Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“PERITONITIS”

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Di Bagian Ilmu
Bedah Umum Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Dinda Mutiara Sukma Prastika
6120018031

Pembimbing:
dr. Dayu Satriya Wibawa, Sp. B

DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020

1
MAKALAH
REFERAT

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Di Bagian Ilmu
Bedah Umum Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Dinda Mutiara Sukma Prastika
6120018031

Pembimbing:
dr. Dayu Satriya Wibawa, Sp. B

DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama/NIM : Dinda Mutiara Sukma Prastika / 6120018031

Judul presentasi : Peritonitis

Universitas : Nahdlatul Ulama Surabaya

Telah meneyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Surabaya, 03 Maret 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Dayu Satriya Wibawa, Sp. B

3
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas referat dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Bedah RSI Jemursari Surabaya Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Dayu Satriya Wibawa, Sp.B selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Bedah serta berbagai pihak yang
telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.

Surabaya, 03 Maret 2020

Penulis

4
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................6
Latar Belakang.........................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi......................................................................................................8
Anatomi dan Fisiologi...............................................................................9
Etiologi....................................................................................................14
Patofisiologi.............................................................................................15
Manifestasi klinis ....................................................................................21
Diagnosis ................................................................................................21
Diagnosis Banding...................................................................................26
Penatalaksanaan.......................................................................................26
Komplikasi...............................................................................................30
Prognosis..................................................................................................31
Kerangka berfikir (Algoritma) ................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

5
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdarahan intrakranial (yaitu, akumulasi patologis darah di dalam kranial

kranial) dapat terjadi di dalam parenkim otak atau ruang meningeal di sekitarnya.

Perdarahan intrakranial terjadi ketika pembuluh darah di dalam tengkorak pecah

atau bocor. Ini dapat terjadi akibat trauma fisik (seperti yang terjadi pada cedera

kepala) atau penyebab nontraumatik (seperti yang terjadi pada stroke hemoragik)

seperti aneurisma yang pecah. Perdarahan dalam meninges termasuk hematoma

epidural, dan hematoma subdural, Sedangkan perluasan perdarahan parenkim ke

ventrikel termasuk Intracerebral hemorrhage (ICH).

Negara-negara di Asia memiliki insiden yang tinggi terhadap kejadian

perdarahan intracerebral dari daerah atau negara lain yang ada di dunia. Insiden

perdarahan intraserebral yang lebih tinggi telah dicatat pada populasi Cina,

Jepang, dan Asia lainnya, mungkin karena faktor lingkungan (misalnya, makanan

yang kaya akan minyak ikan) dan / atau faktor genetik.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya

tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dalam penulisan referat ini akan dibahas tentang definisi, klasifikasi

etiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi

serta prognosis dari perdarahan intrakranial.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Perdarahan intrakranial (yaitu, akumulasi patologis darah di dalam kranial

kranial) dapat terjadi di dalam parenkim otak atau ruang meningeal di sekitarnya.

Perdarahan intrakranial terjadi ketika pembuluh darah di dalam tengkorak pecah

atau bocor. Perdarahan dalam meninges termasuk hematoma epidural, dan

hematoma subdural, Sedangkan perluasan perdarahan parenkim ke ventrikel

termasuk Intracerebral hemorrhage (ICH).

2.2. Anatomi dan Fisiologi

Cerebrum dan medulla spinalis diliputi oleh tiga membran, atau meningen:

duramater, arachnoideamater, dan piamater.2

Duramater encephali secara konvesional duramater terdiri dari dua lapisan;

lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini berhubungan erat,

kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu dimana mereka terpisah dan membentuk

sinus venosus. Lapisan meningeal adalah duramater yang sebenarnya. Merupakan

membrane fibrosa padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri

setelah melalui foramen magnum sebagai duramater medulla spinalis. Duramater

meliputi Falx cerebri, Tentorium cerebelli, dan Falx cerebelli. Banyak arteri yang

mendarahi duramater, yaitu arteri carotis interna, arteri maxillaries, arteri

pharyngea ascendens, arteri occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari sudut klinis

7
yang terpenting adalah arteri meningea media, yang sering rusak pada cedera

kepala.

Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal duramater. Vena

meningea media mengikuti cabang-cabang arteria meningea media dan bermuara

ke dalam plexus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena

terletak lateral terhadap arterinya.2

Arachnoideamater adalah suatu membrane lembut yang tidak permeable

yang meliputi otak dan terletak diantara piamater disebelah dalam dan duramater

disebelah luar. Membrane ini dipisahkan dari durmater oleh ruang potensial,

disebut spatium subdurale, dan dari piamater oleh spatium subarachnoideum yang

terisi oleh cairan cerebrospinalis.2

8
Gambar 1: penampang koronal bagian atas kepala memperlihatkan lapisan

kulit kepala, lapisan meningea.2

9
Piamater adalah membran vascular yang dengan erat membungkus otak,

membungkus gyrus-gyrus dan masuk ke dalam sulcus-sulcus yang terdalam.2

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior dan membentuk

circulus willisi. Arteri carotis interna muncul dari sinus cavernosus pada sisi

medial processus clinoideus anterior. Kemudian arteri ini membelok ke belakang

menuju ke sulcus cerebri lateralis. Disini, arteri ini bercabang menjadi arteri

cerebri anterior dan arteri cerebri media.2

Arteri vertebralis, cabang dari arteri pertama A.Subclavia. Pada pinggir

bawah pons, arteri ini bergabung dengan arteri dari sisi lainnya membentuk arteri

basilaris.2

2.3. Epidemiologi

Negara-negara di Asia memiliki insiden yang tinggi terhadap kejadian

perdarahan intracerebral dari daerah atau negara lain yang ada di dunia. Insiden

perdarahan intraserebral yang lebih tinggi telah dicatat pada populasi Cina,

Jepang, dan Asia lainnya. Epidural hematoma lebih mungkin terjadi dalam

kelompok usia yang lebih muda karena dura mampu untuk lepas lebih mudah dari

tulang yang mendasarinya. Pada pasien di bawah 20 tahun, kasus epidural

hematoma sekitar dua pertiga dari semua hematoma intrakranial traumatis.

2.4. Klasifikasi

Intrakranial hematoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 3,4


1. Perdarahan Epidural
a. Definisi
Perdarahan epidural (EDH), adalah akumulasi darah antara tulang kepala
dan duramater sehingga mengakibatkan robekan pada pembuluh darah
yang berjalan di sekitar duramater dan tulang. Robekan pembuluh darah

10
tersebut dapat disebabkan oleh separasi tulang dura atau robeknya
pembuluh darah akibat trauma dan terkait patah tulang tengkorak. Sumber
perdarahan biasanya arteri meningeal robek (paling sering, arteri
meningeal media). EDH biasanya bikonveks dalam bentuk dan dapat
menyebabkan efek massa dengan herniasi.7
b. Etiologi
Trauma adalah penyebab khas perdarahan epidural (EDH), paling sering
menyebabkan ruptur pembuluh darah dura terutama arteri meningia
media. Tetapi EDH spontan juga dapat terjadi akibat infeksi, sinusitis,
anomaly vaskuler, dan gagal ginjal kronis.
c. Patofisiologi
Perdarahan epidural terutama disebabkan oleh gangguan struktural dari
dural dan pembuluh darah pada cranial umumnya terkait dengan patah
tulang calvarial. Laserasi arteri meningeal media dan menyertai sinus
dural adalah etiologi yang paling umum. Sejumlah kecil epidural
hematoma telah dilaporkan dengan tidak adanya trauma. Etiologinya
termasuk infeksi pada tulang tengkorak, malformasi pembuluh darah dari
duramater, dan metastasis ke tengkorak. perdarahan epidural spontan juga
dapat berkembang pada pasien dengan koagulopati berhubungan dengan
masalah medis lain (penyakit hati misalnya, stadium akhir, alkoholisme
kronis, penyakit lainnya yang berhubungan dengan disfungsi trombosit).8
d. Pemeriksaan klinis
Pada pasien dengan kesadaran penuh maka akan ditemukan gejala
dari peningkatan tekanan intracranial seperti nyeri kepala akibat
penekanan pembuluh darah dan penekanan duramater, mual muntah dan
kejang. Gejala klinis lain yang khas adalah lucid interval (Riwayat
penurunan kesadaran, kembalinya kesadaran sementara, dan penurunan
kesadaran kembali), hal ini menandakan bahwa EDH tidak menyebabkan
kerusakan ditingkat akson.
EDH dapat menyebabkan terjadinya herniasi uncal sehingga dapat
timbul gejala berupa hemparese kontralateral akibat penekanan
pedunculus cerebri (traktus kortikospinalis) oleh uncus, pupil anisokor

11
ipsilateral (midriasis) yang terjadi karena uncus menekan oculomotor
(N.III), anton sindrom yang gejalanya berupa cortical blindness juga
dapat terjadi jika arteri serebri posterior yang menyuplai lobus temporal
inferior tertekan, penurunan kesadaran akan terjadi apabila Ascending
Reticular Activating System (ARAS) terganggu.
Herniasi sentral bisa terjadi jika EDH semakin membesar. Hal ini
ditandai dengan munculnya gejala seperti trias cushing (bradikardi,
hipertensi, dan respirasi abnormal), diplopia, pupil midriasis maksimal,
dan mati batang otak.

e. Gambaran radiologi

 CT-scan tanpa kontras


Pada hamper setiap kasus perdarahan epidural terlihat pada CT-scan
kepala. Memberikan gambaran hematoma berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung sering terletak di area temporal atau
temporoparietal, gambaran lain yang dapat ditemukan yaitu
pergeseran garis tengah.

Gambar-2 : gambaran bikonveks.7


Volume perdarahan jumlahnya dapat dihitung dengan rumus broderik
(volume perdarahan= panjang x lebar x tinggi slice x 0,25)

 MRI

12
MRI dapat jelas menunjukkan pergeseran duramater yang muncul
sebagai garis hypointense pada T1 dan T2 urutan yang membantu
dalam membedakannya dari hematoma subdural. Akut EDH muncul
isointense pada T1 dan menunjukkan intensitas variabel dari hipo ke
hyperintense pada urutan T2 . EDH subakut awal muncul hypointense
pada T2 saat akhir subakut dan EDH kronis hyperintense pada kedua
T1 dan T2.

Gambar-3: MRI epidural hematoma - meninggalkan proton daerah


kepadatan - hypersignal di daerah temporal kanan T2W - dura
dipandang sebagai garis hyposignal.22

 Angiografi
Hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi penyebab nontraumatic
dari EDH (yaitu AVM). Jarang angiography dapat menunjukkan
laserasi arteri meningeal media dan kontras ekstravasasi dari arteri
meningea dipasangkan ke vena meningea dikenal sebagai "trem track
sign".7
f. Pengobatan
Pasien EDH dengan gejala peningkatan tekanan intracranial harus
diposisikan head up 30o dengan leher yang lurus kemudian diberikan
injeksi manitol 20% 1gram/kgBB selama 10-20 menit, kemudian
pertimbangkan tindakan pembedahan kraniotomi evakuasi EDH dan
kranioplasti sesuai dengan indikasi dan kontraindikasi sebagai berikut:
Indikasi:
1. EDH volume > 30cc atau ketebalan > 15mm, atau pergeseran midline
> 5mm harus dievakuasi tanpa melihat GCS

13
2. EDH akut (GCS<9) dan pupil anisokor
Kontraindikasi:
1. EDH tipis ketebalan < 1cm
2. Subakut atau kronis EDH tanpa defisit neurologis
3. Tidak ada tanda herniasi

g. Prognosis
Bahkan dengan hematoma yang relatif besar, secara umum cukup baik,
asalkan gumpalan tersebut dievakuasi segera. Sebuah hematoma kecil
tanpa efek massa atau tanda swirl dapat diobati secara konservatif,
kadang-kadang menyebabkan kalsifikasi dari duramater.8

2. Perdarahan Subdural

a. Definisi
Sebuah hematoma subdural (SDH) adalah akumulasi darah pada ruang
antara arachnoid dan dura yang terbentuk ketika terjadi robekan vena
atau arteri yang berada diantara dura dan arachnoid.
b. Klasifikasi
Sesuai dengan kaye essential neurosurgery membagi SDH menjadi tiga
bagian berdasarkan waktu kejadian:
1. SDH akut: dibawah tiga hari
2. SDH subakut: 4-21 hari
3. SDH kronis : diatas 21 hari
c. Etiologi
Penyebab hematoma subdural akut meliputi berikut ini:

 Laserasi parenkim
 Robekan bridging vein atau vena superfisial akibat benturan kepala
hebat

 Penggunaan obat-obatan anti koagulan

14
 Perdarahan intrakranial nontraumatic karena aneurisma otak,
malformasi arteri, atau tumor (meningioma atau metastasis dural.

 Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)


Penyebab hematoma subdural kronis meliputi berikut ini:
 Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya, pada orang yang
lebih tua dengan atrofi serebral).
 Hematoma subdural akut, dengan atau tanpa intervensi bedah
 Spontan atau idiopatik
Faktor risiko hematoma subdural spontan meliputi berikut ini:
 Alkoholisme kronis
 hipertensi
 Koagulopati
 Neoplasma
 Aneurisma
 Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
Pada pasien yang lebih muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan
koagulasi, dan terapi antikoagulan oral yang telah ditemukan untuk
menjadi lebih umum. Kista arachnoid lebih sering dikaitkan dengan
hematoma subdural kronis pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun.
Pada pasien yang lebih tua, penyakit jantung dan hipertensi arteri yang
ditemukan lebih umum. Dalam sebuah penelitian, 16% pasien dengan
hematoma subdural kronis berada di terapi aspirin. Dehidrasi utama
adalah kondisi kurang umum terkait dan ditemukan secara bersamaan
hanya 2% dari pasien.11
d. Gambaran klinis
Gejala yang muncul akibat massa perdarahan antara lain nyeri kepala
akibat tertekannya pembuluh darah dan duramater, penurunan kesadaran,
kejang, pupil bulat anisokor satu sisi dan reflek cahaya menurun,
terkadang disertai dengan laserasi 11,13
e. Gambaran Radiologis
 CT-Scan
 Akut

15
Penampilan klasik dari hematoma subdural akut adalah homogen
hyperdense ekstra-aksial berbentuk bulan sabit yang menyebar
difus.

Gambar-4: Perdarahan subdural akut14


 Subakut
Kepadatan akan turun ke~30HU dan menjadi isodense ke korteks
yang berdekatan, membuat identifikasi berpotensi rumit. Kunci
untuk identifikasi memvisualisasikan sebuah jumlah tanda-tanda
tidak langsung , termasuk :
CSF diisi sulci tidak mencapai tengkorak melainkan memudar
keluar ke subdural yang efek massa termasuk penipisan sulcal
(distorsi) dan pergeseran garis tengah, penebalan jelas korteks.

gambar-5: Darah abu-abu merupakan subakut perdarahan ,


sedangkan darah putih mewakili akut.11
 Kronis

16
Akhirnya, subdural menjadi hipodens dan dapat mencapai ~ 0hu
dan akan isodense untuk csf, dan hygromas subdural.

Gambar-6: Non - kontras aksial CT scan menunjukkan berbentuk


bulan sabit, kronis CSF - isodense meninggalkan hematoma
subdural (panah). Ada penipisan ringan ventrikel lateral kiri.23
 MRI
Penampilan hematoma bervariasi dengan keadaan biokimia
hemoglobin yang bervariasi dengan usia hematoma. Urutan standar
yang paling sensitif adalah FLAIR .
 hiperakut
T1 : isointense ke materi abu-abu
T2 : iso ke hyperintense
FLAIR : hyperintense ke CSF
 akut
T1 : iso ke hypointense menjadi abu-abu peduli
T2 : hypointense menjadi abu-abu peduli
FLAIR : hyperintense ke CSF

17
Gambar-7: perdarahan subdural akut pada MRI.14
 subakut
Mungkin muncul bikonveks berbentuk pada bidang koronal bukan
berbentuk sabit yang merupakan penampilan khas di pesawat
aksial
T1 : biasanya hyperintense karena adanya methaemoglobin
T2 : Penampilan variabel biasanya hyperintense
FLAIR : hyperintense

gambar-8: Aksial T1 magnetic resonance imaging menunjukkan


bilateral hematoma subdural subakut dengan intensitas sinyal
meningkat. Area intensitas menengah merupakan perdarahan lebih
akut ke dalam koleksi subakut.11
 kronis

18
T1 : jika hematoma stabil tampaknya isointense untuk CSF, dapat
muncul hyperintense untuk CSF jika ada rebleed atau infeksi .
T2 : jika hematoma stabil tampaknya isointense untuk CSF, jika
ada rebleed hematoma appeaers hypointense
FLAIR : hyperintense ke CSF

Gambar-9: Aksial FLAIR MR menunjukkan hematoma subdural


kronis dengan sinyal hyperintense ( panah).23
f. Pengobatan
Seperti halnya pasien trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (jalan
napas, pernapasan, sirkulasi). Semua pasien dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) skor kurang dari 8 harus diintubasi untuk perlindungan jalan
napas. Adapun indikasi untuk dilakukan pembedahan pada SDH adalah
1. SDH dengan ketebalan > 10 mm atau midline shift> 5 mm pad act
scan tanpa melihat GCS
2. Penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian
dengan mrs
3. TIK >20 mmHg
4. Defisit neurologis
Pada kasus SDH akut pemilihan tindakan bedah yang paling tepat adalah
kraniotomi evakuasi klot, dekompresi tulang jika luas diameter SDH akut
15cm disertai dengan duraplasti. Sedangkan untuk SDH subakut dapat
dilakukan burrhole drainage double set up craniotomy jika dengan
tindakan ini darah tidak mencair maka segera dilakukan kraniotomi.

19
Terdapat dua pilihan pembedahan untuk SDH kronis yaitu burrhole
drainage dan twill hole drainage.

g. Prognosis
Perlu dicatat bahwa angka kematian di hematoma subdural akut yang

membutuhkan pembedahan sebenarnya sangat tinggi (50-90%), terutama

pada pasien yang memerlukan antikoagulan, hanya 20% pulih

sepenuhnya.

2. Perdarahan Subarachnoid
a. Definisi
Perdarahan subarachnoid ( SAH ) adalah salah satu jenis perdarahan
intrakranial ekstra-aksial dan menunjukkan adanya darah dalam ruang
subarachnoid.15,16
b. Etiologi
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan antara mater arachnoid dan
pia. Secara umum, trauma kepala adalah penyebab paling umum, tetapi
traumatis perdarahan subarachnoid biasanya dianggap sebagai gangguan
yang terpisah. Spontan (primer) perdarahan subarachnoid biasanya hasil
dari pecahnya aneurisma. Sebuah bawaan intrakranial saccular atau berry
aneurisma adalah penyebab di sekitar 85 % pasien. Perdarahan dapat
berhenti secara spontan. Aneurisma perdarahan dapat terjadi pada semua
usia, tetapi paling sering terjadi dari usia 40-65. Penyebab kurang umum
adalah aneurisma mikotik, malformasi arteri, dan gangguan perdarahan.17
c. Patofisiologi
Darah di ruang subarachnoid menyebabkan meningitis kimia yang umum
meningkatkan tekanan intrakranial untuk hari atau beberapa minggu.
Vasospasme sekunder dapat menyebabkan iskemia otak fokal; sekitar
25% dari pasien mengembangkan tanda-tanda serangan transient
ischemic (TIA) atau stroke iskemik. Edema otak maksimal dan risiko

20
vasospasme dan infark berikutnya (disebut otak marah) adalah tertinggi di
antara 72 jam dan 10 hari. Hidrosefalus akut sekunder juga umum. Suatu
perdarahan ulang kadang-kadang terjadi, paling sering dalam waktu
sekitar 7 hari.17
d. Gejala Klinis
Gejala perdarahan subarachnoid dapat berupa:
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
2. Hilangnya kesadaran
3. Fotofobia
4. Meningismus
5. Mual dan muntah.
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya
tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter
yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa
jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan
yang hebat.5
Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan
kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual,
nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami
serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang
membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai
berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri
wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi.3
e. Gambaran Radiologis
 CT-Scan
Sensitivitas CT adanya darah subarachnoid sangat dipengaruhi oleh
jumlah darah dan sejak perdarahan. Diagnosis dicurigai ketika bahan
hyperattenuating terlihat mengisi ruang subarachnoid. Paling umum
ini jelas di sekitar lingkaran Willis, karena sebagian besar aneurisma
berry terjadi di wilayah ini (~65%), atau dalam fissure Sylvian
(~30%) ref diperlukan. Sejumlah kecil darah kadang-kadang dapat

21
dilihat di fossa interpeduncular, muncul sebagai segitiga hyperdense
kecil, atau dalam tanduk oksipital dari ventrikel lateral. Pendarahan
subarachnoid dikelompokkan menjadi empat kategori menurut jumlah
darah dengan skala Fischer.15

Gambar-10: Ada tinggi-redaman darah di celah Sylvian (panah biru)


dan fisura interhemispheric (panah merah).24
 MRI
MRI sensitif terhadap darah subarachnoid dan mampu
memvisualisasikan dengan baik dalam 12 jam pertama biasanya
sebagai hyperintensity dalam ruang subarachnoid pada FLAIR.

22
Gambar- 11: FLAIR-MRI menunjukkan hyperintense frontal bilateral
dan parietal sulci (panah), konsisten dengan perdarahan subarachnoid
akut. Kelainan MRI lebih mencolok dan lebih luas daripada yang
ditunjukkan oleh CT.25
 DSA: Angiografi
Digital pengurangan kateter angiography tetap Gold Standard untuk
diagnosis dan karakterisasi kelainan pembuluh darah dan di banyak
pusat, bahkan jika lesi penyebab diidentifikasi pada MRA atau CTA
dan diperkirakan membutuhkan manajemen bedah, studi kateter
dilakukan. Manfaat dari DSA adalah dua kali lipat : resolusi spasial
yang lebih tinggi : lebih mampu untuk menggambarkan pembuluh
darah kecil dan ciri morfologi vaskular (misalnya aneurisma leher dan
penggabungan pembuluh yang berdekatan). resolusi temporal: kontras
dapat dilihat untuk mencuci masuk dan keluar dari malformasi
vaskular, memberikan informasi penting dalam hal (misalnya
malformasi arteriovenosa (AVM) atau fistula arteriovenosa dural
(DAVF)) Selain itu, tergantung pada penyebabnya, terapi
endovaskular (misalnya aneurisma melingkar) mungkin tepat.15
f. Pengobatan
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi

23
dengan pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus
dijamin aman dan pemantauan invasive terhadap central venous pressure
dan atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah
arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah penigkatan tekanan
intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-
pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus istirahat total.1
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus
diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk
mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat
diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial seperti :  Osmotic
agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).  Loop diuretics
(furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial  Intravenous
steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial masih
kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain. Setelah
itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan
dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan
neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan
jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan
nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini menganjurkan penggunaan
obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MABP diatas 130 mmHg.
Setelah aneurisma dapat diamankan, sebetulnya hipertensi tidak masalah
lagi, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan berapa nilai amannya.
Analgesic seringkali diperlukan, obat- obat narkotika dapat diberikan
berdasarkan indikasi. Dua factor penting yang dihubungkan dengan
luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu keduanya
harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap thrombosis vena dalam (deep
vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan kompresif
sekunsial, heparin subkutan dapat diberikan setlah dilakukan
penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat
mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.
1,6

24
Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa
penambahan obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat
mencegah kejadian vasospasme serebral dengan menurunkan resikoresiko
yang memperparah kejadian vasospasme serebral.7
g. Prognosis
Sekitar 35% dari pasien meninggal setelah aneurisma pertama perdarahan
subarachnoid; lain 15% meninggal dalam beberapa minggu karena
pecahnya berikutnya. Setelah 6 bulan, pecah 2 terjadi pada tingkat sekitar
3% tiap tahun. Secara umum, prognosis adalah buruk dengan aneurisma,
baik dengan malformasi arteri, dan terbaik saat angiografi pembuluh
darah tidak mendeteksi lesi, mungkin karena sumber perdarahan kecil dan
telah tertutupi.17

3. Perdarahan Intraserebral
a.Definisi
Perdarahan intraserebral adalah suatu perdarahan pada parenkim otak
dengan ukuran lebih dari 2cm. jika lebih dari 2cm disebut kontusio 3
b.Etiologi
Penyebab paling umum dari perdarahan intraserebral adalah tekanan darah
tinggi (hipertensi). Selain itu juga dapat disebabkan oleh trauma, infeksi,
tumor, penggunaan terapi antikoagulan, kekurangan pembekuan darah,
dan kelainan pada pembuluh darah (misalnya malformasi arteri).10
c. Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Arteriol – arteriol dari cabang lentikulostriata,
cabang arteriotalamus dan cabang paramedian arteri vertebrobasilar
mengalami perubahan degenerative yang sama. Kenaikan tekanan darah
yang terjadi secara tiba – tiba atau kenaikan tekanan darah yang terlalu
tinggi dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah, Jika pembuluh darah
tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan

25
jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan
menimbulkan gejala klinis.12
Mekanisme terjadinya proses akselerasi deselerasi pada kepala saat terjadi
trauma, menyebabkan terjadi pergeseran cerebra pada tulang yang
prominen (temporal, frontal, dan occipital) sehingga terjadi ruptur
pembuluh darah akibat otak membentur tonjolan tulang, sehingga
menyebabkan cedera disisi yang sama ataupun berlawanan dari sisi yang
terkena benturan. Pasien dengan terapi antikogulan memiliki resiko lebih
tinggi mengalami perdarahan intraserebral.

d.Gejala Klinis
Gejala biasanya datang tiba-tiba dan dapat bervariasi tergantung pada lokasi
perdarahan . Gejala umum termasuk :
- Sakit kepala, mual , dan muntah.
- Letargi atau kebingungan.
- Kelemahan mendadak atau mati rasa pada wajah , lengan atau kaki , biasanya
pada satu sisi.
- Penurunan kesadaran.
- Kerugian sementara visi.
- Kejang
e. Gambaran Radiologis
 CT-Scan
CT-Scan adalah X - ray noninvasif untuk meninjau struktur anatomi
di dalam otak untuk melihat apakah ada darah di otak. Sebuah
teknologi baru yang disebut CT angiografi melibatkan injeksi kontras
ke dalam aliran darah untuk melihat arteri otak.6

26
Gambar-14: CT-Scan perdarahan intracerebral.3
 MRI
MRI adalah tes non-invasif, yang menggunakan lapangan dan
frekuensi gelombang radio magnetik untuk memberikan tampilan
rinci dari jaringan lunak otak Anda. Sebuah MRA (Magnetic
Resonance Angiogram) adalah studi non-invasif yang sama, kecuali
itu juga merupakan angiogram, yang berarti meneliti pembuluh darah
serta struktur otak.6

Gambar-15: hipertensi intracerebral hematoma MRI.3


f. Penatalaksanaan
Tatalaksana dan manajemen perdarahan intraserebral menurut buku japan
society of neurotraumatology adalah sebagai berikut:6
Indikasi pembedahan:
a. Didapatkan perdarahan intracerebral dengan diameter 3cm atau
lebih
b. Kontusio diffuse dengan perifokal edema luas

27
c. Kompresi pada cisterna basiler dan perimecenfalic
d. Monitor tekanan intracranial yang tidak terkontrol (>30mmHg)
Catatan: tidak dilakukan pembedahan apabila mati batang otak
Waktu pembedahan:
- Early surgery, bila didapatkan kriteria a-e
- Early surgery pada GCS 9 atau lebih dengan penurunan kesadaran
progresif
- Pada perdarahan di temporal atau di temporoparietal, pembedahan
dilakukan sebelum terjadi deficit neurologis
Metode pembedahan:
- Teknik kraniotomi tulang lebih dipilih
- Bila terdapat perifokal edema maka edema tersebut akan lebih baik
direseksi (dekompresi internal).
- Indikasi untuk kraniotomi dekompresi tulang luas dan disertai
evakuasi perdarahan serta reseksi perifokal edema / dekompresi
internal masih perlu dievaluasi.
- Drainase berlanjut dari cairan serebrospinal berguna bagi
perdarahan serebral dengan perifokal edema
g.Prognosis
Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus perdarahan
intraserebral adalah ukuran perdarahan, lokasi dari perdarahan dan status
kesadaran dari penderita. Ekspansi perdarahan juga mengindikasikan
prognosis yang buruk dengan hematoma ukuran yang luas. Ukuran dan
lokasi lesi pada gambaran imaging sangat bermanfaat sebagai informasi
prognosis. Pada perdarahan putaminal, lesi lebih dari 140 mm 2 Pada saat
fase akut perdarahan intraserebral, efek massa yang berasal dari
hematoma menunjukkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya pada
satu slice menunjukkan outcome yang buruk. Perdarahan thalamus, lesi
lebih dari 3.3 cm dengan diameter yang maksimal juga menunjukkan
prognosis yang buruk, begitu juga dengan lesi serebellar lebih dari 3
cm.11

28
BAB III

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi

rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya

yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi

akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari

luka tembus abdomen.1,2

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan

tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri

tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di

bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan

sementara usus.4

29
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya

tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan dari peritonitis yaitu : dekompresi saluran cerna dengan

penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang

hilang yang dilakukan secara intravena , pemberian antibiotic yang sesuai, dan

pembuangan dari focus infeksi dari organ abdomen. Prognosis untuk peritonitis

local adalah baik, sedangkan untuk peritonitis umum yaitu buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.


Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal
489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu
Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Edisi 6. Jakarta : EGC.

7. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College


of Medicine,third edition,1997, Toronto.

30
8. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
9. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-
abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr.
Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
10. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
11. Brunicardi, F. Charles, et al. 2010. Scwartz's Principles of Surgery. USA :
The Mc Graw-Hill company, Inc, 2010.

12. Cole, Warren H. and Zollinger, Robert M. 1970. Cole and Zollinger
textbook of surgery. New York : Appleton-Century-Crofts, 1970.

13. Daley, Brian James. 2013. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape.
[Online] 2013. http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview.

14. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis


& Treatment 12ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006.

15. http://dokterpost.com/algoritma-tatalaksana-peritonitis-pada-pasien-
dewasa/

31

Anda mungkin juga menyukai