Anda di halaman 1dari 20

KRITIK TERHADAP NARASI BUDAYA DIATAS SYARIAT DAN TOLERANSI ALA SEKULER

PENDAHULUAN
Latar belakang
Di era informasi digital 4.0, informasi berkembang dan menyebar sedemikian cepatnya. Orang
bisa mendapatkan update informasi dan berita dari belahan bumi lainnya pada detik yang sama saat
informasi itu dibagikan. Validasi informasi pun menjadi tantangan. Cepatnya sebuah informasi
menyebar tidak berbanding lurus dengan kecepatan validasinya. Pada akhirnya era keberlimpahan
informasi hari ini menjadi era post-truth dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.
Gelombang informasi yang sedemikian cepatnya bagai pisau bermata ganda. Digunakan
menyebarkan kebaikan bagi para pejuang yang ikhlas. Digunakan pula menyebarkan ide-ide sesat yang
meracuni benak-benak masyarakat, khususnya umat islam. Narasi-narasi dikembangkan, didukung
dengan kejadian-kejadian (rekayasa/tidak) yang sengaja dibingkai/diframing untuk mem-validasi.
Narasi-narasi diaruskan dan bersliweran di jagat media demi memuluskan social acceptance atas ide-ide
tertentu. Adakalanya testing the water untuk melihat sejauh mana masyarakat menerima ide tersebut.
Ketika dirasa aman maka berlanjut kepada legal acceptance, yakni mengukuhkannya dalam bentuk yang
sah, baik dalam bentuk kebijakan atau peraturan.
Pola-pola pengembangan narasi hingga dikukuhkan menjadi kebijakan dan peraturan tentu
harus menjadi perhatian bagi kita. Terutama jika narasi yang diaruskan tersebut adalah narasi sesat yang
justru menghancurkan akidah umat Islam serta menghalanginya dari kebangkitan. Bukankah
sebagaimana kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran, pun kesesatan yang
diaruskan terus-menerus akan menjadi kenormalan yang wajar. Maka mempelajarinya dengan sungguh-
sungguh, menganalisis kesesatan dan kedangkalannya serta mudarat yang akan menimpa kaum
muslimin lalu menyampaikannya kepada khalayak khususnya umat Islam menjadi sebuah kewajiban.
Ianya bagian dari ghazwul fikr yang hari ini sedang terjadi, yang mana kaum muslimin wajib menyiapkan
kekuatan untuk melawan musuh-musuh pemikiran sesat ini. Sebagaimana Allah SWT berfirman yang
artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah
mengetahuinya.” ( TQS Al-Anfal : 60)
Maka makalah ini penulis susun dalam rangka ghazwul fikr melawan narasi sesat budaya diatas
agama dan toleransi ala sekuler.
Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah kritik terhadap narasi budaya diatas syariat dan
toleransi ala sekuler ini adalah :
1. Apa yang dimaksud narasi ‘budaya diatas agama’ dan ‘toleransi ala sekuler’?
2. Bagaimana dan sejak kapan narasi ‘budaya diatas agama’ dan ‘toleransi ala sekuler’ ini
berkembang’ bahkan sampai disolusikan lewat proyek nativisasi dan moderasi?
3. Mengapa narasi ‘budaya diatas agama’ dan ‘toleransi ala sekuler’ ini diaruskan?
4. Siapa dalang atau siapa yang paling diuntungkan atas adanya narasi ‘budaya diatas agama’ dan
‘toleransi ala sekuler’ ini?
5. Bagaimana islam memandang narasi ‘budaya diatas agama’ dan ‘toleransi ala sekuler’?
6. Bagaimana cara kita menghadapi narasi ‘budaya diatas agama’ dan ‘toleransi ala sekuler’?

Tujuan penulisan
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk membongkar dibalik narasi-narasi sesat yang
diaruskan yaitu budaya diatas syariat dan isu toleransi.
Adapun untuk mewujudkan tujuan umum tadi, maka makalah ini menjabarkannya dalam tujuan-tujuan
khusus yaitu :
1. Menjelaskan maksud dan fakta tentang narasi budaya diatas syariat dan isu toleransi
2. Menjelaskan perkembangan narasi budaya diatas agama dan isu toleransi sejak awal
kemunculannya hingga hari ini
3. Mengungkap grand design alasan dibalik upaya pengarusan narasi-narasi ini
4. Mengungkap aktor-aktor dibalik pengarusan narasi-narasi ini
5. Menjelaskan pandangan Islam tentang narsi-narasi ini
6. Menjelaskan cara menghadapi pengarusan narasi-narasi ini

PEMBAHASAN
1. Fakta
Narasi tentang Islam dan budaya seolah tiada habisnya. Dilain waktu ajaran Islam didefinisikan
sebagai budaya arab seperti jilbab budaya arab, jenggot budaya arab, haji budaya arab, jihad budaya
arab, bahkan ajaran Islam dianggap mengadopsi budaya patriarki arab. Disisi lain, ghorizatun baqa lewat
eksistensi suku dan bangsa dibangkitkan lewat jargon-jargon nasionalisme dan kebanggaan akan budaya
nenek moyang seperti kebaya dan konde khas Indonesia yang dinilai telah tergeser oleh jilbab dan
khimar. Islam yang ada saat ini dinilai tidak mengakomodir budaya nusantara hingga lahirlah ide untuk
mengkolaborasi Islam dengan latar belakang budaya, yaitu Islam Nusantara. Seolah ingin memisahkan
Islam dari tanah asal agama ini diturunkan yaitu Arab. Segala hal berbau arab dimarjinalisasi dan segala
hal berhubungan dengan budaya dan adat istiadat diglorifikasi. Islam dan budaya dihadap-hadapkan.
Islam diidentikkan dengan budaya arab agar berhadap-hadapan dengan budaya nusantara. Maka tak
heran muncul jargon-jargon, “Kalo jadi orang Islam, jangan jadi orang Arab” atau yang semisalnya.
Kelanjutan dari narasi-narasi ini adalah pemisahan antara syariat Islam dari Islam itu sendiri. Syariat
dianggap tidak lebih dari sekedar interpretasi Al-Qur’an dan hadits oleh budaya arab maka menjalankan
syariat dianggap tidak urgen. Bahkan implikasi yang lebih serius adalah bahwa semua budaya bebas
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan lokalitas masing-masing. Dalihnya bahwa ini adalah cultural right.
Sebagaimana dalam tulisan imam besar masjid istiqlal Jakarta, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Berbagai narasi berkaitan Islam versus budaya terus diangkat. Momentum apapun senantiasa
diupayakan menjadi pengarusopinian budaya diatas syariat. Sebut saja yang terjadi pada kasus ‘tendang
sesajen’ oleh salah satu pendakwah lewat kanal youtubenya. Hal itu direspon dengan maraknya
pagelaran acara ‘persembahan 1000 sesajen’ yang bahkan dilakoni sendiri oleh sebagian umat Islam.
Sesajen dianggap budaya yang harusnya diperlakukan mulia dan dilestarikan bahkan jika itu
bertentangan dengan akidah umat Islam sendiri. Narasi budaya diatas syariat bahkan menyentuh hal
yang paling asasi bagi umat Islam yaitu akidah.
Beberapa pengarusan narasi budaya diatas syariat berujung pada pelecahan agama. Sebut saja yang
terjadi pada Sukmawati Soekarno yang menyebut suara kidung lebih indah dari suara adzan. Hal ini
tentu mengundang kemarahan umat Islam sebab pernyataan melecehkan tersebut justru keluar dari
mulut seseorang yang dikenal oleh publik sebagai muslim walau akhirnya publik paham setelah ia
berpindah agama. Narasi yang dibangun pun ketika putri sang proklamator kemerdekaan ini pindah ke
agama hindu adalah kembali ke agama nenek moyang. Tentu dari judul-judul berita yang ada kita
paham narasi yang hendak dibangun adalah bahwa Islam adalah agama pendatang sedang Hindu Budha
adalah agama nenek moyang, agama yang dianggap asli dan orisinil bangsa ini.
Ketika Islam dihadap-hadapkan dengan budaya lalu mendapati bahwa dalam banyak syariat ternyata
justru tidak sesuai dengan budaya, maka dakwah Islam terhadap perkara-perkara tersebut akan
dianggap intoleran, sebab bertentangan dengan definisi orang moderat yang toleran yaitu menerima
kearifan lokal untuk menciptakan rasa toleransi antara tradisi dan budaya.
Selain mengangkat budaya diatas syariat, isu toleransi juga terus menerus diaruskan. Bahkan disebut
sebagai dosa besar pendidikan di Indonesia oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim. Kasus-kasus
yang paling banyak diangkat berkenaan dengan intoleransi adalah yang berhubungan dengan Islam.
Misalnya, kewajiban menutup aurat di sekolah negeri bagi muslim, penyediaan pelajaran agama di
sekolah negeri yang umumnya hanya memuat pelajaran agama Islam, penolakan masyarakat kepada
pemimpin yang non-muslim, aturan menutup rumah makan saat siang hari bulan puasa, suara toa
masjid yang dianggap mengganggu minoritas non-muslim, dan lainnya. Tentu kita telah familiar dengan
narasi-narasi yang menciptakan stigma negatif pada Islam ini. Bahkan ketika kasus Holywings diangkat
pasca promo yang menistakan Nabi Muhammad dan Bunda Maryam, yang menjadi topik pembicaraan
adalah nasib 3000 karyawan Holywings jika perusahaan miras itu ditutup. Seolah pesan yang ingin
disampaikan adalah jika kau terlalu fanatik dengan agama maka banyak yang akan menjadi korban. Jika
kau menutup perusahaan miras, maka orang-orang akan kehilangan pekerjaan. Tidak perlu terlalu
fanatik dengan agama agar tidak terjadi konflik. Opini seakan digiring untuk menyalahkan agama sebagai
biang konflik. Apa-apa terjadi atas alasan agama.
Disini yang menjadi tertuduh tentu saja islam. Dianggap tidak toleran terhadap perbedaan budaya,
adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Fanatisme terhadap agama pun dianggap harus direduksi agar
dapat menjadi masyarakat yang toleran. Maka, moderasi menjadi salah bagian dari rencana
pembangunan bangsa selain daripada nativisasi yang telah berlangsung sejak lama.

2. Nativisasi dan perkembangannya di Indonesia


Nativisasi adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam, dengan cara membangkitkan budaya
zaman pra-Islam. Pada saat yang sama, Islam ditempatkan seolah-seolah sebagai "barang asing" bagi
bangsa Indonesia.
Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989), tokoh Islam Mohammad  Natsir
menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan,
(2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. Natsir mengingatkan perlunya umat Islam
mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisasi, yang biasanya
melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, seperti gerakan misionaris
Kristen atau gerakan sekularisasi.
Dalam sejarah, para orientalis Belanda berusaha menghambat gerak laju Islamisasi nusantara
dengan membenturkan Islam dengan budaya lokal; dengan menempatkan Islam sebagai agama asing,
agama impor, yang tidak sesuai dengan tradisi setempat. Islam diadu dengan adat. Mengutip pengakuan
Alb C Kruyt  (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Dr. Aqib Suminto
mencatat:  "Bagaimanapun Islam harus dihadapi karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan
ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda." (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda
(Jakarta: LP3ES, 1985) hlm 26).
Pakar sejarah Melayu, Prof Naquib al-Attas, dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu (Bandung: Mizan, 1990), menulis tentang masalah ini: "Kecenderungan ke arah memperkecil
peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck
Hurgronje pada akhir abad yang lalu."
Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah 
Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia  menulis:
"Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur
masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu,
yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebuddhaannya, dan
animismenya. Namun, menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan
sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka." 
Semangat 'anti-Islam'
Tantangan nativisasi tampak sangat marak akhir-akhir ini di Indonesia. Tak jarang, berlindung di  
balik perlindungan "kearifan lokal" (local wisdom), berbagai aksi budaya lokal yang bertentangan 
dengan ajaran Islam sengaja dibangkitkan kembali. Bahkan, salam-salam lokal disebarluaskan dan
dibudayakan. Seolah-olah, dengan ucapan "Assalaamu'alaikum warahmatullahi wa-barakaatuh" saja, tak
memadai untuk menjadi manusia Indonesia yang baik.
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, usaha-usaha menativkan Islam untuk disesuaikan dengan
konteks  budaya lokal telah lama terjadi. Inilah yang kemudian disebut nativisasi kebudayaan oleh
begawan pergerakan dan perdana menteri pertama Republik Indonesia, Mohammad Natsir. Bagi M
Natsir, kaum nativis berusaha menghidup-hidupkan kebudayaan lama yang telah terkubur dan mati
dalam masyarakat memiliki dua kecenderungan; yang alamiah dan yang terorganisasi. Kaum nativis yang
terorganisasi ini  tentunya lebih serius karena kecenderungan kelompok ini melakukan nativisasi untuk
tujuan hukum dan politik dengan jalur kerja yang sama pula. Selain itu, bagi kaum nativis, kebudayaan
sebuah bangsa perlu dikembalikan pada unsur aslinya. Inilah yang kemudian membuat kaum nativis
perlu untuk  'mempribumikan' segala unsur yang dianggap asing.
Usaha untuk menjadikan lokalitas budaya sebagai basis penerapan ajaran Islam sebenarnya pernah
terjadi di Cirebon pada abad ke-19. Karel Steenbrink dalam sebuah artikelnya berjudul "A Catholic 
Sadrach: The Contested Conversion of Madrais Adherents in West Java between 1960-2000",
menggambarkan seorang sosok priayi yang bernama Madrais Alibasa Kusuma Wijayaningrat. Madrais
digambarkan Steenbrink sebagai penentang sengit Islam sebagai sebuah sistem.
Pangeran Madrais sejatinya merupakan anggota bangsawan Kesultanan Cirebon. Ia lahir pada 1835.
Ia sempat belajar di pesantren. Namun, menginjak masa muda, ia telah mengembangkan spiritualitas
campuran dalam ritual-ritual, doktrin, dan konsep pendidikan spiritual yang sama sekaligus baru. Sejak
awal kariernya, Madrais membedakan dengan tajam perbedaan antara 'keasingan' Islam, diskursus  
kearaban, dan kebesaran kebudayaan serta gaya hidup bangsa Sunda atau Jawa Barat.
Pada 1880-an, Madrais telah mendirikan 'padepokan' dan mengajarkan banyak pelajaran yang tidak
diambil dari kitab-kitab Islam. Ia mempropagandakan sebuah penghayatan terhadap tradisi sebagai
reaksi atas pertumbuhan Islam. Ia bahkan menuduh seseorang yang mengikuti aturan-aturan syariat
Islam sebagai orang yang berbicara dalam tidurnya, atau melindur (Jawa: ngelindur). Hingga 1925,
Madrais telah mengorganisasi perkumpulannya sendiri secara resmi. Pemerintah Kolonial Belanda
mengenal Madrais sebagai pemimpin dari Agama Djawa Sunda, 'the Javanese Sundanese Religion's
(Karel  Steenbrink, A Catholic Sadrach: The Contested Conversion of Madrais Adherents in West Java
between  1960-2000, dalam Een Vakkracht in het Koninkrijk, 2005, hlm 286).
Kasus Madrais bukanlah fenomena baru terjadi di sebagian kalangan priayi pada abad ke-19.  
Berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) menyebabkan Belanda harus memilih sekutu tradisionalnya untuk
menjinakkan pengaruh Islam politis yang terus mengancam keberadaan penjajah. Di samping itu,
Belanda pun mendapatkan keuntungan ekonomis dari kalangan priayi ini. Kaum priayi dipandang
memiliki otoritas tradisional yang bisa dimanfaatkan untuk menyukseskan kebijakan Tanam Paksa-nya.
Dengan demikian, Tanam Paksa menjadi lahan pembiakan kelas menengah Jawa. Proses ini kemudian
semakin mengeratkan loyalitas antara sebagian kalangan priayi dan Pemerintah Hindia Belanda.
Loyalitas inilah yang kemudian mengembangkan modernitas di kalangan priayi. Di sisi lain, timbul
pula kecenderungan nativistik melalui perwujudan kebudayaan pra-Islam sehingga muncullah sentimen 
anti-Islam di kalangan ini. Secara tersirat mereka menyatakan bahwa peralihan keyakinan ke Islam
adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci dalam modernitas yang sesungguhnya terletak
pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa. Bahkan,
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut, yakni
Kerajaan Majapahit.
Gagasan semacam itu lahir dari rahim sastra anonim yang berkembang pada abad ke-19. Hal itu
seperti yang terlihat dalam Babad Kedhiri, Suluk Gatolocho, dan Serat Dharmogandhul, yang
merendahkan dan mengolok-olok Islam (MC Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan
Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, terj. FX Sunardi dan Satrio Wahono, Jakarta: Serambi, 2012,
hlm 53).
Kebudayaan nativistik dan tersekularisasinya sebagian kalangan priayi adalah proses penting pada
abad ke-19. Sebelum Perang Jawa (Perang Diponegoro) dan selama berlangsungnya perang itu, terdapat
sistem sosial yang mempersatukan antara kaum santri dan priayi. Akan tetapi, selama abad ke-19 ini,
segregasi antara priayi dan santri semakin tampak. Kaum santri mulai menyempurnakan anasir-anasir
fiqhiyah dalam Islamisasi kebudayaan, sementara para priayi cenderung menggambarkan Jawa dan
masa lalu nusantara sebagai zaman klasik pra-Islam dengan 'kemegahan'-nya.
Kecenderungan ini pun sebenarnya didorong oleh propaganda pemerintah kolonial sebagai usaha
menyekat para priayi dari pengaruh—yang disebut orang Belanda sebagai—kaum fanatik. Di Banten
menjelang Jihad Cilegon 1888, pemerintah kolonial mencurigai jika pamong praja, kalangan priayi,
menunjukkan semangat besar dalam urusan agama dan dengan mudah mengecap mereka sebagai
'fanatik'. Dengan momok  pelabelan 'fanatik' tersebut, pemerintah kolonial memiliki senjata ampuh
untuk menghalang-halangi pejabat-pejabatnya melakukan kegiatan agama dan memisahkan mereka
dari para pemuka agama.
Setelah peristiwa Cilegon, kebijakan kolonial semacam itu semakin diintensifkan. Tidak ada yang
lebih ditakuti oleh para pamong praja daripada dicap fanatik. Menurut Sartono Kartodirjo, status
pejabat pamong praja kelihatannya bertentangan dengan cara hidup seorang Muslim yang baik.
Kebijakan ini rupanya cukup efektif diterapkan Belanda dalam sekularisasi priayi. Dengan menghidupkan
semangat pra-Islam secara kultural dan menolak fanatisme dengan menjadikannya momok, Belanda
telah memisahkan secara doktrinal, kultural, dan sosial antara priayi dan santri (Sartono Kartodirjo,
Pemberontakan Petani Banten 1888,Depok: Komunitas Bambu, 2015, hlm 95-96).

Marginalisasi Islam
Pemantapan kebudayaan sekuler priayi memberikan jalan yang rata bagi penaklukan kebudayaan
oleh kaum kolonial. Pada abad ke-20, generasi priayi baru lebih mantap mengungkapkan identitas
loyalitasnya dalam memandang modernisme. Mengutip pernyataan Nicholas Thomas, Frances Gouda
menjelaskan bahwa setiap bentuk kolonialisme sesungguhnya bergantung pada proses budaya. Gouda
menganggap bahwa kolonialisme Belanda di Hindia-Indonesia dihasilkan dari peleburan elektik dari
sejumlah mentalitas Eropa dan kondisi lokal yang unik (Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik
Kolonial di Hindia Belanda. 1900-1942, terj. Jugiari Soegiarto & Suma Riella Rusdianti, Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2007, hlm 26-27).
Hasil peleburan ini adalah munculnya generasi kebudayaan yang dengan semangat kemajuan
mendasarkan arahan penjajah terhadap proses kreasi kebudayaan. Proses rekonsiliasi ini kemudian
direalisasikan melalui Kongres Kebudayaan yang berlangsung pada 1918, 1919, 1924, 1926, 1929, dan
1937 (Nunus Supardi, Kongres Kebudayaan (1918-2003), Yogyakarta: Ombak, 2007).
Dapat dipastikan bahwa kerangka pikir untuk menanggulangi kemerosotan budaya dalam Kongres
Kebudayaan ini dipinjam dari unsur pandangan alam Barat yang nativistik, sekuler, dan sinkretis.
Kalangan priayi banyak meminjam unsur-unsur budaya Barat dalam mengembangkan budaya Jawa. Hal
yang perlu dicatat, kebangkitan dari kemerosotan itu dicapai melalui hasil karya para indolog dan
orientalis yang mengungkapkan kemegahan masa lalu Jawa melalui karya-karyanya.
Oleh karenanya, semangat idealisme kejawaan nihil Islam, atau anasir kebudayaan pra-Islam pada
abad ke-20 itu ditegaskan beberapa tahun setelah terbitnya Pararaton oleh J Brandes (1896), H Kern
yang mengungkapkan Negarakertagama dan kebesaran Majapahit (1905), dan artikel George Coedes
dalam Bulletin de l'Ecole francaise d'Extreme-Orient, yang menghidupkan kenangan akan Kerajaan
Sriwijaya  (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm 6-7).
Kenangan yang nativistik, pendiktean agama di bawah nama kebudayaan, dan penghidupan
kembali semangat Hinduisme merupakan rekonstruksi kaum kolonial. Sayangnya, rekonstruksi penjajah
ini bukan  bertujuan untuk sekadar mengembangkan kebudayaan bangsa. Banyaknya kasus
menunjukkan bahwa agenda-agenda kebudayaan kolonial justru dimaksudkan untuk menggeser peran
dan unsur Islam dalam kebudayaan. Sebagian misionaris, seperti Frans van Lith, memanfaatkan budaya
untuk tujuan misi Kristen.
Karena itulah, kaum Muslim Indonesia perlu menelaah serius masalah nativisasi dan mengambil
pelajaran dari keberhasilan para pendakwah Islam—seperti Wali Songo—yang berhasil melakukan
proses akulturasi Islam dalam budaya. Bukan sebaliknya, bersifat antibudaya. Atau, bukan pula
menundukkan  Islam di bawah budaya.  Sebab, Islam adalah ajaran agung berdasarkan wahyu yang
bersifat final dan universal, rahmatan lil 'alamin. Wallahu a'lam. 

3. Moderasi dan perkembangannya di Indonesia


Diambil dari laman Kemenag, moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem kanan maupun
ekstrem kiri. Implementasi moderasi beragama sudah sejak lama diaruskan secara berkelanjutan dalam
seluruh aspek kehidupan.
Komitmen mengaruskan moderasi beragama tersebut tampak dari terselenggaranya acara Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS) tahun 2021 yang menelurkan beberapa rekomendasi
terkait moderasi beragama. Di antaranya, keberpihakan kajian Islam untuk memperkuat dan mendorong
kemajuan pendidikan tinggi sebagai pusat penelitian yang peduli pada kebijakan publik, perlunya
mengembangkan Islam yang moderat dan kritis, serta mengontekstualisasikan ajaran Islam dalam
kehidupan warga negara agar ajaran Islam yang komprehensif mampu digunakan dalam semua konsep
kehidupan.
Mencuatnya stigma radikalisme yang bergema di seantero dunia, tidak terkecuali di tanah air ini,
menjadi satu tarikan napas dengan kebijakan dan berbagai agenda untuk membendung intoleransi.
Sudah mafhum rasanya ketika menyimak rentetan pemberitaan di media mainstream bahwa opini
masyarakat tengah tergiring pada kondisi darurat intoleransi.
Intoleransi oleh opini global selalu dikaitkan dengan radikalisme dan tindak kekerasan yang
dituduhkan pada umat Islam. Sikap intoleransi ini bak sudah dimiliki oleh tuannya yaitu umat Islam
tersebut. Mereka dianggap sebagai kelompok yang paling tidak toleran dengan penganut keyakinan
lainnya.
Selain itu, ajaran Islam juga diklaim sebagai agama intoleran, diskriminatif, radikal, dan ekstrem.
Intoleransi adalah milik Islam. Begitulah opini publik dibentuk. Bukalah kata kunci  “intoleransi” di laman
media mainstream, maka yang diangkat seluruhnya adalah sudut pandang bahwa Islam sebagai
tertuduh intoleran. Hanya saja, klaim intoleransi tidak pernah tersemat pada agama selain Islam dan di
luar kaum muslim, walaupun pihak tersebut melakukan tindakan intoleransi sebagaimana pemaknaan
istilahnya.

Bahaya Moderasi Beragama Bagi Akidah Umat Islam


Moderasi beragama menjadikan umat meragukan ajaran Islam, tidak bangga dengan agamanya,
dan sinkretisme dengan pemikiran di luar Islam. Sebut saja tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama
yang dianggap untuk menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, akan tetapi
itu malah menyuburkan kemunafikan.
Demikian juga dengan kata wasathiyah yang kerap dijadikan dihubungkan dengan moderat yang
sudah jelas berbeda maknanya. Tafsir Jalalain (1/149) menyebutkan bahwa makna ‘ummat[an] wasatha’
dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah ‘khiyar[an] wa ‘udul[an]’ (umat terbaik dan adil).
Jadi, ummat[an] wasatha bukanlah umat moderat sebagaimana pengertian Barat. Dengan demikian
istilah moderasi Islam lebih pada upaya mengubah ajaran Islam ke arah liberal.
Karena itu tidaklah mengherankan, atas nama moderasi, ajaran Islam yang dipandang
membahayakan sekularisme/kapitalisme/liberalisme maupun sosialisme/komunisme kemudian
dihilangkan, atau diarahkan sesuai dengan pandangan idelogi kapitalisme ataupun komunisme tersebut.
Sedangkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme.

Moderasi Beragama Bagian dari Strategi Penjajahan Barat


Narasi bahwa ancaman terbesar bagi kemanusiaan adalah radikalisme dan intoleransi terus
dilemparkan ke tengah umat. Maka satu-satunya solusi hakiki adalah menderaskan moderasi Islam. Ide
ini lantas masuk dalam berbagai ide-ide sekuler liberal pluralis. Misalnya ide demokratisasi, HAM,
rekontekstualisasi ajaran Islam, toleransi, dialog antaragama, kesetaraan gender, pemberdayaan
perempuan, pluralisme, dan sejenisnya. Seakan-akan moderasi Islam adalah segala-galanya.
Pertanyaan yang kemudian terbersit di benak kita, mengapa terhadap aturan agama Islam,
pemerintah saat ini begitu alergi? Seolah aturan Islam sebagai biang keladi permasalahan intoleransi di
negeri ini sehingga memberikan kesan bahwa umat Islam begitu anarkis dan arogan.
Ternyata dasar perbuatan mereka adalah semata-mata ingin mengikuti langkah agenda Barat
supaya dukungan terhadap kekuasaan mereka tetap terawat. Pasalnya, monsterisasi terhadap aturan
agama Islam ini datang dari propaganda Barat yang digawangi oleh Amerika Serikat, yang melabeli Islam
sebagai biang terorisme. Umat Islam dijauhkan dari penerapan aturan agamanya sendiri karena jika
terlalu dalam mempelajari Islam dinilai akan terjebak dalam radikalisme dan merupakan bibit-bibit awal
terorisme.
Pengarusan moderasi memang dilandaskan pada asumsi yang dipaksakan bahwa agama Islam yang
dipahami dengan pola pikir radikal hanya akan menjadi ancaman. Masalahnya, ancaman buat siapa?
Terlebih, tidak bisa ditutupi bahwa narasi terorisme dan radikalisme adalah ciptaan Barat untuk
menghalangi kebangkitan ideologi Islam. Tidak bisa menafikan pula bahwa proyek moderasi Islam
adalah rekomendasi sekaligus proyek global Barat untuk menjauhkan umat dari modal kebangkitan.
Dokumen-dokumen lama RAND Corporation jelas menunjukkan, ada hubungan erat antara
penyebarluasan Islam moderat di negeri muslim dengan agenda liberalisasi ekonomi. Ada kaitan pula
antara pembentukan jaringan muslim moderat ini dengan kepentingan nasional Amerika di kancah
politik internasional.
Oleh karena itu, alangkah naifnya jika umat Islam turut berpikir bahwa proyek moderasi Islam
adalah proyek yang baik untuk mereka. Apalagi mereka turut mendukung, bahkan mau menjadi
eksekutor lapang untuk menyukseskan target global pengukuhan penjajahan Amerika.

Kembalilah Kepada  Islam Kaffah


Dengan demikian, berbagai upaya untuk memoderasi agama justru berpotensi besar
menyimpangkan agama. Yang terbentuk dari upaya moderasi ini tidak lain adalah muslim liberal karena
ciri-ciri moderat ternyata sama dengan dengan liberal.
Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi menyimpulkan jawaban dari salah satu peneliti RAND Corporation atas
pertanyaannya bahwa orang modern itu adalah orang liberal, serta orang liberal itu orang moderat.
Dengan demikian, pada hakikatnya moderasi beragama itu liberalisasi beragama sehingga harus
ditinggalkan dan kembali pada Islam sebagaimana ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Ciri khas seorang mukmin adalah bertakwa dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dan Rasul-
Nya, serta meninggalkan seluruh larangan Allah dan Rasul-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan
kata lain, wajib untuk menerapkan syariat Islam kafah (menyeluruh) sebagaimana firman Allah dalam QS
Al-Baqarah: 208,
٢٠٨ ‫ين‬ٞ ِ‫ ّو ُّمب‬ٞ ‫ت ٱلش َّۡي ٰطَ ۚ ِن ِإنَّهۥُ لَ ُكمۡ َع ُد‬ ِّ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا ۡٱد ُخلُو ْا فِي ٱل‬
ِ ‫س ۡل ِم كَآفَّ ٗة َواَل تَتَّبِ ُعو ْا ُخطُ ٰ َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah
kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” Wallahu a’lam.
[***]

Moderasi beragama terus digencarkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil. Harapannya agar seluruh
masyarakat Indonesia terutama umat Islam menjalankan agamanya secara moderat, tidak ke kiri-kirian
(komunisme) dan tidak ke kanan-kananan (Islam kaffah). Maka untuk menyukseskan dan
mempromosikan moderasi beragama di kalangan generasi millenial ditunjuklah duta moderasi
beragama, Cinta Laura. Ia diundang dalam acara Malam Peluncuran Aksi Moderasi Beragama
(22/09/2021) yang dihadiri oleh Yaqut Cholil, Nadiem Makarim dan sejumlah tokoh lainnya untuk
berpidato tentang “Moderasi Beragama Generasi Millenials”.
Dalam pidatonya Cinta mengajak generasi millenial agar tidak mempermasalahkan perbedaan.
Tidak pula terjebak dengan pemahaman yang terbatas hingga memanusiakan Tuhan dan berujung
menjadi radikal. Serta menerapkan cara berpikir kritis dan mempelajari semua hal dari berbagai sudut
pandang agar tidak mudah dipengaruhi dan dijajah pikirannya. Kemudian menyebarkan nilai-nilai
toleransi melalui media.
Isu radikalisme terus dinarasikan sebagai bahaya yang mengancam generasi muda, terutama para
pelajar. Moderasi upaya hindarkan bahaya radikalisasi di kalangan milenial, dimana Dr. H. Muhammad
Imdadun Rahmat (Dosen Pasca sarjana UI) mengatakan perlu dilakukan evaluasi dan revisi mata
pelajaran agama di kelas dan juga di luar kelas. Karena menurutnya bisa menjadi pintu masuk paham-
paham radikal. (antaranews.com 2021)

Ada Apa di Balik Program Ini?


Nampak nyata bahwa program moderasi beragama merupakan cerminan sekularisme, dengan kata
lain agama hanya boleh diterapkan dalam ranah pribadi bukan dalam ranah masyarakat dan negara.
Bahkan bisa dikatakan bahwa moderasi beragama merupakan program kelanjutan “Islamofobia”.
Bagaimana tidak? Moderasi beragama terus digodok dan disajikan kepada umat Islam agar Islam
dijalankan oleh kaum Muslim secara moderat (parsial), tidak mengakar atau totalitas. Berbagai cara
dilakukan untuk melancarkan proyek moderasi agar umat Islam menjadi jahil (bodoh) bahkan fobia
(takut) terhadap agamanya.
Salah satunya menyihir kaum Muslim dengan pemikiran moderat kemudian muncul perkataan dan
ajakan yang seolah menarik dan sesuai dengan ajaran Islam padahal menyalahi syariat Islam. Ibarat
racun yang dibalut dengan madu.
Semisal perkataan, “Biasa-biasa ajalah dalam beragama, jangan radikal (kaffah), yang penting
shalat, puasa, birrul walidain, haji itu sudah cukup, tak perlu neko-neko mau mengatur masyarakat dan
negara pakai agama!”. Atau pemikiran agar kaum Muslim hanya sekedar lurus akidahnya dan baik
akhlaknya, tetapi tidak memperhatikan standar dalam berpikir dan bertindak yang juga harus sesuai
dengan Islam.
Sepintas, program itu seolah penuh kebaikan, mengarahkan para pemuda untuk bersikap moderat,
merawat kebhinekaan, dan menanamkan toleransi. Namun, jika kita cermati, banyak hal yang harus kita
kritisi bahkan harus diwaspadai. Sejatinya, program tersebut mengarahkan kepada moderasi beragama
yang akan semakin jauh dari din Islam.
Benarkah Terjangkit Radikalisme?
Terbersit dalam benak, apa benar anak-anak terpapar paham radikal? Radikal seperti apa yang
dimaksud? Bila yang dimaksud radikal melakukan ancaman terorisme, kita semua sepakat itu adalah
berbahaya. Namun, bila yang dimaksud radikalisme adalah semangat para pelajar muslim untuk
mengamalkan agamanya, apakah itu berbahaya? Bukankah agama kita—Islam—memerintahkan kita
untuk menjalankan aturan Islam secara keseluruhan dalam seluruh aspek kehidupan? Jika kita mau
jujur, makna radikal yang berkembang saat ini dan dituduhkan oleh sebagian kalangan—terlebih
diarahkan kepada anak-anak SMA—merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Di sinilah seharusnya
umat Islam jeli dan tidak mudah terpengaruh berbagai informasi yang justru menyudutkan umat Islam
sendiri. Ditambah gencarnya opini moderasi Islam melalui rumah moderasi dan sekolah moderasi
beragama, tampak jelas bahwa inilah target utamanya. Ini semua tidak lepas dari upaya musuh-musuh
Islam untuk memecah belah umat Islam dengan melakukan pengecekan umat Islam sesuai dengan
rancangan mereka. Pada akhirnya, sebagian umat Islam menuduh umat Islam lainnya dengan kedok
toleransi atau kerukunan, padahal yang terjadi justru mengadu domba umat Islam itu sendiri.

Target Utama: Mengukuhkan Islam Moderat


Telah makin jelas sesungguhnya, target para musuh Islam dan agen mereka adalah menyebarkan
dan mengukuhkan Islam moderat, terutama di kalangan para pelajar. Mereka memberikan “cap” radikal
kepada para pelajar yang berusaha menjalankan syariat Islam, kemudian seolah-olah memberikan solusi
dengan sekolah moderasi beragama.
Tanpa disadari sesungguhnya yang dipelajari itu—Islam moderat—tidak akan memberikan solusi
apa pun melainkan justru makin menjauhkan dari pemahaman Islam yang benar. Mengapa?
Sesungguhnya ide Islam Moderat ini pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi
pemikiran Islam ke tengah-tengah umat, yang diberi warna baru. Ide ini menyerukan semua agama
sama dan menyerukan untuk membangun Islam inklusif—bersifat terbuka—, toleran terhadap ajaran
agama lain, menyusupkan paham bahwa semua agama benar.
Allah Swt. dengan sangat tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan mulia di sisi Allah
hanyalah Islam, terlebih lagi adanya celaan yang pasti bahwa tidak akan diterima agama selain Islam,
dan mereka tidak akan selamat di akhirat kelak. Dari sinilah kita mendapati penganut Islam moderat
memberlakukan toleransi melampaui batas yang telah digariskan oleh Islam. Bahkan, murtadnya
seseorang ataupun menjadi ateis dianggap sebagai hak seseorang, maka tampak jelas ide ini
bertentangan dengan akidah Islam. Bisa kita bayangkan jika hal ini mereka ajarkan kepada generasi
kaum muslimin, maka kerusakanlah yang akan terjadi. Generasi muslim Ideologis akan teracuni
pemikirannya dengan pemikiran yang bertentangan dengan Islam, dan tentu saja hal ini sangat
berbahaya bagi umat di saat ini maupun di masa datang.

Moderasi. Kata tersebut kini sedang dijalankan oleh Kementrian Agama.  Dengan alasan moderasi,
ajaran Islam yang mereka anggap radikal dihilangkan dari kurikulum dan buku Pendidikan Agama Islam
(PAI).
“Istilah moderasi itu dulu tahun 2000-an dipopulerkan oleh orang-orang yang menamakan diri
sebagai Islam liberal,” ungkap Pak Dhani.  “Dan tidak laku.  Sebab, realitasnya justru meninggalkan
aturan Islam itu sendiri,” tambahnya.
“Namun, dengan makin sekularnya rezim yang berkuasa di Indonesia, gagasan moderasi pun makin
diwujudkan,” Pak Hasan nimbrung.
Memang, istilah ‘moderasi’ lahir bukan dari rahim ajaran Islam.  Pada tahun 1998, Charles Kurzman
dalam bukunya Liberal Islam: a Sourcebook telah menuliskan terkait moderasi ini.
Siapa pun yang mengamati pergerakan Islam akan menemukan bahwa gagasan moderasi itu
berkembang paralel dengan tudingan terhadap Islam dan para pejuangnya. Juga paralel dengan
berkembangnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme.  Pada tahun 1980-an orang yang berpegang
teguh pada ajaran Islam disebut sebagai ekstrem kanan. Tuduhan anti-Pancasila pun disematkan kepada
orang yang berpegang pada ajaran Islam.  Namun, keterikatan pada ajaran Islam pun tak tergoyahkan. 
Berikutnya, pada tahun 1990-an siapa saja yang terikat pada syariah Islam disebut dengan tuduhan
fundamentalis.  Siapa saja yang berpegang kuat pada al-Quran dan as-Sunnah dicap sebagai
fundamentalis.
Sejak tahun 2000-an, tepatnya sejak peledakan gedung kembar WTC di Amerika Serikat pada 11
September 2001, istilah yang dipakai pun berubah menjadi ‘terorisme’.  Para aktivis Islam selalu dituduh
sebagai ‘teroris’ sekalipun tidak melakukan tindak kekerasan.  Apa itu terorisme pun tidak ada definisi
yang jelas. Aktivitas dakwah Islam yang menyerukan terikat pada ajaran Islam secara kaffah pada kurun
itu senantiasa dikait-kaitkan dengan terorisme.
Di tengah tuduhan itu, wacana moderasi pun digaungkan sekalipun suaranya nyaris tak terdengar. 
Sekalipun masyarakat memahami bahwa istilah itu bungkus dari paham sekularisme, pluralisme dan
liberalisme.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi hal ini.  Pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan
Sekularisme Agama, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama
adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham
pluralisme, sekularisme dan liberalisme.
“Sejak rezim Jokowi berkuasa tahun 2014 sikap anti-Islam sangat terasa,” kata Pak Dede.
Tuduhan ‘anti-Pancasila’ pun dijadikan palu godam yang memukul siapa saja yang terikat pada
Islam atau kritis kepada penguasa.  Pada saat rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Kompleks
Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11/2019), Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan: “Pelajaran yang
dibenahi utamanya adalah Akidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadis. Bukan al-Quran yang dibenahi, ndak. Itu
sudah tidak bisa tersentuh. Masalah Fikih, masalah Sejarah Kebudayaan Islam, kemudian Bahasa Arab.”
Jadi, setidaknya ada lima tema tersebut yaitu Akidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadis, Fikih, Sejarah
Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.  Menurut dia, revisi dilakukan untuk mengikuti perkembangan
sains dan teknologi serta untuk menyesuakan dengan nilai revolusi mental dan moderasi beragama.
Pada pertengahan Juli 2020, Kementerian Agama Republik Indonesia, melalui Ditjen Pendidikan
Islam, mengeluarkan buku modul Membangun Karakter Moderat untuk MI, MTs, dan MA.  Dalam
pengantarnya ditegaskan bahwa buku tersebut mengandung dua inti, yaitu moderasi agama dan
revolusi mental.  Menurut Fahmi Lukman, buku tersebut patut dicermati.  Mantan Atdikbud RI untuk
Mesir itu mengatakan, “Tampak ada upaya penggeseran dari pluralitas sosiologis ke pluralisme
teologis/agama.”
Salah satu bukti pernyataan Lukman itu bisa ditemukan dalam buku tersebut untuk MI.   Pada
halaman 42  ada dialog antara seorang ibu dan anaknya. Anak bertanya, “Bu, jadi kita juga boleh
mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani, ya?”  Ibunya pun menjawab, “Nak, meski kita
berbeda agama, tapi kita semua adalah saudara.  Jadi, harus saling menjaga, menghormati, menyayangi
dan mengasihi.  Tante Greta juga selalu mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, loh, ketika kita
merayakannya.”
Padahal menurut Prof. Hamka, tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan
menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi menyuburkan
kemunafikan.  Fatwa MUI tahun 1981 tentang keharaman Perayaan Natal Bersama (PNB) pun terus
digugat.
Berkaitan dengan hal ini, Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa liberalisasi ini terus berjalan.  Pengajar
Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana UNIDA Ponorogo ini menambahkan, “Momentum perubahan
kurikulum menjadi puncak dari itu (liberalisasi) secara akademik dan sosial.”
Lebih tegas, Ahmad Sastra menyampaikan, “Moderasi Islam menjadikan umat meragukan ajaran
Islam, tidak bangga dengan agamanya, dan sinkretisme dengan pemikirian di luar Islam.”
Beliau menambahkan, “Pun demikian, kata wasathiyah yang kerap dihubungkan dengan moderat
jelas berbeda maknanya. Jihad bukan terorisme. Khilafah bukan khilafahisme dan radikalisme. Itu
penyebutan salah dan fatal.”
Apa yang disampaikan Ketua Forum Doktor Muslim Indonesia itu dapat dijumpai pada beberapa
tafsir.  Misalnya, di dalam Tafsir Jalalain (1/149) disebutkan bahwa makna ‘ummat[an] wasatha’ dalam
QS al-Baqarah ayat 143 adalah ‘khiyar[an] wa ‘udul[an]’ (umat terbaik dan adil).
Hal senada disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/454), makna ummat[an] wasatha adalah
‘khiyaral ummah’ (umat terbaik).
Dalam Tafsir Ath-Thabari (3/141) juga disebutkan ‘wa ammal wasatha fa innahu fi kalamil ‘arab al-
khiyar’ (wasatha dalam Bahasa Arab artinya adalah yang terbaik).
Jadi, ummat[an] wasatha bukanlah umat moderat sebagaimana pengertian Barat. Dengan
demikian istilah moderasi Islam lebih pada upaya mengubah ajaran Islam ke arah liberal.   Karena itu
tidaklah mengherankan, atas nama moderasi, ajaran Islam yang dipandang membahayakan
sekularisme/kapitalisme/liberalisme maupun sosialisme/komunisme dihilangkan, atau diarahkan sesuai
dengan pandangan idelogi kapitalisme ataupun komunisme tersebut.
WalLahu a’lam. []

Mewaspadai Dampak Program Moderasi, Kontra Radikalisme dan Kapitalisasi di Pesantren


Oleh Dedeh Wahidah Achmad

Peran Pesantren dalam Kungkungan Kapitalisme Sekuler


Secara historis, pesantren telah menorehkan kontribusinya dalam perkembangan Islam di negeri
ini. Pesantren menjadi andalan untuk menempa masyarakat menjadi pribadi yang kokoh dalam
keimanan, menguasai berbagai ilmu, berlimpah amal ibadah, serta semangat yang bergelora dalam
memperjuangkan agama Allah SWT.
Sejak awal pertumbuhannya, peran utama pesantren adalah membina santri supaya menguasai
tsaqofah agama Islam atau lebih dikenal tafaqquh fi al-din, yang dapat mencetak kader-kader ulama dan
turut mencerdaskan masyarakat Indonesia dan melakukan dakwah menyebarkan agama Islam serta
benteng pertahanan umat dari ancaman bahaya dan berbagai penyesatan.
Kehadirannya sangat dirasakan umat. Lembaga ini merupakan institusi pendidikan yang tidak
berorientasi keuntungan materi. Langkah perjuangannya penuh keikhlasan semata untuk meninggikan
kalimat Allah, mencerdaskan umat dengan pemahaman yang benar dan mengajak mereka untuk tunduk
patuh pada syariat agamanya.
Pesantren bukan saja menempa generasi yang shaleh, tapi sekaligus melahirkan generasi yang
peduli pada masa depan umat dan agamanya, generasi yang siap melanjutkan perjuangan para
pendahulunya. Dua tokoh besar negeri ini bisa menjadi bukti bahwa pesantren berperan besar dalam
mencetak orang hebat. Pertama, Kiai Hasyim Asy’ari, pada tahun 1899 beliau mendirikan pesantren
Tebuireng di Jombang, kemudian membentuk Nahdlatul Ulama (NU). Beliaulah yang menyerukan
resolusi jihad untuk melawan kafir penjajah. Kedua, kawan seperguruan beliau di Mekkah, Kiai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau dikenal sebagai pendiri pusat pendidikan Islam yang memiliki
jargon berkemajuan.
Namun, seiring dengan kian kuatnya cengkeraman kapitalisme sekulerisme dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan, nampak ada upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu untuk menggeser fungsi pesantren sebagai institusi pencetak pewaris para Nabi menjadi
lembaga yang focus pada ekonomi dan menjadi corong untuk memassifkan faham yang tidak sejalan
dengan Islam kafah sebagaimana dicontohkan baginda Nabi ‫ﷺ‬. Upaya ini tidak dilakukan secara frontal
sehingga tidak banyak yang menyadari bahayanya. Seringkali dikemas dengan indah seolah
menunjukkan kepedulian pada pesantren seperti peringatan hari santri nasional yang ditetapkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Demikian juga penerbitan undang-udang pesantren pada
tahun 2019. Tidak sedikit umat yang terkecoh dan menyangka bahwa program tersebut baik untuk
kemaslahatan pesantren dan masa depan umat Islam. Karenanya perlu diungkap bahaya di balik
program-program tersebut, terutama terkait UU pesantren.

Mewaspadai Pergeseran Orientasi Pesantren Pasca Terbitnya UU Pesantren no 18 Tahun 2019


Dengan alasan Sebagai upaya menciptakan pendidikan yang berkeadilan, UU pesantren Nomor 18
2019 mengatur adanya instrumen pendanaan untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan
anggaran dalam pengembangan pesantren. UU pesantren sudah melahirkan turunan berupa Perpres
tentang Dana Abadi Pesantren sebagaimana yang disebutkan ppada asal 49 mencantumkan dana abadi
dari pemerintah akan diberikan pada pesantren.
Akibatnya Tidak cukup menjadikan pesantren sebagai corong ide moderasi, mereka juga
mengubah orientasi pesantren juga diarahkan untuk menggerakkan roda perekonomian dalam sistem
kapitalisme saat ini. Dalam pasal 45 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat oleh pesantren
dilakukan dalam bentuk (a) pelatihan dan praktik kerja lapangan, (b) penguatan potensi dan kapasitas
ekonomi pesantren dan masyarakat, (c) pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan usaha mikro, kecil
dan menengah, (d) pendampingan dan pemberian bantuan pemasaran produk masyarakat, (e)
pemberian pinjaman dan bantuan keuangan, (f) pembimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan
kendali mutu, dan (h) pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri.
UU 18/2019 tentang Pesantren bukan upaya pertama kali untuk memalingkan visi dan misi
pesantren ke arah pemberdayaan ekonomi. Sebelumnya telah diluncurkan program One Pesantren One
Product (OPOP). Program ini mulai dilaksanakan sejak akhir 2018 dan melibatkan lembaga keuangan
negara ini (BI).
Dugaan pengalihan fungsi pesantren ini dikuatkan dengan adanya peluncuran peta jalan
kemandirian pesantren oleh Menteri Agama pada 4/5/2021. Program ini ditujukan untuk
mengembangkan pondok pesantren sebagai percontohan pergerakan ekonomi disamping fungsi sebagai
lembaga pendidikan. Pesantren yang sebelumnya focus melahirkan para ulama yang tafaquh fiddin,
sekarang dibebani tanggung jawab untuk memajukan ekonomi umat, bahkan digadang-gadang bisa
berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan masyarakat.
Padahal dahulu pekerjaan dan urusan uang tidak dijadikan masalah oleh lulusan pesantren.
Motivasi mereka dalam belajar bukan untuk mengejar jabatan keduniaan, namun demi memenuhi
kewajiban menuntut ilmu. Mereka serius dan sungguh-sungguh dalam memahami ajaran Islam, tanpa
dipalingkan dengan urusan materi. Kemandirian Pesantren dalam mengelola pendanaan pun tidak
diragukan lagi. Institusi ini tidak bergantung pada siapa pun. Hal ini membuat pesantren independen
dalam menentukan apa pun untuk kelangsungannya serta bebas dari intervensi pihak lain, termasuk
dalam menetapkan materi ajar.
Namun setelah diterbitkannya UU Pesantren, patut diwaspadai adanya pergeseran orientasi dan
focus perhatian. Sebelumnya energi dan potensi santri dikerahkan untuk menimba ilmu agama.
Sekarang bukan mustahil kualitas para santri lebih terkuras untuk urusan keuangan yang berujung
terjadi penurunan kualitas lulusan pesantren. Padahal bantuan dana dari pihak luar dalam siste
sekuler-kapitalis saat ini, seperti kucuran anggaran dari pemerintah dan perusahaan, justru akan
membuat pesantren kehilangan kemandirian dalam menapaki langkah perjuangannya. Contohnya,
disetir dalam penetapan bahan ajar, dipaksa untuk tunduk pada berbagai aturan yang sudah ditetapkan.
Profil lulusan pun disesuaikan dengan pesanan dan format pihak pengusung dana.

Mewaspadai Moderasi Beragama dibalik UU Pesantren No 18 tahun 2019


Ustadz Ismail Yusanto menyampaikan kritiknya terhadap UU Pesantren, Pada intinya, kritik-kritik
tersebut berpangkal pada gagasan filosofis tentang wajibnya pesantren mengadopsi Islam moderat
sebagaimana jelas tertulis dalam Pasal 3: Pesantren diselenggarakan dengan tujuan: a. membentuk
individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan
atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-
menolong, seimbang, dan moderat; b. membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang
moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup
beragama.
Pada pasal 37 fungsi dakwah pesantren adalah untuk mewujudkan islam rahmatallil'alamiin.  Yang
dimaksud dengan islam rahmatallil'alamiin sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 38 adalah Islam
yang mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan islam yang rendah hati, toleran,
keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan pancasilan dan UUD 1945 serta
menyiapkan pendakwah yang menjunjung tinggi nilai -- nilai luhur bangsa berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. 
Selain itu, pada pasal 40 (bagian f) juga disebutkan bahwa fungsi dakwah pesantren adalah untuk
menjadikan umat Islam Indonesia sebagai rujukan dunia dalam praktik berislam secara moderat. Dalam
pasal - pasal di atas, nampak adanya pergeseran peran pesantren untuk menyebarkan islam moderat
yang sejalan dengan cara pandang Barat. Hal ini tentu menjadikan santri -- santri yang menjadi output
pendidikan di pesantren ini semakin jauh dari nilai -- nilai Islam.
Menurut ustadz Ismail, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan
pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim
yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.
Semua tindakan itu secara nyata telah menempatkan Islam bukan sebagai agama yang mengatur,
tetapi menjadi obyek yang boleh diatur-atur sekehendak hatinya. Tindakan ini jelas telah melampaui
kedudukan manusia sebagai hamba Allah.

https://al-waie.id/catatan-dakwah/mengatur-bukan-di-atur/
Analisa ustadz Ismail terkait moderasi beragama di balik UU pesantren bukan tanpa bukti. Secara
tegas wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengakuinya, saat memberikan sambutan
pada Haflatul Ikhtitam Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di Kedoya pada Sabtu (3/4/2021), “Saya
meyakini bahwa pesantren adalah tonggak utama dalam mengawal moderasi beragama.” Menurutnya,
moderasi beragama tidak akan dapat tercipta tanpa prinsip adil dan berimbang. Prinsip seperti ini yang
selama ratusan tahun diajarkan di lingkungan pesantren”. (kemenag.go.id/berita/read/515754).
Sepaket dengan moderasi beragama, kontra radikalisme pun kian digencarkan di tengah pesantren.
Sejumlah program menjadi buktinya. Diantaranya adalah, program yang diinisiasi oleh bnpt. Lembaga
ini menyelenggarakan pelatihan puluhan santri pesantren untuk melawan narasi radikal di dunia maya.
Tidak tanggung-tanggung upaya ini dinamai jihad kebangsaan di dunia siber,
https://www.antaranews.com/berita/2947081/bnpt-latih-santri-puluhan-pesantren-lawan-narasi-
radikal-di-dunia-maya
Apa jadinya pasantren jika independensinya dalam mengajarkan ajaran Islam dikangkangi oleh
kepentingan musuh Islam ? Islam disampaikan dipesantren hanya yang sesuai dengan format Barat,
sementara potensinya dibajak dengan pemberdayaan ekonomi untuk menutupi penjajahan kapitalisme.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka tidak akan lahir dari rahim pesantren ulama handal seperti Imam
Syafiiy, tidak akan muncul pemimpin tangguh sekaliber Muhammad Al Fatih, juga sulit adanya
negarawan yang berani menyerukan jihad kepada kafir penjajah layaknya Kiyai Hasyim Asy’ari. Justru
sebaliknya, bukan mustahil pesantren akan melahirkan orang-orang yang tidak suka ajaran agamanya
tegak dan tidak segan untuk memusuhi para penjuang Islam yang mukhlis.
Khilafah Menjaga Institusi Pencetak Ulama dan Pendidik Generasi Pejuang
Institusi pendidikan yang dikangkangi ideologi kapitalisme sekuler sangat berbeda dengan
pendidikan di masa peradaban Islam tegak dalam naungan khilafah. Sistem pendidikan Negara Khilafah
merupakan kumpulan hukum syariah dan berbagai aturan administratif yang terkait dengan pendidikan
formal. Tujuan umum dari sistem pendidikan ini adalah: (1) membangun kepribadian Islam warga
negara; (2) memastikan ketersediaan ulama/mujtahid dan para ahli dalam berbagai disiplin
pengetahuan yang menempatkan Negara Khilafah sebagai pemimpin dunia.
Untuk mewujudkan tujuan ini disusun kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah
Islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara. Sekalipun
negara khilafah menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh warga negaranya, namun keberadaan
sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Lembaga
pendidikan semisal pesantren pun akan dibiarkan berkembang dan tumbuh subur.
Selama masa Kekhalifahan Islam itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus
berkembang dari dulu hingga sekarang. Diantara lembaga pendidikan itu adalah,, Nizhamiyah (1067 -
1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez,
Maroko dan Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Masing-masing lembaga ini memiliki
sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Beberapa lembaga itu berhasil melahirkan
tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu
Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi.
Dalam ri’ayah khilafah keberadaan ulama yang tafaquh fiiddin bukanlah barang langka. Mereka
senantiasa ada dalam jumlah yang banyak untuk mengawal penguasa, menjaga kemuliaan Islam dan
menebarkan rahmat ke semesta alam.

Upaya mengembalikan idealisme pesantren dalam Mewujudkan Generasi Pejuang

Untuk melawan arus massif dan sistematis penghancuran generasi melalui pendidikan di pesantren,
dibutuhkan peran semua pihak. Sangat penting menyelamatkan para calon ulama pewaris nabi yang
hanif, faqih fiidin, merekalah asset umat yang akan menolong Agama Allah, menjaga kemurniaan syariat
Islam dari pemikiran sesat musuh islam
Diawali dari institusi keluarga, para orang tua harus memilihkan pesantren yang masih memegang
idealisme untuk pendidikan anaknya. Mereka juga harus bekerja ekstra dalam mendidik anak-anak
mereka untuk membersihkan pengaruh ide dan pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Orang tua
bertanggung jawab membangun keimanan & meluruskan kerangka berfikir tentang kehidupan (QS Ali
Imran [3]: 185 dan al-Jumu’ah: 8), lemahnya manusia, Maha kuasanya Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 190-
191), kefanaan dunia dan kekalnya akhirat (Lihat QS al-Qari’ah [101]: 1-11) Untuk menguatkan
keyakinannya menjadikan aqidah Islam sebagai asas yang mendasari setiap aktivitas. Kepribadian Islam
generasi semakin kokoh dengan pemahaman kegemilangan peradaban Islam dan berbagai strategi
musuh barat untuk memusuhi Islam. Dengan demikian mereka akan menjadi sosok kuat, mampu
membersihkan dirinya bahkan memimpin perubahan dilingkungan yang tidak sesuai dengan Islam.
Para ulama pesantren juga berjuang untuk menjaga idealismenya meskipun harus berhadap-
hadapan dengan kebijakan rezim represif. Tanggung jawabnya sebagai tiang agama untuk menjaga
Cahaya agama Allah tetap bersinar menerangi umat membutuhkan regenerasi yaitu para ulama dari
generasi muda yang akan melanjutkan estafet perjuangan. Semuanya itu juga harus disertai perjuangan
dari seluruh Masyarakat secara umum berjuang melawan kebijakan dzalim yang merusak peran
pesantren termasuk UU pesantren ini, kebijakan dana abadi pesantren, dsb. Sekaligus menuntut
penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah sebagai pelindung umat dari sekulerisme
kapitalisme.
KHILAFAH MENJADI PERISAI YANG MENCEGAH ILMU DAN TEKNOLOGI MENJADI KOMODITAS
PENJAJAHAN DI DUNIA ISLAM

#Pendidikan_Khilafah #Khilafah_Education# ‫الخالفة_التعليم‬

Allah SWT telah sebenarnya menetapkan bahwa kualitas generasi yang dihasilkan dari proses
pendidikan di dalam Islam adalah generasi yang secara individual berkualitas Ulul Albab dan secara
generasi berkualitas Khoiru Ummah. Kualitas generasi seperti ini kelak akan mampu memimpin
bangsanya menjadi bangsa besar, kuat dan terdepan, bahkan akan mampu menghantarkan bangsanya
menjadi pemimpin peradaban dan perkembangan teknologi
dunia.Iniadalahbagianterakhirdariduatulisan yang membahaspendidikankelasdunia.
PENDIDIKAN INVESTASI TERBESAR BAGI PERADABAN 

Jauh sebelum kebangkitan Eropa dan kebangkitan Amerika, kaum muslim dengan peradabannya
telah berjaya memimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia selama 13 abad. Tidak ada
kejayaan bangsa manapun yang dapat bertahan selama itu. Hunke dan Al – Faruqi dengan cukup baik
melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan penguasaan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi, setidaknya terdapat dua faktor yang
menjadi sebab utamanya. 
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, akibat faktor Aqidah yang
menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal
Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah
sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi,
Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam.
Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini
begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Motivasi pencarian ilmu dimulai
dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim
perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri
Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam
suntuk”, dsb. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan
taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum,
observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat kuat dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi
perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di
masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Negara
sangat memuliakanparapengajar/ilmuwan, menjamin kehidupan mereka, serius melakukan
pemberdayaan perannya dan bahkan mendorong mereka untuk menguasai Ilmu setinggi-tingginya
dengan motivasi yang berasal dari Al-Quran dan Assunnah.
Pada poin kedua inilah fokus tulisan ini mencoba diurai. Tidak bisa dibantah bahwa, faktor
kemandirian dan kekuatan visi negara adalah faktor terpenting dalam menguasai ilmu pengetahuan dan
mengarahkan desain sistem pendidikannya yang berkualitas. Sebab sistem politik negaralah yang akan
mengarahkan pengelolaan seluruh sumber daya negara (baik SDA maupun SDM) untuk mencapai
tujuan-tujuan politiknya. 
Di dalam Islam, politik mempunyai makna pengaturan urusan umat dengan aturan islam baik
didalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al ummah dakhilian wa kharijiyan). Aktivitas politik
dilaksanakan oleh rakyat (umat)dan pemerintah (Negara). Negara merupakan lembaga yang mengatur
urusan tersebut secara praktis. Di sisi lain umat memberikan koreksi (muhasabah) kepada pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu tujuan politik Islam adalah memelihara kehidupan
masyarakat dengan hukum-hukum Islam dalam aspek-aspek penting manusia dan kehidupan yaitu :
memelihara keturunan, memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia,
memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara. 
Termasuk juga bidang pendidikan, demi tercapainya tujuan politik Islam yakni memelihara Akal,
maka negara berkewajiban mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan
berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang
berilmu (Lihat: TQS al-Maidah: 90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11). Kebijakan negara secara
sistemik akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting systemnya. Bukan hanya dari sisi
anggaran, namun juga terkait media, riset, tenaga kerja, industri, sampai pada tataran politik Luar
Negeri. Pemerintahan Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa
depan bagi keberlangsungan Islam.

I. POLITIK DALAM NEGERI ISLAM : MENJAMIN PENDIDIKAN TIDAK MENJADI KOMODITAS

Allah SWT. berfirman dalam al-Quran: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiya [21]: 107). Islam diturunkan oleh
Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta. Kerahmatan itu diwujudkan dengan menciptakan
kebaikan untuk semua melalui kemampuan syariah Islam dalam memecahkan seluruh persoalan hidup
manusia di dunia tanpa membeda-bedakan agama, mazhab, bangsa, ras, maupun jenis kelamin. Karena
itu, di dalam Daulah Khilafah seluruh warga negara akan mendapatkan perlindungan atas jiwa, harta dan
kehormatan tanpa diskriminasi.
Dalam hal pendidikan pun demikian. Daulah Khilafah tidak akan menyelenggarakan pendidikan
secara diskriminatif. Pendidikan bebas bea yang bermutu dari tingkat dasar hingga menengah akan
disediakan untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, mazhab, ras, suku bangsa maupun
jenis kelamin. Untuk pendidikan tinggi, Daulah Khilafah akan menyediakan sesuai kemampuan.
Pada masa Daulah Islam tegak yang dimulai dengan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, model
pendidikan sudah mulai dirintis dan Rasulullah adalah kepala negara yang sangat menghargai ilmu
pengetahuan. Pada masa Kekhilafahan Islam berikutnya, pendidikan diberikan kepada seluruh warga
negara tanpa biaya. Sehingga tidak ada dalam kamus sejarah Islam, bahwa pemerintah mencari
keuntungan (profit) atau menarik bayaran dari rakyat dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Karena
paradigma negara memetakan pendidikan sebagai kebutuhan primer rakyat yang wajib dipenuhi. Hal ini
kemudian menjadi ruh dalam politik ekonomi dalam Islam yaitu jaminan terpenuhinya pemuasan semua
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs). Kebutuhan primer bagi tiap individu adalah
sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs bagi setiap individu. Adapun yang
termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan
pendidikan.
Politik dalam negeri Islam akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas
ekonomi. Apalagi sampai menarik bayaran atau tarif tertentu kepada rakyat. Yang kemudian
memunculkan diskriminasi pada rakyat, karena seolah ada dua jenis pendidikan, yakni pendidikan untuk
kalangan orang berada dan pendidikan untuk masyarakat umum. Menyikapi hal ini oleh karenanya
sangat perlu dipahami prinsip-prinsip dasar penguasaan ilmu pengetahuan oleh sistem pendidikan,
sebagai berikut : 
1. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan secara sistemik oleh negara.
2. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya bisa dilakukan berdasarkan kebijakan negara
bukan didrive oleh kepentingan swasta apalagi asing.
3. Kaum muslimin seharusnya hidup dalam suatu sistem Daulah Khilafah, yaitu daulah Islam yang
menerapkan hukum-hukum Islam serta melakukan dakwah Islam ke segala penjuru dunia sehingga
Islam diterapkan untuk membentuk rahmatan lil ‘alamiin.
Demikianlah 3 (tiga) prinsip dasar ini harus dipenuhi oleh umat Islam yang diberi gelar oleh Allah
Swt sebagai khayru ummah (umat terbaik). Harus diingat, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains
dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam di masa lalu memang tidak bisa dilepaskan dari tegaknya
sistem kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang peranan
secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa
sosok para pemimpin terdahulu yang shaleh selain sebagai seorang negarawan yang handal dan
mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai
rakyatnya. Pada aspek ini kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan
peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem
Kekhilafahan dibawah pimpinan seorang Khalifah.
Sementara itu tolok ukur kemampuan penguasaan teknologi yaitu sebuah negara menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi secara sistemik, adalah jika : 

1. mampu membentuk sistem pendidikan sesuai dengan pandangan hidup negara serta problem-
problem yang dihadapi negara
2. mampu membentuk kemampuan penelitian yang mengarah kepada penyelesaian problem-problem
yang dihadapi negara
3. mampu membentuk sistem industri yang mengaplikasikan hasil penelitian
4. mampu membentuk sistem industri yang mampu memperoleh keuntungan ekonomi secara wajar
5. mampu mengarahkan sistem industri kepada penyelesaian problem-problem yang
dihadapiberangkat dari visi dan misi negara

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar inilah terlihat bahwa negara yang kuat dan mandiri akan
mensinergikan semua komponen strategisnya demi menguasai ilmu pengetahuan. Dari mulai sistem
pendidikan, kemampuan riset, sistem industri, pola pemetaan tenaga kerja, hingga bagaimana politik
diplomasi dan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Semua dirancang secara sinergis yang
berangkat dari garis-garis politik negara. 

II. POLITIK LUAR NEGERI ISLAM : MENCEGAH PENDIDIKAN MENJADI ALAT PENJAJAHAN

Bagi negara berideologi Kapitalisme, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu agen ekonomi
yang paling signifikan, di samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural. Karena itu, untuk
membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi dan ilmu pengetahuan. Lihatlah sentra-sentra
industri pendidikan tinggi yang mendunia dan sungguh memikat, seperti Boston, New York, California;
Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, dan Canberra.
Dari kota-kota itulah proses kapitalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi abad 21 ini dimulai, terutama
ketika dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh ilmu pengetahuan—knowledge-and
technology-driven economic growth. 
Oleh karena itu benarlah analisis Susan Strange bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
salah satu kekuatan dunia; “knowledge is power, whoever is able to develop or acquire and to deny the
access of others to a kind of knowledge respected and sought by others will exercise a very special kind
of structural power.” Karena itu hari ini praktek monopoli ilmu pengetahuan menjadi semacam syarat
agar sebuah negara mampu memimpin dunia. Inilah yang dilakukan dunia Barat terhadap negeri-negeri
Islam, yang berdampak pada makin tingginya tingkat dependensi negeri-negeri Islam dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan kepada mereka. 
Kondisi ketergantungan ini, sungguh ironis. Karena sesungguhnya umat Islam dahulu pernah
menjadi yang terdepan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmuwan Islam telah menemukan banyak
hal, kemudian ilmu itu disusun dalam buku-buku pengetahuan yang senantiasa dikembangkan melalui
penelitian-penelitian. Ilmuan besar seperti Abu Sina, al Farabi, Ibn Khaldun, al Khawarizmi dan lain
sebagainya membuktikan bahwa Islam pernah memimpin kejayaan ilmu pengetahuan. 
Namun seiring dengan kemunduran Islam, para ilmuwan Islam pun semakin sedikit dan malah
sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam ribuan buku dihancurkan dan sebagian diambil pihak Barat
untuk dikembangkan. Akhirnya kemudian yang mengalami perkembangan pesat ilmu pengetahuan
justru bukanlah Islam, melainkan Barat. Karena memang kajian, penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan sangat giat dilakukan di Barat. Sedangkan negara Muslim sendiri tidak serius terhadap hal
itu sehingga senantiasa tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan.
Demi menjawab persoalan adanya ketergantungan negeri-negeri Islam kepada negara-negara Barat
dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada bagian ini secara khusus akan diulas bagaimana
politik luar negeri Islam dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Politik luar negeri Islam
memiliki garis politik yang akan mencegah pendidikan sebagai alat penjajahan, apakah Daulah Islam
sebagai subyek ataupun obyek. Dengan kata lain Daulah Islam tidak akan menjajah negeri lain atas nama
pendidikan ataupun membiarkan dirinya dijajah karena kebutuhan akan ilmu pengetahuan.
Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri negeri-negeri Islam yang penuh nuansa
kelemahan dan ketertundukan terhadap Barat, diganti dengan pola baru dengan dasar Islam.
Berdasarkan syariah Islam, Khilafah akan membangun hubungan dengan negara-negara lain baik di
bidang ekonomi, politik, budaya atau pendidikan. Dalam seluruh urusan luar negeri, Khilafah akan
memastikan bahwa dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat manusia dengan cara yang
terbaik. Sabda Rasulullah saw:
» ‫ص ُموْ ا ِمنِّ ْي ِد َما َءهُ ْم‬
َ ‫ك َع‬َ ِ‫صالَةَ َويُْؤ تُوْ ا ال َّزكَاةَ فَِإ َذا فَ َعلُوْ ا َذل‬ َ َّ‫ت َأ ْن ُأقَاتِ َل الن‬
َّ ‫اس َحتَّى يَ ْشهَ ُدوْ ا َأ ْن الَاِلَهَ ِإالَّهللاُ َوَأ َّن ُم َح َّمدًا َّرسُوْ ُل هللاِ َويُقِ ْي ُموْ ا ال‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
ْ
ِ‫ق اِإل ْسالَ ِم َو ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللا‬ َّ ‫َأ‬
ِّ ‫« َو ْم َوالَهُ ْم ِإال بِ َح‬
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah
Muhammad Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya, maka darah dan harta mereka terpilihara dariku,
kecuali dengan yang hak, jika melanggar syara”.

Negara Khilafah Islam akan menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (thariqah) tertentu
yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah meskipun para penguasa Negara
Islam berganti. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan Negara di Madinah, sampai
keruntuhan Khilafah Islam. Saat Rasulullah di Madinah, beliau menyiapkan tentara dan memprakarsai
jihad untuk menghilangkan berbagai bentuk halangan fisik yang mengganggu dakwah Islam. Kaum kafir
Quraisy, adalah salah satu hambatan fisik yang menghalangi penyebarluasan Islam, sehingga harus
diperangi. Rasulullah berhasil menyingkarkan hambatan fisik dari institusi pemerintahan kaum kafir
Quraish dan kabilah-kabilah lain di Jazirah Arab, hingga Islam menyebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Adapun hubungan Daulah Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan pola sebagai
berikut:
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) dengan
tsaqafah. Ilmu pengetahuan–termasuk sains dan teknologi—bersifat universal, tidak dimiliki dan
dimonopoli oleh suatu bangsa tertentu. Negara khilafah-–sebagai negara yang bersifat ideologis—harus
memelihara tsaqafah generasi-generasinya agar kaum muslim memiliki Kepribadian Islam (syakhsiyah
Islamiyah) yang khas dan mulia. Dengan begitu, negara Khilafah mewajibkan seluruh sistem, program,
dan kurikulum pendidikan yang berlaku di seluruh tempat pendidikan yang ada di bawah naungan
Negara Khilafah Islam, merujuk pada sistem, serta program dan kurikulum negara khilafah. Selain itu,
negara harus menjamin bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di negerinya bersih dari pengaruh
ideologi ataupun pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan akidah Islam, dan bebas dari
budaya asing.
Dalam bidang pendidikan, Khilafah Islam dengan garis politik luar negerinya dan strategi
diplomasinya akan secara proaktif melakukan kerjasama dengan negara-negara selain negara musuh.
Bisa jadi tukar-menukar staf pengajar dan utusan-utusan antara dua negara dalam menyebarkan budaya
dan bahasa di negara lain. Prinsip-prinsip perjanjian internasional Negara Khilafah di bidang
Pendidikan : 
1. Negara Islam melaksanakan kurikulum pendidikannya dengan politik kebijakan tertentu untuk
membentuk Syakhshiyyah Islamiyah (Kepribadian Islam)
2. Syariat Islam telah membolehkan aktivitas belajar mengajar dalam kerangka mengembangkan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi umat dan dunia
3. Negara Islam boleh membuat perjanjian untuk mendatangkan guru ataupun dosen dalam bidang
ilmu-ilmu eksperimental dari luar negeri karena seorang guru terikat dengan kurikulum negara dan
tidak boleh keluar darinya
4. Tidak boleh membuat sebuah perjanjian yang isinya membolehkan negara lain untuk menyebarkan
pemikiran dan menyiarkan ideologi yang keliru, atau membuka sekolah2 swasta di tengah-tengah
kaum Muslim
5. Tidak boleh mengikat sebuah perjanjian yang isinya mengharuskan negara Islam terikat dengan
program2 yang tidak sesuai dengan kebijakan pendidikan yang harus dipegang teguh

Dengan prinsip-prinsipnya yang luhur, Islam memastikan semua hubungan dan perjanjian dengan
negara lain akan selalu bersifat simetris dan tidak manipulatif, karena metodologi politik luar negeri
Islam bukanlah imperialisme seperti Kapitalisme, melainkan adalah dakwah dan jihad yang menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu prinsip diplomasi Islam adalah mementingkan kepentingan nasional
tanpa mengabaikan kepentingan negara lain. 

LANGKAH TAKTIS NEGARA KHILAFAH DALAM POLITIK PENGUASAAN ILMU PENGETAHUAN

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Qs. al-Anfaal [8]: 60)

A. Strategi Membangun Kemampuan Negara Dalam Menguasai Ilmu Pengetahuan

Strategi pertama ini terkait dengan pembangunan 3 (tiga) sub sistem yang mendukung kemampuan
negara dalam menguasai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya. 
a. Membangun sistem pendidikan yang visioner sejak dari level dasar, menengah sampai pendidikan
tinggi dimana falsafah dan tradisi keilmuannya bersumber hanya dari Aqidah Islam, sehingga lahir
generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas Mukmin, dengan berbagai
keahlian dan bidang kepakaran.
b. Membangun sistem penelitian dan pengembangan (litbang) yaitu kemampuan riset/penelitian yang
terintegrasi baik dari lembaga penelitian negara, departemen-departemen dan dari perguruan
tinggi; semua dikendalikan, didorong dan dibiayai penuh oleh negara.
c. Membangun sistem industri strategis yang dimiliki dan dikelola mandiri oleh negara serta berbasis
pada kebutuhan militer mutakhir dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Dimana kemandirian
industri meliputi kemampuan untuk menguasai, mengendalikan dan menjamin keamanan pasokan
aspek-aspek penting industri, yaitu :bahan baku, teknologi, tenaga ahli, rancang bangun, finansial,
kemampuan untuk membentuk mata rantai industri yang lengkap, serta kebijakan.

B. Strategi Mengambil Ilmu Pengetahuan Dari Peradaban Lain


a. Kerjasama Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi Dengan Negara-Negara Kafir Mu’ahid
Perjanjian di bidang sains dan teknologi diperbolehkan secara mutlak, karena hukum Islam memang
membolehkannya. Oleh karena itu kerjasama seperti ini diperbolehkan sesuai dengan bentuk kerja
samanya dengan negara-negara tersebut, sambil terus mengamati skenario politik internasional,
Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam.
b. Negara Mengirimkan Kelompok Ilmuwan Untuk Mendalami Ilmu Di Negeri Tertentu
Negaralah dengan garis politiknya akan mengirimkan kelompok ilmuwan untuk belajar ke luar
negeri demi kepentingan strategis Daulah Khilafah. Maka ketika Khalifah melihat bahwa untuk
menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat,
kemudian dikirimlah utusan-utusan umat Islam untuk mempelajari teknik perkapalan, navigasi
dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Berbeda dengan sekarang, dimana beasiswa ke luar
negeriparaIlmuwan Muslim justru kebanyakan dibiayai oleh pihak lain, bukan oleh negara. Bahkan
acapkali justru negara asing itulah yang mendanai. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator
semata.
c. Mempekerjakan Ilmuwan Asing Untuk Mengajari Umat Islam
Banyak kisah tentang hal ini, termasuk juga di masa Rasulullah. Bahkan jika dalam situasi politik
tertentu diambil langkah-langkah intelijen terutama jika berhadapan dengan negara yang menjadi
musuh Khilafah Islam, seperti pada masa sultan Muhammad al-Fatih (1453 M) dilakukan upaya
membebaskan tawanan insinyur ahli pembuat meriam yang bernama Orban dari penjara
Konstantinopel. Singkat cerita, Orban berhasil dibebaskan dan dipekerjakan dengan gaji puluhan
kali lipat dibandingkan saat bekerja di Konstantinopel. Akhirnya diwujudkanlah meriam yang sangat
besar yang paling canggih di masa itu. 

Bercermin dari kisah ini, jika negeri Muslim punya keseriusan dalam menguasai ilmu pengetahuan
dengan kemandirian visinya seharusnya dilakukan juga upaya untuk mempekerjakan ilmuwan-ilmuwan
tersohor dari sentra-sentra pendidikan dunia saat ini, dengan bayaran tinggi untuk mendidik anak negeri
dengan target kemudian bisa menyamai kemampuan negara-negara maju. Seorang Profesor Harvard
atau MIT misalnya dibayar tinggi puluhan kali lipat dari gajinya di AS untuk mengajarkan teknologi
tambang terbaru didunia Islam, dan dia mengajar terikat dengan kurikulum negara dan tidak boleh
keluar darinya..
Membangun kembali kejayaan Islam sangat memungkinkan dilakukan oleh dunia Islam apabila
mereka bersatu sebagai sebuah peradaban menjadi “kekuatan baru” di kancah perpolitikan dunia. Kaum
muslim akan segera kembali memimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia apabila kualitas
generasinya segera diarahkan kembali menjadi generasi pemimpin. Sebab, negeri-negeri Islam
mempunyai kekuatan SDM dan SDA yang sangat besar, yang apabila disatukan dalam naungan Khilafah
tidak ada satu Negara atau bangsapun yang bisa menandinginya. 
Hal ini serta merta akan menjawab ketergantungan Umat Islam pada teknologi dari negara-negara
Barat. Politik monopoli ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Barat, akan dihadapi oleh Kaum Muslimin
dengan kemandirian dan kekuatan visi ideologinya. Dan perlahan tapi pasti, posisi akan berganti.
Baratlah yang akan mengalami ketergantungan pada Khilafah Islam. Insya Allah

Anda mungkin juga menyukai