Anda di halaman 1dari 11

PENERAPAN AKHLAKUL KARIMAH DAYA KEPEMIMPINAN PARA NABI

DALAM REKONSTRUKSI PARADIGMA SAINS & PERADABAN

Nama : M. Hasbi Ghozali Nizamuddin

Nim : 1802012643

Perwakilan dari : Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Umla

DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2021

1
PENERAPAN AKHLAKUL KARIMAH DAYA KEPEMIMPINAN PARA NABI
DALAM REKONSTRUKSI PARADIGMA SAINS & PERADABAN

Tekanan pada segi kemanusiaan dari agama ini menjadi semakin relevan,
bahkan mendesak, dalam menghadapi apa yang disebut era globalisasi, yaitu zaman
yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat
kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Barangkali peradaban umat manusia
tidak akan menyatu secara total sehingga hanya ada satu peradaban diseluruh muka
bumi (yang tentunya sedikit saja orang yang menghendaki demikian, karena
membosankan). Setiap tempat mempunyai tuntutannya sendiri, dan tuntuntan itu
melahirkan pola peradaban yang spesifik bagi masyarakat setempat. Tetapi jelas tidak
ada cara untuk menghindarkan dampak kemudahan berkomunikasi dan berpindah
tempat, berupa kemestian terjadinya interaksi dan saling mempengaruhi antara berbagai
kelompok manusia. Karena itu juga diperlukan adanya landasan keruhanian yang kukuh
untuk secara positif mempertahankan identitas, sekaligus untuk memantapkan
pandangan kemajemukan dan sikap positif kepada sesama manusia dan saling
menghargai.

Berkenaan dengan ini, umat Islam boleh merasa mujur, karena mereka mewarisi
peradaban yang pernah benar-benar berfungsi sebagai peradaban global.
Kosmopolitanisme Islam telah pernah menjadi kenyataan sejarah, yang meratakan jalan
bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi oleh pandangan-pandangan
kebangsaan sempit dan parokialistik. Dan jika sekarang kita harus menumbuhkan
semangat kemanusiaan universal pada umat Islam, maka sebagian besar hal itu akan
berarti merupakan pengulangan sejarah, yaitu menghidupkan kembali pandangan dan
pengalaman yang dahulu pernah ada pada umat Islam sendiri. Menyadari masalah itu
sebagai pengulangan sejarah tentunya akan berdampak meringankan beban psikologis
perubahan sosial yang menyertai pergantian dari pandangan yang ada sekarang ke
pandangan lebih global.

2
Jika globalisme merupakan kemestian yang tak terhindarkan, mengapa harus
dihadapi dan disongsong dengan agama? Jika masalahnya ialah kemanusiaan universal,
mengapa tidak secara lebih hemat didekati melalui introduksi langsung sebagai
persoalan kemanusiaan umum saja, atau, misalnya, sebagai "agama tanpa wahyu"
menurut pengertian kaum humanis Barat yang menolak agama formal seperti, misalnya,
Julian Huzly? Apalagi toh paham-paham kemanusiaan atau humanisme yang
berkembang di Barat dan kini menjadi sumber "berkah" untuk seluruh umat manusia
selalu dimulai dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh pemikir yang menolak agama, atau
tak acuh kepada agama, atau mempunyai konsep sendiri tentang agama dengan akibat
menolak agama-agama formal (misalnya, Thomas Jefferson yang mengaku menganut
Deisme, Unitarianisme dan Universalisme, suatu paham Ketuhanan pribadi yang
berbeda dari ajaran agama-agama formal yang dia kenal saat itu di Amerika).

Mengingat situasi global umat manusia dalam kaitannya dengan persoalan


keagamaan di Zaman Modern yang didominasi oleh Barat dengan segala paham yang
berkembang sekarang ini, sikap penuh pertanyaan serupa itu adalah sangat wajar. Tetapi
jawab atas pertanyaan serupa itu kini barangkali menjadi sedikit lebih mudah,
disebabkan oleh kemungkinan interpretasi dan konklusi dari kenyataan bangkrutnya
sistem Eropa Timur. Sebab, dari satu sisi tertentu, sistem Eropa Timur yang Marxis-
Leninis itu adalah percobaan yang paling bersungguh-sungguh untuk menghapus agama
dan untuk melepaskan manusia dari peranan agama. Tetapi percobaan itu, biarpun Marx
dan para pendukungnya mengklaimnya sebagai ilmiah", ternyata menemui kegagalan.
Pertama, kaum Marxis tidak mampu benar-benar menghapus agama di sana, meskipun
segenap dana dan daya telah dikerahkan. Kedua, justru amat ironis, Marxisme sendiri
telah menjadi agama pengganti (quast religion) yang rendah dan kasar, jika tidak dapat
dikatakan primitif.

Sejak itu perang antara ilmu di satu pihak dan mitologi (atau agama yang
mitologis) di lain pihak, tidak terhindarkan, dan terjadi dalam skala besar. Dan
konfrontasi itu tidak selalu dimenangkan oleh ilmu. Carl Sagan, seorang ilmuwan dan
astronom terkenal, menuturkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan telah tampil
dengan kukuh sekitar tiga abad sebelum Masehi di Iskandaria, Mesir, sebuah kota yang
didirikan oleh Iskandar Agung dari Macedonia. Berkat jiwa terbuka Iskandar Agung (ia

3
tidak saja menghargai ilmu dan agama berbagai bangsa, malah juga menganjurkan
tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India), kota di Mesir yang
dinamakan menurut namanya itu segera menjadi pusat ilmu pengetahuan umar manusia.

Tetapi Campbell sendiri secara tidak langsung menunjukkan bahwa nasib ilmu
pengetahuan tidaklah seburuk akibat pertengkarannya dengan Gereja Kristen. Sekitar
dua abad setelah Cyril, atau seabad setelah Justinian, tampil agama Islam yang selama
lima atau enam abad menjadi mengemban utama ilmu pengetahuan seluruh umat
manusia. Dan memang hanya sekitar lima atau enam abad (meskipun ada yang
mengatakan lebih lama dari itu, sampai delapan abad) kaum Muslim dengan sungguh-
sungguh mengemban ilmu pengetahuan. Setelah menjalankan peranan yang cukup
mengesankan itu, akhirnya kaum Muslim pun "menolak" ilmu pengetahuan, justru
ketika kekayaan yang tak terkira nilainya itu mulai mengalir dan pindah ke Eropa.

Meskipun sekarang Islam jauh tertinggal oleh Barat, namun kemajuan Barat itu
sendiri, seperti diakui dengan tegas oleh dunia kesarjanaan modern, sebagian cukup
besar adalah berkat Islam. Karena itu sekarang kita dapat membuat dua pengandaian
yang berbeda dari yang dibuat Carl Sagan di atas tadi. Pertama, jika seandainya tidak
pernah ada Islam dan kaum Muslim, ilmu pengetahuan benar-benar sudah lama mati
oleh Cyril dan Justinian, tanpa kemungkinan bangkit lagi, dan Eropa akan tetap berada
dalam kegelapannya yang penuh mitologi dan kepercayaan palsu. Zaman modern tidak
akan pernah ada. Maka syukurlah Islam pernah tampil, kemudian berhasil mewariskan
ilmu pengetahuan kepada umat manusia (lewat Eropa).

Pengandaian kedua akan lebih menarik. Seandainya umat Islam tetap setiap
kepada kemurnian ajarannya tentang sikap yarg positif-optimis kepada alam, manusia,
dan peradaban dunia, termasuk ilmu pengetahuan, maka tentunya sudah sejak beberapa
abad yang ilmu pengetahuan mencapai perkembangannya seperti sekarang ini, tidak
oleh orang-orang Eropa, tapi oleh orang-orang Islam; tidak dalam lingkup kepercayaan
yang masih banyak mengandung mitologi dan misteri yang setiap saat bisa mengancam
kreativitas ilmiah, tapi oleh sistem keimanan yang tantangan untuk menerimanya justru
ditujukan kepada akal sehat dan pikiran, dan seterusnya. Sebab menurut para sarjana
yang telah dikutip di atas, di Barat, yang menjadi sumber utama kesulitan hubungan
agama dan ilmu ialah mitologi penciptaan dalam Genesis dan teologi yang

4
dikembangkan berdasarkan mitologi penciptaan itu. Kini para sarjana Kristen sendiri
ada yang menghendaki penafsiran metaforis kepada teks-teks suci mereka. Tetapi
dengan adanya gerakan fundamentalis Kristen yang fanatik dan ekstrem, penafsiran
serupa itu tidak akan mudah diterima, sehingga mitologi yang mengakibatkan adanya
gerakan Creationism yang fanatik dan sempit melawan Evolutionism ilmiah itu untuk
jangka waktu lama akan tetap menjadi suatu sumber masalah.

Apa yang membuat Sebuah Bangsa Maju dan Sejahtera? Kemajuan suatu bangsa
bukan pada luas wilayah atau jumlah penduduknya. Singapura hanya memiliki luas 710
km? dan berpenduduk 5 juta jiwa, tetapi sangat maju. Cina yang areanya mencapai 9.7
juta km2 dan berpenduduk lebih dari 1.3 milyar, juga tumbuh pesat. Kemajuan suatu
bangsa juga bukan karena lokasi geografisnya. Norwegia, Swedia, Denmark dan
Finlandia yang dingin membeku di kutub utara, tetapi menjadi sekumpulan negara
skandinavia sejahtera. Pun secara geologis, Jepang yang berada pada area gempa dan
tsunami tercatat sebagai negara yang mampu mengelola diri menjadi salah satu yang
termakmur di Asia.

Sistem politik dan pemerintahan juga bukan faktor paling menentukan. Apapun
sistemnya; demokratis, otoriter, kerajaan, republik, sosialis, komunis, atau liberal;
bukan faktor penentu. Rusia yang komunis adalah negara berpengaruh. Amerika yang
liberal merupakan adidaya. Malaysia dan Brunai Darussalam yang hak-hak politik
rakyatnya tidak begitu mendapat ruang, adalah kerajaan sejahtera. Sementara Indonesia
yang dibelah khatulistiwa, negara ke-15 terluas dan berpenduduk ke-4 terbanyak di
dunia, yang sudah lebih dari setengah abad mempraktikkan demokrasi pancasilanya,
namun keadilan masih sebatas angan-angan di pembukaan UUD 1945. Kemakmuran
hanya pmilik para pemimpin dan politisinya saja.

Formalisası agama dalam sistem negara, meski tidak ada larangan, juga tidak
menjamin kemajuan dan kesejahteraan. Menempelkan slogan "syari'ah". "khilafah", dan
"negara Islam" pada papan nama sebuah negara tidak serta merta menjadi solust
keterbelakangan bangsa. Republik Islam Paikistan misalnya, sudah berdiri sejak 1947,
tapi masih berada pada rangking teratas negara-negara terkorup. Pertikaian internal
Sunni-Syiah di sana juga tidak jauh berbeda dengan realitas konflik suku-suku masa
jahiliah Arab Saudi yang berkonstitusi Islam juga sama. Meski kaya minyak, namun

5
kestabilan ekonomi dan politiknya sedang diuji. Kekerasan pemerintah terhadap
sebagian warganya, serta penghambaan diri pemimpin-pemimpin mereka kepada
kepentingan kapitalisme dan sekutu-sekutunya, cepat atau lambat akan mendapat
politisinya saja. murka dari Tuhan Pemilik Ka'bah.

Jika kondisi "geografis", "demografis", "geologis", dan "sistem pemerintahan"


tidak menjadi determinant factor bagi kemajuan dan kemakmuran, lalu apa? Apakah
karena sumberdaya alam-nya?

Ternyata, kecukupan sumberdaya alam juga kesejahteraan, jika rakyatnya bodoh


dan pemimpinnya dhalim. Negara- negara di Afrika menjadi contoh bagaimana mereka
lapar dan miskin ditengah kandungan alam yang berlebih. Mereka punya emas dan
intan: namun dikuasai "qarun-qarun" (korporasi) asing yang berkolaborasi dengan
"firaun-firaun" (penguasa) lokal.

Hal serupa terjadi di negara kita. Hasil bumi Indonesia melimpah. Kandungan
gas alamnya termasuk yang terbesar di dunia. Emasnya memiliki kualitas terbaik. Hutan
tropisnya terbesar di dunia, dengan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah paling
lengkap di dunia. Lautnya sangat luas, dengan jutaan spesies ikan yang tidak dipunyai
negara lain. Tanahnya juga sangat subur, bahkan dengan potensi gunung apinya
menyebabkan berbagaí tanaman hidup sempurna. Demikan juga halnya dengan pesona
alam. Panorama terindah dapat dinikmati mulai dari puncak gunung sampai ke dasar
laut diseluruh nusantara.

Tetapi apa yang terjadi? Aset bangsa dieksploitasi segelintir perampok. Kayu,
minyak, gas, pasir, emas; diangkut ke luar Sementara rakyatnya tidak terdidik dan
mengalami busung lapar. Kemiskinan penduduk diseputar blok gas Arun Exxon Mobil
di ujung barat Indonesia, sampai ketelanjangan warga di sekeliling blok emas Freeport
di ujung timur Indonesia, adalah potret marginalisasi keterjajahan bangsa. Dari Sabang
sampai Merauke, berjajar penguras kekayaan alam.

Banyak negara yang terbatas sumberdaya alamnya, tetapi karena pemimpinnya


handal, berhasil mencapai kemakmuran Sebaliknya. banyak negara yang kaya
kandungan alam, tetapi pemimpinnya 'idiot. maka selamanya stagnant. Rakyatnya
dibiarkan hidup dalam keter- belakangan. Sehingga sebagian penduduknya merasa

6
bahwa inilah model kehidupan yang normal, karena seumur hidup mereka tidak pernah
mengetahui dan tidak pernah diberitau akan hak-haknya. Pemimpin yang jahil dan
rakyat yang terbodohkan menyebabkan sebuah bangsa tidak pernah melihat masa
depan.

Kualitas Pemimpin dan Rakyat. Adalah "sumberdaya insani", kualitas


pemimpin dan rakyatnya, yang menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Sebuah negara
akan maju; apapun kondisi geografis, geologis. demografis dan sistem
pemerintahannya. selama memiliki dua hal.

Pertama, pemimpinnya harus "visioner" (memiliki pengetahuan), memiliki


"kepedulian" dan "keberanian mental" untuk membawa perubahan mendasar bagi
bangsanya. Keberadaan pemimpin seperti ini sangat sentral bagi sebuah bangsa, Ali bin
Abi Thalib mengatakan:

"Pemimpin yang adil meskipun kafir, lebih baik daripada pemimpin yang
beragama Islam tapi dhalim."

Adil merupakan salah satu nilat universal yang menjadi penentu kemajuan dan
kesejahteraan sebuah bangsa. Pada konsepsi adil ini terkandung visi, rasa peduli dan
mentalitas untuk semakin hari semakin baik (ihsan). Praktik-praktik pemerintahan dan
kemasyarakatan yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan menjadi salah satu ukuran
islam tidaknya sebuah negara.

Begitu juga dengan “Kepemimpinan”, juga sebuah fenomena kompleks yang


melibatkan pemimpin, pengikut dan situasi. Karena kompleksitas hubungan pemimpin-
pengikut-situasi, "kepemimpinan” didefinisikan beragam. Ada yang mengartikan
sebagai "Proses seorang atasan mendorong bawahan untuk berperilaku sesuai
keinginannya”. Lain menyatakan sebagai "Proses mempengaruhi sebuah kelompok
yamg terorganisir untuk mencapai tujuan" Ada yang percaya sebagai "Proses
mengarahkan dan mengkoordinasi kerja anggota kelompok" Sebagian menyebutnya
sebagai “Tindakan-tindakan yang menitikberatkan pada sumberdaya yang dimiliki
kelompok untuk menciptakan peluang-peluang yang diinginkan".

7
Lain mendefinisikan "kepemimpinan" sebagai "Hubungan antar-per- sonal yang
di dalamnya setiap anggota patuh kerena mereka ingin patuh, bukan karena harus patuh"
Lain meyakininya sebagai "Proses menciptakan kondisi yang kondusif bagi kelompok
agar dapat menjadi kelompok yang efektif" Ada yang menyebutnya sebagai
"Kemampuan membangun tim yang solid dan berorientasi tujuan, serta memunculkan
hasil dari anggota”. Ada juga yang mengartikan sebagai “Bentuk yang kompleks dari
pemecahan masalah sosial”.

"Pemimpin" adalah "Pengaruh". Dari semua definisi yang diberikan, ada


satu kata yang dapat menjembatani semua gambaran tentang "pemimpin” dan
"kepeminpinan". Kata itu adalah “pengaruh” (influence) Pemimpin adalah pengaruh.
Sedangkan "kepemimpinan” adalah “proses untuk mempengaruhi orang”.

Setiap manusia memiliki "peran" yang dalam perspektif agama disebut “tugas
kekhalifahan" untuk menjalankan amanah Tuhan. Dalam babasa hadist disebut
"tanggungjawab” “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
bertanggungjawab atas apa yang di dipimpinnnya” (HR. Muslim). Karena seiap orang
memilik “peran" "tugas” atau "tanggungjawab", maka setiap orang punya tujuan.
Artinya, setiap orang baik secara personal maupun secara sosial terus berinteraksi untuk
mencapai tujuan. Karena adanya tanggungjawab personal dan interaisi sosial ini, maka
setiap orang memiliki "pengaruh" baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain. Karena
masing-masing punya "kadar pengaruh” bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. maka
setiap orang adalah "pemimpin".

"akhlakul karimah" (referent power): menjadi pemimpin karena memiliki


akhlak batin (kepribadian) dan akhlak zahir (perbuatan). Secara personal pada dirinya
terdapat kualitas kualitas yang menjadi contoh moral. Pada sikapnya terpancar ilai-nilai
kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian. Dari perbuatannya terpancar karakter
tauhied, ikhlas, adil, ihsan dan rasa bertanggungjawab. Tidak hanya secara individu ia
baik, secara sosial juga aktif. Ia cerdas, dan kecerdasannya diabdikan pada jalan Tuhan.
Karena kesalehan individual dan sosialnya, ia menjadi suri tauladan dan referensi bagi
banyak orang. Aura personalnya menimbulkan bekas mendalan di hati kawan maupun
lawan. Kepribadiannya merupakan wujud dari Asmaul Husna (sifat jalal dan jamal
Tuhan). Dia ofensif sekaligus persuasif dalam mengubah jalannya sejarah.

8
Semua power ini (legitimasi, paksaan, imbalan, keahlian, dan akhlakul karimah)
adalah "alat" untuk "mempengaruhi". Kuat sekali "sinar" anda jika mempunyai
semuanya. Tetapi jarang seseorang memiliki segalanya. Menguasai satu saja dapat
menjadikan seseorang sebagai pemimpin. Seorang tiran misalnya, hanya dengan
memiliki kekuatan untuk memaksa (coercive) menyebabkan ia layak disebut leader.
Tetapi ia tidak layak disebut pemimpin sejati (the true leader), karena mempengaruhi
orang hanya dengan paksaan.

"Akhlakul Karimah": Daya Kepemimpinan Para Nabi. Dalam konsepsi


Islam, akhlakul karimah merupakan sumber energi utama untuk memimpin. Melalui
akhlakul karimah semua daya politis lainnya (legitimasi, imbalan, paksaan, dan
keahlian) tunduk kepada hukum-hukam ilahiyah. Kesetiaan pengikut karena nilai-nilai
ketauladanan para nabi lebih bersifat ideologis, dibandingkan pengaruh jabatan,
paksaan, dan uang yang malah melahirkan konstituen yang pragmatis, oportunis, dan
avonturir. Disebabkan tingginya nilai-nilai kebenaran (siddiq), kejujuran (amanah).
kecerdasan (fathanah), dan pengajaran (talbligh) yang terkandung di dalamnya;
"akhlakul karimah" bernilai inspiratif, karismatik dan memiliki keabadian efek terhadap
pengikut. Akhlakul karimah merupakan fondasi dari prophetic leadership
(kepemimpinan para nabi).

Sekarang kita lihat Muhammad Anak dari klan Quraisy ini mengusung tema
islam: "penyerahan diri" kepada Tuhan dan "menebarkan damai" bagi umat manusia.
Visi ilahiyah “La ilaha illa Allah”-nya membawa pesan kesatuan dunia di bawah Tuhan
yang Rahman (Pemurah) dan Rahim (Penyayang). Ajarannya menolak kapitalisme,
eksploitasi, arogansi dan penindasan yang kuat terhadap yang lemah. Ia mendedikasikan
hidup untuk menyampaikan kepada dunia pesan-pesan tentang Keadilan dan ihsan.
Untuk mencapai tujuan ini, ia mengedepankan diplomasi sekaligus tidak segan-segan
mengasah pedang jika terancam. Di Badar pertama, ia asah pedang dan susun barisan
untuk menghadapi orang-orang musyrik yang hendak membungkam gerakan politik
Islamnya. Namun dalam Futuh Makkah, pengampunan lebih ia utamakan kepada
mereka yang berkhianat dan pernah menyiksanya. Musuh terbesarnya Abu Sufyan
diampuni. Padahal ia membawa pulang dari Madinah sepasukan besar tentara
bersenjata.

9
Nabi Muhammad berpolitik untuk membawa pesan-pesan universal
kemanusiaan, bukan untuk vested-interest sebuah partai politik atau klan Quraish-nya.
Ia bangun sebuah agama kemanusiaan yang berbasis rasionalitas dan spiritualitas.
Agama yang membawa manusia pada puncak literasi dan peradaban melalui pesan
"Iqra". The Greatest Phophet Muhammad SAW meninggalkan Al-Qur’an. Literatur
teragung dalam sejarah manusia.

Bagi Ibn Rusyd, kaum awam harus memahami agama seperti apa adanya, sebab
agama memang dinyatakan dalam lambang-lambang dan simbol-simbol (menurut istilah
ibn sina, amtsal wa rumuz). Yakni, ungkapan-ungkapan dan alegoris, agar dapat dengan
mudah dipahami kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat manusia.

Manusia modern adalah untuk baik atau untuk buruknya manusia yang kritis,
serba rasional, dan, bergandengan dengan itu, cenderung lebih berfikir menurut
kerangka pandangan yang lebih menekankan masalah fungsional dan substansial
daripada masalah formal, lambang-lambang dan upacara-upacara itu akan hilang, sebab
tampaknya manusia tidak akan mampu hidup tanpa semuanya itu. Persoalannya
hanyalah dari segi tekanan, kurang dan lebih.

Seharusnya seorang muslim adalah seseorang yang paling mendalam


kesadarannya akan kemanusiannya yang relatif. Dan memang demikian keadaannya.
Seorang muslim adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah
mahkluk yang dla’if (lemah, tidak berdaya) dihadapan Tuhan.

Beberapa nilai akhlak luhur seperti jujur, dapat dipercaya, cinta kerja keras,
tulus, berkesungguhan dalam mencapai hasil kerja sebaik-baiknya (itqan), tepat janji,
tabah, hemat, dan lain-lain adalah pekerti-pekerti yang dipujikan Allah sebagai ciri-ciri
kaum beriman. Ciri tersebut akan membawa mereka pada kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi sekaligus, dengan kebahagiaan di akhirat yang jauh lebih besar.

Seorang cendekiawan diharapkan menunaikan amanat ilmu pengetahuannya dengan


mengamalkannya secara konsisten dan konsekuen (istiqamah). Hanya dengan begitu ia
dapat diharap mampu dengan baik dan penuh otoritas, kewenangan dan wibawa untuk
melaksanakan tugas kewajiban selaku “pewaris para nabi”, sebagai “kekuatan moral”
dalam masyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, K. (2001). Berperang Demi Tuhan Fundamentalisme dalam Islam, Kristen,


dan Yahudi. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Madjid, N.(2005). Islam DOKTRIN & PERADABAN. Jakarta Timur: PARAMADINA.

Madjid, N. (2013). Satu Menit PENCERAHAN Nurcholish Madjid BUKU PERTAMA :


A - C. Jakarta: Penerbit Imania.

Muniruddin, S. (2014). Bintang Arasy Tafsir Filosofis - Gnostik Tujuan HMI. Banda
Aceh: www.saidmuniruddin.com "The Zawiyah for Spiritual Leadership" Majelis
Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW-KAHMI Aceh).

Mu'arif. (2018). Monoteisme Samawi Autentik Dialektika Iman dalam Sejarah


Peradaban Yahudi, Kristen, dan Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

11

Anda mungkin juga menyukai