Anda di halaman 1dari 8

“Merespon Problem Radikalisme Agama dan Pengaruhnya Terhadap

Disintegrasi Bangsa”

PANCASILA BISA BIKIN RADIKALISME TIDAK BERKUTIK

ABSTRACT

Values home of Indonesia cracked and crumbling. The thump of bombs under the
guise of religion pounding in all corners of the country. A bunch of evil people blindly
attacking Pancasila are considered dirty and irrelevant. Radicalism is like a thorn in the hull
for continuity and sovereignty. There is no potent drug, which proved able to totaly reduce the
virus named radicalism. Lets patch tolerance on this building that almost collapsed. Keep with
the noble values of Pancasila that was forgotten. And adorned with Indonesia personality:
graceful, polite, gentle but firm and clear. A concern reflection of many cry fear and tears
worries of victims was reason enough to move a hand. Scraping ink on paper, that there is no
side of room in this country for radicalism. It is fitting the Indonesian people as universal
holding hands to close ranks. Unify energy and mind together. Prove to them that we could
make them unable to dodge.

Keywords: Values home of Indonesia, Pancasila, Radicalism, Indonesia personality.


PENDAHULUAN

a. PENGANTAR

Kita menyebutnya Indonesia. Rumah tata nilai nan indah dan megah dengan tata
krama dan nilai kepribadiannya, kepribadian Indonesia. Kepribadian yang terbangun dari
mozaik bangsa-bangsa Nusantara zaman bahari. Kepribadian yang dihiasi dengan perilaku
anggun, santun, lembut tapi tegas jelas. Ia adalah identitas. Ia bukan sekedar bentangan
wilayah, tapi sebuah pendirian. Lebih dari itu, ia adalah keyakinan. Ya, keyakinan! ia adalah
kehendak Tuhan yang kekuatan-Nya tersalur ke girah para pendahulu kita. Tapi kini diusianya
yang sudah 70 tahun, rumah tata nilai yang indah, rumah tata nilai Indonesia retak dan nyaris
roboh. Apa pasal ini bisa terjadi? Mari kita kembali merawat dan menjaga rumah tata nilai itu,
rumah bagi 250 juta kepala untuk menggapai cita-citanya sebagai rumah yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

b. ANALISA MASALAH

Kondisi bangsa Indonesia sekarang ini ibarat bangunan yang retak, dan bahkan bisa
saja ambruk kapanpun. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak etnik, budaya, bahasa dan
agama dibawah semboyan luhur berbunyi Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap
satu jua. Semboyan itu menjadi kian sakral karena dicengkeram dan dijadikan pijakan oleh
Burung Garuda yang menjadi lambang negara. Siapa nyana, keberagaman yang diharapkan
mendatangkan berkah itu justru bersanding dengan musibah yang melahirkan lebih banyak
pekerjaan rumah. Suatu siang di pertengahan Januari lalu, saya menyaksikan tayangan yang
begitu mengiris hati nurani ketika serangkaian ledakan mengguncang kawasan Thamrin,
Jakarta. Darah bersimbah, delapan orang menjadi korban (empat pelaku penyerangan dan
empat warga sipil).

Selompok manusia tengil yang lagi-lagi menggunakan agama sebagai alat perjuangan
dalam mengupayakan cita-citanya. Mereka pelintir ayat-ayat tuhan untuk terus-terusan
berbuat kerusakan. Tentu hanyalah guyonan yang tidak ada lucunya. Jika menyingkirkan duri
dari jalan saja merupakan bagian dari ajaran agama, lantas bagaimana mungkin agama
melegalkan pembunuhan? Sarinah adalah satu diantara banyak kasus kekerasan dan teror
berkedok ideologi agama yang pernah terjadi di negeri ini. Kita pasti tidak habis pikir
bagaimana hal ini terus terjadi, di negeri yang terbiasa dengan pluralisme sosialnya.
Berbekal pengalaman pribadi mengikuti dialog publik “Pencegahan Paham Radikal
Terorisme dan ISIS di Kalangan Perguruan Tinggi se-Jawa Tengah” di Universitas
Diponegoro, 29 Februari 2016 lalu, saya mencoba untuk turut "mengurai benang kusut"
radikal terorisme di Indonesia sehingga akan nampak jelas mana ujung pangkalnya yang
kemudian akan dirajut menjadi jahitan terbaik dibawah payung agung bertajuk “Pancasila”.

ISI

a. GAGASAN

Dahulu, ketika bangsa Indonesia tengah dililit masalah mengenai ideologi negara,
majulah Ir. Soekarno dengan buah pencarian nalarnya: Pancasila. Panitia Sembilan BPUPKI
yang bertugas merancang dasar Negara mengadakan sidang pertamanya, maka terjadilah
dinamika perdebatan yang maha sengit sesuai dengan latar belakang keilmuan, agama dan
budaya masing-masing. Meski begitu, pada akhirnya keragaman pendapat dan gagasan yang
ada, bermuara pada satu titik untuk membangun sebuah negara yang berdaulat dengan
melahirkan sebuah rumusan ideologi yang mampu meramu dan menampung seluruh nilai-
nilai dan falsafah hidup seluruh elemen bangsa ini, baik yang bersumber dari keimanan dan
keagamaan, maupun nilai-nilai budaya dirangkum sedemikian rupa dalam bingkai luhur
Pancasila. Ya, Pancasila!

Akan tetapi, ketahanan ideologi nan adiluhung itu tengah diuji. Di era globalisasi
dimana pergumulan bahkan benturan antar pelbagai pemikiran dan ideologi dunia begitu
keras, para generasi penerus bangsa justru kehilangan jati dirinya. Mereka tidak memahami
secara menyeluruh sejarah dinamika perjuangan bangsa dan tidak menjiwai-menghayati nilai-
nilai ideologi Pancasila. Mereka yang kehilangan jati dirinya itu terkatung-katung di tengah
luasnya samudera pemikiran hingga terdampar pada ideologi yang tak cocok dengan bumi
dimana mereka berdiri dan berpijak. Alih-alih membela, mereka berbalik arah mengecam
Pancasila, berkacak pinggang sembari lantang berteriak bahwa Pancasila adalah produk
sekuler dan bertentangan hebat dengan Agama (terutama Islam), dan harus diganti.

Tidakkah kalian kenal dengan tokoh sekaliber H. Agus Salim, K.H. Wahid Hasyim,
Abdul Kahar Muzakir, dan Abikusno Cokrosuyoso? Mereka semua adalah empat sekawan
cendikiawan muslim par excellence yang tergabung dalam Panitia Sembilan BPUPKI yang
bertugas merancang dasar Negara. Bagaimana mungkin mereka yang terbukti sepanjang
hayatnya adalah tokoh yang tetap berpegang teguh dengan prinsip-prinsip Islam terlibat dalam
pembahasan dan bahkan membidani Pancasila jika sekiranya Pancasila bertentangan dengan
ajaran Islam itu sendiri?

Bagi keempatnya yang arif dan bijaksana, merumuskan Pancasila adalah upaya ijtihad
politik atau terobosan membangun sebuah negara berbhineka dengan tetap berlandaskan
moral yang sejalan dengan nafas Islam. Jangan kalian kira mereka tidak tahu tentang sistem
kekhalifahan (pemerintahan Islam) sebab mereka hidup di masa kekhalifahan Islam terakhir
(Ottoman) masih berkuasa. Mereka berijtihad mendirikan Negara dengan masyarakat yang
berbhineka memerlukan pendekatan yang khusus agar hidup kekal dan abadi. Salah satu yang
fenomenal dari mereka adalah menempatkan sila ketuhanan di urutan pertama yang dijadikan
landasan moral dalam bernegara, dan merekonstruksi redaksi sila-sila berikutnya agar sejalan
dengan nadi Islam.
Sungguh, Pancasila tidak bertentangan dengan agama dan sebaliknya pula agama tidak
bertentangan dengan Pancasila. Keduanya saling menunjang dan mengokohkan. Keduanya
tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan, tetapi harus bersama-sama dilaksanakan.
Dalam Islam dikenal "Baldatun thayibatun wa rabbun ghafur." Masyarakat Jawa
menyebutnya, "Negeri gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kerto raharjo". Fenomena
gerakan radikal terorisme jelas sangat bertentangan dengan falsafah pancasila dan ajaran
agama apapun. Tuhan tidak menghendaki kekerasan dan teror bagi cipta-NYA. Tuhan tidak
menghendaki perpecahan. Jika kelompok radikal terorisme mencoba memporakporandakan
bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya Tuhan murka dan sudah sepatutnya rakyat
Indonesia secara semesta bersatu padu menjaga Indonesia dari masuknya paham kekerasan
dan teror. Maka berhati-hatilah kalian jika itu benar terjadi!

b. MASALAH
Ada gula ada semut. Tak ada asap tanpa api. Ungkapan kedua peribahasa ini
sangatlah tepat untuk menggambarkan sebab musabab radikalisme di Indonesia. Seiring
perkembangan radikalisme di tingkat global, apa sajakah penyebab tumbuh suburnya
radikalisme di Negeri ini?
Pemahaman agama yang setengah-setengah dan proses pembelajaran yang tidak
berdasarkan pada sumber dan ahli yang otentik adalah penyebab terbesar munculnya bibit
radikalisme. Orang yang memahami agama dan substansinya tentu tidak akan berbuat radikal.
Sebab, setiap agama apapun mengajarkan tentang cinta dan kasih. KH. Mustofa Bisri atau
yang akrab kita sapa dengan Gus Mus mengatakan, “Kelompok yang keras-keras itu baru
belajar sampai bab ghodob (marah) sudah berhenti, merasa Islam itu ghodob, marah terus
kemana-mana, padahal setelah itu ada bab sabar, tawadhu’ (rendah hati), dll”. Terkadang pula
sumber bacaan yang keras-keras itu adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat
dipertangungjawabkan dan menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya dangkal.
Saya tidak bisa membayangkan jika seorang ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran
berbicara tafsir, ahli rakit bom berbicara fiqh jihad. Kesimpulan apa yang akan mereka
keluarkan? Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat
yang sangat teliti dan khusus. Harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Salah bakal
berakibat fatal!

Persoalan kesejahteraan di masyarakat juga menyuguhkan fakta bahwa kesenjangan


ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang. Perputaran ekonomi yang hanya bergulir dan
dirasakan bagi si kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada si miskin. Orang
miskin dilarang sakit, dan hanya orang kaya yang boleh sekolah. Radikalisme tumbuh dan
terorpun merajalela. Sangat tepat jika kita renungkan hadits Nabi yang mengatakan,”Hampir-
hampir saja suatu kefakiran meyeret kepada kekufuran”. Bukankan tindakan membunuh,
melukai, meledakkan diri, meneror suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran?

Kita juga harus mengakui bahwa politik negeri kita masih kotor. Politik korup yang
hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat,
maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat yang berujung
pada saling menghancurkannya kelompok satu dengan yang lain. Dan apabila itu terus terjadi,
sikap itu berubah menjadi antipati dan memusuhi masyarakat sendiri. Jika sekolompok orang
ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah
dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Pendidikan juga seringkali menjadi sarana paling mujarab untuk melahirkan insan-
insan radikalis. Pendidikan agama khususnya. Ajaran agama yang mengajarkan mengajak
daripada mengejek, merangkul daripada memukul, mendidik daripada menghardik jarang
didengungkan. Alhasil lahir generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang
paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi. Niatnya berjihad malah berbuat
jahat, inginnya mau menjadi mujahid malah mujahad (baca : mau jahat). Ironis sekali.
c. SOLUSI

Kita bisa bikin para pelaku radikalisme tidak berkutik. Asal kita mau.

Keluarga yang merupakan basis inti terkecil bisa menjadi benteng utama pencegahan
radikalisme. Orang tua sebaiknya meletakkan pondasi yang kokoh kepada sang anak sejak
dini, sehingga kedepannya tahu memposisikan diri ke jalan nan lurus dan damai. Ajari mereka
hal dasar bahwa hidup untuk merangkul bukan memukul, membina bukan menghina, dan
memahamkan bukan memaksakan. Jika pondasi itu sudah kokoh niscaya akan sulit roboh, dan
jangan biarkan mereka berkutik!

Selain keluarga, Tokoh Agama juga memegang peranan kunci. Bagaikan pisau
bermata dua, di satu sisi bisa menangkal radikalisme, di sisi yang lain justru bisa melahirkan
radikalisme. Tokoh agama seyogyanya memberi pemahaman mengenai ajaran nilai-nilai
agama yang ramah, bukan agama yang marah. Melalui banyak forum kontra propaganda,
tema-tema yang sebaiknya diangkat oleh Tokoh Agama adalah Islam Rahmatan lil’alamin
yang fokus pada penjabaran sebenarnya mengenai jihad, toleransi antar umat beragama, dan
cinta damai yang diajarkan oleh Islam. Kawal kerukunan antar umat beragama, sekali lagi
bikin mereka tidak berkutik!

Generasi muda juga diharapkan pro aktif dan tampil di garda terdepan memerangi
paham radikalisme. Sebagai aset dimana harapan dan cita-cita bangsa disandarkan, pemuda
bisa menggalakkan program wawasan kebangsaan khususnya nasionalisme dan patriotisme
kepada sesama pemuda dan masyarakat, yang kemudian memberi pengetahuan tentang
gerakan radikalisme: ciri-ciri, cara mengidentifikasi, cara mereka menyebarkan doktrin,
hingga bagaimana cara membentengi diri dari paham tersebut. Selain itu, dialog kepemudaan
lintas agama juga dianggap penting untuk saling mengerti dan memahami lebih baik antar
pemeluk agama. Kita harus saling membaur bukan saling melebur. Seringkali, langkah kecil
malah lebih efektif ketimbang berteriak-teriak memacetkan jalan raya yang sudah parah.
Tunjukkan bahwa pemuda Indonesia berakal sehat, santun, dan cerdas, kita bisa bikin mereka
selalu tidak berkutik!

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga koordinatif dan


leading sector penanggulangan radikal terorisme dituntut mampu memadukan antara
pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach) terhadap pelaku
radikalisme. Penegakan hukum melalui penindakan yang berlebihan justru menimbulkan
siklus balas dendam dan kebencian baru. Oleh karenanya harus dibarengi dengan pendekatan
yang humanity, melakukan pencerahan, memperkuat imunitas masyarakat Indonesia, terutama
kalangan usia muda agar pengetahuan dan pemahaman ideologi serta wawasan kebangsaan
menjadi kuat. Pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenag agaknya juga perlu
mengkritisi kurikulum pendidikan agama yang lebih berorientasi pada hukum (nomos
oriented religion) yang kaku dan eksklusif, bukannya pada cinta (eros oriented religion) yang
moderat dan inklusif. Pelajaran agama dan Pancasila harus dilakukan secara
berkesinambungan dalam kurikulum pendidikan, agar revolusi dan mental terintegrasi dan
tidak salah paham dalam praktiknya. Menjadi penting mencanangkan kebijakan cerdas tepat
sasaran, sekaligus memastikan bahwa mereka benar-benar tak berkutik!

PENUTUP

Radikalisme tidak hanya sekedar persoalan aksi dan tindakan, tidak pula persoalan
aktor dan jaringan, tetapi yang sangat berbahaya adalah radikalisme menyangkut soal paham,
keyakinan dan ideologi kekerasan yang mudah menular dan menjangkiti siapapun. Para
radikalis hanya mau melihat dengan kacamata kuda, tak sudi lagi mendengar pandangan yang
berbeda. Betapapun besarnya upaya yang dilakukan, jika tidak menyentuh akar persoalan
tersebut, niscaya penanggulangan radikalisme hanya menghasilkan efek kejut sesaat.

Dalam konteks itulah, merancang strategi penanggulangan radikalisme memerlukan upaya


menyeluruh yang bersifat jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Membumikan
kembali nilai-nilai Pancasila adalah salah satu upaya yang efektif menangkis paham tersebut.
Sekaligus sangat penting bahwa radikalisme harus dilakukan secara sinergis-koordinatif yang
tidak hanya membutuhkan kebijakan beberapa sektor saja, tetapi partisipasi rakyat Indonesia
secara semesta.
DAFTAR PUSTAKA

Rokhmad, Abu. 2012. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”,
http://www.academia.edu/22270483/Radikalisme_Islam_dan_Upaya_Deradikalisasi_Paham_
Radikal. Diunduh pada tanggal 20 Maret 2016, pukul 21.37 WIB.

Anonim. 2015. “Peran Tokoh Agama dalam Mencegah Radikalisme”,


http://www.islamnusantara.com/peran-tokoh-agama-dalam-mencegah-radikalisme/. Diakses
pada tanggal 20 Maret 2016, pukul 22.17 WIB.

Satriawan, M Iwan. 2015. “Mengurai Akar Radikalisme Islam”,


http://www.lampost.co/berita/mengurai-akar-radikalisme-islam-. Diakses pada tanggal 21
Maret 2016, pukul 23.33 WIB.

Anonim. 2015. “Tangkal Paham ISIS, BNPT Lakukan 2 Pendekatan”,


http://elshinta.com/news/5539/2015/03/20/tangkal-paham-isis-bnpt-lakukan-2-pendekatan.
Diakses pada tanggal 21 Maret 2016, pukul 01.03 WIB.

Hamidin. 2016. “4 Tahap Menjadi Radikalis dan Cara Melawannya”,


https://damailahindonesiaku.com/4-tahap-menjadi-radikalis-dan-cara-melawannya.html.
Diakses pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 22.10 WIB.

Anda mungkin juga menyukai