Anda di halaman 1dari 12

‫‪.

I‬‬

‫إِنَّ ْال َحمْ َد هَّلِل ِ‪َ ،‬نحْ َم ُدهُ َو َنسْ َت ِع ْي ُن ُه َو َنسْ َت ْغ ِف ُرهُ‪،‬‬
‫شر ُْو ِر أَ ْنفُ ِس َنا‪َ ،‬و ِمنْ‬ ‫هلل ِمنْ ُ‬ ‫َو َنع ُْو ُذ ِبا ِ‬
‫ُض َّل‬‫ت أَعْ َمالِ َنا‪َ ،‬منْ َي ْه ِد ِه هللاُ َفاَل م ِ‬ ‫َس ِّي َئا ِ‬
‫ي َلهُ‪َ ،‬وأَ ْش َه ُد أَنْ‬ ‫َلهُ‪َ ،‬و َمنْ يُضْ لِ ْل َفاَل َها ِد َ‬
‫ْك َلهُ‪َ ،‬وأَ ْش َه ُد‬ ‫اَل إِ َل َه إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري َ‬
‫صلِّى‬ ‫أَنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ‪ .‬اَللَّ ُه َّم َ‬
‫َع َلى م َُح َّم ٍد َو َع َلى اَلِ ِه َوأَصْ َح ِاب ِه َو َمنْ‬
‫َت ِب َع ُه ًدى‬

‫ق تُقَاتِ ِه َواَل‬ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ َ‬


‫ين آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َح َّ‬
‫ون‪[  ‬آل عم ران‪:‬‬ ‫تَ ُم وتُ َّن إِاَّل َوأَ ْنتُ ْم ُم ْس لِ ُم َ‬
‫‪.]102‬‬
‫ين آ َمنُ وا اتَّقُ وا هَّللا َ َوقُولُ وا ْ‬
‫قَواًل‬ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ َ‬
‫ُص لِحْ لَ ُك ْم أَ ْعمَالَ ُك ْم َويَ ْغفِ رْ‬‫َس ِدي ًدا (‪ )70‬ي ْ‬
‫لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َو َم ْن ي ُِط ِع هَّللا َ َو َرسُولَهُ فَقَ ْد فَا َز‬
‫فَ ْو ًزا َع ِظي ًما‪[  ‬األحزاب‪.]71 ،70 :‬‬
:‫أَ َّما بَ ْع ُد‬
‫ َو َخ ْي َر‬،ِ‫ث ِكتَابُ هللا‬ ِ ‫ق الحَ ِد ْي‬ َ ‫ص َد‬ ْ َ‫فَإ ِ َّن أ‬
‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صل‬
َ – ‫ي ُم َح َّم ٍد‬ُ ‫ي هَ ْد‬ ِ ‫الهَ ْد‬
‫ َو ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة‬،‫ َو َش َّر األُ ُم ْو ِر ُمحْ َدثَاتُهَا‬،-
‫ض اَل لَ ٍة‬ َ ‫ َو ُك َّل‬،ٌ‫ض اَل لَة‬ َ ‫ َو ُك َّل بِ ْدعَ ٍة‬،ٌ‫بِ ْد َعة‬
ِ َّ‫فِي الن‬
.‫ار‬
‫ث َّم أَمَّا َبعْ ُد‬:ُ
***
Cinta kepada Allah merupakan konsekuensi keimanan. Tidak akan
sempurna tauhid (peng-Esaan) kepada Allah hingga seorang hamba
mencintai Tuhannya secara sempurna. Kecintaa tidak bisa
didefinisikan dengan lebih jelas keculai dengan kata “kecintaan” itu
sendiri. Dan tidak bisa disifatkan dengan yang lebih jelas seperti kata
“kecintaan ” itu sendiri. Tidak ada sesuatu yang esensinya patut
dicintai dari segala sisi  selain Allah, yang memang tidak boleh ada
penyembahan, peribadatan, ketundukan dan kepatuhan serta
kecintaan yang sempurna kecuali hanya kepada Nya –Subhanahu wa
Ta’ala-.

Cinta kepada Allah, bukanlah sembarang cinta; tidak ada suatu


apapun yang lebih dicintai dalam hati seseorang selain Sang
Penciptanya, Kreatornya. Dialah Tuhannya, Sesembahannya,
Pelindungnya, Pengayomnya, Pengaturnya, Pemberi rezekinya, dan
Pemberi hidup dan matinya. Maka mencintai Allah –Subhanahu wa
Ta’ala– merupakan kesejukan hati, kehidupan jiwa, kebahagiaan
sukma, hidangan batin, cahaya akal budi, penyejuk pKitangan dan
pelipur perasaan.
Tiada suatu apapun menurut hati yang bersih, sukma yang suci,
pikiran yang jernih lebih indah, lebih nyaman, lebih lezat, lebih
menyenangkan dan lebih nikmat dari pada kecintaan kepada Allah,
perasaan tenteram damai di sisi-Nya dan kerinduan akan
perjumpaan dengan-Nya.

Yahya Bin Mu’adz berkata :


“Ampunan-Nya mencakup (menggugurkan) seluruh dosa, lalu
bagaimana lagi dengan ridho-Nya?  Ridho-Nya begitu mendominasi
seluruh cita-cita dan harapan, lantas bagaimana dengan kecintaan-
Nya? Kecintaan-Nya begitu mengagumkan akal pikiran, lalu
bagaimana dengan kasih sayang-Nya? Kasih sayangnya begitu
melupakan segala yang selainNya, lalu bagaimana dengan
kelembutan-Nya?

Maka, terukur dengan sejauh mana cinta kasih seseorang kepada


Allah, sejauh itu pula ia akan merasakan lezat dan manisnya iman.
Barangsiapa yang hatinya karam dalam kecintaan kepada Allah,
maka cukuplah hal itu menjadikannya tidak perlu dengan kecintaan,
kekhawatiran dan kepasrahan hati kepada selain Allah. Sebab tidak
ada yang dapat memuaskan hati, tidak bisa mengisi relung-relung
cinta hatinya, serta tidak bisa mengenyangkan rasa laparnya kecuali
cinta kepada Allah –Subhanahu wa Ta’ala-.

***
Kitakan saja hati seseorang mendapatkan segala apa yang
melezatkan, tidaklah ia merasa damai dan tenteram kecuali dengan
kecintaannya kepada Allah –Subhanahu wa Ta’ala-. Jika seseorang
kehilangan cinta kepada Allah dalam hatinya, maka kepedihan yang
dirasakannya jauh lebih parah dari pada kepedihan mata karena
kehilangan cahaya pengelihatan, atau kepedihan telinga karena
kehilangan pendengaran, hidung karena kehilangan penciuman dan
mulut karena kehilangan kemampuan berbicara, bahkan kerusakan
hati akibat kekosongan dari rasa cinta kepada Allah sebagai
Penciptanya, Pencetus wujudnya dan Tuhan sesembahannya yang
sejati, jauh lebih berat dari pada kerusakan fisik karena terpisah dari
nyawanya.
Esensi (hakikat) cinta adalah bilamana Kita merelakan segala yang
Kita miliki untuk seseorang yang Kita cintai sehingga tidak
menyisakan sedikitpun apa yang ada pada diri Kita. Di sinilah, maka
kecintaan seseorang kepada Allah hendaklah mengalahkan
mendominasi segala perkara yang dicintai, sehingga apapun yang
dicintai oleh seseorang tunduk kepada cinta yang satu ini yang
menjadi penyebab kebahagiaan dan kesuksesan bagi dirinya.

Kadar kecintaan dalam hati orang yang mencintai Allah adalah


bertingkat-tingkat. Itulah sebabnya, Allah –Subhanahu wa Ta’ala–
melukiskan betapa besarnya kecintaan orang-orang mukmin
kepada-Nya dalam firman-Nya :

]165 / ‫ين َء َامنُ ٓواْ أَ َش ُّد ُحبّالِلَّ ۗ ِه [ البقرة‬‫ذ‬


َ َ
ِ َّ‫وٱل‬
“Orang-orang yang beriman sangat mendalam cintanya kepada
Allah.”. Qs Al-Baqarah : 165

Kata “Asyaddu” (sangat mendalam) menjadi bukti adanya tingkatan


cinta dalam hati mereka. Artinya, ada cinta yang lebih tinggi dan
kemudian ada lagi yang lebih tinggi.
Cinta kepada Allah berarti kita mengutamakan segala sesuatu yang
disenangi Allah di atas diri kita, jiwa kita dan harta benda kita, lalu
ketaatan kita kepada Allah dalam kesendirian dan keramaian,
kemudian kesadaran diri akan kelalaian Kita dalam mencintai Allah.
Seharusnya secara totalitas kita mencintai Allah dengan
mencurahkan jiwa dan raga serta pengembaraan hati dalam upaya
mencari Sang Kekasih, dengan lisan yang selalu bergerak untuk
menyebut nama-Nya.
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– bersabda : “Aku memohon
kepada-Mu agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang
mencintai-Mu dan mencintai amal yang mendekatkan diriku untuk
mencinta-Mu.”
Suatu kecintaan yang apabila telah melekat di hati seseorang dan
memuncak, akan menjadi al-Walah (ketundukan/peribadatan), dan
al-Walah adalah kecintaan yang sangat dalam. Karenanya at-taalluh
(ketundukan dan peribadatan) kepada Allah adalah bentuk kecintaan
yang dalam kepada Allah dan kecintaan terhadap perkara yang
datang dari sisi Allah.

Seorang mukmin ketika mengenal Tuhannya, pastilah ia cinta


kepada-Nya. Ketika itulah dirinya memusatkan perhatian kepada-
Nya. Jika ia telah dapat merasakan manisnya konsentrasi kepada-
Nya, maka ia tidak lagi melihat dunia dengan kaca mata syahwat
(kelezatan sesaat) dan tidak pula melihat akhirat dengan pKitangan
pesimistis (kendur semangat).
Cinta kepada Allah mendorong seseorang melakukan kewajiban dan
meninggalkan larangan, memacu seorang hamba melaksanakan
amal ibadah sunnah, dan mencegahnya berbuat hal-hal yang
makruh (tidak selayaknya dilakukan).
Cinta kepada Allah memenuhi hati seseorang dengan kelezatan dan
manisnya iman.

***
“Akan dapat merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah
sebagai Tuhan-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad –
shallallahu alaihi wa sallam– sebagai rasul.”

Cinta kepada Allah dapat mengusir dari dalam hati segala bentuk
kecintaan kepada apa saja yang tidak disenangi Allah. Organ-organ
tubuh dengan dorongan kecintaan kepada Allah akan tergugah
untuk beribadah kepada-Nya, dan jiwa menjadi tenteram karenanya.

Allah berfirman dalam hadis qudsi :


‫ص َر ُه‬ ‫ب‬‫و‬ ِ ِ‫ت سمعهُ الَّ ِذي يسمع ب‬
‫ه‬ ِ
َ ََ ُ َ ْ َ َ ْ َ ُ ُ ُ َْ ْ َ‫ف‬
‫ن‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ه‬ ‫ت‬‫ب‬ ‫ب‬ ‫َح‬‫أ‬ ‫ا‬‫ذ‬
َ ‫إ‬
‫ َو ِر ْجلَ ُه‬،‫ش بِ َها‬ ِ ‫ وي َدهُ الَّتِي يب‬،‫صر بِ ِه‬
‫ط‬ ِ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ِ َّ‫ال‬
‫ذ‬
ُ َْ َ َ ُ ُْ
‫ الَّتِي يَ ْم ِشي بِ َها‬.
“Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya
yang dia gunakan mendengar, penglihatannya yang dia gunakan
melihat, tangannya yang dia gunakan memukul dan kakinya yang
digunakan berjalan.”
Seeorang yang sedang mencintai, karena keasyikan dan kelezatan
cintanya ia akan melupakan segala derita cobaan, tidak terasa
baginya kepedihan yang dirasakan orang lain. Cinta kepada Allah
merupakan kekuatan yang sangat kuat untuk mendorong seseorang
mampu bertahan untuk tidak melanggar dan mendurhakai Allah.

“ ‫ب ُم ِط ْي ٌع‬ ‫ح‬ِ ‫ي‬ ‫ن‬‫م‬ِ َّ ‫الم ِح‬


ُّ ُ ْ َ ‫ب ل‬ ُ َّ
‫إن‬ ”
“Orang yang mencintai tunduk kepada sang kekasih yang
dicintainya.”
Semakin kuat dorongan cinta dalam hati seseorang, akan semakin
kuat pula dorongan untuk melaksanakan ketaatan serta
menghindari kemaksiatan dan pelanggaran. Sebab kemaksiatan dan
pelanggaran hanya terjadi akibat lemahnya dorongan cinta dalam
diri seseorang.

Cinta yang sejati, membuat seseorang merasa dikawal oleh


pengawas dari sang kekasih untuk membimbing hatinya berikut
organ-organ tubuhnya. Hanya sekedar cinta tidak akan berdampak
positif seperti ini selama tidak disertai sikap pengagungan dan
pemuliaan terhadap sang kekasih. Jika cinta itu disertai sikap
pengagungan dan rasa hormat, maka akan melahirkan rasa malu
berikut ketaatan. Namun jika kosong dari sikap pengagungan dan
rasa hormat, maka cinta model itu hanya membuahkan semacam
kemesraan, kepuasan, keharuan dan kerinduan belaka. Itulah
sebabnya, mengapa pengaruh positif cinta tersebut tidak ada. Ketika
yang bersangkutan memeriksa hatinya, ternyata ia pun menemukan
rasa cinta kepada Allah, tetapi cinta yang tidak mendorong dirinya
untuk meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya.

Sebabnya adalah, kehampaan cinta tersebut dari sikap pengagungan


dan rasa hormat. Padahal tidak ada sesuatu yang mampu
memakmurkan hati setara dengan cinta yang disertai sikap
pengagungan dan rasa hormat. Itulah anugerah Allah –Subhanahu
wa Ta’ala– yang paling besar dan paling utama bagi seorang hamba,
dan itu pula karunia Allah yang berikan kepada orang yang
dikehendaki-Nya.

Cinta yang hampa dari sikap ketundukan dan kerendahan hati,


sesungguhnya hanyalah pengakuan cinta yang tidak bermutu. Sama
seperti orang yang mengaku dirinya cinta kepada Allah, tetapi tidak
mau melaksanakan perintah-Nya dan tidak patuh kepada sunnah
Nabi-Nya Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-; tidak
meneladaninya dalam ucapan, perbuatan dan amal ibadah.

Tidak disebut cinta kepada Allah dan tidak pantas mengaku cinta
kepada-Nya orang yang tidak meneladani Rasulullah –shallallahu
alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Allah menceritakan tentang
ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam firman-Nya :

ِ‫َّصر ٰى نَ ۡحن أَ ۡب ٰنَٓ ُؤاْ ٱللَّه‬


ٰ ِ
ۡ‫ت ٱ ي‬
ُ َ َ َ ُ ُ َ َ‫َوقَال‬
‫ن‬ ‫ٱل‬ ‫و‬ ‫ود‬ ‫ه‬‫ل‬
ِ ‫وأ‬
]18 / ‫َح ٰبَّ ُؤهُۥۚ [ المائدة‬ َ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Qs Al-Maidah : 18
Pengakuan semata tanpa bukti nyata, semua orang pun bisa berbuat
seperti itu. Di sinilah Allah memadamkan seluruh pengakuan dan
menyingkap kedok kepalsuannya dalam firmanNya :
‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ِحبُّو َن اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُ ْحبِْب ُك ُم اللَّ ُه‬
‫يم [ آل‬ ‫ح‬ِ ‫ويغْ ِفر لَ ُكم ذُنُوب ُكم واللَّه غَ ُفور ر‬
ٌ َ ٌ ُ َ ْ َ ْ ْ ََ
]31/‫عمران‬
“Katakanlah jika kalian benar mencintai Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai kalian dan memaafkan dosa-dosa kalian, dan
Allah maha pengampun lagi penyayang.” Qs Ali-Imron : 31

Diantara indikasi cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang


yang taat kepada Allah, loyal kepada wali-wali Allah, dan memusuhi
orang-orang yang membangkang kepada-Nya, berjihad melawan
musuh-musuh-Nya dan menolong para penolong-Nya. Semakin kuat
kecintaan hamba kepada Allah maka semakin kuat pula praktik
amal-amalnya.

Di sini penting bagi kita untuk mengenal sebab-sebab yang


mendatangkan kecintaan kepada Allah. Diantaranya  :
Mengenal nikmat dan karunia Allah kepada para hambaNya yang
tidak terhitung dan tidak terhingga.

/ ‫وها [ النحل‬ ‫ص‬ ‫ح‬‫ت‬ ِ


‫ه‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ة‬ ‫م‬ ِ ُّ ِ
َ ُ ْ ُ ‫اَل‬ َ َ ْ ُ ‫َوإ‬
‫ع‬‫ن‬ ‫وا‬ ‫د‬ ‫ع‬‫ت‬َ ‫ن‬
ْ
]18
“Dan jika kalian menghitung nikmat-nikmat Allah maka kalian tidak
akan mampu menghitungnya” (QS An-Nahl : 18)

Mendatangkan kecintaan kepada Allah adalah mengenal Allah –


Subhanahu wa Ta’ala– melalui nama-namaNya yang terindah dan
sifat-sifatNya serta perbuatan-perbuatanNya.  Siapa yang mengenal
Allah maka ia akan mencintai Allah, siapa yang mencintai Allah maka
ia akan taat kepadaNya, siapa yang taat kepada Allah maka Allah
akan memuliakannya, dan siapa yang dimuliakan Allah maka Allah
akan menempatkannya di sisiNya, dan siapa yang ditempatkan oleh
Allah di sisi-Nya maka sungguh mujur nasibnya.

Merenungkan tentang kerajaan-Nya di langit dan di bumi.


Semua yang Allah ciptakan merupakan tKita-tKita yang
melambangkan keagungan-Nya, kemaha-kuasaan-Nya, kemuliaan-
Nya, kesempurnaan-Nya, keperkasaan-Nya, kelembutan dan kasih
sayang-Nya, dan nama-nama Allah yang demikian indah serta sifat-
sifatNya yang luhur lainnya. Maka semakin kuat makrifat
(pengenalan) hamba tentang Allah, maka semakin kuat pula rasa
cintanya kepada Allah dan kecintaannya untuk mentaati-Nya.

Bersikap tulus dan ikhlas dalam bermu’amalah dengan Allah,


serta tidak menuruti kemauan hawa nafsu. Hal ini merupakan
penyebab turunnya karunia Allah kepada hambaNya sehingga
anugerah cinta kepada-Nya dapat diraih.
Diantara sebab terbesar untuk mendatangkan kecintaan kepada
Allah adalah memperbanyak dzikir ( mengingat) Allah.

“‫شيئًا أ ْك َث َر ِم ْن ِذ ْك ِر ِه‬
ْ ‫ب‬َّ ‫أح‬
َ ‫”فَ َم ْن‬
“Siapa yang cinta kepada sesuatu, maka ia akan sering menyebutnya.
Allah berfirman :

]28 / ‫وب [ الرعد‬ُ‫ل‬ ‫ق‬


ُ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬
ُّ ِ‫أَاَل بِ ِذ ْك ِر اللَّ ِه تَطْمئ‬
ُ َ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Qs Ar-Ra’du : 28

،‫الس نَّ ِة‬


ُ ‫آن َو‬ ِ ‫بَ ا َر َك هللاُ لِي َولَ ُك ْم فِي القُ ْر‬
‫ت‬ِ ‫َونَفَ ْعنِي َوإِيَّا ُك ْم بِ َم ا فِ ْي ِه َم ا ِم َن اآليَ ا‬
ْ َ‫ أَقُ ْو ُل القَ ْو َل َه َذا ؛ َوأ‬،‫الح ْك َم ِة‬
َ‫ستَ ْغفُ ُر هللا‬ ِ ‫َو‬
ٍ ‫س لِ ِم ْي َن ِمنْ ُك ِّل َذ ْن‬
‫ب‬ َ ِ‫لِ ْي َولَ ُك ْم َول‬
ْ ‫س ائِ ِر ال ُم‬
‫اس تَ ْغفِ ُر ْوهُ يَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم إِنَّهُ ُه َو ال َغفُ ْو ُر‬ ْ َ‫ف‬
. ‫ال َر ِح ْي ُم‬
II.

‫اَ ْل َح ْم ُد هَّلِل ِ َح ْمداً َكثِيْراً طَيِّبا ً ُمبَا َركا ً فِ ْي ِه َكمَا‬


‫ َوأَ ْش هَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل‬،‫ضى‬ َ ْ‫ي ُِحبُّ َربُّنَا َويَر‬
ً‫ َوأَ ْش هَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدا‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬
‫ص لِّى َعلَى ُم َح َّم ٍد َو‬ َ ‫َع ْب ُدهُ َو َر ُس ْولُهُ؛ اَللَّهُ َّم‬
.‫َعلَى اَلِ ِه َوأَصْ َحابِ ِه أَجْ َم ِعي َْن‬
‫أَمَّا َبعْ ُد‬
***
Di sini ada empat bentuk kecintaan yang harus dibedakan satu
dengan yang lainnya.
Pertama : Kecintaan kepada Allah. Kecintaan ini semata tidak cukup
untuk menyelamatkan seseorang dari azab Allah dan meraih
ganjaran dari pada-Nya. Karena kaum musyrikin, para penyembah
salib, kaum yahudi, dan yang lainnya juga mencintai Allah.

Kedua : Mencintai apa yang dicintai oleh Allah, dan kecintaan inilah
yang memasukan seseorang ke dalam Islam dan mengeluarkannya
dari kekufuran. Sedangkan orang yang paling dicintai oleh Allah
adalah yang paling mampu mengaplikasikan kecintaan ini dan yang
paling konsisten menjalankannya.
Ketiga : Cinta di jalan Allah dan karena Allah. Maka inilah
konsekuensi dari mencintai apa yang dicintai oleh Allah, yang mana
tidak akan lurus kecintaan apa yang dicintai oleh Allah kecuali
melalui cinta di jalan-Nya dan karenaNya.

Keempat : Mencintai selain Allah di samping cinta kepada Allah.


Inilah cinta kesyirikan. Maka semua yang mencintai sesuatu yang lain
bersamaan dengan kecintaan kepada Allah, bukan karena Allah, dan
bukan juga di jalan Allah, maka ia telah menjadikannya sebagai
partner atau tandingan bagi Allah. Inilah bentuk kecintaan kaum
musyrikin.

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah


tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman, maka amat sangat mendalam cintanya kepada Allah.” Qs
Al-Baqoroh : 165

‫آل ُم َح َّم ٍد َك َما‬ ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬ َ ‫للَّهُ َّم‬


،‫آل إِ ْب َرا ِه ْي َم‬ ِ ‫ْت َعلَى إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َعلَى‬ َ ‫صلَّي‬َ
‫ار ْك َعلَى ُم َح َّم ٍد‬ ِ َ‫ َوب‬.‫ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬ َ َّ‫إِن‬
‫ت َعلَى إِ ْب َرا ِه ْي َم‬ َ ‫آل ُم َح َّم ٍد َك َما بَا َر ْك‬ ِ ‫َو َعلَى‬
 .‫ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬َ َّ‫ إِن‬،‫آل إِ ْب َرا ِه ْي َم‬
ِ ‫َو َعلَى‬
‫ين َسبَقُونَا‬ َ ‫َربَّنَا ا ْغفِرْ لَنَا َوإِل ِ ْخ َوانِنَا الَّ ِذ‬
‫ين‬َ ‫ان َواَل تَجْ َعلْ فِي قُلُوبِنَا ِغاّل ً لِّلَّ ِذ‬ ِ ‫بِاإْل ِ ي َم‬
‫َّحي ٌم‪ ‬‬
‫وف ر ِ‬ ‫ك َر ُؤ ٌ‬ ‫آ َمنُوا َربَّنَا إِنَّ َ‬
‫َربَّنَا ظَلَ ْمنَا أَنفُ َسنَا َوإِن لَّ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا‬
‫ين‪ ‬‬ ‫اس ِر َ‬ ‫َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكونَ َّن ِم َن ْال َخ ِ‬
‫َربَنَا َءاتِنَا فِي ال ّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِي ْاألَ ِخ َر ِة‬
‫ى هللاُ َعل َى‬ ‫صل َّ‬ ‫ار‪َ .‬و َ‬ ‫ِ‬ ‫ّ‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫اب‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ذ‬ ‫ع‬
‫َ‬ ‫ا‬‫َ‬ ‫ن‬‫ِ‬ ‫ق‬‫و‬‫َ‬ ‫ً‬ ‫َح َسنَة‬
‫صحْ بِ ِه تَ ْسلِي ًما َكثِي ًرا‬ ‫ُم َح َّم ٍد َو َعل َى آلِ ِه َو َ‬
‫ب ْال َعال ِم َ‬
‫ين‪.‬‬ ‫آخ ُر َد ْع َوانَا أَ ِن ْال َح ْم ُد هلِل ِ َر ِّ‬ ‫َو ِ‬

Anda mungkin juga menyukai