PENDAHULUAN
Indonesia. Perubahan ini bermakna sebuah proses transisi dari format pengelolaan
kenegaraan sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan semangat jaman dan
lebih adaptif dengan semangat jaman hari ini. Perubahan yang terjadi bukan hanya
pada sistem politik, tapi juga melingkupi banyak dimensi termasuk ekonomi,
sosial dan budaya. Pada ranah politik perubahan yang terjadi menyangkut transisi
dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik demokrasi, pada sosio
ekonomi, transisi ekonomi dari model crony capitalisme menuju system ekonomi
pasar yang konstitutif. Kedua transisi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat
Sebuah transisi yang tentu saja akan sangat menguras energi, menguji
kesabaran, serta membutuhkan waktu yang tidak sedikit, yang tidak secara pasti
mengantarkan bangsa ini kepada tujuan ideal transisi itu sendiri, tapi sebuah
1
yang mengandung harapan sekaligus ancaman terhadap kelangsungan Bangsa.
ini. UU yang berisi penataan format ekonomi politik kenegaraan antara Pusat dan
Daerah yang kemudian memberikan implikasi pada tata hubungan antara Pusat
dan Daerah serta pada Transisi yang terjadi di Indonesia. Dinamika transisi yang
juga harus mampu membenahi hubungan Ekonomi Politik antara Pusat dan
Daerah yang terdesentralisir. Pada sisi inilah transisi Indonesia tepat dilabelkan
1974, yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Daerah yang disaring oleh DPRD (pasal 15) tetapi bertanggungjawab secara
hierarkis kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Pasal 22). Posisi
2
Lokal, ditambah pemilihannya yang tidak secara murni berdasarkan aspirasi local
(dalam hal ini DPRD), menjadi salah satu akar dari ketidakadilan hubungan Pusat
kewenangan Antara Pusat dan Daerah menjadikan hubungan yang terjadi bersifat
eksploitatif, yaitu antara Pusat dan Daerah sebagai Pinggiran yang tergantung
kepada Pusat.
Dalam ranah Ekonomi, hal yang sama juga terjadi, walaupun beberapa
sumber keuangan dimiliki oleh Daerah, yaitu PAD, bantuan pemerintah Pusat,
Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan yang sah., namun ketika dilihat dari
sumber pembiayaan yang menjadi andalan dalam PAD daerah, maka akan terlihat
bahwa yang menjadi sumber PAD yang diserahkan kepada Daerah adalah sumber
PAD yang begitu rendah (15-30%) dan ketergantungan terhadap subsidi dari
Yang lebih krusial lagi adalah sentralisme pengusaan aset Ekonomi oleh
kewenangannya mencakup kesemuanya selain lima hal yang diatur dalam UU dan
2
Making decentralization work, Iyanatul Iskam, 2001;Paradigma Baru Otoda, LIPI 2001
3
Aspirasi terhadap ketidakmerataan, Tim Unsfir 2001
3
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah memberikan perubahan dalam
oleh kelembagaan yang terdekat. Sehingga tidak heran kalau gagasan tentang
Desentralisasi ibarat pisau bermata ganda, mampu menjadi jalan keluar dari
tersebut.
pelayanan terhadap jumlah penduduk yang begitu banyak, jebakan inflasi. Ada
banyak Negara yang mampu meloloskan dari pembiayaan begitu berat dan
4
Sementara di Negara lain, Desentralisasi Fiskal yang diterapkan bukannya
memberikan jalan keluar dari kesulitan financial yang ada, tapi malah
sebuah format yang tidak berlaku universal, serta hasil yang juga tidak seragam.
mulai tahun 1995-2001 sebagai studi kasus untuk mengamati perubahan Belanja
5
4. bagaimana perubahan PAD dan proporsinya terhadap total
penerimaan.
penelitian akan diarahkan pada upaya untuk melihat perubahan belanja publik
Desentralisasi Fiskal bisa kita amati melalui perubahan dalam APBD, terkait
dengan perubahan Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran dalam format APBD.
APBD adalah kebijakan yang berfungsi sebagai instrumen yang digunakan oleh
antara Pelayanan Publik, Efisiensi dan Demokratisasi. Ada tiga fungsi Anggaran
yaitu: Stabilitas, Distribusi, dan Alokasi. Sehingga fungsi itu dapat kita lihat
6
premis yang telah membatu dalam Argumentasi Desentralisasi Fiskal yaitu
2000 dimekarkan menjadi 2 kabupaten yitu Kabupaten Luwu dan Luwu Utara
dalam penelitian ini digabungkan menjadi Kabupaten Luwu saja. Hal ini
setidaknya menjadi catatan agar tidak terjadi kesalahan dalam pembacaan peta
anggaran.
dalam APBD pasca Implementasi Desentralisasi Fiskal, maka sifat penelitian ini
Fiskal di Sulawesi Selatan. Karena itu, data tentang APBD, Belanja Publik dalam
APBD disusun tahun 1995/1996, 1999/2000 dan 2001. Tahun anggaran ini
Dianggap bisa mewakili interval waktu antara sebelum dan sesudah pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal.
Desentralisasi Fiskal yang sedang kita jalankan baru seumur jagung, sehingga
kita hadapi tidak hanya transisi dalam hubungan pusat dan daerah, tapi transisi
yang sifatnya sistemik. Tapi dalam hemat penulis, bila mengetahui duduk perkara
7
tuntutan Desentralisasi Fiskal di Negara berkembang, yang lebih disebabkan oleh
seumur jagung, itu harus kita pahami, tapi hendaknya tidak menyurutkan langkah
kita untuk terus mengevaluasinya. Ditambah lagi Transisi yang kita alami adalah
Transisi Sistemik, yang sangat terbuka bagi setiap kemungkinan, sehingga agenda
Fiskal demi pencapaian tujuan Ideal Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal itu sendiri.
BAB 11
4
prinsip ini populer dalam World Summit for Sustainable Developmepnt, menjadi prinsip bagi
negara berkembang untuk menginternalisasi pembangunan berkelanjutan dalam proses
pembangunannya sejak dini.
8
POTRET SINGKAT SULAWESI SELATAN
Pare dan Makassar. Sedangkan jumlah penduduk sebanyak 7,7 juta jiwa dengan
Manusia (HDI) dan Gross Regional Domestic Product (GRDP) bisa kita lihat
keterkaitannya melalui keterkaitan antara HDI dan GRDP terendah dan tertinggi
yang secara menyatu dimiliki oleh Daerah-Daerah tertentu. HDI sekaligus GRDP
terendah dimiliki oleh Kabupaten Jeneponto (paling bawah kiri), sementara HDI
sekaligus GRDP tertinggi dimiliki oleh Kota Makassar (ujung kanan atas).
9
Di Sulawesi Selatan
75
70 Makassar
H D I 1999
65
60
Jeneponto
55
0 50 0 10 0 0 150 0 2000 2 50 0
kecendrungan tingkat HDI yang saling terkait dengan tingkat GRDP. Tingkat HDI
yang tinggi cenderung diiringi dengan tingkat GRDP yang tinggi pula, begitupun
sebuah Daerah tidak disebabkan oleh faktor yang sifatnya insidentil, tapi juga
sangat disebabkan oleh kondisi struktural tertentu yaitu rendahnya HDI (tingkat
pendidikan, kesehatan dan lain-lain) pada Daerah tersebut. Sebuah hubungan yang
saling mempengaruhi antara dua variabel tersebut, sehingga kemudian kita bisa
10
menarik sebuah kesimpulan bahwa tanpa perubahan secara mendalam terhadap
kondisi struktural pada tiap daerah, maka fenomena ketimpangan ini akan tetap
bertahan. Pada sisi inilah kita berharap bahwa oerbaikan dalam hal pendidikan,
BAB 1II
DESENTRALISASI FISKAL
DAN BELANJA PUBLIK
11
3.1. Mengapa Desentralisasi begitu Populer?
akhir-akhir ini, tidak hanya diperbincangkan di ruang yang sifatnya Ilmiah, tapi
juga menjadi kata yang dikonsumsi secara massal oleh khalayak umum. Tidak
hanya menjadi perdebatan yang sifatnya teoritik saja tanpa memiliki keterkaitan
erat dengan kenyataan, Desentralisasi juga menjadi sebuah kajian yang secara
masyarakat suatu Negara. Hal ini pulalah yang mungkin menyebabkan banyak
dianggap sebagai gelombang kedua Desentralisasi yang bermula sejak akhir tahun
1970-an. Gelombang pertama Desentralisasi terjadi pada tahun 1945 ketika terjadi
5
Paradigma baru Otonomi Daerah (Tim LIPI, 2001)
12
Pusat, dalam gelombang kedua ini terlihat semakin kompleks. Desentralisasi tidak
hanya dituntut oleh Pemerintah Daerah yang berada pada Negara yang
responsiveness.6
maupun globalisasi yang menjamur dewasa ini akibat keamjuan sarana tekhnologi
3.2. Desentralisasi
tentang batasan pengertiannya belum secara utuh mampu kita tampilkan. Hal
6
Paradigma baru otonomi daerah, Tim LIPI 2001
13
inipun sebenarnya tidak terlepas dari ambiguitas pengertian desentralisasi itu
akan merujuk pada perspektif yang kita gunakan. Ada dua perspektif yang
dsentralisasi akan tergantung dari pilihan perspektif kita. Kedua konsep inipun
penyerahan Tugas kepada unit pemerintahan yang berada pada level bawah.
organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah. Bentuk ketiga
dari desentralisasi adalah devolusi yaitu penyerahan fungsi dan otoritas dari
pemerintah Pusat kepada daerah otonom. Bentuk yang terakhir yaitu swastanisasi
14
yaitu penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan lainnya secara spesifik
Terkait dengan tema dari tulisan ini, maka yang akan dikaji lebih lanjut
lainnya.
fiskal sebagai bagian dari desentralisasi itu sendiri juga mengalami perkembangan
wacana yang sangat pesat. Desentralisasi fiskal diterapkan sebagai pilihan tepat
dalam pengaturan keuangan dalam satu negara. Ada begitu banyak alasan
7
Worlk Bank Institute,Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview
8
World bank Institute, Decentralization Breifing Note
15
mengapa sebuah Negara mempraktekkan Desentralisasi Fiskal. Di negara-negara
hubungan keuangan intra pemerintah agar sesuai dengan kenyataan “Post welfare
antara hubungan fiskal pemerintah Pusat dan daerah adalah menyangkut tentang
dan daerah. Dimensi dari Desentralisasi ini meliputi empat pilar yaitu :
pemerintahan.
anggaran.10
9
Richard M Bird and Francois vailancourt (1998) Desentralisasi Fiskal di negara berkembang, hal
10
Jamie Boex (2001) An Introductory Overview of Fiscal Relations
16
Hal hal yang mendasar inilah yang diatur dalam desentralisasi fiskal yang
Pemerintah daerah.
negara terlepas dari kondisi kekhususan yang terdapat dalam negara itu seperti
17
Memberikan akses yang baik kepada masyarakat untuk
bahwa penyeragaman tidak mampu memberikan responsibilitas, dan satu hal yang
paling penting bahwa unit pemerintahan yang terkecil ini akan mampu secara
terhadap satu negara. Kajian literatur yang dilakukan oleh banyak peneliti
hasil yang tidak hanya positif tapi juga negatif terhadap kehidupan warganya.13
keuangannya, ada begitu banyak pola dalam hal ini. Pola yang beragam ini
ditentukan oleh kondisi kesejarahan suatu negara, latarbelakang sosial dan budaya
serta evolusi dari masyarakatnya.14 Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan
bahwa formula pengeloaan fiskal suatu negara sangat tergantung pada pilihan
ideologis, serta tarik menarik antara unit pemerintahan, unit bisnis, maupun
12
Widjayanti (2002) Indonesia’s Fiscal decentralization
13
Richard M Bird and Francois Vailancourt (1998)
14
Richard M bird and Francois Vailancourt (1998)
18
hak prerogatif untuk menyusun formula pengelolaan fiskal suatu negara kepada
kelompok tersebut.
Apa yang bisa ditarik dari tinjauan literatur ini adalah bahwa ada begitu
kebutuhan publik akan barang dan jasa. Dari defenisi ini, akan sulit untuk
menentukan batasan tentang Anggaran Publik itu sendiri. hal ini disebabkan
saja bidang yang termasuk kegiatan publik dan mana yang sifatnya private. Bila
dikaitkan dengan desentralisasi fiskal, akan muncul sebuah kerepotan baru, mana
saja pengeluaran pemerintah dalam APBN dan APBD yang tidak memiliki
maka batasan yang digunakan untuk belanja publik adalah belanja yang secara
19
deterministik belanja pembangunan ini bisa dikaitkan dengan implikasi publiknya.
Mengapa belanja publik menjadi begitu penting, hal ini tidak bisa
kebutuhan publik yang disamping menjadi tujuan dari pembangunan itu sendiri,
dan berinteraksi. Hal inilah yang menjadi tujuan substantif pembangunan yaitu
relatif tinggi, suasana kehidupan yang kondusif bagi kebebasan, serta infrastruktur
perekonomian dan menjamin tingkat pertumbuhan yang tinggi. Tepat kiranya bila
diandaikan bahwa Anggaran Publik yang terkelola dengan baik akan mencapai
substantif yang juga menjadi sarana (tujuan instrumental) dari pembangunan itu.15
15
Amartyasen: development as a freedom, dalam jurnal studi pembangunan Insist
20
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta demokrasi yang didambakan oleh
tata kehidupan sosial dalam Abad Demokrasi ini hanya mampu tercapai bila
didukung oleh kualitas manusia yang tinggi, suasana hidup yang kondusif dan
infrastruktur yang memadai. Dalam hal inilah Alokasi Belanja Publik menjadi
kepada pemerintah daerah. Pendelegasian ini bila merujuk pada tujuan dari
tujuan pembangunan secara substanstif dan instrumental, tidak ada pilihan lain
sebagai prioritas.
21
Sayangnya kajian tentang Implikasi desentralisasi fiskal terhadap
dinamika belanja Publik juga tidak seragam. Penelitian yang dilakukan oleh
hubungan yang negatif antara Desentralisasi Fiskal dan Sektor Publik. Bahwa
desentralisasi fiskal terhadap Sektor Publik juga banyak dilakukan oleh beberapa
penelitian sebelumnya. Nelson (1986), Grossman (1989) dan Grosman and West
hubungan positif diantara keduanya juga bisa kita dapatkan dalam beberapa
literatur tentang dampak Desentralisasi Fiskal terhadap belanja Publik. 17 hal ini
serta merta memberikan implikasi positif terhadap belanja Publik. Untuk itu
harusnya dilakukan secara kasuistik, dalam unit yang sifatnya mikro, dengan
16
Wold bank Institute, Concept of fiscal decentralization and world wide overview
17
opcit, hal 9
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU ini lahir dari tekanan
utamanya daerah yang memiliki SDA yang begitu banyak. Kelahirannya tidak
daerah dimungkinkan untuk mencari sumber pembiayaannya dalam hal ini PAD,
namun yang terjadi adalah sebuah ironi. Betapa tidak, sumber pembiayaan yang
gemuk, telah berada ditangan pemerintah pusat, sehingga yang tersisa hanyalah
sumber-sumebr dana yang sangat kecil,18 yang tidak mungkin mampu menjadi
bisa kita lihat dari fakta bahwa Pemerintah Pusat mengumpulkan 90% penerimaan
nasional dan mengeluarkan 85% dari pengeluaran Nasional.9 kajian lain yang
dilakukan oleh Anne Both (pada akhir 1980-an) dan Hal Hill (1987) menunjukkan
18
Tim LIPI (2001) Paradigma baru otonomi daerah
23
hasil yang sama. Potret ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada
Pemerintah Pusat. Pada tahun 1974 hal Hill menemukan bahwa rata-rata 76%
negara yang mengatur keuanganya secara sentralistik. Potret ini pula yang dibaca
oleh masyarakat daerah sebagai bagian dari ekploitasi Pusat terhadap daerah yang
Suharto dari singgasana pemerintahan. Buah dari tuntutan inilah yang kemudian
Hal yang kemudian menjadi sisi krusial pasca pengakuan hak otonom bagi
hubungan, kewenangan, dan fungsi dari setiap Unit pemerintahan dalam sebuah
24
hubungan sama sekali. Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Perspektif Politik yaitu Devolusi sementara pada sisi lain, Dekonsentrasi yang
Sebagai implikasi, Kabupaten dan Kotamadya yang menjadi titik tekan otonomi
pelayanan public kepada Masyarakatnya. Kecuali lima hal yang diatur dalam UU
Unit Pemerintahan.
25
Tabel 2;
Division of Authorities and Functions across Levels of Government
according to Law 22/1999
pembiayaan yang sifanya permanen karena terkait dengan keberlanjutan dalam hal
26
pembiayaan dalam kerangka menjalankan tugas pelayanan. Pendelegasian sumber
penerimaan inilah kemudian yang kita sebut sebagai Desentralisasi Fiskal, yaitu
keuangannya.
BUMN, pengelolaan kekayaan Daerah lainnya, dan lain-lain PAD yang sah
lainnya. Pengaturan keuangan antara Pusat dan daerah juga tidak mengenal lagi
Inpres maupun subsidi daerah otonom, tapi melalui Dana Perimbanagan yaitu
Dana bagi hasil, dana Alokasi Umum, dan dana Alokasi Khusus yang dibagi
terhadap peta pengelolaan fiskal antara pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam
tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal (Tahun anggaran 2001) total dana
yang di daerahkan melalui dana perimbangan adalah sebesar Rp 82,40 trilyun atau
5,6% dari PDB. Sementara pada tahun 2002 dana perimbangan yang didaerahkan
sebanyak Rp 94,53 Trilyun atau 5,6% dari PDB yang berarti mengalami
27
peningkatan 5,1% di banding dana perimbangan tahun 2001. 12 hal ini merupakan
sebuah peta baru dalam pengelolaan fiskal Pemerintah., karena bila bercermin dari
Billion Rupiah
15.00 50,000
40,000
10.00 30,000
20,000
5.00
10,000
- -
kita lihat dalam tabel dibawah ini. penerimaan Pemerintah Daerah. Berikut tabel
28
Tabel 4; Total Revenue (penerimaan) Kab/Kota
di Sulawesi Selatan
P ar e P ar e
M a mu j u
P o l e w a l i M a ma s a
Lu wu
P i nr a ng
Wa j o
B one
P a ngke p
Si n j a i
T a ka la r
Ba nt a e ng
Se l a y a r
0 50,000 100, 000 150,000 200, 000 250, 000 300, 000 350, 000 400, 000
jut a r upi a h
signifikan. Ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat ada juga yang
hanya mendapatkan peningkatan yang secara relatif tidak terlalu besar. Lonjakan
ini juga terjadi karena pengaruh inflasi karena data ini tidak memperhitungkan
29
Tabel 5; Total penerimaan percapita Kab/Kota
di Sulawesi Selatan
P ar e P ar e
M a mu j u
P o l e w a l i M a ma s a
Lu w u
P inr a ng
Wa j o
Bone
P a n gk e p
Si n j a i
T aka la r
B a nt a e n g
Se l a y a r
j u t a r u p i a h
T A 1 9 95 / 96 T A 1 9 99 / 20 0 0 T A 2 0 01
semua dana tersebut secara bebas bisa digunakan oleh pemerintah daerah dalam
30
dialokasikan sesuai dengan prioritas tiap pemerintah Daerah. Sehingga
2 50 , 00 0, 0 00
2 00 , 00 0, 0 00
1 50 , 00 0, 0 00
1 00 , 00 0, 0 00
50 , 00 0, 0 00
ka b/ ko t a
Dari tabel diatas, kita bisa melihat adanya perbedaan discretionary power
Daerah pasca Desentralisasi Fiskal (Tahun 2001) tidak berbanding lurus dengan
31
belanja pegawai, sehingga kemampuan alokasi keuangan untuk membiayai fungsi
yang diatur dalam UU No 22 dan 25 tahun 1999 yaitu pendapatan dari Pajak dan
Retribusi daerah, Pendapatan dari BUMD dan lain-lain penerimaan yang sah.
Terlepas dari pengaturan penerimaan Daerah dalam Otonomi Daerah yang oleh
pusat. Proporsi PAD yang relatif besar dalam total penerimaan daerah
Pusat.
19
Paradigma baru otonomi daerah, tim LIPI 2001
32
PAD Kab/Kota di Sul-Sel
U. PANDANG
WAJO
TAKALAR
SINJAI
SELAYAR
PINRANG
Kab/Kota
MAROS
MAJENE
JENEPONTO
ENREKANG
BONE
BANTAENG
bisa kita dari tabel diatas. Kenaikan ini disamping disebabkan oleh relatif lebih
Daerah.
33
Total Penerimaan Kab/Kota di Sul-Sel
U. P ANDANG
P ARE -P ARE
WAJ O
T ANA TORAJ A
TAKALAR
SOP P ENG
SINJ AI
SIDRAP
SE LAYAR
P OLMAS
P INRANG
P ANGKEP
MAROS
MAMUJ U
MAJ ENE
LU WU
J E NEP ONT O
G O WA
E NRE KANG
BULUKUMBA
BONE
BARRU
BANT AENG
bisa ditarik adalah bahwa secara umum terjadi fenomena semakin menurunnya
implikasi terhadap peta anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam bagian ini,
kita akan melihat bagaimana peta anggaran dalam hal ini Belanja publik20 pasca
20
Defenisi belanja publik sesuai dengan batasan konseptual yang telah dijelaskan diawal tulisan
ini.
34
bisa menarik beberapa point penting yaitu tentang meningkatnya penerimaan
cenderung menurun. Yang ingin dilihat secara mendetail dibagian ini adalah
perubahan belanja publik dan persentase belanja publik terhadap total belanja
Sulawesi selatan.
U. P ANDANG
WAJ O
T AKALAR
SINJ AI
SE LAYAR
P INR ANG
MAR OS
MAJ E NE
J E NE P ONT O
E NR E KANG
B ONE
B ANT AE NG
juta r upi ah
Dari tabel diatas, terlihat kenaikan belanja publik yang menjadi potret
secara umum Kab/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini tentu sejalan dengan fungsi
35
Otonomi Daerah. Sekedar catatan juga bahwa pengaruh inflasi tidak
diperhitungkan sehingga boleh jadi kenaikan secara nominal juga disebabkan oleh
pengaruh inflasi.
berikut akan ditampilkan proporsi belanja publik terhadap total belanja publik
U . P ANDANG
P AR E -P AR E
WAJ O
T A NA T OR AJ A
T AK ALAR
SOP P E NG
SINJ AI
SIDR AP
S E LA YA R
P OLM AS
P INR AN G
P AN GK E P
M AR OS
M AM UJ U
M AJ E NE
LU WU
J E NE P ONT O
GOWA
E NR E KANG
B ULUKUM B A
B ONE
B AR R U
B ANT AE NG
d a l a m pe rs e n
Walaupun terjadi peningkatan secara nominal pada belanja publik, tapi hal
itu ternyata tidak diiringi dengan kenaikan persentase belanja publik terhadap total
36
pembangunan pasca desentralisasi fiskal. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
37
Dari beberapa pembahasan sebelumnya, ada beberapa point penting yang
dari Pusat.
6.1. Saran
38
1. Berangkat dari banyaknya hambatan dalam pelaksanaan
39
apalagi menghambat aktivitas perekonomian yang berimplikasi
DAFTAR PUSTAKA
40
Jamie Boex (2001); “An Introductory Overview of Fiscal Relations”
LAMPIRAN-LAMPIRAN
41
SOUTH SULAWESI
Position Location Southern part of Sulawesi Island
Borders North - Central Sulawesi
East - Bone Gulf
South - Flores Sea
West - Makassar Straits
Area Land area 66,811 sq. km.
Remarks
The People Total
population 8,059,627
Growth,
1990 - 2000
(%) 1.49
Male/Female
ratio 95.05
Ethnic make
up (% of population)
Bugis 41.9
Makassar 25.4
Toraja 9
Religion make
up (% of population)
Islam 89.2
Protestant 7.8
Catholic 1.6
Population of
Major Cities Total (% of total)
Ujung
Pandang 1,100,981 (13.7 %)
Pare Pare 108,258 (1.3 %)
Urban
population (%
of total) 29.4
Growth,
1990 - 2000
(%) 3.30
42
Rural
population (%
of total) 70.6
Growth,
1990 - 2000
(%) 0.76
Population by
age group Thousand (% of total)
7 – 15 1,357 ( 17.4 %)
15 – 65 4,906 ( 62.9 %)
65+ 343 ( 4.4 %)
Literacy rate
(% of Age 15+) 83.2
Mean Years of
Schooling
(years) 6.5
Educational
attainment (% of age 15+)
Not
completed SD 42.8
SD 28.9
SLTP 11.7
SMU 13.4
D1+ 3.2
Employment
rate (% of
working age) 59.5
Employment
by sector (% of total employed)
Agriculture,
forestry and
fishing 61.8
Manufacturing
industry 3.2
Services 34.9
Community Poverty level,
2002 (% of total population)
Welfare Total (urban
and rural) 15.88
Urban 7.16
Rural 19.61
43
Depth of
absolute
poverty, 2002
(P2 index) 0.75
Life
Expectancy at
Birth, 1999
(years) 68.3
Access to save
water, 1998 (%
population) 50.9
Access to
health services,
1998 (%
population) 74.0
Human Poverty
Index, 1998 26.3
Regional
disparity (CV
Williamson) Xx
Human
Development
Index, 1999 63.6
Regional
disparity (CV
Williamson) Xx
The Number of
Government Kabupaten
(Regencies) 22
Number of
Kota (Cities) 2
Number of
Kecamatan
(Sub-districts) 277
Number of
Desa/Kelurahan
(Villages) 3,176
Number of
Civil Servants
(per 100
population) 2.4
Number of
Police
Personnel (per
1000
population) 1.5
Political Votes held by the dominant parties in the 1999
44
power election (%)
GOLKAR 66
PPP 8
PDI-P 7
Public Provincial
Finance Government,
APBD 2002
Total
Provincial
expenditure (%
of GRDP) 2.1
Own
revenue, PAD
(% of budget) 37.2
Shared
revenue (% of
budget) 13.4
General
allocation fund,
DAU (% of
budget) 46.2
Development
expenditure
% of
GRDP 0.7
% of
budget 34.9
Total
Kabupaten and
Kota budgets,
APBD 2002 n.a.
Total
expenditure (%
of GRDP)
Own
revenue, PAD
(% of budget)
Shared
revenue (% of
budget)
General
allocation fund,
DAU (% of
budget)
45
Development
expenditure
% of
GRDP
% of
budget
Production GRDP (current
price, million
Rupiah) 26,596,247
GRDP per
capita (Rupiah) 3,415,337
Real GRDP
growth (%) 4.9
Private
consumption
(% of GRDP) 62.1
Fixed capital
formation (%
of GRDP) 17.6
Sectoral
shares of
GRDP (% of GRDP)
Agriculture 39.3
Oil, gas and
mining 8.4
Manufacturing 12.5
Services 39.8
Types of
Agricultural
production (% of GRDP)
Farm Food
Crops 22.1
Fishery 8.7
Estate Crops 6.8
Remarks (location or other specific
characteristics)
Types of
manufacturing
production (% of GRDP)
Type – 1
Type – 2
Type – 3
46
Remarks (location or other specific
characteristics)
Types of
services (% of GRDP)
Trade 13.7
Public
administration
and defence 8.7
Transportation 4.9
Remarks (location or other specific
characteristics)
Trade Exports Thousand US$ (% of GRDP)
International 615,385 (19.7%)
Inter-
provincial
Imports Thousand US$ (% of GRDP)
International 206,002 (6.6%)
Inter-
provincial
Media Number of
newspaper 3
Number of
radio stations
(private) 10
Infrastructure Roads
Total (km) 6,859
Category (% of total roads)
Good 37
Moderate 28
Damaged 26
Badly
damaged 9
Railways (km) Xx
Number of
airports 2
Remarks
Number of
ports 19
47
Remarks 2 commercial ports
Telephone line
density,1999
(per 100 pop) 2.8
Electricity
Household
with electricity
connection (%) 76.4
Sumber: Unsfir Data Base
48
7301. Selayar 103,446
7302. Bulukumba 352,582
7303. Bantaeng 157,634
7304. Jeneponto 317,481
7305. Takalar 229,375
7306. Gowa 513,747
7307. Sinjai 204,482
7308. Maros 270,661
7309. Pangkajene Kep. 263,466
7310. Barru 151,240
7311. Bone 647,015
7312. Sopeng 218,283
7313. Wajo 356,083
7314. S. Rappang 237,542
7315. Pinrang 309,876
7316. Enrekang 166,326
7317. Luwu 396,456
7318. Tana Toraja 391,691
7319. Polewali Mamasa 445,586
7320. Majene 120,272
7321. Mamuju 296,149
7322. Luwu Utara 430,635
7371. Kodya Ujung
Pandang 1,090,691
49
Lampiran 3; Indikator HDI per Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
73. Sulawesi
Selatan 64.8 65.0 68.3 74.5 79.6 83.2 5.0 6.1 6.5 563.0 580.6 571.0
01. Selayar 61.6 62.9 66.2 70.2 78.0 84.3 4.1 5.3 5.6 535.3 572.4 572.22
02.
Bulukumba 62.4 65.0 68.4 69.0 74.6 79.6 4.1 5.7 6.2 488.6 574.7 574.26
03. Bantaeng 62.0 67.5 70.8 54.3 63.4 70.5 3.7 4.1 4.6 548.0 558.2 572.56
04.
Jeneponto 60.2 60.4 63.9 60.7 62.9 68.8 3.7 4.7 4.9 551.8 572.3 572.95
05. Takalar 60.7 63.2 66.7 68.2 73.2 76.8 4.0 4.9 5.4 473.2 576.8 574.23
06. Gowa 64.1 66.7 69.9 64.6 72.6 76.9 4.0 5.4 5.9 533.5 574.6 571.22
07. Sinjai 63.6 66.2 69.5 68.4 73.3 78.5 4.0 5.2 5.4 508.9 533.9 571.76
08. Maros 62.5 65.1 68.6 69.1 72.4 76.8 4.2 4.7 5.3 562.5 567.8 571.52
09. Pangkep 57.6 63.9 67.1 72.7 76.7 82.6 3.9 5.2 5.8 514.6 569.3 576.33
10. Barru 59.3 63.2 66.7 78.7 82.1 83.8 4.6 5.8 6.2 580.0 582.7 577.30
11. Bone 61.1 63.7 67.2 69.9 76.7 81.0 4.0 5.3 5.8 514.2 578.1 568.18
12. Soppeng 64.8 67.3 70.6 71.9 75.8 78.2 4.5 5.5 5.6 570.0 581.2 581.93
13. Wajo 65.4 66.5 67.2 72.8 81.8 76.1 4.1 4.9 5.0 569.0 581.8 578.74
14. Sidenreng
Rappang 63.6 66.2 69.5 73.4 78.2 82.8 4.4 5.2 5.9 519.9 584.4 571.20
15. Pinrang 62.7 65.3 68.5 74.4 79.6 82.7 4.4 5.6 6.0 574.9 575.7 574.22
16. Enrekang 66.1 68.7 72.0 72.9 77.2 89.7 4.7 6.1 6.4 541.6 550.8 572.78
17. Luwu 65.6 68.1 71.4 82.0 87.3 92.0 5.0 6.3 7.1 564.4 569.5 574.61
18. Tana
Toraja 66.9 69.5 72.8 70.9 72.0 73.3 4.5 5.5 5.7 457.9 564.5 572.98
19. Polewali
Mamasa 62.0 62.5 62.9 76.4 77.4 80.9 4.4 4.7 5.2 446.5 555.8 574.53
20. Majene 56.3 58.9 62.3 81.7 82.7 89.5 5.3 5.9 6.7 560.7 571.2 573.82
21. Mamuju 61.0 63.6 67.0 79.3 82.8 84.2 4.3 5.5 5.6 559.5 567.6 574.30
71. Ujung
Pandang 65.3 67.9 71.4 88.0 93.0 95.2 7.7 9.5 9.9 576.1 582.8 582.28
72. Pare Pare 66.0 68.5 71.8 83.9 88.1 94.2 6.5 7.8 8.4 573.9 583.1 575.47
50
Lampiran 4; Pengeluaran perkapita
dan Kemiskinan di sulawesi Selatan
51
Lampiran 5; Surat Keterangan KKN Profesi
52
Lampiran 6; Jurnal Pelaksanaan dan penilaian penulisan KKN
profesi Fakultas Ekonomi
53
54