absces dengan diametr > 2 cm

dipertimbangkan tindakan pembedahan. Pemakaian antikoagulan mempunyai

resiko perdarahan akibat mykotik aneurisma, dan pemakaian antibiotik dipilih

yang dapat menembus blood brain barier.

1.3 Penyakit Kronis (Hipertensi)

1. Penjelasan Epidemiologi

Penyakit hipertensi merupakan penyakit peningkatan darah yang dapat berlnjut

pada satu target organ, seperti stroke untuk otak, dan penyakit jantung koroner

untuk pembuluh darah jantung serta untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi

masalah utama pada masyarakat Indonesia maupun banyak negara. Semakin

bertambanya populasi usia lanjut di suatu negara, semakin meningkat juga

kemungkinan penderita hipertensi. Diperkirakan 80% kenaikan kasus hipertensi

terutama di negara berkembang pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di

tahun 2000. Diperkirakan meningkat menjadi 1,15 milyar kasus pada tahun 2025.

Prediksi ini berdasarkan penderita hipertensi saat ini dan peningkatan jumlah

penduduk saat ini (Armilawati et al, 2007). Angka-angka prevalensi hipertensi

telah dikumpulkan dan masih banyak warga penderita hipertensi di pedesaan yang

belum mnedapatkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007, diketahui hampir seperempat (24,5%) penduduk Indonesia usia

di atas 10 tahun mengkonsumsi makanan asin setiap hari, satu kali atau bahkan

lebih. Sementara prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari populasi

pada usia 18 tahun ke atas. Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir

7
dengan penyakit stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan

kebutaan. Pada orang dewasa, peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20

mmHg menyebabkan peningkatan 60% risiko kematian akibat penyakit

kardiovaskuler. Hipertensi perlu diwaspadai karena merupakan bahaya diam-diam.

Tidak ada gejala atau tanda khas untuk peringatan awal bagi penderita hipertensi.

Selain itu, banyak orang merasa sehat dan energik walaupun memiliki hipertensi.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, sebagian besar kasus

hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.

2. Resiko Agen Penyakit

Agen adalah suatu substansi tertentu yang keberadaannya atau

ketidakberadaannya dapat menimbulkan penyakit atau mempengaruhi perjalanan

suatu penyakit. Agen pada penyakit hipertensi adalah:

a. Faktor Nutrisi

 Konsumsi garam dapur yang mengandung iodium yang dianjurkan tidak

lebih dari 6 gram/hari atau setara dengan satu sendok teh. Namun dalam

kenyataan di masyarakat, konsumsi garam dapur berlebih karena budaya

memasak masyarakat kita yang umumnya tergolong banyak menggunakan

garam, serta kebiasaan memakan makanan yang mengandung banyak garam

sehingga masyarakat kita sulit untuk dapat menerima makanan yang agak

tawar.

 Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan peningkatan konsentrasi

natrium di dalam cairan ekstraseluler. Untuk menormalkannya agar

seimbang, cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan

ekstraseluler meningkat. Peningkatan volume cairan ekstraseluler tersebut

8
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada

timbulnya tekanan darah yang tinggi atau hipertensi.

 Minuman yang mengandung kafein dan alkohol. Minuman yang

mengandung kafein seperti kopi dan alkohol juga dapat meningkatkan

resiko hipertensi

 Mengkonsumsi makanan cepat saji juga merupakan salah satu penyebab

hipertensi, karena mengandung penyedap yang berlebihan.

b. Faktor Kimia

Mengkonsumsi obat-obatan seperti kokain, Pil KB Kortikosteroid, Siklosporin,

Eritropoietin, Penyalahgunaan Alkohol, (dalam jumlah sangat besar).

c. Faktor Biologis

Penyebab hipertensi sebagian besar belum diketahui, namun beberapa penilitian

telah membuktikan bahwa hipertensi berhubungan erat dengan resistensi insulin

atau peningkatan kadar insulin (hiperinsulinemia). Kedua hal ini, hipertensi dan

resistensi insulin merupakan karakteristik dari sindrom metabolik, kelompok

abnormalitas yang terdiri dari obesitas, peningkatan trigliserid, dan HDL rendah

(kolesterol baik) dan terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan

faktor pengatur tekanan darah sesorang. Walaupun sepertinya hipertensi

merupakan penyakit keturunan, namun hubungannya antara keduanya tidak

sesederhana itu. Hipertensi merupakan hasil dari interaksi gen yang beragam,

sehingga tidak ada tes genetik yang dapat mengidentifikasi orang yang berisiko

untuk terjadi hipertensi secara terus menerus. Dalam pasien dengan kasus

diabetes mellitus atau penyakit ginjal, beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor resiko

terjadinya hipertensi.

9
d. Faktor Fisik

Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi

pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Gaya hidup

yang bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki jarang

berolahraga. Asupan antara nutrisi dan aktivitan yang tidak seimbang

mengakibatkan peningkatan berat badan. Berat badan yang berlebih akan

membuat seseorang susah bergerak dengan bebas. Jantungnya harus bekerja lebih

keras untuk memompa darah agar bisa menggerakkan tubuh terdebut. Karena itu

obesitas/berat yang berlebihan termasuk salah satu yang meningkatkan resiko

hipertensi.

3. Pencegahan/Pengobatan

Agar terhindar dari komplikasi yang makin serius dari penyakit hipertensi,

harus diambil tindakan pencegahan yang baik, dengan cara sebagai berikut:

a. Mengurangi konsumsi garam.

b. Menghindari kegemukan (obesitas).

c. Membatasi konsumsi lemak

d. Olahraga teratur.

e. Makan banyak buah dan sayuran segar.

f. Tidak merokok dan minum alkohol

g. Latihan relaksasi atau meditasi.

Hipertensi juga bisa dicegah dengan beberapa cara, yaitu:

a. Pencegahan primodial

Pencegahan primodial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor risiko

terhadap penyakit hipertensi yang merupakan pencegahan tahap awal.

10
b. Pencegahan primer

Yang dimaksud dengan pencegahan primer hipertensi adalah pencegahan yang

dilakukan terhadap seseorang/ masyarakat sebelum terkena hipertensi.Sasaran

pencegahan primer adalahorang yang masih sehat dengan tujuan agar

seseorang/masyarakat tersebut dapat terhindar dari hipertensi.

c. Pencegahan Sekunder

Yang dimaksud dengan pencegahan sekunder hipertensi adalah pencegahan

yang dilakukan terhadap seseorang/masyarakat yang memiliki faktor risiko

hipertensi. Dengan upaya untuk mencegah timbulnya komplikasi.

d. Pencegahan Tersier

Yang dimaksud dengan pencegahan tersier hipertensi pencegahan yang

dilakukan terhadap seseorang/masyarakat yang telah terkena hipertensi. Sasaran

pencegahan tersier hipertensi adalah penderita hipertensi dengan tujuan

mencegahproses penyakit lebih lanjut yang mengarah pada kecacatan/

kelumpuhan bahkan kematian akibat komplikasi.

Sedangkan untuk pengobatan terhadap orang yang sudah mengalami hipertensi

adalah sebagai berikut:

a. Diuretik

b. Penyekat beta

c. Antagonis kalsium

d. Inhibotor

e. Obat anti hipertensi sentral

f. Obat penyekat alpha

11
g. Vasodilator

DAFTAR PUSTAKA

Departement of Health, 2013. Campak, gondok, rubella dan cacar air (varicella). Victorian
Goverment, Melbourne.

https://adhienbinongko.wordpress.com/2012/11/26/hipertensi-epidemiologi-penyakit-tidak-

menular/

http://www.hmpd-untad.org/bulletin-disease-v-varicella-chicken-pox/

http://www.penyakithipertensi.com/2015/11/epidemiologi-hipertensi.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26067/Chapter%20II.pdf?sequence=4

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1993/bedah-iskandar

%20japardi13.pdf;jsessionid=A25894275DB4F7C78FE61C7093AFFEE5?sequence=1

Theresia, Hadionegoro, S.R.S., 2010. Terapi Asiklovir pada Anak dengan Varisela tanpa

Penyulit. Sari Pediatri. 11 (6): 440-447

12
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya Edisi 2. EMS, Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai