Anda di halaman 1dari 11

Biodata Mohammad Hatta

Nama : Dr. Drs. H. Mohammad Hatta


Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Agama : Islam
Orang Tua : Muhammad Djamil (ayah), Siti Saleha (ibu)
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Hatta, Halida Hatta, Des Alwi, Gemala Hatta
Pendidikan : Universitas Erasmus Rotterdam Belanda

Biografi Mohammad Hatta

Banyak buku yang mengulas megenai Biografi dan Profil Mohammad Hatta. Disebutkan
bahwa Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil
yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya yang bernama Siti
Saleha. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan.
Masa Kecil

Mohammad Hatta Kecil (kanan)


Mohammad Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-
satunya. Ia memulai pendidikan dasarnya di ELS (Europeesche Lagere School).
Sejak duduk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di kota Padang, ia telah
tertarik pada pergerakan.

Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java,


Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke
perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan


bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota
maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya
mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin
selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Belajar ke Belanda

Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge
School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun
1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti
nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti
nama menjadi Indonesia Merdeka.

Mohammad Hatta Muda


Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir
tahun 1925.

Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan
baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu
terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI


pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato
inaugurasi yang berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen” atau
Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan.

Bergabung Dengan Perhimpunan Indonesia

Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk
landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-
turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang
dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi
jalannya politik rakyat di Indonesia.
Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di
Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres
intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu,
hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Nama ‘Indonesia’ Oleh Mohammad Hatta

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta


memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di
Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh
kongres. Nama “Indonesia” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu
telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan
pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di
Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927.

Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh


seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi
negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz
Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan
Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah
bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss.
Judul ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia
dan Persoalan Kemerdekaan).

Mohammad Hatta Di Penjara

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret
1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan.

Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang
mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia
Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan
judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia
merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Indonesia

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan
utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat
Ra’jat.

Selain itu ia juga aktif


melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada
Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan
kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya


oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke
Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul
“Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933),
dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933).

Di Penjara oleh Belanda

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang
ke Boven Digoel.
Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja,
Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto.

Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan
Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi
dan Kapitalisme”.

Di Buang Ke Boven Digoel, Papua

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua
pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan
harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan
menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke
daerah asal.

Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di
Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah
dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia
dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-
bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian,
Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-
kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan
bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara
lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat
jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen,


memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke
Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira.

Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di


Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan
memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku,
politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jakarta

Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal
9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada
tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan
Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya
terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan
dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol,
sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya.

Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni,
dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks
proklamasi kemerdekaan.

Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta


menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya.
Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para
anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang
saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan
bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno


dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di
Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Wakil Presiden Indonesia Pertama

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia


dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus
merupakan satu dwitunggal.

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda


yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat
kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi
Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai).

Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada
PBB agar Belanda dihukum. Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti.
September 1948 PKI melakukan pemberontakan.

Biografi Mohammad Hatta : Menjadi Perdana Menteri

19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan


Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima
Besar Sudirmanmelanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara
Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956

Dalam Biografi Mohammad Hatta, Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap
aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga
tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi.

Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam
konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio
untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.

Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal
17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi
Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi
Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan
konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai
Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui
sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan
kepada Presiden Soekarno.

Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta
mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia
akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno
berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu


Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta.
Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul
“Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru
besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato
pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan
pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan
sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan


Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa
Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah,
dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama
dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita
Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung


Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik
Indonesia Kelas I” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.

Mohammad Hatta Wafat

Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik


Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir
pada tanggal 15 Maret 1980.

Anda mungkin juga menyukai