Anda di halaman 1dari 8

SIKUT-MENYIKUT POLITIK DAN HUKUM DALAM MEMBENTUK

NEGARA DEMOKRASI

A. ABSTRAKSI
Democracy is a dream of the founders of the Indonesian state. By applying the
principle of Trias Politica, the expected would be balance between the three institutions. But
in the real life, it did not run as expected. Law is a set of rules generated by a political
agreement. And it is clearly that the politic is vehicle to achieve the desired objectives.
In another time, the Judiciary (in this condition, Constitutional Court) is expected as a
mediator in the event of irregularities, instead do politic through its decision. Although he did
not side with anyone (independent), but he clearly benefiting himself by changing the clauses
of the Act, and do not interpret the law as the author intended.

Key words : Politic, more determinate than law.

B. PENDAHULUAN
Karya tulis ini memuat tentang kondisi nyata yang saat ini dialami bukan saja oleh
negara Indonesia, bahkan dunia Internasional tak lepas dari pergulatan antara politik dan
hukum dalam menuju negara demokrasi. Tak sedikit ahli ambil peran dalam merumuskan
berbagai teori demi menggagas terwujudnya negara demokrasi ideal.
Politik dan hukum, merupakan dua hal yang tak asing lagi bagi kita. Tak diragukan
lagi peran keduanya mengambil andil besar dalam menentukan mau dibawa kemana suatu
negara. Dalam studi mengenai hubungan politik dan hukum, dikatakan bahwa ada 3 asumsi
dasar. Pertama, hukum determinan atas politik. Maksudnya adalah, adanya hukum sebagai
penentu arah bagi politik. Kedua, politik determinan terhadap hukum. Maknanya hampir sama
dengan yang pertama, bahwa pada asumsi ke-2 ini politiklah yang menentukan hukum yang
bagaimana akan berlaku. Ketiga, politik dan hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Hal ini mendasar pada adagium terkenal “ politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-
wenangan. Dan hukum tanpa politik, lumpuh”.1
Tulisan ini utamanya membahas mengenai politik, dan hukum, serta implikasinya
terhadap demokrasi yang selalu menjadi cita-cita setiap bangsa dalam perjalanan hidupnya.
Dibahas juga mengenai permasalahan mendasar mengenai apakah benar politik yang

1
Mahfud MD. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. sub bab Pendahuluan. Hlm xi
menentukan hukum. Atau sebaliknya, dimana hukumlah yang menentukan politik. Pun juga
keterkaitan keduanya terhadap terbentuknya negara demokrasi.

C. PEMBAHASAN
Demokrasi adalah cita-cita luhur bagi setiap negara. Sebagai negara berkembang,
Indonesia yang baru saja merdeka 7 dekade terakhir pastilah berangan-angan mewujudkan
negara demokrasi yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Dijelaskan dalam alinea ke –IV
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menjadi fokus dan tujuan
lahirnya negara Indonesia.
Zaman berganti, tiap generasi memiliki cerita. Pasca kemerdekaan, di tengah euphoria
kemerdekaan, justru melahirkan berbagai penyimpangan terkait kebijakan-kebijakan yang
ada. Berlanjut ke zaman Orde Baru, dimana pengusaha dan militer memenuhi kursi pejabat
negara dan mengendalikan roda pemerintahan. Senantiasa bergulir, mewariskan nilai-nilai
yang tak seharusnya pada generasi selanjutnya. Tujuh puluh tahun Indonesai mengaku
merdeka, berusaha mandiri membangun bangsa. Tak ayal sebagaimana pidato presiden
pertama Republik Indonesia. Bahwa sesungguhnya merdeka dari penjajah tak sesulit
memerdekakan diri dari belenggu kemaksiatan, kebodohan yang menimpa suatu bangsa.
Banyak kita jumpai, dalam teori seakan-akan demokrasi adalah hal yang sangat mulia,
sehingga pada setiap kontes 5 tahunan, mereka berebut memberi janji akan terwujudnya
demokrasi. Berbagai cara dilakukan, berbagai sokongan dikumpulkan, bahkan tak sedikit
pelaku usaha menjadi sandaran untuk mendapat dukungan. Tak asing bagi kita terkait peran
pengusaha dalam mendukung wakil rakyat. Kebijakan yang nantinya akan dihasilkan adalah
buah dari kesepakatan mereka di kala pemilihan.
Hukum yang berlaku, ditentukan oleh politik seperti apa yang berkembang saat itu.
Bahkan Undang-Undang Dasar pun tak memiliki cukup kekuatan untuk mempertahankan
dirinya sehingga diubah untuk ke-empat kalinya tahun 2002 silam. Ini adalah salah satu bukti
nyata bahwa politik determinan terhadap hukum. Begitu pula halnya dengan produk hukum di
bawahnya. Hampir semua produk hukum berupa undang-undang menjadi santapan lezat bagi
para pemain demokrasi. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Barda Nawawi, Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, pada Undang-Undang Minerba misalnya, sangat
kabur dalam hal pembahasan pidana seperti apa agar korporasi dapat dimintai pertanggung
jawaban.2 Bukan kah ini merupakan suatu celah yang memungkinkan badan usaha bertindak

2
Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, bagian Ketentuan Pidana
sewenang-wenang dan memporak-porandakan izin yang diberikan pemerintah dalam
pengolahannya?. Kita kembali pada pertanyaan mendasar, masihkan hukum sebagai penentu
arah politik?.
Hukum, sebagaimana yang disampaikan Roscue Pound beberapa abad yang lalu,
adalah sebuah alat rekayasa sosial (law is a tool of social engineering)3. Hukum sebagai
norma yang dilengkapi dengan sanksi yang nyata, dapat dilihat pelaksanaannya, sukses
menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang dipertuan agungkan. Disamping norma-norma lain
seperti norma agama, susila, dan kesopanan, memang norma hukumlah satu-satunya norma
yang memberikan sanksi secara langsung kepada dader atas kesalahan yang ia lakukan. Meski
disertai dengan sanksi yang jelas, tak berarti hukum menjadi superior. Seringkali terdapat
gesekan-gesekan dalam tubuh norma hukum itu sendiri. Hukum memiliki 3 tujuan utama
yaitu : mewujudkan keadilan, kemanfaatan, serta memberikan kepastian hukum.4 Tiga tujuan
utama ini bersifat hierarki, maksudnya adalah bahwa dalam memecahkan suatu permasalahan,
yang paling utama diperhatikan adalah keadilan bagi para pihak, kemudian nilai manfaat yang
didapat, baru kemudian memperhatikan kepastian hukumnya.
Berbicara mengenai keadilan, menurut Van Apeldoorn, adil itu bagai lingkaran.
Sangat banyak seginya hingga tak jelas lagi mana batas-batas keadilan tersebut.5 Sangat
dimungkinkan bahwa adil menurut hakim terhadap si A, tak serta merta adil menurut B. Jadi
konsep adil disini adalah dalam hal porsinya.6 Tarik menarik antara Kemanfaatan dan
Kepastian Hukum merupakan bagian yang paling menarik. Di satu sisi, seorang judge harus
membuat putusan yang memberi kemanfaatan bagi para pihak, namun di sisi lain peraturan
perundang-undangan justru tak tolerir terhadap implementasi nilai kemanfaatan tersebut.
Sebut saja kasus Nenek Minah misalnya. Inilah yang dinamakan justice collaborator. Dan di
sini pulalah terdapat peran hakim bahwa ia tak hanya sebagai corong undang-undang. Hakim
dapat melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan hukum yang berkembang di
masyarakat.
Kemudian dalam hal politik. Seorang filsus Yunani yang namanya harum mengitari
zaman, Aristotels, mengatakan bahwa politik merupakan seni mencapai tujuan. Politik juga
bisa diibaratkan sebagai kendaraan yang akan membawa si pengendara mencapai titik yang
diinginkan.

3
Taufiq El Rahman. Hukum Perdata, slide 2. Kuliah Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM.
4
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Hlm 77
5
Retno. Kuliah Pengantar Hukum Indonesia Fakultas Hukum UGM
6
opcit, hlm 79
Bagaimanakah kiranya hubungan antara politik dan hukum?. Politik dan hukum
kiranya bisa menjadi bagian yang tak terpisahkan satu sama lain. Disaat politik bergerak,
terciptalah aturan-aturan demi mencapai tujuan yang diinginkan. Ketika hukum lahir, tak
berarti bahwa hukum itu sendiri membatasi gerak laju politik. Saling mempengaruhi. Namun
yang menjadi masalah adalah, seberapa besar pengaruh atau kuasa yang dimiliki oleh masing-
masingnya.
Aturan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan merupakan buah dari
pemikiran para politikus (read : legislatif) untuk menciptakan tatanan hukum yang seimbang.
Dengan berbagai pertimbangan dan sikap optimis akan tercipta suatu aturan yang akan
membawa kesejahteraan bersama. Namun tak sedikit terjadi pelanggaran terhadap aturan yang
telah disepakati. Das sollen tak selaras dengan das sein. Das sollen yang merupakan cita-cita
atau ekspektasi yang diharapkan, justru kandas dan berseberangan dengan das sein atau realita
yang terjadi.7
Dalam bukunya Prof. Mahfud MD, Pergulatan Politik & Hukum, disebutkan bahwa
Politik merupakan variable bebas, sedangkan hukum sebagai variable terpengaruh.8 Ia juga
membuat diagram yang menggambarkan bagaimana konfigurasi politik membentuk karakter
produk hukum, bagaimana demokrasi yang bersifat responsif terhadap kemaslahatan umat,
juga berbicara bagaimana sistem otoriter dengan ke-ortodok-annya.
Pembahasan mengenai konfigurasi politik suatu negara, yang menentukan karakter
produk hukum sudah kita singgung pada bagian sebelumnya. Bahwa Konstitui negara saja tak
cukup kuat untuk membantah kekuatan politik yang ada. Ada satu hal yang sangat menarik di
sini. Terkair produk hukum yang dibentuk, agar dapat membatasi kekuatan politik. Dari
berbagai literatur dijelaskan bahwa, dalam pembuatan suatu produk hukum, politik kuasa
menentukan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, pun dilengkapi dengan kentetuan-
ketentuan yang mengikat bagi beberapa pihak. Kalau memang demikian, bagaimana mungkin
hukum dapat membelenggu gerak-gerik politik?.
Layaknya masyarakat Indonesia, yang bersama-sama membentuk negara Indonesia,
bersedia mengikatkan dirinya untuk mengabdi sepenuh hati pada negara yang telah
dibentuknya. Begitu pula dengan politik terhadap produk hukum yang dibuatnya. Dengan
itikad baik, ia mengikatkan dirinya dan patuh pada aturan yang telah ia buat sendiri.9 Namun

7
Ibid, hlm 15
8
Mahfud Md. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. hlm 6
9
Soehino. Ilmu Negara. Hlm 160
tetap saja, istilah “hukum ada untuk dilanggar” masih saja bersemanyam dan tertata rapi
dalam paradigma dan sanubari kita.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. Istilah “demokrasi” mucul pada abad ke-5 SM di Athena (Yunani Kuno). Berasal
dari kata demos dan kratos/cratein, keduanya memiliki arti sebagai rakyat dan
pemerintahan.10 Sebagaimana dijelaskan di awal paragraf, demokrasi menghendaki kekuatan
utama dalam pemerintahan suatu negara, kedaulatan rakyat. Selaras dengan itu, terkandung
makna bahwasannya dalam berjalannya pemerintahan suatu negara, diharuskan adanya
keterlibatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sebagai negara demokrasi berdasar Pancasila, Indonesia menerapkan prinsip Trias
Politica. Dengan adanya keseimbangan antara 3 lembaga negara utama (legislatif, eksekutif,
dan yudikatif), diharapkan adanya check and balances.11 Prinsip keseimbangan dan saling
mengawasi ini dapat kita lihat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
misalnya. Dalam hal RUU yang diajukan oleh Legislatif, manakala dirasa tak diperlukan atau
bahkan menyimpang, Presiden selaku kepala negara dapat menolak untuk menandatangani
RUU tersebut. Pun juga Legislatif dapat mengawasi segala tindakan Eksekutif, dalam
persetujuan anggaran misalnya.
Demokrasi yang mengharuskan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dijamin
pelaksanaannya oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana terdapat dalam pasal 1 ayat (2)
UUD 1945. Dalam Trias Politica, Ismail Suny mengatakan bahwa ada 2 model pemisahaan
kekuasaan. Pertama, pemisahan kekuasaan secara formil. Artinya, pemisahan kekuasaan
tersebut tidak dipertahankan secara tegas. Kedua, pemisahan kekuasaan secara materil yang
mengharuskan kejelasan tentang apa-apa yang menjadi kewenangan masing-masing
lembaga.12 Indonesia dalam pelaksanaannya mungkin bisa dikategorikan sebagai penganut
pemisahan kekuasaan secara meteril, namun tidak sepenuhnya.
Menurut Prof. Deni Indrayana, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dalam kuliah
perdana Hukum Konstitusi dan Demokrasi mengatakan bahwa, tak satupun negara-negara di
dunia ini yang menganut Tria Politica secara tegas (materil), begitu pula dengan Indonesia.
Adanya ketegasan dalam pemisahan kekuasaan ini, disanksikan tidak akan berjalan dengan
baik apa yang diharapkan dari sebuah negara demorkasi, check and balances.

10
ibid
11
Prof. Deni Indrayana. Prinsip Demokrasi, slide 3. Kuliah Hukum Konstitusi dan Demokrasi
12
Ibid, slide 4
Pada bagian ini, yang menjadi fokus bahasan kita hanya sebatas pada prinsip
demokrasi, yaitu pemisahan kekuasaan. Telah dibahas bahwa pemisahan kekuasaan secara
materil, memberikan sedikit ruang bagi lembaga negara yang ada untuk saling mengawasi.
Pun kita tahu bahwa dalam mengupayakan negara demokrasi, tak lepas dari unsur politik baik
itu pada legislatif, maupun eksekutif. Lantas bagaimana halnya dengan lembaga yudikatif?.
Apakah yudikatif dalam mengupayakan negara demokrasi mampu terbebas dari yang
namanya politik?.
Yudikatif, selaku lembaga negara yang berfungsi memastikan setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang, yang dalam hal ini kita menitik
beratkan pada lembaga peradilan. Berasaskan mandiri dan independen, mandiri dalam hal
kelembagaan, independen dalam hal kinerja. Selain itu, dalam pelaksanaan hukum acaranya,
berlaku juga asas fair and impartial court.13 Bahwa dalam mengadili suatu perkara ia harus
bebas dan tidak memihak. Namun bolehkah Ia berpihak untuk kepentingan dirinya?.
Pada Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 atas pengujian terhadap UU No. 22 Tahun
2004 yang diajukan oleh 31 hakim MA, mereka menilai bahwa KY tidak berwenang
mengawasi Hakim Agung.14 Namun apa yang terjadi?, putusan yang dihasilkan justru ultra
petita. MK tak hanya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, Ia justru mengambil
kesempatan yang dengan perkara ini, dengan putusan yang dihasilkan, Ia memposisikan
dirinya sebagai pihak yang berada di luar objek pengawasan KY. Konsekuensinya?. Harus
diikuti, karena saat ini belum ada aturan yang memungkinkan pencabutan terhadap putusan
MK yang dinilai menyimpang selain oleh MK itu sendiri ( asas a contrario actus)15.

D. PENUTUP
Bak mata air, air yang dikeluarkan kian lama makin menjauhi sumbernya. Begitu pula
dengan demokrasi kita. Kemurnia/cita-cita luhur para pendiri negeri ini akan negara Indonesia
yang demokrasi justru dirusak oleh pemegang kuasanya. Zaman demokrasi terpimpin
misalnya, Indonesia terasa sangat legislative heavy. Sehingga kabinet silih berganti dalam
kurun waktu singkat. Pada Orde Baru, sangat executive heavy. Bahkan UUD 1945 tak mampu
menunjukan bahwa kekuasaannya itu telah melebihi 2x masa jabatan yang jelas-jelas
melanggar UUD. Apakah kita akan kembali pada salah satu zaman itu?. Menimbang kondisi

13
Prof. Eddy O.S. Hiearij. Asas-asas Hukum Pidana.
14
Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006
15
Kumpulan Thesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Diambil dari :
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/detail-385-pembatalan-peraturan-daerah-tentang-anggaran-pendapatan-
belanja-daerah-apbd-di-tingkat-provinsi-melalui-keputusan-menteri-dalam-negeri.html
Pemerintahan saat ini, bukan berarti tak mungkin Indonesia akan merasakan kembali
“sensasi” legislative heavy.
Hukum lahir dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, yang berarti setiap
kalimat yang dihasilkan merupakan kristalisasi dari kehendak politik yang bersaing. Satjipto
Rahardjo mengemukakan bahwa jika kita melihat hubungan antara subsistem politik dengan
subsistem hukum, tampaklah bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
daripada hukum. Itulah sebabnya tak sedikit praktik politik yang secara substansi
bertentangan dengan aturan hukum16.

16
Mahfud MD, pergulatan politik dan hukum di Indonesia, hlm 71
DAFTAR PUSTAKA

1. MD, Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta :
Gama Media

2. Herman, Benny K. 1997. Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.


Jakarta : ELSAM

3. MD, Mahfud. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo Persada

4. Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty

5. Soehino. 2005. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty

6. Kusnardi, Moh. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Depok : Sinar Bakti

7. Hudam Ni’matul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo


Persada

8. Undang Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara

9. Mahkamah Konstitusi. 2006. Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Diambil dari :


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_si
dang_Putusan005PUUIV06MA%20KY.pdf

Anda mungkin juga menyukai