Anda di halaman 1dari 2

Agama dan Cerita-Ceritanya

Oleh: AR. Anas*

Diskursus kebudayaan Islam masih terus berlanjut. Lebih setelah, polemik sains ala
Goenawan Mohammad (GM), Gus Ulil, AS. Laksana dan F. Budiman Hardiman dan kawan-kawan
mulai mereda. Setelah sekian lama masyarakat sangat rindu dengan media sosial yang sehat dengan
konten positif, pemirsa berharap itu menjadi come back yang baik untuk dunia media sosial Indonesia
yang kemarin dipenuhi kampvret, cebong dan curahat hati para jomblo yang kesepian.

Polemik diberanda facebook itu ditabuh oleh mas GM ketika berbicara disebuah webinar
ilmiah. Kemudian mendapat kritikan dari sastrawan AS. Laksana. Bagai api yang bertemu bensin
diskusi itupun akhirnya menjadi polemik dan semakin menarik untuk ditunggu kelanjutannya. Lebih-
lebih setelah “agama” (Islam khususnya) masuk dan mencoba berkelindan dengan sains dan filsafat.

Gus Ulil memang yang paling depan soal itu. Dengan menceritakan pengalaman personal dan
hasil refleksi bacaan yang luas beliau mencoba membendung arus yang kerap disebut ilmu “sekuler”
itu. Memang polemik itu belum menemukan kesimpulan akhir. Atau memang tidak terniatkan untuk
disimpulkan, kita tunggu saja mungkin ada yang mau memberikan kesimpulan polemik itu.

Gus Ulil mencoba bersikap hati-hati atas “kepongahan” sains yang dianggap “meremehkan”
kekuatan “ilmiah” agama sebagai aktor problem solver dunia modern. Kekuatan itu benar-benar diuji
saat menghadapi virus corona ini. Umat beragama kelihatan sembrono dan cenderung
“membangkang” meminjam istilah Abdul Wahid menghadapi penyakit massal ini. Wajarlah jika yang
lain menyimpan sikap skeptis dan curiga pada agama.

Tak menjadi masalah jika agama banyak dimusuhi, toh faktanya, atas nama agama
pemberontakan, terorisme, kekerasan bahkan kemiskinanpun selalu dekat dengan agama. Walau
diatas teks, agama memiliki perangkat untuk memacu peradaban dan keilmiahan.

Lihat saja Max Weber dengan etika protestannya bisa memacu kapitalisme (kekayaan). Atau
Robert N. Bellah dengan studinya tentang Agama Tokugawa yang bisa menjadi akar-akar kemajuan
bagi masyarakat Jepang. Ajaran suci agama itu tetap hanya menjadi ajaran suci yang sakral jika umat
yang beragama cum pemeluk agama itu tidak menarik teks suci itu kedalam realitas yang nyata.
Hanya umat beragama yang mampu menarik teks-teks itu yang bisa menikmati kemajuan atas nama
agama.

Apa artinya, Realitas itulah arena pertandingannya. Yang akan menguji sejauh mana agama
bertahan dan “menyerang”. Protestan dan Tokugawa sudah bertaruh duluan. Meninggalkan yang lain.
Bagaimana persiapan agama lain? Lebih-lebih Islam sudah sejauh mana berperan dalam realitas,
menyumbangkan spiritnya untuk peradaban manusia yang lebih ril dan nyata. Agar tidak hanya
membanggakan doktrinnya tentang kemajuan semata.

Atau meminjam istilah Amin Abdullah bahwa historitas dan nomativitas agama harus selalu
berjalan beriringan. Historitas tanpa nomativitas itulah stagnansi agama. Dan normativitas tanpa
historitas adalah kebimbangan agama. Umat beragama harus mampu memaksimalkan dua entitas itu
menjadi modal kemajuan.

Ketidak mampuan umat beragama ini pasti akan disandingkan ketidakmampuan agama. Itulah
yang menjadi pekerjaan rumah tambahan umat beragama sekarang. Operator macam apa yang
mengendalikan agama sekarang. Apalagi, fakta lain menyebutkan bahwa kemajuan sebuah negara pun
bisa terjadi tanpa harus beragama. Minimal Phil Zuckerman dalam bukunya Masyarakat Tanpa Tuhan
melihat fakta itu pada negara-negara Skandinavia, terutama pada Denmark dan Swedia. Dua negara
terakhir yang sangat nir kekerasan, minim korupsi dengan pendidikan yang bagus menjadikannya
sebagai negara dengan penduduk yang angka kebahagiaannya tinggi.

Ini ril teman. Kalo ngak percaya baca aja bukunya.

Itu semua dicapai oleh masyarakat yang minim keimanannya. Atau masyarakat yang tidak
sepenuhnya bersandar pada agama. Bahkan pameo “apabila sebuah masyarakat tidak menganut
agama, besar kemungkinan masyarakat itu akan hancur” kelihatannya tidak berlaku di dua negara
tersebut. Toh, mereka bisa maju tanpa agama. Lah yang punya agama ini pie toh?. Sudah saatnya kita
benar-benar serius menarik spirit kemajuan agama itu ke ranah yang lebih nyata lewat karya-karya
peradaban atas nama agama.

Sudah saatnya juga kita meninggalkan sejarah romantisme kemajuan agama (khususnya
Islam) era Abbasiyah yang banyak membelenggu kita dengan kebanggan semu. Kita sudah mafhum
dengan kemajuan itu yang hampir menguasai dunia. Dengan penemuan-penemuan besarnya. tapi
ingat itu hanya menjadi dasar. Bukan lagi Islam yang melanjutkan kemajuan itu.

“Wahai orang-orang yang berselimut, Bangunlah lalu berilah peringatan” Dan memang kita
harus banyak berbuat dengan karya-karya kita atas nama agama agar sekali lagi skeptisisme agama
dan reduksi kekuatan agama seperti dalam polemik sains itu bisa dibendung dengan “keilmiahan
agama” lewat kerja-kerja peradabannya. Jika agama belum mampu, jadi ya ndak usah kagetan bila
reduksi dan skeptisisme terhadap agama akan terus berlangsung. Dan agama kelihatannya hanya
memiliki dua pilihan bertahan atau “menyerang”!.

*aktif di Mbojo Itoe Boekoe sambil jualan buku

Anda mungkin juga menyukai