PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan
mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat
(Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu keadaan klinis yaitu
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri) dan asidosis.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Saluran Nafas Bagian Atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
Dihangatkan
Disaring
Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied ciliated
columnar epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring
sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous
yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi
menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan
diteruskan ke
b. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah)
d. Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
e. Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
Tulang rawan krikoid
Selaput/pita suara
Epilotis
Glotis
2. Saluran Nafas Bagian Bawah
a. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti
huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic menempel pada dinding
depan usofagus.
b. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut carina.Brochus
kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.Bronchus kanan bercabang menjadi :
lobus superior, medius, inferior. Brochuskiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
c. Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister) yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis).Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara
eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya
makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki gelembung-gelembung
halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis, tidak bertulang rawan, dan
tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari
keberadaan gas lain (hukum Dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya
masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada
bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara
(alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya
terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput
tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan.
C. ETIOLOGI
1. faktor penyebab gagal napas
a. penyakit paru/ jalan napas instrinsik
1) obstruksi jalan napas besar:
a) deformitas kongenital
b) laringitis akut, epiglotis
c) Benda asing
d) Tekanan ekstrinsik
e) Cedera traumatik
f) Pembesaran tonsil dan adenoid
g) Apnea tidur obstruktif
2) Penyakit bronkial:
a) Bronkitis kronis
b) Asma
c) Bronkiolitis akut
3) Penyakit parenkim:
a) Emfisems pulmonal
b) Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis lainnya.
D. Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, diantaranya mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Salah satu penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak adekuat adalah
obstruksi saluran pernapasan atas.
Depresi sistem saraf pusat juga akan mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Pusat
pernapasan, yang mengendalikan pernapasan, terletak di bagian bawah batang otak /pons dan
medulla oblongata (muttaqin)
E. Klasifikasi
F. ManifestasiKlinis
1. Sianosis
2. Dispneaberat
H. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik.
Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini
1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan
dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan
secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan
nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di
antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2,
bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses
pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40
L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi
klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di
UGD sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.
I. Komplikasi
1. Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi organ
2. Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian
3. Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru,
hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.
J. Prognosis
Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal
nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama didapatkan
mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas amat berat.
Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan,
namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS akan mengalami
kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.
Airway management
a. Bukajalannafas
b. Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Indentifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan
d. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu
e. Berikan bronchodilator bilaperlu
f. Monitor respirasidan status O2
NIC :
Air way management
a. Bukajalannafas
b. Posisikanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, iramadanusaharespirasi
b. Catatpengerakandada,amatikesimetrisan, penggunaanotottambahan,
retraksiototsupraclavikulardanintercostatis
c. Monitor suaranafas, sprtdengkur
d. Catatlokasitrakea
e. Monitor kelelahanototdiafragma ( gerakanparadoksis )
Tentukankebutuhan suction denganmengaukultasicreklesdanronchipadajlannafasutama
Auskultasisuaraparusetelahtindakanuntukmengetahuihasilnya
3. Ketidakefektifan pola napas berhubunganb dengan PPOM, distensidinding dada, kelelahan,
kerjapernafasan.
NOC :
a. Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah
b. Tidak menggunakan pernafasan mulut
NIC :
Airway management
a. Bukajalannafas
b. Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
Terapioksigen
a. Bersihkanmulut, hidungdan secret trakea
b. Pertahankanjalannafas yang paten
c. Aturperalatanoksigenasi
d. Monitor aliranoksigenasi
e. Monitor adanyakecemasanpasientrhadapoksigenasi
D. Implementasi
1. Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).
2. Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
3. Menjaga bersihan jalan nafas
4. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas
E. Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
2. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.
3. Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang & intervensi
dirubah).
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester, 2009, Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan,
EGC: Jakarta
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/asuhan-keperawatan-klien-gagal-napas.html
Muttaqin, Arif, 2012, Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan EGC:
Salemba Medika
GAGAL NAFAS
1. Pengertian
Menurut Bruner and Suddart (2002), gagal napas adalah sindroma dimana sistem respirasi
gagal untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen, dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan tersebut dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Indikasi gagal napas adalah PaO2 <
60mmHg atau PaCO2 > 45mmHg, dan atau keduanya.
Gagal napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi di
pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru. Menurut Joy M.
Black (2005), gagal napas adalah suatu keadaan yang mengindikasikan adanya ketidakmampuan
sistem respirasi untuk memenuhi suplai oksigen untuk proses metabolisme atau tidak mampu
untuk mengeluarkan karbondioksida. Sedangkan menurut Susan Martin (1997), gagal napas
adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal,
eliminasi karbondioksida, dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi, difusi, atau
perfusi.
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas difusi
CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi dapat
dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah
proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau general) dan
biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.
2. Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari
beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :
a. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun ekstrapulmonal.
Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi pulmonal,
jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut
maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik,
misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis
terutama yang disertai dengan sepsis.
b. Gangguan neuromuskular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal, fraktur
servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan metabolik seperti alkalosis
metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan.
c. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark otak,
hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
d. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute volume
(mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain bare syndrome,
distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas.
e. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia, seperti
pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak,
pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
f. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
3. Klasifikasi
1) Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar PCO2 arteri (PaCO2)
yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam
ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya
diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara inspirasi diberi
tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada level dari bikarbonat dan juga lamanya
kondisi hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai PaCO2 normal atau
rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang
masalah utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai
daripada gagal napas hiperkapneu.
2) Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai dengan perubahan hasil
analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut
timbul pada pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum
awitan penyakit timbul.
b. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
3) Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
a. Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat
menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung
untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke
interstisial dan alveoli paru.
Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi
miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV) dan left ventricel end
diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan mekanisme backward-forward.
Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard :
Infark miokard
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio aorta
Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi, ASD, dan VSD.
Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid insufisiensi.
b. Nonkardiak
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di pusat pernapasan,
serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis,
pneumothorak, dan ARDS.
7. Penatalaksanaan
a. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-obatan pernapasan
dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas. Pertimbangan untuk insersi jalan nafas
artificial seperti ETT berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artificial dibandingkan jalan
napas alami. Keuntungan jalan napas artificial adalah dapat melintasi jalan napas bagian atas,
menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan
PEEP . memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk bronkhoskopi.
b. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari mekanisme hipoksemia
dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous Positive Airway Pressure ) sering menjadi
pilihan oksigenasi pada gagal napas akut. CPAP bekerja dengan memberikan tekanan positif
pada saluran pernapasan sehingga terjadi peningkatan tekanan transpulmoner dan inflasi
alveoli optimal. Tekanan yang diberikan ditingkatkan secara bertahap mulai dari 5 cm H 2O
sampai toleransi pasien dan penurunan skor sesak serta frekuensi napas tercapai.
c. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa jenis bronkhodilator
mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan inflamasi. Bronkhodilator merupakan
terapi utama untuk penyakit paru obstruksi, tetapi peningkatan resistensi jalan nafas juga
banyak ditemukan pada penyakit paru lainnya.
d. Agonis beta-adrenergik
Obat-obatan ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara
parenteral atau oral.
e. Antikolinergik
Respon bronkhodilator terhadap antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik.
f. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui secara
pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi.
g. Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana menyeluruh gagal
nafas.
h. Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung tekanan darah sistemik,
tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik yang lebih invasif.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian Data Dasar
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala:
Kekurangan energi/kelelahan, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala:
Riwayat adanya bedah jantung jantung-paru, fenomena embolik (darah,udara,lemak)
Tanda:
Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia)
;hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau terdapat faktor pencetus seperti pada eklampsi.
Frekuensi jantung: takikardi biasanya ada. Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S3
mungkin terjadi. Distritmia dapat terjadi , tetapi EKG sering normal. Kulit dan membran
mukosa : Pucat, dingin. Sianosis biasanya trjasi (tahap lanjut).
c. Integritas Ego
Gejala:
Ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda:
Gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental.
d. Makanan /Cairan
Gejala:
Kehilangan selera makan, mual .
Tanda:
Edema/ perubahan berat badan. Hilang / berkurangnya bunyi usus.
e. Neurosensori
Gejala/Tanda:
Adanya trauma kepala, mental lamban,disfungsi motorik
f. Pernapasan
Gejala:
Adanya aspirasi/tenggelam, inhalasi asap/gas, infeksi difus paru, timbulnya tiba-tiba atau
bertahap, kesulitan napas, lapar udara
Tanda:
Pernafasan : Cepat, mendengkur, dangkal
Peningkatan kerja napas : Penggunaan otot aksesori pernafasan, contoh retraksi interkostal
atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
Bunyi napas : Pada awal normal, krekels, ronkhi, dan dapat terjadi bunyi napas bronkial.
Perkusi dada : Bunyi pekak di atas area konsolidasi
Ekspansi dada menurun atau tidak sama, peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding
dada dengan palpitasi), sputum sedikit, berbusa, pucat atau sianosis, penurunan mental ,
bingung
g. Keamanan
Gejala:
Riwayat trauma ortopedik/fraktur,sepsis,tranfusi darah,episode anafilaktik
h. Seksualitas
Gejala/Tanda:
Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia
i. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala:
Makan/kelebihan dosis obat
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak Setelah dilakukan Mandiri
efektif berhubungan tindakan Lakukan Mengeluarkan sekret yang
dengan akumulasi keperawatan suctioning sesuai terakumulasi di jalan nafas, seraya
sekret/ retensi sputum di selama 30 menit indikasi dengan mencegah terjadinya trauma jalan
jalan napas dan diharapkan jalan prinsip 3A nafas, mencegah hipoksia dan
hilangnya reflek batuk napas menjadi (atraumatic, mengurangi risiko infeksi paru
sekunder terhadap paten, dengan asianotic, Meningkatkan drainage sekret dan
pemasangan ventilator. kriteria hasil : aseptic). ventilasi pada semua segmen paru,
Pasien menurunkan risiko atelektasis
menyatakan sesak Ubah posisi Ekspansi dada terbatas atau tak
berkurang pasien secara simetris sehubungan dengan akumulasi
Retensi sekret periodik cairan, edema, dan sekret dalam seksi
tidak ada Observasi lobus. Konsolidasi paru dan pengisian
Suara napas penurunan cairan dapat meningkatkan fremitus.
vesikuler ekspansi dinding Bunyi napas menunjukkan aliran udara
Pada foto thoraks dada dan adanya melalui trakeobronkial dan dipengaruhi
tak tampak peningkatan oleh adanya cairan, mukus, atau
gambaran infiltrat fremitus. obstruksi aliran udara lain. Mengi
dapat merupakan bukti konstruksi
Catat bronkus atau penyempitan jalan napas
karakteristik sehubungan dengan edema. Ronkhi
bunyi napas dapat jelas tanpa batuk dan
menunjukkan pengumpulan mukus
pada jalan napas.
Karakteristik batuk dapat berubah
tergantung pada penyebab/etiologi
gagal pernafasan. Sputum bila ada
mungkin banyak, kental, berdarah,
dan /atau purulen
Catat Mempertahankan kepatenan jalan
karakteristik dan napas saat pasien mengalami gangguan
produksi sputum. tingkat kesadaran, sedasi, dan trauma
maksilofasial
Mengevaluasi keefektifan fungsi
Pertahankan respirasi
posisi
tubuh/kepala
dengan tepat.
n. Kolaborasi
pemeriksaan
EKG, dan enzim
jantung
Penkes
o. Anjurkan untuk
tidak mengejan
saat BAB
maupun BAK
p. Jelaskan
pentingnya
mengubah gaya
hidup
(menghindari
merokok, diit
rendah kolesterol,
olahraga)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan ialah tindakan pemberian asuhan keperawatan yang
dilaksanakan untuk membantu mencapai tujuan pada rencana keperawatan yang telah
disusun. Prinsip dalam memberikan tindakan keperawatan menggunakan komunikasi
terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang diberikan kepada klien. Selain itu, juga
berprinsip melakukan tindakan keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan dan menuliskan setiap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan dapat berupa tindakan keperawatan secara
independent, dependent, dan interdependent. Tindakan independen yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Tindakan dependen ialah tindakan yang berhubungan dengan tindakan medis atau dengan
perintah dokter atau tenaga kesehat lain. Tindakan interdependen ialah tindakan keperawatan
yang memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi, radiologi,
fisioterapi dan lain-lain.
Dalam melakukan tindakan pada pasien dengan gagal napas perlu diperhatikan ialah
penanganan terhadap tidak efektifnya bersihan jalan napas, gangguan pertukaran gas, pola
napas tidak efektif, kondisi aktual atau resiko penurunan curah jantung, adanya
ansietas/ketakutan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan yang dapat digunakan
sebagai alat ukur kerberhasilan suatu asuhan keperawatan yang dibuat. Evaluasi berguna
untuk menilai setiap langkah dalam perencanaan, mengukur kemajuan klien dalam mencapai
tujuan akhir dan untuk mengevaluasi reaksi dalam menentukan keefektifan rencana atau
perubahan dalam membantu asuhan keperawatan. Evaluasi keperawatan ada 2 macam, yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan sesaat setelah
memberikan implementasi keperawatan untuk menilai keberhasilan terapi dalam jangka
pendek. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi dalam
jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2011). The 2009-2011 Nursing Diagnoses Organized According to a Nursing Focus by
Doenges/Moorhouse Diagnostic Divisions. http://keperawatan .net. Diakses tanggal 20
Januari 2012.
Brunner and Suddart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
Sadguna, Dwija. (2011). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas.
http://www.scribd.com. Diakses tanggal 18 Januari 2012.
Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem ). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Ulfah, Anna, dkk. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Bidang Pendidikan dan
Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita.