Anda di halaman 1dari 169

PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Efektifitas Promosi Kesehatan Melalui Media Poster Terhadap Pengetahuan Dan Sikap
Ibu Tentang Tanda Bahaya Kehamilan Pada Sukulembadi Wilayah Kerja PKM Kota
Padan Kab.Rejang Lebong Tahun 2019

Sridiany1), Chandra Buana2),Rustam Aji3)

1)
Dinas kesehatan Rejang lebong
2)
Poltekkes Kemenkes Bengkulu, email; chandrabagus71@yahoo.com
3)
Poltekkes Kemenkes Bengkulu, email; roestamadjierohmat@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang; Salah satu media yang dapat digunakan dalam promosi kesehatan adalah
media poster, sehingga diharapkan dapat memfasilitasi pemahaman masyarakat terhadap
pesan yang telah disampaikan. Rumusan Masalah:Bagaimanakah efektifitas promosi
kesehatan dengan media poster dengan pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap tanda-tanda
dan bahaya kehamilan pada suku Lembak di wilayah Puskesmas Kota Padang. Tujuan
penelitian; untuk menganalisis efektivitas promosi kesehatan dengan media poster terhadap
pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tanda-tanda dan bahaya kehamilan di suku Lembak
di Puskesmas Kota Padang. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan pra-
eksperimen pada satu kelompok dengan pre-test - post test. Populasi penelitian adalah
sejumlah ibu hamil yang tercatat dalam buku register pada 2018 yaitu 230 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling dari 144 responden (72
eksperimen dan 72 kontrol). Uji statistik menggunakan uji t berpasangan. Hasil: Secara
statistik media poster efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap para ibu tentang
tanda-tanda bahaya kehamilan pada suku Lembak di Puskesmas Kota Padang. Rekomendasi;
Media poster dapat digunakan dalam promosi kesehatan tentang tanda-tanda bahaya
kehamilan di area Puskesmas Kota Padang.

Kata kunci; Poster, pengetahuan dan sikap

ABSTRACT
Background :. One of the media that can be used in health promotion is poster media, so that
it is expected to facilitate public understanding of the messages that have been delivered.
Problem Formulation: Which the effective of health promotion with poster media with the
knowledge and attitudes of pregnant women towards the signs and dangers of pregnancy in
the Lembak tribe in the area of the Kota Padang Community Health Centre .Purpose of the
studyis to analyze the effectiveness of health promotion with poster media trought the
knowledge and attitudes of pregnant women towards signs and dangers of pregnancy in the
Lembak tribe in the Kota Padang Community Health Centre. Research Methods:This
research was used the an pre-experimental study with one groups of pre-test - post test design.

1
The population was a number of pregnant women recorded in the register book in 2018 it
was230 people. Sampling was done by accidental sampling of 144 respondents (72 experimen
and 72 control). Statistical test uses paired t test. Results: Statistically the poster media was
effective in increasing the knowledge and attitudes of mothers about the danger signs of
pregnancy in the Lembak tribe in the Kota Padang Community Health Centre.
Recommendation ; The poster media can be used in health promotion about danger signs of
pregnancy in the area of Kota Padang Community Health Centre.

Key words; Poster, knowledge and attitudes

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat suku Lembak yang berada pada wilayah kerja PKM Kota Padang dalam
melakukan pemeriksaan kehamilan dan persalinanya masih melakukan pemeriksaan pada
dukun beranak yang disebut dengan budaya betatap.Di wilayah PKM Kota Padang masih
terdapat 20 orang dukun beranak yang tersebar dalam 10 desa di wilayah PKM Kota
Padang.Selama masa kehamilan ibu hamil melakukan pemeriksaan kepada dukun beranak
setiap bulan atau tiga pagi berturut-turut sesuai dengan kondisi kesehatan ibu hamil. Angka
persalinan oleh tenaga kesehatan di PKM Kota Padang pada tahun 2016 adalah 189 dari
jumlah sasaran sebesar 225, yang berarti masih terdapat sekitar 35 orang ibu melahirkan ke
dukun. Selanjutnya dari 10 persalinan hanya 3-4 orang yang murni ditangani oleh tenaga
kesehatan, sisanya lahir di dukun terlebih dahulu dan dibawa ke tenaga kesehatan bila tidak
dapat dilahirkan oleh dukun.Dari data yang ditolong oleh non nakes 9 orang perdarahan post
partum.
Hasil penelitian Chandra B (2018) menunjukkan bahwa ada hubungan antara
keyakinan dan pengetahuan responden tentang tanda bahaya kehamilan dengan rencana
pemilihan penolong persalinan pada suku Lembak.Selanjutnya pengetahuan tentang tanda
bahaya kehamilan bagi ibu sangatlah penting untuk mengarahkan rencana pertolongan
persalinan kepada tenaga kesehatan, sehingga tanda bahaya yang dialami dapat dideteksi guna
mencegah terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan.
Menurut Maulana (2009) faktor-faktor yangsangat mempengaruhi dalam penyuluhan
kesehatanadalah dalam aspek pemilihan metode, alatbantu/media, dan jumlah kelompok
sasaran, artinyauntuk mendapatkan hasil penyuluhan dengan maksimalketiga faktor tersebut
sangat mempengaruhi. Mediayang digunakan ditentukan oleh intensitas mediatersebut dalam
memberikan pengalaman belajar kepada siswa, poster sarat dengan tampilan visual
gambar,sehingga lebih melibatkan indera ketika menerima materi penyuluhan, maka tingkat

2
siswa dalam menangkap pesan atau materi penyuluhan akansemangkin efektif. (Depkes RI,
2008)
Media poster dapat lebih efektif sebagai mediapenyuluhan karena lebih membatu
menstimulasi inderapenglihatan siswa, aspek visual pada gambar-gambarposter lebih
memudahkan penerimaaan informasi ataumateri pendidikan (Notoadmojo, 2004).Hasil
penelitian Rawati S (2012) membuktikan bahwa penyuluhan kesehatan gigi pada anak-anak
lebih baik dilakukan dengan media poster.Penelitian yang dilakukan oleh Saptarini (2005)
menunjukkan bahwa pesan visual berupa gambarlebih mudah tertanam dalam pikiran
audience dibandingkan dengan kata-kata.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan fenomena diatas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai efektifitas media poster dengan peningkatan pengetahuan dan sikap ibu tentang
tanda bahaya kehamilan bagi masyarakat suku lembak di PKMKota Padang tahun 2019.

1.3 Tujuan Penelitian


Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahuiefektifitas media poster
dengan pengetahuan dan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan bagi masyarakat suku
lembak di PKM Kota Padang tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


Sebagai bahan masukan dalam pengembangan media promosi kesehatan dalam upaya
untuk meningkatkan pengetahuan pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan
bagi masyarakat suku lembak di PKM Kota Padang.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pre-experiment dengan one group pretest – post test
untuk menganalisis efektifitas pemberian promosi kesehatan dengan media poster dengan
pengetahuan dan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan bagi masyarakat suku lembak di
wilayah PKM Kota Padang tahun 2019. Penelitian dilaksanakan bulan Juli sampai dengan
September tahun 2019 di wilayah kerja PKM Kota Padang Kecamatan Kota Padang
Kabupaten Rejang Lebong.

3
2.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah ibu berkunjung dan tercatat pada buku
register posyandu di wilayah PKM Kota Padang tahun 2019yaitu sebanyak
230orang.Pengambilan sampel dilakukan secaraaccidental sampling yaitu ibu-ibu yang
berkunjung ke posyandu yang ada di wilayah PKM Kota Padang. Besar sampel dihitung
dengan menggunakan table krejcie dan Morgan untuk populasi sebesar 230 orang maka
jumlah sampel minimal sebesar 144 orang.

2.3 Tehnik pengumpulan data


Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan lembaran kuesioner yang
berisikan data dasar responden dan serangkian pertanyaan tentang pengetahuan dan sikap ibu
terhadap tanda-tanda bahaya kehamilan.Uji coba media poster serta instrument penelitian
dilakukan pada kelompok lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian yaitu pada 20 orang ibu-
ibu yang berkunjung keposyandudi wilayah puskesmas Perumnas, Kecamatan Curup Tengah
Kabupaten Rejang Lebong.
2.4 Analisis data penelitian
Analisa Univariat yang dilakukan dengan analisis distribusi frekuensi semua variable
penelitian.Untuk mendapatkan gambaran sebaran (distribusi frekwensi) guna melihat nilai
dari masing-masing variabel.Analisa Bivariate menggunakan uji statistic paired t test.

2.5 Etika penelitian


Etika penelitian diusulkan oleh peneliti dan diterbitkan oleh komisi etik penelitian
Poltekkes Kemenkes Bengkulu No DM.01.04/063/10/2019.

3. Hasil Penelitian Dan Pembahasan


3.1 Hasil penelitian
3.1.1 Gambaran umum lokasi penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat suku Lembak di wilayah PKM Kota
Padang Kabupaten Rejang Lebong.Berjarak 25 km dari pusat pemerintahan kabupaten Rejang
Lebong.Suku Lembak merupakan suku asli masyarakat di kecamatan sindang Beliti yang
berbatasan dengan Marga Suku Tengah Kepungut dan Suku Marga Sindang Beliti Ulu.
Dalam perkembangnnya di kecamatan Sindang Beliti pada masa sekarang ini terdapat juga
masyarakat dari suku Jawa, Rejang, Padang dan Suku Batak.

4
3.1.2 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 72 orang. Adapun karakteristik responden
penelitianseperti yang terdapat pada tabel 4.1 sebagai berikut ;

Tabel 4.1
KARAKTERISTIK RESPONDEN
N
Karakteristik Jumlah
o
N %
1 Umur
Mean 25 6.8
Median 26 6.8
Modus 28 11.0
Minimum 15 1.4
Maximum 40 1.4
2 Pendidikan
Tamat SLTA 57 79.2
Tidak Tamat SLTA 15 20.8
3 Kepemilikan Buku KIA
Ada 70 97.2
Tidak Ada 2 2.8
4 Riwayat Pemeriksaan Kehamilan
Ya 41 56.9
Tidak 31 43.1

Jumlah 72 100

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 72 responden didapatkan umur maksimal
40 tahun dan umur minimal 15 tahun, sebagian besar berpendidikan tamat SLTA, memiliki
buku KIA dan telah melakukan pemeriksaan kehamilan sebelumnya. Sedangkan pada
kelompok kalender.

3.1.3 Pengetahuan responden tentang tanda bahaya kehamilan sebelum diberikan


media poster.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan media poster dari 20 butir
pertanyaan, pertanyaan yang paling banyak dijawab benar adalah pertanyaan no 11 yang
dijawab oleh 60 responden (83%) yaitu yang dinamakan tanda bahaya kehamilan adalah
apabila sakit kepala tidak hilang dengan beristirahat, dan perntanyaan yang paling banyak

5
dijawab salahadalah pertanyaan no 17 yang dijawab oleh 23 orang responden (32%), seperrti
yang dilihat pada table 4.2 berikut ini;

Tabel 4.2.Pengetahuan Responden Sebelum Diberikan Media Poster.


Jlh Mean Max Min Std
Pernyataan
Sebelum Diberikan Poster 20 11 16 7 2,3
Sebelum Diberikan Kalender 20 10,6 16 7 2,3

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa dari 20 pertanyaan sebelum diberikan media
poster diperoleh nilai rata- rata pengetahuan 11 dengan SD 2,3.Nilai maksimal yang diperoleh
responden sebelum diberikan media poster adalah 16 poindannilai terkecil adalah 11poin.

3.1.4 Sikap responden tentang tanda bahaya kehamilan sebelum diberikan media poster.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan media kalender dari 20
pernyataan, pernyataan yang palingbanyakdipilih responden adalah pertanyaan no 11 yang
dipilih oleh 63 responden (88%) yaitu; yang dinamakan tanda bahaya kehamilan adalah
apabila sakit kepala tidak hilang dengan beristirahat, dan pernyataan yang paling sedikit
dipilih oleh responden adalah pernyataan no 17 yang dijawab oleh 22 orang responden (31%)
yaitu gangguan penglihatan pada ibu hamil dapat diatasi dengan mengkonsumsi tomat dan
wortel. Seperti terlihat pada table 4.3 berikut ini;

Tabel 4.3 Sikap Responden Sebelum Diberikan Media Poster.


Jlh Mean Max Min Std
Pernyataan
Sebelum Diberikan Poster 20 11 18 6 3,3
Sebelum Diberikan Kalender 20 9,7 17 4 3,42

BerdasarkanTabel4.3dapatdijelaskanbahwasebelum diberikan media poster diperoleh


nilai rata- rata sikap 11 denganSD 3,3.Nilaiterbesar yang diperoleh responden sebelum
diberikan media poster adalah 18 poindannilai terkecil adalah 6poin. Sedangkan sikap
responden sebelum diberikan media kalender diperoleh nilai rata-rata sikap sebesar 9,7
denganSD 3,42.Nilaiterbesar yang diperoleh responden sebelum diberikan media kalender
adalah 17 poindannilai terkecil adalah 4poin.

6
3.1.5 Pengetahuan responden tentang tanda bahaya kehamilan setelah diberikan media
poster.
Hasilpenelitian menunjukkan bahwasetelah diberikan media poster dari 20 butir
pertanyaan, pertanyaanyang palingbanyakdijawab benar adalah pertanyaan no 13 yang
dijawab oleh 66 responden (92%) yaitu; Sakit kepala yang hebat pada ibu hamil tidak akan
berakibat buruk terhadap bayi dalam kandungan dan pertanyaan yang paling banyak dijawab
salahadalah pertanyaan no 10 yang dijawab oleh 45 orang responden (63%) yaitu Sakit kepala
pada ibu hamil adalah kondisi yang biasa dan akan hilang bila ibu beristirahat. Seperti yang
terlihat pada table 4.4 berikut ini;

Tabel 4.4.Pengetahuan Responden Setelah Diberikan Media Poster Dan Kalender.


Jlh Mean Max Min Std
Pernyataan
Setelah Diberikan Poster 20 13,9 17 10 1,98

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa dari 20 pertanyaan setelah diberikan
media poster diperoleh nilai rata- rata pengetahuan13,9 denganSD 1,98. Nilai maksimal yang
diperoleh responden setelah diberikan media poster adalah 17 poindannilai terkecil adalah
10poin.

3.1.6 Sikap responden tentang tanda bahaya kehamilan setelah diberikan media poster.
Hasil penelitian menunjukkan bahwas etelah diberikan media poster dari 20
pernyataan, pernyataan yang palingbanyakdipilih responden adalah pernyataan no 4 yang
dijawab oleh 67 orang responden (93%) yaitu; Salah satu tanda adanya bahaya dalam
kehamilan adalah terjadinya perdarahan dari jalan lahir ibu. Sedangkan pernyataan yang
paling sedikit dipilih oleh responden adalah pernyataan no 3 yang dipilih oleh 36 responden
(50%) yaitu; Tanda bahaya kehamilan adalah suatu keadaan yang akan berakibat buruk bagi
ibu dan bayi dalam kandungan.

Tabel 4.5 SikapResponden Setelah Diberikan Media Poster Dan Kalender.


Jlh Mean Max Min Std
Pernyataan
Setelah diberikan Poster 20 13 16 9 1,9

7
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa setelah diberikan media poster
diperoleh nilai rata- rata sikap 13 denganSD 1,9.Nilaiterbesar yang diperoleh responden
setelah diberikan media poster adalah 16 poindannilai terkecil adalah 9poin.

3.1.7 Efektifitas mediaposter terhadap pengetahuan dan sikap ibu tentang tanda bahaya
kehamilan.
Efektifitas media poster terhadap pengetahuan dan sikap ibu tentang tanda bahaya
kehamilan sebelumdan sesudah diberikan media poster menggunakan ujipair-T test seperti
padatabel dibawah ini

Tabel 4.6 Efektivitas Media Poster Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Ibu
Tentang Tanda Bahaya Kehamilan.
Variabel Mean P
Pengetahuan
Sebelumdan 0,555 0,000

Sikap
Sebelum dan 0,263 0,000
Sesudah Poster

Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh nilai perbedaan rata-rata pengetahuan sebelum dan
setelah diberikan media poster adalah 0,555 dan nilap P= 0,000 < 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh media poster terhadap pengetahuan i b u sebelumdan
sesudah diberikan media poster. Dapat pula disebutkan bahwa secara statistic media poster
efektif dalam upaya peningkatan pengetahuan ibu tentang tanda bahay kehamilan.
Berdasarkan tabel 4.6 dapat pula diperoleh bahwa nilaiperbedaanrata - rata pengetahuan
sebelum dam setelah diberikanmedia poster adalah 0,263 dan nila P= 0,000 < 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh media poster terhadap sikap i b u sebelumdan
sesudah diberikan media poster, sehingga pula disebutkan bahwa secara statistic media poster
efektif dalam upaya peningkatan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan.

4. Pembahasan
4.1 Efektifitas Media Poster Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Tanda
Bahaya Kehamilan.

8
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperolehnilaiperbedaanrata - rata
pengetahuan sebelum dan setelah diberikan media poster adalah 0,555 dan nilap P= 0,000 <
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh media p o s t e r terhadap pengetahuan
ibu sebelum dan sesudah diberikan media poster. Dapat pula disebutkan bahwa secara statistic
media poster efektif dalam upaya peningkatan pengetahuan ibu tentang tanda bahay
kehamilan.
Berdasarkan hasil penelitian ini pula diperoleh bahwa nilai perbedaan rata-rata sikap
sebelum dam setelah diberikan media poster adalah 0,263 dan nilap P= 0,000 < 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh media poster terhadap sikap ibu sebelum dan sesudah
diberikan media poster, sehingga pula disebutkan bahwa secara statistic media poster efektif
dalam upaya peningkatan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan pada suku Lembak di
wilayah kerja PKM Kota Padang Kabupaten Rejang Lebong.Pengetahuan ibu tentang tanda
dan bahaya kehamilan sangatlah penting untuk menjaga kesehatannya. Ibu hamil yang
memiliki pengetahuan lebih tentang resiko tinggi kehamilan maka kemungkinan besar ibu
akan berfikir untuk menentukan sikap dan berperilaku untuk mencegah, menghindari atau
mengatasi masalah resiko kehamilan tersebut dan ibu memiliki kesadaran untuk melakukan
kunjungan antenatal untuk memeriksakan kehamilannya, sehingga apabila terjadi resiko pada
masa kehamilan tersebut dapat ditangani secara dini dan tepat oleh tenaga kesehatan
(Hasugian, 2012).
Kegiatan pemberian pendidikan kesehatan secara berkesinambungan dengan variasi
teknik dan media penting dan perlu dilakukan sejak dini pada ibu hamil untuk meningkatkan
pengetahuan tentang perawatan kesehatan selama masa kehamilan. Salah satu cara pemberian
pendidikan kesehatan adalah dengan penyuluhan tentang tanda bahaya kehamilan dengan
menggunakan media poster, yang tujuan dari penyuluhan tersebut dapat meningkatkan
pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan sehingga mereka dapat mengenali
tanda bahaya tersebut sejak awal dan mereka bisa segera mencari pertolongan kebidan,
dokter, atau langsung ke rumah sakit untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi.
Keefektifan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik sasaran yang
diberi penyuluhan, faktor media dan pemberi penyuluhan dan proses dari penyuluhan itu
sendiri (Fitriani, 2011). Metode dan media merupakan aspek penting dalam pemberian
penyuluhan kesehatan hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) penyampaian
informasi dipengaruhi oleh metode dan media yang digunakan yang mana metode dan media
penyampaian informasi dapat memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan

9
pengetahuan.Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2012) apabila penerimaan perilaku
baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran.
Dalam penelitian ini, intervensi pendidikan kesehatan yang diberikan dengan
menggunakan media poster dan kalender .Menurut Notoatmodjo (2010) mengemukakan
bahwa pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha
menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan media tertentu, salah satunya adalah
media oster dan kalender.Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan pada media tersebut,
maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan
yang lebih baik. Proses pendidikan kesehatan merupakan salah satu proses transfer informasi
yang biasanya dilakukan dalam waktu relatif singkat namun diharapkan mampu merubah
pengetahuan tentang masalah yang sedang dibahas (Setiawan, 2010).
Hasil penelitian yang memperkuat penelitian ini adalah hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ripca (2014) tentang pengaruh promosi kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan
dengan menggunakan media poster dan leaflet terhadap pengetahuan ibu hamil di Puskesmas
Amurang Kabupaten Minahasa Selatan dengan jumlah responden sebanyak 35 responden
menunjukkan ada peningkatan pengetahuan ibu-ibu hamil di Puskesmas Amurang dari cukup
pada pre-test (74,3%) menjadi baik (80%) pada post-test.
Hasil penelitian Sandra (2015), diperoleh bahwa ada efektivitas promosi kesehatan
dengan media poster terhadap peningkatan pengetahuan respondenya itu antara pengetahuan
sebelum diberi promosi kesehatan dengan media poster dibandingkan dengan pengetahuan
sesudah diberi promosi kesehatan dengan media poster diperoleh nilai p<0,001. Nilai rata-
rata sikap sebelum diberi promosi kesehatan dengan media poster dibandingkan dengan
nilairata-rata sikap sesudah diberi promosi kesehatandengan media poster juga mengalami
peningkatan sehingga dapat disimpulkan bahwa ada efektivitas promosi kesehatan dengan
media poster terhadap sikap remaja antara sikap sebelum diberikan promosi kesehatan
dengan media poster dibandingkan dengan sikap sesudah diberikan promosi kesehatan
dengan media poster diperoleh nilai p<0,001.
Sejalan dengan penelitian Siburian (2015) menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata
nilai pengetahuan dan sikap responden sesudah diberiperlakuan penyuluhan dengan media
leaflet maupun dengan media filmd alam meningkatkan pengetahuan dan sikap responden,
dimana rerata nilai pengetahuan dan sikap responden sesudah diberi perlakuan penyuluhan
dengan media film lebih besar nilainya dibandingkan dengan rerata nilai pengetahuan
dansikap responden sesudah diberi perlakuan penyuluhan dengan media leaflet.

10
Berdasarkan hasil penelitian peneliti berpendapat bahwa perbedaan nilai pada
pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media poster
efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu tentang tanda bahaya kehamilan pada suku
Lembak di wilayah kerja PKM Kota Padang Kabupaten Rejang Lebong. Selain karena media
poster yang telah diberikan, hal ini juga dipengaruhi oleh penyuluhan kesehatan yang telah
didapat oleh ibu sebelumnya ini dikarenakan secara umum ibu-ibu sudah mendapatkan
informasi mengenai tanda-tanda bahaya kehamilan baik dari petugas puskesmas dan
posyandu, media elektronik, pengalaman sebelumnya dan pengetahuan turun temurun namun
perlu adanya optimalisasi pengetahuan dari pihak kesehatan sehingga hasil yang diharapkan
juga dapat lebih memuaskan. Informasi yang diberikan kepada ibu hamil berupa tentang
tanda-tanda bahaya kehamilan, hal ini membuat ibu lebih paham dan dapat mengatisipasi
sejak dini apabila ibu hamil mengalami salah satu dari tanda bahaya kehamilan.

5. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode pre-eksperimen dimana
penngetahuan dan sikap yang diukur dalam penelitian ini masih ada risiko masyarakat untuk
bertemu dan berdiskusi tentang topik penelitian yang dilaksanakan sehingga risiko bias
penelitian selalu ada. Hal ini mempengaruhi pada saat pengisian kuesioner terutama pada saat
post tes.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi


6.1 Kesimpulan
1. Pengetahuan responden sebelumdiberikan media poster diperoleh nilai rata-rata
pengetahuan adalah11 denganSD 2,3.Setelah diberikan media poster diperoleh nilai rata-
rata pengetahuan 13,9 denganSD 1,98.
2. Sikap responden sebelum diberikanmedia poster diperoleh nilai rata-rata sikap adalah 11
denganSD 3,3.Setelah diberikan media poster diperoleh nilai rata- rata sikap 13 denganSD
1,9.
3. Secara statistikmedia poster lebih efektif dibandingkan dengan media kalender dalam
upaya peningkatan pengetahuan ibu tentang tanda bahaya kehamila (P= 0,000 < 0,05).
4. Secara statistic media poster lebih efektif dibandingkan dengan media kalender dalam
upaya peningkatan sikap ibu tentang tanda bahaya kehamilan (P= 0,000 < 0,05).

6.2 Rekomendasi

11
1. Bagi Puskesmas Kota Padang dan Dinas Kesehatan Rejang Lebong ; perlu kiranya
diadakan program-program promosi kesehatan yang lebih intensif terutama terkait dengan
pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan pada suku Lembak khususnya yang
berada dalam wilayah PKM Kota Padang.
2. Bagi tenagabidan ; dalam melaksanakan promosi kesehatan hendaknya lebih diperhatikan
aspek sosial budaya yang masih dianut oleh masyarakat suku Lembak.
3. Mediaposter dapat digunakan dalam melakukan promosi kesehatan tentang tanda bahaya
kehamilan di wilayah kerja PKM Kota Padang.
4. Bagi pemerintahan setempat (Camat dan Kades) perlu melibatkan lebih banyak lagi
peranan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam kegiatan sosialisasi program-program
kesehatan yang ada di wilayah kecamatan Kota Padang.
5. Bagi penelitiselanjutnya ; perlu mengadakan pengembangan lebih lanjut promosi
kesehatan dengan menggunakan media poster dalam upaya meningkatkan pngetahuan
masyarakat tentang tanda bahaya kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson OW, Krathwohl DR. (2006) A taxonomy for learning, teaching and assessing: a
revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Longman.
Azwar, Arief (2006) Determinan Pemilihan Persalinan Di Fasilitas Kesehatan, Jurnal
Kesehatan Reproduksi Vol 5 No 3 Desember 2014 Diunduh Tanggal 15 Januari 2019
Tersedia Dari
Http://Bpk.Litbang.Depkes.Go.Id/Index.Php/Kespro/Article/View/3892/3737
Berlo, Bensley, R.J. 2008.Metode Pendidikan Kesehatan Masyarakat. Alih
bahasa:Apriningsih, Nova S. Indah Hippy. Jakarta: EGC.
Chandra B, Farida E, (2017), Budaya betatap dalam buda suku Lembak di Kabupaten Rejang
Lebong Tahun 2017. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan.Poltekkes Kemenkes
Bengkulu.
Departemen Kesehatan RI (2009). Pedoman Program Perencanaan Persalinan Dan
Pencegahan Komplikasi Dengan Stiker (P4K) Dalam Rangka Mempercepat
Penurunan AKI. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Depkes R.I (2008). Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) Keadilan Gender, Jakarta : Depkes RI
Ircham M, Asmar YZ, Eko Suryani, Suherni dan Sujiyatini (2005), Alat Ukur Penelitian
Bidang Kesehatan, Yogyakarta : Fitramaya
Kementerian Kesehatan RI. (2013) Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Bina Kesehatan Ibu Ditjen Bina Gizi Dan KIA
Maulana, Mochtar, Rustam (2009), Sinopsis Obstetri Jilid 1, Jakarta : EGC

12
Montagnes I. 1991.Editing and Publication: A Training Manual. Manila: International Rice
Research Institute, International Development Research Centre.
Notoatmodjo, S. (2013).Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku .Jakarta :Rineka Cipta
Purwanto S, Nursalam dan Pariani, (2007), Pendekatan Praktis Metodelogi Riset
Keperawatan, Jakarta: Salaemba Medika.
Poedjowijaya, Pratitis Dian; Kamidah (2013).Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Hamil
Tentang Tanda Bahaya Kehamilan Dengan Kepatuhan Pemeriksaan Kehamilan Di
BPS Ernawati Boyolali; Gaster Vol 10 No 2 Agustus 2013, Diunduh Tanggal
13Januari 2019 Tersedia Dari Www.Jurnal.Stikesaisyiyah.Ac.Id/Index.Php/
Gaster/Article/Download/.../50
Rawati S, isna Dewi Yanti1, Ni Gusti Made Ayu, (2012), Hubungan Antara Pengetahuan Ibu
Hamil Tentang Tanda Bahaya Dan Komplikasi Kehamilan Dengan Kepatuhan
Kunjungan Antenatal Dan Pemilihan Tempat Bersalin Di Wilayah Tanah Sareal
Bogor, Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 8 Nomor 1 Tahun 2016 ● ISSN :
2302-1721
S.Nasution, Rohani M, Kurniawan A, (2003) Faktor-Faktor Budaya Dalam Pemilihan
Penoong Persalinan Di Karang Asem Jawa Tengah Tahun 2011, Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia Vol. 13 / No. 1 / Januari 2012.
Sarwono, Saifudin, A.B., (2012), Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. YBP SP, Jakarta
Saptarini, Saputra, W. (2005). Arah dan strategi kebijakan penurunan angka kematian ibu
(AKI), angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKABA) di Indonesia.
Scram, Shoji, K., Bock, J., Cieslak, R., Zukowska, K., Luszczynska, A., & Benight, C. C.
(2014).cultivating secondary traumatic growth among healthcare workers: the role of
social support and self efficacy. Journal of clinical psychology, Vol. 70, no. 9, 831-
846.
Purwanto P, Sugiyono P.(1999) Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta
Sandra T, Suharni, S. (2015). Pengaruh pendidikan kesehatan dengan media poster tentang
kehamilan terhadap pengetahuan dan sikap ibu hamil di Kecamatan
Mantingan.Tesis :Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Solly L, Puharyanto H. (2013) Analisis Faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemanfaatan aseskin ibu keluarga miskin pada pelayanan kehamilan dan persalinan
di puskesmas dan jaringannya di kota Tangerang tahun 2008. [tesis]. Jakarta:
Unversitas Indonesia.
Tribowo, Triratnawati, A. (2015) Pendekatan Antropologi dalam penempatan Bidan di Desa.
Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional, Vol 1: 7-9.
Sahi, Turnbull & Birds, Wimmer RD, Dominick JR. (2008).MassMediaResearch: An
Introduction. Seventh Edition. USA: Thomson Wadsworth.

13
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Pengaruh Pengeringan Terhadap Kandungan Total Fenol Teh Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lam.)

Agnes Rendowaty1*, Nelvi Selvia1, Romsiah1

1
Farmasi, Program Studi S-1 Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi, Palembang, Indonesia

14
1
Biologi Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi, Palembang, Indonesia
*
E-mail : arendowaty@gmail.com.

Abstrak

Telah dilakukan penelitia n pengaruh cara pengeringan terhadap kandungan total fenol teh
jati belanda (Guazuma ulmifolia Lam.) dengan metode kolorimetri Follin-ciocalteu.
Metode pengeringan yang digunakan adalah kering angin pada suhu ruangan (28 oC),
pengeringan oven pada suhu 40 oC dan pengeringan cahaya matahari tidak langsung. Daun
jati belanda segar yang digunakan untuk masing-masing pengeringan seberat 120 gram
dikeringkan dan diperoleh berat kering teh 12 gram. Kandungan total fenol teh daun jati
belanda di analisa dengan reagen Folin- ciocalteu. Kandungan total fenol teh jati belanda
dengan kering angin 4,1 mg GAE/g, teh jati belanda kering oven 3,2 mg GAE/g dan teh
jati belanda kering matahari 2,2 mg GAE/g. Hasil penelitian memperlihatkan kandungan
total fenol yang lebih tinggi dengan metode kering angin pada suhu ruangan. Dari
penelitian ini disimpulkan metode pengeringan mempengaruhi kandungan total fenol teh
daun jati belanda.

Kata kunci : total fenol; Guazuma ulmifolia L; teh daun jati belanda; pengeringan.

Abstract

Effect of drying method on total phenol content has been determined from jati belanda
(Guazuma ulmifolia L.) leaves tea with Follin-ciocalteu colorimetri method. The drying
method used are dried at room temperature (28 oC), oven dried at 40oC and indirect sun-
dried. Fresh jati belanda leaves used for drying methode 120 gram and tea dried obtained 12
gram. The total phenol content of jati belanda tea leaves was analyzed with the Folin-
ciocalteu reagent. The total phenol content of jati belanda tea with drying at room
temperature 4,1 mg GAE/g, tea was oven-dried at 40 oC 3,2 mg GAE/g and tea was indirecy
sun-dried 2,2 mg GAE/g. The results showed a higher total phenol content by the method
dried at room temperatur. The conclusion of this study was the drying method affects the total
phenol content of jati belanda leaves tea.

Key words : Total phenol; Guazuma ulmifolia L.; jati belanda tea; drying method.

PENDAHULUAN
Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lam.) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional yang telah diketahui digunakan untuk menurunkan berat badan dan kolesterol
(Batubara et al, 2017), antidislipidemia (Permana et al, 2016), antihiperlipidemia (Ulfah dan
Iskandar, 2020).
Kandungan metabolit sekunder daun jati belanda adalah alkaloid, tannin, saponin,
flavonoid, terpenoid, kardiak glikosida dan steroid. Senyawa yang terkandung didalam daun
adalah oktakosanol, taraxeroloac, friedelin-3- aoac, alfa sitosterol dan friedelinol-3- acetate

15
(Kumar dan Gurunani, 2019).
Senyawa fenol merupakan senyawa yang memiliki cincin aromatik yang mengandung
satu atau lebih atom hidroksil (Djamal, 2008). Senyawa fenolik memiliki kemampuan untuk
meredam atau mereduksi radikal bebas. Kandungan total fenol ekstrak etanol daun jati
belanda 95,465 mg GAE/g ekstrak dan aktivitas antioksidan dengan IC50 162,29 μg/mL
(Kusumowati et al, 2012). Ekstrak etanol daun jati belanda memperlihatkan aktivitas
antioksidan EC50 119,85 μg/mL dengan kandungan total fenol 78,021 mg GAE/g ekstrak dan
kandungan total flavonoid 0,8055 mg QE/g ekstrak (Morais et al, 2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan total fenol teh daun jati belanda
yang dikeringkan dengan pengeringan angin, oven dan cahaya matahari. Pengeringan
merupakan salah satu metode pengolahan bahan alam dengan menurunkan kadar air sehingga
simplisia akan bertahan lama dalam penyimpanan.
Pengeringan akan mempengaruhi simplisia secara fisik dan senyawa yang terkandung
dalam bahan alam (Katno, 2008).
Metode pengeringan mempengaruhi kandungan total fenol, alginat dan proksimat
pada rumput laut Sargassum polycystum (Masduqi et al, 2014). Proses pengeringan dengan
oven dan cahaya matahari juga mempengaruhi kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar
pati dari Enhalus acoroides (Huriawatu et al, 2016).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Bahan alam dan laboratorium
Instrumen, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang.

Alat dan bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas berupa labu ukur, pipet
volume, tabung reaksi, gelas ukur, corong, beaker glass (pyrex), corong buchner,
spektrofotometer UV-VIS (Bel- photonics type M51), kertas whatman no.42, oven listrik
(DHG-9053A).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol p.a (Merck), reagen Folin-
ciocalteu (Merck), Asam galat (Sigma-aldrich), NaOH 1 %, air suling.

Prosedur kerja
Preparasi sampel
Daun jati belanda diperoleh dari Desa Rantau Alai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera

16
Selatan. Daun dipetik dengan gunting dan dipilih yang berwarna hijau terang, daun dicuci
dengan air mengalir, keringkan selama 18 jam untuk menghilangkan air, kemudian dirajang
20 mm. Daun dibagi menjadi tiga bagian dengan berat 120 gram dan lakukan pengeringan
dengan cara dikeringkan menggunakan oven 40oC, dikering angin pada suhu ruangan 28 oC
dan dikeringkan dibawah cahaya matahari tidak langsung dengan melapisi sampel daun jati
belanda dengan kain hitam. Pengeringan ini berlangsung hingga diperoleh persen rendemen
simplisia kering 10 %.

Pembuatan teh
Teh daun jati belanda dibuat dengan konsentrasi 200 mg/mL, ditimbang sebanyak 1 g
dan diseduh dengan air suling panas (80 oC) selama 5 menit, dan disaring dengan kertas saring
dua lapis. Filtrat disaring dengan penyaring buchner.

Pengukuran kandungan total fenol berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia.


Pembuatan kurva kalibrasi asam galat: Timbang 50 mg asam galat tambahkan air
suling 50 mL, buat larutan asam galat dengan seri konsentrasi 5, 15, 30, 50, 70 dan 100
μg/mL. Pada masing-masing konsentrasi, dipipet sebanyak 1 mL masukkan ke dalam tabung
reaksi, tambahkan 5 mL reagen Folin-ciocalteu. Diamkan selama 8 menit, tambahkan 4 mL
NaOH 1 %, inkubasi selama 1 jam dan diukur serapan masing-masing konsentrasi pada λ
maksimal 730 nm. Pengukuran kandungan total fenol teh daun jati belanda
Teh daun jati belanda sebanyak 1 mL masukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 5
mL reagen Folin-ciocalteu. Diamkan selama 8 menit, tambahkan 4 mL NaOH 1 %, inkubasi
selama 1 jam dan diukur serapan masing-masing sampel teh pada λ maksimal 730 nm,
kemudian kandungan total fenol dihitung dari tiap sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Daun jati belanda segar sebanyak 120 gram dikeringkan dengan tiga metode
pengeringan diperoleh teh kering dengan berat 12 gram. Lama waktu pengeringan tiap
sampel hingga diperoleh rendemen 10
% berbeda, pengeringan oven 40oC selama 24 jam, dikering angin pada suhu ruangan
28oC selama 4 hari dan dikeringkan dengan cahaya matahari tidak langsung selama 3 hari.
Metode pengeringan mempengaruhi lama pengeringan, hal ini sesuai dengan penelitian
pengeringan pasta indigo dengan kandungan air 45-50 % untuk menghasilkan bubuk pewarna

17
indigo membutuhkan waktu 1,5 jam kering sangrai, 8 jam untuk kering oven, dan 112 jam
kering alami (Atika dan Isnaini, 2019). Secara umum kandungan air pada bahanbasah akan
menurun dengan lamanya pengeringan, pada proses pengeringan terjadi perpindahan panas
dan massa sevara simultan. Perpindahan massa dimulai dari dalam menuju permukaan
bahan basah, kemudian air akan berdifusi ke udara kering. Perpindahan panas terjadi secara
konduksi, aliran panas dari daerah yang bersuhu tinggi ke rendah didalam suatu media (Atika
dan Isnaini, 2019).
Absorbansi dari seri konsentrasi asam galat dihubungkan menjadi regresi liniear
menghasilkan linearitas yaitu nilai y=0,0029x+0,1996 dengan nilai R 2= 0,9968 (Gambar 1).
Dari persamaan ini diperoleh kandungan total fenol teh daun jati belanda dengan kering
angin 4,1 mg GAE/g, dikering oven 3,2 mg GAE/g, dan dikering cahaya matahari 2,2 mg
GAE/g.

Gambar 1. Kurva Kalibrasi Asam Galat

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian kandungan total fenol dari S. Polycystum
1656,3 ppm dengan kering angin, kering oven 1274,4 ppm dan dikeringkan dibawah sinar
matahari 1179,7 ppm (Masduqi et al, 2014).
Pada penelitian tentang aktivitas antioksidan daun senggani lebih tinggi pada daun
yang dikering angin dengan persen inhibisi 54,60 %, pengeringan oven 52,76 %,
pengeringan cahaya matahari tidak langsung 49,19 %, pengeringan cahaya matahari
langsung 38,06 % (Luliana et al, 2016).
Kandungan total fenol yang dikering angin lebih tinggi dibandingkan dengan
pengeringan oven dan dibawah cahaya matahari. Hal ini disebabkan suhu pengeringan pada
kering angin lebih rendah dibandingkan oven dan cahaya matahari. Senyawa fenol mudah
teroksidasi dan sensitif dengan adanya panas, dengan adanya proses pengeringan dengan

18
sinar matahari dapat menurunkan kandungan senyawa fenol.
Pada penelitian ini berbeda, dimana kandungan total fenol cinnamon dengan metode
pengeringan oven (50oC) 0,238 mg GAE/g lebih tinggi dibandingkan pengeringan dengan
kering angin 0,152 mg GAE/g, dan sinar matahari 0,084 mg GAE/g. Hal ini disebabkan oleh
waktu pengeringan oven lebih pendek dan tertutup sehingga kondisi pengeringan dapat
dimonitor (Bernard et al, 2014).
Kandungan total fenol ekstrak daun Scurulla ferruginea lebih baik pada pengeringan
oven (60oC) dibandingkan kering angin, hal ini dipengaruhi oleh karakteristik dari daun, yaitu
ukuran, ketebalan dan modifikasi daun dimana daun S.ferruginea ini kecil, berlilin dan
berbulu, sehingga pada pengeringan udara, daun akan kehilangan air melalui epidermis dan
sel tumbuhan mudah rusak oleh proses enzimatik atau mikroba sehingga mempengaruhi
kandungan kimia sampel (Justine et al, 2019).

KESIMPULAN
Kandungan total fenol teh daun jati belanda dipengaruhi oleh metode pengeringan,
dimana kandungan total fenol tertinggi pada pengeringan angin, selanjutnya kering oven dan
kering cahaya matahari.

SARAN
Penelitian selanjutnya untuk meneliti kandungan total flavonoid dan aktitas
antioksidan dari teh daun jati belanda.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang atas
terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Batubara I, Husnawati, Darusman LK, Mitsunaga T. 2017. Senyawa Penciri Ekstrak Daun
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) sebagai antikolesterol. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia ;22(2):87-91.
Permana RJ, Azaria C, Rosnaeni. 2016. Pengaruh Pemberian ekstrak etanol daun jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) terhadap gambaran mikroskopis aorta hewan
model aterosklerosis, Journal of Medicine and Health ; 1(4): 305-318.
Ulfah VF, Iskandar Y. 2020. Review jurnal aktivitas tanaman jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lam.) sebagai antihiperlipidemia. Farmaka ;17(1): 98-104.

19
Kumar NS, Gurunani SG. 2019. Guazuma ulmifolia Lam ; A review for future view. Journal
of Medicinal Plants Studies ;7(2): 205-210.
Djamal R. 2008. Prinsip-prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi. Padang : Universitas
Baiturrahmah.
Morais SM, Calixto-Junior JT, Ribeiro LM, Sausa HA, Silva AAS, Figueiredo FG, et al.
2017. Phenolic compoposition and antioxidant, anticholinesterase and antibiotic-
modulating antifungal activities of Guazuma ulmifolia L (Malvaceae) ethanol extract.
South African Journal of Botany ;110(1):251-257.
Katno. 2008. Pengelolaan pasca panen tanaman obat. B2P2TO-OT. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Masduqi AF, Izzati M, Prihastanti E. 2014. Efek metode pengeringan terhadapa kandungan
bahan kimi dalam rumput laut Sargassum polycystum. Buletin Anatomi dan Fisiologi ;
22(1): 1-9.
Huriawati F, Yuhanna WL, Mayasari T. 2016. Pengaruh metode pengeringan terhadap
kualitas serbuk seresah Enhalus acoroides dari pantai tawang pacitan. Bioeksperimen ;
2(1);35-43.
Atika V, Isnaini. 2019. Pengaruh pengeringan konvensional terhadap karakteristik fisik
indigo bubuk. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”, Yogyakarta, 25
April 2019. Jurusan Teknik Kimia, UPN Veteran Yogyakarta.
Luliana S, Purwanti NU, Manihuruk KN. 2016. Pengaruh cara pengeringan simplisia daun
senggani (Melastoma malabathricum L.) terhadap aktivitas antioksidan menggunakan
metode DPPH(2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Pharmaceutical Sciences & Research ;
3(3):120-129.
Bernard D, Kwabena AI, Osei OD, Daniel GA, Elom SA, Sandra A. 2014. The effect of
different drying methods on the phytochemicals and radical scavenging activity of
ceylon cinnamon (Cinnamomum zeylanicum) plants parts. European Journal of
Medicinal Plants ; 4(11):1324-1335.
Justine VT, Mustafa M, Kankara SS, Go R. 2019. Effect of drying methods and extraction
solvents on phenolic antioxidants and antioxidant activity of Scurrula ferruginea
(Jack) Danser (Loranthaceae) leaf extracts. Sains Malaysiana ; 48(7) : 1383-1393.

PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Hubungan Jumlah Obat Yan Digunakan Pada Pasien Asma Terhadap Resiko Kejadian
Drug Related Problems (DRPs) Di RS X Kota Palembang

Yopi Rikmasari1, Yunita Listiani Imanda2

20
1
1Farmasi,ProgramStudiS-1Farmasi,STIFIBhaktiPertiwi,Palembang,Indonesia
2FarmasiKomunitasKlinik,STIFIBhaktiPertiwi,Palembang,Indonesia *e-
mail:mpie030178@gmail.com

Abstrak

Pasien dengan penyakit asma menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda – beda
atau bervariasi antara satu kelompok pasien dengan pasien lainnya bahkan dalam satu
pasien itu sendiri dari waktu ke waktu dapat berbeda frekuensi dan intensitas gejalanya
sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah obat yang digunakan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui korelasi jumlah obat yang digunakan dengan resiko terjad Drug Related
PRoblem(DRP’s) pada pasien asma.
Penelitian ini merupakan studi observasi dengan desain cross sectional korelasional
analitik menggunakan uji korelasi koefisien kontingensi. Data diperoleh dari data sekunder
yaitu rekam medik secara retrospektif yaitu pasien dengan diagnosa asma pada bulan
Januari – Desember 2016. Pengambilan sampel secara nonprobability sampling yaitu
purposif sampling sesuai kriteria inklusi didapatkan sejumlah 30.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan jumlah obat
yang digunakan dengan kategori DRPs improrer drug selection (p = 0,028) dengan
kekuatan korelasi lemah (r = 0,371) dan kategori DRPs interaksi obat (p= 0,031) dengan
kekuatan korelasi lemah (r = 0,367). Jumlah obat yang digunakan tidak menunjukkan
korelasi yang signifikan pada kategori DRPs untreared indication (p = 0,794), dosis (p =
0,255) dan unnecessary drug therapy(p = 0,057). Perlu peran serta Apoteker secara aktif
untuk mencegah kejadian DRP’s yang potensial dan mengatasi kejadian DRPs yang aktual.

Kata Kunci : Asma; jumlah obat; DRPs

Abstract

Patients with a diagnosis of asthma showing different orvaried clinical manifestations


between one group of patients with another patient even in the patients them selves from time
to time canvary in frequency an dintensity of symptoms causingan increase in the number of
drugs used. This study aims odetermine the correlation between the amount of drug used with
a risk of Drug Related Problems (DRP's)in patients with asthma.
This research is an observational study with analytic correlational cross sectional
design using contingensy coefficient correlation test. Data obtained from secondary data,
retrospctive medeical record that patient with a diagnosis of asthma in January-December
2016. Sampling was conducted sampling technique is purposive sampling non probability
appropriate inclusion criteria obtained a number of 30 patients.
The result showed that there was a significant correlation between the number of drugs
used by the category of DRPs improrer drug selection (p=0.028) with the strength of weak
correlation(r=0.371)and a category DRPs drug interactions (p=0.031)with the strength of
weak correlation(r=0.367). The number of drugs used do not show a significant correlation in
the category of DRPs untreated indication(p=0.794), dose(p=0.255) and unnecessary drug
therapy(p=0.057). Pharmacists need active participation to prevent the incidence of DRP's
potential and over come the actual incidence of DRPs.

Keywords:Asthma, the amount of drugs,DRP

21
PENDAHULUAN
Asma merupakan suatu penyakit yang heterogen, yang dikarakterisir oleh inflamasi
kronis pada saluran pernafasan yang ditentukan oleh adanya riwayat gejala gangguan
pernafasan seperti mengi, nafas terengah – engah, dada terasa berat/tertekan, diikuti dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2015). Asma termasuk salah satu
penyakit tidak menular utama dengan perkiraan kejadian sekitar 235 juta orang saat ini
menderita asma. World Health Organization (WHO) pada Desember 2016 telah merilis
memperkirakan terdapat 383.000 kematian akibat asma pada tahun 2015 (The Global Asthma
Report, 2018). Menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018) prevalensi
asma di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua umur sebesar 2,4 %
dan Provinsi Sumatera Selatan sebesar 1,9 % dari prevalensi tersebut. Berdasarkan data
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) diketahui pada tahun 2017 jumlah pasien asma rawat
inap di Indonesia mencapai 53.949 pasien, dengan kasus terbanyak di Jawa Timur sebanyak
7.942 pasien dan Sumatera Selatan berada pada peringkat kelima dengan jumlah 2.841 orang
pasien. Dari jumlah total pasien tersebut diketahui sebanyak 1.182 pasien (2,2 %) keluar
rumah sakit meninggal dunia.
Suatu studi di Amerika Serikat, hanya 60 % dokter ahli paru dan alergi yang
memahami panduan tentang Asma dengan baik, sehingga di lapangan sering ditemukan
penggunaan obat anti asma yang kurang tepat dan masih tingginya kunjungan pasien ke unit
gawat darurat, perawatan rawat inap bahkan perawatan intensif. Studi lainnya di Asia Pasifik
menunjukkan tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
Eropa dan Amerika Serikat yang mana hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke unit gawat darurat setiap tahunnya
(Kemenkes, 2008).
Pasien dengan penyakit asma menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda – beda
atau bervariasi antara satu kelompok pasien dengan pasien lainnya bahkan dalam satu pasien
itu sendiri dari waktu ke waktu dapat berbeda frekuensi dan intensitas gejalanya (Ikawati,
2016). Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah obat yang digunakan dan beresiko
menimbulkan kejadian polifarmasi yaitu obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep
(dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai. Polifarmasi termasuk bagian dari
Drug Related Problems (DRPs) (Rambadhe dkk, 2012). Drug Related Problems (DRPs)
adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2006). Menurut Cipolle (2004)
DRPs adalah suatu kejadian atau situasi yang melibatkan terapi obat yang secara aktual atau

22
potensial mengganggu hasil terapi yang optimal untuk pasien tertentu dengan Tipe DRPs
terdiri dari untreated indication,improper drug selection dosis subterapeutik, pasien gagal
mendapatkan terapi, overdosis, terjadi ADR, interaksi obat, penggunaan tanpa indikasi dan
pengobatan gagal.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hidayah dan Prasetyo (2011)
tentang identifikasi Drug Related Problem (DRP’s) pada pasien penyakit asma di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2009, menunjukkan hasil bahwa pasien yang
mengalami DRPs yaitu 55% (55 pasien) dengan jumlah kejadian DRPs seluruhnya 75
kejadian. Presentase kejadian tiap kategori DRPs yaitu membutuhkan tambahan terapi obat
yaitu 16,0%, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi yaitu 21,3%, obat salah yaitu 10,7%,
dosis terlalu rendah yaitu 18,7%, interaksi obat yaitu 12,0%, dan dosis terlalu tinggi yaitu
21,3%.
Penelitian Lorensia dan Wijaya (2016) tentang hubungan jumlah obat yang
digunakan terhadap risiko terjadinya Drug Related Problem (DRP’s) pada pasien asma
disuatu rumah sakit di Surabaya, menunjukkan bahwa ada korelasi antara jumlah obat
dengan jenis obat DRPs yang kurang tepat (p<0,05), sehingga semakin banyak jenis obat
yang digunakan oleh pasien asma, semakin besar risiko pasien mendapatkan obat yang
kurang tepat.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit X Palembang dengan kejadian asma
termasuk 10 penyakit terbesar pada tahun 2016 dan belum pernah dilakukan penelitian
semacam ini sebelumnya. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai Drug Related Problem (DRP’s) dalam pengobatan pasien
asma yang bertujuan untuk mengetahui korelasi jumlah obat yang digunakan dengan resiko
terjadi Drug Related Problem (DRP’s) pada pasien asma.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasi dengan desain cross sectional korelasional
analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan jumlah obat dengan tipe DRPs untreated
indication, improper drug selection, dosis, interaksi lain, unnecessary drug therapy diRS X
Palembang.
Pengambilan data

23
Data diperoleh dari data sekunder yaitu rekam medik secara retrospektif pada pasien
dengan diagnosa asma pada bulan Januari – Desember 2016. Penelitian ini dilakukan
terhadap seluruh populasi (populasi target) sesuai kriteria inklusi meliputi semua umur dan
diagnosis utama asma dengan atau tanpa tanpa penyakit penyerta.

Analisa data
Data dianalisa sesuai dengan algoritma penatalaksanaan serangan asma (GINA,
2015), Pharmacotherapy A Pathophysiological Approached 8 (Dipiro dkk, 2011), pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan Asma (PDPI, 2003) dan Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma (Kemenkes, 2008). Tipe DRPs dikategorikan sesuai dengan tipe DRPs (Cipolle,
1998). Jumlah obat dihitung dengan membuat rata – rata jumlah obat selama pasien dirawat
dan dikategorikan menjadi 2 yaitu < 5 dan ≥ 5. Korelasi jumlah obat dengan tipe DRPs diuji
statistik dengan uji korelasi koefisien kontingensi menggunakan SPSS versi 21.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah pasien dengan diagnosa asma rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi
adalah sebanyak 30 orang. Hasil penelitian adalah sebagai berikut.

Karakteristik dasar pasien


Karakteristik dasar pasien meliputi jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Demografi pasien

Data demografi n (%)


Jenis Kelamin Laki – laki 9 30
Perempuan 21 70
Usia (tahun) Anak (2 – 12) 6 20
Dewasa (> 12) 24 80

Pasien yang diikutkan pada penelitian ini adalah semua umur pasien dimulai dari
umur 2 tahun sampai 89 tahun dan diketahui pasien dewasa lebih banyak daripada pada
pasien anak dan berdasarkan jenis kelamin pasien lebih banyak pasien dengan jenis kelamin
perempuan.

Profil penggunaan obat


Jumlah total R/ obat untuk 30 orang pasien adalah 202, sehingga diperoleh rata –
rata jumlah R/ untuk setiap pasien = 6,73. Pasien yang mendapatkan obat < 5 sebanyak 9

24
(30%) dan mendapatkan obat ≥ 5 sebanyak 21 (70%). Jenis obat yang digunakan untuk
terapi asma seperti dapat dilihat pada tabel 2 dan obat yang digunakan untuk terapi penyerta
yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Obat untuk terapi asma


No Golongan Jenis obat N %

1 Bronkodilator Salbutamol, aminofilin, 27 90


teofilin
2 Kortikosteroid Deksametason, 29 96,
metilprednisolone, 7
Budesonide,
Budesonide+formoterol
3 Bronkodilator + Salbutamol + ipratropium 26 86,
anti Kolinergik Bromida 7
4 Ekpektoran OBH 30 10
0
5 Mukolitik Ambroksol, erdostein 30 10
0

Palembang untuk meredakan gejala sesak nafas terdiri dari bronkodilator,


bronkodilato + antikolinergik, kortikosteroid dan terapi simptomatik untuk membantu
meringankan batuk berdahak diberikan ekspektoran dan mukolitik. Sebagian pasien
mendapatkan dua jenis bronkodilator dalam bentuk sediaan berbeda atau satu jenis
bronklodilator dengan bentuk sediaan yang berbeda dalam waktu pemberian yang berdekatan.
Demikian juga dengan pemberian kortikosteroid. Sesuai dengan algoritma tata laksana terapi
kontrol terhadap gejala asma harus dicapai secepat mungkin, sehingga pengobatan harus
dimulai pada tahap yang paling tepat sesuai tingkat keparahan gejala yaitu ringan – sedang,
berat dan mengancam jiwa. Pengobatan asma memiliki tujuan jangka panjang tercapainya
control gejala yang baik dan meminimalkan resiko kekambuhan di masa depan, keterbatasan
aliran udara dan efek samping pengobatan (GINA, 2015). Perlu dipertimbangkan beberapa
hal dalam penatalaksanaan asma berbasis pada pengontrolan asma, yaitu pemberian terapi
disesuaikan dalam suatu siklus yang berkesinambungan antara terapi pasien dan pengobatan,
tingkat keparahan serta mempertimbangkan karakteristik asma pasien (Ikawati, 2016). Hal ini
akan berdampak pada ketepatan pemilihan obat termasuk ketepatan bentuk sediaan yang

25
sesuai untuk kondisi pasien.
Selain obat – obat untuk mengatasi asma, berikut ini merupakan obat – obat lain untuk
terapi penyakit penyerta pada pasien tersebut.

Tabel 3. Obat untuk terapi penyakit penyerta


No Golongan Jenis obat N %
1 Ceftazidime, ceftriaxone,
cefixime,cefadroxile,
Antibiotik cefuroxime, ampisilin, 30 100
levofloksasin, azitromisin
2 Analgetik antipiretik Parasetamol 10 33,33
3 Amlodipine,
Antihipertensi candesartan, 15 50
furosemide,
spironolakton
4 Vitamin Vitamin B kompleks 4 13,33
5 Antiangina ISDN, gliseril trinitrat, 9 30
amiodaron
6 Antiplatelet Klopidogrel 1 3,33
7 Antihistamin Setirizin 2 6,67
8 Antiemetik Domperidone, 1 3,33
9 Ansiolitik Klobazam
10 Pencahar Phenolpthlein + paraffin 1 3,33
liquidum + gliserin
11 Antiulcer Lansoprazole, 1 3,33
omeprazole
12 Antivertigo Betahistine mesylate, 3 10
flunarizine
13 Elektrolit Kalium Pottasium Chlorida 2 6,67
Konsentrasi tinggi

Pasien asma rawat inap di RS X juga mengalami penyakit penyerta sehingga jumlah
obat yang digunakan bertambah banyak. Selain diagnosa utama asma terdapat pasien dengan
penyakit penyerta yaitu infeksi saluran pernafasan, sepsis, dispepsia, hipertensi, osteoartitis,
CAD(coronary arterydisease/ penyakit jantung koroner), HHD ( hypersensitive heart disease)

26
dan CHF (Congestive Heart Failure/ gagal jantung kongestif). Beberapa penyakit penyerta
tersebut mempunyai gejala sesak nafas seperti HHD, CAD dan CHF sehingga perlu kehati –
hatian dalam memberikan terapi. Jumlah total R/ obat untuk 30 orang pasien adalah 202,
sehingga diperoleh rata – rata jumlah R/ untuk setiap pasien = 6,73.

Hasil analisis DRPs


Analisis DRPs didasarkan pada tipe DRPs untreated indivation (indikasi tidak
diobati),improrer drug selection (pemilihan obat yang kurang tepat), permasalahan dosis
(under dosis/over dosis), drug interaction(interaksi obat) dan drug use without indication
(penggunaan obat tanpa indikasi). Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis DRPs


No Tipe N %
DRPs
1 Indikasi tidak diobati 9 30
2 Pemilihan obat yang kurang tepat 25 80
3 Dosis (under dosis/over dosis) 26 86,7
4 Interaksi obat 9 30
5 Penggunaan tanpa indikasi 11 36,7

Pada penelitian ini diketahui terdapat bronkodilator untuk mengatasi sesak nafas yang
dialami pada kondisi akut, namun hanya diberikan kortikosteroid. Terapi pada serangan akut
diawali dengan pemberian inhalasi SABA) (short acting beta agonist), kortikosteroid dan
diberikan oksigen (GINA, 2015). Selain itu terdapat pasien dengan penyakit penyerta
osteoartritis tidak mendapatkan terapi. Pemilihan obat yang tidak tepat pada penelitian ini
didasarkan pada pasien mendapatkan bronkodilator lebih dari satu jenis obat, demikian juga
dengan golongan kortikosteroid. Beberapa pasien mendapatkan terapi obat yang sama dengan
bentuk sediaan yang berbeda dan diberikan dalam waktu yang berdekatan. Berdasarkan
algoritma terapi penatalaksanaan asma di rumah sakit diawali dengan melakukan penilaian
awal meliputi riwayat dan pemeriksaan fisik sehingga dapat dinilai apakah termasuk serangan
asma ringan, sedang/berat atau serangan asma yang mengancam jiwa. Untuk serangan asma
ringan dan sedang/berat pengobatan awal diberikan oksigen, inhalasi SABA setiap 20 menit
dalam 1 jam atau agonis beta 2 injeksi (terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3

27
ml subkutan). Selain itu diberikan kortikosteroid sistemik dalam kondisi tidak ada respon
segera dengan pengobatan bronkodilator atau dalam kosrtikosteroid oral (PDPI 2003 dan
Kemenkes 2008). Menurut Dipiro dkk (2012) setelah diberikan penilaian dibedakan menjadi
3 yaitu mild – moderate, severe dan actual respiratory arrest sehingga terapi awal dibedakan
atas ketiganya. Untuk kasus mild – moderate diberikan oksigen, inhalasi SABA melalui
inhaler atau MDI Kortikosteroid sistemik oral jika tidak ada respons segera atau jika pasien
baru saja menggunakan kortikosteroid sistemik oral. Jika hasil penilaian menunjukkan severe
maka berikan oksigen, dosis tinggi inhalasi SABA + ipratropium bromide melalui nebulizer
atau MDI dan kortikosteroid oral, sedangkan bagi pasien yang yang mengalami actual
respiratory arrest diberikan oksigen, SABA + ipratropium Bromida nebulisasi, kortikosteroid
intravena, pertimbangkan terapi ajuvan yang lain dan tempatkan pasien di ruang perawatan
intensif. Setelah itu dilakukan penilaian ulang apakah pasien mengalami eksaserbasi sedang
atau eksaserbasi berat diberikan terapi, kemudian jika dinilai pasien mengalami respon yang
kurang baik, pasien disarankan untuk dirawat inap dan diberikan terapi SABA inhalasi,
sistemik (oral atau intravena) kortikosteroid dan pertimbangkan terapi ajuvan.
Permasalahan terkait dosis meliputi ober dosis dan under dosis. Pada pemberian dosis
ambroxol syr 3 x 1 sendok teh seharusnya diberikan pada rentang dosis 3 x 2 sendok teh
untuk dewasa. Kemudian pemberian dosis retapyl tab 1 x 1 tablet seharusnya diberikan pada
rentang dosis 2 x 1 tablet serta pemberian symbicort inhaler yang diberikan 1 x 1 puff
seharusnya diberikan pada rentang dosis 1 x 2 puff atau 2 x 2 puff. Dosis. Kejadia Drug
Related Problem (DRPs) pada pasien asma dosis terlalu tinggi dapat dilihat pada pemberian
dosis lansoprazole tab 2 x 30 mg seharusnya diberikan pada rentang dosis 1 x 30 mg/hari.
Pada pemberian vectrine syr 3 x 10 ml yang seharusnya diberikan pada rentang 2 x 10 ml.
Kejadian Drug Related Problem (DRPs)) tipe yang lainnya yaitu interaksi obat.
Potensial interaksi yang mungkin terjadi yaitu interaksi antara kortikosteroid dengan diuretik
yaitu, kortikosteroid memberikan efek antagonis terhadap efek diuretik, kemudian
meningkatkan risiko hipokalemia jika kortikosteroid diberikan bersama asetozolamid,
diuretik kuat atau tiazid dan diuretik sejenisnya (Baxter, 2008). Mekanisme interaksi yang
terjadi antara kortikosteroid dengan diuretik merupakan interaksi farmakokinetik yaitu,
prednison oral dapat diabsorbsi dengan cepat dalam saluran cerna dan dimetabolisme secara
ekstensif dalam hepar menjadi metabolit aktif. Bentuk intravena mempunyai onset cepat,
bentuk sedangkan inhalasi diabsorbsi minimal (absorbsi linier dengan penambahan dosis).
Selain itu Interaksi obat terjadi pada pemberian kortikosteroid dengan makrolida yaitu
Klaritromisin dan eritromisin dapat mengurangipelepasan methylprednisolon sehingga

28
meningkatkan efek terapi dan efek samping. Jenis makrolida lain juga dapat berinteraksi,
walaupun kemungkinannya kecil. Selain itu pemberian kortikosteroid dan diuretik. Diuretik
loop seperti furosemid, dan diuretic tiazid seperti bendroflumethiazid,dapat menyebabkan
hipokalemia. Hal ini dapat dipicu oleh obat-obatan lain yang menurunkan kadar potassium
seperti kortikosteroid. Pada kasus yang ekstrim, risiko terkena aritmia jantung yang serius
juga meningkat. Kortikosteroid yang tercatat memiliki efek penurunan potassium yang lebih
rendah sehingga lebih aman digunakan karena tidak cenderung menimbulkan masalah yaitu
deksametason, prednisolone, dan betametason.

Kejadian Drug Related Problem (DRPs)


Hubungan jumlah obat dengan tipe DRPs
Pada pasien asma penggunaan obat tanpa indikasi. Pada penelitian ini obat tanpa
indikasi yang sesuai yaitu jika dalam anamnesia, diagnosa, dan hasil laboratorium tidak ada
indikasi diberikannya suatu obat. Penggunaan obat tanpa indikasi yang ditemukan adalah
penggunaan vitamin yang belum jelas manfaatnya untuk kondisi pasien, penggunaan ISDN
untuk pasien dengan gejala sesak tetapi tidak ada indikasi penyakit jantung dan penggunaan
antibiotik untuk kasus yang belum menunjukkan gejala atau hasil laboratorium
menunjukkan adanya infeksi. Terapi obat tanpa indikasi hanya dapat menimbulkan potensi
efek toksik dari obat tersebut dan memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki
efek positif terhadap outcome pasien. Biaya obat tanpa indikasi juga perlu dipertimbangkan
(Cipolle dkk, 1998).
Sebagai perbandingan hasil penelitian Hidayah dan Prasetyo (2011) tentang
identifikasi DRPs pada pasien asma rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
pada tahun 2009 dketahui ;
Hasil uji statistik menggunakan koefisien kontingensi dapat dilihat pada tabel 3 berikut :

Tabel 3. Korelasi jumlah obat dengan tipe DRPs


No Tipe P value Hubungan korelasi
DRPs

1 Indikasi tidak diobati 0,794 0,048 Tidak bermakna secara


statistic
2 Pemilihan obat yang 0,028 0,371 Bermakna secara statistik
tidak tepat Kekuatan korelasi lemah

29
3 Dosis (under 0,255 0,204 Tidak bermakna secara
dosis/over dosis) statistic
4 Interaksi obat 0,031 0,367 Bermakna secara statistic
Kekuatan korelasi lemah

5 Penggunaan tanpa indikasi 0,057 0,328 Tidak bermakna secara


statistic

Uji hubungan jumlah obat dengan tipe DRPs menggunakan uji korelasi koefisien
kontingensi menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah obat yang
digunakan dengan kategori DRPs Drug Improrer Selection (p = 0,028) dengan kekuatan
korelasi lemah (r = 0,371) dan kategori DRPs interaksi obat (p= 0,031) dengan kekuatan
korelasi lemah (r = 0,367). Hasil penelitian Lorensia dan Wijaya (2016) menunjukkan
Terdapat korelasi antara jumlah obat dengan jenis DRPs obat yang kurang sesuai, sehingga
makin banyak jenis obat yang digunakan oleh pasien asma maka makin besar risiko pasien
mendapatkan obat yang kurang sesuai, namun tidak ditemukan korelasi antara jumlah obat
dengan tipe DRPs interaksi obat.
Pada peneitian ini juga diketahui jumlah obat yang digunakan tidak menunjukkan
korelasi yang signifikan pada kategori DRPs untreated indication ( p= 0,794), dosis (p =
0,255) dan unnessary drug therapy (p = 0,057). Salah satu dimensi baru praktek Pelayanan
farmasi yaitu, Pharmaceutical care, yaitu apoteker bekerjasama dengan pasien dan tenaga
kesehatan lain mendesain, mengimplementasikan, dan memonitor Pharmaceutical car plan
yang dapat memberikan hasil terapi yang spesifik dengan pasien yang memiliki fungsi
mengidentifikasi DRPs yang potensial dan aktual, menyelesaikan DRPs yang actual dan
mencegah DRPs yang potensial.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat akan mempengaruhi tipe DRPs
pemilihan obat yang tidak tepat dan interaksi obat. Perlu peran serta apoteker untuk mencegah
DRPs yang potensial dan mengatasi kejadian DRPs yang aktual. Apoteker

DAFTAR PUSTAKA
Baxter,K. 2008. Stockley drug interaction pocket companion. London Pharmaceutical Press.
Cipolle, R.J., Stand, L.M., Morley, P.C. 1998. Pharmaceutical care practine the clinican’s
guide.New York: McGraw-Hill.

30
Cipolle, R.J., Stand, L.M., Morley, P.C. 2004. Pharmaceutical care practine the clinican’s
guide New York: McGraw-Hill.
Dipiro, J.T., Robert, L.,Talbert., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara, G., Wells, L., Michael, P.
212. Pharmacotherapy a pathophysiologic approach Ed 8 Amerika serikat: The
McGraw- Hill Companies
Global Initiative for Asthma. 2015, Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
2, http: www.ginaasthma. org, diakses pada 03 Januari 2020
Ikawati, Z. 2016. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernafasan.. ed 1. Bursa Ilmu,
Yogyakarta
The Global Asthma Report. 2018. Riset Kesehatan Dasar. 2018.
Rambadhe, S. Chakarborty, A., Shrivastava, A., Ptail, U.K., Rambadhe, A. 2012. A survey on
Polupharmacy and Use of Inappropirate Medications (pp 68-73).Toxicol Int.
Kemenkes. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1023/ Menkes/ SK/ XI /2008 Tentang
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta
Lorensia, A., Wijaya, R.I. 2016. Hubungan jumlah obat yang digunakan terhadap risiko
terjadinya drug related problems pada pasiena sma di suatu rumahs akit di Surabaya.
Jurnal Trop. Pharm Vol- 3 No.3
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation (PCNE), 2006. PCNEClassification for
drug related problems Pharmaceutical care research. V5.01.
Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman diagnosis danpenatalaksanaanasma di
Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia

PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Evaluasi Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas


Muara Enim

Ensiwi Munarsih 1*, Yopi Rikmasari 1


1
Farmasi, Program Studi D-III Farmasi, STIFI Bhakti Pertiwi Palembang, Indonesia
1
Biostatistika, STIFI Bhakti Pertiwi, Palembang, Indonesia
*E-mail : ensiwi.munarsih@gmail.com

Abstrak

Pelayanan kefarmasian yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap
pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat kepuasan pasien, serta penyelenggarannya sesuai

31
dengan kode etik dan standar pelayanan yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui
tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim berdasarkan 5
komponen penilaian tingkat kepuasan pasien yaitu : keandalan (reliability), ketanggapan
(responsivenes), jaminan (assurance), empati (emphaty), dan berwujud (tangible). Sampel
penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat di Puskesmas Muara Enim yang memenuhi
kriteria inklusi, berjumlah 100 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner. Analisa
data menggunakan metode Importance Performance Analisys (IPA). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien merasa sangat puas dengan pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim, tetapi
adanya prioritas utama pada kuadran A yang perlu ditingkatkan seperti kecakapan petugas farmasi
dalam menjelaskan cara pemakaian obat yang benar, kelengkapan obat dan obat yang diterima
sesuai dengan keluhan penyakit yang diderita.

Kata Kunci : Tingkat Kepuasan; Pelayanan Kefarmasian; Importance Performance


Analisys (IPA).

Abstract

Pharmaceutical services quality are health services that can satisfy each service user in
accordance with the level of patient satisfaction, and delivery according to the code of ethics and
established service standards. This study aims to determine the level of patient satisfaction with
pharmaceutical services at the Muara Enim Community Health Center based on 5 components of
the level of patient satisfaction, namely: reliability, responsiveness, assurance, empathy, and
tangibility. The sample of this study were all patients who came for treatment at the Muara Enim
Puskesmas who met the inclusion criteria, totaling 100 people. Data collection techniques using
questionnaires. Data analysis uses the Importance Performance Analysis (IPA) method. The results
showed that patients were satisfied with pharmaceutical services at the Muara Enim Health Center,
but there were top priorities in quadrant A that needed to be improved such as the ability of
pharmacists to explain how to use drugs correctly, the completeness of drugs and drugs received in
accordance with complaints of illness.
Keyword : Satisfaction level; Pharmaceutical services; Importance Performance Analisys
(IPA).
PENDAHULUAN
Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang menyelenggarakan
upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Kemenkes, 2016).
Salah satu bentuk pelayanan yang diselenggarakan di puskesmas yaitu pelayanan
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung kepada pasien
yang bertanggung jawab yang berkaitan dengan sedian farmasi, untuk meningkatkan kualitas
kesehatan pasien (Depkes, 2006).
Pelayanan kefarmasian yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat kepuasan pasien, serta
penyelenggarannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan yang ditetapkan

32
(Novaryatiin dkk, 2018). Pelayanan yang bermutu dapat dilihat salah satunya dengan melihat
dari tingkat kepuasan konsumen atau pasien.
Kepuasan pasien dapat digambarkan sebagai harapan dan kenyataan yang dirasakan
pasien pada saat mendapatkan pelayanan kefarmasian, pasien akan merasa puas apabila
pelayanan kefarmasian yang diperoleh pada kenyataannya sama atau melebihi harapan,
sebaliknya pasien akan merasa tidak puas apabila pelayanan kefarmasian yang diperoleh pada
kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan (Pohan, 2007). Menurut kotler dan keller
(2012) komponen penilian tingkat kepuasan pasien meliputi keandalan (reliability),
ketanggapan (responsivenes), jaminan (assurance), empati (emphaty), dan berwujud
(tangible).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Prihandiwati dkk (2018) tentang tingkat
kepuasan pasien Puskesmas Pekauman Banjarmasin terhadap pelayanan kefarmasian pada
tahun 2018 disebutkan bahwa tingkat kepuasan pasien didominasi kategori puas dengan
persentase 68,03%. Puskesmas Muara Enim merupakan puskesmas yang terletak di kabupaten
Muara Enim dengan status akreditasi madya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat
kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menyajikan gambaran
tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim. Data
yang diperoleh berupa data primer menggunakan instrumen kuesioner.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat di Puskesmas
Muara Enim. Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi yaitu : pasien yang berumur lebih
dari 17 tahun, dapat berkomunikasi dengan baik, bersedia mengisi kuesioner dan sudah
pernah berobat sebelumnya di Puskesmas Muara Enim. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik non probability sampling yaitu quota sampling. Jumlah sampel yang
diperoleh sebanyak 100 orang responden.

Prosedur Kerja
Langkah-langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Tahapan Persiapan

33
Pada tahap ini disusun instrumen kuesioner yang diadopsi dari Andriani (2017),
Kemenkes (2014), Rikmasari (2014), dan disesuaikan dengan keadaan Puskesmas Muara
Enim. Kuisioner digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan pasien terhadap layanan
kefarmasian. Selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan cara membagikan
kuesioner pada 30 responden. Data yang terkumpul analisis menggunakan SPSS.
2. Tahap Pengumpulan Data
Hasil kuesioner yang telah di uji validitas dan reliabitasnya selanjutnya diberikan
kepada responden.
3. Tahap Pengolahan Data
Kuesioner yang telah diisi responden selanjutnya dinilai menggunakan skala likert,
yaitu dengan melakukan skoring terhadap masing-masing jawaban pasien dengan skala 1
sampai 5 (Supranto, 2011). Data selanjunya dianalisa menggunakan metode Importance
Performance Analysis (IPA)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian evaluasi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Muara Enim, dari 100 orang responden diperoleh hasil :

Tabel 1. Karakteristik Jenis Kelamin Responden


Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 61 61
Perempuan 39 39
Jumlah 100 100
Responden yang bersedia mengisi kuisioner sebanyak 100 orang, terdiri dari 61 (61%)
laki-laki dan 39 (39%) perempuan. Jumlah laki-laki lebih banyak diandingkan dengan
perempuan. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan tingkat kepuasan pelayanan
kesehatan. Namun menurut Rahmqvist (2001), laki-laki cenderung lebih merasa puas
dibandingkan dengan perempuan terhadap masalah layanan kesehatan.

Tabel 2. Usia Responden


Usia Jumlah Persentase (%)
15-19 8 8
20 – 29 24 24
30 -39 32 32
>40 36 36
Jumlah 100 100

34
Berdasarkan Tabel 2. jumlah responden paling banyak merupakan responden dengan
usia >40 tahun. Penelitian Oroh dkk tahun 2014 menyimpulkan bahwa secara emosional
pasien yang usianya lebih tua cenderung lebih terbuka dibanding pasien muda, sehingga
pasien tua memiliki harapan lebih rendah. Artinya pasien tua lebih cepat merasa puas.

Tabel 3. Pendidikan akhir responden


Pendidikan Jumlah Persentase (%)
SMA 56 56
Sarjana 44 44
Jumlah 100 100

Tingkat pendidikan terakhir dapat mempengaruhi pola pikir masing-masing pasien.


Semakin tinggi tingkat pendidikan pasien maka semakin tinggi pula keinginan, harapan dan
kepercayaan yang diberikan oleh tenaga farmasi demi kesembuhan pasien (Yuniarta dan
Suharto,2011).

1. Analisa Tingkat Kepuasan


Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus tingkat kepuasan dan rata-rata tingkat
kepuasan di peroleh hasil seperti pada tabel 4.

Tabel 4. Analisis Tingkat Kepuasan


Rata-rata Tingkat
Dimensi
Kepuasan (%)
Daya Tanggap 97.67
Berwujud 99.9
Keandalan 96.9
Jaminan 90.4
Empati 89.8
Rata-rata Kepuasan 94.9

Rata-rata tingkat kepuasan pelayanan kefarmasian menunjukkan nilai sebesar 94.9%,


maka dikatakan pasien sudah sangat puas dengan pelayanan yang diberikan oleh layanan
kefarmasian Puskesmas tersebut. Arikunto (2006) menyatakan bahwa jika nilai kepuasan
lebih dari 75% maka dapat dikatakan pasien sudah sangat puas terhadap pelayanan yang

35
diberikan. Namun tidak cukup hanya dilihat dari aspek kepuasan dalam keseluruhan
pelayanan, tetapi perlu diperhatikan aspek-aspek kepuasan dari masing-masing dimensi.

2. Importance Performance Analysis


Analisa data dilakukan dengan menghitung rata – rata kinerja dan harapan,
menghitung tingkat kepuasan antara kinerja dan harapan dengan menampilkan diagram
kartesius yang membandingkan antara tingkat harapan pasien (Y) dengan tingkat kinerja (X)
di Puskesmas Muara Enim. berikut diagram kartesius untuk analisis Importance Performance
Analysis (Supranto,2011). Untuk melihat secara lebih terperinci mengenai atribut-atribut yang
perlu untuk dilakukan perbaikan. Nilai rata-rata penilaian kinerja dan penilaian harapan
dipetakan dalam diagram kartesius, sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram Kartesius


Hasil pemetaan pada diagram kartesius dapat terlihat beberapa atribut yang perlu
perbaikan dan atribut-atribut yang perlu dipertahankan oleh pihak puskesmas. Atribut tersebut
terbagi kedalam 4 kuadran (A, B, C, dan D) sesuai dengan tingkat kepentingan pelanggan dan
kinerja tenaga kefarmasian di Puskesmas Muara Enim.
a. Kuadran A
Kuadran A adalah wilayah yang berisikan atribut-atribut yang dianggap penting oleh
pasien, namun dalam kenyataannya atribut-atribut ini masih belum sesuai dengan yang
diharapkan oleh pasien. Dalam hal ini Puskesmas perlu melakukan perbaikan sebaik mungkin
untuk meningkatkan kepuasan pasien terhadap atribut yang termasuk kedalam kuadran
tersebut. Beberapa solusi perlu dilakukan guna perbaikan atau penyesuaian terhadap beberapa
hal yang menjadi prioritas. Perlu adanya penambahan waktu dalam memberikan informasi
obat agar dalam penyampaian pasien mudah paham dan dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan mudah dimengerti. Kenyataanya kelengkapan obat dianggap kurang

36
karena tempat penyusunan obat kurang rapi, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan
lemari atau etalase agar terlihat rapi.
b. Kuadran B
Kuadran B adalah daerah yang memuat atribut-atribut yang dianggap penting oleh
pasien, dan atribut-atribut tersebut dianggap telah sesuai dengan keinginan pasien sehingga
tingkat kepuasan pasien relatif lebih tinggi, sehingga perlu untuk dipertahankan oleh pihak
puskesmas karena sudah bisa memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan pasien
sehingga pasien merasa puas. Butir pertanyaan yang terdapat kuadran B yaitu : pasien
mendapatkan informasi yang jelas dan mudah dimengerti tentang pelayanan obat di
puskesmas, petugas berpakaian rapi dan sopan, petugas farmasi melayanin dengan ramah
sopanobat yang diterima keadaan baik dan rapi sesuai aturan, dan etiket mudah dibaca.
c. Kuadran C
Kuadran C adalah daerah yang berisikan atribut-atribut yang dianggap kurang penting
oleh pasien dan pada kenyataannya kinerja pihak puskesmas pun dinilai kurang memuaskan.
Tidak menutup kemungkinan Kuadran C pada waktu yang akan datang menjadi perhatian
yang penting oleh pasien, sehingga puskesmas juga harus mempertimbangkan hal tersebut.
Butir pertanyaan yang terdapat pada kuadran C yaitu petugas farmasi memberi tahu lamanya
pemberian obat, kebersihan dan kenyaman ruang tunggu farmasi, petugas farmasi memberi
kesempatan pasien dalam menyampaikan keluhannya, dan petugas farmasi memberikan
perhatian kepada keluhan pasien.

d. Kuadran D
Kuadran D adalah wilayah yang memuat atribut-atribut yang dianggap kurang penting
oleh pasien dan kinerja yang dilakukan oleh pihak puskesmas dirasakan terlalu tinggi atau
berlebihan, sehingga puskesmas tidak perlu melakukan perbaikan. Butir pertanyaan yang
tedapat kuadran D yaitu petugas farmasi cepat tanggap terhadap keluhan pasien, petugas
farmasi mampu memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi oleh pasien,
kenyamanan ruang tunggu sejuk tersedia sarana hiburan, dan petugas kefarmasian siap
membantu.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data yang dilakukan terhadap
pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim mengenai kepuasan pasien yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa pelayanan kefarmasian di Puskesmas Muara Enim sangat

37
puas dengan adanya prioritas utama untuk ditingkatkan meliputi : petugas farmasi
menjelaskan cara pemakaian obat yang benar, kelengkapan obat di Puskesmas yang memadai
dan obat yang diterima sesuai dengan keluhan penyakit yang diderita.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Sdri. Nadya Lenzi Arza yang telah
membantu dalam pengumpulan data dan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi
dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.

DAFTAR PUSAKA
Andriani, A. 2017. Hubungan pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien di ruangan poli
umum puskesmas Bukit Tinggi. Journal Endurance. 2 (1). 47-49.
Arikunto S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik ( edisi revisi 6). Jakarta : PT
Rieka Cipta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman penyelenggaraan dan prosedur
rekam medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta. Depkes RI
Kotler,P., Keller, K. 2012.Marketing management.New Jersey.Prentice Hall.
Kementerian Kesehatan, 2014. Tentang pusat kesehatan masyarakat. Jakarta. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan, 2016.Tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Novaryatiin, S., Ardhany, S.D., Aliyah, S. 2018. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
kefarmasian di RSUD Dr. Murjani Sampit. Borneo Journal of Pharmacy. 1(1):22-26.
Oroh, M.E, Rompas, S., dan Pondaag, L. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap pelayanan keparawatan di ruang interna
RSUD Noongan. Jurnal Keperawatan, 2(2).
Prihandiwati,E.,Muhajir,M.,Alfian,R.,Feteriyani,R.2018. Tingkat kepuasan pasien puskesmas
Pekauman Banjarmasin Terhadap pelayanan kefarmasian, Banjarmasin, Journal Of
Current Pharmaceutical Sciences, Vol. 1, No. 2.
Pohan, I.S. 2007. Jaminan mutu layanan kesehatan : Dasar-dasar Pengertian dan
Penerapan. Jakarta. EGC.
Rikmasari, Y. 2014. Pengukuran kinerja instalansi farmasi rumah sakit X dengan pendekatan
balanced scorecard. Jurnal manajemen dan pelayanan farmasi. 4(2).
Rahmqvist, M. (2001) Patient satisfication in relation to age, health status and other
background factor : A modal for comparison of care units. International Journal of
Quality In Health Care. 13(5), 385-390.
Suprapto, J., 2011, Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan, Jakarta. Rineka Cipta.
Yuniarta, E dan Suharto, G. (2011). Hubungan tingkat pendidikan pasien terhadap kepuasan
pemerian informed consent di bagian bedah RSUP Dr. Kariadi Semarang. (dissertation
Faculty of Medicine)

38
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Pemeriksaan Kandungan β-karoten dalam Pepaya, Wortel, danTomat Menggunakan


HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

Benedictus Wicaksono Widodo*, Miranti Dwi Hartanti*, Yunida*, Rika Saputri*, Fitri*,

SonlimarMangunsong**
*Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Palembang
** Poltekes Kemenkes Palembang Korespondensi: yunidasimanjuntak21@gmail.com

ABSTRAK

39
β-karoten adalah karotenoid paling mendasar, merupakan karotenoid yang paling
umum dan banyak dipelajari. Karotenoid adalah fitonutrien yang memberikan warna kuning,
oranye, dan merah yang khas untuk berbagai buah dan sayuran. β-karoten penting tidak hanya
untuk warna yang diberikan pada bahan makanan, tetapi juga karena berbagai manfaat
kesehatan yang terkait. Karotenoid merupakan prekursor yang paling kuat dari vitamin A.
Karotenoid memiliki kapasitas antioksidan yang kuat dan menawarkan berbagai manfaat
kesehatan seperti menurunkan risiko penyakit jantung dan jenis kanker tertentu,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan perlindungan dari degenerasi makula terkait usia -
penyebab utama kebutaan permanen dikalangan orang dewasa. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif yang tersedia untuk memperkirakan
asupan β-karoten dari pepaya, tomat, dan wortel. β-karoten dianalisis dengan kromatografi
cair kinerja tinggi (HPLC) fase terbalik menggunakan kolom C18 dalam kondisi sistem
gradien biner. Asetonitril : metanol (85 : 15) merupakan fase gerak terbaik untuk pemisahan.
Deteksi β-karoten dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. β-karoten terdeteksi pada
semua sampel (pepaya, tomat, dan wortel). Tomat memiliki jumlah β-karoten tertinggi, tetapi
perbedaan jumlah β-karoten antara tomat dengan dua sampel lainnya (wortel dan pepaya)
sescara tidak signifikan. Pepaya, tomat, dan wortel terbukti secara ilmiah mengandung β-
karoten yang memiliki beberapa manfaat kesehatan. Untuk mencapai asupan β-karoten yang
direkomendasikan, yaitu 2-4 mg / hari, orang setiap hari harus mengkonsumsi±210-
421grampepaya,tomat,atau wortel.

Kata kunci: β-karoten, pepaya, tomat, wortel, HPLC fase terbalik

ABSTRACT

Β-carotene is a principle carotenoid and the most common and widely studied
carotenoids. Carotenoids is the phytonutrients that impart a distinctive yellow, orange, and
red color to various fruits and vegetables. β- carotene is important not only for the color that
imparts to the food stuffs, but also because of the myriad of associated health benefits. It is
the most potent precursor of vitamin A. It has a potent antioxidant capacity and offers an
array of health benefits such as lowering the risk of heart diseases and certain types of
cancers, enhancing the immune system and protection from age-related macular
degeneration-the leading cause of irreversible blindness among adults. The purpose of this
study is to obtain the quantitative and qualitative data available for estimating the intake of
β-carotene from papaya, tomatoes, and carrots. β-carotene were analyzed with reversed
phase high-performance liquid chromatography (HPLC) using C18 column under binary
gradient system conditions. Acetonitrile : methanol (85 : 15) seemed to be the best mobile
phase for separation. Detection of β-carotene was carried out at wavelength 210 nm. β-
carotene was detected in all samples (papaya, tomatoes, and carrots). Tomatoes had the
highest amount of β-carotene, but the difference amount of β-carotene between tomatoes with
two other samples (carrots and papaya) was not significant. Papaya, tomatoes, and carrots
are scientifically proved contains β-carotene that have several health benefits. To achieve
recommended β-carotene intake which is 2-4 mg/d, everyday people must consumes ± 210 -
421 grams papaya, tomato, orcarrot.

Keyword: β-carotene, papaya, tomato, carrot, reversed phase HPLC

Pendahuluan
β-karoten adalah suatu provitamin A yang terdiri dari dua kelompok retinil. β-karoten

40
diuraikan di mukosa usus halus oleh β-karoten dioksigenase menjadi retinal, salah satu bentuk
vitamin A. β- karoten adalah suatu antioksidan yang dapat ditemukan dalam buah dan sayur
yang berwarna kuning, oranye, dan sayuran daun yang berwarna hijau.1
Karotenoid memiliki aktivitas biologi yang bervariasi, termasuk kemungkinan
aktivitas antioksidan, memperkuat sistem kekebalan tubuh, menghambat mutagenesis, dan
menghambat pertumbuhan tumor.Karotenoid juga terkait dengan beberapa efek yang sangat
penting dalam bidang kesehatan, antara lain mengurangi risiko gangguan mata yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk melihat dan katarak, mengurangi risiko kanker, dan
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.2
HPLC(HighPerformanceLiquidChromatography)padadasarnyaadalahkromatografikol
om yang diperbaharui dan diperlengkapi dengan teknologi tinggi sehingga tidak seperti pada
kromatografi kolom, dimana pelarut mengalir melalui kolom dengan mengikuti hukum
gravitasi, pada HPLC pelarut dialirkan dengan cepat, dipompa ke atas dengan tekanan tinggi
sampai dengan 400 atmosfer sehingga membuat kerjanya menjadi lebihcepat.3
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif
kandungan β-karoten dalam sampel tomat, papaya, dan wortel dengan menggunakan
metodeHPLC.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian analitik eksperimental. Penelitian ini dilakukan
dengan menganalisis β-karoten menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) fase
terbalik menggunakan kolom C18 dalam kondisi sistem gradien biner. Asetonitril : metanol
(85: 15) merupakan fase gerak terbaik untuk pemisahan. Deteksi β-karoten dilakukan pada
panjang gelombang 210 nm.

Hasil
Konsentrasi standar β-karoten yang digunakan adalah 10 ppm; dengan waktu retensi
β-karoten standar adalah 6,423 menit; dan area di bawah kurva β-karoten standar adalah
198635,9. Setelah dilakukan analisis, β-karoten terdeteksi pada semua sampel (pepaya,
tomat, dan wortel).

Tabel 1. berat sampel, retention time dan area di bawah kurva sampel tomat, pepaya, dan
wortel.
No Berat Sampel Waktu Retensi Area di Bawah Kurva

41
1. Pepaya = 10,0378 gram 6,438 185944,0
2. Tomat = 10,0147 gram 6,373 195854,2
3. Wortel = 10,0783 gram 6,466 187345,2

Gambar 1. Kromatogram larutan β-karoten standar pada tanggal 13 Februari 2020 pukul
09.16 WIB.

Gambar 2. Kromatogram β-karoten standar dan sampel pepaya, tomat, dan wortel tanggal 13
Februari 2020 pada pukul 14.00 WIB.

42
Gambar 3. Kromatogram sampel pepaya.

Gambar 4. Kromatogram sampel tomat.

Gambar 5. Kromatogram sampelwortel.

Berdasarkan hasil percobaan, luas area sampel yang mengandung β-karoten masih

43
berada dalam kisaran luas area yang mendekati β-karoten standar sehingga kadar β-karoten
dalam sampel dapat dihitung menggunakan perbandingan standar dengan sampel, yaitu
konsentrasi dan luas areanya. Adapun perhitungan konsentrasi β-karoten sebagai berikut.
[β-karoten] dalam Mg β-karoten dalam
No Berat Sampel
Sampel Sampel
1. Pepaya = 10,0378 gram 9,3610 ppm 0,0936 mg
2. Tomat = 10,0147 gram 9,8599 ppm 0,0986 mg
3. Wortel = 10,0783 gram 9,4316 ppm 0,0943 mg

Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh waktu retensi larutan beta karoten standar
yang sedikit berbeda, namun perbedaannya tidak signifikan. Waktu retensi betakaroten
standar pada trial tanggal 13 Februari 2020 pukul 09.16 WIB diperoleh RT = 6,350 menit
dan pada percobaan yang dilakukan pada pukul 14.00 diperoleh RT = 6,423menit.
Menurut teori, waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan oleh analit (sampel)
mulai saat injeksi kemudian melewati kolom, keluar dari kolom untuk seterusnya sinyalnya
ditangkap secara maksimum. Waktu retensi ini tergantung beberapa aspek sebagai berikut.4
a. Tekanan yang digunakan (karena akan mempengaruhi kecepatan aliran pelarut).
b. Sifat/karakteristik dari fase diam (tidak hanya bahan penyusunnya, tetapi juga ukuran
partikelnya).
c. Ketepatan komposisi atau perbandingan pelarut.
d. Suhu/temperature pelarut.
Dari hasil percobaan diperoleh waktu retensi sampel pepaya (RT = 6,438 menit),
tomat (RT = 6,373 menit), dan wortel (RT=6,466 menit) masih berada dalam kisaran nilai
yang mendekati waktu retensi larutan β-karoten standar. (RT β-karoten yang digunakan
untuk analisa kualitatif dan kuantitatif adalah RT yang diperoleh pada percobaan pukul
14.00,RT=6,423menit). Artinya,secara kualitatif telah dibuktikan dengan metode yang
ilmiah bahwa dalam buah pepaya, tomat, dan wortel terdapat kandungan β-karoten yang
bermanfaat bagikesehatan.
Kandungan β-karoten tertinggi terdapat dalam sampel tomat walaupun sampel tomat
adalah sampel yang jumlahnya paling kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sampel
tomat adalah sampel yang konsistensi nya paling lunak, berair, dan lebih mudah dihaluskan
sehingga β-karoten dari sampel tomat yang terlarut dalam pelarut n-heksana lebih maksimal
dibandingkan sampel papaya dan wortel.
Jumlah molekul yang dianalisa akan mempengaruhi area di bawah kurva, yang mana

44
nilai area dibawah kurva akan digunakan untuk menghitung konsentrasi komponen dalam
sampel.Sepertiyang telah disebutkan sebelumnya, area di bawah kurva berbanding lurus
dengan jumlah senyawa yang melewati detector. Jika larutan sampel memiliki konsentrasi
yang lebih kecil maka area di bawah kurva akan lebih kecil. 6 Jadi, meskipun waktu retensi
pepaya dan wortel paling mendekati waktu retensiβ-karoten standar, akan tetap diarea
dibawah kurva wortel dan papaya lebih kecil dibandingkan dengan tomat, sehingga sesuai
dengan teori maka konsentrasi β-karoten dalam sampel pepaya dan wortel lebih kecil
dibandingkan konsentrasi β-karoten dalam sampeltomat.
Dari teori diketahui bahwa konsumsi β-karoten yang direkomendasikan adalah 2-4
mg/hari.6 Hasil percobaan menunjukkan dalam setiap 10 gram sampel pepaya, wortel, dan
tomat maka terdapat 0,095 mg beta karoten sehingga untuk memenuhi kebutuhan β-karoten
sesuai dengan yang direkomendasikan, yaitu 2-4 mg/hari diperlukan konsumsi buah atau
sayur yang mengandung beta karoten sejumlah ± 210 - 421 gram/hari (sekitar 0,5kg).

Simpulan dan Saran


Secara kualitatif dapat diidentifikasi bahwa dalam sampel pepaya, tomat, dan wortel
mengandung komponen senyawa β-karoten yang bermanfaat bagi kesehatan. Secara
kuantitatif diperoleh bahwa kandungan β-karoten dalam sampel tomat adalah yang paling
tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sampel tomat adalah sampel yang
konsistensinya paling lunak, Paling banyak mengandung air,dan mudah dihaluskan sehingga
jumlah β-karoten yang terlarut dalam pelarut n-heksana adalah yang paling maksimal
dibandingkan dua sampellainnya.
Untuk percobaan selanjutnya agar dilakukan analisa secara kualitatif dan kuantitatif
menggunakan HPLC untuk komponen senyawa lainnya yang sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.

Ucapan Terima Kasih


Penulisan mengucapkan terima kasih kepada pihak BKU Farmakologi Kedokteran
Program Studi Magister Ilmu Biomedik Universitas Sriwijaya yang telah memfasilitasi
penelitian ini sehingga dapat terlaksana.

Daftar Pustaka
1. Koch WM. Early Diagnosis and Treatment of Cancer Series: Head and Neck Cancers.
Philadelphia: Saunders. 2009.

45
2. Olson. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium and Carotenoids.
Washington: National Academy Press. 2000.
3. Ardianingsih R. Penggunaan High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
dalam Proses Analisa Deteksi Ion. Berita Dirgantara. 2009; 10(4): 101-104.
4. Susanti M., Dachriyanus. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Padang: Lembaga
Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Andalas.2017.
5. Skoog et al. Principle of Instrumental Analysis. Fifth Edition. Philadelphia:
Saunders College Publishing.. 1998.
6. Lachance PA. Natural Cancer Prevention Science. 1996;272:1860–1.

PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Hubungan Usia, Kepatuhan Dengan Tekanan Darah Pasien Hipertensi Yang Berobat Di
Klinik Pratama Korpri Provinsi Sumatera Selatan

Wahyuni1), Sarmalina Simamora, Apt, M.Kes 2)

1)
Mahasiswa RPL Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang
2)
Dosen Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang E-mail :yuni25026@gmail.com

ABSTRAK

Hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan terapi jangka panjang, sehingga diperlukan

46
kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan untuk melakukan kontrol tekanan darah secara
teratur dan menurunkan risiko komplikasi seperti jantung, stroke dan gagal ginjal sehingga
dapat membawa penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan kematian. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan usia, kepatuhan dengan tekanan darah pasien
hipertensi yang berobat di Klinik Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan.Penelitian ini
adalah penelitian observasional dengan rancangan analitik cross sectional/ potong
lintang.penelitian ini dilakukan di Klinik Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan
periode januari hingga april 2019.pengumpulan data diambil dari data rekam medik pasien
hipertensi.data dianalisis secara statistik menggunakan Uji Fisher Exact.Hasil uji statistik
menggunakan Uji Fisher Exact untuk usia dengan tekanan darah sebesar 0,197 yang artinya
bahwa H0 diterima, dan untuk tingkat kepatuhan dengan tekanan darah sebesar 0,006 yang
artinya bahwa H0 di tolak.Sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia dengan tekanan darah, dan ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kepatuhan pasien dengan tekanan darah pasien hipertensi yang berobat di Klinik Pratama
KORPRI Provinsi SumateraSelatan.

Kata Kunci : Usia ; Kepatuhan ; Tekanan Darah

ABSTRACT
Hypertension is a disease that requires long-term therapy, so it requires compliance of
patients in undergoing treatment to control blood pressure regularly and reduce the risk of
complications such as heart disease, stroke and kidney failure so that patients can be brought
into serious cases and even death. This study aims to analyze the relationship of age,
compliance with blood pressure of hypertensive patients who seek treatment at the KORPRI
Pratama Clinic in South Sumatra Province. This study was an observational study with cross
sectional analytic design / cross section. until April 2019. data collection was taken from
medical record data of hypertensive patients. data were analyzed statistically using Fisher
Exact Test. The results of statistical tests used the Fisher Exact Test for ages with blood
pressure of 0.197 which means that H0 was accepted, and for the level of compliance with
blood pressure amounting to 0.006, which means that H0 is rejected. So that it can be
interpreted that there is no significant relationship between age and blood pressure, and
there is a significant relationship between the level of compliance of patients with blood
pressure of hypertensive patients who seek treatment at Klinik Pratama KORPRI Sumatra
Strait Province an.

Keyword : Age ; obedience ; blood pressure

PENDAHULUAN
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun 2015 menunjukkan
sekitar 1,13 milyar orang didunia menderita hipertensi artinya 1 dari 3 orang didunia
terdiagnosis menderita hipertensi, hanya 36,8 % diantaranya yang minum obat. Jumlah
penderita hipertensi didunia terus meningkat setiap tahunnya, dan ada 9,4 juta orang
meninggal akibat hipertensi dan komplikasi (Wisnubro,2018)
Di Indonesia berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal

47
kronis, diabetes melitus dan hipertensi mengalami kenaikan dibandingkan dengan Riskesdas
2013. Hipertensi menjadi penyakit paling banyak dialami penduduk Republik
Indonesia.Kementerian Kesehatan meliris prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran
pada penduduk umur ≥18 tahun naik dari 25,8 % pada Riskesdas 2013 menjadi 34,1 % pada
tahun 2018.Prevalensi hipertensi tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Selatan (44,1%)
dan provinsi Papua dengan prevalensi terendah (22,2%).(Rossa, 2018)
Adapun prevalensi penyakit hipertensi di Sumatera Selatan pada tahun 2018 menurut
Riskesdas 2018 sekitar 30%. (Riskesdas, 2018). Dari data Badan Pusat Statistik, dari jumlah
kasus 10 penyakit terbanyak di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2017 terdapat 196.214 kasus
hipertensi. (Data Sensus BPS,2017).
Sementara angka kejadian Hipertensi di kota Palembang tahun 2017 masih tinggi
yaitu 23% atau 31.804 kasus hipertensi (DinkesKota,2017).
Kepatuhan dan motivasi yang kuat yang berasal dari diri pasien hipertensi untuk
sembuh akan memberikan pelajaran yang berharga. Proses untuk menjaga tekanan darah
pasien hipertensi tidak hanya dengan perawatan yang tidak menggunakan obat seperti
olahraga, namun juga dilakukan dengan cara pengobatan menggunakan obat. Pengobatan
dilakukan dengan cara melakukan kontrol ke puskesmas atau klinik pratama. Pengobatan
pasien hipertensi yang sesuai dengan jadwal kunjungan di harapkan dapat menjaga kestabilan
tekanan darah pasien hipertensi tetap normal.(Prabandari,2014)
Banyak penelitian yang sudah dilakukan tentang hipertensi diantaranya menyebutkan
bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang hipertensi dengan motivasi untuk
memeriksakan diri. Semakin tinggi tingkat pengetahuan pasien tentang hipertensi, maka
semakin tinggi tingkat motivasi memeriksakan diri begitu pula sebaliknya. (Prabandari,
2014).
Penelitian yang lain oleh Puspita (2016) menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kepatuhan yaitu, Tingkat pendidikan terakhir (pendidikan tinggi 23.8 %
dan pendidikan rendah 76,2%), lama menderita hipertensi > 5 tahun (56 %) dan < 5 tahun
(44%), tingkat pengetahuan tentang hipertensi (pengetahuan tinggi 42,9% dan pengetahuan
rendah 57,1 %), dukungan keluarga ( dukungan tinggi 59,5% dan dukungan rendah 40,5%),
peran petugas kesehatan ( peran tinggi 60,7% dan Peran rendah 39,3%), motivasi berobat
(motivasi tinggi 53,6% dan motivasi rendah 46,4%).
Faktor resiko penyakit hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
genetik, kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, kebiasaan minum-
minuman berakohol, obesitas, kurang aktivitas fisik, stres dan penggunaan estrogen.

48
(Infodatin,2014)
Prevalensi ketidakpatuhan pengobatan hipertensi masih bervariasi. Yang tidak
termasuk ketidakpatuhan adalah pasien yang tidak rutin kontrol, dosis obat yang tidak
adekuat berperan dalam tingginya angka kegagalan terapi hipertensi. Dari 80 pasien
yang pertama kali berobat dan di diagnosis hipertensi, yang tidak patuh pada kelompok
usia dibawah 60 tahun (65,1 %) dibandingkan usia di atas 60 tahun (62,2%).
(Darnindro,2017)
Pada Penelitian kali ini penulis mengambil faktor resiko usia dan kepatuhan
terhadap tekanan darah pasien hipertensi.Hal ini merujuk kepada penelitian yang telah
dilakukan oleh Fajar Afriandi (2010) bahwa faktor usia adalah faktor utama penyebab
terjadinya hipertensi dengan prevalensi nya pada usia diatas 45 tahun yakni sebesar
74,1%.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan analitik cross
sectional / potong lintang.

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2019 di Klinik Pratama Korpri Provinsi
Sumatera Selatan.

Populasi dan Sampel Populasi


Populasi
Populasi di ambil dari data Rekam Medik pasien hipertensi di Klinik Pratama Korpri
Provinsi Sumatera Selatan bulan Januari hingga bulan April 2019. Total populasi berdasarkan
data pada bulan Januari 2019 yaitu 120 pasien. Data ini mencakup seluruh pasien hipertensi
baik BPJS maupun Non BPJS.

Sampel
Pengambilan sampel ditetapkan menurut (Isaac dan Michael). dengan rumus Sehingga
di dapat sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 83 orang pasien hipertensi dari total
populasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Simple Random Sampling yang
cara pengambilannya menggunakan nomor undian.

49
Cara Pengumpulan Data
1. Peneliti mencatat nama beserta nomor rekam medik pasien hipertensi sebanyak 83 orang
dari jumlah keseluruhan pada kertas kerjapenelitian.
2. Peneliti mencatat usia pasien hipertensi, tekanan darah pasien sesuai nama dan nomor
rekam medik nya.
3. Peneliti mencatat tanggal pasienberobat yang di uji Chi-Square terdapat nilai harapan dari
sell pada tabel ada yang kurang dari 5 . Pengambilan keputusan Jika nilai sig > 0,05, Ho
diterima Jika nilai sig < 0,05, Ho ditolak

HASIL PENELITIAN
1. HASIL
Hasil didapat bahwa responden yang berusia > 45 tahun dan menunjukkan tekanan
darah normal sebanyak 8 orang sedangkan yang tekanan darah yang tidak normal sebanyak 58
orang. Untuk responden yang berusia < 45 tahun tidak ada yang tekanan darahnya menjadi
normal sedangkan tekanan darah yang tidak normal sebanyak 17orang. Dan hasil yang
didapat dari kepatuhan dengan tekanan darah bahwa dari 24 responden yang patuh melakukan
kontrol hanya ada 6 orangyang tekanan darahnya menjadi normal dan ada 18 orang responden
yang tekanan darahnya tetap tidak normal. Sedangkan dari 59 responden yang tidak patuh
melakukan kontrol ada 2 orang responden yang tekanan darahnya menjadi normal dan 57
orang yang tidak patuh tekanan darahnya tetap tidak normal.

Tabel 1.
Data kasus hipertensi periode Januari – April 2019 mulai bulan Januari hingga April 2019.
No Kategori Hipertensi Jumlah
1 Normal-Tinggi 25
(TD : 130- 139/85-89 mmHg)
2 Hipertensi Derajat 1 38
(TD : 140- 159/90-99 mmHg)
3 Hipertensi Derajat2 13
(TD : 160- 179/100-109 mmHg)
4 Hipertensi Derajat 3 7
(TD:180/110mmHg)
Total 83

Alat Pengumpulan Data

50
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa alat penunjang dalam
pengumpulan data. Diantaranya adalah data Status Rekam Medis, alat tulis, dan kamera.

Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
a. Usia pasien hipertensi
b. Kepatuhan pasien hipertensi
2. Variabel Dependen
Adalah tekanan darah pasien

Cara Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel kemudian di analisis dengan
menggunakan Program SPSS dengan Uji Fisher Exact karena pada

Tabel 2.
Distribusi frekuensi usia pasien hipertensi
Usia Kategori Usia Jumlah Persentase
(tahun)
> 45 Tua 66 79,5%
≤ 45 Muda 17 20,5%
Total 83 100 %
Tabel 3.
Distribusi frekuensi Kepatuhan pasien hipertensi melakukan kontrol tekanan darah
Kategori
No Jumlah Persentase
Kepatuhan
1 Patuh 24 28,9%
2 Tidak Patuh 59 71,1%
Total 83 100%

Tabel 4.
Distribusi frekuensi kontrol tekanan darah pasien hipertensi
Tekanan
No Jumlah Persentase
Darah
1 Normal 8 9,6%
2 Tidak normal 75 90,4%
Total 83 100%

Tabel 5.
Hubungan Usia dengan Tekanan Darah

51
TekananDarah
Normal p value
Tidak Normal Total
Usia Terkontrol
N % N % n %
Tua 8
12,1 % 58 87,9 % 66 100 %
0,197
Muda 0 0% 17 100 % 17 100 %
Total 8 9,6 % 75 90,4 % 83 100 %

Tabel 6
Hubungan Kepatuhan dengan Tekanan Darah
Tekanan Darah
Kepatuh an
Norm al Terkontrol Tidak Normal Total p val ue
Kontrol
N % n % n %
Patuh 6
25 % 18 75 % 24 100 %
0,006
Tidak Patuh 2 3,4 % 57 96,6 % 59 100 %
Total 8 9,6 % 75 90,4 % 83 100 %

RP = A/(A+B)
C/(C+D) RP = 6/(6+18)
2/(2+57) RP = 7,35

2. PEMBAHASAN
Usia Pasien Hipertensi
Dari 83 responden hipertensi menunjukkan bahwa penderita hipertensi yang berusia
>45 tahun sebanyak 66 orang (79,5%) dan yang berusia <45 tahun (muda) sebanyak 17
orang (20,5%). Hal ini menunjukkan penderita hipertensi banyak di derita oleh pasien yang
berusia diatas 45 tahun, dikarenakan hilangnya elastisitas jaringan dan arterisklerosis serta
pelebaran pembuluh darah.Menurut penelitian yang dilakukan Fajar Apriandi (2010) bahwa
faktor usia adalah faktor utama penyebab terjadinya hipertensi yang prevalensinya pada
usia diatas 45 tahun yakni 74,1 %.

Kepatuhan Pasien Hipertensi Melakukan Kontrol Tekanan Darah


Dari 83 pasien hipertensi, sebanyak 24 orang (28,9%) yang patuh melakukan

52
kontrol sedangkan yang tidak patuh 59 orang (71,1%). Ini berarti tingkat kepatuhan pasien
hipertensi dalam melakukan kontrol di Klinik Pratama Korpri Provinsi Sumatera Selatan
masih rendah. Menurut penelitian Gede Wahyu Pratama (2016) menyatakan dari 97 orang
sampel 63,9% sampel memiliki kepatuhan rendah dan 36,1 % sampel menunjukkan
kepatuhan tinggi terhadap pengobatan hipertensi.

Kontrol Tekanan Darah Pasien Hipertensi


Hasilnya Menunjukkan bahwa tekanan darah pasien hipertensi yang menjadi normal
sebanyak 8 orang (9,6%) dan yang tetap tidak normal sebanyak 75 orang (90,4%).

Hubungan Usia Dengan Tekanan Darah


Provinsi Sumatera Selatan periode Januari hingga bulan April 2019, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan tekanan darah yang normal
terkontrol dan Ada hubungan yang signifikan kepatuhan dalam melakukan kontrol
dengan tekanan darah yang normal terkontrol
2. Pasien hipertensi di Klinik Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan dalam
melakukan kontrol tingkat kepatuhannya masihrendah.

Berdasarkan hasil penelitian dengan Uji Fisher Exact didapatkan hasil p = 0,197.dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 diterima,sehinggadapat ditarik kesimpulan tidak
ada hubungan antara usia dengan tekanan darah normal terkontrol.
Pada penelitian ini terdapat 66 orang responden yang usianya diatas 45 tahun dan
semua menunjukan tekanan darah yang masih tinggi saat penelitian, sekalipun mereka sudah
melakukan terapi. Hal yang sama juga terjadi pada responden yang berusia dibawah 45 tahun
(17 orang), dimana tekanan darahnya juga tetap tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa
terkendalinya tekanan darah tidak berhubungan dengan usia.

Hubungan Kepatuhan Dengan Tekanan Darah


Berdasarkan hasil penelitian dengan uji fisher exact didapatkan nilai sebesar
0,006.dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak sehingga dapat ditarik
kesimpulan ada hubungan antara kepatuhan dengan tekanan darah pasien hipertensi yang
berobat di Klinik Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan secara signifikan nilai RP
(Rasio Prevalen) = 7,35 menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh melakukan kontrol 7,35

53
kali lebih besar beresiko tekanan darah nya menjadi tidak stabil bila dibandingkan dengan
pasien yang patuh melakukan kontrol. Hasil penelitian ini yang patuh melakukan kontrol
28,9% sedangkan yang tidak patuh 71,1%.sedangkan hasil penelitian Puspita, E (2016)
menyatakan angka kepatuhan dalam menjalani pengobatan untuk mengontrol tekanan darah
hanya sebesar 13 % dan angka ketidakpatuhan 86%.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 83 pasien hipertensi di Klinik
Pratama KORPRI.

SARAN
Dari hasil penelitian Hubungan Usia, kepatuhan dengan tekanan darah pasien
hipertensi yang berobat di klinik Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan dapat
disarankan:
1. Diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya dengan memperhatikan variabel
lain yang mempengaruhi tekanan darah pasien hipertensi agar normalterkontrol.
2. Diharapkan Klinik Pratama KORPRI mencari tahu apa sebab pasien tidak patuh
melakukan kontrol dan mencari solusi agar pasien menjadipatuh.
3. Diharapkan Klinik Pratama KORPRI lebih optimal dalam memberikan motivasi dan
edukasi terhadap pelayanan kesehatan terutama untuk penderita hipertensi agar lebih
patuh dalam melakukan kontrol tekanan darah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada ALLAH S.W.T atas karunia dan hidayahnya selama ini Untuk
suami ku tercinta Sawaludin, SE dan anaku tersayang Rahmat diman febriansyah, terima
kasih atas dukungan dan do’a nya selamaini. Kepada Ibu Sarmalina Simamora, Apt.M,Kes
terima kasih atas bimbingannya. Kepada Ibu Mindawarnis, S,Si,Apt.M,Kes, Semua Bapak
dan Ibu Dosen Poltekkes Kemenkes Jurusan Farmasi Palembang terima kasih atas bantuan
dan kerjasamanya selama ini. Kepada semua pegawai dan staff Poltekkes Kemenkes Jurusan
Farmasi terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini Kepada keluarga besar Klinik
Pratama KORPRI Provinsi Sumatera Selatan khususnya dr.Unita Magdalena, Putri
Mutmainnah, Agus Ramdhani, Penilia Despa dan semua rekan-rekan kerja di Klinik Pratama
Terima kasih atas bantuan dan doanya selama ini. Teman-teman seperjuangan RPL banyak
cerita dan kenangan yang tak terlupakan terutama untuk Yuk Yuniar di Puskesmas Merdeka.

54
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Heltri Mahardika, 2014. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VIII Tirotoksikosis
Indeks, Wayne dan New Castelle. (https://id.scrib.com) Diakses 10 Mei2019.
Apriandi, F, 2010. Hubungan antara peningkatan usia dengan kejadian hipertensi pada
pasien yang berobat jalan di Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada, Jakarta pada
tanggal 19 sampai 31 Juli 2010. (https://repositori.uinjkt.ac.id).pdf.Di akses 21 April
2019.
Artiyaningrum, B, 2015. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi tidak
terkendali pada penderita yang melakukan pemeriksaan rutin di Puskesmas Kedung
Mundu Kota Semarang tahun 2014 (https://lib.unes.ac.id).pdf. Diakses 9 Mei 2019.
Danindro,N, 2017.Prevalensi ketidakpatuhan kunjungan kontrol pada pasien hipertensi yang
berobat di Rumah Sakit Rujukan Primer dan faktor-faktor yang
mempengaruhi.SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Fatmawati,Jakarta.(Jurnal
penyakitdalam.ui.ac.id).pdf. Di akses 20 April 2019.
Data Densus BPS, 2017.Jumlah kasus 10 penyakit terbanyak di Provinsi Sumsel,2015-
2017.Di akses 15 April 2019 Dinkes Kota, 2017.Profil Dinas Kesehatan kota
palembang.
Pengukuran Tekanan Darah Hipertensi menurut jenis
kelamin,kecamatan,danPuskesmas,Palembang,hal.109(www.dinkes.palembang.go.id)
Infodatin, 2014.Pusat data dan informasi kementrian kesehatan. mencegah dan mengontrol
hipertensi agar terhindar dari kerusakan organ jantung, otak, dan ginjal (
www.depkes.go.id) Di akses 15 April2019.
Irmawati, Rina, 2015.Gambaran faktor resiko yang dapat diubah pada pasien hipertensi di
desa Cimareme wilayah kerja puskesmas Cimarene kabupaten Bandung Barat.
(wwww.academia.edu)Di akses 26 Mei2019
JNC 8, 2014.Tata laksana Terkini Pada Hipertensi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Kridawacana, Jakarta (Dalam Jurnal Natalia D, 2015 (http://ejournal.ukrida.ac.id).pdf.Di
akses 26 April 2019
Kemenkes RI, 2013.Tinjauan Pustaka Definisi Hipertensi. (http://digilib.unila.ac.id).pfd.
Diakses 28 April 2019
Mulyadi, T, 2014. Pengertian Tekanan Darah sistolik dan Diastolik (http://budisman.net)
2014/09.Di akses 28 April2019
Prabandari, 2014. Hubungan Pengetahuan Dengan Motivasi Untuk Memeriksakan Diri
Pasien Hipertensi Pada Lansia Di Puskesmas Kerjo Karanganyar. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. (http:// eprints.ums.ac.id) Bab I. Di
akses 15 April2019
Puspita, E, 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita hipertensi
dalam menjalankan pengobatan (studi kasus di puskesmas gunung pati kota
semarang).(http://Lib-unnes.ac.id).pdf. Di akses 15 April 201
Riskesdas, 2018. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Hasil Pengukuran Pada Penduduk
umur ≥ 18 tahun menurut Provinsi.(www.depkes.go.id)info terkini> hasil. Diakses 25
April2019

55
Rossa, Vania, 2018. Hasil Riskesdas 2018, Penyakit Tidak Menular Semakin Meningkat.
(https://www.suara.com) health. Diakses 16 April 201
Sayogo, S, 2009. Studi Cross – Sectional/potong lintang, Universitas Indonesia. Jakarta
Sumiati.N, 2018. Ketidakpatuhan Pola Makan Pada Pasien Hipertensi di Kota Malang.
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang. (http://eprints.umm.ac.id)
Diakses 27 April 2019
Tambunan, I, 2016. BAB II Pengertian Kepatuhan. (http:// www.academia.edu)
Taufik, M, 2015. Prosedur Pemeriksaan Tekanan Darah.(https://www.academia.edu)
Prosedur.Diakses 28 April 2019
Wisnubro, 2018. Waspada Jumlah Penderita Hipertensi Semakin Meningkat.
(http://Jpp.go.id)humaniora> Kesehatan. Diakses 20 April2019

PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Pengaruh Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru Kategori 1 Di Puskesmas Sosial
Palembang

Reza Agung Sriwijaya1Perawati2

ABSTRAK

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
apoteker untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,
perawat,profesi kesehatan lainnya. Kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan dapat
ditingkatkan dengan pelayanan infomasi obat (PIO) untuk meningkatkan pemahaman
instruksi pengobatan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PIO terhadap
tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis di Puskesmas Sosial Palembang. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen semu dengan rancangan kelompok statis, sehingga terdiri
dari dua kelompok yaitu PIO dan tanpa PIO. Data di peroleh dari kuesioner MMAS-
8.Pengambilan sampel dilakukan secara prospektif berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi
selama bulan Juli-September 2019 dan dianalisis mengguakan uji chi square. Sampel yang
diperoleh sebanyak 40 orang terdiri dari 20 orang dengan PIO 20 orang tanpa PIO .Hasil
penelitian menunjukan bahwa pasien TB sebanyak 75% laki-laki dan perempuan sebanyak
25%.Sebanyak 72,5% usia 16-25 tahun, usia >55 tahun 27,5%. Persentase pasien patuh
dengan PIO adalah kepatuhan rendah- sedang 55%, kepatuhan tinggi 45%. Presentase pasien
tanpa PIO adalah kepatuhan rendah-sedang 90% dan kepatuhan tinggi 10%. Berdasarkan uji
chi square nilai p=0,01 (≤ 0.05) sehingga PIO berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan.
Pelayanan Informasi Obat berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pasien tuberkulosis di
Puskesmas Sosial Palembang.

56
Kata kunci :Tuberkulosis, pelayanan informasi obat, kepatuhan

ABSTRACT

Drug Information Services is a service activity carried out by pharmacists to


provide accurate, unbiased and up to date information to doctors, nurses, other health
professionals and patients. Compliance to achieve treatment success can be improved by
drug information services to improve understanding of treatment instructions. This study
aims to determine the effect of on the level of compliance with tuberculosis patients in
Palembang Social Health Center . This study used quasi experimental method design with
static groups, so that it consists of 2 groups, namely PIO and without PIO. Data was
collected from the MMAS-8 questionnaire. Sampling was conducted by prospectively
based on inclusion and exclusion criteria during July-September 2019 and analyzed using
the chi square test. Samples was 40 people who consisting of 20 people without PIO and
20 people with PIO. The results showed that TB patients were 75% male and 25% female.
Aged 16-25 years, aged > 55 years 27,55%. The percentase of patients compliant with PIO
55% low -moderate adherence, 45% high adherence. The prsentase of patients without
PIO 90% low- moderate adherence, 2% high adherence. Based on chi square analysis the
value of p= 0,01 (≤0,05) so that PIO affects the level of compliance. Drug information
services significantly influence the compliance of tuberculosis patients in Palembang
Social Health Center.

Keyword :Tuberculosis, drug information services, compliance

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium


tuberkulosis yang biasanya akan mempengaruhi paru-paru (TB paru) dan dapat juga
mempengaruhi daerah luar paru (TB ekstra paru). Penyakit menular ini dapat menyebar
melalui udara ketika orang-orang yang terinfeksi tuberkulosis tersebut membuang atau
mengeluarkan bakteri ke udara seperti batuk (WHO, 2015).
Salah satu faktor utama kegagalan terapi adalah ketidakpatuhan terhadap terapi.
Pelaksanaan pelayanan informasi obat merupakan kewajiban farmasis yang didasarkan pada
kepentingan pasien, dimana salah satu bentuk pelayanan informasi obat yang wajib diberikan
oleh tenaga farmasis adalah pelayanan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat
yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas
permintaan masyarakat (Anief, 2007).
Faktor kunci kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah pemahaman tentang
instruksi pengobatan.Dalam hal ini, peningkatan pemahaman tentang instruksi pengobatan
dan peningkatan kepatuhan pasien sangat dipengaruhi intervensi pelayanan kefarmasian, yaitu
pelayanan informasi obat (PIO). Penelitian Gunawan (2017) menyatakan bahwa hasil
kepatuhan dalam pengobatan TB terdapat pasien patuh (90,7%) dan pasien tidak patuh (9,3%)
dan berdasarkan usia terbanyak yang mengalami penyakit TB paru adalah usia >45 tahun

57
(36%) dilanjutkan usia 18-25 tahun (26,7%), usia 26-35 tahun (21,3%), dan terakhir usia <18
tahun (1,3%).
Puskesmas Sosial Palembang merupakan salah satu puskesmas yang ada di kota
Palembang masih banyaknya jumlah pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Sosial Palembang
dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh PIO dan kepatuhan pasien
tuberkulosis di Puskesmas Sosial Palembang.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti akan melakukan penelitian
Pengaruh PIO Terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis paru kategori 1 di Puskesmas Sosial
Palembang. Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
pengaruh pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan pasien tuberkulosis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan metode eksperimen semu (quasi experiment) Randomized
ControlPost test Design. Pengambilan data dilakukan secara prospektif menggunakan
instrument kuesioner MMAS-8.Sampel di penelitian ini adalah semua populasi pasien
tuberkulosis yang terdiagnosa TB paru kategori 1dan mendapatkan obat TB dibulan Juli 2019
di Puskesmas Sosial Palembang. Sampel sebanyak 40 pasien dibagi 2 kelompok yaitu
kelompok pasien yang Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan tanpa Pelayanan Informasi Obat
(PIO). Kelompok pasien PIO masing masing 20 pasien. Selanjutnya 2 kelompok tersebut
diukur kelompok pasien diberikan PIO dan kelompok pasien tanpa PIO. Pasein tanpa PIO
diberikan oleh peneliti waktu pengguaan obat, sedangkan kelompok yang diberikan PIO oleh
peneliti nama obat, waktu pengguaan, cara pengguaan, efek samping dengan penjelasan
leafleat serta stiker untuk mengingat waktu pengguaan minum obat TB.

58
Data Jumlah
Presentase(%)
demografi pasien
Jenis
Laki-laki 30 75
kelamin
Perempuan 10 25

Usia 16-55 tahun 29 72,5


>55 tahun 11 27,5

Pendidikan SD 21 52,5
SLTP 4 10
SLTA 12 30
Sarjana 3 7,5

Pekerjaan Pelajar 3 7,5


PNS 2 5
Wiraswasta 19 47,5
Pegawai swasta 10 25
Ibu rumah tangga 6 15

Kriteria Inklusi :
1. Pasien yang datang berobat kePuskesmas Sosial Palembang, terdiagnosa TB paru kategori
1 yang dan mendapatkan obat.
2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi informed consent.

KriteriaEksklusi :
1. Pasien TB paru kategori 1 dengan penyakit penyerta/ komplikasi.
2. Pasien yang tidak dapat ikut perkembangan.

Dari hasil pelayanan Informasi obat TB kategori 1 di psukesmas social didapat sebagai
berikut:

59
Fase pengobatan
Intensif 17 42,5

Lanjutan 23 57,5

Kepatuhan pasien tuberkulosis berdasarkan kuesionerMMAS-8


Jumlah dan persentase pasien
Perlakuan berdasarkan kepatuhan
Rendah - Sedang Tinggi
 11 9 
Dengan PIO
 55% 45% 
18  2
Tanpa PIO
 90%  10%

Data pasien berdasarkan berat badan


Persentase Persentase
Pio Jumlah Tanpa Pio Jumlah
(%) (%)
Berat Meningkat 13 65 Meningkat 8 40
Badan Menurun 0 0 Menurun 2 10
Menetap 7 35 Menetap 10 50

Berdasarkan hasil penelitian data pasien tuberkulosis selama bulan Juli- September
2019 didapatkan populasi 43 pasien yang berobat di Puskesmas Sosial Palembang, tetapi yang
memenuhi kriteria inklusi 40 pasien karena 3 orang tersebut merupakan pasien mangkir
kemudian 40 pasien tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan PIO
sebanyak 20 orang dan kelompok tanpa PIO sebanyak 20 orang. Berdasarkan jenis kelamin
menunjukan bahwa jumlah pasien tertinggi pada laki-laki sebanyak 30 pasien (75%) dan
perempuan sebanyak 10 pasien (25%), jumlah pasien tertinggi yang menderita penyakit
tuberkulosis pada usia produktif yaitu 16-55 tahun sebesar 29 pasien (72,5%) sedangkan
pasien usia >55 tahun sebanyak 11 pasien (27,5%). Sebagian besar penderita tuberkulosis
adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun,.Dari hasil penelitian ini diketahui
tingkat pendidikan yang paling banyak terdapat pada TB paru yaitu Sekolah Dasar (SD)
sebanyak 21 orang (52,5%), dan tingkat pendidikan yang paling rendahyaitu berpendidikan
sekolah dasar yaitu 52,5%, yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi 7,5%.Hal ini
disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan sangat berkaitan dengan rendahnya tingkat
pengetahuan penderita. Kelompok yang berpendidikan SD memiliki resiko lebih besar untuk
terserang penyakit TB paru karena kurangnya pengetahuan mereka tentang penyebab

60
penularan dan cara penularan penyakit TB paru melalui udara,Berdasarkan kelompok
pekerjaan pasien diketahui tingkat pekerjaan yang paling tinggi pasien Tb dengan profesi
yaitu Wiraswastadengan profesi buruh bangunan dan tukang becak 19 orang, (47,5%)dan
tingkat pekerjaan yang paling rendah yaitu PNS 2 orang (5%).Berdasarkan berat badan pasien
yang diberikan PIO diperoleh hasil berat badan pasien meningkat sebanyak 13 orang (65%),
menurun sebanyak 0 orang (0%), dan menetap sebanyak 7 orang (35%),dan berat badan tanpa
PIO di peroleh hasil berat badan pasien meningkat sebanyak 8 orang (40%), menurun
sebanyak 2 orang (10%), menetap sebanyak 10 orang (30%). Pada penelitian ini peningkatan
berat badan juga berpengaruh terhadap pelayanan informasi obat dengan peningkatan berat
badanpasien TB dengan selisih berat badan sebesar 1kg.Analisa pengaruh Pelayanan
Informasi Obat terhadap tingkat kepatuhan pasien diberikan PIO dan tanpa PIO.Dari
penelitian ini diketahui tingkat kepatuhanPIO meliputi kepatuhan tinggi 9orang (45%),
kepatuhan rendah-sedang 11 orang (55%). Tingkat kepatuhan tanpa PIO meliputi kepatuhan
tinggi 2 orang (10%), kepatuhan rendah-sedang 18 orang (90%). Tingkat kepatuhan pasien
dianalisis menggunakan uji chi square diperoleh nilai 0,040 (< 0,050). Hasil uji tersebut di
peroleh bahwa ada pengaruh signifikan antara pelayanan informasi obat terhadap
kepatuhan.Keberadaan apoteker di Puskesmas sangat diperlukan.penyelengaraan Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker
sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai
kebutuhan. Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas Sosial Palembang tidak terdapat
Apoteker, pelayanan obat dilaksanakan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian dari jenjang
akademik D3. Menurut Permenkes (2016), pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian
resep, penyerahan obat, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, ronde/visite pasien
(khusus Puskesmas rawat inap), pemantauan dan pelaporan efek samping obat, pemantauan
terapi obat dan evaluasi penggunaan obat. Tujuan Pelayanan Kefarmasian klinik adalah untuk
meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas,
memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan
efisiensi obat dan Bahan Medis Habis Pakai, meningkatkan kerjasama dengan profesi
kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian dan
melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan pelayanan informasi
obat.

KESIMPULAN

61
Berdasarkan hasil penelitian Adanya pengaruh Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang
signifikan terhadap tingkat kepatuan pasien tuberkulosis dan adanya perbedaan tingkat
kepatuhan pasien PIOyaitu hasil tingkat kepatuhan tinggi 45% rendah-sedang 55% dan tanpa
PIO, sedangkan tingkat kepatuhan tanpa PIO yaitu hasil tingkat kepatuhan tinggi 10%,
kepatuhan rendah-sedang 90%.

Daftar Pustaka
Burman, W.J., Dalton, C.B. (1997). A Cost effectivenes Analysis of Directly Observed
Therapi vs Self Administered Therapy for Treatment of Tuberkulosis, CHEST.
112:63-70
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2004). Penemuan Penderita Baru dan
Keberhasilan Pengobatan Indikator Keberhasilan Penanggulangan TB Paru.Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2005). Pharmaceutical care untuk penyakit
tuberkulosis.Jakarta: Bina Farmasi Komuintas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2009). Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis.Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Propil Kesehatan Tahun 2014, Sumatera
Selatan. Palembang: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.
Dinas Kesehatan. (2015). Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.Sumatera
Selatan.
Gunawan, A.R.S., Simbolon, R.L., dan Fauzia, D. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Tingkat Kepatuhan Pasien Terhadap Pengobatan Tuberkulosis Paru Di Lima
Puskesmas Se- Kota Pekanbaru.JOM FK. 4(2): 1-20.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2014). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter
Difasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2011). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2015). Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-
2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2016). Tentang standar pelayanan kefarmasian
di Puskesmas. Jakarta: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kurniaputri, A., dan Supadmi, W. (2015). Pengaruh Pemberian Informasi Obat Antihipertensi
terhadap Kepatuhan Pasien Hipertensi di Puskesmas Umbulharjo I Yogyakarta periode
November 2014. Majalah Farmaseutik. 11(1) : 268-274.
Made Suadyani Pasek, I Made Satyawan.2013. Hubungan Persepsi dan Tingkat Pengetahuan
Penderita TB dengan Kepatuhan Pengobatan di Kecamatan Buleleng Jurusan
Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rwkreasi.Skripsi.Fakultas Olahraga dan
Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Indonesia.

62
Manalu, H.S.P. (2010). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Parudan Upaya
Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 9 (4): 1340-1346
Morisky D.E., Ang A., Krousel-wood M., & Ward H.J. (2008).Predictive validity of a
medication adherence measure in an outpatient setting.The Journal of Clinical
Hypertension.Vol. 10(5). 348-354
Nurkumalasari., Wahyuni, D., Ningsih, N. (2016). Hubungan Karakteristik Penderita
Tuberkulosis Paru Dengan Hasil Pemeriksaan Dahak di Kabupaten Ogan Ilir.Jurnal
Keperawatan Sriwijaya. 3 (2): 51-58.
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.(2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas. Jakarta: Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Rantucci, M.J. (2007). Komunikasi Apoteker-Pasien :Panduan Konseling Pasien (Edisi 2).
Penerjemah : A.N. Sani. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Rapoff, M.A. (2010). Adherence to Pediatric Medical Regimens, 50-51, University of Kansas
Medical Center, Kansas City.
Saragi, S. (2011). Panduan Penggunaan Obat, Rosemata Publisher: A review didalam Chusna,
N., Sari, P.I., Probosuseno. (2014). Pengaruh Kepatuhan Dan Pola Pengobatan
Terhadap Hasil Terapi Pasien Hipertensi. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Farmasi.Vol. 4(4), 230-235.
Schnipper, JL, Jennifer, LK, Michael, CC,Stephanie, AW, Brandon, AB,Emily, T, Allen, K,
Mark, H,Christoper, LR, Sylvia, CM, David,WB. (2006). Role of
PharmacistCounseling in Preventing AdverseDrug Events After
Hospitalization.USA :Archives of Internal Medicine. Vol 166.565-571.
Siregar, C.J.P. (2005). Farmasi Klinik: Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, I.J., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan Kusnandar. (2008).
ISO Farmakoterapi.Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
World Health Organization. (2013). Treatment of Tuberculosis: guidelines for National
Programmes, Third Edition, World Hearlth Organization. Geneva: WHO.
World Health Organization. (2015). Treatment of tuberculosis: guidelines for national
programmes. 2nd ed. Geneva: World Health Organization.

63
PRESENTASI ORAL NASKAH PROSIDING

Formulasi Dan Evaluasi Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus globulus
L.) Dengan Kombinasi Cera Alba Dan Cetyl Alcohol Sebagai Stiffeningagent

Dhea Tari Rezki1), Ratnaningsih DewiAstuti2)


1)
Mahasiswa Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang
2)
Dosen Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang

ABSTRAK

Repellent stick merupakan salah satu sediaan yang digunakan untuk melindungi kulit
dari gigitan nyamuk vector penyebaran penyakit pada manusia. Kombinasi cera alba dan
cetyl alkohol sebagai stiffening agent diketahui dapat menghasilkan stick yang baik, stabil
dan tidak berubah menjadi tengik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
kombinasi cera alba dan cetyl alkohol yang optimal untuk menghasilkan repellent stick yang
stabil dan memenuhi persyaratan. Repellent stick yang dibuat menggunakan zat aktif minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dengan kandungan senyawa aktif eukaliptol yang
berkhasiat sebagai repellent nyamuk. dengan minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus

64
L.) sebanyak 10% sebagai zat aktif dan memvariasikan kombinasi cera alba dan cetyl alkohol
sebagai stiffening agent dengan konsentrasi 12%:10% pada formula I, 15%:12,5% pada
formula II dan 18%:15% pada formula III. Kemudian dilakukan evaluasi sediaan selama 28
hari penyimpanan meliputi pH, suhu lebur, homogenitas, daya oles, warna, bau dan iritasi
kulit. Hasil evaluasi yang didapat, menunjukkan bahwa sediaan repellent stick selama
penyimpanan 28 hari memiliki pH yang cenderung meningkat, mengalami penurunan suhu
lebur selama masa penyimpanan dengan rentang formula I 53-59ºC, formula II 60-68ºC dan
formula III 64-69ºC dan semua sediaan repellent stick memiliki daya oles yang baik,
homogen dan tidak mengalami perubahan warna, bau serta tidak mengiritasi kulit. Dari
penelitian dapat disimpulkan bahwa Minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dapat
diformulasikan menjadi sediaan repellent stick yang stabil dan memenuhi persyaratan.
Formula repellent stick yang paling optimal yaitu dengan variasi kombinasi cera alba dan
cetyl alkohol18%:15%.

PENDAHULUAN
Nyamuk adalah salah satu jenis serangga yang setiap hari dijumpai dan berinteraksi
dengan manusia. Beberapa jenis nyamuk yang ada merupakan vector penyebaran penyakit
pada manusia, seperti Aedes sp, Culex sp, Anopheles sp, dan Mansonia sp (Sembel, 2009).
Menurut WHO pada tahun 2016 terdapat 725.000 kasus kematian yang disebabkan oleh
gigitan nyamuk. Dimana penyakit yang paling sering terjadi diakibatkan oleh nyamuk
diantaranya seperti DBD, malaria serta filariasis. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah
gigitan nyamuk diantaranya penggunaan insektisida, fogging (pengasapan), abatisasi,
penggunaan obat nyamuk bakar dan obat nyamuk elektrik serta penggunaan anti nyamuk
(repellent). Menurut Wahyono dan Oktarinda (2016) dibandingkan penggunaan obat nyamuk
bakar, elektrik ataupun insektisida sebanyak 32,5% masyarakat lebih memilih untuk
menggunakan repellent.
Repellent adalah sediaan yang digunakan untuk melindungi kulit dari gigitan nyamuk
(anti nyamuk). Sediaan ini tidak membunuh nyamuk tetapi hanya membuat nyamuk tidak
tertarik terhadap manusia (Rutledge, 2008). Repellent diformulasikan untuk digunakan pada
kulit. Beberapa bentuk repellent yang ada dipasaran diantaranya lotion dengan merk seperti
Caladine, Bite fighter, Sofell, Autan, Dee- dee. Sediaan berbentuk krim seperti Pure baby
mosquitoe repellent, Bebe roosie, Caladine cream, untuk repellent spray seperti Soffel, Bite
fighter, Autan, Nokito dan untuk sediaan berbentuk stik hanya Mosi guard dan Autan.
Repellent dalam bentuk lotion dan krim membutuhkan bantuan tangan dalam
pengaplikasiannya sehingga mengakibatkan resiko tertelannya bahan-bahan kimia yang
terkandung dalam repellent tersebut, salah satunya adalah diethyl toluamide (DEET) yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan, seperti mual, muntah, kelesuan, ataksia, dan
anafilaksis (Mabey, 2005). Repellent berbentuk spray dianggap lebih aman karena tidak

65
membutuhkan tangan dalam penggunaannya tetapi sediaan ini lebih mudah menguap bila
diaplikasikan dikulit sehingga perlindungan yang diberikan tidak bertahan lama (Lestari,
2011). Berbeda dengan ketiga bentuk repellent diatas sediaan berbentuk stickdiaplikasikan
tanpa menggunakan tangan, tidak mudah menguap dan dapat bertahan relatif lebih lama
dikulit.
Repellent stick adalah sediaan repellent berbentuk batang yang terbuat dari. campuran
lilin padat dan alkohol berlemak tinggi (Fush dan Schopflin, 1974). Beberapa lilin padat yang
dapat digunakan sebagai basis pembentuk stik diantaranya yaitu, lilin lebah, lilin carnauba,
serta cetaceum (Allen, 2002) dan alkohol berlemak tinggi seperti myristyl alcohol, cetyl
alcohol, dan stearyl alcohol (Fush dan Schopflin, 1974). Dari bahan tersebut yang paling
banyak digunakan adalah kombinasi antara lilin lebah dan cetyl alcohol, karena stabil dengan
cahaya, udara dan tidak berubah menjadi tengik (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009).
Kombinasi lilin lebah dan cetyl alcohol sebagai basis pembentuk stik juga telah diteliti oleh
Rao (2011) yang membuktikan bahwa keduanya dapat menghasilkan stik yang baik, tetapi
menurut Lutfia, Sutyasningsih dan Widayanti, (2013) campuran basis ini dapat mengalami
penurunan kekerasan bila adanya penambahan minyak sehingga menghasilkan stick yang
lunak. Walaupun demikian kombinasi lilin lebah dan cetyl alcohol dapat diaplikasikan dalam
bentuk sediaan stik dengan penambahan zat aktif yang berkhasiat sebagai repellent.
Zat aktif pada sediaan repellent yang banyak beredar dipasaran adalah DEET dengan
konsentrasi berkisar 5%-100% (Mabey, 2005). DEET merupakan bahan kimia sintetis yang
dapat menolak nyamuk, tetapi beracun pada konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006).
Penggunaan DEET yang secara terus menerus dan berulang dapat mengakibatkan beberapa
masalah kesehatan mulai dari iritasi kulit, hingga insomnia dan kram otot (Osimitz, 1997).
Dampak negatif tersebut dapat dihindari dengan mengganti DEET dengan bahan alami yang
lebih aman bagi tubuh. Salah satu keanekaragaman hayati yang memiliki potensi untuk
dimanfaatkan menjadi pengganti DEET adalah minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulusL.).
Minyak atsiri eukaliptus dihasilkan dari daun eukaliptus (Eucalyptus globulus L.)
dengan cara destilasi uap. Tumbuhan ini berasal dari Australia dan Tasmania (Soetrisno,
1969) dan termasuk kedalam family Mirtaceae. Minyak atsiri eukaliptus mengandung zat
berupa eucalyptol (Bolland, 1991) yang berkhasiat sebagai insektisida dan pengusir
(repellent) serangga (Klocke, 1987). Menurut Ranasinghe (2016) minyak atsiri eukaliptus
pada konsentrasi 10% dapat bermanfaat sebagai repellent nyamuk dengan daya tolak 100%
dimana menurut Peraturan Pemerintah melalui Komisi Pestisida Departemen Pertanian

66
(1995) syarat repellent nyamuk dapat dikatakan efektif apabila daya proteksinya paling
sedikit 90%.
Berpedoman dari penelitian mengenai medicatestick dengan menggunakan kombinasi
lilin lebah putih (cera alba) dan cetyl alcohol oleh Rao (2011) dan mengingat khasiat minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang dapat dijadikan sebagai repellent
(Ranasinghe, 2016) maka peneliti tertarik untuk memformulasikan minyak atsiri eukaliptus
dalam bentuk repellent stick dengan memvariasikan lilin lebah (cera alba) dan cetyl alcohol
sebagai basis pembentuk stik.

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Memformulasikan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L)
dengan kombinasi cera alba dan cetyl alkohol yang stabildan memenuhi syarat.

Tujuan Khusus
a. Mengukur pH sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L)
dengan kombinasi cera alba dan cetylalcohol
b. Mengukur suhu lebur sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus
L) dengan kombinasi cera alba dan cetylalkohol
c. Mengamati homogenitas sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L) dengan kombinasi cera alba dan cetylalkohol
d. Mengukur daya oles sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus
L) dengan kombinasi cera alba dan cetylalkohol
e. Mengamati perubahan bau sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L) dengan kombinasi cera alba dan cetylalkohol
f. Mengamati perubahan warna sediaan repellent stick minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L) dengan kombinasi cera alba dan cetyl alkohol
g. Mengamati efek iritasi kulit dari sediaanrepellent stick minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L) dengan kombinasi cera alba dan cetyl alcohol

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan membuat beberapa formula
repellent sick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L) dengan

67
kombinasi cera alba dan cetyl alcohol sebagai stiffening agent pada konsentrasi 12%:10%,
15%:12,5% dan 18%:15%.

Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan digunakan adalah minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) yang diperoleh dari supplier essential oil dengan brand “Happy Green” di Jakarta

Cara Pengumpulan Data


1. Identifikasi Minyak Atsiri Eukaliptus
a. Organoleptis
Minyak atsiri eukaliptus merupakan cairan tidak berwarna atau kuning pucat,
memiliki bau aromatis kamfer, rasa menusuk seperti kamfer yang diikuti rasa dingin
(Depkes, 1995).
b. IndeksBias
Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam ruang hampa
dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut. Indeks bias minyak dapat ditentukan dengan
menggunakan alat Abbe Refractometer, menurut Depkes (1995) minyak atsiri eukaliptus
memiliki indeks bias 1,458-1,470.
c. Bobot perml
Bobot per milliliter suatu zat adalah bobot dalam gram per ml zat cair pada suhu
20ºC. Bobot per ml minyak atsiri eukaliptus adalah 0,906 hingga 0,925 (Depkes, 1995).

2. Formulasi Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus globulus L.)


Dalam penelitian ini formula yang digunakan mengacu pada Rao (2011) yang
membuktikan bahwa kombinasi cera alba dan cetyl alkohol sebagai stiffeniing agent akan
menghasilkan stick yang stabil secara fisik. Peneliti akan memvariasikan kombinasi
konsentrasi cera alba dan cetyl alkohol sebagai stiffeniing agent. Konsentrasi cera alba dan
cetyl alkohol yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah (12%:10%) pada Formula I,
(15%:12,5%) pada Formula II, dan (18%:15%) pada Formula III. Minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.) bertindak sebagai zat aktif. Konsentrasi minyak atsiri eukaliptus
yang digunakan pada penelitian ini adalah10%.

Tabel 1. Formula Repellent Stick Yang Mengandung Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.)

68
Jumlah yang digunakan
No Bahan Formula Keterangan
Formula I Formula II Formula III
Kontrol
1 Minyak Atsiri - 10% 10% 10% Zat Aktif
Eukaliptus
2 Cera Alba 12% 12% 15% 18% Stiffening
agent
3 Cetyl Alkohol 10% 10% 12,5% 15% Stiffening
agent
4 Vaselin Alba 15% 15% 15% 15% Emollient
5 Na. Lauril 1% 1% 1% 1% Emulgator
Sulfat
6 Propilen Glikol 13% 13% 13% 13% Humektan
7 Aquades Ad 100 Ad 100 Ad 100 Ad 100 Pembawa
Formulasi ini dimodifikasi dari penelitian Rao (2011).

3. Pembuatan RepellentStick
Adapun cara pembuatan formula kontrol, I, II, dan III adalah sebagai berikut:
a. Cara Pembuatan Formula Kontrol
1) Masukan cera alba, cetyl alkohol dan vaselin album kedalam cawan (fase minyak)
(massa1)
2) Masukkan natrium lauril sulfat, propilen glikol dan Aquadest kedalam cawan (fase air)
(massa 2)
3) Panaskan fase minyak dan fase air hingga suhu 70ºC
4) Tambahkan fase minyak perlahan kedalam fase air, aduk secara konstan
hinggahomogen
5) Tuangkan massa dalam keadaan panas kedalam cetakan, kemudian dinginkan.
b. Cara pembuatan Formula I, II danIII
1) Masukan cera alba, cetyl alkohol dan vaselin album kedalam cawan (fase minyak)
(massa1)
2) Masukkan natrium lauril, sulfat propilen glikol dan Aquadest kedalam cawan (fase air)
(massa2
3) Panaskan fase minyak dan fase air hingga suhu 70ºC
4) Tambahkan fase minyak perlahan kedalam fase air, aduk secara konstan hingga
homogen (massa 3)

69
5) Tambahkan minyak atsiri eukaliptus sedikit demi sedikit kedalam masa 3 pada suhu 55º
C aduk secara konstan hinggahomogen
6) Tuangkan massa dalam keadaan panas kedalam cetakan, kemudiandinginkan

4. Uji KestabilanFisik
Uji kestabilan fisik yang dilakukan antara lain, pH, suhu lebur, dan organoleptik
sediaan (warna dan bau) setelah dilakukan penyimpanan selama 28 hari, yaitu pada hari ke 0,
7, 14, 21, dan 28.
a. pH
Nilai pH sediaan dapat diukur dengan menggunakan pH meter. Untuk mengukur
nilai pH ini dibutuhkan sampel sebanyak 1gr yang dilebur dalam beaker gelas dengan 100ml
Aquadest diatas penangasair
Cara kerja :
1) Nyalakan alat pH meter dengan menekan tombol “ON”
2) Kalibrasi alat pH meter dengan cara:
3) Menekan tombolpH
4) Celupkan electrode kedalam larutan dapar pH 7, putar tombol skala sehingga
menunjukkan angka 7,0
5) Bilas electrode dengan aquadest, celupkan kedalam larutan dapar pH 4, bila angka yang
ditunjukkan belum tepat maka diatur dengan memutar tombol skala agar didapatkan
angka4,0
6) Setelah itu bilas electrode dengan aquadest lalu di celupkan kedalam sediaan
repellentstick
7) Catat pH yang tertera di layar untuk mengamati perubahanpH
b. Suhu Lebur
Suhu lebur sediaan dapat diukur dengan menggunakan alat Kofler Heating Banch
System. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut:
1) Nyalakan alat dengan menekan tombol “ON”, lampu petunjuk hijau akanmenyala.
2) Panaskan bangku lebur selama 1jam.
3) Setelah 1 jam, letakkan sampel repellentstick
4) diatas lempeng pemanas
5) Amati perubahan yang terjadi selama 10detik
6) Geser jarum joki sampai terlihat perubahantitik leleh padasampel
7) Catat titik lebursampel

70
c. UjiHomogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan repellent stick pada kaca
transparan (objek glass) dan dilihat apakah terdapat butir-butir kasar yang tertinggal pada
kaca tersebut (ilham, 2016).
d. Daya Oles
Uji daya oles dilakukan dengan melibatkan 30 responden yang dipilih secara acak.
Pengujian dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan repellent stick pada kulit
punggung tangan kemudian mengamati apakah sediaan repellent stick mampu menempel
saat dioles pada kulit dengan beberapa kalipengolesan.
e. Warna
Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan 30 orang responden untuk
mengamati perubahan warna yang terjadi dalam sediaan repellent stick yang disimpan
selama 28 hari.

f. Bau
Pengamatan bau dilakukan dengan menggunakan 30 orang responden untuk
mengamati perubahan bau yang terjadi dalam sediaan repellent stick yang disimpan
selama 28 hari.
g. IritasiKulit
Uji Iritasi kulit melibatkan 30 orang responden yang dipilih secara acak. Pengujian
dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan (F1, F2, F3) pada punggung tangan selebar
2,5 x 2,5 cm (Mitsui, 1996). Kemudian amati reaksi yang mungkin terjadi misalnya gatal,
kemerahan danperih.

Alat Pengumpulan Data


1. Alat
Gelas ukur (pyrex), cawan porselin, timbangan gram, anak timbagan gram,
mortir, stamper, pengaduk kaca, timbangan analitik, penjepit kayu, sudip, perkamen,
waterbath, wadah roll up, pH meter Hanna, bangku lebur Kofler Heating Banch System,
dankuisioner
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini Minyak Atsiri Eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.), Cera Alba, Cetyl alkohol, Vaselin Alba, Na. Lauril Sulfat,

71
Propilenglikol dan Aquadestilata.

HASIL PENELITIAN
1. Hasil Identifikasi Minyak Atsiri Eukaliptus
Zat aktif minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang diperoleh dari
supplier essential oil dengan brand “Happy Green” di Jakarta, kemudian dilakukan uji
identifikasi dengan hasil sebagai berikut;
Tabel 2. Hasil identifikasi minyak atsiri eukaliptus
Standar Hasil Uji
Uji Identifikasi Keterangan
(Depkes, 1995) Identifikasi
Warna Tidak berwana atau Tidak Berwarna Memenuhi Standar
Kuning (Bening)

Bau Bau Bau Memenuhi


Kamfer Kamfer Standar
Rasa Rasa menusuk Pedas, dingin Memenuhi Standar
seperti kamfer,
Dingin
Indeks 1,458- 1,460 Memenuhi
Bias 1,470 Standar
Bobot/ml 0,906- 0,9244 Memenuhi Standar
0,925

2. Hasil Uji Kestabilan Repellent Stick


Repellent stick minyak atsiri eukalipus dibuat dalam tiga formula dengan
memvariasikan cera alba dan cetyl alkohol sebagai stiffening agent kemudian dilakukan uji
kestabilan sifat fisik setiap minggunya selama 28 hari penyimpanan meliputi pH, suhu
lebur, homogenitas, daya oles, warna, bau dan pengujian terhadap iritasi kulit. Hasil
pengamatan kestabilan sifat fisik repellent stick minyak atsiri eukalipus dapat dilihat dalam
tabel dan gambar berikut:

Tabel 3. Hasil Pengamatan pH Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus globulus
L.) Selama 28 Hari Penyimpanan.
pH (hari ke)
Repellent Stick Keterangan
0 7 14 21 28
Formula Kontrol 5,33 5,37 5,43 5,55 5,73 MS
Formula I 5,22 5,25 5,30 5,36 5,44 MS

72
Formula II 5,19 5,21 5,27 5,39 5,57 MS
Formula III 5,01 5,14 5,20 5,30 5,38 MS
Keterangan tabel:
MS : Memenuhi syarat
pH yang memenuhi syarat 4-8 (Aulton, 2002)

Tabel 4. Hasil Pengamatan Suhu Lebur Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) Selama 28 Hari Penyimpanan.
Suhu Lebur (hari ke)
Repellent Stick Keterangan
0 7 14 21 28
Formula Kontrol 64 64 64 64 64 MS
Formula I 59 58 56 54 53 MS
Formula II 68 66 65 63 60 MS
Formula III 69 68 67 66 64 MS
Keterangan tabel:
MS : Memenuhi syarat
Suhu lebur yang memenuhi syarat 50º C-70º C (Keithler, 1956)

Tabel 5. Hasil Pengamatan Homogenitas Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus


(Eucalyptus globulus L.) Selama 28 Hari Penyimpanan.
Homogenitas (hari ke)
Repellent Stick Keterangan
0 7 14 21 28
Formula Kontrol H H H H H MS
Formula I H H H H H MS
Formula II H H H H H MS
Formula III H H H H H MS
Keterangan tabel:
MS : Memenuhi syarat
H : Homogen

Tabel 6. Hasil Pengamatan Daya Oles Repellent Stick Minyak Atsiri Eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) Selama 28 Hari Penyimpanan.
Menempel pada olesan ke -
Repellent Stick Keterangan
1 2 3 4 5 >5
Formula Kontrol 30 0 0 0 0 0 MS
Formula I 30 0 0 0 0 0 MS
Formula II 30 0 0 0 0 0 MS
Formula III 30 0 0 0 0 0 MS

73
Keterangan tabel:
MS : Memenuhi syarat
Daya oles repellent stick memenuhi syarat bila dapat menempel pada kulit setelah ≤ 5
kali pengolesan (Keithler,1956)

Tabel 7. Pengamatan Perubahan Warna, Bau dan Iritasi Kulit Repellent Stick Minyak Atsiri
Eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) Selama 28 Hari Penyimpanan.
Kestabilan Fisik
Warna Bau Iritasi Kulit
Repellent Stick
B TB B TB B TB
Formula Kontrol 0,00% 100% 0,00% 100% 0,00% 100%
Formula I 0,00% 100% 0,00% 100% 0,00% 100%
Formula II 0,00% 100% 0,00% 100% 0,00% 100%
Formula III 0,00% 100% 0,00% 100% 0,00% 100%
Keterangan:
B : Berubah
TB : Tidak Berubah

Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Gel Semprot Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia
esculenta L.) Selama 28 Hari Penyimpanan
Kestabilan Fisik Jumlah
Suhu Daya Iritasi
Formula pH Lebur Homogenitas Oles Warna Bau Kulit MS TMS
Kontrol MS MS MS MS MS MS MS 8 0
I MS MS MS MS MS MS MS 8 0
II MS MS MS MS MS MS MS 8 0
III MS MS MS MS MS MS MS 8 0
Keterangan:
MS : Memenuhisyarat

PEMBAHASAN
1. Identifikasi MinyakAtsiri
Identifikasi minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dilakukan untuk
memastikan bahwa minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.). Pengujian yang dilakukan berdasarkan
Farmakope Indonesia Edisi ke-IV didapatkan hasil dengan pembahasan sebagai berikut:

74
a. Organoleptis
Dari hasil pengamatan, minyak atsiri eukaliptus yang digunakan tidak memiliki
warna (bening), berbau kamfer yang menusuk dan rasa pedas, dingin seperti kamfer
dimana hal ini sesuai dengan yang tertera dalam farmakope edisi ke-IV.
b. IndeksBias
Hasil indeks bias yang didapatkan adalah 1,460, menurut Depkes (1995) minyak
atsiri eukaliptus memiliki indeks bias sebesar 1,458-1,470. Berdasarkan dengan hasil
indeks bias yang didapat, miyak atsiri yang digunakan memenuhi standar karakteristik
indeks bias minyak eukaliptus.
c. Bobot perml
Berdasarkan hasil pengujian, minyak atsiri yang digunakan pada penelitian ini
memiliki bobot per ml sebesar 0,9244, hasil tersebut sesuai dengan range standar minyak
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yaitu sebesar 0,906 hingga 0,925 (Depkes,
1995).

Dari ketiga identifikasi yang dilakukan didapatkan hasil bahwa ketiganya memenuhi
standar dari minyak atsiri eukaliptus berdasarkan farmakope edisi ke-IV maka dapat
disimpulkan bahwa minyak yang akan digunakan pada penelitian ini adalah eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.)

2. KestabilanFisik
a. pH
Pada tabel 3 dapat dilihat hasil pengamatan pH sediaan repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang disimpan selama 28 hari dengan variasi kombinasi
cera alba dan cetyl alkohol untuk formula kontrol dan formula I (12%:10%), formula II
(15%:12,5%) dan formula III (18%:15%). Dalam penelitian ini didapatkan pH repellent
stick berkisar 5,01-5,73, dimana formula kontrol memiliki pH 5,33-5,73, dengan persentase
kenaikan pH sebesar 6,3%, formula I memiliki pH 5,22-5,44, dengan persentase kenaikan
pH sebesar 4,2%, formula II memiliki pH 5,19-5,57 dengan persentase kenaikan pH sebesar
7,3%, dan formula III memiliki pH 5,01-5,38 dengan persentase kenaikakn pH sebesar 7,3%.
Dari persentase kenaikan pH yang terjadi dapat dilihat bahwa formula I cenderung lebih
stabil dibanding formula yang lain karena formula I memiliki persentase perubahan pH yang
paling kecil. Selama 28 hari penyimpanan keempat formula repellent stick mengalami
kenaikan pH tiap minggunya. Kenaikan pH dari keempat formula ini diduga disebabkan oleh

75
bahan yang terdekomposisi oleh suhu tinggi saat pembuatan atau penyimpanan yang
menghasilkan senyawa basa dan juga dapat disebabkan karena faktor lingkungan seperti
suhu dan penyimpanan yang kurang baik (Putra, Dewantar dan Swastini, 2014). Walaupun
terjadi peningkatan pH selama proses penyimpanan, keempat formula repellent stick tersebut
masih memenuhi standar pH yang aman untuk kulit yaitu sebesar 4-8 (Aulton, 2002), karena
apabila pH sediaan topikal terlalu asam maka dapat menyebabkan iritasi kulit dan juga tidak
diperbolehkan terlalu basa karena dapat menyebabkan kulit kering dan bersisik (Kuncari,
Iskandarsyah dan Praptiwi,2014).

b. Suhu Lebur
Pengukuran suhu lebur dilakukan untuk mengetahui suhu dimana repellent stick yang
mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) akan melebur. Pada tabel 4
dapat dilihat hasil pengamatan suhu lebur repellent stick minyak atsiri eukaliptus yang
disimpan selama 28 hari. Dari keempat formula didapatkan range suhu lebur berkisar 53ºC-
69ºC. Selama 28 hari penyimpanan formula kontrol tidak menunjukkan adanya perubahan
suhu lebur dimana suhu lebur formula kontrol ialah 64ºC. Sedangkan ketiga formula lainnya
mengalami penurunan suhu lebur selama masa penyimpanan, dimana formula I memiliki
suhu lebur berkisar 53-59ºC dengan persentase penurunan titik lebur sebesar 10,16%.
Formula II mengalami penurunan suhu lebur sebesar 11,7% dengan range suhu antara 60-
68ºC sedangkan formula III memiliki suhu lebur berkisar 64-69ºC dan mengalami penurunan
suhu lebur sebesar7,2%.
Penurunan suhu lebur berpengaruh terhadap kekerasan stik yang dihasilkan dimana
bila terjadi penurunan suhu lebur maka stik yang dihasilkan akan menjadi lebih lunak. Pada
penelitian ini repellent stick formula 1 cenderung lebih lunak dibandingkan dengan formula
kontrol ditinjau dari suhu leburnya yang lebih rendah padahal konsentrasi pengeras yang
digunakan sama yakni cera alba 12% dan cetyl alkohol 10% hal ini dapat terjadi dikarenakan
adanya pengaruh penggunaan zat aktif berupa minyak, dimana sesuai dengan penelitian
Lutfia, Sutyasningsih dan Widayanti, (2013) yang menyatakan bahwa campuran kedua
pengeras yang digunakan dapat mengalami penurunan kekerasan bila adanya penambahan
minyak. Menurut penelitian Perdanakusuma dan Zakiah (2005) penambahan minyak pada
basis stik akan menambah jumlah cairan dalam emulsi sehingga sediaan stik yang terbentuk
akan semakin lunak dan nampakcreamy.
Sedangkan formula II dan formula III cenderung memiliki bentuk fisik stik yang lebih
keras dibanding formula I dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi pengeras yang

76
digunakan yakni formula II menggunakan cera alba dan cetyl alkohol sebesar 15% dan 12,5%
sedangkan formula III sebesar 18% dan 15%. Dilihat dari hasil pengujian suhu lebur dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pengeras yang digunakan maka suhu lebur
dan kekerasan yang dihasilkan akan semakin meningkat (Pracima, 2015), sama halnya seperti
penelitian Mulangsari, Mimiek dan Eni (2017) yang juga mengalami peningkatan kekerasan
karena adanya peningkatan konsentrasi pengeras. Penambahan pengeras dapat meningkatkan
jumlah padatan dalam emulsi sehingga produk stik yang terbentuk akan semakin keras
(Perdanakusuma dan Zakiah, 2005). Karena formula III menggunakan konsentrasi pengeras
paling besar maka suhu lebur tertinggi dimiliki oleh repellent stik formulaIII.
Selama penyimpanan 28 hari ketiga formula repellent stick mengalami penurunan
suhu lebur tiap minggunya sehingga setiap minggu ketiga formula cenderung menjadi
semakin lunak hal ini diduga karena suhu ruangan penyimpanan yang tidak dikendalikan
sehingga terjadi fluktuasi suhu (Pracima, 2015). Penurunan suhu lebur juga terjadi pada
penelitian Noermastuti (2015) yang menggunakan minyak jarak pada sediaan stik, dimana
menurutnya suhu dapat mempengaruhi kepadatan atau ketegaran stik menjadi berkurang
sehingga suhu ruang penyimpanan stik berpengaruh terhadap kekerasan sediaan stik.
Walaupun tiga formula mengalami penurunan suhu lebur akan tetapi, keempat formula
repellent stick tersebut masih memenuhi standar suhu lebur sediaan stik yakni 50- 70ºC
(Keithler,1956).

c. Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan untuk melihat ada tidaknya butir-butir kasar saat
pengolesan repellent stick selama masa penyimpanan 28 hari. Adanya butir-butir kasar
menandakan sediaan repellent stick yang dibuat tidak homogen karena tidak terdispersinya
antar komponen bahan pembuat stik (Siregar dan Utami, 2014). Pengujian homogenitas
dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan repellent stick pada kaca transparan (objek
glass) dan dilihat apakah terdapat butir-butir kasar yang tertinggal pada kaca tersebut. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa partikel pada repellent stick formula kontrol, formula I,
formula II dan formula III terdistribusi dengan baik ditandai dengan tidak adanya butir-butir
kasar yang tertinggal pada objek glass selama 28 hari penyimpanan dan pada saat dioleskan
di kulit juga tidak terdapat butiran kasar yang menggumpal ataupuntertinggal. Untuk
pengujian terhadap daya oles, warna, bau dan iritasi kulit, peneliti melibatkan 30 responden,
hal ini didasarkan pada syarat pengujian untuk desain penelitian eksperimen, menurut Gay
dan Diehl (1992) untuk jenis penelitian eksperimental dengan mengunakan beberapa

77
formula atau grup maka jumlah responden yang digunakan minimalsebanyak
15 orang per 1 grup penelitian dan maksimal 30 orang untuk penelitian dengan lebih dari 3
formula. Selain itu menurut Frankel dan Wallen (1993) penelitian eksperimen dengan
menggunakan 30 orang responden pada setiap grup sudah cukup untuk menggambarkan
keseluruhan populasi

d. Daya Oles
Pengujian daya oles dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan repellent
stick pada kulit punggung tangan kemudian mengamati apakah sediaan repellent stick
mampu dioleskan pada kulit dengan beberapa kali pengolesan. Pada tabel 6 disimpulkan
bahwa sebanyak 30 responden menyatakan keempat formula mampu menempel pada
kulit saat pengolesan pertama. Sehingga dapat dikatakan bahwa keempat formula
repellent stick mudah diaplikasikan pada kulit hal ini dikarenakan tingginya konsentrasi
vaselin alba dan propilen glikol yakni 15% dan 13% dalam tiap formula sehingga
menghasilkan stik yang lembut dan lembab, dimana vaselin album berfungsi sebagai
emollient yang dapat menghasilkan stik yang lembut ditambah dengan propilen glikol
yang berfungsi sebagai humektan untuk melembabkan sehingga menghasilkan stick
yang mudah untuk dioleskan pada kulit. Dari hasil yang didapatkan dapat disimpulkan
bahwa daya oles repellent stick minyak atsiri eukaliptus sangat baik karena
memenuhistandar.

e. Warna
Pengujian warna bertujuan untuk mengetahui apakah repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang dibuat mengalami perubahan warna atau tidak
selama penyimpanan 28 hari dengan melibatkan 30 responden. Formula kontrol memiliki
warna putih susu, begitu pula dengan ketiga formula lainnya yang mengandung zat aktif
berupa minyak atsiri eukaliptus. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan zat aktif kedalam
basis stik tidak mempengaruhi warna stik yang dihasilkan mengingat bahwa zat aktif yang
digunakan memang tidak berwarna (bening).
Data hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebanyak 100% responden menyatakan
keempat formula repellent stick tidak mengalami perubahan warna selama penyimpanan 28
hari hal ini dikarenakan kondisi tutup sediaan yang baik dan tertutup rapat sehingga kontak
langsung antara sediaan dengan udara serta cahaya dapat dihindari.

78
f. Bau
Pengujian bau bertujuan untuk mengetahui apakah repellent stick minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) yang dibuat mengalami perubahan bau atau tidak selama
penyimpanan 28 hari dengan melibatkan 30 responden. Repellent stick formula kontrol tidak
memiliki bau, sedangkan formula I, II dan III memiliki bau seperti kamfer khas dari minyak
atsiri eukaliptus. Pada tabel 9 disimpulkan sebanyak 30 orang responden menyatakan bahwa
keempat formula repellent stick tidak mengalami perubahan bau selama masa penyimpanan.
Hal ini membuktikan bahwa tidak adanya pertumbuhan bakteri dan mikroba pada repellent
stick yang dapat mempengaruhi perubahan bausediaan.

g. Iritasi Kulit
Pengujian iritasi kulit bertujuan untuk melihat apakah sediaan repellent stick yang
dibuat menimbulkan gejala iritasi atau tidak pada saat digunakan. Pada tabel 7 didapatkan
data hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 100% responden menyatakan tidak
mengalami gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatal-gatal, terasa panas dan perih
pada permukaan kulit setelah diolesi keempat formula repellent stick yang mengandung
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) hal ini dikarenakan pH sediaan yang
dihasilkan berkisar 5,01-5,73, dimana rentang pH tersebut masih mampu ditoleransi dengan
baik oleh kulit (Aulton,2002) . Hal lain yang mempengaruhi yaitu bahan-bahan yang
terkandung dalam formula tidak menyebabkan iritasi kulit dan kondisi sediaan repellent
stick tersebut masih baik selama 28 hari penyimpanan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap kestabilan fisik repellent stick
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dengan kombinasi cera alba dan cetyl
alkohol sebagai stiffening agent selama 28 hari penyimpanan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dapat diformulasikan menjadi sediaan
repellent stick yang stabil dan memenuhipersyaratan.
2. Kombinasi cera alba dan cetyl alkohol yang paling optimal ialah pada konsentrasi 18%
cera alba dan 15% cetylalkohol
3. pH semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) memenuhi persyaratan dan stabil secarafisik.
4. Hasil pengukuran suhu lebur semua formula repellent stick yang mengandung minyak

79
atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) memenuhi persyaratan dan stabil secarafisik.
5. Homogenitas semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.) memenuhi persyaratan dan stabil secarafisik.
6. Daya oles semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus
(Eucalyptus globulus L.) memenuhi persyaratan dan stabil secarafisik.
7. Semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) memenuhi persyaratan karena tidak mengalami perubahanbau.
8. Semua formula repellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) memenuhi persyaratan karena tidak mengalami perubahanwarna.
9. Semua formularepellent stick yang mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus
globulus L.) memenuhi persyaratan karena tidak mengakibatkan iritasi saatdigunakan.

SARAN
Dari hasil penelitian mengenai repellent stick yang mengandung minyak atsiri
eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dapatdisarankan:
1. Dilakukan uji kekerasan untuk mengetahui kualitas patahan stick dan juga kekuatan
repellent stick dalam proses pengemasan, pengangkutan, danpenyimpanan.
2. Dilakukan uji aktivitas repellent terhadap nyamuk secara langsung untuk mengetahui
seberapa besar daya tolak yang dihasilkan sediaan repellent stick yang mengandung
minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulusL.)
3. Dilakukan uji dipercepat untuk mengetahui kestabilan sediaan repellent stick yang
mengandung minyak atsiri eukaliptus (Eucalyptus globulus L.) dalam jangka waktu yang
lama dan kestabilan terhadap suhuekstrim.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan zat aktif tanaman lain yang
diharapkan akan menghasilkan sediaan yang lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A, 2000. Minyak Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB, Bandung, Indonesia, hal. 2 dan
24
Allen, LV, 2002. Current & Practical Compounding Information for the Pharmacist :
Compounding Medication Sticks. Secundum Artem. 5 (3)
Aulton, M, 2002. Pharmaceutical Practice Of Dosage Form Design, Curcill Livingstone.
Edirberd. London, hal.244.
Bogdanov, S, 2017. Beeswax: History, Uses and Trade. Online Beeswax Book. 2. hal. 9
( http

80
: // www.bee-hexagon.net, Diakses 1 Februari 2018 )
Cerasoli, S., M.C. Caldeira., J.S. Pereira., G. Caudullo., D. de Rigo, 2016. Eucalyptus
globulus and other eucalypts in Europe: distribution, habitat, usage and threats.
Dalam : San-Miguel-Ayanz, J, et al. European Atlas of Forest Tree Species (hal. 90-
91). EU, Luxembourg
Cibro, YNP, 2013. Penetapan Kadar Minyak Atsiri Pada Biji Pala (Myristica fragans
Houtt). Karya Tulis Ilmiah, Jurusan Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Collet, D.M., dan M.E Aulton, 1990. Pharmaceutical Practice. Longman Singapore
Publishers, Singapore, hal. 109.
Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. hal. 756 dan 768
Departemen Kesehatan RI, 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta
Departemen Kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, hal. 7 dan 627
Ernawati, D., U. Chasanah., N. Hidayah, 2017. Optimasi Formulasi Sediaan Lipstik
Mengandung Ekstrak Etanol Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.). Prosiding.
Peningkatan Keilmuan Solusi Tantangan Profesi Kesehatan. Fakultas Ilmu Kesehatan
UMM, Malang, 9 Februari2017.
Fraenkel, J., Wallen, 1993. How to Design and Evaluate Research in education. Edisi ke II.
McGraw-Hill Inc : New York
Fuchs P., dan G. Schopflin, 1974. Medicated Sticks.United States Patent 3,856, p. 931,
Berlin
Gay, L.R dan Diehl, P.L, 1992. Research Methods for Business and Management,
MacMillan Publishing Company, NewYork.
Gunandini, D.J, 2006. Bioekologi dan Pengendalian Nyamuk Sebagai Vektor Penyakit. Pros.
Sem. Nas. Pestisida Nabati III. Balittro. hal. 43-48
Gunawan, D., dan S Mulyani, 2004. Ilmu Obat Alam. Jakarta: Penebar Swadaya, hal. 106.
Harry, R.G., J.B Wilkinson., R. Clark., E. Green., T.P Mclaughlin, 1962. Modern
Cosmeticology. Volume 1. Chemical Publishing CO., INC, New York, hal. 504.
Ilham, H.S, 2016. Optimasi Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Umbi Bit (Beta
vulgaris L.). Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia. 4 (2):27-33.
Keithler, W.M.R, 1956. The Formulation of Cosmetics and Cosmetic Specialities. Drug and
Cosmetic Industry, New York, hal. 157
Kirnanoro, H., dan N.S. Maryana, 2016. Anatomi Fisiologi. Pustaka Baru Press, Yogyakarta,
Indonesia, hal. 74-75
Klocke, J.A., M.V Darlington., M.F Balandrin, 1987. 1,8-Cineole (Eucalyptol), A Mosquito
Feeding and Ovipositional Repellent from Volatile Oil of Hemizonia fitchii
(Asteraceae). Journal of Chemical Ecology. 13 (12) : 2131-2141
Koeswandy, LF., dan Z.M. Ramadhania, 2016. Review Artikel Kandungan Senyawa Kimia
dan Bioaktivitas Dari Eucalyptus globulus Labill. Farmaka. 14 (2): 63-78.

81
Komisi Pestisida, Departemen Pertanian RI, 1995, Metode Standar Pengujian Efikasi
Pestisida, Departemen Pertanian, Jakarta, hal 9-95
Kuncari, E.S., Iskandarsyah., Praptiwi, 2014. Evaluasi, Uji Stabilitas Fisik Dan Sineresis
Sediaan Gel Yang Mengandung Minoksidil, Apigenin Dan Perasan Herba Seledri
(Apium graveolens L.). Buletin Penelitian Kesehatan. 42 (2):213-222.
Kusantati, H., P.T Prihatin., W. Wiana, 2008. Tata Kecantikan Kulit Untuk Sekolah
Menengah Kejuruan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta,
Indonesia, hal. 59
Lestari, MI, 2011. DEET, Bahan Aktif Repellentyang Efektif dan Aman Bagi Travellers.
Skripsi, Universitas Udayana, Bali.
Lutfia, M., Sutyasningsih., A. Widayanti, 2013. Pengaruh Peningkatan Konsentrasi
Canauba Wax Terhadap Sifat Fisik Lipstik Sari Buah Bit (Beta vulgaris L.). Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA,Jakarta.
LeMone, P., K.M Burke., G. Bauldoff, 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
“Gangguan Intagumen, Gangguan Endokrin dan Gangguan Gastrointestinal.
TerjemahanOleh : Iskandar Tiflani, Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia, hal 486-488
Mabey, M, 2005. DEET Insect Repellant Toxicity. Utox Update. 7 (2): 1-4.
Maharani, A, 2015. Penyakit Kulit : “Perawatan, Pencegahan, Pengobatan”. Pustaka Baru
Press, Yogyakarta, Indonesia, hal. 1-16.
Maulina, I.D, 2011. Uji Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Sediaan Krim Yang
Mengandung Ekstrak Umbi Wortel (Dancus carota L.). Skripsi, Universitas
Indonesia, Depok.
Mitsui, T, 1996. New Cosmetics Science. Elsevier Science B.V, Amsterdam, hal. 211
Mulangsari, D.A., M. Murrukmihadi., E. Muaniqoh, 2017. Karakteristik Fisik Lipstik Sari
Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus costaricensis) Dengan Variasi Perbandingan
Konsentrasi Carnauba Wax dan Beeswax. Inovasi Teknik Kimia. 2 (2): 19-24.
Murod, A, 2013. Penuntun Praktikum Fisika Farmasi. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Politeknik Kesehatan Palembang, Palembang, hal. 5, 7, 9 dan13.
Noermastuti, R, 2015. Formulasi Dan Evaluasi Sediaan Lipstik Dengan Basis Lemak
Cokelat Dan Minyak Jarak. Karya Tulis Ilmiah, Jurusan Farmasi Universitas Sebelas
Maret.
Osimitz, TG., JV Murphy, 1997. Neurological effects associated with use of the insect
repellent N, N-diethyl-m-toluamide (DEET). Toxicol Clin Toxicol. 35:435-441.
Orwa, C., A. Mutua., R. Kindt., R. Jamnadass., A. Simons, 2009. Eucalyptus globulus ssp.
Globulus. Agroforestry Database 4.0: 1-5.
Patil, V.A., dan S.A. Nitave, 2014. A Review On Eucalyptus globulus: A Divine Medicinal
Herb. World Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Science. 3 (6): 559-567.
Perdanakusuma, O., Z. Wulandari, 2005. Optimasi Proses Pembuatan Lipstik Dengan
Penambahan Berbagai Konsentrasi Malam Lebah. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian. 14 (3): 95-100.

82
Putra, M., Swastini., Dewantara, 2014. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Nilai pH
Sediaan Cold Cream Kombinasi Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana
L.), Herba Pegagan (Centella asiatica) Dan Daun Gaharu (Gyrinops versteegii
(gilg) Domke). Jurnal Farmasi Udayana. 3 (1): 18-21.Pracima, R, 2015.
Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas (L.) Poir) Sebagai Zat Warna Pada
Sediaan Lipstik. Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Prahastuty, A.T, 2016. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Bintaro (Cerbera manghas) Terhadap
Mortalitas Nyamuk Aedes Aegypti. Karya Tulis Ilmiah, Akademi Analis Farmasi dan
Makanan Putra Indonesia Malang.
Ranansinghe, M.S.N., L. Arambewela., S. Samarasinghe, 2016. Development Of Herbal
Mosquito Repellent Formulations. International Journal Of Pharmaceutical Science
And Research. 7 (9):3643-3648.
Rao, P., V.A Hiremath., S. Sonavne., S. Pratima., P. Sagare., S.V Saran., Muntasibalikhan,
2014. Design Of Miconazole Derma Sticks For The Treatment Of Chromomycoses.
World Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences. 3 (4):762-780.
Rutledge, C. R., dan J.F. Day, 2008. Mosquito Repellent. University Of Florida
Rowe, R.C., P.J. Sheskey., M.E. Quinn, 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth
Edition. American Pharmaceutical Association. London, Chicago, hal. 155-156, 592-
593, 651-653, 779-780.
Sastrohamidjojo, H, 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hal. 9-11.
Sayyid, A.B.M, 2013. Kitab Obat Hijau Cara-Cara Ilmiah Sehat Dengan Herbal. PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, hal. 281.
Sembel, D.T, 2009. Entomologi Kedokteran. ANDI, Yogyakarta.
Siregar, Y.D.I., dan P. Utami, 2014. Pemanfaatan Ekstrak Kulit Melinjo Merah (Gnetum
Gnemon) sebagai Pewarna Alami pada Pembuatan Lipstik. Jurnal Kimia Valensi. 4
(2):98-108.
Soetrisno, R.B, 1969. Ichtisar Farmakognosi. CV. Quartz, Jakarta, hal. 107.
Syaiffudin, 2016. Ilmu Biomedik Dasar Untuk Mahasiswa Keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta, Indonesia, hal 32-38
Syamsuni, H.A, 2006. Ilmu Resep. Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 121.
Tranggono, R.I., dan Latifah, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,Indonesia, hal11-13.
Trinanda, W, 2012. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Buah Rasberi (Rubus
rosifolius J.E.Smith) Sebagai Pewarna. Skripsi, Universitas Sumatera Utara,Medan.
Wahyono, T.Y.M., dan Oktarinda, 2016. Penggunaan Obat Nyamuk dan Pencegahan
Demam Berdarah di DKI Jakarta dan Depok. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia. 1 (1):35-40.
Yuliani, S., dan S. Satuhu, 2012. Panduan Lengkap Minyak Atsiri. Penebar Swadaya,
Jakarta, Indonesia, hal. 148.

83
Zen, S., dan T. Asih, 2017. Potensi Ekstrak Bunga Tahi Kotok (Tagetes erecta) Sebagai
Repellent Terhadap Nyamuk Aedes aegypti Yang Aman Dan Ramah Lingkungan.
BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Metro. 8 (2):
142-149.

84
LOMBA POSTER

Toksisitas Akut Produk Herbal “X” Yang Mengandung Kombinasi Biji Jinten Hitam
(Nigella sativa L.) Dan Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Terhadap Mencit Putih Betina
Galur Swiss-Webster

Ellya Aidia1, Sari Meisyayati2, Ade Arinia Rasyad3, Atirah Nabilah4, Vena Widiyono

Sa’diyah5, Siti Wahyuna6


Mahasiswa Farmasi1, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang

ABSTRAK

Minat masyarakat terhadap produk herbal terus meningkat dalam dekade terakhir.
Namun, produk herval tidak sepenuhnya aman karena tidak didukung bukti ilmiah yang
memadai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai LD 50 dan tingkat
keamanan dari produk herbal “X” dengan uji toksisitas akut oral terhadap mencit putih betina
galur Swiss Webster dengan metode OECD 425 (Up and Down Procedure). Parameter yang
diamati adalah mortalitas, tanda-tanda toksisitas, dan organ mencit secara makroskopis. Pada
penelitian ini, mencit diberikan dosis 5000 mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
kematian dan tidak terlihat adanya tanda-tanda toksisitas dalam 14 hari setelah pemberian
dosis. Pengamatan terhadap organ vital jantung, hati, dan ginjal tidak menunjukkan perbedaan
yang berarti dibandingkan dengan mencit kontrol. Berdasarkan analisis dengan software AOT
StatPgm disimpulkan bahwa produk herbal “X” termasuk kategori praktis tidak toksik (LD 50
lebih besar dari 5000 mg/kgBB).

Kata kunci: Produk herbal, toksisitas akut, LD50, OECD 425

ABSTRACT

Public interest in herbal products has continued to increase in the past decade. However,
herbal products were not completely safe because they are not supported by adequate
scientific evidence. The purpose of this study was to determine the LD50 value and the safety
level of the herbal product “X” with an acute oral toxicity test for female white mice Swiss
Webster strain with the OECD 425 (Up and Down Procedure) method. The parameters
observed were mortality, signs of toxicity, and organs of mice. In this study, mice were given
a dose of 5000 mg/kgbb. The results showed that no death and signs of toxicity after 14 days
of dosing were seen. Observation of vital organs, heart, liver, and kidney, did not show any
significant difference compared to control mice. Based on the analysis with AOT StatPgm
software, it was concluded that the herbal product “X” is practically non-toxic (LD 50 greater
than 5000 mg/kgBB).

Keywords: Herbal products, acute toxicity, LD50, OECD 425

85
1. PENDAHULUAN
Kepercayaan masyarakat Indonesia pada produk herbal terus meningkat. Menurut
data Riset Kesehatan Dasar (2010), masyarakat yang memilih obat herbal untuk mengobati
penyakit atau memelihara kesehatan mencapai 59,12%, meningkat dalam waktu 3 tahun
dari yang semula hanya 35,7% (Badan Litbang Kesehatan, 2007). Di Indonesia sebagian
besar produk herbal yang terdaftar adalah kelompok jamu, dimana pembuktian khasiat dan
keamanannya berdasarkan penggunaan empiris secara turun temurun (Menkes, 2007).
Selain jamu masyarakat pun telah mengenal dan mengkonsumsi bermacam-macam obat
herbal dari berbagai Negara lain, baik itu yang berasal dari Cina, India,Australia, ataupun
yang berasal dari Negara-negara Barat dalam era globalisasi saat ini (Kamaludin, 2016).
Menurut survey Maryani, dkk (2017) jamu dan produk herbal saat ini disenangi dan
dipilih masyarakat karena dianggap tidak memiliki efek samping. Persepsi masyarakat
karena herbal adalah tanaman (alami) maka otomatis aman. Namun data-data yang
mendukung asumsi tersebut tidaklah banyak. Banyak efek samping yang berbeda pada
herbal telah dilaporkan, termasuk efek dari konstituen yang aktif secara biologis dari herbal,
efek samping yang disebabkan kontaminan, dan interaksi obat herbal (Bent, 2008). Contoh
kasus yang dilaporkan yaitu kasus ibu hamil yang mengalami kesulitan dalam proses
melahirkan. Dalam dua tahun dilaporkan beberapa kasus sejenis di Rumah Sakit Sardjito
Yogyakarta. Pasien mengalami periode hamil yang diperpanjang dan setelah dilakukan
operasi Caesar, ditemukan selaput cair janin berwarna kehijauan. Pasien mengatakan bahwa
mereka mengkonsumsi produk jamu khusus yaitu cabe puyang yang mengandung cabe jawa
(Piper retrofractum) dan empirit lempuyang (Zingiber americans). Konstituen aktif produk
jamu ini belum jelas. Menurut tes farmakologis in situ ekstrak produk jamu mungkin
menghambat kontraksi rahim sebagai efek dari alkaloid piperine (Pramono dalam Torri,
2012).
Kasus di atas menunjukkan bahwa produk herbal tidak sepenuhnya aman, untuk itu
akan lebih baik bila produk-produk herbal tersebut diteliti dari manfaat dan keamanannya.
Salah satu produk herbal yang sudah beredar dipasaran adalah produk herbal “X” yang
merupakan produk salah satu industri obat tradisional di Indonesia yang diklaim mampu
menurunkan tekanan darah tinggi. Produk herbal “X” merupakan produk herbal kategori
jamu. Komposisi produk herbal “X” yaitu Morinda citrifolia fructus dan Nigella sativa
semen. Berbagai penelitian tentang aktivitas dan keamanan kedua tanaman ini (dalam
bentuk tunggal) pun sudah banyak dilakukan termasuk penentuan nilai LD50. Akan tetapi

86
kombinasi 2 tanaman ini berpotensi terjadinya interaksi karena 2 senyawa yang diberikan
bersamaan sehingga perlu dilakukan peninjauan keamanannya.
Salah satu uji keamanan yang dapat dilakukan adalah uji toksisitas akut. Uji ini
dapat menghasilkan informasi tentang gejala keracunan dan nilai LD 50 (Lethal Dose) yang
akan memberikan gambaran besarnya daya racun suatu bahan, dan dari sini dapat diketahui
kategori tingkat toksisitas suatu produk herbal (Ngatidjan, 2006).

2. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui efek toksisitas akut produk herbal “X” yang mengandung kombinasi biji
jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang diukur
dengan penentuan nilai lethal dose (LD50).
Mengetahui kategori tingkat toksisitas produk herbal “X” yang mengandung
kombinasi biji jinten hitam (Nigella sativa L.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.)
terhadap mencit putih betina galur Swiss-Webster.
Mengetahui apakah terdapat tanda-tanda toksisitas pada mencit putih betina galur
Swiss-Webster yang diberi produk herbal “X” yang mengandungkombinasi biji jinten hitam
(Nigella sativa L.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.).

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Up and Down dan
terdiri dari 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol dan kelompok uji. Hewan uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih betina galur Swiss-Webster usia 8-12
minggu dengan selisih berat badan antar mencit tidak lebih dari ±20%. Sampel yang
digunakan adalah produk herbal “X” yang mengandung kombinasi biji jinten hitam (Nigella
sativa L.) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.).

87
Prosedur Penelitian
Penyiapan Larutan Uji Dosis 5000 mg/kgBB

Serbuk sampel ditimbang Ditambahkan tween 80


sebanyak 2875 mg, 1% digerus hingga
dimasukkan ke dalam homogen
lumpang

Larutan sediaan uji diberikan Tambahkan aquades sedikit,


kepada hewan uji sebanyak 1 dimasukkan ke dalam labu
ml (125 mg) ukur 10 ml, ditambahkan
aquades

Uji Toksisitas Akut Metode Up and Down Main Test

88
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Nilai LD50
Metode uji toksisitas akut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Up and Down
Procedure (UDP). Metode ini merupakan metode alternatif dalam pengujian toksisitas akut.
Hewan uji yang digunakan pada metode UDP lebih sedikit yakni sepertiga dari jumlah hewan
yang digunakan dalam metode konvensional (Erkekoglu, 2011). Metode UDP juga telah
divalidasi dan memenuhi persyaratan akurasi dan persisi sehingga dapat digunakan sebagai
metode acuan uji toksisitas (Ningrum, 2012). Metode Up and Down Procedure terdiri dari
dua tahap yaitu limit test dan main test. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah
limit test dengan dosis 5000 mg/kgBB. Dosis 5000 mg/kgBB dipilih karena berdasarkan
penelitian sebelumnya ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L) dan biji jinten
hitam (Nigella sativa L) memiliki LD50 berturut-turut >2000mg/kgBB dan >21g/kgBB
(Radhakrishnan dkk, 2015; Vahdati-Mashhadian dkk, 2005). Sehingga dapat diasumsikan

89
bahwa bahan uji memiliki nilai LD50 > 5000 mg/kgBB. Metode UDP limit test terdiri dari 3
termin. Pada termin pertama limit test,1 ekor mencit diberikan suspensi sediaan uji dengan
dosis 5000 mg/kgBB. Sediaan uji diberikan secara oral menggunakan sonde. Rute oral dipilih
karena disesuaikan dengan rute yang digunakan pada manusia dalam mengkonsumsi produk
herbal “X”. Karena diberikan melalui oral maka sebelum pemberian bahan uji, mencit harus
dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya
kemungkinan reaksi antara bahan uji dengan senyawa kandungan pakan dalam saluran cerna
mencit (Jothy dkk, 2011).
Saat pemberian bahan uji, mencit ditimbang bobot badannya terlebih dahulu untuk
menyesuaikan dengan dosis. Volume cairan yang bisa diberikan sekaligus pada mencit tidak
melebihi 1 ml/100 g bobot badan. Bahan uji diberikan dalam dosis tunggal. Namun pada
penelitian ini pemberian dosis tunggal (125 mg/0,25ml) tidak memungkinkan karena sediaan
uji terlalu kental. Maka bahan uji diberikan sebanyak 4 kali @0,25 ml (konsentrasi 125
mg/ml) dengan interval pemberian 30 menit. Hal ini boleh dilakukan selama periode
pemberian tidak lebih dari 24 jam (OECD, 2008). Setelah 48 jam pemberiaan bahan uji tidak
ditemukan adanya kematian, sehingga limit test dilanjutkan ke termin kedua. Pada termin
kedua limit test, 2 ekor mencit diberikan bahan uji suspensi produk herbal “X” dengan dosis
5000 mg/kgBB. Setelah 48 jam pemberian bahan uji termin kedua juga tidak ditemukan
kematian pada seluruh mencit uji. Berdasarkan OECD 425, jika tidak ditemukan adanya
kematian hewan uji pada kedua termin limit test, maka limit test dapat dihentikan dan tidak
perlu dilakukan main test. Nilai LD50 produk herbal “X” dapat ditentukan dengan
menggunakan Software AOT 425 StatPgm. Hasil pengolahan data respon hewan uji
menunjukkan estimasi nilai LD50 produk herbal “X” adalah > 5000 mg/kgBB. Menurut
klasifikasi Loomis, senyawa dengan nilai LD50 (oral) > 5000 mg/kgBB termasuk senyawa
yang praktis tidak toksik sehingga aman digunakan.
Dari penelitian ini diperoleh hasil LD 50 produk herbal “X” adalah > 5000 mg/kgBB.
Seperti beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa nilai LD50 yang diperoleh dari uji
toksisitas akut dengan metode limit test UDP bukan nilai pasti melainkan hanya nilai estimasi
yaitu > 2000 mg/kgBB atau > 5000 mg/kgBB. Jika menggunakan metode konvensional
mungkin dapat diketahui secara pasti nilai LD50 dari produk “X”. Namun untuk alasan
kepedulian hewan, pengujian bahan uji yang termasuk kategori toksik ringan (>2000
mg/kgBB) dan praktis tidak toksik (>5000 mg/kgBB) tidak disarankan dan hanya boleh
dipertimbangkan bila ada kemungkinan kuat bahwa hasil tes semacam itu memiliki relevansi

90
langsung untuk melindungi manusia atau hewan, serta kesehatan lingkungan (OECD, 2008).
Pengujian toksisitas produk herbal “X” belum pernah dilakukan sebelumnya.
Pernelitian terkait yang penah dilakukan adalah uji toksisitas akut ekstrak etanol buah
mengkudu. Hasil penelitian menunjukkan nilai LD 50 ekstrak etanol buah mengkudu adalah
>2000 mg/kgBB (Radhakrishnan dkk, 2015). Penelitian lain oleh Vahdati-Mashhadian dkk
(2005) tentang toksisitas akut ekstrak etanol biji jinten hitam. Hasil penelitian menunjukkan
LD50 ekstrak etanol biji jinten hitam adalah >21 g/kgBB. Meskipun tidak diketahui secara
pasti nilai LD50 kombinasi buah mengkudu dan biji jinten hitam tidak meningkatkan
toksisitasnya dimana LD50 nya > 5000 mg/kgBB yang berarti tetap aman digunakan.
Hasil pengujian menunjukkan hingga pengamatan 14 hari tidak ada hewan uji yang
menunjukkan mortalitas. Dari data mortalitas tersebut disimpulkan bahwa nilai LD50 produk
herbal “X” lebih besar dari 5000 mg/kgBB.

Tabel 4.1.1 Data Respon Hewan Uji Terhadap Dosis


Bahan Uji Produk Herbal “X”
Tipe Tes Limit Tes
Hewan uji ke- Dosis (mg/kgBB)
Respon hewan uji jangka panjang (14 hari)
1 5000 O O
2 5000 O O
3 5000 O O

Pengamatan Tanda Toksisitas


Parameter kedua yang diamati adalah kemungkinan adanya tanda toksisitas yang
timbul setelah pemberian bahan uji. Pengamatan terhadap tanda-tanda toksisitas dilakukan
dengan membandingkan aktivitas mencit uji dan kontrol setiap 30 menit selama 4 jam awal
setelah pemberian bahan uji secara intensif. Tanda-tanda toksisitas yang diamati adalah
piloereksi, konvulsi, tremor, nyeri, mata, reflek daun telinga, salivasi, lakrimasi,
hiveraktivitas, dan mortalitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada tanda
toksisitas pada seluruh hewan uji bahkan hingga pengamatan selama 14 hari. Hewan uji
menunjukkan perilaku dan aktivitas yang sama dengan mencit kontrol. Hasil penelitian
Radhakrishnan dkk (2015) juga menunjukkan tidak ditemukan adanya gejala toksik pada
hewan uji setelah pemberian ekstrak etanol buah mengkudu. Tanda toksisitas juga tidak
ditemukan pada uji toksisitas akut ekstrak etanol biji jinten hitam (Vahdati- Mashhadian dkk
(2005).

91
Tabel 4.2.1 Hasil Pengamatan Tanda-Tanda Toksisitas

Pengamatan 0 6 12 18 24 H H H H H H H H H H H H H
m 0 0 0 0 1 1 1 1
m m m M 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 1
4
Piroleksi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Reflek
Daun N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Teling
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hiperaktivi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
tas
Mortalitas - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Keterangan:
0 m – 240 m : 0 menit hingga 240 menit, H2 – H14 : hari ke-2 hingga hari ke-14 (-):
tidak terjadi, N: normal

Pengamatan Organ Vital


Parameter uji toksisitas ketiga yang diamati adalah pengamatan terhadap organ
jantung, hati, dan ginjal. Pada hari ke-15 hewan uji dibedah untuk mengamati organ hewan
setelah pemberian bahan uji. Pengamatan pada jantung, hati, dan ginjal dilakukan karena
ketiga organ tersebut memiliki fungsi yang sangat penting. Hasil pengamatan secara visual
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara mencit uji dan mencit kontrol.
Semua mencit menunjukkan ukuran dan warna yang relatif sama.

Tabel 4.3.1 Hasil Pengamatan Organ Mencit


Kontrol Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3

Jantung

92
Hati

Ginjal

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan,
diantaranya:
1. Produk herbal “X” memiliki Nilai LD50 lebih besar dari 5000 mg/kgBB.
2. Produk herbal “X” termasuk kategori praktis tidak toksik berdasarkan kategori Loomis.
3. Tidak terdapat tanda-tanda toksisitas pada mencit yang diberikan produk herbal”X”
menunjukkan aktivitas yang sama dengan mencit kontrol serta secara visual organ-oragn
vital seperti jantung, hati, dan ginjal mencit uji memilki warna yang sama dengan mencit
kontrol.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Diambil
dari https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset- kesehatan-dasar-riskesdas/.
Bent, S. 2008. Herbal Medicine in the United States: Review of Efficacy, Safety, and
Regulation: Grand Rounds at University of California, San Fransisco Medical Center.
Journal of General Internal Medicine, 23(6) : 854-856.
Erkekoglu, Pinar., Giray, B, K., dan Basaran, N. 2011. 3R Principle and Alernative Toxicity
Testing Methods. FABAD Journal of Pharmaceutical Science, 36, 101-117.
Indillah, A. 2016. Uji Toksisitas Akut Gelatin Sapi terhadap Tikus Betina Galur Sprague
Dawley. (skripsi). Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan: UIN Syarif Hidayatullah

93
Jakarta.
Jothy, S, L., Zakaria, Z. Chen, Y., Lau, Y, L., Latha, L, Y., dan Sasidharan, S. (2011). Acute
oral toxicity of methanolic seed extract of cassia fistula in mice. Molecules. 16(6):
5268-5282.
Kamaluddin, M.H. 2016. Obat Herbal Berkhasiat, Keamanan Perlu Dimonitor. J. Indon Med
Assoc. 66(10).
Kemenkes, RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 38/MENKES/SK/III/2007
Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.
Mansuroh, F. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng Kuning
(Rennellia elliptica Korth). (Skripsi). Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Maryani, H., Kristiana, L., dan Lestari, W. 2017. Faktor dalam Pengambilan Keputusan
Pembelian Jamu Saintifik. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 19(3) : 200-210.
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Bagian Farmakologi dan
Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Ningrum, S. R. W. 2012. Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) 425 pada Mencit Betina Menggunakan
Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat. (Skripsi). FMIPA: Universitas Indonesia.
OECD .2008. Test No. 425: Acute Oral Toxicity: Up-and-Down Procedure, OECD
Guidelines for the Testing of Chemicals. Section 4. OECD Publishing. Paris,
https://doi.org/10.1787/9789264071049-en
Radhakrishnan, M., Ramesh, S., Elangomathavan, R., dan Patharajan, S. 2015. Acute toxicity
on the ethanolic fruit extracts of Morinda citrifolia sp. in Wistar albino rats.
International Journal of Research in Pharmaceutical Sciences. 6(1), 44-52.
Torri, M. C. 2013. Knowledge and Risk Perceptions of Traditional Jamu Medicine among
Urban Consumers. European Journal of Medicina Plants. 3(1) : 25-39.
Vahdati-Mashhadian, N., dan Rakhshandeh, H., dan Omidi, A. 2005. An investigation on
LD50 and subacute hepatic toxicity of Nigella sativa seed extracts in mice. Pharmazie,
60(7), 544-547.

94
LOMBA POSTER

Tingkatan Hepatotoksik dan Nefrotoksik Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diberi
Glibenklamid Dan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Komplemen

Rahmad Dhani1, Sari Meisyayati2, Ade Arinia Rasyad3 , Dwiana Arifatur Rosyida4 ,
Tri Wahyuni5, Yella Prastike6

Mahasiswa Farmasi1, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang

ABSTRAK

Telah dilakukan uji toksisitas sub akut glibenklamid 0,9 mg/kgBB dan 1,8 mg/kgBB
dengan komplemen ekstrak buah mengkudu 119 mg/kgBB terhadap tikus putih jantan galur
wistar yang bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian glibenklamid dengan komplemen
ekstrak buah mengkudu dapat menurunkan resiko hepatotoksik dan nefrotoksik yang
disebabkan oleh efek samping glibenklamid. Penelitian ini menggunakan metode studi
eksperimental secara in vivo dengan pendekatan post-test with control group design dengan
subjek penelitian tikus putih jantan galur wistar yang dibagi menjadi masing- masing
kelompok perlakuan, kelompok 1 kontrol normal diberi suspensi NaCMC 0,5 %, kelompok 2
kontrol negatif, diberi glibenklamid dengan dosis 1,8 mg/kgBB, kelompok 3 diberi
glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu dengan masing-masing dosis 0.9
mg/kgBB dan 119 mg/kgBB, kelompok 4 diberi glibenklamid dengan komplemen ekstrak

95
buah mengkudu dengan masing-masing dosis 1,8 mg/kgBB dan 119 mg/kgBB perlakuan
diberikan selama 30 hari. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar SGPT dan kreatinin. Data
yang diperoleh kemudian diolah secara statistika menggunakan SPSS 22, dan didapatkan hasil
bahwa pemberian glibenklamid dengan ekstrak buah mengkudu sebagai komplemen tidak
meningkatkan kadar aktivitas SGPT dan dapat meningkatkan kadar kreatinin.

Kata kunci : Toksisitas, Glibenklamid, Buah mengkudu, SGPT, Kreatinin

ABSTRACT

Subacute toxicity tests of glibenclamide at dose 0.9 mg/kgbb and 1.8 mg/kgbb have
been done with Morinda citrifolia L. extract complement 119 mg/kgbb against Wistar strain
male white rats that aims to determine whether the administration of glibenclamide with
complement Morinda citrifolia L. extract can reduce the risk of hepatotoxic and nephrotoxic
caused by the glibenclamide effect. This study used an in vivo experimental study method with
a post-test with control group design approach with the subjects of Wistar strain male white
rats divided into each treatment group, normal control group 1 was given a NaCMC 0.5%
suspension, negative control group 2 were given glibenclamide at a dose of 1.8 mg/kgbb,
group 3 was given glibenclamide with a complement of Morinda citrifolia L. extract at a dose
of 0.9 mg/kgbb and 119 mg/kgbb, group 4 was given glibenclamide with a compliment of
Morinda citrifolia L. extract with each dose of noni fruit extract 1.8 mg/kgbb and 119
mg/kgbb given for 30 days. Furthermore, SGPT and creatinine levels were examined. The
data obtained were then processed statistically using SPSS 22, and the results were obtained
that the administration of glibenclamide with Morinda citrifolia L. extract as a compliment
did not increase the level of SGPT activity and could increase creatinine levels.

Keywords: Toxicity, Glibenclamide, Morinda citrifolia L., SGPT, Creatinine

1. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme lemak,
karbohidrat, dan metabolisme protein yang ditandai dengan beberapa macam resistensi
insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan
lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan
penurunan serapan otot rangka glukosa, kerja insulin (sensitivitas) atau keduanya (Wells
dkk, 2015). Menurut World Health Organization (2019), diabetes mellitus merupakan salah
satu penyebab utama gagal ginjal, 10-20% penderita diabetes mellitus meninggal karena
gagal ginjal. Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM adalah
masalah kesehatan yang besar. Terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2015, sebanyak 415 juta orang dewasa memiliki diabetes, kenaikan 4 kali
lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Indonesia menempati peringkat ke tujuh dunia untuk
prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia dengan jumlah estimasi orang dengan
diabetes sebesar 10 juta (IDF, 2015).
Penatalaksanaan DM tipe 2 sering membutuhkan penggunaan beberapa terapi agen

96
(terapi kombinasi), termasuk oral dan/atau antihiperglikemik dan insulin injeksi untuk
mendapatkan tujuan penurunan kadar gula darah. Manajemen faktor risiko penyakit
kardiovaskular DM tipe 2 diperlukan untuk mengurangi risiko kardiovaskular yang
merugikan. Penghentian merokok, penggunaan antiplatelet terapi sebagai strategi
pencegahan utama. Metformin direkomendasikan dalam terapi untuk pasien DM tipe 2
dengan obesitas jika tidak kontraindikasi, karena metformin merupakan satu-satunya obat
antihiperglikemik oral terbukti mengurangi risiko total mortalitas (Wells dkk, 2015). Obat-
obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II
yaitu golongan sulfonilurea, biguanida, tiazolidindion dan golongan inhibitor α-glukosidase
(Gunawan, 2016).
Glibenklamid merupakan salah satu obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
yang sering digunakan dikalangan masyarakat meskipun secara umum telah diketahui
memiliki berbagai efek samping. Contohnya pada penelitian sebelumnya menyebutkan
bahwa glibenklamid memiliki efek nefrotoksik dan hepatotoksik (Khoja, 2004). Pada
penelitian lain mengungkapkan bahwa pengobatan glibenklamid memiliki peran yang
signifikan dalam menurunkan glukosa darah tetapi pada saat yang sama meningkatkan stres
oksidatif, yang terlihat dalam aktivitas malondialdehid tinggi dari kedua jaringan hati dan
pankreas (Pandarekandy dkk, 2017).
Efek samping yang telah diketahui tidak membuat masyarakat untuk berhenti
menggunakan terapi glibenklamid. Oleh sebab itu telah dilakukan penelitian yang
membuktikan bahwa terapi kombinasi glibenklamid dengan ekstrak buah mengkudu pada
dosis 170 mg/kgBB 340 mg/kgBB selama 14 hari sebagai komplemen glibenklamid pada
dosis 1,3 mg/kgBB mampu menurunkan kadar glukosa darah mencit diabetes yang masing-
masing sebesar 66,45% dan 59,06%. Nilai persentase penurunan kadar glukosa darah
tersebut lebih besar dibandingkan pemberian glibenklamid tunggal (Meisyayati dan Lidia,
2011). Pada penelitian lain mengungkapkan bahwa ekstrak buah mengkudu (Morinda
citrifolia L.) memiliki aktivitas antioksidan dengan hasil identifikasi kandungan terbesar
buah mengkudu adalah senyawa n-hexadecanoic acid, squalene, pyridin-3-carboxamide,
oxime, N-(2-trifluoromethylphenyl) dan β – sitostero yang terdapat pada fraksi klorofom
(Sogandi dan Rabima, 2019). Kombinasi sari rimpang kunyit putih dengan sari buah
mengkudu bersifat hepatoprotektor, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan
pasien pengidap gangguan fungsi hati atau pasien dengan SGOT dan SGPT tinggi (Ma’at,
2012). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Karamcheti dkk (2014) menyebutkan
bahwa ekstrak buah mengkudu memiliki sifat nefroprotektor dengan dosis tunggal harian

97
ekstrak Morinda citrifolia 200 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB selama 14 hari setelah dosis
tunggal cisplatin pada hari 1 secara signifikan menurunkan urea, kreatinin, kadar protein
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok toksik.
Adanya efek hipoglikemia pada penggunaan kombinasi glibenklamid dengan ekstrak
buah mengkudu, maka diharapkan kedua tersebut dapat mengurangi efek hepatotoksik dan
nefrotoksik yang disebabkan dari terapi glibenklamid. Untuk itu penelitian ini dilakukan
untuk melihat apakah kombinasi tersebut dapat mengurangi efek hepatotoksik dan
nefrotoksik yang disebabkan dari terapi glibenklamid.

2. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui apakah pemberian kombinasi glibenklamid dan ekstrak buah mengkudu dapat
menurunkan risiko hepatotoksik
2. Mengetahui apakah pemberian kombinasi glibenklamid dan ekstrak buah mengkudu dapat
menurunkan risiko nefrotoksik.

3. METODE
Penelitian ini menggunakan metode studi eksperimental secara in vivo dengan
pendekatan post test with control group design dengan subjek penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus nervegicus) galur wistar, berusia 2-3 bulan, berat badan antara 180-200 gram.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi STIFI Bhakti Pertiwi Palembang
dan BBLK Palembang. selama 3 bulan.
Preparasi sampel : Buah mengkudu (1kg) dipisahkan dengan kulitnya lalu dicuci
bersih lalu dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu
ruang dan setelah kering buah mengkudu (800g) dibungkus dengan kertas saring. Lalu
dilakukan ekstraksi dengan metode refluks dengan pelarut etanol sampai sampel terendam
(volume terhitung) selama 3 jam dan dilanjutkan dengan penguapan pelarut secara destilasi
uap hingga diperoleh ekstrak kental.
Skrining fitokimia : Terhadap ekstrak buah mengkudu dilakukan skrining fitokimia
dengan menggunakan reagen pereaksi khusus untuk golongan alkaloid (pereaksi Mayer)
reaksi positif menghasilkan endapan putih, terpenoid dan steroid (pereaksi Lieberman-
Burchard) dengan reaksi positif terpenoid menghasilkan warna coklat kemerahan, flavonoid
(sianidin test) reaksi positif flavonoid menghasilkan warna biru kehitaman, saponin (reaksi
busa) reaksi positif menghasilkan busa, fenolik (pereaksi besi III khlorida) reaksi positif
menghasilkan warna merah (Jamal, 2012).

98
Rancangan penelitian ini adalah studi eksperimental secara in vivo dengan
pendekatan post test with control group design. Hewan Percobaan dibagi menjadi 4
kelompok, 1 kelompok sebagai kelompok kontrol positif, 1 kelompok sebagai kontrol
negatif dan 2 kelompok diberikan perlakuan dosis dan komplemen, setiap kelompok terdiri
dari 5 ekor tikus. Dosis yang digunakan mengacu pada penelitian Meisyayati dan Lidia
(2011) efektivitas glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu telah diteliti
dengan berbagai dosis. sehingga peneliti berkeinginan untuk melihat toksisitas apabila dosis
glibenklamid divariasikan menjadi 2 variasi untuk melihat pengaruh dosis glibenklamid
dalam melihat hepatotoksik dan nefrotoksik yaitu dosis (0,9 mg/kgBB dan 1,8 mg/kgBB)
dan 1 variasi dosis ekstrak buah mengkudu untuk menambah sebagai komplemen yaitu (119
mg/kgBB). Perlakuan dosis diberikan selama 30 hari. Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah nilai aktivitas kadar SGPT untuk menilai kerusakan organ hati dan
kadar kreatinin untuk melihat kerusakan organ ginjal.
Analisis data : Analisa statistika dilakukan dengan program SPSS 22. Perbedaan
rerata kadar kreatinin dan SGPT akan diuji menggunakan uji ANOVA one way dan
dilanjutkan uji Duncan untuk melihat perbedaan kadar SGPT dan kreatinin pada masing-
masing kelompok perlakuan. Signifikansi P< 0,05.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai Kadar SGPT
Nilai Rerata
No Dosis Perlakuan Nilai Rerata
1 Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%)
2 Kontrol Positif (Glibenklamid 1,8 mg/kgBB)
Glibenklamid 0.9 mg/kgBB
3 Ekstrak Buah Mengkudu 119 Glibenklamid 1.8 mg/kgBB
mg/kgBB
4 Ekstrak Buah Mengkudu 119 SGPT
mg/kgBB ± SD( U/L)
62 ± 10,22
77,4 ± 13,64
77 ± 7,38
75,2 ± 19,67

Nilai Kadar Kreatinin

99
No Dosis Perlakuan Nilai Rerata Kreatinin
1 Kontrol Negatif (NaCMC
0,5%)
2 Kontrol Positif (Glibenklamid 1,8 mg/kgBB)
Glibenklamid 0.9 mg/kgBB
3 Ekstrak Buah Mengkudu 119 Glibenklamid 1.8 mg/kgBB
mg/kgBB
4 Ekstrak Buah Mengkudu 119 ± SD (mg/dL)
mg/kgBB 0,62 ± 0,83
0,38 ± 0,53
0,45 ± 0,93
0,44 ± 0,83

Diagram Batang Rerata Kadar SGPT

Diagram Batang Rerata Kadar Kreatinin

100
Perlakuan hewan uji adalah NaCMC 0,5% pada kelompok 1 kontrol negatif,
glibenklamid 1,8 mg/kgBB pada kelompok 2 kontrol positif dan pemberian glibenklamid
dengan kompleman ekstrak buah mengkudu 119 mg/kgBB pada kelompok perlakuan 3 dan 4
dengan dosis glibenklamid masing-masingnya adalah 0,9 mg/kgBB dan 1,8 mg/kgBB.
Pemilihan dosis ini mengacu kepada Meisyayati dan Lidia (2011) yang telah melakuan
uji efektivitas glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu. Sehingga penelitian
ini dimaksudkan untuk melihat keamanan glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah
mengkudu yang digunakan untuk mengobati diabetes tipe II.
Setelah pemberian perlakuan NaCMC 0,5%, glibenklamid 1,8 mg/kgBB dan
glibenklamid dengan dosis 0,9 dan 1,8 mg/kgBB dengan komplemen ekstrak buah mengkudu
119 mg/kgBB selama 30 hari dan pada hari ke 31 darah tikus diambil melalui pembuluh darah
vena leher. Pada pemberian glibenklamid 1,8 mg/kgBB kelompok kontrol positif selama 30
hari pada tikus putih jantan galur wistar menyebabkan adanya peningkatan aktivitas SGPT
sebesar 77,4 ± 13,64 U/L (24,83%) dibandingkan dengan pemberian NaCMC 0,5% yang
aktivitas SGPTnya sebesar 62 ± 10,22 U/L, peningkatan aktivitas SGPT digunakan sebagai
parameter penanda kerusakan hati, pada penelitian pemberian glibenklamid menyebabkan
kerusakan hati dan ginjal yang dilakukan oleh Khoja, (2004). Menurut Kahar, (2017) SGPT
(Serum Glutamat Piruvat Transaminase) yang juga dinamakan ALT (Alanin
aminotransferase) merupakan parameter pemeriksaan fungsi hati. Apabila terjadi gangguan
fungsi hati, enzim aminotransferase di dalam sel akan masuk ke dalam peredaran darah,
karena terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga kadar enzim aminotransferase

101
dalam darah akan meningkat. Enzim aminotransferase yang paling sering dihubungkan
dengan kerusakan sel hati adalah alanin aminotransferase (ALT) yang juga disebut (SGPT)
serum glutamat piruvat transaminase.
Pada kelompok perlakuan yang diberi glibenklamid 0,9 dengan komplemen ekstrak
buah mengkudu 119 mg/kgBB dan 1,8 mg/kgBB dengan komplemen ekstrak buah mengkudu
119 mg/kgBB selama 30 hari menyebabkan adanya penurunan aktivitas SGPT sebesar 77 ±
7,38 (0,51%) dan 75,2 ± 19,67 (2,92%) dibandingkan dengan kontrol positif yang diberi
glibenklamid 1,8 mg/kgBB sebesar 77,4 ± 13,64 U/L. Penambahan ekstrak buah mengkudu
dalam komplemen glibenklamid pada uji toksisitas subakut memiliki efek yang baik dengan
menurunkan aktivitas SGPT , hal tersebut dapat terjadi karena diduga ekstrak buah mengkudu
dapat berperan sebagai hepatoprotektor seperti pada penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Surya dkk, (2009) bahwa ekstrak buah mengkudu dengan dosis 0,56 g, 1,12 g dan 2,24 g
dapat menurunkan kadar enzim SGOT dan SGPT pada mencit. Diduga aktivitas
hepatoprotektor didukung dengan kandungan ekstrak buah mengkudu dengan hasil
identifikasi kandungan terbesar buah mengkudu yang berperan sebagai antioksidan adalah
senyawa n-hexadecanoic acid, squalene, pyridin-3-carboxamide, oxime, N-(2-
trifluoromethylphenyl) dan β–sitostero yang terdapat pada fraksi klorofom (Sogandi dan
Rabima, 2019).

Jika dibandingkan dengan kadar normal SGPT yaitu 25-200 U/L (Shayne, 2007) yang
juga dibandingkan dengan nilai kadar SGPT dari sejumlah hasil penelitian (Lestari, dkk 2019;
Hartono dan Sulistiana 2019; Wardani, dkk 2016; Arjadi, dkk 2017; Rahmawati dan Galuh
2018) didapatkan rata-rata yaitu sebesar 80,04 U/L dengan range kadar 46,6 U/L – 135 U/L,
maka semua kelompok perlakuan yang diberi perlakuan NaCMC 0,5%, glibenklamid 1,8
mg/kgBB dan glibenklamid 0,9 dan 1,8 mg/kgBB dengan komplemen ekstrak buah
mengkudu 119 mg/kgBB selama 30 hari aktivitas SGPTnya masih berada dalam rentang
normal. Berdasarkan uji statistik ANOVA satu arah terlihat tidak adanya perbedaan yang
bermakna dari semua kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tehadap penurunan
aktifitas SGPT (p>0,05).
Selain dilakukan pengukuran kadar SGPT dilakukan juga pengukuran kadar kreatinin
menurut Verdiansah (2016) kreatinin merupakan zat yang ideal untuk mengukur fungsi ginjal
karena merupakan produk hasil metabolisme tubuh yang diproduksi secara konstan, difiltrasi
oleh ginjal, tidak direabsorbsi, dan disekresikan oleh tubulus proksimal. Kreatinin serum laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan karena massa otot yang lebih besar pada laki-laki.

102
Pada kelompok kontrol positif yang diberi perlakuan glibenklamid 1,8 mg/kgBB
selama 30 hari menyebabkan adanya penurunan kadar kreatinin sebesar 0,38 ± 0,53 mg/dL
(63,15%) dibandingkan kelompok kontrol negatif yang diberi NaCMC 0,5% sebesar 0,62 ±
0,83 mg/dL hal tersebut membuktikan bahwa dengan pemberian glibenklamid pada dosis 1,8
mg/kgBB diduga belum bisa meningkatkan kadar kreatinin dalam artian belum bisa
menyebabkan nefrotoksik. Menurut diagnosis gagal ginjal dapat ditegakkan saat nilai
kreatinin serum meningkat di atas nilai rujukan normal. Verdiansah (2016) menyatakan
bahwa kerusakan ginjal dapat ditentukan saat nilai kreatinin serum meningkat di atas nilai
rujukan normal.
Pada kelompok perlakuan 3 dan 4 yang diberi perlakuan glibenklamid 0,9 dan 1,8
mg/kgBB dengan komplemen ekstrak buah mengkudu 119 mg/kgBB selama 30 hari
menyebabkan peningkatan kadar kreatinin sebesar 0,45 ± 0,93 mg/dL (18,42%) dan 0,44 ±
0,83 mg/dL (15,78%) dibandingkan kelompok kontrol positif yang diberi glibenklamid 1,8
mg/kgBB selama 30 hari sebesar 0,38 ± 0,53 mg/dL. Kadar kreatinin pada kelompok yang
diberi perlakuan glibenklamid 0,9 dan 1,8 mg/kgBB dengan komplemen ekstrak buah
mengkudu 119 mg/kgBB lebih besar tetapi kadar kreatinin pada kelompok tersebut masih
dalam range normar, karena nilainya berdekatan dengan kadar kreatinin kelompok yang diberi
NaCMC 0,5%, tetapi pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa buah mengkudu
memiliki sifat sebagai nefroprotektor yang dilakukan oleh Karamcheti dkk (2014)
membuktikan bahwa pengobatan dengan dosis tunggal harian ekstrak Morinda citrifolia 200
mg/kgBB dan 100 mg/kgBB selama 14 hari setelah dosis tunggal cisplatin pada hari 1 secara
signifikan menurunkan urea, kreatinin, kadar protein. Ali dkk (2018) menyatakan bahwa
pemberian jus buah mengkudu 0,35 ml/tikus dapat menurunkan stres oksidatif sebagai agen
utama dalam menyebabkan nefrotoksik melalui kandungan antioksidan yang terkandung
dalam buah mengkudu.
Jika dibandingkan dengan kadar normal kreatinin serum yaitu 0,5-0,8 mg/dl (Shayne,
2007) yang juga dibandingkan dengan nilai kadar kreatinin dari sejumlah hasil penelitian
(Saryanto dan Danang 2015; Rahmawati dan Galuh 2018; Prastika, dkk 2017; Amir, dkk
2015; Tandi 2017) didapatkan rata-rata yaitu sebesar 0,59 mg/dl dengan range kadar 0,37
mg/dl – 0,85 mg/dl, maka semua kelompok perlakuan yang diberi perlakuan NaCMC 0,5%,
glibenklamid 1,8 mg/kgBB dan glibenklamid 0,9 dan 1,8 mg/kgBB dengan komplemen
ekstrak buah mengkudu 119 mg/kgBB selama 30 hari kadar kreatininnya masih berada dalam
rentang normal. Berdasarkan uji statistik ANOVA satu arah terlihat adanya perbedaan yang
bermakna dari kelompok kontrol positif dengan 3 kelompok perlakuan lainnya termasuk

103
kelompok perlakuan glibenklamid tunggal dengan dosis 1,8 mg/kgBB tehadap penurunan
kadar kreatinin yang artinya pemberian glibenklamid dengan dosis tersebut belum dapat
menyebabkan nefrotoksik (p<0,05).
Dari hasil diatas maka pada hipotesa 1 Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan
kadar SGPT darah tikus putih jantan yang diberi glibenklamid dengan komplemen ekstrak
buah mengkudu dan diberi glibenklamid tunggal karena masih dalam range normal dan
hipotesa 2 Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan kadar kreatinin darah tikus putih
jantan yang diberi glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu dan diberi
glibenklamid tunggal karena masih dalam range normal.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkatan hepatotoksik dan nefrotoksik glibenklamid tunggal dan glibenklamid dengan
komplemen ekstrak buah mengkudu dalam kategori normal.
2. Tidak ada perbedaan signifikan pada tingkatan hepatotoksik antara pemberian
glibenklamid tunggal dan pemberian glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah
mengkudu.
3. Tidak ada perbedaan signifikan pada tingkatan nefrotoksik antara pemberian glibenklamid
tunggal dan pemberian glibenklamid dengan komplemen ekstrak buah mengkudu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya penelitian ini kami ucapkan terima kasih kepada Donatur Dana
Penelitian Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEKDIKTI) dan Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Bhakti Pertiwi.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad, Mruthunjaya K.B., Nandini C.A., Nabeel K.A dan Manjula S. N. 2016.
Chemoprotective Effect Of Noni (Morinda Citrifolia L.) Fruit Juice Against Cisplatin-
Induced Nephrotoxicity. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences, 8(10), 105 – 110.
Amir, Nursinah, Eddy Suprayitno, Hardoko., Happy Nusyam. 2015. Pengaruh Sipermetrin
Pada Jambal Roti Terhadap Kadar Ureum dan Kreatinin Tikus Wistar (Rattus
norvegicus). Jurnal IPTEKS PSP, 2(3): 283-293.
Arjadi, Fitranto, Dhadhang Wahyu K., Tomi Nugraha, Fikriah Rismi F., Emiliza Salman, dan
Nafisah Putri W. 2017. Pengaruh Pemberian Ekstrak Akar Purwoceng (Pimpinella
pruatja Molk.) Secara Akut Terhadap fungsi Hepar Tikus Putih Jantan: Uji Toksisitas
Akut. Prosiding Seminar Nasional dan Cali For Papers, Purwokerto.

104
Gunawan, Gan Sulistia. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hartono, Eric dan Sulistiana Prabowo. 2019. The hepaprotector Effect Of Neem Leaf Extract
Using SGPT Activity Test On Male Wistar Rats Induced With High ose Paracetamol.
Nusantara Medical Science Journal, 4(2): 1-6.
Internatonal Diabetes Federation (IDF). 2015. Diabetes Atlas 7th Edition. Diakses pada
tanggal 24 Oktober 2018. https://www.oedg.at/pdf/ 1606_IDF_Atlas_2 015UK.pdf.
Jamal, Rusjdi. 2012. Kimia Bahan Alam Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan
Identifikasi.Padang: Universitas Baiturrahmah.
Kahar, H., Dr.dr. Sp.PK. MQIH. 2017. Pengaruh Hemolisis Terhadap Kadar Serum Glutamate
Pyruvate Transaminase (SGPT) Sebagai Salah Satu Parameter Fungsi Hati. Surabaya :
The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory Technologist, 2(1), 38- 46.
Karamcheti, Seshachary A.,D. Satyavati, N.Siva Subramanian, Pradeep H.A., C. Pradeep
kumar, dan G.Deepika Sri Prashanthi. 2014. Chemoprotective effect of ethanolic
extract of Morinda citrifolia against Cisplatin induced nephrotoxicity. The Pharma
Innovation – Journal, 3(1), 84 – 91.
Khoja, Samir Mohamed. 2004. Effect of Glibenclamide on Liver and Renal Functions in Type
2 Diabetic Mellitus. College of Sciences. King Abdulaziz University.
Lestari, Tri, Yuliani mardiati L., Sri Wahyuni N., Sri Lestari W. N., Djong Hon T.,
Hermansyah Aziz, Rahmana Zein dan Ali Napiah N. 2019. Uji Efektivitas Ekstrak
Buah Kurma dan Ekstrak Buah mahkota Dewa Dari Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Terhadap Tikus Yang Di Induksi Parasetamol. JURNAL FARMACIA, 1(1): 1-7.
Ma’at, Suprapto. 2012. Kunyit Putih Dan Buah Mengkudu Sebagai Hepatoprotektor Terkait
Karbon Tetraklorida. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, 19(1), 34–36.
Meisyayati, Sari dan Lidia. 2011. Efektivitas Buah Mengkudu Sebagai Komplemen
Glibenklamid Pada Pengobatan Diabetes Mellitus Terhadap Mencit Putih Jantan. Syifa
Medika, 2(1), 54-61.
Pandarekandy, Seena T., P. G. Sreejesh, B. S. Harikumaran Thampi dan E. Sreekumaran.
2017. Hypoglycaemic Effect of Glibenclamide: a Critical Study on the Bassis of
Creatinine and Lipid Peroxidation Status of Streptozotolin-Induced Diabetic Rat.
Indian Journal pf Pharmaceutical Sciences, 79(5), 768-777.
Prastika, Indah N., Nour Athiroh AS dan Hari Santoso. 2017. Pengaruh Pemberian Subkronik
Ekstrak Metanolik Scurrula Atropurpyrea (BI) Dans Terhadap Kadar Kreatinin Tikus
Wistar. E-Jurnal Ilmiah BIOSAINTROPIS (BIOSCIENCE-TROPIC), 2(2): 42-48.
Rahmawati, Nuning dan Galuh Ratnawati. 2018. Toksisitas Subkronis Kombinasi
Temulawak, Kunyit dan Meniran Terhadap Fungsi Hepar dan Ginjal Tikus Uji. 11(1):
26-36.
Saryanto dan Danang Ardiyanto. 2015. Uji Toksisitas Akut dan Sub Kronis Ramuan Jamu
untuk Fibro Adenoma Mamae (FAM). Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal
Sebagai Alternatif Medicine. Semarang.
Shayne C. Gad. 2007. Animal Model in Toxicology (2rd ed.). New York: Taylor & Francis.
Sogandi dan Rabima. 2019. Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda
citrifoliaL.) dan Potensinya sebagai Antioksidan. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi,

105
22(5), 206-212.
Tandi, Joni. 2017. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Jambu Air (Syzygium aqueum (Burm f.)
Alston) Terhadap Glukosa darah, Ureum dan Kreatinin Tikus Putih (Rattus
norvegicus).Journal of Tropical Pharmacy And Chemistry, 4(2): 43- 51.
Verdiansah,. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CDK-237, 43(2), 148-154.
Wardani, Rizka N., Elly Nurus S. dan Yudha Nurdian. 2016. Pengaruh Pemberian Ekstrak
Etanol Brokoli (Brassica oleracea) Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Wistar
yang Diinduksi DMBA. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(2): 196-199.
Wells, Barbara G., Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer, dan Cecily V. DiPiro. 2015.
Pharmacotheraphy Phatophysiologic Approach Ninth Edition.United State American:
McGraw-Hill Education.
World Health Organization (WHO). 2019. Diabetes Mellitus. Diakses pada tanggal 24
November 2019. https://www.who.int/health-topics/diabetes.

LOMBA POSTER

Pengaruh Pemberian Fraksi Aktif Gambir (Uncaria gambir) Terhadap Ekspresi Protein
TNF-α Dan Luas Lesi Pada Tikus Model Gastritis

Lunsi Okta Fitria1, Dini Aprilianti1, Ellya Aida1, Rahmad Dhani1, Ni Wayan Lisa Suasti1
1
Mahasiswa Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi

ABSTRAK

Gambir (Uncaria gambir) secara empiris digunakan untuk mengobati sakit perut dan
muntah yang disebabkan oleh gastritis karena efek anti-inflamasinya, terutama flavonoid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fraksi gambir aktif pada ekspresi protein
TNF- α dan ukuran luka pada model gastritis tikus putih. Metode penelitian menggunakan
desain penelitian eksperimental in vivo dengan post test dengan pendekatan post test with
control group design. Tikus terbagi secara acak di 11 kelompok dan diinduksi mejadi gastritis

106
selama 1 hari. Kelompok 1 (kontrol negatif) diberi aquadest 5 mL, kelompok 2 (kontrol posif)
diberi ranitidin 10 mg/kgBB, kelompok 3, 4 dan 5 diberi fraksi n-heksana, kelompok 6, 7, dan
8 diberi fraksi air, dan kelmok 9, 10, dan 11 diberi fraksi etil dgan masing-masing kelompok
menerima dosis 20, 40, dan 80 mg/kgBB dan semua kelompok dirawat selama 3 hari. Pada
hari ke 5 tikus dibeda untuk diperiksa luas lesi gaster dan dilakukan pemeriksan ELISA untuk
menilai adar TNF-α dalam jaringan gaster. Hasil penelitian ini diuji dengan SPSS 18. Hasil
penelitian dengan menggunakan Kruskal-Wallis Tes menunjukka bahwa ada perbedan yang
signifikan (p<0,05) dari ukuran lesi antara kelompok sampel dimana kontrol positif, fraksi etil
200, 40, dan 80 mg/kgBB, dan fraksi air 20, 40 mg/kgBB memiliki ukuran lesi mukosa
lambung berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol negatif, sedangkan uji ekspresi
protein TNF-α menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan ahwa ada perbedaan yang
signifika (p<0,05) tingkat TNF-α dari semua kelompok terhadap kontrol negatif. Fraksi
gambir aktif memiliki potensi untuk mengurangi ukuran lesi mukosa gaster dan mengurangi
ekspresi protein TNF-α.

Kata Kunci: Gambir, TNF-α, antiinflamasi, gastritis

ABSTRACT

Gambir (Uncaria gambir) is empirically used to treat abdominal pain and vomittus
caused by gastritis because of its anti-inflammatory effects, especially flavonoid. This study
aims to determine the effect of active gambir fraction on TNF-α protein expression and
wound size in white rats gastritis model. The research method used experimental study design
in vivo with post test with control group design. Rats were divided randomly in 11 groups and
were induced to be gastritis for 1 day. Group 1 (negative control) was given aquadest of 5
mL, group 2 (positive control) was administered ranitidine 10 mg/kgBW, groups 3, 4, and 5
were given n-hexane fraction, groups 6, 7 and 8 were given a water fraction, and groups of 9,
10, and 11 were given ethyl fractions with each group receives dose of 20, 40, and 80
mg/kgBW and all groups were treated for 3 days. Rats were dissected on 5th day for
examination of gastric mucosal lesion size and performed ELISA expression of TNF-α
expression of gastric mucosal tissue. The results of this study were assayed by SPSS 18. The
result of the research using Kruskal-Wallis test showed that there were significant differences
(p <0.05) of the lesions size between the sample groups where control positive, ethyl fraction
20, 40, 80 mg/kgBW, and water fraction 20, 40 mg/kgBB had the gastric mucosal lesion size
differed significantly with the negative control group, while the TNF-α protein expression test
using Kruskal-Wallis showed that there was a significant difference (p <0.05) TNF-α levels of
all groups against the negative control. Active gambir fraction had a potention to reduce size
of mucose gaster lesion and reduce expression of TNF-α protein.

Keywords: Gambir, TNF-α, antiinflamatory, gastiritis

1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) mengadakan peninjauan terhadap beberapa
negara di dunia dan mendapatkan hasil persentase dari angka kejadian gastritis di dunia,
diantaranya Inggris 22 %, China 31%, Jepang 14,5 %, Kanada 35 % dan Perancis 29,5%
sedangkan di Indonesia angka kejadiaan gastritis cukup tinggi prevalensinya yaitu 274.396
kasus dari 283.452.952 jiwa penduduk (Zaqyyah Huzaifah, 2017). Gastritis adalah suatu

107
keadaan dimana lapisan lambung, dikenal sebagai mukosa, mengalami lesi dan peradangan.
Proses peradangan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya ekspresi protein TNF-α karena
TNF-α mempunyai beberapa fungsi dalam proses inflamasi (peradangan) yaitu dapat
meningkatkan dan merangsang adhesi dari sel leukosit. TNF-α merupakan sitokin yang
banyak disekresian oleh makrofag dan memiliki banyak peran metabolisme seperti proliferasi
sel, diferensiasi, apoptosis (A. Siregar, dkk, 2015). Gastritis yang merupakan peradangan
pada mukosa lambung (gaster) ini dapat dibagi menjadi gastritis akut dan kronis. Gastritis
akut adalah gastritis yang terjadi secara mendadak, berat, dan terjadi singkat, sedangkan
gastritis kronis adalah gastritis yang terjadi dalam jangka waktu lama. Gastritis erosif adalah
tipe gastritis lainnya yang dapat terjadi akut atau kronis, tetapi lapisan lambung mengalami
erosi baik dangkal maupun dalam sehingga dapat terjadi perdarahan dan berujung kematian.
Gastritis dalam jangka waktu lama oleh infeksi H. pylori juga dapat menyebabkan kanker
lambung. Secara klinis, gastritis dapat dirasakan sebagai keluhan nyeri ulu hati, mual, dan
muntah sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, bahkan gastritis erosif dapat
mengakibatkan BAB berdarah, dan muntah darah (U.S. Department of Health and Human
Services, 2015.).
Tatalaksana gastritis meliputi obat-obatan yang mampu menurunkan jumlah asam
lambung untuk mengurangi gejala gastritis dan obat yang mampu meningkatkan perbaikan
mukosa lambung, diantaranya adalah antasida, histamine 2 (H2) blocker, dan proton pump
inhibitor (PPI). Terapi lain yang diberikan adalah antibiotik untuk infeksi H. pylori dan
penghentian penggunaan obat yang dapat memicu gastritis seperti NSAID (U.S. Department
of Health and Human Services, 2015). Salah satu tatalaksana gastritis secara tradisional ialah
dengan menggunakan ekstrak gambir. Di Jepang, gambir secara empiris digunakan untuk
mengurangi gejala nyeri perut dan muntah-muntah yang kemungkinan disebabkan oleh
gastritis (Kalaiselvi, 2013).
Penelitian mengenai pengaruh uncaria gambir roxb terhadap ulkus gaster dan kadar
malondialdehid hewan coba yang diinduksi etanol menyatakan bahwa ekstrak gambir dengan
dosis 200mg/kgBB dapat memperbaiki ulkus gaster (Irramah, dkk. 2017). Selain itu,
penelitian mengenai pengaruh pemberian gambir dari uncaria gambir (hunter) roxb terhadap
pH dan tukak lambung pada tikus putih jantan menyatakan bahwa hasil pemberian gambir
dengan dosis 20mg/Kg BB, 40mg/Kg BB, 80mg/Kg BB secara oral selama 2 hari dapat
menyembuhkan tukak pada mukosa lambung tikus putih jantan dengan persentase
menyembuhkan masing- masing 51,93%; 55,98% dan 63,90% (Suharti, dkk. 2015).
Tingginya angka kejadiaan gastritis diIndonesia meskipun upaya pengobatan telah

108
dilakukan dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia salah satunya adalah gambir dimana
bahan baku gambir masih terjangkau harganya serta permintaan ekspor dunia untuk daun
gambir yang terus meningkat sepanjang tahun (2000-2004), peningkatan volume ekspornya
mencapai 87,49% (Dhalimi 2006), merupakan landasan peneliti untuk menjadikan gambir
sebagai salah satu kandidat pengobatan gastritis dan pada akhirnya menjadi pengobatan
terstandar.

2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui apakah fraksi aktif gambir memiiliki efek mengurangi luas lesi
mukosa gaster tikus model gastritis dan menurunkan eksprei TNF-α pada jaringan mukosa
gaster tikus model gastritis.

3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi eksperimental in vivo
dengan pendekatan post tes with control group design.
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar, berusia 2-
3 bulan, berat badan antara 150-200 gram, memiliki kondisi sehat yang ditandai dengan
surat keterangan sehat. Besar sampel penelitian dihitung menggunakan rumus federer:
(n-1) x (t-1) ≥ 15
Keterangan : n : jumlah sampel
t : jumlah perlakuan Didapatkan bahwa jumlah minimum sampel tiap
kelompok adalah 3 ekor tikus.

b. Preparasi Fraksi Aktif Gambir


Herba gambir dikeringkan terlebih dahulu dengan diangin-anginkan, lalu simplisia
dihaluskkan. Selanjutnya dilakukan maserasi dengan pelarut ethnol 1:10. Lalu, maserat
dievaporasi denga rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kentalnya. Berikutnya,
dlakukan fraksi cair-cair dengan n- hexsane, ethylacetate, dan air.

c. Pengelompokkan Hewan Coba


1) Kelompok 1 : sebanyak 3 ekor tikus putih, sebagai konttrol negatif, diinduksi gastritis
dan diberi aquadest 5 mL selama 3 hari.
2) Kelompok 2 : sebanyak 3 ekor tikus putih sebagai kontrol positif, diinduksi gastritis dan
diberi ranitidin 10 mg/kgBB selama 3 hari.

109
3) Kelompok 3, 4, dan 5: sebanyak 3 ekor tikus putih pada tiap kelompok, yang diinduksi
gastritis, mendapatkan fraksi n-heksan ekstrak etanol gambir dengan masing-masing
kelompok mendapatkan dosis 20, 40, dan 80 mg/kgBB selama 3 hari.
4) Kelompok 6, 7, dan 8: sebanyak 3 ekor tikus putih pada tiap kelompok, yang diinduksi
gastritis, mendapatkan fraksi air ekstrak etanol gambir dengan masing-masing
kelompok mendapat-kan dosis 20, 40 dan 80 mg/kgBB selama 3 hari.
5) Kelompok 9, 10 dan 11: sebanyak 3 ekor tikus putih pada tiap kelompok, yang
diinduksi gastritis, mendapatkan fraksi etil ekstrak etanol gambir dengan masing-masing
kelompok mendapatkan dosis 20, 40, dan 80 mg/kgBB selama 3 hari.

d. Pengukuran Ekspresi Protein TNF-α


Pengukuran eksresi protein TNF-α menggunakan metode sandwich ELISA. Sampe
yang digunakan adalah mukosa lambung,. Adapun prosedur pemeriksaan kadar TNF –α
sebagai berikut:
1. Alat dan Bahan:
a. Rat TNF-α ELISA Kit : terdiri atas 96 well microplate, standard, Biotin- antibody,
HRP- avidin, Biotin- antibody Diluent, HRP- avidin Diluent, sample diluent, Wash
Buffer, TMB substrate, Stop solution.
b. Microplate raeder
c. Pipet dan pipet tipis
d. Inkubator
2. Prosedur:
a. Persiapan sampel: jaringan gaster disentrifugasi 3000 rpm selama 20 menit.
Kemudian, supernatan diambil dan dimasukkan ke dala m tabung eppendorf.
b. Persiapan reagen:
1. Biotin-antibody (1x) : 10 µL biotin-antibody + 990 µL biotinantibody diluent.
2. HRP-aidin (1x) : 10 µL HRP- avidin + 990 µL HRP-avidin diluent.
3. Wash buffer (1x) : larutkan 20 ml wash buffer ke dalam 500 ml aquadest.
4. Standard : siapkan standard dengan serial konsentrasi 2000, 1000, 500, 250, 125,
62,5 , 31,25 dan 0 pg/ml.
c. Pemeriksaan Kadar:
1. Tambahkan 100 µl standard dan sampel pada tiap sumuran. Tutup mikroplate
dengan adhesive strip. Inkubasi selama 2 jam pada 37oC.
2. Buang cairan yang ada pada tiap sumuran, tetapi jangan mencuci sumuran.

110
3. Tambahkan 100 µl biotin- antibody (1x) pada tiap sumuran. Tutup mikroplate
dengan adhesive strip. Inkubasi selama 30 menit pada 37oC.
4. Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash buffer (200µl), ulangi
sebanyak 3 kali.
5. Tambahkan 100 µl HRP-avidin (1x) pada tiap sumuran. Tutup mikroplate
dengan adhesive strip. Inkubasi selama 30 menit, pada suhu 37oC.
6. Aspirasi cairan pada tiap sumuran dan cuci dengan wash buffer (200µl), ulangi
sebanyak 5 kali.
7. Tambahkan 90 µl TMB substrate pada tiap sumuran. Inkubasi selama 15 menit
pada 37oC.
8. Tambahkan 50 µl stop solution pada tiap sumuran.
9. Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang gelombang 450nm.
10. Pemeriksaan kadar dilakukan secara duplo pada tiap sumuran dan cuci dengan
wash buffer (200µl), ulangi sebanyak 5 kali.
11. Tambahkan 90 µl TMB substrate pada tiap sumuran. Inkubasi selama 15 menit
pada 37oC.
12. Tambahkan 50 µl stop solution pada tiap sumuran.
13. Tentukan nilai OD dengan mikroplate reader pada panjang gelombang 450nm.

e. Penilaian Luas Mukosa Gaster


Penilaian luas lesi mukosa gaster dilakukan dengan bantuan alat jangka sorong.
Setiap lesi yang ada di mukosa gaster dinilai panjang dan lebar lesi sehingga didapatkan
luas dari tiap lesi. Kemudian dijumlahkan luas dari tiap lesi sehingga didapatkan luas total
lesi.

f. Analisis Data
Analisis statistika dilakukan dengan program SPSS 23. Perbedaan rerata k ekspresi
protein TNF-α, dan luas lesi mukosa lambung diuji secara bivaratiat dan multivariat
dengan signifikansi P < 0,05.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Preparasi Fraksi Aktif Gambir
Telah dilakukan preparasi fraksi aktif ekstrak etanol gambir yang dimulai dengan
pengeringan herba gambir sebanyak 8 kg, lalu dilanjutkan penghalusan simplisia, maserasi

111
dengan pelarut ethanol 1:10 dan didapatkan ekstrak kental sebanyak 585,8 gram dan
rendemennya adalah 58,58 %. Dari 200 gram ekstrak kental difraksinasi cair-cair dengan
n-hexane, ethylacetate, dan air. Hasil fraksi diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator sehingga diperoleh berat fraksi kental heksan, fraksi kental etil asetat dan fraksi
kental etanol-air secara berturutturut yaitu 23,2 gram, 132,7 gram dan 41,68 gram.
Rendemen yang diperoleh dari masing-masing fraksi aktif gambir tersebut berturut-turut
yaitu 11,60 %, 66,35% dan 20,84 %. Lalu Fraksi aktif gambir dibuat suspensi
menggunakan tween 80.

b. Penilaian Luas Lesi Mukosa Gaster


Hasil uji Kruskal-wallis menunjukk- an bahwa terdapat perbedaan bermakna luas
lesi mukosa gaster antar kelompok sampel. Pengujian ini dilanjukan dengan uji Mann-
whitney untuk mengetahui hubungan antara masingmasing kelompok sampel. Hasil uji
Mann- whitney menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif, fraksi etil 20, 40, 80
mg/kgBB, dan fraksi air 20, 40, 80 mg/kgBB memiliki luas lesi mukosa yang berbeda
bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok fraksi etil 80 mg/kgBB gambir
memiliki efek bermakna yang terbaik, bahkan dibandingkan dengan kontrol positif, dalam
mengurangi luas lesi.

c. Pengukuran Ekspresi Protein TNF-α Gaster


Hasil uji Kruskal-wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar
TNF-α antar kelompok sampel. Pengujian ini dilanjukan dengan uji Ma nn-whitney untuk

112
mengetahui hubungan antara masing-masing kelompok sampel. Hasil uji Mann- whitney
menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif dan semua kelompok uji memiliki kadar
TNF-α yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok fraksi etil 80
mg/kgBB herba gambir memiliki efek bermakna yang terbaik, bahkan dibandingkan
dengan kontrol positif, dalam menurunkan kadar TNF-α.

5. KESIMPULAN
Fraksi gambir aktif memiliki potensi untuk mengurangi ukuran lesi mukosa gaster
dan mngurangi ekspresi protein TNF-α.

DAFTAR PUSTAKA
Azis, N. 2002. Peran Antagonis Reseptor H-2 dalam Pengobatan Ulkus Peptikum. Sari
Pediatri, Vol. 3, No. 4. p. 222-226.
Carpani de Kaski, M., Rentsch, R., Levi, S., Hodgson, H.J. 1995. Corticosteroids reduce
regenerative repair of epithelium in experimental gastric ulcers. Gut. PubMed.
37:613– 616.
Dhalimi Azmi. 2006. Permasalahan Gambir (Uncaria gambir L.) di Sumatera Barat dan
Alternatif Pemecahannya. Bogor: Vol.5, No.1. pp 46-59.
Guslandi, M., Tittobello, A. Steroid ulcers: a myth revisited. BMJ. p. 655– 656
Irramah M, Julizar, Lili Irawati. 2017. Pengaruh Uncaria gambir roxb terhadap ulkus gaster
dan kadar malondialdehid hewan coba yang diinduksi etanol. Padang: Majalah
Kedokteran Andalas. Vol.40, No.1. pp. 1-10.
Kalaiselvi, P., Rajashree, K., Priya, L.B., dan Padma, V.V. 2013. Cytoprotective Effect of
Epigallocatechin-3-gallate Against Deoxynivalenol-induced Toxicity Through
Antioxidative and Anti- inflammatory Mechanisms in HT-29 c.
Food and Chemical Toxicology. vol.56. pp.110–118.

113
Siregar, A., Halim, S., Ricky R.S. 2015. Serum TNF-α. IL-8, VEGF Levels in Helicobacter
pylori Infection and Their Association with Degree of Gastritis. Faculty of Medicine
Universitas Sumatera Utara: Vol,47. No,2.
Suhatri, Zet R. Debhi M.I. 20015. Pengaruh Pemberian Gambir dari Uncaria gambir
(Hunter) roxb Terhadap ph dan tukak lambung pada tikus putih Jantan. Padang:
Jurnal Farmasi Higea, Vol.7, No.1. 7.
U.S. Department of Health and Human Services. 2015. Gastritis. National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Disease.
Zaqyyah, H. 2017. Hubungan Pengetahuan Tentang Penyebab Gastritis dengan Perilaku
Pencegahan Gastritis. Banjarmasin: Vol.1, No.1

LOMBA POSTER

Efek Sedatif Kombinasi Infusa Daun Nangka


(Artocarpus heteropyllus Lamk.) Dan Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.)
Terhadap Mencit Putih Jantan

Selly Nuari1, Sari Meisyayati, Yopi Rikmasari

Desi Puspasari1, Ade Muhammad Syurga1, Fani Albertiano1


1
Mahasiswa Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian Efek Sedatif Kombinasi Infusa Daun Nangka (Artocarpus

114
heteropyllus Lamk.) dan Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.) terhadap mencit putih
jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan efek sedatif dari kombinasi
infusa daun nangka dan daun sirsak serta ufek ntuk mengetahui dosis efektif yang paling
mendekati dosis kontrol positif. Metode penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
murni dengan rancangan post test only control group. Hewan uji yang digunakan adalah 30
ekor mencit putih jantan, dibagi secara acak menjadi 6 kelompok. Terdiri dari Na CMC 0,5%
sebagai kontrol negatif, infusa tunggal daun nangka dengan dosis 10% b/v, infusa tunggal
daun sirsak 35% b/v, kombinasi infusa setengah dosis tunggal (infusa daun nangka 5%b/v +
infusa daun sirsak 17,5% b/v), kombinasi infusa seperempat dosis tunggal (infusa daun
nangka 2,5% b/v + infusa daun sirsak 8,75 % b/v), dan diazepam 5mg/kgbb sebagai kontrol
positif. Efek sedatif diuji setelah 60 menit pemberian sediaan uji. Parameter sedatif adalah
jumlah jengukan pada metode hole-board test dan waktu bertahan mencit dari kawat yang
direntangkan secara horizontal pada metode traction test. Data dianalisa menggunakan One
Way ANOVA dan uji Duncan. Hasil Uji One Way ANOVA dan Uji Duncan menunjukkan
bahwa kombinasi infusa daun nangka dan infusa daun sirsak memiliki efek sedatif dan efek
sedatif tertinggi terdapat pada seperempat dosis tunggal (infusa daun nangka 2,5% b/v +
infusa daun sirsak 8,75% b/v)

Kata kunci : sedatif, infusa, daun nangka, daun sirsak

ABSTRACT

Research on the Sedative Effects of Combination of Jackfruit Leaf (Artocarpus


heteropyllus Lamk.) Infusion and Soursop (Annona muricata L.) Leaf Infusion on male white
mice has been carried out. This study aims to determine the ability of the sedative effect of a
combination of jackfruit leaf and soursop leaf infusion and to determine the effective dose that
is closest to the positive control dose. This research method is purely experimental research
with a post test only control group design. Test animals used were 30 male white mice,
divided randomly into 6 groups. Consists of 0.5% Na CMC as a negative control, single
infusion of jackfruit leaves with a dose of 10% w / v, single infusion of soursop leaves 35% w
/ v, a combination of half a single dose infusion (infusion of jackfruit leaves 5% w / v +
infusion soursop leaf 17.5% w / v), a single quarter dose infusion combination (jackfruit leaf
infusion 2.5% w / v + soursop leaf infusion 8.75% w / v), and 5 mg / kg diazepam as positive
control. The sedative effect was tested after 60 minutes of the test preparation. Sedative
parameters are the number of steps in the hole-board test method and the survival time of
mice from wire stretched horizontally in the traction test method. Data were analyzed using
One Way ANOVA and Duncan test. The One Way ANOVA and Duncan Test results show
that the combination of jackfruit leaf infusion and soursop leaf infusion has the highest
sedative effect and the highest sedative effect is in a quarter of a single dose (jackfruit leaf
infusion 2.5% w / v + 8.75% soursop leaf infusion w/ v)

Keywords: sedatives, infusion, jackfruit leaves, soursop leaves

I. PENDAHULUAN
Sedatif merupakan salah satu golongan obat pendepresi Susunan Saraf Pusat (SSP).
Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau
kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma,
dan mati. Beragam obat golongan pendepresi SSP yang dapat digunakan sebagai efek sedasi

115
tetapi banyak diantara obat tersebut memiliki efek samping toksik dan menyebabkan
kematian pada saat pemakaiannya. Salah satu contoh obat dari golongan pendepresi saraf
pusat yang biasa sering digunakan adalah obat diazepam dari golongan benzodiazepin dan
phenobarbital dari golongan barbiturat (Utama dan Vincent, 2007)
Pada aplikasi klinis seringkali ditemukan kombinasi dua atau lebih obat dengan tujuan
untuk meningkatkan efek dari obat tersebut antara lain kombinasi methampyrone dan
diazepam yang dapat digunakan untuk meredakan rasa nyeri yang membutuhkan tranquilizer.
Obat tradisional juga sering kali ditemukan dengan kombinasi dua atau lebih tanaman yang
digunakan antara lain obat Lelap® dengan komposisi Valeriane Radix, Myristicae Semen,
Eleuthroginseng Radix dan Polygalae Radix yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
tidur.
Tanaman yang dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional indonesia diantaranya
daun nangka (Artocarpus heteropyllus Lamk.) yang telah digunakan secara empiris sebagai
analgesik, antikonvulsan dan immunomodulator (prakash dkk, 2013). Daun sirsak (Annona
muricata L.) digunakan secara empiris sebagai sedatif, mengobati bisul dan peluruh keringat
(Rizki, 2014).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Agustina (2016) ekstrak daun nangka dengan
konsentrasi pemberian sediaan pada dosis 100mg/KgBB sudah menghasilkan efek sedatif.
Daun nangka juga memiliki kandungan kimia yaitu phytosterol, antrakuinon, terpenoid,
fenol, glikosida, dan flavonoid (Sigvananasundaram dan karunanayake, 2015). Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Rizki (2014) dimana ekstrak daun sirsak pada dosis
140mg/KgBB sudah menghasilkan efek sedatif. Daun sirsak memiliki kandungan kimia yaitu
alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan terpenoid (Vimala dkk, 2012). Selain dibuat
dalam bentuk ekstrak tanaman tersebut dapat dibuat dalam bentuk infusa.
Infusa merupakan sediaan cair yang di buat dengan cara mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan infusa merupakan cara yang
paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari pada lunak seperti daun dan bunga.
Infusa dapat di minum panas atau dingin (BPOM, 2011)
Salah satu efek yang di timbulkan pada infusa adalah efek antimikroba pada infusa
daun nangka (Dewi dkk,2014) dan efek hypoglikemia pada infusa daun sirsak (Kojong dkk,
2013). Selain infusa tunggal terdapat pula infusa yang menggunakan dua tumbuhan yang di
kombinasi.
Salah satu nya adalah infusa kombinasi biji pala dan daun kemangi yang di gunakan
sebagai efek anti depresan (Devi dkk, 2018), Infusa Kombinasi biji alpukat dan biji pepaya

116
yang di gunakan sebagai efek hipoglikemia (Nurkhalifa dkk, 2014).
Dari uraian tersebut, penulis tertarik melakukan uji efek sedatif kombinasi infusa
daun nagka dan daun sirsak pada mencit putih jantan, Untuk mengetahui kemungkinan
adanya efek sedatif yang sinergis sehingga dapat di formulasi sebagai sediaan obat
tradisional untuk mengatasi insomnia.

II. TUJUAN PENELITIAN


Mengetahui adanya efek sedatif kombinasi infusa daun nangka (Artocarpus
heteropyllus Lamk.) dan daun sirsak (Annona muricata L) pada mencit putih jantan dan
mengetahui dosis efek sedatif kombinasi infusa daun nangka (Artocarpus heteropyllus
Lamk.) dan daun sirsak (Annona muricata L.) yang dapat menimbulkan efek sedatif pada
mencit putih jantan.

III. METODE PENELITIAN


Metode penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan
post test only control group.
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah timbangan digital, panci infusa, penangas air, batang
pengaduk, termometer, kain flanel, sonde oral, gelas ukur, botol,mortar dan stamper,
sarung tangan, erlemeyer, stopwacth, alat Traction Test (Grip strength) dan alat Hole-
board test. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah daun nangka dan daun sirsak
segar, aquadest , tablet diazepam, natrium benzoat, dan Na-CMC.

b. Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan berumur 2 sampai 3
bulan dengan bobot 20 – 30 gram yang memiliki kondisi fisik yang sehat dan aktif,
sebanyak 30 ekor yang sudah diaklimatisasi.
Aklimatisasi mencit selama 7 hari, diberikan makanan dan minuman secukupnya.
Berat badan ditimbang dan diamati tingkah lakunya. Selama aklimatisasi berat badan naik
atau turun tidak lebih dari 10% serta menunjukkan tingkah laku yang normal. Tujuan
aklimatisasi untuk membiasakan hewan berada dalam lingkungan percobaan, mencit
dimasukkan ke dalam kandang sesuai dengan kelompok dan selalu menjaga kebersihan
dari kandang mencit.

c. Perencanaan Dosis

117
Penelitian ini menggunakan 6 kelompok hewan percobaan. Pada kelompok I
sebagai kontrol negatif menggunakan Na-CMC 0,5%, kelompok II sebagai kontrol positif
yaitudiazepam 5 mg/KgBB , kelompok III menggunakan dosis tunggal daun nangka
dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2016) diketahui bahwa dosis 100
mg/KgBB (diperoleh dari pembuatan ekstrak 250 g daun nangka menghasilkan 18,145 g
ekstrak kental) yang telah dicari kesetaraannya sehingga sama dengan konstentrasi 10%
b/v telah menghasilkan efek sedatif, kelompok IV menggunakan dosis tunggal daun sirsak,
pada penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2014) dimana pada dosis 140 mg/KgBB
(diperoleh dari pembuatan ekstrak 400 g daun sirsak menghasilkan 15,36 g ekstrak kental)
yang telah dicari kesetaraannya sehingga sama dengan konstentrasi 35% b/v telah
menghasilkan efek sedatif, kelompok V menggunakan kombinasi setengah dosis tunggal
(daun nangka 5% b/v dan daun sirsak 17,5% b/v) dan kelompok VI menggunakan
kombinasi seperempat dosis tunggal (daun nangka 2,5% b/v dan daun sirsak 8,75% b/v).

d. Prosedur Penelitian
1) Pembuatan Sediaan Uji
a) Infusa daun nangka 10% b/v
Timbang daun nangka sebanyak 10 gram, selanjutnya dipotong – potong
menjadi bagian yang lebih kecil, tambahkan natrium karbonat 10% dan tambahkan
air sebanyak 100 ml dan panaskan selama 15 menit diatas penangas terhitung suhu
mencapai 900C sambil sekali – sekali diaduk. Serkai setelah dingin menggunakan
kain flanel, tambahkan air melalui ampas hingga mencapai 100 ml.
b) Infusa daun sirsak 35% b/v
Timbang daun sirsak sebanyak 35 gram, selanjutnya dipotong – potong
menjadi bagian yang lebih kecil, lalu tambahkan air sebanyak 100 ml dan
panaskan selama 15 menit terhitung suhu mencapai 900C sambil sekali – sekali
diaduk. Serkai setelah dingin menggunakan kain flanel, tambahkan air melalui
ampas hingga mencapai 100 ml.
c) Kombinasi infusa daun nangka 5% b/v dan daun sirsak 17,5% b/v
Dibuat dengan cara menambahkan 50 ml infusa daun nangka 10% b/v
kedalam 50 ml infusa daun sirsak 35% b/v.
d) Kombinasi infusa daun nangka 2,5% b/v dan daun sirsak 8,75% b/v
Dibuat dengan cara menambahkan 25 ml infusa daun nangka 10% b/v
kedalam 25 ml daun sirsak 35% b/v dan dicukupkan dengan aquadest hingga volume

118
100 ml.
e) Suspensi diazepam dosis 5 mg/kgbb Ambil 1 tablet diazepam @5mg, lalu
dimasukkan ke dalam lumpang, setelah itu digerus halus dan tambahkan Na-CMC
sebanyak 0,1 ml, kemudian digerus hingga homogen lalu tambahkan aquadest
hingga 10 ml.
f) Suspensi Na-CMC 0,5%
Dari tiap perlakuan diletakkan pada rentangan kawat yang tingginya 30 cm
dari permukaan. Kedua lengan mencit digantungkan pada kawat tersebut dan mulai
dilakukan perhitungan waktu sesaat mencit digantungkan. Catat waktu yang
dibutuhkan mencit untuk dapat bertahan pada posisi tersebut (dalam satuan detik).
Selanjutnya mencit diletakkan pada kotak kayu yang memiliki lubang-lubang pada
permukaannya. Hitung jumlah jengukan mencit ke arah lubang- lubang selama 5
menit.
2) Pengujian Efek Sedatif Pada Mencit Putih Jantan
Setelah dilakukan aklimatisasi, pada hari pengujian hewan percobaan ditimbang
berat badannya, kemudian dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok dengan
masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor hewan percobaan. Setelah itu, setiap
kelompok perlakuan diberikan sediaan uji masing-masing berdasarkan volume
pemberian 1% b/v (sesuai dengan berat badan mencit) secara peroral. Satu jam seteleh
pemberian sediaan uji, masing-masing mencit.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


1) Data jumlah frekuensi jengukan pada metode hole-board test
Kelompok Perlakuan Rerata frekuensi
jengukan ± SD
Na CMC 0,5% 51,6 ± 3,43

ITDN 10% b/v 37,2 ± 2,23

ITDS 35% b/v 38,2 ± 1,64

KI 1/2 (ITDN 5% b/v 22,4 ± 2,70


+ ITDS 17,5% b/v)
KI 1/4 (ITDN 2,5% 12,8 ± 1,30
b/v + ITDS 8,75%
b/v)
Diazepam 5 mg/KgBB 7,6 ± 1,14
Keterangan :

119
- ITDN : Infusa Tunggal Daun Nangka
- ITDS : Infusa Tunggal Daun Sirsak

Diagram batang rerata frekuensi jengukan masing-masing kelompok perlakuan

2) Data jumlah waktu bertahan dalam detik pada metode traction test
Rerata waktu bertahan (detik) masing-masing kelompok perlakuan
Kelompok Perlakuan Rerata waktu bertahan
dalam detik ± SD
Na CMC 0,5% 149,8 ± 12,33
ITDN 10% b/v 121 ± 4,18
ITDS 35% b/v 119 ± 1,87
KI 1/2 (ITDN 5% b/v + 77 ± 2,64
ITDS 17,5% b/v)
KI 1/4(ITDN 2,5% b/v + 62,4 ± 6,10
ITDS 8,75% b/v)
Dia zepam5 369 ± 3,49
mg/KgBB

Diagram batang rerata waktu bertahan dalam detik masing-masing kelompok


perlakuan

120
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kelompok kontrol positif memiliki efek sedatif
paling besar pada mencit dengan rerata jumlah frekuensi jengukan sebanyak 7,6 kali dan
waktu bertahan sebesar 36,9 detik. Hal ini disebabkan karena mekanisme kerja dari golongan
benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik sub unit γ (sisi benzodiazepine) pada
reseptor GABAa sedangkan neurotransmitter GABA berikatan pada sub unit α atau β
menyebabkan pembukaan kanal ion klorida, memungkinkan masuknya ion klorida kedalam
sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi ( Utama dan Vincent, 2007).
Pada kelompok sediaan infusa tunggal daun nangka 10% b/v didapat hasil rerata
jumlah frekuensi jengukan sebanyak 37,2 kali dan waktu bertahan sebesar 121 detik. Pada
kelompok infusa tunggal daun sirsak 35% didapat hasil rerata jumlah frekuensi jengukan
sebanyak 38,2 kali dan waktu bertahan sebesar 119 detik. Hal ini menunjukkan infusa tunggal
daun nangka dan infusa tunggal daun sirsak memiliki efek sedatif yang sama. Dapat dilihat
berdasarkan uji statistik ANOVA satu arah menunjukkan bahwa infusa tunggal daun nangka
dan infusa tunggal daun sirsak berada pada satu subset yang sama dan tidak terlihat perbedaan
bermakna (P>0,05) pada hasil uji T test.
Pada kelompok kombinasi infusa setengah dosis (infusa daun nangka 5% b/v dan
infusa daun sirsak 17,5% b/v) didapat hasil rerata jumlah frekuensi jengukan sebanyak 22,4

121
kali dan waktu bertahan sebesar 77 detik. Pada kelompok kombinasi infusa seperempat dosis
(infusa daun nangka 2,5% b/v dan infusa daun sirsak 8,75% b/v) didapat hasil rerata jumlah
frekuensi jengukan sebanyak 12,8 kali dan waktu bertahan 62,4 detik. Dapat dilihat
berdasarkan uji statistik ANOVA satu arah menunjukkan bahwa kelompok kombinasi
setengah dosis (infusa daun nangka 5% b/v dan infusa daun sirsak 17,5% b/v) maupun
seperempat dosis (infusa daun nangka 2,5% b/v dan infusa daun sirsak 8,75% b/v) berada
pada subset yang berbeda dengan infusa tunggal daun nangka 10% b/v dan infusa tunggal
daun sirsak 35% b/v dan terlihat perbedaan bermakna (P<0,05) pada hasil uji T test. Hal ini
menunjukkan bahwa kombinasi infusa memiliki efektifitas yang lebih besar dibanding
sediaan tunggal.
Pada kelompok kombinasi infusa setengah dosis (infusa daun nangka 5% b/v dan
infusa daun sirsak 17,5% b/v) dan infusa seperempat dosis (infusa daun nangka 2,5% b/v dan
infusa daun sirsak 8,75% b/v) terdapat perbedaan karena berdasarkan uji statistic ANOVA
satu arah menunjukkan bahwa infusa setengah dosis (infusa daun nangka 5% b/v dan infusa
daun sirsak 17,5% b/v) dan infusa seperempat dosis (infusa daun nangka 2,5% b/v dan infusa
daun sirsak 8,75% b/v) berada dalam satu subset yang berbeda dan terlihat perbedaan
bermakna (P<0,05) pada hasil uji T test. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi infusa
seperempat dosis tunggal memiliki efek sedatif yang lebih besar efektifitasnya dibandingkan
dengan kombinasi infusa setengah dosis tunggal.

Pada kombinasi seperempat dosis menunjukkan sifat kerja sedatif yang sinergis,
dimana gabungan dari kombinasi infusa daun nangka 2,5% b/v dan infusa daun sirsak 8,75%
b/v efek yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan jumlah efek infusa bila diberikan
secara sendiri-sendiri.
Kombinasi seperempat dosis (infusa daun nangka 2,5% b/v dan infusa daun sirsak
8,75% b/v) menghasilkan efek sedatif yang lebih besar karena diduga dengan kombinasi
seperempat dari dosis masing – masing kadar flavonoid sudah cukup untuk berikatan pada
reseptor GABAa dengan mengikat sisi benzodiazepine, sehingga terjadi proses pembukaan
kanal ion klorida yang menyebabkan masuknya ion klorida sehingga sel sukar tereksitasi
(Jonhston, 2006). Sedangkan dengan bertambahnya dosis kombinasi diduga dapat
menghambat kerja dari flavonoid, kadar senyawa penghambat lebih banyak terambil sehingga
menurunkan kerja flavonoid. Oleh sebab itu, formulasi dari komposisi ramuan harus dibuat
setepat mungkin agar mendapatkan efek yang dikehendaki dan tidak menimbulkan
kontraindikasi (Herbie, 2015).

122
V. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian efek sedatif infusa daun nangka (Artocarpus heteropyllus Lamk.)
tunggal, daun sirsak (Annona muricata L.) tunggal, kombinasi setengah dosis (5% b/v dan
17,5% b/v) dan kombinasi seperempat dosis (2,5% b/v dan 8,75% b/v) pada mencit putih
jantan yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1) Kombinasi infusa setengah dosis tunggal (5% b/v dan 17,5% b/v) serta seperempat dosis
tunggal (2,5% b/v dan 8,75% b/v) menunjukkan efek sedatif yang lebih besar
dibandingkan dengan sediaan infusa tunggal masing-masing.
2) Kombinasi infusa seperempat dosis tunggal (2,5% b/v dan 8,75% b/v) memberikan hasil
yang lebih optimal dibanding infusa setengah dosis tunggal (5% b/v dan 17,5% b/v) dan
kombinasi tersebut menunjukkan efek yang sinergis

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, E. (2016). Uji Efek Sedatif Ekstrak Etanol Daun Nangka (Artocarpus
hetereropyllusLamk.)Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss Webster. (Skripsi).
Palembang : STIFI BP Palembang.
Badan POM R.I. (2011). Acuan sediaan herbal. (Cetakan pertama). Jakarta : Direktorat OAI, Deputi II, Badan
POM R.I.
Dewi, T., Budi, S.C., Yusrina, S.C. (2014). Ujidaya hambat infusa daun nangka (Artocarpus
hetereropyllusLamk.) terhadap pertumbuhan bakteru Staphylococcus aureus. Jurnal
permata Indonesia, 5(2), 1-7.
Herbie, T. (2015). Kitab tanaman berkhasiat obat : 226 tumbuhan obat untuk penyembuhan
penyakit dan kebugaran tubuh cetakan pertama. Yogyakarta : Octopus Publishing
House
Jonhston, G.A.R. (2006). GABAareceptor chanel pharmacology. Current pharmaceutical
design, 11 (1), 1867-1885.
Kojong, S.N., Yamlean, Y.V.P., Uneputty, P.J. (2013). Potensi infusa daun sirsak (Annona
muricata L.) terhadap kadar kolesterol darah pada tikus putih jantan (Rattus
novergicus). Pharmacon, 2(2).
K.S Ika Devi., Khoirunissa., dan Istriningsih E., (2018). Efek antidepresan kombinasi infusa
biji pala (Myristica fragrans) dan daun kemangi (Ocimum basilicum) pada mencit
jantan putih (Mus musculus). Jurnal para pemikir, 7(2).
Nurkhalifah., Rahmawati., dan Rahman, S. (2014). Efek hipoglikemik kombinasi infusa biji alpukat (Persea
americana Mill) dan biji pepaya (Carica papaya L Var. Bangkok) asal Kab. Pinrang pada
tikus(Rattus norvegicus) jantan. Jurnal biantore, 15(2), 111-116.
Prakash, O., Jyoti., Kumar, A., & Kumar, P. (2013). Screening of analgesic and
immunomodulator activity of artocarpus heteropyllus lamk. Leaves (jackfruit) in
mice. Der pharmacia letter, 1(11), 2278-4136.

123
Rizki, N. K. (2014). Uji Efek Sedatif Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata L.)
Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss Webster. (Skripsi). Palembang : STIFI
BP Palembang.
Sivagnasundanram, P & Karunayake, K. O. L. (2015). Phytochemical screning and
Antimicrobial activity of Artocarpus heteropyllus and Artocarpus altilis leaf and
stem bark. OUSL Journal, 9(3), 1 – 17.
Utama, H. & Vincent, G. (2007). Hipnotik – sedatif dan alkohol dalam farmakologi dan
terapi (Edisi V). Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Jakarta : Gaya
Baru.
Vimala, J. Rosaline., A. Lena Rose, S. Raja. (2012). A study on the phytochemical analisis
and corrosion inhibitor on mild steel by Annona Muricata L. Leaves Extract in
Hydrochloric Acid. India, 3(3) : 582 – 588.

LOMBA POSTER

“Carotene Cream” Sebagai Tabir Surya Dalam Sediaan Krim

AdhellaVianka Yudhistiarani1,RidhoPutrama Meijandi1, Siska Oktari1


1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki paparan sinar matahari
yang tinggi. Paparan sinar matahari selain memberikan efek menguntungkan juga
memberikan efek merugikan pada manusia bergantung pada panjang dan frekuensi paparan,
intensitas sinar matahari dan sensitivitas individu yang terpapar. Hal ini bisa dicegah
dengan penggunaan tabir surya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi sediaan
krim tabir surya dengan menggunakan beta karoten dari ekstrak wortel (Daucus Carota L)
dan uji kestabilan fisiknya. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental.

124
Penelitian ini dibuat menjadi 3 formula dengan memvariasikan cera alba, parafin cair, span
60 dan trietanolamin. Cera alba yang berfungsi sebagai zat pengeras divariasikan dengan
kandungan sebesar 13,5%; ,12,0 %; 9,0 %. Parafin cair yang berfungsi sebagai emolient
divariasikan dengan kandungan sebesar 45,0%; 40%; 30%. Span 60 yang berfungsi sebagai
emulgator divariasikan dengan kandungan sebesar 1,8%; 1,6%; 1,2%. Trietanolamin yang
berfungsi sebagai emulgator divariasikan dengan kandungan sebesar 2,7%; 2,4%; 1,8%.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sediaan krim tabir surya selama 21 hari memiliki pH
yang cenderung meningkat namun masih memenuhi persyaratan dan semua sediaan krim
tabir surya memiliki daya sebar yang baik, homogen dan tidak mengiritasi kulit. Disimpulkan
bahwa beta karoten dari ekstra wortel (Daucus Carota L) dapat diformulasikan menjadi
sediaan krim tabir surya yang stabil dan memenuhi persyaratan. Formula krim tabir surya
yang paling optimal yaitu formula II yang mengandung cera alba 12,0%; parafin cair 40%;
span 60 1,6%; trietanolamin 2,4%

Kata kunci : Isolasi beta karoten, tabir surya, krim, wortel, logam kalsium.

ABSTRACT

Indonesia is a tropical country that has high sun exposure. Exposure to sunlight in
addition to having beneficial effects also has a detrimental effect on humans depending on the
length and frequency of exposure, sunlight intensity and sensitivity of the exposed individual.
This can be prevented by the use of sunscreen. This study aims to determine the sunscreen
cream formulation using beta carotene from carrot extract (Daucus Carota L) and its
physical stability test. The research method used is experimental. This research was made
into 3 formulas by varying cera alba, liquid paraffin, span 60 and triethanolamine. Cera alba
which functions as a hardener is varied with a content of 13,5%; ,12,0 %; 9,0 %.. Liquid
paraffin which functions as an emolient is varied with a content of 45,0%; 40%; 30%. Span
60 which functions as an emulgator is varied with a content of 1,8%; 1,6%; 1,2%.
Triethanolamine which functions as an emulgator is varied with a content of 2,7%; 2,4%;
1,8%. The evaluation results show that sunscreen cream preparations for 21 days have a pH
that tends to increase but still meets the requirements and all sunscreen cream preparations
have good, homogeneous and non-irritating skin. It was concluded that beta carotene from
carrot extract (Daucus Carota L) could be formulated into a stable and fulfilling sunscreen
cream preparation. The most optimal formula for sunscreen is formula II which contains cera
alba 12,0%; liquid paraffin 40%; span 60 1,6%; triethanolamine 2,4%

Keyword : beta carotene isolation, sunscreen, cream,carrot, calcium

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki paparan sinar matahari
yang tinggi(Yulianti,2015).Radiasi sinar matahari terdiri atas sinar infra merah (>760 nm),
sinar tampak (400-760 nm), dan sinar UV (ultra violet) yang terdiri atas UV A (320-400 nm),
UV B (290- 320 nm) serta UV C (200-290 nm). Sinar matahari yang sampai di permukaan
bumi dan mempunyai dampak negatif kerusakan terhadap kulit adalah sinar UV A dan UV B,
sedangkan UV C tertahan karena diabsorbsi seluruhnya oleh lapisan ozon sehingga tidak
mencapai permukaan bumi(Shovyana,2013).

125
Paparan sinar matahari selain memberikan efek menguntungkan juga memberikan
efek merugikan pada tubuh manusia bergantung pada panjang dan frekuensi paparan,
intensitas sinar matahari, dan sensitivitas individu yang terpapar(Damogalad,2013). Paparan
sinar UV yang berlebihan dapat mengakibatkan sunburn, eritema, hiperpigmentasi, penuaan
dini, bahkan kanker kulit.Untuk mencegah efek merugikan tersebut, dapat dilakukan beberapa
cara, salah satunya adalah pemakaian tabir surya(Rejeki.2015).
Tabir surya (sunscreen) adalah bahan yang dapat mengabsorbsi, memantulkan, atau
menghamburkan radiasi UV sehingga dapat menjaga kulitdari efek UV yang
membahayakan(Subchan,2011).
Tabir surya dapat dibuat dalam berbagai sediaan farmasisalah satunya adalah sediaan
krim. Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.(Kemenkes RI.2014)
Antioksidan dalam pengertian biologis adalah semua senyawa yang dapat
meredamdan atau menonaktifkan serangan radikal bebas dan ROS atau Reactive Oxygen
Species (Halliwel and Gutterridge, 2007). Antioksidan dapat melawan pengaruh bahaya dari
radikal bebas sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil reaksi-reaksi kimia dan proses
metabolik yang terjadi di dalam tubuh.Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa
antioksidan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit kronis seperti kanker dan jantung
koroner. (Amrun et al, 2007)
Penggunaan antioksidan pada sediaan tabir surya dapat meningkatkan aktivitas
fotoprotektif dan dapat mencegah berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh radiasi sinar
ultraviolet. Adapun beberapa senyawa aktif antioksidan seperti flavonoid, tanin, antrakuinon,
sinamat, vitamin C, vitamin E, dan betakaroten telah dilaporkan memiliki kemampuan
sebagai pelindung terhadap sinar ultraviolet(Ayuningrum, 2016).
Bahan –bahan alami yang dapat digunakan sebagai tabir surya antara lain lidah buaya,
pepaya,stroberi,semangka,kelapa dan mentimun.Penelitianini menggunakan wortel untuk
bahan yang berfungsi sebagai tabir surya. Penggunaan bahan alami sebagai bahan tabir surya
karena bahan alami memiliki efek yang dapat mengurangi iritasi bagi kulit hyperallergic
(Malsawmtluangi et al., 2013; Vender, 2008).
Salah satu bahan alam yang merupakan sumber antioksidan adalah wortel(Daucus
carota L)(Ahmad,2016).Wortel mengandung senyawa beta karoten dan vitamin A. (Simon,
2015).Beta karoten memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan dengan menetralisis
radikal bebas yang timbuldari reaksi normal biokimia tertentu ataupun dari sumber eksogen
seperti polusi udara, asap rokok, pelatihan fisik berlebih. Beta karoten juga dapat meredam

126
singlet oksigen,suatu molekul yang reaktif yg terbentuk dari pajanan sinar UV pada
kulit,sehingga dapat mencegah berkembangnya menjadi sel kanker. (Roche, 2000)
Salah satu sediaan krim tabir surya dengan ekstrak wortel yang telah beredar di
pasaran adalah sediaan tabir surya merek, “Biotique Botanical Bio Carrot” dengan nilai SPF
sebesar 40 yang digunakan pada pagi hari sebelum beraktivitas. Sediaan ini mengandung
ekstrak total wortel sebanyak 2,5%. Krim tersebut mengandung bahan tabir surya kombinasi
sintetik (talk) dan alam (ekstrak Daucus carota, Nyctanthesarbortristis dan Symplocos
racemosa).
Malsawmtluangietal(2013) telah melakukan penelitian uji efektivitas tabir surya dari
β-carotenedengan menggunakan ekstrak perasan air wortel dengan konsentrasi 10% yang
menghasilkan nilaiSPF yaitu1,34±0,13. Konsentrasi ekstrak wortel sebesar 10% mendasari
dari penelitian ini untuk dilakukan modifikasi dari variasi konsentrasi ekstrak wortel sebesar
0,5%, 1% dan 2,5% yang kemudian akan dilakukan pemilihan konsentrasi ekstrak wortel
yang memiliki nilai SPF tertinggi sehingga memenuhi kriteria sebagai bahan tabir surya yaitu
memiliki nilai SPF sekitar 2 untuk dilakukan formulasi krim tabir surya (Balakrishnan and
Narayanaswamy, 2011)
Basis krim yang digunakan mengacu pada penelitian Harry (2019)yang berjudul
“Formulasi Sediaan Krim Tabir Surya dari Ekstrak Etanol Buah Bisbul (Diospyros
blancoi)”karena basis krim ini memiliki hasil uji mutu fisik yang baik, bersifat stabil (tidak
ada pemisahan antara fase minyak dan air),tidak terjadi perubahan derajat keasaman(p H)yang
signifikan, perubahan viskositas yang tidak signifikan setelah penyimpanan selama 4 minggu.
Tipe krim dibedakan menjadi dua tipe, yaitu krim tipe minyak dalam air(M/A) dan air
dalam minyak (A/M). (Kemenkes RI. 2015) Krim tipe M/A (vanishing cream) mudah dicuci
dengan air, jika digunakan pada kulit, maka akan terjadi penguapan dan peningkatan
konsentrasi dari suatu obat yang larut dalam air, sehingga mendorong penyerapannya ke
dalam jaringan kulit. Sedangkan krim tipe A/M memiliki daerah sebaran lebih baik dan rasa
panas minimal pada kulit(Shovyana.2013). Pada penelitian ini tipe krim yang digunakan
dalam formulasi adalah tipe A/M sebagai basis karena lebih lama melekat di kulit dan dapat
melembutkan kulit.

2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk membuat sediaan tabir surya dari sari wortel (Daucus carrota L)dalam bentuk
sediaan krim.

127
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental dengan membuat
beberapa formulasi sediaan krimtabirsurya yang mengandung ekstrak beta karoten dari wortel
(DaucusCarota L)
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya blender, saringan (alatserkai),
corong, gelasukur, tabung reaksi, centrifuge, pot, mortir, stamper, sudip sendok spatula,
erlenmayer, beaker glass, cawan penguap, kacaarloji, pH meter, dan objek glass. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini diantaranya ekstrak betakaroten dari sari wortel lokal yang
diperoleh dari pasar daerah sekip palembang, dengan ciri berwarna jingga terang, berukuran
5-10 cm, dengan diameter 3-5 cm, Cera Alba, Sorbitan Monostearat, paraffin cair, nipagin,
nipasol, Trietanolamin, Aqua

b. Formulasi Cream tabir surya

Jumlah yang digunakan


No Bahan
Formula I Formula II Formula III
Ekstrak Beta
1 0,5 0,5 0,5
Karoten
2 Cera Alba 1,35 1,20 0,90
3 Nipagin 0,10 0,10 0,10
4 Nipasol 0,01 0,01 0,01
5 ParafinCair 4,50 4,00 3,00
6 Span 60 0,18 0,16 0,12
c. Cara 7 Trietanolamin 0,27 0,24 0,18 Kerja
8 AquadDest Ad 10 Ad 10 Ad 10
1)
Pembuatan Krim Tabir Surya
1. Siapkan Alat dan Bahan
2. Timbang masing-masing bahan
3. Lebur fase minyak (cera alba, paraffin liq, dan span 60) pada suhu70º C di penangas air.
Setelah melebur, tambahkan nipasol.
4. Larutkan trietanolamin dengan air panas di cawan yang berbeda, setelah larut
tambahkan nipagin. (Fase air).
5. Tambahkan fase air dalam keadaan panas kedalam fase minyak sedikit demi sedikit,
gerus sehingga terbentuk basis krim.
6. Tambahkan ekstrak beta karoten ke dalam basis salep sedikit demi sedikit, gerus
sehingga homogen.

128
7. Masukkan kedalam tube
2) Uji Stabilitas Ekstrak Selama Penyimpanan
Uji Stabilitas Ekstrak Selama Penyimpanan adalah suatu proses pengujian
kestabilan fisik ekstrak wortel selama penyimpanan dengan variasi suhu (dingin, suhu
ruang dan hangat) dan intensitas cahaya (terlindung cahaya, tidak terkena cahaya matahari
langsung, dan terpapar cahaya), yang dilakukan selama 21 hari dan kemudian di amati.
3) Uji Stabilitas fisik
Uji kestabilan fisik yang dilakukan antara lain pH, dan organoleptis sediaan (warna
dan bau) setelah dilakukan penyimpanan pada suhu kamar selama 21 hari, yaitu pada hari
ke 0,7,14, dan 21
a. Ph
Nilai pH sediaan dapat diukur dengan menggunakan pH meter.Untuk
mengukur nilai pH ini dibutuhkan sampel sebanyak 1 gram yang dilebur dalam beaker
glass dengan 100 ml aqua dest diatas penangas air.
4) Warna dan Bau
Pengujian terhadap perubahan warna dan bau dengan cara melibatkan 30
snresponden yang dipilih secara acak, kemudian responden mengevaluasi sediaan dengan
mengamati perubahan terhadap warna dan bau selama 21 hari penyimpanan.
5) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan pada objek glass dan
dilihat apakah terdapat butir-butir kasar yang tertinggal pada kaca tersebut(Ilham, 2016)
6) Uji daya sebar
Uji daya sebar dilakukan dengan meletakkan 0,1 gram krim ditengah kaca bulat
kemudian kaca penutup diletakkan diatas krim dan didiamkan selama 1 menit hitung
diameter krim yang menyebar. Selanjutnya ditambah beban seberat 50 gram diatas kaca
penutup dan dibiarkan 1 menithitung diameter krim yang menyebar.Percobaan dilanjutkan
dengan beban sebesar 100, 150 dan 200 gram (Nova,2012)
7) Uji Iritasi kulit
Uji iritasi kulit melibatkan 30 orang responden yang dipilih secara acak.Pengujian
dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan (F1, F2, F3) pada punggung tangan selebar
2,5 x 2,5 cm (Mitsui, 1996). Kemudian amati reaksi yang mungkin terjadi misalnya gatal,
kemerahan dan perih.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

129
a. Uji Kestabilan Fisik
Dilakukan uji kestabilan sifat fisik setiap minggunya selama 21 hari penyimpanan
meliputi pH, homogenitas, daya sebar, warna, bau dan pengujian terhadap iritasi kulit. Hasil
pengamatan kestabilan sifat krim tabir surya dapat dilihat dalam tabel dan gambar berikut:
b. pH

pH (hari ke) Keterangan


Carotene cream
0 7 14 21
Formula I 5,3 5,5 5,8 5,8 MS
Formula II 5,5 5,6 5,7 5,8 MS
Formula III 5,6 5,9 5,8 6,1 MS
Keterangan :
MS : Memenuhi Syarat
pH yang memenuhi syarat 4,5-6,5(Djajadisastra,2004)
c. Daya Sebar
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai daya oles yang
baik dilihat dari hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan krim semakin menyebar
ketika beban bertambah
d. Warna dan Bau
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai warna dan bau
yang stabil dan tidak mengalami perubahan selama 21 Hari penyimpanan di suhu ruang.
e. Uji Iritasi kulit
Didapatkan dari hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 100% responden
menyatakan tidak mengalami gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatal-gatal, terasa
panas dan perih pada permukaan kulit setelah diolesi ketiga formula Krim Tabir Surya yang
mengandung betakaroten dari ekstrak sari wortel (Daucus Carota L)

5. KESIMPULAN
Beta karoten dari ekstrak wortel (DaucusCarota L) dapat diformulasikan menjadi
sediaan krim tabir surya yang stabil dan memenuhi persyaratan. Formula krim tabir surya
yang paling optimal yaitu formula II yang mengandung cera alba 1,20g; paraffin cair 4g; span
60 0,16g; trietanolamin 0,24g.

130
Untuk pH, Suhu lebur, daya oles, homogenitas memenuhi persyaratan dan stabil
secara fisik. tidak mengalami perubahan bau, warna serta tidak terjadi iritasi kulit saat
digunakan.

6. HASIL PRODUK

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, et al. Phytochemicals in Daucus carota and Their Health Benefits. MDPI.2019;
8,424
Amnuaikit,Thanaporn . Boonme,Praparon. Formulation and characterization of sunscreen
creams with synergistic efficacy on SPF by combination of UV filters.Journal of
Applied Pharmaceutical Science. 2013;3(8);001-005
Ayuningrum. Uji stabilitas fisik dan penentuan nilai SPF (sun protection factor) krim tabir
surya ekstrak kulit buah pepaya (Carica papaya L.).Ungaran: Sekolah Tinggi
Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. 2016.
Damogalad V, Edy HJ, Supriati HS. Formulasi krim tabir surya ekstrak kulit nanas (Ananas
winosus L MERR) dan uji in vitro sun protecting faCtor (SPF). Pharmacon. 2013;
2(2): 39-43.
Dalimartha, S dan Adrian, F. 2011. Khasiat Buah dan Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Indonesia.
Febrihaq,Diah. Formulasi Dan Evaluasi Sediaan Lotion DariMinyak Lemon (Citrus Limon
L.) Dengan VariasiKonsentrasi Span 80 Dan Tween 80Sebagai Emulgator. Poltekkes
Kemenkes Palembang. 2019
Ikawati, Ratna. Optimasi Kondisi Ekstraksi Karotenoid Wortel ( Daucus carota L)
Menggunakan Response Surface Methodology. Jurnal teknologi pertanian.2005; 1(1);
14-22
Kementerian Kesehatan RI. Farmakope Indonesia Edisi Lima. Jakarta: KemenKes RI. 2014.
Kementerian Kesehatan RI. Formularium Nasional. Jakarta: KemenKes RI. 2015.

131
Kibbe, A. H. 2006. Dalam Rowe, R. C., Sheskey, P. J., and Quinn, M.E., ads.Handbook Of
Pharmaceutical Excupients, Sixth Edit., Pharmaceutical Press and American
Association, Washington.
Kusuma, Fanny. Formulasi Sediaan Tabir Surya Ekstrak Air Wortel (Daucus Carota L.)
Dalam Bentuk Sediaan Krim. Universitas katolik widya mandala. Surabaya.2015
Maharani, A., 2015. Penyakit Kulit : “Perawatan, Pencegahan, Pengobatan”. Pustaka Baru
Press, Yogyakarta. Indonesia
Maulina, Ika.Uji stabilitas fisik dan aktivitas antioksidan sediaan krim yang mengandung
ekstrak umbi wortel (Daucus Carota L.) Universitas Indonesia.2011
Miekus N, et al. Green Chemistry Extraction of Carotenoids from Daucus carota L.
Molcules.2019;24,4339.
Mustafa, Arwa. Trevino,LM. Turner, Charlotta. 2 Pressurized Hot Ethanol Extraction of
Carotenoids from Carrot BY-Products. MDPI.2012; 17(2); 1809-1818
Novriadi, Harry.Ratnasari, Devi. Fermadianto,Muhammad. Formulasi Sediaan Krim Tabir
Surya dari Ekstrak Etanol Buah Bisbul (Diospyros blancoi). Jurnal ilmu kefarmasian
indonesia.2019; 17(1);262-271
Rejeki S, Wahyuningsih SS. Formulasi gel tabir surya minyak nyamplung (Tamanu Oil) dan
uji nilai SPF secara in vitro. University Research Colloquim. 2015; 97-103.
Retnaningsih C, Darmono, Widianarko, B, Muis, SF. Peningkatan aktivitas antioksidan
superoksida dismutase pada tikus hiperglikemi dengan asupan tempe koro benguk
(Mucuna pruriens L.). Agritech. 2013; 33(2):154-161.
Rowe, R.C., P.J. Sheskey dan M.E. Quinn, 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients
Sixth Edition. American Pharmaceutical Association. London, Chicago.
Shovyana HH, Zulkarnain AK. Stabilitas fisik dan aktivitas krim W/O ekstrak etanolik buah
mahkota dewa (Phaleria macrocarpha(Scheff .) Boerl,) sebagai tabir surya. Trad. Med.
J. 2013;18(2):109-17
Stephane A. Desobry, Flavia M. Netto & Theodore P. Labuza, Preservation of beta carotene
from carrots. Critical Reviewers in Food Science and Nutrition Journal. 2010; 38;381-
396
Subchan P, Malik DA, Namason WT. Fotoproteksi. MDVI. 2011. 38(3):141-8.
Wingqvist,annica. 2011. Extraction,Isolation and purification of carotene. Karlstads
University, Karlstads.
Yulianti E, Adelsa A, Putri, A . Penentuan nilai SPF (sun protection factor) ekstrak etanol
70% temu mangga (Curcuma mangga) dan krim ekstrak etanol 70% temu mangga
(Curcuma mangga) secara in vitro menggunakan metode spektrofotometri. Majalah
Kesehatan FKUB. 2015; 2(1):41-50.

132
LOMBA POSTER

Ekstraksi Senyawa Antosianin Pada Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Zat Pewarna
Alami Sediaan Sirup
Extraction Of Anthocyanin Compounds In Red Betel (Piper crocatum) As Natural Dyes
For Syrup

Emilia Fransisca1, Elsa Septina1, Menia Oktariana1


1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Kualitas dan sumber pewarna alami yang terbatas menyebabkan penggunaan pewarna
sintet,is banyak digunakan dalam berbagai sediaan farmasi. Namun, kandungan pewarna
sintesis itu bisa memicu reaksi merugikan tertentu bagi pasien yang rentan. Tanaman daun
sirih merah (Piper crocatum) mengandung senyawa flavonoid alam yang paling mencolok
yaitu antosianin yang merupakan pembentuk dasar pigmen warna pada tanaman. Tujuan
penelitian ini untuk mengekstraksi antosianin dari daun sirih merah (Piper crocatum) menjadi
pewarna alami yang bermutu serta memiliki kestabilan fisik yang baik pada sirup. Penelitian
ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan mengekstraksi daun sirih merah dan
menjadikannya serbuk yang akan diujikan kestabilannya dengan cara memvariasikan
konsentrasi ekstrak dan variasi konsentrasi acid citric yang dilihat kesetabilan pHnya. Hasil

133
penelitian menunjukkan bahwa warna pada sirup sudah memenuhi syarat uji pH dan stabilitas
warna sirup terhadap lama penyimpanan. Untuk uji kesukaan rasa, warna, dan aroma formula
sirup parasetamol yang paling disukai adalah formula dua.

Kata kunci : Ekstraksi antosianin, sirup parasetamol, daun sirih merah, metanol.

Abstract

The quality and limited source of natural dyes causes the use of synthetic dyes
widely used in various pharmaceutical preparations. However, the content of synthetic
dyes can trigger certain adverse reactions for vulnerable patients. The red betel leaf plant
(Piper crocatum) contains the most striking natural flavonoid compound, anthocyanin,
which forms the basis of the red pigment. The purpose of this study is to extract
anthocyanins from red betel leaves (Piper crocatum) to be a quality natural dye and have
good physical stability in syrup. This research is doing by the experimental method by
extracting red betel leaf and making it a powder that will be tested for stability by
variations in the concentrations of extracts and variations of citric acid concentrations that
based on the pH stability. The results showed that the color in the syrup already qualified
pH test and color stability of the syrup storage. The best formula for taste, color and
aroma paracetamol syrup is the second formula

Key Word : Extraction of anthocyanin, paracetamol syrup, red betel leaf, methanol

Latar Belakang
Kualitas dan sumber pewarna alami yang terbatas menyebabkan penggunaan pewarna
sintetis berkembang pesat. Zat pewarna alami kini telah banyak digantikan dengan pewarna
sintetik yang memberikan berbagai macam pilihan warna. Zat pewarna sering juga digunakan
untuk obat- obatan dan kosmetika. Sebagian besar pewarna yang diizinkan untuk digunakan,
sudah dipakai sebagai pewarna makanan dan sediaan obat-obatan, juga digunakan sebagai zat
diagnostik, desinfektan dan zat dalam proses pengobatan. Dan sering digunakan sebagai
pewarna pada tablet dan gelatin pada kapsul. Menurut studi oleh para pakar di Boston,
Massachusetts, Amerika Serikat, mengungkap, mayoritas obat resep mengandung senyawa
tidak aktif seperti laktosa, gluten dan pewarna makanan. Kandungan itu bisa memicu reaksi
merugikan tertentu bagi pasien yang rentan.
Pewarna alami adalah zat warna alami (pigmen) yang diperoleh dari tumbuh-
tumbuhan dan hewan (Koswara 2009). Salah satu pigmen alami yang berpotensi sebagai
alternative pengganti pewarna sintetik adalah antosianin. Pigmen ini tergolong dalam
senyawa flavonoid dan bertanggung jawab terhadap timbulnya warna oranye, jingga, merah,
ungu dan biru pada beberapa daun, bunga dan buah (Gross, 1987)
Beragam jenis tumbuhan obat yang telah lama diketahui khasiatnya oleh masyarakat,
tidak hanya digunakan sebagai obat tetapi banyak juga yang menjadikannya tanaman hias.

134
Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai tanaman obat serta tanaman hias adalah sirih
merah (Piper crocatum). Berdasarkan beberapa penelitian, kandungan fitokimia yang
terdapat di dalam daun sirih merah (Piper crocatum) adalah alkaloid, saponin, tannin dan
flavonoid. Hasil penelitian Puzi et al (2015) menunjukkan bahwa tanaman daun sirih merah
(Piper crocatum) mengandung senyawa flavonoid.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa bioaktif hasil metabolisme sekunder yang
banyak terdapat dialam (Achmad,1986). Semua turunanan senyawa flavonoid mempunyai
sejumlah sifat yang sama dikenal sekitar 9 kelas flavonoid yang salah satunya yaitu
antosianin (Puzi 2015). Senyawa flavonoid alam yang paling mencolok adalah antosianin
yang merupakan pembentuk dasar pigmen warna merah, ungu dan biru pada tanaman,
terutama sebagai bahan pewarna bunga dan buah-buahan (Robinson, T. 1995). Antosianin
merupakan senyawa larut dalam air turunan flavonoid yang dhasilkan dari metabolit sekunder
tanaman. Antosianin adalah senyawa yang bersifat amfoter, yaitu memiliki kemampuan
untuk bereaksi baik dengan media asam antosianin bewarna merah sedangkan dengan media
basa antosianin bewarna ungu dan biru.

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan diatas, maka peniliti ingin melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai senyawa antosianin pada daun sirih merah (Piper crocatum)
sebagai zat pewarna alami sediaan farmasi sirup.

Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengekstraksi antosianin dari daun sirih merah (Piper
crocatum) menjadi pewarna alami yang bermutu serta mengetahui kestabilan fisiknya pada
sediaan sirup.

Metode
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah daun sirih merah, metanol murni (hasil destilasi), akuades, HCl
pekat, aerosol. Alat yang digunakan yaitu seperangkat alat distilasi, rotary evaporator, neraca
analitik, kertas saring (Whatman No.1), alat gelas.
Pertama dilakukan persiapan sampel. Sampel yang digunakan adalah bagian daunnya
saja. Daun sirih merah disortasi dan dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian dirajang
tipis-tipis. Daun dikering anginkan pada suhu ruang selama 1-2 hari.
Daun sirih merah lalu dimaserasi dengan methanol murni (hasil destilasi) yang

135
mengandung HCl 1 % (pH 4) dengan perbandingan sampel terhadap pelarut 1 : 4 (b/v),
selama 3 hari pada suhu dingin (± 5⁰C). Filtrat disaring dengan kertas Whatman No. 1, lalu di
enaptuangkan selama 2 hari. Maserat ini digunakan untuk identifikasi. Kemudian, maserat
dipekatkan menggunakan rotary evaporator di suhu 35⁰C sehingga didapatlah ekstrak kental.
Ekstrak kental ini ditambah dengan sejumlah aerosil dengan perbandingan 1 : 2 hingga
menjadi padatan / serbuk.

Tabel 1. Formula Sirup Paracetamol


Variasi ektrak
No Nama Bahan FI F2 F3 F4
1 Paracetamol 1.44 g 1.44 g 1.44 g 1.44 g
2 Sukrusa 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g
3 Propilen glikol 12,9g 12,9g 12,9g 12,9g

4 Acid citric 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g


5 Natrium 0,66 g 0,66 g 0,66 g 0,66 g
Benzoat
6 Serbuk ektrak sirih 0,15 g 0,2 g 0,3 g -
merah

7 Aquadest Ad 60ml Ad 60ml Ad 60ml Ad 60ml

Tabel 2. Formula Sirup Paracetamol


Variasi Acid Citric
No Nama Bahan FI F2 F3 F4
1 Paracetamol 1.44 g 1.44 g 1.44 g 1.44 g
2 Sukrusa 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g
3 Propilen 12,9g 12,9g 12,9g 12,9g
Glikol
4 Acid citric 1g 02g 3g 0,6 g
5 Natrium 0,66 g 0,66 g 0,66 g 0,66 g
Benzoat
6 Serbuk ektrak sirih 0,2 g 0,2 g 0,2 g 0,2 g
Merah
7 Aquadest Ad Ad Ad Ad
60ml 60ml 60ml 60ml

Evaluasi Sirup Parasetamol Uji pH


Berdasarkan hasil pengamatan uji pH pada sirup paracetamol menunjukkan pH stabil

136
pada formula II.

Uji Kesukaan
Dari formula I, formula II, dan formula III diuji mana yang paling disukai responden
dari segi rasa, warna, dan aroma.

Hasil dan Pembahasan Uji Sifat Fisik Sirup


Dilakukan uji kestabilan sifat fisik setiap minggunya selama 28 hari penyimpanan
meliputi pH, rasa, warna dan aroma. Hasil pengamatan kestabilan sifat sirup parasetamol
dapat dilihat dalam tabel dan gambar berikut:
a. pH
Variasi Ekstrak
pH (hari ke) Ket
Sirup
Parasetamol
0 7 14 21 28

Formula I 4, 29 4, 34 4,45 4,67 5,06 MS

Formula II 4,97 4, 99 5,01 5,03 5,04 MS

Formula III 4,03 4,12 4,16 4,23 4,35 MS

Formula IV 5,00 5,02 5,03 5,05 5,09 MS


(formula
control)

Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai rasa yang
disukai responden dan tidak mengalami perubahan selama 28 hari penyimpanan di suhu
ruang.
Keterangan :
MS : Memenuhi Persyaratan
pH yang memenuhi syarat 3-5 (FI Ed.III)

Variasi Acid Citric


pH (hari ke) Ket
Sirup
Parasetamol
0 7 14 21 28

Formula I 4,98 5,28 5,37 5,40 5,51 MS

Formula II 4,83 4,85 5,02 5,04 5,06 MS

137
Formula III 3,87 3,91 4,01 4,05 4,06 MS

Formula IV 4,97 4,99 5,01 5,03 5,04 MS


(formula
control)

Keterangan :
MS : Memenuhi Persyaratan
pH yang memenuhi syarat 3-5 (FI Ed.III)
b. Hasil Uji Tanggap Rasa

c. Hasil Uji Warna dan Aroma


Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai warna dan
aroma yang stabil dan tidak mengalami perubahan selama 28 hari penyimpanan di suhu
ruang.

Kesimpulan
Sirup parasetamol ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) yang memiliki variasi
perbandingan ekstrak formula I 0.15g formula II 0.2g, dan formula III 0.3g setelah dilakukan
evaluasi kestabilan warna formula II menunjukkan warna yang lebih stabil. Setelah
didapatkan kestabilan warna dari formula II selanjutnya dilakukan variasi asam sitrat untuk
mengatur kadar keasaman sirup paracetamol dengan menggunakan perbandingan asam sitrat
formula I 1g, formula II 2g dan formula tiga 3g. Formula II menunjukkan kestabilan pH pada
lama penyimpanan yang dilakukan selama 28 hari. Formula sediaan sirup paracetamol yang
optimal ialah formula II dengan ekstrak 0,2g dan asam sitrat 2g. Formula II dapat
diformulasikan menjadi sirup yang memenuhi syarat uji kestabilan pH, dan uji tanggap rasa,
warna, dan aroma. Selain itu sirup ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) dari formula II
adalah yang paling disukai responden.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam, Materi 4: Ilmu Kimia Flavonoid. Karunika
Universitas Terbuka. Jakarta.
Ahmad, M.M., (2006), Anti Inflammatory Activities of Nigella sativa Linn (Kalongi, black
seed), http://lailanurhayati.multiply.com/jo urnal
Astuti, I. P dan Esti Munawaroh. 2011. KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN SIRIH
MERAH : Piper Crocatum Ruitz & Pav dan Piper porphyrophyllum
N.E.Br.KOLEKSI KEBUN RAYA BOGOR. Diakses 15 nov 2019

138
Basuki, N., Harijono, Kuswanto, &Damanhuri.2005. Studi Pewarisan Antosianin pada Ubi
Jalar. Agravita27
Francis, F.J. (1982). Analysis of anthocyanins. Dalam : Markakis, P. (ed.). Anthocyanin as
Food Color. hal 181207. Series Food Science and Technology, Academic Press, New
York.
Ginting, E. 2011. Potensi Ekstrak Ubi Jalar Ungu sebagai Bahan Pewarna Alami Sirup.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.
ISBN: 978-979- 1159- 56-2.Harborne, J.B. 1987.
Metode fitokimia. Bandung : ITB Herwandi, D, (1991), Telaah Fitokimia Daun Dysoxylu
Gaunic haudianum (Juss) Miq-Meliaceae, Skripsi Sarjana, Jurusan Farmasi, ITB.
Man, J. M. de. 1997. Kimia Makanan. ITB. Bandung.
Natalia, D. 2005. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis Pelarut Organik Terhadap Total
Antosianin dari Ekstrak Pigmen Alami Buah Arben (Rubusidaeus (Linn.). Skripsi.
Universitas Padjadjaran, Jatinangor
Panitia Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Indonesia
Panitia Farmakope Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Indonesia
Puzi, W. S., Yani Lukmani dan Undang A Dasuki. 2015. Ekstraksi dan identifikasi senyawa
flavonoid dari daun tumbuhan sirih merah (Piper crocatum). Diakses 16 nov 2019
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB
Rowe, Raymond C. dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients sixth edition.
London: Royal Pharmaceutical Society of Great Britain
Santoni, A., Djaswir Darwis dan Sukmaning Syahri.2013. Ekstraksi Antosianin dari Buah
Pucuk Merah (syzygium campanulatum korth.)Serta Pengujian Antioksidan dan
Aplikasi sebagai Pewarna Alami. Diakses 16 nov 2019
Sudewo, B. 2010. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah: Sirih Merah Pembasmi Aneka
Penyak it. Jakarta: Agromedia Pustaka
Tjitrosoepomo, Gembong., 1993 : Taksonomi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Cetakan pertama
Winarno, F. G. 1997. Kima Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Winarti, S. Ulya Sarofa dan Dhini Anggrahini. 2008. EKSTRAKSI DAN STABILITAS
WARNA UBI
JALAR UNGU (Ipomoea batatas L.,) SEBAGAI PEWARNA ALAMI.Diakses 16 nov 2019

139
LOMBA POSTER

Formulasi Aromatherapy Gel Blended Minyak Lemon (Oleum citrus limon L) Dan
Minyak Peppermint (Oleum Menthae Pipperatae L) Dengan Variasi Triethanolamin
Sebagai Surfaktan

Yuni Suharina1, Picky Pernanda1, Debby Putri Milenia1


1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Wanita hamil sering mengalami mual dan muntah, sehingga diperlukan suatu sediaan
yang dapat mencegah proses terjadinya mual. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian
tentang pemanfaatan Oleum Citrus limon L Blended Oleum Menthae pipperitae L dengan
variasi Triethanolamin Sebagai Surfaktan dalam sediaan Aromatherapy Gel. aromaterapi
murni yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa.
Adapun tujuan penelitian ialah untuk mengetahui formulasi Aromatherapy Gel dari Oleum
Citrus limon L Blended Oleum Menthae pipperitae L dengan variasi Triethanolamin Sebagai
Surfaktan yang tepat sehingga dihasilkan produk Aromatherapy Gel yang stabil, efektif, dan
aman dalam penggunaannya pada ibu hamil serta diakukan uji kestabilan fisiknya. Metode
penelitian yang digunakan adalah eksperimental. Penelitian ini dibuat menjadi 6 formula
dengan memvariasikan Triethanolamin dan zat aktif. Triethanolamin divariasikan dengan
persentase kandungan sebesar (2% ; 3% ; 4%) sebagai surfaktan dan zat aktif sebanyak 5
tetes. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sediaan aromatherapy gel selama penyimpanan
selama 28 hari memiliki pH yang cenderung meningkat, semua sediaan aromatherapy gel
memiliki daya sebar yang baik, homogen dan tidak mengalami perubahan warna, bau serta
tidak mengiritasi kulit. Disimpulkan bahwa campuan Oleum Citrus limon L dan Oleum
Menthae pipperitae L dapat diformulasikan menjadi sediaan aromatherapy gel yang stabil
dan memenuhi persyaratan. Formulasi aromatherapy gel yang paling optimal yaiitu formula 5
yang mengandung zat aktif 5 tetes dan triethanolamin 3%.

Kata Kunci: aromateraphy,gel, triethanolamin, minyak lemon, minyak peppermint

140
ABSTRACT

Pregnant women often experience nausea and vomiting, so we need a preparation that
can prevent the process of nausea. Therefore, research will be conducted on the use of Oleum
Citrus limon L Blended Oleum Menthae pipperitae L with variations of Triethanolamine as
Surfactant in Aromatherapy Gel preparations. Pure aromatherapy that aims to improve health,
well-being of the body, mind, and spirit. The research objective is to find out the formulation
of Aromatherapy Gel from Oleum Citrus limon L Blended Oleum Menthae pipperitae L with
variations of Triethanolamine as an appropriate Surfactant so that Aromatherapy Gel products
are produced that are stable, effective, and safe in its use in pregnant women and are tested
for its physical stability. Active substance as much as 5 drops. This research was made into 6
formulas by varying Triethanolamine and active substances. Triethanolamine is varied with a
percentage of content of (2%; 3%; 4%) as a surfactant and active substance as much as 5
drops. The evaluation results show that the aromatherapy gel during storage for 28 days has a
pH that tends to increase, all aromatherapy gel preparations has good dispersal power, are
homogeneous and do not change homogeneous, has no change in color and smell, and do not
irritate the skin. It was concluded that the mixture of Oleum Citrus limon L and Oleum
Menthae pipperitae L can be formulated into a stable and fulfilling aromatherapy gel
preparation. The most optimal formulation of aromatherapy gel is formula 5 which contains 5
drops of active ingredient and 3% triethanolamine.

Keywords: aromatherapy, gel, triethanolamine, lemon oil, peppermint oil

1. PENDAHULUAN
Mual dan muntah pada kehamilan atau nausea and vomiting of pregnancy (NVP),
dalam istilah medis dikenal dengan emesis gravidarum merupakan komplikasi umum yang
paling sering terjadi selama kehamilan hingga 85% pada ibu hamil (Madjunkova et al., 2013).
Maka dari itu diperlukan terapi untuk mengurangi mual dan muntah , salah satu terapi yang
diapakai ialah terapi komplementer menggunakan aromaterapi. Aromaterapi merupakan salah
satu terapi kesehatan yang menggunakan minyak esensial (sari pati) hasil ekstraksi bunga,
daun, buah dan bagian lain tumbuh- tumbuhan (Balkam, 2001). Prinsip utama aromaterapi
yaitu pemanfaatan bau dari tumbuhan atau bunga untuk mengubah kondisi perasaan,
psikologi, status spiritual, dan mempengaruhi kondisi fisik seseorang melalui hubungan
pikiran dan tubuh pasien (Carstens, 2010). Sumber minyak essensial yang digunakan sebagai
aromaterapi diantaranya berasal dari Papermint, bunga lavender, bunga mawar, jahe dan
lemon (Allen, 2007; Buckle, 2007; Kim, et al, 2007).
Minyak essensial lemon (Oleum Citrus limon L) blended Minyak Peppermint (Oleum
Menthae pipperitae L) adalah salah satu yang paling banyak digunakan dan dianggap aman
pada kehamilan . Menurut sebuah studi, telah terbukti bahwa aroma lemon tersebut efektif
untuk mengontrol gejala mual dan muntah pada 26,5% wanita hamil (Kia et al, 2014).

141
Minyak esensial lemon mengandung limonene 66-80%, geranilasetat, nerol, linalilasetat, á
pinene 0,4-15%, á pinene 1-4%, terpinene 6-14% dan myrcen. Ketika minyak essensial
dihirup, molekul masuk ke rongga hidung dan merangsang sistem limbik di otak. Sistem
limbik adalah daerah yang mempengaruhi emosi dan memori serta secara langsung terkait
dengan adrenal, kelenjar hipofisis, hipotalamus, bagian- bagian tubuh yang mengatur denyut
jantung, tekanan darah, stress, memori, keseimbangan hormon, dan pernafasan.
Begitu banyak jenis minyak essensial yang ada. Jenis minyak essensial yang biasa
digunakan adalah pappermint, spearmint (3 tetes), lemon, dan jahe ( 2 tetes) (Santi, 2013).
Sediaan gel biasa disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu
cairan. Keuntungan gel dibandingkan dengan bentuk sediaan topikal lainnya yaitu
memungkinkan pemakaian yang merata dan melekat dengan baik mudah digunakan mudah
meresap dan baik, mudah digunakan, mudah meresap, dan mudah dibersihkan oleh air.
Selain itu aromatherapy gel dapat di variasikan dengan Surfaktan salah satunya
Triethanolamin yang merupakan senyawa organik bersifat ampifatik dimana senyawa tersebut
memiliki gugus hidrofobik (bagian ekor) dan gugus hidrofilik (bagian kepala). Sehingga
dengan adanya kedua gugus tersebut, surfaktan dapat larut baik dalam air maupun dalam
pelarut organik. Ketika surfaktan dicampurkan kedalam emulsi, surfaktan akan menutupi
permukaan droplet dengan bagian hidrofobiknya terdapat dalam droplet (minyak) dan bagian
hidrofiliknya terdapat dalam air (Li et al., 2008 dalam Muhaimin, 2013) sehingga dapat
mencegah droplet minyak mendekat satu sama lain (Wang, 2014).
Berpedoman pada penelitian s.ezhil vendan, dkk (2017) mengenai mixtures of
peppermint + lemon oil (1:1 ratio) produced an equivalent effect dan modifikasi dari
penelitian suryani tambunan dan teuku nanda saifullah sulaiman (2018) mengenai basis gel,
maka penelliti tertarik melakukan penenlitian dengan judul blended minyak lemon (Oleum
Citrus limon l) dan minyak peppermint (Oleum Menthae pipperitae l) dalam formulasi
sediaan aromatherapy gel dengan variasi triethanolamin sebagai surfaktan.

2. TUJUAN PENELITIAN
Untuk membuat sediaan Formulasi Aromatherapy Gel Blended Minyak Lemon
(Oleum Citrus limon L) Dan Minyak Peppermint (Oleum Mentha Pipperitae L) Dengan
Variasi Trietanolamin Sebagai Surfaktan sebagai gel serta evaluasi sediaan yang stabil dan
memenuhi syarat.

142
3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental dengan membuat bebrapa
formulasi sediaan aromatherapy gel yangmengandung campuran Minyak Lemon (Oleum
Citrus limon L) Dan Minyak Peppermint (Oleum Menthae Pipperitae L).
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya kaca arloji, gelas ukur,
beaker glass, erlenmeyer, timbangan analitik, pipet tetes, sudip, mortar, stamper, sendok
spatula, dan perkamen. Bahan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya minyak
lemon dan peppermint, HPMC, carbopol, methyl paraben, propylenglikol, NaOH,
Triethanolamin dan aquadest.

b. Identifikasi minyak
1) Organoleptis
Minyak lemon merupakan cairan bening, berwarna kuning pucat atau kuning
kehijauan,bau khas aromatik, rasa pedas agak pahit. Minyak peppermint menusuk, rasa
pedas diikuti rasa dingin jika udara dihirup melalui mulut.
2) Indeks Bias
Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam dalam zat
tersebut. Indeks bias dapat ditentukan dengan menggunakan alat Abbe Refractometer,
menurut Guenther (1990) minyak lemon memiliki indeks bias pada 20º sebesar 1,4742
- 1,4755 dan minyak peppermint memiliki indeks bias pada suhu 20 0C sebesar 1,463.
Indeks bias diukur dengan cara sebagai berikut :
a) Teteskan minyak sebanyak 2-3 tetes air suling ke atas permukaan prisma, lalu tutup
b) Lihat melalui teropong, putar tombol skala sampai batas gelap- terang pada lapang
pandang berimpit dengan perpotongan garis diagonal.
c) Baca skala, bila sudah menunjukkan angka 1,3330 berarti alat siap dipakai. Lalu
teteskan 2-3 tetes minyak yang akan di identifikasi. Lakukan prosedur yang sama
seperti kalibrasi.
3) Bobot Per millimeter
Bobot permili meter suatu zat adalah bobot dalam g per ml zat cair pada suhu
200C. bobot per ml minyak lemon pada 25º sebesar 0,849 - 0,855. Bobot per ml minyak
peppermint adalah 1,126 g/mL (25oC). Bobot per ml diukur menggunakan piknometer
dengan cara timbang piknometer kosong (missal : a gram), isi piknometer dengan air
hingga penuh, tutup dan bilas lalu timbang (missal : b gram), keringakan piknometer

143
tersebut, lalu isi dengan minyak hingga penuh, kemudian timbang (missal : c gram).
Bobot per ml dihitung dengan cara :
BJ x 0,99718 g
𝑐−𝑎
BJ =
𝑏−𝑎

c. Formulasi Aromatherapy Gel

*mixtures of peppermint + lemon oil (1:1 ratio) produced an equivalent effect (S.Ezhil
Vendan, dkk, 2017) * 1 tetes = 0,05 ml.

d. Cara kerja
1) Pembuatan Aromatherapy Gel
1. Aquadest dipanaskan hingga suhu 70oC.
2. Karbopol didispersikan dalam aquadest tersebut menggunakan stirrer dengan
kecepatan 70 rpm sampai homongen.
3. Setelah busa hilang, tambahkan Trietanolamin sehingga terbentuk gel (massa 1).
4. Selanjutnya HPMC didispersikan dengan aquadest hingga mengembang lalu
ditambahkan ke dalam massa 1, aduk homogen hingga terbentuk massa gel
5. Metil paraben larutkan dengan air panas setelah larut masukkan ke masa gel, diikuti

144
dengan penambahan NaOH dan diaduk dengan stirrer sampai homogen.
6. Minyak Lemon dan sebagian propylenglikol diaduk dengan stirrer sampai homongen
(massa 2), kemudian minyak Peppermint dan sisa Propylenglikol diaduk dengan
stirrer sampai homogen. Lalu tambahkan massa 2 dan gerus homogen, sambil
menambahkan sisa air.
2) Uji Kestabilan Fisik
Seluruh formula gel disimpan selama 7 hari pada suhu kamar (28±2ºC).
kemudian dievaluasi pada hari ke 7 meliputi pH, viskositas, daya sebar dan
organoleptik sediaan (warna dan bau).
a. pH
Nilai pH sediaan dapat diukur dengan menggunakan pH meter pada suhu
250C. Untuk mengukur nilai pH ini dibutuhkan sampel sebanyak ± 1 gram yang
dilarutkan denngan maquadest 100 ml dalam beaker glass.
b. Kekentalan/Viskositas
Diambil sebanyak 20g untuk mengukur kekentalan menggunakan alat
viscometer Brookfield menggunakan spindle no 6 dipasang kepada alat kemudian
dicelupkan kedalam gel yang telah di masukan.
c. Daya sebar
Untuk mengukur daya sebar gel pada kulit. Dilakukan dengan cara :
sebanyak 1 gram sediaan diletakkan di tengah cawan petri yang telah dibalik dan
dilapisi plastik transparan di bawah dan di atas gel lalu tambahkan berat sebesar 125
g. Didiamkan selama 1 menit kemudian diukur menggunakan penggaris dan catat
daya sebarnya lakukan sebayak 3 kali (Garg et al, 2002).
3) Uji Homogenitas
Sampel diambil dari 3 tempat berbeda (atas, tengah, dan bawah) masing-masing
sebanyak ± 0,10 gram. Sampel kemudian diletakkan pada kaca objek, tutup dengan
deck glass dan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali lalu amati
homogenitas antar partikelnya.
4) Warna dan Bau
Pengujian terhadap perubahan warna dan bau dengan cara melibatkan 30
responden, kemudian responden mengevaluasi sediaan dengan mengamati perubahan
terhadap warna dan bau selama 28 hari penyimpanan.
5) Iritasi Kulit
Dilakukan dengan cara sediaan (F control, F1, F2, F3, F4, F5, F6) dioleskan

145
pada punggung tangan. Lalu tunggu hingga mengering. Kemudian amati reaksi yang
mungkin terjadi misalnya gatal, kemerahan dan perih.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Uji Kestabilan Fisik
Dilakukan uji kestabilan fisik sselama 7 hari penyimpanan meliputi pH,
kekentalan/viskositas dan daya sebar. Hasil pengamatan kestabilan fisik aromatherapy gel
dapat dilihat dalam tabel berikut :

1) pH

Aromatherapy pH (hari Ke-)


Ket
Gel
0 7
Formula 5,98 6,00 MS
Kontrol
Formula I 5,97 5,98 MS
Formula II 5,98 5,98 MS
Formula III 5,98 5,99 MS
Formula IV 5,99 5,98 MS
Formula V 6,00 6,00 MS
Formula VI 6,01 6,01 MS

Keterangan :
MS : Memenuhi Syarat pH yang memenuhi syarat 4,5 - 6,5 dan tidak memenuhi syarat
apabila kurang dari 4,5 atau lebih dari 6,5 (Draelos dan Laurend, 2006)

2) Daya Sebar
Aromatherapy Gel Daya Sebar Keterangan
(hari ke)
0 7
Formula 5,1 cm 5,3 cm Formula
Kontrol Kontrol
Formula I 5 cm 5,2 cm Formula I
Formula II 5,5 cm 5,6 cm Formula II
Formula III 5,9 cm 6 cm Formula III
Formula IV 5,8 cm 5,9 cm Formula IV

146
Formula V 5,6 cm 5,7 cm Formula V
Formula VI 5,9 cm 6cm Formula VI

Keterangan:
MS : Memenuhi Syarat Memenuhi syarat apabila memiliki diameter 5-7 cm. Tidak
memenuhi syarat apabila kurang dari 5 atau lebih dari 7 (Garg et al, 2002):

b. Uji Organoleptis
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai homogenitas
yang baik, ditandai dengan partikel yang tersebar merata ketika dilihat di bawah
mikroskop.

c. Warna dan Bau


Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai warna dan bau
yang stabil dan tidak mengalami perubahan selama 7 hari penyimpanan di suhu ruang.

d. Uji Iritasi kulit


Didapatkan dari hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 100% responden
menyatakan tidak mengalami gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatalgatal, terasa
panas dan perih pada permukaan kulit setelah diolesi ketujuh formula aromatherapy gel
yang mengandung campuran Minyak Lemon (Oleum Citrus limon L) dan Minyak
Peppermint (Oleum Menthae piperitae L.)

5. KESIMPULAN
Campuran minyak Lemon (Oleum Citrus limon L) dan Minyak Peppermint (Oleum
Menthae piperitae L.) dapat diformulasikan menjadi sediaan aromatherapy gel yang stabil
dan memenuhi persyaratan. Formula sediaan aromatherapy gel yang optimal ialah formula V
dengan campuran minyak Lemon (Oleum Citrus limon L) dan minyak Peppermint (Oleum
Menthae piperitae L.) sebanyak 0,05% dan Triethanolamin sebanyak 3%. Untuk PH,
kekentalan/viskositas, daya sebar, homogenitas memenuhi persyaratan dan stabil secara fisik.
tidak mengalami perubahan bau, warna serta tidak terjadi iritasi kulit saat digunakan.

6. FOTO PRODUK

147
DAFTAR PUSTAKA
A. Nurul, Utiya, Balqis, Zafirah, Tia, Yulistianah, Yusril, Ihza M. 2019. FORMULASI GEL
AROMATERAPI. Academia. Availableat:https://www.academia.edu/40762166/
FORMULASI_GEL AROMATERAPI
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. BAB II Tinjauan Pustaka: Mual dan Muntah.
Available at:http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/64 26/6. BAB
%20II.pdf
Ansel, C.H, 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Terjemahan Oleh: F. Ibrahim,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, Indonesia
Garg, A, D. Anggarwal, S. Garg, and A.K. Singla, 2002. Spreading of Semosolid Formulation
: An Update. Pharmaceutical Technology, USA.
Lachman, Lierberman dan Kanig, 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi III, UI
press , Jakarta.
Marseli, Nabilah, A. 2019. Formulasi Dan Evaluasi Gel Ekstrak Metanol Daun Sambang
Getih (Hemigraphis Colorata Hall. F.) Dengan Variasi Konsentrasi Carbopol 940
Sebagai Gelling Agent. KTI, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan,
Palembang, Indonesia
Murrugesan, R., Sunny, M. Anila, S. Manivannan, S. E. Vendan. 2017. Phytochemical Residu
Profiles In Rice Grains Fumigated With Essential Oils For The Control Of Rice
Weevil. Plos One, 12(10) :e0186020, doi:10.1371/journal.pone.018 6020
Namazi, M., Akbari, A.S., Mojab, F., Talebi, A., Majd, H.A. & Jannesari, S. (2014).
Aromatherapy With Citrus Aurantium Oil And Anxiety During The First Stage Of
Labor. Irania Journal Of Pharmaceutical Research.
Pengaruh Air Kelapa (Cocos Nucifera L.) Terhadap Induksi Tunas Stek Tanaman Peppermint
(Mentha Piperita L.). Skripsi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung, Indonesia.
Rafika,Alfinnada. 2016. Formula+Pemerian HPMC. Scribd. Available at:
https://id.scribd.com/docume nt/333074310/FORMULA- PEMERIAN-HPMC
Rofi’ah, Siti, Sri, Widatiningsih, Tuti, Sukini. 2019. Efektivitas Aromaterapi Lemon Untuk
Mengatasi Emesis Gravidarum. Prodi Kebidanan Magelang Poltekkes Kemenkes
Semarang, Indonesia.
Setyawati, Dewi. 20 Niazi, S.K., 2004. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing
Formulation : Semi Solid Products. Volume 4. CRC Press, New York, hal. 54.

148
Tabatabaiae, Jalal, seyed, mohammad, Javad, Nazari. 2007. Influence of Nutrient
Concentrations and NaCl Salinity on the Growth, Photosynhesis, and Essential Oil
Content Of Peppermint and Lemon Verbena. Turkish Journal of Agriculture and
Forestry, 31(4): 245-253. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/248392710_Influence_of_nutrient_concentra
tions_and_NaCl_salinity_on_the_growth_photosynthesis_and_essential_oil_content_o
f_ peppermint_and_lemon_verb ena
Tambunan, S., Teuku, Nanda, S. S. 2018. Formulasi gel minyak atsiri sereh dengan basis
HPMC dan Carbopol. Majalah farmaseutik, 14(2), 87-95. Available at:
https://jurnal.ugm.ac.id/majalahfarmaseutik/article/view/42598/23522
Universitas Muhammadiyah Malang. BAB II Tinjauan Pustaka: Jeruk Lemon (Citrus limon
L.). Available at:http://eprints.umm.ac.id/3938 0/3/BAB%202.pdf
Young, G. (2011). Essencial Oil Pocket Reference 5 Th Ed. Amazon : Life Science
Pubhlising.

149
LOMBA POSTER
Formulasi Hand Sanitizer Dengan Kombinasi Ekstrak Daun Mangga Arumanis
(Mangifera indica L.) Dan Rimpang Lengkuas (Alipinia galanga L.)
Sebagai Gel Antiseptik

Yoriza Afriola1, Febrina Melinia Utami1, Puput Oktarina1


1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Infeksi merupakan penyakit yang mudah ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia.
Penyebab penyakit infeksi yang mudah ditemukan diantaranya adalah infeksi karena bakteri.
Bakteri ini masuk ke tubuh manusia salah satunya melalui tangan yang kotor. Hal ini dapat
dicegah dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas, serta penggunaan produk
hand sanitizer yang dapat menghilangkan kontaminan dan membunuh organisme. Namun
antiseptik atau hand sanitizer bila digunakan terus menerus dapat berbahaya dan
mengakibatkan iritasi hingga menimbulkan rasa terbakar pada kulit. Karena menggunakan
alkohol dan triklosan yang merupakan bahan kimia. Salah satu upaya untuk mengurangi
alkohol dan triklosan, maka dilakukan inovasi produk antiseptik hand sanitizer dengan
menggunakan ekstrak daun mangga arumanis dan lengkuas yang mengandung senyawa
antimikroba. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan menguji coba
beberapa konsentrasi basis yang menghasilkan formula paling baik. Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa formula sediaan Hand Sanitizer yang optimal ialah formula I dengan
kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang
lengkuas (Alipinia galanga L.) sebanyak 0,25 ml, karbomer 0,17 g, gliserin 0,47 ml, metil
paraben 0,1 g, pewangi manga 0,1 ml dan aquadest 50 ml. Untuk uji stabilitas ekstrak ,
homogenitas, dan uji iritasi kulit memenuhi persyaratan dan stabil secara fisik.

Kata kunci: antibakteri, hand sanitizer, daun mangga, rimpang lengkuas

ABSTRACT

Infection is a disease that is easily found in tropical regions like Indonesia. Causes of
infectious diseases that are easily found include infections due to bacteria. One of these
bacteria enters the human body is through dirty hands. This can be prevented by washing

150
hands before and after activity, and using hand sanitizer products that can eliminate
contaminants and kill organisms. However, an antiseptic or hand sanitizer when used
continuously can be dangerous and cause irritation to cause a burning sensation on the skin.
Because it uses alcohol and triclosan which is a chemical. One of the efforts to reduce
alcohol and triclosan, an hand sanitizer antiseptic product innovation was carried out by
using arumanis and galangal mango leaf extract containing antimicrobial compounds. This
research was carried out by an experimental method by testing several base concentrations
that produced the best formula. The evaluation results show that the optimal Hand Sanitizer
preparation formula is formula I with a combination of arumanis mango leaf extract
(Mangifera indica L.) and galangal rhizome extract (Alipinia galanga L.) as much as 0.25
ml, carbomer 0.17 g, glycerin 0, 47 ml, 0.1 g methyl paraben, 0.1 ml manga deodorizer and
50 ml aquadest. For the extract stability test, homogeneity, and skin irritation tests meet the
requirements and are physically stable.

Keywords: antibacterial, hand sanitizer, mango leaves, galangal rhizome

1. PENDAHULUAN
Infeksi merupakan penyakit yang mudah ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia.
Penyebab penyakit infeksi yang mudah ditemukan diantaranya adalah infeksi karena bakteri.
Bakteri ini masuk ke tubuh manusia salah satunya melalui tangan yang kotor. Hal ini dapat
dicegah dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas, serta penggunaan produk
hand sanitizer yang dapat meghilangkan komtaminan dan membunuh organisme
Adapun kelebihan hand sanitizer dapat membunuh kuman dalam waktu relatif cepat,
karena mengandung senyawa alkohol (etanol, propa nol, isopropanol) dengan konsentrasi ±
60% sampai 80% dan golongan fenol (klorheksidin, triklosan).
Hand sanitizer ada 2 basis, yaitu alkohol dan non alkohol. Mekanisme kerja basis
alkohol dan non alkohol kurang lebih sama, yaitu mendenaturasi protein bakteri. Alkohol
juga dapat mendenaturasi lemak dan menyebabkan dehidrasi pada bakteri. Hand sanitizer
berbasis non-alkohol biasanya mengandung benzalkonium klorida, senyawa aromatik dan
asam piroglutamat (Dixit et al., 2014).
Tanaman mangga arumanis (Mangifera indica L.) merupakan salah satu tanaman yang
berpotensi sebagai obat. Tanaman mangga berpotensi sebagai obat herbal karena
mengandung senyawa metabolit sekunder. Daun mangga arumanis mengandung senyawa
metabolit sekunder seperti, flavonoid, alkaloid, steroid, polifenol, tanin, dan saponin. Ekstrak
metanol daun mangga arumanis konsentrasi 1000 ppm berpotensi sebagai antijamurdan
antibakteri yaitu mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans dengan zona hambat
sebesar 8,12 mm (Ningsih et al., 2017).
Islam et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrak etanol daun mangga memiliki aktivitas
antimikroba terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae,

151
Bacillus cereus, Bacillus megaterium, Bacillus subtilis, Lactobacillus vulgaricus) dan bakteri
gram negatif (Shigella flexneri, Shigella sonei) dan fungi (Aspergillus ustus, Aspergillus
nigerdan Aspergillus ochraceus).
Rimpang lengkuas memiliki berbagai khasiat di antaranya sebagai antijamur dan
antibakteri. Penelitian Yuharmen dkk. (2002) menunjukkan adanya aktifitas penghambatan
pertumbuhan mikrobia oleh minyak atsiri dan fraksi metanol rimpang lengkuas pada beberapa
spesies bakteri dan jamur. Penelitian Sundari dan Winarno (2000) menunjukkan bahwa infus
ekstrak etanol rimpang lengkuas yang berisi minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan
beberapa spesies jamur patogen, yaitu: Tricophyton, Mycrosporum gypseum, dan Epidermo
floccasum.
Oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antifungi dari
ekstrak rimpang lengkuas dan akan dilakukan formulasi ekstrak daun mangga sebagai
antibakteri pada gel hand sanitizer dengan menggunakan bakteri Staphylococcus aureus pada
pengujian aktivitas antibakteri sediaan gel hand sanitizer. S. aureus adalah bakteri saprofit
yang masuk dalam kategori bakteri gram positif.Bakteri ini termasuk dua bakteri patogen
dengan tingkat penyebaran yang luas bersama bakteri E. coli. Pada saat uji aktivitas ekstrak
metanol daun mangga yang telah dipekatkan diencerkan dalam aquades. Hal ini untuk
meminimalisir pengaruh pelarut metanol yang digunakan pada saat ekstraksi.

2. TUJUAN PENELITIAN
Memformulasikan sediaan hand sanitizer kombinasi ekstrak daun mangga arumanis
(Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.) dengan berbagai
perbandingan konsentrasi yang stabil dan memenuhi syarat.

3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental dengan membuat
beberapa formulasi sediaan hand sanitizer dengan kombinasi ekstrak daun mangga arumanis
(Mangifera indica L.) dan ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.).
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu alat destilasi, rotary evaporator, panci, pisau,
gunting, sendok, timbangan, mortir dan stamper, gelas ukur, beaker glass, corong,
cawan, sudip, pengaduk kaca, pipet tetes, kompor. Bahan yang digunakan pada
peneltian ini diantaranya daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan ekstrak
rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.), Karbomer, TEA, Gliserin, Metil Paraben,

152
Pewangi dan aquadest.
b. Cara Pengumpulan Data
1) Persiapan Sampel
Daun mangga arumanis dan lengkus disortasi dan dicuci bersih dengan air
mengalir, kemudian daun mangga arumanis dan lengkus diiris tipis-tipis dan dikering
anginkan pada suhu ruang selama 1-2 hari.

2) Ekstraksi Daun Mangga Arumanis


Daun mangga arumanis yang telah kering, kemudian dirajang dan diekstraksi
secara maserasi dengan menggunakan metanol sampai semua terendam dan diaduk lalu
ditutup dan disimpan selama tiga hari. Pengadukan dilakukan kurang lebih sebanyak
tiga kali sehari. Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga didapat filtrat dan residu.
Residu yang dihasilkan kemudian dimaserasi dengan penambahan metanol selama 3
hari dan dilakukan penyaringan setiap hari. Semua filtrat yang dihasilkan disatukan
menjadi satu dalam satu wadah sebagai filtrat ekstrak metanol. Kemudian filtrat
tersebut dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak yang
kental kemudian ditimbang. (Ningsih, et al., 2014)
3) Ekstraksi Lengkuas
Rimpang lengkuas yang telah kering, kemudian dirajang dan diekstraksi secara
maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% yang telah didestilasi terlebih dahulu
sampai semua terendam dan diaduk lalu ditutup. Proses maserasi ini dilakukan selama 3
x 24 jam. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh disaring dan dipekatkan dengan
menggunakan rotatory vacuum evaporator pada sehingga didapat cairan kental bewarna
coklat. Ekstrak rimpang lengkuas padat kemudian ditimbang.
Jumlah yang digunakan
No Bahan Formula Formula Formula Formula
Khasiat
Kontrol I II III
1. Ekstrak Daun 0,25 mL 0,25 mL 0,25 mL 0,25 mL Zat Aktif
Mangga
Arumanis
2. Ekstrak 0,25 mL 0,25 mL 0,25 mL 0,25 mL Zat Aktif
Lengkuas
3. Karbomer 0,2 g 0,17 g 1,17 g 1,67 g Gelling Agent

4. Trietanolamin 0,05 mL 0,02 mL 1,02 mL 1,52 mL Basa Penetral,

153
(TEA) Emulgator
5. Gliserin 0,5 mL 0,47 mL 1,47 mL 1,97 mL Pelembab, Emolient
6. Metil Paraben 0,1 g 0,1 g 0,1 g 0,1 g Pengawet
Antimikroba
c. Formulasi Hand Sanitizer
d. Cara Kerja
1) PembuatanFormula Hand Sanitizer Ekstrak Daun Mangga
2) Uji Stabilitas Ekstrak
Uji Stabilitas Ekstrak Selama Penyimpanan adalah suatu proses pengujian
kestabilan fisik ekstrak daun
1. Ditimbang bahan-bahan yang digunakan.
2. Taburkan karbomer dalam aquadest panas lalu adik dengan stirer sesuai konsentrasi
tiap formula.
3. Setelah karbomer mengembang, tambahkan metil paraben.
4. Campuran ditambahkan ekstrak daun mangga arumanis dan rimpang lengkuas, lalu
aduk hingga homogen.
5. Kedalam campuran tersebut, tambahkan aquadest hingga volume 50 mL.
6. Tambahkan gliserin dan TEA sesuai konsentrasi tiap formula, serta pewangi.
Penyimpanan dengan variasi suhu (dingin, suhu ruang dan hangat) dan intensitas
cahaya (terlindung cahaya, tidak terkena cahaya matahari langsung, dan terpapar cahaya).
3) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan hand sanitizer pada
plat kaca dan ditindih dengan plat kaca lainnya. Standar yang ditentukan pada
homogenitas yaitu tidak adanya bulir maupun gumpalan saat sediaan ditindih plat kaca
ataupun diusap pada plat kaca. (Ningsiher al., ALCHEMY Jurnal Penelitian Kimia,Vol.
15(1) 2019,10-23)
4) Uji Iritasi Kulit
Uji iritasi kulit melibatkan 30 orang responden yang dipilih secara acak.
Pengujian dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan (F1, F2, F3) pada punggung
tangan selebar 2,5 x 2,5 cm (Mitsui, 1996). Kemudian amati reaksi yang mungkin
terjadi misalnya gatal, kemerahan dan perih.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


1) Uji Stabilitas Ekstrak

154
Dari hasil evaluasi uji stabilitas ekstrak selama penyimpanan menunjukkan sediaan
ekstrak daun mangga arumanis dan ekstrak lengkuas memiliki kestabilan fisik yang baik.
2) Uji Homogenitas
Dari hasil evaluasi uji homogenitas menunjukkan bahwa semua formula
mempunyai homogenitas yang baik, ditandai dengan tidak adanya gumpalan ketika dilihat
dibawah mikroskop.
3) Uji Iritasi Kulit
Didapatkan dari hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 100% responden
menyatakan tidak mengalami gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatal-gatal, terasa
panas dan perih pada permukaan kulit tangan setelah diaplikasikan aromatherapy stick
yang mengandung kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan
ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.).

5. KESIMPULAN
Kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera indica L.) dan ekstrak
rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.) dapat diformulasikan menjadi sediaan Hand
Sanitizer yang stabil dan memenuhi persyaratan. Formula sediaan Hand Sanitizer yang
optimal ialah formula I dengan kombinasi ekstrak daun mangga arumanis (Mangifera
indica L.) dan ekstrak rimpang lengkuas (Alipinia galanga L.) sebanyak 0,25 ml, karbomer
0,17 g, gliserin 0,47 ml, metil paraben 0,1 g, pewangi manga 0,1 ml dan aquadest 50 ml.
Untuk uji stabilitas ekstrak, homogenitas, uji iritasi kulit memenuhi persyaratan dan stabil
secara fisik.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi III
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi III
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hal: 5-
6.
Lachman, L., Lieberman, H.A., Kaning J.L., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Farmasi
Industri. Jilid II. Edisi III. Diterjemahkan oleh Suyatmi S, Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Hal: 1119-1120

155
Lachman, L., Lieberman, H.A., Kaning J.L., 1994. Teori dan Praktek Farmasi Farmasi
Industri. Jilid III, Edisi III. Diterjemahkan oleh Suyatmi S, Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Hal:1298-1300.
Ningsih, D.R, Zusfahair, Diyu Mantari.2017. Ekstrak Daun Mangga (Mangifera Indica L.)
Sebagai Antijamur Terhadap Jamur Candida Albicans Dan Identifikasi Golongan
Senyawanya.Jurnal Kimia Riset, Volume 2 No. 1, Juni 2017.Page :61- 68.
Gunawan, Tiffany.2017. Optimasi Formula Hand Sanitizer Ekstrak Buah Mengkudu
(Morinda Citrifolia L.)Dengan Gelling Agent CMC-Na Dan Humektan Propilen
Glikol.Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Ningsih, D.R., Purwati P, Zusfahair Z, & Ahamd N.2017.HandSanitizer Ekstrak Metanol
Daun Mangga Arumanis (Mangifera indica L.). Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 53123,
Indonesia.DOI: 10.20961/alchemy.15.1.21458.10-23.
Triastiani, Devi. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Rimpang Lengkuas (alpinia galanga l.) Sebagai
Inhibitor korosi baja Karbon Dalam Larutan Nacl 1% ph 4 Jenuh co2.Universitas
Pendidikan Indonesia
Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, second
edition. London : The Pharmaceutical Press
Asngad, Aminah., Aprilia Bagas R, dan Nopitasari. 2018. Kualitas Gel Pembersih Tangan
(Handsanitizer) dari Ekstrak Batang Pisang dengan Penambahan Alkohol, Triklosan
dan Gliserin yang Berbeda Dosisnya. Jurnal Bioeksperimen. Vol. 4 (2).
Halaman: 61-70.
Setyawati, Eni. 2018. Pemanfaatan Daun Mangga Manalagi Sebagai Bahan Pembuatan
Hand Sanitizer Dalam Bentuk Gel Dengan Penambahan Alkohol dan Triklosan.
Surakarta: Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Handajani, Noor Soesanti dan Tjahjadi Purwoko. 2008. Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas
(Alpinia galanga) Terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp. Penghasil
Alfatoksin dan Fusarium moniliforme.Jurnal Biodiversitas. Volume 9, Nomor 3.
Halaman: 161-164
Wijayanto, Banu Aji., Dhadhang Wahyu Kurniawan, dan Iskandar Sobri. 2013. Formulasi
dan Efektivitas Gel Anitseptik Tangan Minyak Atsiri Lengkuas (Alipinia galangaL.)
Willd.).Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. Halaman: 102-107.
Titaley, Stany., Fatimawati, dan Widya A. Lolo. 2014. Formulasi dan Uji Efektivitas Sediaan
Gel Ekstra Etanol Daun Mangrove Api-api (Avicenna marina) Sebagai Antiseptik
Tangan. Jurnal Kimia Farmasi – UNSRAT Vol. 3 No. 2

156
LOMBA POSTER

Lembaran Penutup Luka Heallucens Film Dari Ekstrak Maggot (Hermetia illucens)

Widyan Muchzadi Akbar1, Oktarisa1, Husna Indri Marita1


1
Mahasiswa Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Ketika seseorang mengalami luka karena terkena benda tajam ataupun karena penyakit
(diabetetes militus) maka cepat atau lambat luka tersebut akan mengalami penyembuhan.
Luka yang mengalami proses penyembuhan dapat dipercepat dengan menggunakan obat luka
baik dari bahan alami maupun bahan sintetis. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan
yaitu maggot (Hermetia illucens) karena zat kitin pada maggot (Hermetia illucens) akan
bersenyawa dengan trombosit dan mempercepat proses pembekuan darah dan pembentukan
benang-benang fibrin. Isolasi zat kitin membuat bebas luka infeksi dan peradangan yang
berlebihan untuk meningkatkan penutupan luka. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui formula sediaan edible film sebagai obat luka dari ekstrak maggot (Hermetia
illucens) yang tepat sehingga dihasilkan produk yang stabil dan aman dalam penggunaannya.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimenal dengan menggunakan konsentrasi dari ekstrak
maggot (Hermetia illucens) sebesar 0,5%. Penelitian ini dibuat menjadi tiga formula dengan
memvariasikan pati jagung dan HPMC. Pati jagung divariasikan dengan persentase
kandungan sebesar (5,5%;6,5%; 7%) sebagai Pengembang dan HPMC sebesar (3,5%;4,5%;
5%). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sediaan obat luka edible film selama penyimpanan
28 hari tidak mengalami perubahan warna, bau, bentuk serta tidak mengiritasi kulit.
Disimpulkan bahwa ekstrak maggot (Hermetia illucens) dapat diformulasikan menjadi
sediaan edible film yang stabil dan memenuhi persyaratan.

Kata kunci : maggot, kitin, edible film, penyembuh luka

ABSTRACT

When a person experiences injuries due to being exposed to sharp objects or due to
illness (diabetes mellitus) , sooner or later the wound will experience healing. The healing
process can be accelerated by using medicine both from natural ingredients and synthetic
materials. One of the natural ingredients that can be used is maggot (Hermetia illucens)
because the chitin substance in maggot (Hermetia illucens) will react with platelets and

157
accelerate the process of blood clotting and formation of fibrin strands. Chitin isolation makes
infection-free wound and excessive inflammation to increase wound closure. The purpose of
this research is to find out the formula for edible film preparation as a wound medicine from
extract of maggot (Hermetia illucens) which is right to produce a stable and safe product for
its use. This research is an experimental study using a concentration of maggot extract
(Hermetia illucens) of 0.5%. This research was made into three formulas by varying corn
starch and HPMC. Corn starch was varied with percentage content (5.5%; 6.5%; 7%) as
Developer and HPMC (3.5%; 4.5%; 5%). The evaluation results showed that the edible film
wound drug preparation during 28 days storage did not experience changes in color, odor,
shape and did not irritate the skin. It was concluded that the maggot extract (Hermetia
illucens) can be formulated into a stable edible film that meets the requirements

Keywords : maggot, chitin, edible film, wound healing

1. PENDAHULUAN
Hampir semua orang pernah mengalami luka, misalnya teriris, terjatuh, kecelakaan
ataupun luka pada penderita diabetes militus. Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan
tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh
(Dorland, 2006). Kebanyakan orang mengalami luka pada bagian kulit. Kulit mempunyai
fungsi utama sebagai barrier pelindung dari lingkungan. Luka pada kulit terjadi karena
terdapatnya kerusakan morfologi jaringan kulit dan akan mengalami proses penyembuhan.
Penyembuhan luka adalah kembalinya integritas kulit menjadi normal dan jaringan
yang berada dibawahnya (Winarsieh et al., 2012). Proses penyembuhan luka dibagi dalam
tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi yang merupakan pemulihan
kembali (remodelling) jaringan (Sjamsuhidajat, 2010). Proses penyembuhan luka bisa
dipercepat dengan penggunaan obat pada luka. Sediaan obat luka yang beredar di masyarakat
dalam bentuk krim, pasta, salep, liquid, patch dan plester luka.
Melalui bentuk sediaan edible film jumlah pelepasan obat yang diinginkan dapat
dikendalikan, durasi penghantaran aktivitas terapeutik dari obat, dan target penghantaran obat
ke jaringan yang dikehendaki. Tujuan dari pemberian obat secara transdermal adalah obat
dapat berpenetrasi ke jaringan kulit dan memberikan efek terapeutik yang diharapkan
(Barhate, et al., 2009).
Edible film merupakan suatu lapisan tipis, yang digunakan untuk melapisi makanan
(coating) atau diletakkan di antara komponen, yang berfungsi sebagai penahan terhadap
transfer massa seperti air, oksigen, lemak dan cahaya atau berfungsi sebagai pembawa bahan
tambahan pangan (Nugroho, Basito dan Katri, 2013). Edible film terbuat dari bahan yang
bersifat hidrofilik, seperti protein maupun karbohidrat serta lemak atau campurannya.
Penggunaan edible film dapat mencegah proses oksidasi, perubahan organoleptik,

158
pertumbuhan mikroba atau penyerapan uap air dan memperbaiki penampilan produk
(Krochta, J.M., 1992).
Bahan aktif yang biasanya digunakan dalam edible film berasal dari bahan kimia.
Tetapi penggunaan bahan kimia sebagai obat bisa menimbulkan efek samping maka dari itu
untuk menghindarinya masyarakat lebih memilih menggunakan tanaman alami/ obat
tradisonal untuk mengobati luka. Di Indonesia kepercayaan masyarakat pada obat herbal terus
meningkat. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, masyarakat yang memilih
mengobati diri sendiri dengan obat tradisional mencapai 29,69%, meningkat dalam waktu
tujuh tahun dari yang semula hanya 15,2%. Menurut WHO, 80% populasi di negara Asia dan
Afrika menggunakan cara pengobatan tradisional yaitu obat herbal karena lebih murah, lebih
mudah didapat, dan efek samping yang rendah (Kumar dkk, 2007). Faktor yang mendorong
masyarakat untuk menggunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat moderen/
sintetis dan banyaknya efek samping (Hedi, Dewoto, 2007).
Salah satu bahan alam yang bisa digunakan sebagai obat luka yaitu maggot (Hermetia
illucens). Maggot ini digunakan untuk pengobatan peradangan dan luka karena mengandung
lemak , karbohidrat dan protein yang cukup tinggi, yaitu sekitar 42% (Saurin 2005 ;
Retnosari, 2007). Kelebihan lain yang dimiliki maggot (Hermetia illucens) adalah memiliki
kandungan antimikroba dan anti jamur protein.
Selain bahan aktif, komponen penting lainnya dalam sediaan edible film adalah pati
jagung dan HPMC sebagai pengembang, sorbitol sebagai pengental, nipagin dan nipasol
sebagai pengawet dan air suling. Berdasarkan penelitian Astuti, (2011) didapatkan bahwa
kombinasi dari bahan-bahan tersebut menghasilkan sediaan edible film paling baik.
Penelitian ini dilakukan mengingat khasiat dari ekstrak maggot (Hermetia illucens)
sebagai hewan yang dapat mengobati luka. Peneliti tertarik untuk memanfaatkan ekstrak
maggot (Hermetia illucens) sebagai obat luka dalam sediaan edible film

2. TUJUAN PENELITIAN
Memformulasikan sediaan edible film ekstrak maggot (Hermetia illucens) dengan
variasi pati jagung dan HPMC yang stabil dan memenuhi syarat.

3. METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian adalah eksperimental dengan membuat
beberapa formulasi sediaan edible film yang mengandung ekstrak maggot (Hermetia illucens).
a. Alat dan Bahan

159
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya cawan porselin, gelas ukur,
beaker glass, batang pengaduk, timbangan analitik, timbangan obat, pipet tetes, sudip, oven,
sendok spatel, pinset, cawan petri, alumunium foil, penjepit kayu dan water bath. Bahan yang
digunakan pada peneltian ini diantaranya ekstrak maggot, pati jagung, HPMC, sorbitol,
nipagin, nipasol, dan aqua dest/ air suling.

b. Kandungan kimia maggot (Hermetia illucens)


Selain kandungan kitin pada kulit/ cangkang maggot, Persentase kandungan protein
pada larva ini cukup tinggi, yaitu 44,26% dengan kandungan lemak mencapai 29,65%. Nilai
asam amino, asam lemak dan mineral yang terkandung di dalam larva juga tidak kalah dengan
sumber-sumber protein lainnya (Fahmi et al. 2007).

c. Formulasi edible film ekstrak maggot (Hermetia illucens)


Jumlah yang digunakan
No Bahan Formula Formula Formula Formula Khasiat
kontrol I II III
1 Ekstrak kitin (%) 0,5 0,5 0,5 0,5 Zat aktif
Pengemb
2 Pati jagung (%) 6 5,5 6,5 7
ang
Pengemb
3 HPMC (%) 4 3,5 4,5 5
ang
Pengenta
4 Sorbitol (%) 4 4 4 4
l
Pengawe
5 Nipagin (%) 0,18 0,18 0,18 0,18
t
Pengawe
6 Nipasol (%) 0,02 0,02 0,02 0,02
t
7 Air suling ad (%) 100 100 100 100 Pelarut

d. Cara Kerja
Pembuatan Edible film
1. Panaskan oven dengan suhu 60°C-65°C
2. Panaskan water bath dengan suhu 88°C
3. Letakkan beaker gelas yang telah diisi aqua dest 20x dari pati diatas waterbath (fase air)
4. Letakkan beaker gelas yang telah diisi aqua dest 20x dari HPMC di atas waterbath (fase
lemak)

160
5. Setelah bahan ditimbang dan aqua dest sudah panas, masukkan pati dan HPMC pada
masing-masing beaker gelas, aduk sampai mengental
6. Tambahkan sorbitol pada fase lemak, aduk hingga tercampur rata
7. Tambahkan nipagin ke fase lemak dan nipasol ke fase air, aduk hingga tercampur rata
8. Tambahkan ekstrak ke fase lemak, aduk hingga tercampur rata
9. Masukkan fase air ke fase lemak, aduk hingga tercampur rata
10. Tambahkan sisa aqua dest ke dalam campuran, aduk hingga tercampur rata
11. Tuang ke cetakan yang telah dilapisi alumunium foil dengan ukuran 8x8 cm
12. Oven dengan suhu 60°C-65°C selama kurang lebih 6-8 jam
13. Lepaskan dari cetakan, potong ukuran 2x1 cm.

e. Uji Kestabilan Fisik


Uji kestabilan fisik yang dilakukan antara lain organoleptik sediaan (warna, bentuk
dan bau) setelah dilakukan penyimpanan selama 28 hari, yaitu pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan
28.
1. Warna, bau dan bentuk
Pengujian terhadap perubahan warna dan bau dengan cara melibatkan 30 responden
yang dipilih secara acak, kemudian responden mengevaluasi sediaan dengan mengamati
perubahan terhadap warna dan bau selama 28 hari penyimpanan.
2. Uji Iritasi kulit
Uji iritasi kulit melibatkan 30 orang responden yang dipilih secara acak. Pengujian
dilakukan dengan cara menempelkan sediaan (F1, F2, F3) pada punggung tangan selebar 2 x
1 cm. Kemudian amati reaksi yang mungkin terjadi misalnya gatal, kemerahan dan perih.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Uji Kestabilan Fisik
Dilakukan uji kestabilan sifat fisik setiap minggunya selama 28 hari penyimpanan
meliputi warna, bau, bentuk dan pengujian terhadap iritasi kulit. Hasil pengamatan edible film
dapat dilihat di bawah ini:
1. Warna, bentuk dan Bau
Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua formula mempunyai warna, bentuk dan
bau yang stabil dan tidak mengalami perubahan selama 28 hari penyimpanan di suhu ruang.
2. Uji Iritasi kulit

161
Didapatkan dari hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 100% responden
menyatakan tidak mengalami gejala iritasi yang berupa kulit kemerahan, gatal-gatal, terasa
panas dan perih pada permukaan kulit setelah mencoba ketiga formula edible film yang
mengandung ekstrak maggot (Hermetia illucens).
5. KESIMPULAN
Ekstrak maggot (Hermetia illucens) dapat diformulasikan menjadi sediaan edible film
yang stabil dan memenuhi persyaratan karena tidak mengalami perubahan bau, bentuk, warna
serta tidak terjadi iritasi kulit saat digunakan.

6. FOTO PRODUK

DAFTAR PUSTAKA
Andersen, et al. 2010. A Novel Approach To The Antimicrobial Activity Of Maggot
Debridement Therapy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, Vol. 65, No. 8: 1646–
1654
Astuti, A. W. 2011. PKM Pembuatan Edible Film dari Semirefine Carrageenan (Kajian
Konsentrasi Tepung SRC dan Sorbitol)
Cazander, et al. 2009. The Influence Of Maggot Excretions On Pao1 Biofilm Formation On
Different Biomaterials. Clinical Orthopaedics and Related Research, Vol.467,
No.2:536–545
Church, et al. 2015. Maggot Debridement Therapy for Chronic Wounds. Lower Extremity
Wounds 1(2):129–134
Cowan, et al. 2013. Chronic Wounds, Biofilms and Use of Medicinal Larvae. Ulcers Journal:
1–7
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi III:
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV:
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
Plas, Van Der, et al. 2007. Maggot Excretions/ Secretions Inhibit Multi Pleneutrophil Pro
Inflammatory Responses. Microbes and Infection , Vol. 9, No. 4:507–514

162
Pratiwi, Rianta.2014. Manfaat Kitin dan Kitosan Bagi Kehidupan Manusia. Oseana Journal,
Volume XXXIX, No.1;35-43.
Stadler, Frank, et al. 2016. Maggot Debridement Therapy in Disaster Medicine. Pubmed
Journal ,Vol. 31, No.1: 80-84.
Szczepanowsk, Zbigniew. 2019. Further Data on Wound Healing Rates After Application of
Lucilia sericata.The International Journal of Lower Extremity Wounds:1 –8
Thomas, et al.2010. The Anti-Microbial Activity Of Maggot Secretions: Results Of A
Preliminary Study. Journal of Tissue Viability ,Vol. 9, No.4: 127–132
Yan, Litao, et al. 2018. Pharmacological Properties of the Medical Maggot: A Novel Therapy
Overview. Hindawi Journal Volume 2018, Article ID 4934890, 11 pages
Zhang, et al. 2013. The Anti-inflammatory Potency of the Crude Extracts of Maggot and its
Effect in Mouse Immune Functions. Journal Of Jinling Institute Of Technology, No.4:
85–89.

163
POSTER ILMIAH

Pembuatan Mie Sehat Dengan Campuran Daun Kelor (Moringa oleifera L.) ”

Emelia Fitriani 1, Dewi Saptarianita1, Hibatturahman1


1
Mahasiswa RPL Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Palembang

ABSTRAK

Mie merupakan makanan yang populer di Asia terutama di Asia Tenggara dan
khususnya di Indonesia. Masyarakat Sumatera Selatan termasuk masyarakat yang sangat
menyukai mie. Mie banyak disukai karena memiliki cita rasa yang enak, tekstur yang kenyal,
dan praktis dalam penyajiannya Banyak olahan pangan tradisional menggunakan bahan
utamanya berupa mie. Pengolahan mie dilakukan untuk menjadikan mie sebagai salah satu
makanan alternatif pengganti nasi.
Penambahan daun kelor pada campuran terigu sebagai bahan baku utama dapat
meningkatkan kandungan gizi pada mie. Daun kelor memiliki nutrisi yang tinggi
mengandung vitamin A yang setara dengan 4 kali vitamin A yang terdapat pada wortel, setara
dengan 4 kali kalsium yang terdapat pada susu, setara dengan 3 kali potassium pada pisang,
setara dengan 2 kali protein yang terdapat pada yoghurt, dan setara dengan 3 kali zat besi
pada bayam.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental. Penelitian ini dibuat menjadi
2 formula dengan memvariasikan tambahan sari daun kelor dan tepung tapioka pada
campuran utama. Hasil analisa uji organoleptis pada 30 responden meliputi warna, rasa dan
tekstur menunjukkan bahwa formula 1 yang ditambahkan sari daun kelor dan tepung tapioka
lebih disukai dibandingkan formula 2 yang hanya ditambahkan sari daun kelor tanpa
penambahan tepung tapioka.

Kata kunci : Mie, Daun Kelor

ABSTRACT

Noodle is a popular food in Asia especially in Southeast Asia and especially in


Indonesia. The people of South Sumatra are among those who love noodles. Noodles are
preferred because they have good taste, chewy texture, and are practical in serving. Many
traditional food preparations use the main ingredients in the form of noodles. Noodle
processing is done to make noodles as an alternative food to replace rice.
The addition of Moringa leaves in the flour mixture as the main raw material can
increase the nutritional content of the noodles because Moringa leaves have high nutrition

164
containing vitamin A which is equivalent to 4 times the vitamin A found in carrots, equivalent
to 4 times the calcium contained in milk, equivalent to 3 times the potassium in bananas,
equivalent to 2 times the protein found in yogurt, and the equivalent of 3 times the iron in
spinach.
The research method used is experimental. This research was made into 2 formulas by
varying the addition of Moringa leaf extract and tapioca flour in the main mixture.
Organoleptic test analysis results on 30 respondents including color, taste and texture showed
that formula 1 which was added with Moringa leaf extract and tapioca flour was preferred
over Formula 2 which only added Moringa leaf extract without the addition of tapioca flour.

Keywords: Noodles, Moringa leaves

1. Pendahuluan
Mie merupakan makanan yang populer di Asia terutama di Asia Tenggara dan
khususnya di Indonesia. Masyarakat Sumatera Selatan termasuk masyarakat yang sangat
menyukai mie. Banyak olahan pangan tradisional menggunakan bahan utamnya berupa mie.
Pengolahan mie dilakukan untuk menjadikan mie sebagai salah satu makanan
alternatif pengganti nasi. Mie banyak disukai karena memiliki cita rasa yang enak, tekstur
yang kenyal, dan praktis dalam penyajiannya.
Menurut Royaningsih (1987), berdasarkan pengolahan mie yang dipasarkan di
Indonesia, mie dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu mie mentah (raw chinese
noodle), mie basah (boilled noodle), mie kering (steamed fried noodle), dan mie instan
(instant noodle). Bahan baku utama dalam pembuatan mie pada umumnya adalah tepung
terigu. Produk mie yang beredar di pasaran saat ini nutrisinya masih kurang baik. Kandungan
karbohidrat, kandungan protein, dan kandungan mineral rendah. Menurut Direktorat Gizi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005), kandungan gizi produk mie dan
olahannya masih sangat rendah terutama kandungan proteinnya.
Produk-produk mie saat ini telah mengalami perkembangan dengan variasi campuran
antara terigu sebagai bahan baku utama dengan bahan-bahan lain seperti umbi-umbian,
kacang- kacangan, dan sayur-sayuran yang tentu saja dapat meningkatkan kandungan gizi
pada mie. Protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan selama ini hanya diketahui didapatkan
dari kacang- kacangan. Menurut hasil penelitian Tiommanisyah (2010) protein yang
terkandung dalam kacang-kacangan sebesar 23,7 g protein per 100 g kacang- kacangan.
Selain kacang kacangan ada tumbuhan yang kandungan proteinnya tergolong tinggi
dibandingkan sayuran jenis lain, yaitu daun kelor.
Daun kelor memiliki nutrisi yang tinggi karena mengandung vitamin A yang setara
dengan 4 kali vitamin A yang terdapat pada wortel, setara dengan 4 kali kalsium yang

165
terdapat pada susu, setara dengan 3 kali potassium pada pisang, setara dengan 2 kali protein
yang terdapat pada yoghurt, dan setara dengan 3 kali zat besi pada bayam (Krisnadi, 2015).
Ditinjau dari kandungan nutrisinya daun kelor sangatberpotensial untuk dikembangkan
menjadi bahan campuran pembuatan mie kering.Hal ini dapat meningkatkan nilai gizi pada
mie serta meningkatkan nilai tambah dari daun kelor itu sendiri.

2. Tujuan Penelitian
Membuat mie basah dengan campuran sari daun kelor sebagai penambah nutrisi
sehingga dapat dijadikan alternatif makanan yang sehat serta mempelajari pengaruh
penambahan tepung tapioka pada pembuatan mie dengan campuran sari daun kelor untuk
memprediksi formula yang disukai konsumen.

3. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan membuat
beberapa formulasi sediaan mie basah dengan campuran sari daun kelor
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tampah,bak
pencuci,timbangan digital, blender / crusher, penyaring, Mesin pencetak mie (noodle
marker), sendok pengaduk, pisau.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung terigu, tepung tapioka,
daun kelor, telur, air dan garam
b. Cara Kerja
1) Pembuatan Adonan
Pembuatan adonan dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Formula 1
Mencampurkan sari daun kelor, tepung terigu, dan tepung tapioka dengan
perbandingan 25 ml : 100 gr : 5 gr. Selain itu juga ditambahkan Natrium Klorida
(NaCl) sebanyak 1% dari total berat tepung ,telur ayam sebanyak 17,3 gr (1 butir )
dan minyak secukupnya.
b. Formula 2
Mencampurkan sari daun kelor dengan tepung terigu, dengan perbandingan
25 ml : 100 gr Selain itu juga ditambahkan Natrium Klorida (NaCl) sebanyak 1%
dari total berat tepung, putih telur sebanyak 15 gr ( 1 butir ) dan minyak secukupnya
2) Pencetakan Mie

166
Proses pencetakan mie dilakukan dengan alat noodle maker.
3) Perebusan Mie
Mie yang sudah dicetak direbus dalam air mendidih, setelah mengapung
(tandanya sudah matang ) diangkat dan ditiriskan.

4) Analisa Produk
Uji organoleptik mie dengan campuran sari daun kelor dilakukan dengan
menggunakan kuisioner (lampiran) yang diberikan kepada 30 orang responden. Setiap
responden diminta memberi penilaian terhadap produk mie dengan campuran daun
kelor. Produk tersebut diteliti berdasarkan warna, rasa, dan tekstur

4. Hasil dan Pembahasan


Pembuatan mie basah dengan campuran daun kelor dilakukan dengan dua formulasi
produk, yaitu formula 1 dengan penambahan tepung tapioka dan formula 2 tanpa
penambahan tepung tapioka. dengan komposisi seperti di bawah ini :

% Berat
Bahan Produk 1 Produk 2 Produk Produk
1 1
Tepung Terigu 100 gr 100 gr 100 % 100 %

Tepung Tapioka 5 gr 0 gr 5% 0%

Telur 17,3 gr 15 gr 17,3 % 15 %


NaCl 0,5 gr 0,5 gr 0,5 % 0,5 %
Sari Daun Kelor 50 ml 50 ml 50 % 50 %

Minyak qs qs

Hasil uji organoleptik mie campuran sari daun kelor dengan 2 formula produk
ditampilkan pada tabel berikut :
warna Rasa Tekstur
Produk S TS S TS S TS
Produk 1 96,7 % 3,3 % 86,7 % 13,3 % 96,7 % 3,3 %
Produk 2 90 % 10 % 66,7 % 33,3 % 80 % 20 %

167
5. Kesimpulan
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Formula 1 yaitu campuran mie kelor dengan penambahan tepung tapioka lebih disukai
baik warna, rasa dan teksturnya dibandingkan produk dengan formula 2 yang tanpa
penambahan tepung tapioka .
2. Produk mie basah daun kelor dapat dijadikan alternatif pangan sehat karena daun kelor
mengandung lemak, vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga sangat disarankan
menjadi menu pilihan untuk dikonsumsi Balita dan Remaja yang sangat menyukai produk
mie atau mie instan.
3. Mie basah daun kelor menjadi produk dengan prospek bisnis yang menjanjikan sebagai
pangan olahan , bahan utama mie ayam, kwetiau, mie celor , rujak mie, mie goreng dll.

6. Foto Produk

168
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Syarifah. 2015. ‘Kandungan Nutrisi dan Sifat Fungsional Tanaman Kelor (Moringa
oleifera)’. Buletin Pertanian Perkotaan. vol. 5, no.2.
Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta. Penebar Swadaya.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Jakarta. Bhratara Karya Aksara.
Fuglie, L.J. 1999. The Miracle Tree : Moringa oleifera : Natural Nutrition for the Tropics
Cruch World Service, Dakar : 68 pp.; revised in 2001 and publised as The Miracle
Tree : The Multiple Attributes of Moringa, 172.
Krisnadi, A Dudi. 2015. Kelor Super Nutrisi. Blora : Pusat Informasi dan Pengembangan
Tanaman Kelor Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat-Media Peduli Lingkungan
(LSM- MEPELING).
Rahayu, Darsiti. 2016. Penambahan Tepung Daun Kelor dalam Pembuatan Mie sebagai
Sumber Gizi dengan Penambahan Ekstrak Umbi Wortel sebagai Pengawet Alami.
Publikasi IlmiahSurakarta :Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Royaningsih. 1987. Pembuatan Mie Basah, Biskuit Marie, dan Craker dari Terigu dan Tepung
Sagu. Ilmu Dasar Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan. Jakarta. BPP
Teknologi.
Sudarmadji, S., Haryono B., dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta : Liberty.

169

Anda mungkin juga menyukai