Anda di halaman 1dari 2

Gempa Bumi

oleh
Ken Budha Kusumandaru

bagian I

Pendahuluan

Gempa yang terjadi di lepas pantai Aceh hari Minggu (26/12) lalu memang membuat
kita terhenyak. Ini adalah sebuah peristiwa dahsyat yang dengan segera menjadi
magnet untuk berbagai tanggapan dan tindakan. Tidak terlalu mengejutkan bahwa
orang-orang yang pertama kali dimintai tanggapan tentang hal ini adalah para
agamawan. Musibah yang demikian dahyat, yang memaksa orang tunduk pada
kekuasaan alam, memang paling mudah membuat orang lari pada mistisisme untuk
menjelaskan mengapa hal ini terjadi, mengapa manusia harus menderita di bawah
tekanan alam.

Tapi, sebelum kita terlalu jauh terlarut dalam kesedihan, mari kita periksa secara
rasional bagaimana bencana ini terjadi. Barangkali jika kita dapat meninjau
persoalannya dengan kepala dingin, kita akan dapat sampai pada penyelesaian yang
masuk akal yang dapat kita tempuh untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan.

Bumi ini terus bergerak

Kita selalu menyatakan bahwa seorang yang tekadnya teguh tak tergoyahkan sebagai
"sekokoh batu karang". Itu karena kita beranggapan bahwa batu karang itu selalu
berdiri tegak, tak dapat digoyahkan, bahkan oleh ombak yang terkuat sekalipun. Tapi
kini kita tahu bahwa anggapan itu keliru adanya. Batu karang yang kelihatannya
kokoh-kuat itu tergerus sedikit-demi-sedikit oleh proses erosi. Ia mungkin tak dapat
didorong oleh pukulan ombak yang sekuat apapun, tapi dalam waktu ratusan tahun ia
akan hancur menjadi debu oleh aliran air dan hembusan angin yang lembut.

Ilmu pengetahuan kini telah menyingkap hal lain yang akan membuat kita semakin
tidak percaya pada ungkapan "sekokoh batu karang". Pada tahun 1912, seorang
ilmuwan Jerman, Alfred Wegener, mengemukakan sebuah teori tentang Lempeng
Tektonik. Menurutnya, seluruh lapisan terluar bumi ini merupakan satu unit raksasa
yang jutaan tahun lalu merupakan satu kesatuan. Lapisan terluar yang menyerupai
lempeng ini merupakan hasil dari mengerasnya lapisan terluar dari batuan cair yang
merupakan bahan pembentuk bumi, sekitar 4 milyar tahun lalu. Pada saat itu, batuan
purba yang menjadi cikal-bakal kerak bumi ini membentuk satu benua raksasa yang
oleh para ahli sekarang diberi nama Pangaea.
Sekalipun demikian, karena kerak bumi ini seakan-akan "mengapung" di atas sebuah
lapisan batuan cair, ia tidak dapat mempertahankan posisinya. Kekuatan tarik-ulur
dari "laut" batuan cair itu membuat benua raksasa itu akhirnya pecah. Pecahan-
pecahan benua itu bergerak saling menjauh. Tapi, karena gerakan itu tidak sama
kecepatan dan arahnya, ada juga pecahan-pecahan benua yang saling bertabrakan atau
bergesekan. Peristiwa pergerakan benua-benua inilah yang menimbulkan
terbentuknya jurang-jurang di dasar laut maupun pegunungan-pegunungan di daratan.
Pegunungan Himalaya, contohnya, adalah hasil tubrukan antara sub-benua India
dengan Asia. Para ahli sudah mendapatkan konfirmasi atas dugaan ini dengan
ditemukannya fosil ikan di salah satu lapisan batuan di puncak pegunungan tersebut.
Ini adalah bukti bahwa apa yang sekarang ini membentuk Himalaya tadinya berada
jauh di dasar lautan.

Benua-benua ini bergerak dengan kecepatan yang amat lambat. Lempeng Pasifik,
misalnya, bergerak ke arah barat dengan kecepatan 9 cm per tahun. Lempeng India,
di pihak lain, masih terus bergerak ke utara, menabrakkan dirinya ke lempeng Asia
dengan kecepatan 5 cm per tahun. Demikian lambatnya gerakan ini sehingga tidak
terasa oleh kita. Tapi dalam tempo ribuan, apalagi jutaan tahun, gerakan ini menjadi
sesuatu yang sangat dahsyat. Massa yang dibawa oleh lempeng benua ini adalah
milyaran ton, sehingga energi yang ditimbulkan ketika bertabrakan atau bergesekan
sangatlah besar. Jika kira-kira massa lempeng ini adalah 1% dari massa total planet
ini, maka massa lempeng ini adalah 5 x 1023 ton, itu artinya 5 dengan 23 angka nol di
belakangnya. Kalau kita anggap saja masing-masing lempeng (lihat gambar 2)
menyumbang 10% dari total massa lempeng, itu artinya tiap lempeng massanya
adalah 5x1022 ton. Jika lempeng Laut Hindia dan lempeng Asia bersenggolan (ini
yang menimbulkan gempa di lepas pantai Aceh itu), maka jika enerji yang
ditimbulkan akibat "senggolan kecil" itu diubah menjadi listrik, hasilnya pasti
tidaklah kurang dari 7,5 x 1015 watt, atau 7,5 milyar MegaWatt. Cukup untuk
memasok listrik bagi 200.000 milyar rumah petak kontrakan buruh. Hitungan ini
hanya ilustrasi saja. Angka pastinya silakan para ahli yang menguasai statistik
geologi menghitungnya.

Herankah anda ketika gempa tektonik ini menghasilkan kerusakan begitu dahsyat di
Aceh? Bahkan gelombang gempa ini sampai di Pantai Malindi di Kenya, yang
jaraknya 4500 km dari pusat gempa.

Anda mungkin juga menyukai