Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis Ekonomi yang memicu kejatuhan Rezim Suharto tahun 1998

menjadi sebuah pintu gerbang bagi perubahan format pengelolaan kenegaraan

Indonesia. Perubahan ini bermakna sebuah proses transisi dari format pengelolaan

kenegaraan sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan semangat jaman dan

ditenggarai sebagai penyebab krisis, menuju konsolidasi format pengelolaan yang

lebih adaptif dengan semangat jaman hari ini. Perubahan yang terjadi bukan hanya

pada sistem politik, tapi juga melingkupi banyak dimensi termasuk ekonomi,

sosial dan budaya. Pada ranah politik perubahan yang terjadi menyangkut transisi

dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik demokrasi, pada sosio

ekonomi, transisi ekonomi dari model crony capitalisme menuju system ekonomi

pasar yang konstitutif. Kedua transisi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat

diantaranya. Tidak mungkin mengandaikan sebuah pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan tanpa stabilitas politik yang terlembagakan dalam saluran yang

demokratis di Abad Demokrasi sekarang ini, sementara stabilitas politik juga

diandaikan oleh keterpenuhan kebutuhan dasar masyarakat melalui penjaminan

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Sebuah transisi yang tentu saja akan sangat menguras energi, menguji

kesabaran, serta membutuhkan waktu yang tidak sedikit, yang tidak secara pasti

mengantarkan bangsa ini kepada tujuan ideal transisi itu sendiri, tapi sebuah

situasi yang sangat terbuka terhadap banyak kemungkinan. Sebuah ketidakpastian

1
yang mengandung harapan sekaligus ancaman terhadap kelangsungan Bangsa.

Dari pencapaian transisi inilah nasib bangsa akan di pertaruhkan kedepan.

Dalam situasi yang dipenuhi ketidakpastian inilah Pemerintahan Presiden

Habibie menggulirkan UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan

UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.

Semakin kuatnya tekanan ketidakpuasan Daerah terhadap Pusat pasca jatuhnya

Rezim Suharto, terutama Daerah yang memiliki kekayaan SDA, menyangkut

penataan hubungan ekonomi politik sebelumnya, menjadi rahim bagi lahirnya UU

ini. UU yang berisi penataan format ekonomi politik kenegaraan antara Pusat dan

Daerah yang kemudian memberikan implikasi pada tata hubungan antara Pusat

dan Daerah serta pada Transisi yang terjadi di Indonesia. Dinamika transisi yang

berlangsung, disamping harus membenahi system Politik dan Ekonomi Indonesia,

juga harus mampu membenahi hubungan Ekonomi Politik antara Pusat dan

Daerah yang terdesentralisir. Pada sisi inilah transisi Indonesia tepat dilabelkan

sebagai Transisi Sistemik.1

Implikasi berikutnya adalah hubungan antara Pusat Dan Daerah secara

Politik dan Ekonomi berbeda dengan kondisi sebelumnya. Pada UU No 5 Tahun

1974, yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,

secara politik walaupun sudah disebutkan adanya Desentralisasi yang ditetapkan

di Daerah Tingkat II-sekarang Kabupaten/Kota- (pasal 11) tapi dalam pasal-

pasalnya, kewenangan Pemerintah Daerah tidak jelas, kemudian posisi Kepala

Daerah yang disaring oleh DPRD (pasal 15) tetapi bertanggungjawab secara

hierarkis kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Pasal 22). Posisi

Kepala Daerah sebagai Eksekutif yang tidak bertanggungjawab pada Masyarakat


1
Laporan pembangunan manusia 2001 (BPS, Bappenas, UNDP)

2
Lokal, ditambah pemilihannya yang tidak secara murni berdasarkan aspirasi local

(dalam hal ini DPRD), menjadi salah satu akar dari ketidakadilan hubungan Pusat

dan Daerah, ditambah dengan ambilavensi dalam pengaturan hubungan dan

kewenangan Antara Pusat dan Daerah menjadikan hubungan yang terjadi bersifat

eksploitatif, yaitu antara Pusat dan Daerah sebagai Pinggiran yang tergantung

kepada Pusat.

Dalam ranah Ekonomi, hal yang sama juga terjadi, walaupun beberapa

sumber keuangan dimiliki oleh Daerah, yaitu PAD, bantuan pemerintah Pusat,

Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan yang sah., namun ketika dilihat dari

sumber pembiayaan yang menjadi andalan dalam PAD daerah, maka akan terlihat

bahwa yang menjadi sumber PAD yang diserahkan kepada Daerah adalah sumber

yang kurang menguntungkan. Sebagai konskwensi logisnya adalah persentase

PAD yang begitu rendah (15-30%) dan ketergantungan terhadap subsidi dari

pemerintah Pusat sangat tinggi.2

Yang lebih krusial lagi adalah sentralisme pengusaan aset Ekonomi oleh

Pemerintah Pusat, tidak dibagi berdasarkan kontribusi Daerah terhadap

Pendapatan Negara. Hal ini kemudian yang melatarbelakangi kuatnya tekanan

maupun tuntutan kemerdekaan oleh Propinsi yang memiliki SDA berlimpah3.

Hembusan perubahan kemudian dirasakan melalui UU No 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dengan merestrukturisasi penataan sistem

Pemerintahan dengan pengakuan Otonomi Pada Kabupaten/Kota, dan

kewenangannya mencakup kesemuanya selain lima hal yang diatur dalam UU dan

perencanaan makro strategis lainnya. UU No 25 Tahun 1999 tentang

2
Making decentralization work, Iyanatul Iskam, 2001;Paradigma Baru Otoda, LIPI 2001
3
Aspirasi terhadap ketidakmerataan, Tim Unsfir 2001

3
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah memberikan perubahan dalam

pengelolaan keuangan antara Pusat dan Daerah (intergovernmental fiscal) yang

menjadi landasan konstitutif pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia.

Ada banyak literature yang menyajikan tentang kelebihan desentralisasi

dalam pengelolaan Negara bila dibanding menggunakan system yang sentralistik.

Secara politik, Desentralisasi akan mewujudkan Demokratisasi, Partisipasi dan

Pemberdayaan Masyarakat Lokal, secara Ekonomis, optrimalisasi pelayanan

public, efisiensi dan efektifitas pelayanan lebih dimungkinkan karena dijalankan

oleh kelembagaan yang terdekat. Sehingga tidak heran kalau gagasan tentang

Desentralisasi menjadi begitu popular.

Sayangnya pengalaman beberapa Negara dalam menjalankan

Desentralisasi tidak menunjukkan hasil yang sejalan dengan kajian teoritiknya.

Ada banyak literature pula yang menggambarkan tentang kegagalan beberapa

Negara dalam menjalankan Desentralisasi, (Richard M Bird, 2001, dll).

Desentralisasi ibarat pisau bermata ganda, mampu menjadi jalan keluar dari

jebakan beragam permasalahan tapi juga mampu menambah runyam masalah

tersebut.

Persoalan yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan Desentralisasi

di daerah, dalam hal ini Desentralisasi Fiskal, adalah tentang pengelolaan

Anggaran Pemerintah Daerah. Minimnya sumber penerimaan keuangan Daerah,

kelembagaan yang rapuh, SDM yang kurang memadai, ketidakmampuan

pelayanan terhadap jumlah penduduk yang begitu banyak, jebakan inflasi. Ada

banyak Negara yang mampu meloloskan dari pembiayaan begitu berat dan

inefisiensi dalam pelayanan public dengan melaksanakan Desentralisasi Fiskal.

4
Sementara di Negara lain, Desentralisasi Fiskal yang diterapkan bukannya

memberikan jalan keluar dari kesulitan financial yang ada, tapi malah

memperburuk kondisi dengan jebakan inefektifitas, dan inflasi. Sehingga

kemudian menelaah tentang Desentralisasi Fiskal kita akan berhadapan dengan

sebuah format yang tidak berlaku universal, serta hasil yang juga tidak seragam.

Penghampiran terhadap kondisi structural dan spesifikasi Desentralisasi Fiskal

menjadi prasyarat untuk mampu mengerti kondisi maupun kendala dalam

pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di sebuah Daerah.

Berangkat dari tujuan ideal dalam argument Desentralisasi Fiskal serta

pengalaman beberapa Negara dalam penerapan Desentralisasi Fiskal, tulisan ini

akan mencoba untuk melihat dinamika belanja public sebagai instrument

pelayanan public dalam kaitannya dengan pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.

Penelitian ini menempatkan Sulawesi Selatan, khususnya Daerah Kabupaten/Kota

mulai tahun 1995-2001 sebagai studi kasus untuk mengamati perubahan Belanja

Publik dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.

1.2. Tujuan Penulisan

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah

1. Apakah ada perubahan peta anggaran setelah diberlakukannya

Desentralisasi fiskal di Indonesia?

2. Apakah ada perubahan dalam Belanja Publik Kabupaten/Kota

setelah Impelementasi Desentralisasi Fiskal di Sulawesi Selatan.?

Kalau ada, bagaimana perubahannya?

3. Bagaimana Discretionary Power Kab/Kota di Sulawesi Selatan,

5
4. bagaimana perubahan PAD dan proporsinya terhadap total

penerimaan.

Penelitian ini sekaligus menguji premis dasar Desentralisasi yaitu

Desentralisasi akan meningkatkan Pelayanan Kebutuhan Publik, yang salah

satu indikatornya adalah pembiayaan Belanja Publik dalam APBD. Sehingga

penelitian akan diarahkan pada upaya untuk melihat perubahan belanja publik

terhadap total belanja dalam APBD Kabupaten/Kota di Sulawesi selatan.

Mengapa penelitian ini memilih APBD sebagai unit analisisnya karena

Desentralisasi Fiskal bisa kita amati melalui perubahan dalam APBD, terkait

dengan perubahan Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran dalam format APBD.

APBD adalah kebijakan yang berfungsi sebagai instrumen yang digunakan oleh

Pemerintah Daerah dalam mengelola kewenangan fiskalnya dalam kaitannya

antara Pelayanan Publik, Efisiensi dan Demokratisasi. Ada tiga fungsi Anggaran

yaitu: Stabilitas, Distribusi, dan Alokasi. Sehingga fungsi itu dapat kita lihat

melalui pengaturan APBD suatu Daerah.

Analisa terhadap Anggaran Publik (Anggaran Pembangunan) dalam

APBD, dimaksudkan untuk melihat komitmen Pemerintah Daerah dalam

membiayai kebutuhan Publik yang terefleksikan dari besarnya Anggaran

pembangunan dalm APBD. Semakin besar proporsi pembelanjaan yang dirahkan

kepada anggaran pembangunan menunjukkan pemihakan Pemerintah daerah

terhadap pelayanan kebutuhan publiknya, sebaliknya minimnya proporsi Belanja

public dalam pembelanjaan Pemerintah Daerah menunjukkan kurangnya

pemihakan dan komitmen Pemerintah Daerah dalam hal pelayanan kebutuhan

publik masyarakatnya. Belanja publik dianalisa sekaligus untuk menguji sebuah

6
premis yang telah membatu dalam Argumentasi Desentralisasi Fiskal yaitu

Desentralisasi Fiskal akan meningkatkan Pelayanan Publik. Untuk itulah

Anggaran Publik dalam APBD kami kemukakan dalam penelitian ini.

Untuk memudahkan analisa, APBD Kabupaten Luwu yang pada tahun

2000 dimekarkan menjadi 2 kabupaten yitu Kabupaten Luwu dan Luwu Utara

dalam penelitian ini digabungkan menjadi Kabupaten Luwu saja. Hal ini

setidaknya menjadi catatan agar tidak terjadi kesalahan dalam pembacaan peta

anggaran.

Untuk melengkapi penelitian, data yang berisi kondisi Daerah

kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan dalam hal ini infrastruktur, jumlah penduduk,

Indeks Pembangunan Manusia dan lain-lain akan ditampilkan.

Karena penelitian dilakukan untuk melihat Perubahan Anggaran Publik

dalam APBD pasca Implementasi Desentralisasi Fiskal, maka sifat penelitian ini

adalah perbandingan antara Anggaran Publik sebelum dan sesudah Desentralisasi

Fiskal di Sulawesi Selatan. Karena itu, data tentang APBD, Belanja Publik dalam

APBD disusun tahun 1995/1996, 1999/2000 dan 2001. Tahun anggaran ini

Dianggap bisa mewakili interval waktu antara sebelum dan sesudah pelaksanaan

Desentralisasi Fiskal.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bahwa Desentralisasi utamanya

Desentralisasi Fiskal yang sedang kita jalankan baru seumur jagung, sehingga

sangat tidak adil membandingkannya dengan format Desentralisasi Fiskal di

Negara yang telah berhasil mengkonsolidasikannya. Ditambah lagi transisi yang

kita hadapi tidak hanya transisi dalam hubungan pusat dan daerah, tapi transisi

yang sifatnya sistemik. Tapi dalam hemat penulis, bila mengetahui duduk perkara

7
tuntutan Desentralisasi Fiskal di Negara berkembang, yang lebih disebabkan oleh

tuntutan Demokratisasi, Keadilan, Pemberdayaan dan peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik, maka kehadiran Desentralisasi Fiskal harusnya mampu

memenuhi tuntutan itu. Bahwa Implementasi Desentralisasi Fiskal yang masih

seumur jagung, itu harus kita pahami, tapi hendaknya tidak menyurutkan langkah

kita untuk terus mengevaluasinya. Ditambah lagi Transisi yang kita alami adalah

Transisi Sistemik, yang sangat terbuka bagi setiap kemungkinan, sehingga agenda

yang sangat mendesak adalah upaya pengawalan Implementasi Desentralisasi

Fiskal demi pencapaian tujuan Ideal Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal itu sendiri.

Prinsip yang kiranya tepat untuk melatarbelakangi penelitian ini adalah

Prinsip KeHati-Hati-an Sejak Dini.4

BAB 11

4
prinsip ini populer dalam World Summit for Sustainable Developmepnt, menjadi prinsip bagi
negara berkembang untuk menginternalisasi pembangunan berkelanjutan dalam proses
pembangunannya sejak dini.

8
POTRET SINGKAT SULAWESI SELATAN

Sulawesi Selatan adalah sebuah Propinsi Di Sulawesi yang beribukaotakan

Makassar, terdiri dari 24 Kabupaten/Kota. 22 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Pare-

Pare dan Makassar. Sedangkan jumlah penduduk sebanyak 7,7 juta jiwa dengan

mata pencaharian utama sebagai petani yang menempatkan pertanian sebagai

perekonomian utama di Sulawesi selatan.

Data mendetail tentang potret Sulawesi Selatan bisa dilihat di lampiran

1,2, dan 3 tulisan ini.

Disparitas Antar Daerah:

Dari tabel 1 dibawah, Human Development Indeks/Indeks pembangunan

Manusia (HDI) dan Gross Regional Domestic Product (GRDP) bisa kita lihat

keterkaitannya melalui keterkaitan antara HDI dan GRDP terendah dan tertinggi

yang secara menyatu dimiliki oleh Daerah-Daerah tertentu. HDI sekaligus GRDP

terendah dimiliki oleh Kabupaten Jeneponto (paling bawah kiri), sementara HDI

sekaligus GRDP tertinggi dimiliki oleh Kota Makassar (ujung kanan atas).

Tabel 1; HDI dan GRDP perkapita Kabupaten/Kota

9
Di Sulawesi Selatan

HDI dan GRDP di Sulaw es i Selatan

75

70 Makassar
H D I 1999

65

60

Jeneponto

55
0 50 0 10 0 0 150 0 2000 2 50 0

GDRP Pe rcapita 1998 (ribu rupiah)

Data diatas juga menunjukkan adanya ketimpangan regional yang terjadi

di Sulawesi Selatan. Terutama antara beberapa Kabupaten/Kota tertentu yang

kelihatan sangat menyolok. Disamping itu, kondisi struktural tertentu ternyata

menyebabkan terjadinya sebuah fenomena tertentu pula dengan melihat adanya

kecendrungan tingkat HDI yang saling terkait dengan tingkat GRDP. Tingkat HDI

yang tinggi cenderung diiringi dengan tingkat GRDP yang tinggi pula, begitupun

sebalinya. Sehingga sebuah kesimpulan awal bahwa rendahnya GRDP pada

sebuah Daerah tidak disebabkan oleh faktor yang sifatnya insidentil, tapi juga

sangat disebabkan oleh kondisi struktural tertentu yaitu rendahnya HDI (tingkat

pendidikan, kesehatan dan lain-lain) pada Daerah tersebut. Sebuah hubungan yang

saling mempengaruhi antara dua variabel tersebut, sehingga kemudian kita bisa

10
menarik sebuah kesimpulan bahwa tanpa perubahan secara mendalam terhadap

kondisi struktural pada tiap daerah, maka fenomena ketimpangan ini akan tetap

bertahan. Pada sisi inilah kita berharap bahwa oerbaikan dalam hal pendidikan,

kesehatan untuk meningkatkan HDI mendapatkan prioritas dalam Alokasi

anggaran Kab/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini dimungkinkan dalam

Desentralisasi Fiskal yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah

untuk mengelola anggarannya termasuk penetapan prioritas anggaran.

BAB 1II
DESENTRALISASI FISKAL
DAN BELANJA PUBLIK

11
3.1. Mengapa Desentralisasi begitu Populer?

Tema tentang Desentralisasi menjadi sebuah kata yang sangat populer

akhir-akhir ini, tidak hanya diperbincangkan di ruang yang sifatnya Ilmiah, tapi

juga menjadi kata yang dikonsumsi secara massal oleh khalayak umum. Tidak

hanya menjadi perdebatan yang sifatnya teoritik saja tanpa memiliki keterkaitan

erat dengan kenyataan, Desentralisasi juga menjadi sebuah kajian yang secara

langsung memiliki implikasi secara ekonomi dan politik dalam kehidupan

masyarakat suatu Negara. Hal ini pulalah yang mungkin menyebabkan banyak

pihak memiliki kepentingan terhadap Desentralisasi, yang dengan sendirinya

mendorong popularitas tema desentralisasi akhir-akhir ini.

Gerakan Desentralisasi yang mengglobal dewasa ini, oleh Diana Conyers5

dianggap sebagai gelombang kedua Desentralisasi yang bermula sejak akhir tahun

1970-an. Gelombang pertama Desentralisasi terjadi pada tahun 1945 ketika terjadi

peralihan kekuasaan dari pemerintah Kolonial kepada Pemerintahan bangsa yang

baru merdeka. Gelombang Kedua Desentralisasi muncul dengan Agenda untuk

mengoreksi berbagai kelemahan dan kegagalan dari konsep Desentralisasi yang

diterapkan sebelumnya. Sehingga dalam gelombang kedua ini, konsep

Desentralisasi terlihat lebih bervariasi, tekanan utamanya lebih pada fungsi

desentralisai sebagai alat bagi pencapaian tujuan pembangunan Nasional.

Perbedaan antara gelombang pertama Desentralisasi Gelombang Pertama dengan

Gelombang Kedua juga terletak pada Pihak yang mendukung pelaksanaan

Desentralisasi. Kalau pada gelombang pertama banyak didorong oleh Pemerintah

5
Paradigma baru Otonomi Daerah (Tim LIPI, 2001)

12
Pusat, dalam gelombang kedua ini terlihat semakin kompleks. Desentralisasi tidak

hanya dituntut oleh Pemerintah Daerah yang berada pada Negara yang

bersangkutan, tapi juga berasal dari institusi International seperti misalnya:

USAID dan World Bank.

Desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Lokal

dalam pengelolaan Pemerintahannya dipandang sebagai alat yang mampu

memberikan hasil yang optimal dalam penyelenggaraan Pemerintahan untuk

pelayanan Publik. Tujuan Desentralisasi dari sisi kepentingan Pemerintah Pusat

berguna untuk: Politicall Education, Latihan Kepemimpinan, dan pencipataan

Stabilitas Politik. Sementara dari sisi Pemerintah Daerah, desentralisasi bertujuan

untuk mewujudkan politicall equality, local accountability, dan local

responsiveness.6

Meskipun jawaban dari beberapa keuntungan pelaksanaan desentralisasi

kelihatannya memberikan banyak alasan mengapa sebagian besar negara

mempraktekkan desentralisasi, tapi itu tidak saja cukup mampu untuk

menjelaskan mengapa perkembangan desentralisasi menjadi begitu pesat.

Kemunculan desentralisasi tidak bisa dilepaskan dari wacana demokratisasi

maupun globalisasi yang menjamur dewasa ini akibat keamjuan sarana tekhnologi

sehingga batas kenegaraan menjadi kabur (global village).

3.2. Desentralisasi

Sampai disini kita telah membincangkan desentralisasi namun kejelasan

tentang batasan pengertiannya belum secara utuh mampu kita tampilkan. Hal
6
Paradigma baru otonomi daerah, Tim LIPI 2001

13
inipun sebenarnya tidak terlepas dari ambiguitas pengertian desentralisasi itu

sendiri. Dalam literatur tentang desentralisasi, pengertian tentang desentralisasi itu

akan merujuk pada perspektif yang kita gunakan. Ada dua perspektif yang

mencoba mendefinisikan Desentralisasi yaitu perspektif politik dan perspektif

Adminstrasi. Perspektif politik akan melihat desentralisasi sebagai penyerahan

kekuasaan sehingga yang terjadi adalah transfer kekuasaan dalam mengambil

keputusan publik oleh pemerintah Lokal. Sementara perspektif Administrasi lebih

melihat desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan, dan

kewenangan adminstratif oleh Unit Administratif lokal. Secara konseptual

perspektif poltik lebih menekankan kepada adanya transfer kekuasaan sehingga

sering disebut sebagai Devolusi, sementara perspektif adminstrasi yang

melihatnya sebagai penyerahan kewenangan administratif saja, sehingga secara

konseptual disebut dengan dekonsentrasi. Mau tidak mau defenisi tentang

dsentralisasi akan tergantung dari pilihan perspektif kita. Kedua konsep inipun

diramaikan lagi dengan defenisi desentralisasi sebagai Tugas perbantuan yaitu

penyerahan Tugas kepada unit pemerintahan yang berada pada level bawah.

Roundinelli dan Cheema kemudian merumuskan empat bentuk Desentralisasi

Yaitu: Dekonsentrasi, yakni distribusi wewenang adminstratif di dalam struktur

pemerintahan, Delegation, yang berarti pendelegasian otoritas manajemen dan

pengambilan keputusan atas fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada

organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah. Bentuk ketiga

dari desentralisasi adalah devolusi yaitu penyerahan fungsi dan otoritas dari

pemerintah Pusat kepada daerah otonom. Bentuk yang terakhir yaitu swastanisasi

14
yaitu penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab

tertentu kepada organisasi swasta.7

Dari pembagian diatas, Desentralisasi berdasarkan bidang yang diaturnya

kemudian dibagi kedalam empat bagian yaitu: Political desentralization,

Adminstrative desentralization, Fiscal Desentralization, dan Economic or market

desentralization.8 Politicall decentaralization memberikan kewenangan kepada

warga negara melalui wakil-wakil yang dipilihnya untuk mengambil keputusan

publik. Sementara Adiminstratif decentralisation menekankan kepada Redistribusi

kewenangan, responsibilitas, dan sumberdaya finansial untuk memberikan

pelayanan publik kepada unit pemerintahan lainnya. Fiscal desentralization

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan lainnya secara spesifik

memberikan kewenangan untuk membuat keputusan pembiyaan dalam kerangka

pelaksanaan kewenangan secara luas.

Terkait dengan tema dari tulisan ini, maka yang akan dikaji lebih lanjut

adalah desentralisasi fiskal dengan tetap memperimbangkan keterkaitan antara

desentralisasi fiskal sebagai sebuah kewenangan dengan kewenangan dibidang

lainnya.

3.3. Desentralisasi Fiskal

Sama seperti maraknya pembicaraan tentang desentralisasi, desentralisasi

fiskal sebagai bagian dari desentralisasi itu sendiri juga mengalami perkembangan

wacana yang sangat pesat. Desentralisasi fiskal diterapkan sebagai pilihan tepat

dalam pengaturan keuangan dalam satu negara. Ada begitu banyak alasan

7
Worlk Bank Institute,Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview
8
World bank Institute, Decentralization Breifing Note

15
mengapa sebuah Negara mempraktekkan Desentralisasi Fiskal. Di negara-negara

maju, desentralisasi fiskal diguanakan untuk memformulasikan kembali struktur

hubungan keuangan intra pemerintah agar sesuai dengan kenyataan “Post welfare

State”. Negara-negara yang sedang mengalami Transisi di Eropa Timur dan

tengah saat ini sedang sibuk-sibuknya membenahi sistem keuangan pemerintah

daerah dan perimbangan keuangan pemerintah Pusat dan Daerah. Di Negara

berkembang, desentralisasi fiskal digunakan sebagai salah satu cara untuk

meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefektifan dan ketidak efisienan

pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan

ekonomi yang telah menyebabkan mereka jatuh terperosok akhir-akhir ini.9

Menyebarluasnya gagasan tentang desentralisasi fiskal kemudian

menjadikannya sebagai pilihan kebijakan yang banyak diterapkan di berbagai

negara. Desentralisasi fiskal sendiri bila dikaitkan dengan pengaturan hubungan

antara hubungan fiskal pemerintah Pusat dan daerah adalah menyangkut tentang

bagaimana penegelolaan keuangan sektor pemerintahan antara pemerintah pusat

dan daerah. Dimensi dari Desentralisasi ini meliputi empat pilar yaitu :

1. Pendelegasian fungsi dan responsibilitas pengeluaran pada level

pemerintahan.

2. Pendelegasian sumber-sumber perpajakan.

3. Transfer keuangan antara level pemerintahan.

4. Pendelegasian pinjaman dan utang untuk menutupi defisit

anggaran.10

9
Richard M Bird and Francois vailancourt (1998) Desentralisasi Fiskal di negara berkembang, hal
10
Jamie Boex (2001) An Introductory Overview of Fiscal Relations

16
Hal hal yang mendasar inilah yang diatur dalam desentralisasi fiskal yang

diterapkan di tiap negara. Dalam perwujudannya, desentralisasi fiskal adalah

sebuah paradigma keuangan dimana:

 Pemerintah Pusat berhenti mengawasi alokasi pembiayaan

Pemerintah daerah.

 Pemerintah Pusat mengalokasikan sumber-sumber dana –distribusi

pendapatan, subsidi, otoritas pinjaman- kepada pemerintah daerah

dan memberikan prioritas untuk menentukan prioritas pembiayaan

menurut kebutuhan warganya.

 Pemerintah Pusat memainkan peranan menyeluruh dalam kebijakan

(standart pelayanan), isu-isu modal antar-daerah, dan manajemen

makroekonomi dan keuangan secara menyeluruh.11

Secara umum desentralisasi fiskal menyangkut tentang pendistribusian

sumber-sumber keuangan kepada pemerintah daerah serta untuk mengelola

keuangannya sendiri sesuai prioritas kebutuhan warganya.

Ada beberapa alasan mengapa desentralisasi fiskal dijalankan oleh suatu

negara terlepas dari kondisi kekhususan yang terdapat dalam negara itu seperti

yang dipaparkan diawal tentang pembahasan tentang desentralisasi fiskal

sebelumnya. Alasan pemberlakuannya secara teoritik yaitu;

 Penyediaan efektifitas dalam pemenuhan kebutuhan publik.

 Membuat pemrintahan lebih efektif dan efisien.

 Pengaturan Ekonomi sesuai prinsip Pasar.

 Akselerasi konsolidasi transisi demokrasi.

 Penguatan Integrasi nasional dan mengurangi ketegangan wilayah.


11
opcit hal 4

17
 Memberikan akses yang baik kepada masyarakat untuk

memanfaatkan sumberdaya nasional.12

Sementara tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk

pembangunan ekonomi, mobilisasi penerimaan, penguatan pemerintah daerah,

pemberdayaan pemerintah daerah, pemberian otonomi serta menjaga dari dampak

inefisensi pemerintahan yang dikelola secara terpusat, serta adanya kecendrungan

bahwa penyeragaman tidak mampu memberikan responsibilitas, dan satu hal yang

paling penting bahwa unit pemerintahan yang terkecil ini akan mampu secara

optimal melakukan distribusi kepada warga negara.

Hanya saja dari beberapa kajian tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal

memberikan banyak kenyataan pahit tentang dampak desentralisasi fiskal

terhadap satu negara. Kajian literatur yang dilakukan oleh banyak peneliti

memperlihatkan bahwa pada beberapa negara Desentralisasi Fiskal memberikan

hasil yang tidak hanya positif tapi juga negatif terhadap kehidupan warganya.13

Kajian literatur tentang pelaksanaan desentralisasi Fiskal ini juga

memperlihatkan corak yang tidak seragam dalam hal pengaturan formula

keuangannya, ada begitu banyak pola dalam hal ini. Pola yang beragam ini

ditentukan oleh kondisi kesejarahan suatu negara, latarbelakang sosial dan budaya

serta evolusi dari masyarakatnya.14 Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan

bahwa formula pengeloaan fiskal suatu negara sangat tergantung pada pilihan

ideologis, serta tarik menarik antara unit pemerintahan, unit bisnis, maupun

masyarakat sipil. Kekuatan bargaining sebuah kelompok kadangkala memberikan

12
Widjayanti (2002) Indonesia’s Fiscal decentralization
13
Richard M Bird and Francois Vailancourt (1998)
14
Richard M bird and Francois Vailancourt (1998)

18
hak prerogatif untuk menyusun formula pengelolaan fiskal suatu negara kepada

kelompok tersebut.

Apa yang bisa ditarik dari tinjauan literatur ini adalah bahwa ada begitu

banyak kondisi ketidakpastian yang mengiringi pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Ketidakpastian itu bisa berupa keberhasilan maupun kegagalannya serta

ketidakpastian dalam formula pengelolaan fiskal sebuah negara. Hal ini

menyiratkan untuk melakukan sebuah kajian yang sifatnya kasuistik terhadap

penerapan Desentralisasi fiskal sebuah negara.

3.4. Belanja Publik; Mengapa Begitu Penting?

Belanja publik adalah anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai

kebutuhan publik akan barang dan jasa. Dari defenisi ini, akan sulit untuk

menentukan batasan tentang Anggaran Publik itu sendiri. hal ini disebabkan

karena ketidakmampuan untuk melakukan pemisahan secara tegas antara mana

saja bidang yang termasuk kegiatan publik dan mana yang sifatnya private. Bila

dikaitkan dengan desentralisasi fiskal, akan muncul sebuah kerepotan baru, mana

saja pengeluaran pemerintah dalam APBN dan APBD yang tidak memiliki

implikasi yang sifatnya publik? Karena pembiayaan unit pemerintahan sekalipun

pastilah memilki implikasi publik.

Demi memberikan batasan permasalahan terhadap defenisi belanja publik,

maka batasan yang digunakan untuk belanja publik adalah belanja yang secara

langsung memberikan implikasi kepada publik dalam hal ini Belanja

Pembangunan yang merupakan Komponen dari belanja pemerintahan dalam

APBN/APBD disamping Belanja Rutin. Walaupun sebenarnya tidak secara

19
deterministik belanja pembangunan ini bisa dikaitkan dengan implikasi publiknya.

Tapi demi memudahkan konseptualisasi, belanja Pembangunan inilah yang

diasosiasikan sebagai belanja Publik.

Mengapa belanja publik menjadi begitu penting, hal ini tidak bisa

dilepaskan dari implikasi publiknya. Belanja publik yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Dalam Anggarannya akan memberikan implikasi terhadap pemenuhan

kebutuhan publik yang disamping menjadi tujuan dari pembangunan itu sendiri,

sekaligus jalan untuk meningkatkan pembangunan dalam satu daerah. Belanja

publik akan memberikan Perluasan kebebasan manusia yaitu perluasan kebebasan

substantif melalui perbaikan pada derajat pendidikan, kesehatan, daya beli

masyarakat (Human development Indeks) kemanan, ketertiban untuk penjaminan

kebebasan manusia serta perbaikan infrastruktur yang memberikan implikasi

kepada perluasan akses kebebasan masyarakat dalam beraktifitas, berkebudayaan

dan berinteraksi. Hal inilah yang menjadi tujuan substantif pembangunan yaitu

perluasan kebebasan manusia. Implikasi lain dari belanja publik melalui

pemenuhan kebutuhan publik adalah bahwa Human Development Indeks yang

relatif tinggi, suasana kehidupan yang kondusif bagi kebebasan, serta infrastruktur

yang memadai, kesemuanya akan menjadi saran bagi pencapaian tujuan

pembangunan itu sendiri maupun implikasi ekonomisnya sebagai penggerak roda

perekonomian dan menjamin tingkat pertumbuhan yang tinggi. Tepat kiranya bila

diandaikan bahwa Anggaran Publik yang terkelola dengan baik akan mencapai

makna hakiki dari pembangunan yaitu Perluasan Kebebasan sebagai tujuan

substantif yang juga menjadi sarana (tujuan instrumental) dari pembangunan itu.15

15
Amartyasen: development as a freedom, dalam jurnal studi pembangunan Insist

20
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta demokrasi yang didambakan oleh

tata kehidupan sosial dalam Abad Demokrasi ini hanya mampu tercapai bila

didukung oleh kualitas manusia yang tinggi, suasana hidup yang kondusif dan

infrastruktur yang memadai. Dalam hal inilah Alokasi Belanja Publik menjadi

sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pembangunan. Pada sisi inipulalah

ujian akan diberikan kepada pengambil keputusan, seberapa jauh keberpihakan

dan tanggung jawab terhadap masyarakat yang telah memilihnya (walaupun

berdasarkan sistem perwakilan di legislatif) yang tercermin dari alokasi belanja

publik dalam APBN/APBD.

3.5. Desentralisi Fiskal Dan Belanja Publik

Pentingnya belanja publik dalam Pengeluaran Pemerintah dan implikasi

dari desentralisasi fiskal yang berarti pendelegasian pengaturan keuangan kepada

unit pemerintahan daerah menjadikan kajian tentang desentralisasi fiskal dan

belanja publik memilki keterkaitan yang sifatnya signifikan. Melalui desentralisasi

fiskal, tanggungjawab dalam hal pengeloaan keuangan Daerah didelegasikan

kepada pemerintah daerah. Pendelegasian ini bila merujuk pada tujuan dari

pelaksanaan desentralisasi Fiskal yaitu optimalisasi, efisiensi dan efektifitas

pelayanan kebutuhan publik menjadi tanggungjawab pemerintahan Daerah.

Apalagi bila Anggaran Publik dikaitkan dengan implikasinya terhadap pencapaian

tujuan pembangunan secara substanstif dan instrumental, tidak ada pilihan lain

bagi pemerintah daerah selain mengalokasikan Belanjanya untuk sektor publik

sebagai prioritas.

21
Sayangnya kajian tentang Implikasi desentralisasi fiskal terhadap

dinamika belanja Publik juga tidak seragam. Penelitian yang dilakukan oleh

Brennan dan Buchanan yang disebut dengan hypotesa Levhiatan memperlihatkan

hubungan yang negatif antara Desentralisasi Fiskal dan Sektor Publik. Bahwa

Desentralisasi Fiskal memberikan implikasi yang buruk terhadap Sektor Publik,

melalui perilaku pemerintahan daerah untuk meningkatkan penerimaannya

sehingga sektor publik menjadi sangat terpukul. Kajian tentang dampak

desentralisasi fiskal terhadap Sektor Publik juga banyak dilakukan oleh beberapa

penelitian sebelumnya. Nelson (1986), Grossman (1989) dan Grosman and West

(1995) membantah hipotesa leviathan dari Brennan dan Buchanan.16

Implikasi dari desentralisasi fiskal yang tidak selamanya memperlihatkan

hubungan positif diantara keduanya juga bisa kita dapatkan dalam beberapa

literatur tentang dampak Desentralisasi Fiskal terhadap belanja Publik. 17 hal ini

kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan baru bahwa desentralisasi fiskal tidak

serta merta memberikan implikasi positif terhadap belanja Publik. Untuk itu

penelitian tentang Dampak desentralisasi Fiskal terhadap belanja Publik tidak

bersandarkan pada universalisasi hasil penelitian. Penelitian tentang hal ini

harusnya dilakukan secara kasuistik, dalam unit yang sifatnya mikro, dengan

mempertimbangkan kekhususan-kekhususan penerapan desentralisasi fiskal dan

anggaran publik dalam suatu Daerah.

16
Wold bank Institute, Concept of fiscal decentralization and world wide overview
17
opcit, hal 9

22
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Implementasi Desentralisasi Fiskal Di Indonesia

Di Indonesia, desentralisasi fiskal mendapat landasan konstitutif dalam

UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU ini lahir dari tekanan

utamanya daerah yang memiliki SDA yang begitu banyak. Kelahirannya tidak

mungkin kita mampu pahami tanpa melihat keterkaitannya dengan kenyataan

pengelolaan Sumber daya sebelumnya yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1974.

Walaupun dalam UU No 5 tahun 1974 telah dicantumkan Bahasa otonomi, tapi

pelaksanaannya secara substansial tidak memberikan otonomi kepada unit

pemerintahan daerah. Seperti halnya dalam pengaturan keuangan, walaupun

daerah dimungkinkan untuk mencari sumber pembiayaannya dalam hal ini PAD,

namun yang terjadi adalah sebuah ironi. Betapa tidak, sumber pembiayaan yang

gemuk, telah berada ditangan pemerintah pusat, sehingga yang tersisa hanyalah

sumber-sumebr dana yang sangat kecil,18 yang tidak mungkin mampu menjadi

sandaran pembiayaan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan daerah.

Hal ini memberikan implikasi ketergantungan keuangan yang begitu tinggi

kepada pemerintah Pusat oleh Pemerintah daerah. Ketergantungan yang terjadi

bisa kita lihat dari fakta bahwa Pemerintah Pusat mengumpulkan 90% penerimaan

nasional dan mengeluarkan 85% dari pengeluaran Nasional.9 kajian lain yang

dilakukan oleh Anne Both (pada akhir 1980-an) dan Hal Hill (1987) menunjukkan
18
Tim LIPI (2001) Paradigma baru otonomi daerah

23
hasil yang sama. Potret ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada

Pemerintah Pusat. Pada tahun 1974 hal Hill menemukan bahwa rata-rata 76%

Pengeluaran APBD Pemerintah Daerah disubsidi oleh Pemerintah Pusat.

Potret ketergantungan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu

negara yang mengatur keuanganya secara sentralistik. Potret ini pula yang dibaca

oleh masyarakat daerah sebagai bagian dari ekploitasi Pusat terhadap daerah yang

memunculkan tuntutan untuk melakukan redistribusi keuangan secara lebih adil.

Tuntutan ini kemudian mendapatkan momentumnya ketika lengsernya rejim

Suharto dari singgasana pemerintahan. Buah dari tuntutan inilah yang kemudian

melahirkan UU No 22 dan 25 Tahun 1999.

Ada banyak perubahan dalam kehidupan ekonomi politik bangsa sebagai

implikasi dari UU no 22 dan 25 tahun 1999. Secara Politik yang paling

fundamental adalah pengakuan hak otonom Kabupaten/Kotamadya. Hal inilah

kemudian yang menjadi dasar dalam pengakuan desentralisasi yang dijalankan

oleh pemerintahan daerah. Pengakuan akan hak otonomi masyarakat sebagai

perwujudan dari pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan demokratisasi.

Berangkat dari preposisi itulah maka pemberian kewenangan dan pengakuan

kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai

aspirasi masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republic Indonesia.

Hal yang kemudian menjadi sisi krusial pasca pengakuan hak otonom bagi

Negara yang baru menjalankan Desentralisasi adalah menyangkut pengaturan

hubungan, kewenangan, dan fungsi dari setiap Unit pemerintahan dalam sebuah

Negara. Bagaimana hubungan antara unit pemerintahan baik secara vertical

maupun horizontal, pertangungjawaban atau koordinatif, ataukah nyaris tanpa

24
hubungan sama sekali. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah

Propinsi, Pemerintah kabupaten. Kemudian apa yang menjadi kewenangan dari

kesemua Unit Pemerintahan tersebut, bagaimana batasannya serta pengaturannya

dalam kerangka Efektifitas, Efisiensi dan optimalisasi pelayanan publik.

UU no 22 Tahun 1999 secara nyata memberikan penekanan otonomi

Daerah yang luas kepada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) dan

menempatkan Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi yang disamping sebagai

Kepala daerah, juga melaksanakan fungsi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di

Daerah. Dalam artian UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah mengadopsi

Perspektif Politik yaitu Devolusi sementara pada sisi lain, Dekonsentrasi yang

diletakkan di wilayah Propinsi merupakan pijakan perspektif Administrasi.

Sebagai implikasi, Kabupaten dan Kotamadya yang menjadi titik tekan otonomi

Daerah kemudian memiliki beberapa kewenangan dalam hal memberikan

pelayanan public kepada Masyarakatnya. Kecuali lima hal yang diatur dalam UU

No 22 Tahun 1999 dan kewenangan lainnya yang sifatnya makro strategis,

pemerintah Daerah memiliki kewenangan sekaligus kewajiban dalam

mengelolanya. Sementara Propinsi berdasarkan UU dan implikasi dari

palaksanaan Dekonsentrasi, berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah,

sehingga fungsinya akan terkait dalam hal interaksi antarKabupaten/Kota sebagai

koordinatif. Tabel berikut ini menjelaskan tentang batasan kewenangan Antar

Unit Pemerintahan.

25
Tabel 2;
Division of Authorities and Functions across Levels of Government
according to Law 22/1999

Central Province District


1. Defense and 1. Authorities that cover 1. All other
security, inter-districts interest, authorities that are
2. Judicial system, 2. All authorities beyond not covered by
3. Fiscal and monetary the capability of central and
affairs, district, provincial
4. Religion, 3. Authorities delegated government,
5. Foreign affairs, and by central 2. Obligatory
6. Other specifically government, and functions:
designated 4. Other specific - Public works,
functions: authorities: - Health,
- Macro-economic - Macro-regional - Education and
planning, planning and culture,
- Fiscal balance controlling, - Agriculture,
fund, - Training in certain - Transportation,
- Government fields, - Industry and
administrative - Allocation human trade,
system and resource with certain - Investment,
government potency and research - Environment,
economic activities covering - Land,
institutions, provincial area, - Cooperatives and
- Human resource - Management of - Labor.
development, regional harbor,
- Natural resource - Environmental
utilization and control,
issues concerning - Trade and
strategic high culture/tourism
technology, promotion,
- Conservation and - Control of plague
national and plant diseases
standardization. and province-level
spatial design.
Sumber: Widjayanti (2002), Fiscal Decentralization In Indonesia hal 13.

Dalam menjalankan kewenangannya Pemerintah Lokal membutuhkan

pembiayaan yang sifanya permanen karena terkait dengan keberlanjutan dalam hal

pelayanan public. Pemberian kewenangan kepada pemerintah Daerah tidak akan

mampu menjamin berjalannya kewenangan tersebut secara maksimal bila tidak

dibarengi dengan pendelegasian sumber penerimaan yang akan digunakan sebagai

26
pembiayaan dalam kerangka menjalankan tugas pelayanan. Pendelegasian sumber

penerimaan inilah kemudian yang kita sebut sebagai Desentralisasi Fiskal, yaitu

pemberian kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola

keuangannya.

Melalui UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 5 Tahun 1999 Tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, dicantumkan tentang

pendelegasian sumber penerimaan kepada Pemerintah Daerah. Pendelegasian

kepada pemerintah daerah dalam menarik sumber-sumber pembiayaan

pembangunan di daerahnya melalui kewenangan menarik pajak dan retribusi,

BUMN, pengelolaan kekayaan Daerah lainnya, dan lain-lain PAD yang sah

lainnya. Pengaturan keuangan antara Pusat dan daerah juga tidak mengenal lagi

Inpres maupun subsidi daerah otonom, tapi melalui Dana Perimbanagan yaitu

Dana bagi hasil, dana Alokasi Umum, dan dana Alokasi Khusus yang dibagi

dengan proporsi yang diatur dalam UU No 22 dan 25 tahun 1999. Pemerintah

Daerah juga memiliki kewenangan untuk mencari pinjaman demi menutupi

Defisit keuangannya (Pasal 11 sampai 15 UU No 25 tahun 1999).

4.2. Implikasi Terhadap Anggaran Pemerintah Pusat Dan Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia memberikan implikasi

terhadap peta pengelolaan fiskal antara pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam

tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal (Tahun anggaran 2001) total dana

yang di daerahkan melalui dana perimbangan adalah sebesar Rp 82,40 trilyun atau

5,6% dari PDB. Sementara pada tahun 2002 dana perimbangan yang didaerahkan

sebanyak Rp 94,53 Trilyun atau 5,6% dari PDB yang berarti mengalami

27
peningkatan 5,1% di banding dana perimbangan tahun 2001. 12 hal ini merupakan

sebuah peta baru dalam pengelolaan fiskal Pemerintah., karena bila bercermin dari

anggaran tahun sebelumnya, terjadi pelonjakan pesat. Tabel berikut

menggambarkan tentang proporsi Dana yang Ditransfer Pemerintah Pusat kepada

Daerah (dana perimbangan)

Tabel 3; Intergoverment Transfer

Figure 1b. Figure 1a.


Proportion of Central Government Transfer to Regions
Central Government Transfer to Regions, 1990-2002
30.00 100,000
90,000
25.00
80,000
20.00 70,000
60,000
Percentage

Billion Rupiah

15.00 50,000
40,000
10.00 30,000
20,000
5.00
10,000
- -

Earmark grants Block grant


(%GDP) (% Total Expenditure)

sumber: Widjayanti, Indonesia Fiscal Decentralization, hal 31.

Dana transfer dari Pemerintah Pusat ini (Dana Perimbangan) kemudian

masuk dalam komponen Pemerintahan Daerah sebagai penerimaan. Sebagai

Implikasinya, terjadi lonjakan pada sisi penerimaan Pemerintah Daerah.

Perubahan sisi penerimaan pasca pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan dapat

kita lihat dalam tabel dibawah ini. penerimaan Pemerintah Daerah. Berikut tabel

tentang perubahan penerimaan dalam struktur APBD Kabupaten/Kota se Sulawesi

selatan untuk melihat implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap

Keuangan pemerintah Daerah.

28
Tabel 4; Total Revenue (penerimaan) Kab/Kota

di Sulawesi Selatan

Total Pe ne rim aan Kab/Kota di Sul-s e l

P ar e P ar e

M a mu j u

P o l e w a l i M a ma s a

Lu wu

P i nr a ng

Wa j o

B one

P a ngke p

Si n j a i

T a ka la r

Ba nt a e ng

Se l a y a r

0 50,000 100, 000 150,000 200, 000 250, 000 300, 000 350, 000 400, 000

jut a r upi a h

T A 1995/ 96 T A 1999/ 2000 TA 2001

Dari data tersebut, maka terlihat peningkatan proporsi penerimaan

pemerintah daerah meningkat pasca pelaksanaan desentralisasi fiskal secara

signifikan. Ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat ada juga yang

hanya mendapatkan peningkatan yang secara relatif tidak terlalu besar. Lonjakan

ini juga terjadi karena pengaruh inflasi karena data ini tidak memperhitungkan

inflasi atau menetapkan tahun patokan. Lonjakan penerimaan dari kabupaten/kota

tersebut kemudian akan dilihat berdasarkan perkapitanya untuk melihat secara

perkapita penerimaan daerah yang terjadi.

29
Tabel 5; Total penerimaan percapita Kab/Kota

di Sulawesi Selatan

Total r e ve nue pe r k apita k ab/Kota Di Sul-


Se l

P ar e P ar e

M a mu j u

P o l e w a l i M a ma s a

Lu w u

P inr a ng

Wa j o

Bone

P a n gk e p

Si n j a i

T aka la r

B a nt a e n g

Se l a y a r

- 100 2 00 30 0 400 500 60 0 7 00 80 0

j u t a r u p i a h

T A 1 9 95 / 96 T A 1 9 99 / 20 0 0 T A 2 0 01

4.3. Discretionary Power Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan

Discretionary Power adalah total penerimaan dikurangi dengan belanja

pegawai. Discretionary power digunakan untuk melihat secara riil kemampuan

keuangan pemerintah Daerah dalam membiayai belanjanya. Menempatkan total

penerimaan saja sebagai sebagai indikator untuk melihat kemampuan keuangan

Pemerintah Daerah menyembunyikan sebuah persoalan didalamnya. Karena tidak

semua dana tersebut secara bebas bisa digunakan oleh pemerintah daerah dalam

membiayai anggarannya. Hal ini disebabkan oleh adanya komponen belanja

pegawai yang selalu mendesak untuk dipenuhi tiap Pemerintah Daerah.

Hasil pengurangan dari total penerimaan dengan belanja pegawai inilah

kemudian dianggap sebagai kemampuan keuangan Pemerintah daerah dalam

membiayai pengeluarannya. Dana inilah yang kemudian secara riil mampu

30
dialokasikan sesuai dengan prioritas tiap pemerintah Daerah. Sehingga

kemampuan keuangan Pemerintah Daerah dalam tulisan ini menempatkan

Discretionary Power sebagai indikatornya. Untuk melihat bagaimana

Discretionary Power tiap Pemerintah daerah di Sulawesi Selatan, berikut akan

kami paparkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 6. Discretionary Power Kab/Kota di Sul-Sel

Discretionary power Kab/Kota di Sul-Sel

2 50 , 00 0, 0 00

2 00 , 00 0, 0 00

1 50 , 00 0, 0 00

1 00 , 00 0, 0 00

50 , 00 0, 0 00

ka b/ ko t a

1995/1996 1999/2000 2001

Dari tabel diatas, kita bisa melihat adanya perbedaan discretionary power

Kab/Kota di Sulawesi Selatan pasca pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di

Indonesia. Ada daerah yang mengalami peningkatan Discretionary Power, tetapi

ada juga Daerah yang mengalami penurunan Discretionary Power.

Data diatas menyampaikan bahwa kenaikan penerimaan Pemerintah

Daerah pasca Desentralisasi Fiskal (Tahun 2001) tidak berbanding lurus dengan

kemampuan keuangan. Tingginya penerimaan ternyata banyak disedot untuk

31
belanja pegawai, sehingga kemampuan alokasi keuangan untuk membiayai fungsi

yang lain menjadi minim. Pasca Desentralisasi Fiskal, kemampuan keuangan

beberapa Pemerintah daerah malah semakin melemah.

4.4. Proporsi PAD Terhadap Total Penerimaan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merefleksikan kemampuan Pemerintah

Daerah dalam mengoptimalkan sumber penerimaan daerah yang dimungkinkan

dalam peraturan untuk membiayai pengeluarannya. Sumber penerimaan daerah

yang diatur dalam UU No 22 dan 25 tahun 1999 yaitu pendapatan dari Pajak dan

Retribusi daerah, Pendapatan dari BUMD dan lain-lain penerimaan yang sah.

Terlepas dari pengaturan penerimaan Daerah dalam Otonomi Daerah yang oleh

sebagian kalangan dianggap masih menggambarkan minimnya kewenangan

penerimaan yang didesentralisasikan kepada Daerah19, proporsi PAD tetap

diketengahkan untuk melihat potret ketergantungan finansial Daerah terhadap

pusat. Proporsi PAD yang relatif besar dalam total penerimaan daerah

mencerminkan rendahnya ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap dana dari

pusat. Sebaliknya proporsi PAD yang minim dalam total penerimaan

menggambarkan tingginya ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Dana

Pusat.

Berikut akan diberikan gambaran tentang perubahan PAD dari masing-

masing daerah kab/kota di Sulawesi Selatan.

Tabel 7; PAD Kab/Kota di Sul-Sel

19
Paradigma baru otonomi daerah, tim LIPI 2001

32
PAD Kab/Kota di Sul-Sel

U. PANDANG

WAJO

TAKALAR

SINJAI

SELAYAR

PINRANG
Kab/Kota

MAROS

MAJENE

JENEPONTO

ENREKANG

BONE

BANTAENG

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000


juta rupiah

PAD TA 1995/1996 PAD TA 1999/2000 PAD TA 2000/2001

Peningkatan PAD terjadi diseluruh Kab/Kota di Sulawesi Selatan, hal ini

bisa kita dari tabel diatas. Kenaikan ini disamping disebabkan oleh relatif lebih

besarnya kewenangan Pemerintah Daerah pasca Otonomi Daerah juga

kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan potensi PAD.

Hanya saja kita tidak perlu terburu-buru menyimpulkan semakin

mandirinya pemerintah Daerah dalam pembiayaannya hanya dengan melihat

meningkatnya PAD. Kemandirian keuangan Pemerintah Daerah direfleksikan

melalui perbandingan PAD dengan total penerimaan Pemerintah Daerah. Tabel

berikut akan memperlihatkan proporsi PAD terhadap total penerimaan pemerintah

Daerah.

TABEL 8; Persentase PAD dalam

33
Total Penerimaan Kab/Kota di Sul-Sel

Persentase PAD dalam Total Penerimaan Kab/Kota di


Sulsel

U. P ANDANG

P ARE -P ARE

WAJ O

T ANA TORAJ A

TAKALAR

SOP P ENG

SINJ AI

SIDRAP

SE LAYAR

P OLMAS

P INRANG

P ANGKEP

MAROS

MAMUJ U

MAJ ENE

LU WU

J E NEP ONT O

G O WA

E NRE KANG

BULUKUMBA

BONE

BARRU

BANT AENG

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00


pe rs e nta s e P A D

DP 1995/1996 DP 1999/2000 DP 2000/2001

Peningkatan penerimaan PAD Kab/Kota di Sulawesi Selatan ternyata tidak

diimbangi oleh meningkatnya kenaikan persentase PAD terhadap total

penerimaan Pemerintah Daerah. Sehingga dari potret tersebut kesimpulan yang

bisa ditarik adalah bahwa secara umum terjadi fenomena semakin menurunnya

kemandirian keuangan pemerintah Daerah.

4.5. Implikasi Terhadap belanja Publik di Sulawesi Selatan

Desentralisasi fiskal yang dimulai tahun 2001 memberikan beragam

implikasi terhadap peta anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam bagian ini,

kita akan melihat bagaimana peta anggaran dalam hal ini Belanja publik20 pasca

implementasi desentralisasi fiskal di Sulawesi Selatan. Pada tahapan awal, kita

20
Defenisi belanja publik sesuai dengan batasan konseptual yang telah dijelaskan diawal tulisan
ini.

34
bisa menarik beberapa point penting yaitu tentang meningkatnya penerimaan

pemerintah daerah pasca desentralisasi fiskal, walaupun discretionary powernya

cenderung menurun. Yang ingin dilihat secara mendetail dibagian ini adalah

perubahan belanja publik dan persentase belanja publik terhadap total belanja

pemerintah daerah Kab/Kota di Sulawesi selatan.

Tabel berikut akan memperlihatkan bagaimana perubahan belanja publik

secara nominal pasca pelaksanaan Desentralisasi Fiskal pada Kabupaten/Kota di

Sulawesi selatan.

Tabel 9; Total Anggaran Pembangunan Kab/Kota


di Sulawesi Selatan

To t al A ng g a ran P e mb a ng una n Ka b / Ko t a d i S ulaw e s i S e la t a n

U. P ANDANG

WAJ O

T AKALAR

SINJ AI

SE LAYAR

P INR ANG

MAR OS

MAJ E NE

J E NE P ONT O

E NR E KANG

B ONE

B ANT AE NG

0 2 0,000 4 0,000 6 0,000 8 0,000 1 00,000 1 2 0,000 1 4 0,000

juta r upi ah

TA 1995/ 1996 TA 1999/ 2000 TA 2001

Dari tabel diatas, terlihat kenaikan belanja publik yang menjadi potret

secara umum Kab/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini tentu sejalan dengan fungsi

kewenangan pemerintah daerah yang semakin meluas seiring bergulirnya

35
Otonomi Daerah. Sekedar catatan juga bahwa pengaruh inflasi tidak

diperhitungkan sehingga boleh jadi kenaikan secara nominal juga disebabkan oleh

pengaruh inflasi.

Untuk memperlihatkan gambaran agak utuh tentang Belanja Publik,

berikut akan ditampilkan proporsi belanja publik terhadap total belanja publik

kab/kota di Sulawesi Selatan.

Tabel 10; Persentase Belanja Pembangunan


Terhadap total Belanja

Pe rse ntase anggaran Pem bangunan terhadap total belanja

U . P ANDANG

P AR E -P AR E

WAJ O

T A NA T OR AJ A

T AK ALAR

SOP P E NG

SINJ AI

SIDR AP

S E LA YA R

P OLM AS

P INR AN G

P AN GK E P

M AR OS

M AM UJ U

M AJ E NE

LU WU

J E NE P ONT O

GOWA

E NR E KANG

B ULUKUM B A

B ONE

B AR R U

B ANT AE NG

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

d a l a m pe rs e n

t a hun 1995/ 1996 t a hun 1999/ 2000 t a hun 2001

Walaupun terjadi peningkatan secara nominal pada belanja publik, tapi hal

itu ternyata tidak diiringi dengan kenaikan persentase belanja publik terhadap total

belanja Kab/Kota. Yang terjadi malah semakin merosotnya proporsi anggaran

36
pembangunan pasca desentralisasi fiskal. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh

terhadap pelayanan publik masyarakat setempat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

37
Dari beberapa pembahasan sebelumnya, ada beberapa point penting yang

penting untuk diketengahkan disini yaitu:

1. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia menyebabkan terjadinya

perubahan peta anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah.

2. Terjadinya perubahan secara signifikan Transfer Dana dari Pemerintah

Pusat kepada pemerintah daerah yang berimplikasi pada peningkatan

Pendapatan Pemerintah Daerah Kab/Kota.

3. Peningkatan yang terjadi pada sisi penerimaan ternyata tidak

memberikan implikasi pada meningkatnya Discretionary Power

Pemerintah Daerah, hal ini terlihat secara umum terjadi di

Kabupaten/Kota di Sulawesi Hal ini menyiratkan bahwa peningkatan

penerimaan pemerintah daerah lebih banyak digunnakan untuk

membiayai Belanja Pegawai.

4. Menurunnya Discretionary Power kemudian berpengaruh pada alokasi

anggaran publik yang menjadi kenyataan umum di Pemerintah Daerah

Kab/Kota di Sulawesi Selatan melalui penurunan proporsi anggaran

belanja pembangunan terhadap total belanja.

5. Desentralisasi Fiskal juga memberikan implikasi pada peningkatan

penerimaan PAD Kab/Kota Di Sulawesi Selatan. Hanya saja kenaikan

PAD tersebut tidak diiringi dengan peningkatan proporsi PAD terhadap

Total Penerimaan. Hal ini menyiratkan masih tingginya tingkat

ketergantungan Kab/Kota di Sulawesi Selatan terhadap kucuran dana

dari Pusat.

6.1. Saran

38
1. Berangkat dari banyaknya hambatan dalam pelaksanaan

desentralisasi fiskal, baik yang terdapat dalam aturan maupun

dalam praktetknya misalnya pengaturan pajak yang masih bercorak

sentralistik, multi tafsir atas UU no 22 dan 25 dll. Untuk itu

dibutuhkan sebuah upaya bersama untuk membicarakan tentang

Desentralisasi di Indonesia, termasuk revisi UU No 22 dan 25

tahun 1999 yang melibatkan seluruh komponen yang ada. Kualitas

perundang-undangan dan pemahan atas sebuah produk UU sangat

ditentukan oleh Kepercyaan dan keterlibatan dari semua komponen

yang terkait sehingga meminimalkan biaya transaksi.

2. Pemerintah Pusat sebagai level pemerintahan tertinggi diharapkan

mampu membangun visi tentang desentralisasi Fiskal ditengah

semakin kaburnya esensi desentralisasi yaitu Demokratisasi,

Optimalisasi, Efisensi dan efektifitas pelayanan Publik. Hal ini bisa

dilakukan melalui penciptaan perundang-undangan yang

demokratis, melalui pengawasan dan dialog terhadap pelaksanaan

desentralisasi Fiskal di tiap daerah.

4. Ditengah ketergantungan yang tinggi terhadap Transfer dana dari

pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah selayaknya mencari sumber

penerimaan alternatif untuk optimalisasi penerimaan pemerintah

daerah. Hanya saja, sumber penerimaan tersebut tetap berpijak

pada landasan demokratisasi dan tidak memberatkan masyarakat

39
apalagi menghambat aktivitas perekonomian yang berimplikasi

pada menurunnya pertumbuhan.

5. Mengingat pentingnya Anggaran Publik baik sebagai Tujuan

Substantif dan Instrumental pembangunan, maka peningkatan

kualitas pelayanan publik dengan salah satu indikatornya

peningkatan belanja publik harusnya menjadi prioritas tiap

pemerintah daerah Kab/Kota.

6. Perlunya keterlibatan masyarakt sipil dalam membicarakan isu-isu

styrategis dalam desentralisasi fiskal utamanya tentang alokasi

APBD. Hal ini demi menjamin kualitas kebijakan publik bagi

pelaksanaan Desentralisasi fiskal. Pengalaman beberapa negara

yang relatif berhasil dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal

memiliki ciri universal yaitu tingginya partisipasi masyarakat

dalam pelaksanaan Desentralisasi fiskal.

DAFTAR PUSTAKA

Amartyasen (1996); “Development as A freedom”, Alfred A Knopf, New York

40
Jamie Boex (2001); “An Introductory Overview of Fiscal Relations”

Richard M Bird and Francois vailancourt (1998); “Desentralisasi Fiskal di


Negara Berkembang”

Tim Lipi (2001); :Paradigma Baru Otonomi Daerah”

UNSFIR,(2001); “Laporan Pembangunan Manusia Indonesia, 2001”, BPS,


Bappenas, UNDP, 2001

UNSFIR,(2001); “The Social implications Of Indonesian Economic Crisis”

UNSFIR,(2001); “Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan’

UNDP (1999);“Human Development Report 1999”, Oxford University


Press,New York.
UNDP (2001);“Human Development Report 2001”, Oxford University
Press,New York.

UNDP (2002);“Human Development Report 2002”, Oxford University


Press,New York.

Widjayanti (2002); ‘Indonesia’s Fiscal decentralization”


World Bank (2002), Dezentralization Net http:/www.worldbank.org/
publicsector/ decentralization

Worlk Bank Institute (2001);,Concept of Fiscal Decentralization and


Worldwide Overview

World bank Institute (2002); Decentralization Breifing Note

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1; Profil Propinsi Sulawesi Selatan

41
SOUTH SULAWESI

Year 2000 (except as indicated)

     
Position Location Southern part of Sulawesi Island
  Borders North - Central Sulawesi
  East - Bone Gulf
  South - Flores Sea
  West - Makassar Straits
     
   
Area Land area 66,811 sq. km.
  Remarks  
     
     
The People Total
population 8,059,627
  Growth,
1990 - 2000
(%) 1.49
  Male/Female
ratio 95.05
   
  Ethnic make
up (% of population)
  Bugis 41.9
  Makassar 25.4
  Toraja 9
   
  Religion make
up (% of population)
  Islam 89.2
  Protestant 7.8
  Catholic 1.6
   
  Population of
Major Cities Total (% of total)
  Ujung
Pandang 1,100,981 (13.7 %)
  Pare Pare 108,258 (1.3 %)
   
  Urban
population (%
of total) 29.4
  Growth,
1990 - 2000
(%) 3.30

42
  Rural
population (%
of total) 70.6
  Growth,
1990 - 2000
(%) 0.76
   
  Population by
age group Thousand (% of total)
  7 – 15 1,357 ( 17.4 %)
  15 – 65 4,906 ( 62.9 %)
  65+ 343 ( 4.4 %)
   
  Literacy rate
(% of Age 15+) 83.2
  Mean Years of
Schooling
(years) 6.5
   
  Educational
attainment (% of age 15+)
  Not
completed SD 42.8
  SD 28.9
  SLTP 11.7
  SMU 13.4
  D1+ 3.2
   
  Employment
rate (% of
working age) 59.5
   
  Employment
by sector (% of total employed)
  Agriculture,
forestry and
fishing 61.8
 
Manufacturing
industry 3.2
  Services 34.9
     
     
Community Poverty level,
2002 (% of total population)
Welfare Total (urban
and rural) 15.88
  Urban 7.16
  Rural 19.61

43
   
  Depth of
absolute
poverty, 2002
(P2 index) 0.75
  Life
Expectancy at
Birth, 1999
(years) 68.3
  Access to save
water, 1998 (%
population) 50.9
  Access to
health services,
1998 (%
population) 74.0
  Human Poverty
Index, 1998 26.3
  Regional
disparity (CV
Williamson) Xx
  Human
Development
Index, 1999 63.6
  Regional
disparity (CV
Williamson) Xx
   
     
The Number of
Government Kabupaten
(Regencies) 22
  Number of
Kota (Cities) 2
  Number of
Kecamatan
(Sub-districts) 277
  Number of
Desa/Kelurahan
(Villages) 3,176
  Number of
Civil Servants
(per 100
population) 2.4
  Number of
Police
Personnel (per
1000
population) 1.5
   
     
Political Votes held by the dominant parties in the 1999

44
power election (%)
   
 
GOLKAR 66
  PPP 8
  PDI-P 7
   
     
Public Provincial
Finance Government,
APBD 2002  
  Total
Provincial
expenditure (%
of GRDP) 2.1
  Own
revenue, PAD
(% of budget) 37.2
  Shared
revenue (% of
budget) 13.4
  General
allocation fund,
DAU (% of
budget) 46.2
   
 
Development
expenditure  
  % of
GRDP 0.7
  % of
budget 34.9
   
  Total
Kabupaten and
Kota budgets,
APBD 2002 n.a.
  Total
expenditure (%
of GRDP)  
  Own
revenue, PAD
(% of budget)  
  Shared
revenue (% of
budget)  
  General
allocation fund,
DAU (% of
budget)  

45
   
 
Development
expenditure  
  % of
GRDP  
  % of
budget  
     
     
Production GRDP (current
price, million
Rupiah) 26,596,247
  GRDP per
capita (Rupiah) 3,415,337
  Real GRDP
growth (%) 4.9
  Private
consumption
(% of GRDP) 62.1
  Fixed capital
formation (%
of GRDP) 17.6
     
  Sectoral
shares of
GRDP (% of GRDP)
  Agriculture 39.3
  Oil, gas and
mining 8.4
 
Manufacturing 12.5
  Services 39.8
     
  Types of
Agricultural
production (% of GRDP)
  Farm Food
Crops 22.1
  Fishery 8.7
  Estate Crops 6.8
  Remarks (location or other specific
characteristics)
     
  Types of
manufacturing
production (% of GRDP)
  Type – 1  
  Type – 2  
  Type – 3  

46
  Remarks (location or other specific
characteristics)
     
  Types of
services (% of GRDP)
  Trade 13.7
  Public
administration
and defence 8.7
 
Transportation 4.9
  Remarks (location or other specific
characteristics)
     
Trade Exports Thousand US$ (% of GRDP)
  International 615,385 (19.7%)
  Inter-
provincial  
     
  Imports Thousand US$ (% of GRDP)
  International 206,002 (6.6%)
  Inter-
provincial  
     
   
Media Number of
newspaper 3
  Number of
radio stations
(private) 10
   
     
Infrastructure Roads  
  Total (km) 6,859
     
  Category (% of total roads)
  Good 37
  Moderate 28
  Damaged 26
  Badly
damaged 9
     
  Railways (km) Xx
  Number of
airports 2
  Remarks  
  Number of
ports 19

47
  Remarks 2 commercial ports
  Telephone line
density,1999
(per 100 pop) 2.8
  Electricity  
  Household
with electricity
connection (%) 76.4
     
Sumber: Unsfir Data Base

Lampiran 2; Populasi Tahun 2000


perKabupaten/Kota Sulawesi Selatan

Population by Districts, 2000


   
No KAB/Kota 2000

48
7301. Selayar 103,446
7302. Bulukumba 352,582
7303. Bantaeng 157,634
7304. Jeneponto 317,481
7305. Takalar 229,375
7306. Gowa 513,747
7307. Sinjai 204,482
7308. Maros 270,661
7309. Pangkajene Kep. 263,466
7310. Barru 151,240
7311. Bone 647,015
7312. Sopeng 218,283
7313. Wajo 356,083
7314. S. Rappang 237,542
7315. Pinrang 309,876
7316. Enrekang 166,326
7317. Luwu 396,456
7318. Tana Toraja 391,691
7319. Polewali Mamasa 445,586
7320. Majene 120,272
7321. Mamuju 296,149
7322. Luwu Utara 430,635
7371. Kodya Ujung
Pandang 1,090,691

7372. Kodya Pare-Pare 107,739


SULSEL 7,778,458

49
Lampiran 3; Indikator HDI per Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan

  Life Expectancy Literacy Rate Mean Years Parity Purchasing


Province,
District Schooling Power
(year) (%) (000 Rp)
1990 1996 1999 1990 1996 1999 1990 1996 1999 1990 1996 1999
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

73. Sulawesi
Selatan 64.8 65.0 68.3 74.5 79.6 83.2 5.0 6.1 6.5 563.0 580.6 571.0

01. Selayar 61.6 62.9 66.2 70.2 78.0 84.3 4.1 5.3 5.6 535.3 572.4 572.22
02.
Bulukumba 62.4 65.0 68.4 69.0 74.6 79.6 4.1 5.7 6.2 488.6 574.7 574.26
03. Bantaeng 62.0 67.5 70.8 54.3 63.4 70.5 3.7 4.1 4.6 548.0 558.2 572.56
04.
Jeneponto 60.2 60.4 63.9 60.7 62.9 68.8 3.7 4.7 4.9 551.8 572.3 572.95
05. Takalar 60.7 63.2 66.7 68.2 73.2 76.8 4.0 4.9 5.4 473.2 576.8 574.23
06. Gowa 64.1 66.7 69.9 64.6 72.6 76.9 4.0 5.4 5.9 533.5 574.6 571.22
07. Sinjai 63.6 66.2 69.5 68.4 73.3 78.5 4.0 5.2 5.4 508.9 533.9 571.76
08. Maros 62.5 65.1 68.6 69.1 72.4 76.8 4.2 4.7 5.3 562.5 567.8 571.52
09. Pangkep 57.6 63.9 67.1 72.7 76.7 82.6 3.9 5.2 5.8 514.6 569.3 576.33
10. Barru 59.3 63.2 66.7 78.7 82.1 83.8 4.6 5.8 6.2 580.0 582.7 577.30
11. Bone 61.1 63.7 67.2 69.9 76.7 81.0 4.0 5.3 5.8 514.2 578.1 568.18
12. Soppeng 64.8 67.3 70.6 71.9 75.8 78.2 4.5 5.5 5.6 570.0 581.2 581.93
13. Wajo 65.4 66.5 67.2 72.8 81.8 76.1 4.1 4.9 5.0 569.0 581.8 578.74
14. Sidenreng
Rappang 63.6 66.2 69.5 73.4 78.2 82.8 4.4 5.2 5.9 519.9 584.4 571.20
15. Pinrang 62.7 65.3 68.5 74.4 79.6 82.7 4.4 5.6 6.0 574.9 575.7 574.22
16. Enrekang 66.1 68.7 72.0 72.9 77.2 89.7 4.7 6.1 6.4 541.6 550.8 572.78
17. Luwu 65.6 68.1 71.4 82.0 87.3 92.0 5.0 6.3 7.1 564.4 569.5 574.61
18. Tana
Toraja 66.9 69.5 72.8 70.9 72.0 73.3 4.5 5.5 5.7 457.9 564.5 572.98
19. Polewali
Mamasa 62.0 62.5 62.9 76.4 77.4 80.9 4.4 4.7 5.2 446.5 555.8 574.53
20. Majene 56.3 58.9 62.3 81.7 82.7 89.5 5.3 5.9 6.7 560.7 571.2 573.82
21. Mamuju 61.0 63.6 67.0 79.3 82.8 84.2 4.3 5.5 5.6 559.5 567.6 574.30
71. Ujung
Pandang 65.3 67.9 71.4 88.0 93.0 95.2 7.7 9.5 9.9 576.1 582.8 582.28
72. Pare Pare 66.0 68.5 71.8 83.9 88.1 94.2 6.5 7.8 8.4 573.9 583.1 575.47

50
Lampiran 4; Pengeluaran perkapita
dan Kemiskinan di sulawesi Selatan

  Per capita expenditure Poverty


Number of Poverty
Province Total Food poor people rate
(% of
Regency/City (thousand rupiah / month) total) (thousand) (%)
South Sulawesi 123.2 70.2 1462.0 18.3

01. Selayar 98.0 77.3 29.3 29.3


02. Bulukumba 112.2 71.5 55.1 15.1
03. Bantaeng 94.2 75.1 45.7 26.9
04. Jeneponto 89.1 77.3 91.8 27.4
05. Takalar 104.5 76.1 33.2 14.0
06. Gowa 106.2 73.6 58.4 11.7
07. Sinjai 71.8 77.5 81.6 37.9
08. Maros 126.4 74.2 49.7 18.1
09. Pangkep 140.0 71.9 58.6 21.9
10. Barru 132.0 73.1 24.0 15.3
11. Bone 106.1 72.5 137.6 22.3
12. Soppeng 125.5 66.6 40.9 17.7
13. Wajo 133.1 79.4 97.3 26.4
14. Sidenreng Rappang 116.9 69.9 45.8 18.1
15. Pinrang 111.5 72.7 49.8 15.5
16. Enrekang 94.6 75.9 34.0 21.6
17. Luwu 122.0 74.6 175.8 20.1
18. Tana Toraja 107.9 70.9 108.3 27.9
19. Polewali Mamasa 108.8 77.5 66.7 15.3
20. Majene 102.6 79.7 15.0 12.9
21. Mamuju 121.8 77.2 55.2 19.2
71. Ujung Pandang 185.1 55.9 104.5 8.8
72. Pare Pare 154.7 67.5 3.8 3.2

51
Lampiran 5; Surat Keterangan KKN Profesi

52
Lampiran 6; Jurnal Pelaksanaan dan penilaian penulisan KKN
profesi Fakultas Ekonomi

53
54

Anda mungkin juga menyukai